Anda di halaman 1dari 28

Terapi Anti Nyeri Pada Pasien Tumor

Ari Rahmatullah
N 111 13 047

Pembimbing : dr Faridnan, Sp.An


Identitas Pasien
- Nama : Tn S

- Umur : 43 tahun

- Alamat : Taipa

- Pekerjaan : Swasta

- Ruangan : Aster

- Tanggal masuk : 4 April 2015

- Tanggal pengambilan data: 11 April 2015


Anamnesis
- Keluhan utama: nyeri saat menelan

- Riwayat penyakit sekarang: pasien masuk dengan keluhan nyeri menelan yang dirasakan
sejak ± 3 minggu yang lalu tidak disertai dengan keluhan membuka mulut. Awalnya pasien
terkena flu dan batuk berdahak, tetapi lama kelamaan hidung membesar serta terjadi
perubahan bentuk pada pipi sebelah kiri. Keluar cairan agak kental tapi tidak bercampur
darah dari hidung sejak ± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pada telinga (-),
berdengung (-), gangguan pendengaran (+) sejak 2 minggu terakhir, keluar cairan dari
telinga (-).

- Riwayat penyakit terdahulu: tidak ada.

- Riwayat penyakit keluarga: atopi tidak ada, tekanan darah tinggi tidak ada, diabetes melitus
tidak ada.
- Anamnesis terkait anestesi:

• Riwayat operasi tidak ada

• Riwayat alergi obat tidak ada.

• Riwayat asma tidak ada.

• Riwayat penyakit jantung.

• Penggunaan gigi palsu tidak ada.


Pemeriksaan Fisik
- Status generalis

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis (GCS E4 V5 M6)

Status gizi : Baik

- Primary survey

• Airway : Paten

• Breathing : Respirasi 20 kali/menit

• Circulation : Tekanan darah: 130/80 mmHg

Nadi: 84 kali/menit, reguler, kuat


- Secondary survey

Kepala

• Bentuk : Normocephal

• Rambut : Ikal, warna hitam

• Kulit kepala : lesi (-)

• Wajah : Simetris, paralisis fasial (-), afek serasi, deformitas (-).

• Kulit : Pucat (-), sianosis (-), massa (-), turgor <2 detik.
Mata

• Eksoftalmus (-), palpebra edema (-), fungsi N. II baik, ptosis (-), kalazion (-), pembengkakan saccus
lacrimalis (-)

• Kornea : Katarak (-)

• Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+ refleks
cahaya tidak langsung +/+.

• Konjungtiva : anemis +/+

• Sklera : ikterik (-)

Telinga

• Keloid (-), kista epidermoid (-), serumen maksimal +/+, membrana timpani sulit dinilai.
Hidung

• Deviasi septum nasi (-/-), sekret (+/+) berwarna kekuningan, concha normal, edema (-), hiperemis (-)

Mulut & faring

• Bibir : sianosis (-), pucat (+)

• Gusi : gingivitis (-)

• Gigi : karies dentis (+)

• Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)

• Tonsil : T1/T1 hiperemis (-), ulkus (+)

• Uvula : Ulkus (+) Tampak berwarna kekuningan dan agak kehitaman

• Mallampathy : kelas 1
Leher

• Inspeksi : jaringan parut (-), massa (-)

• Palpasi : pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran pada kelenjar tiroid (-), nyeri tekan (-), JVP
R5 + 2 cm H2O

• Trakhea : Deviasi trakhea (-)

Paru

• Inspeksi : normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-), spider nevi (-)

• Palpasi : nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan, fremitus taktil kesan normal.

• Perkusi : sonor (+) di seluruh lapang paru, batas paru hepar SIC VI dextra.

• Auskultasi : vesicular +/+, bunyi tambahan (-)


Jantung

• Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

• Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s), thrill (-)

• Perkusi :

Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra

Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra

Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra

• Auskultasi: bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen

• Inspeksi : bentuk cembung terhadap thorax dan symphisis pubis, massa (-), cicatrix (tidak dilakukan).

• Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal (± 20 kali/menit) diseluruh kuadran abdomen , Bruit (-), friction
rub (-)

• Perkusi : timpani (+) diseluruh kuadran abdomen, ascites (-)

• Palpasi : hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (+), ginjal tidak teraba.

Ekstremitas

• Atas : edema (-), akral dingin (-/-), ROM normal, refleks fisiologis normal, refleks patologis (-), kekuatan
5/5, tonus normal.

• Bawah : edema (-), akral dingin (-/-), ROM normal, refleks fisiologis normal, refleks patologis (-), kekuatan
5/5, tonus normal.
Parameter Hasil Satuan Range Normal
WBC 4,16 103/uL 4,8 – 10,8
RBC 4,09 106/uL 4,7 – 6,1
HGB 12,3 g/dL 14 – 18
HCT 28,6 % 42 – 52
MCV 88,0 fL 80 – 99
MCH 30,1 pg 27 – 31
MCHC 34,2 g/dL 33 – 37
PLT 61 103/uL 150 – 450
RDW-CV 19,5 % 11,5 – 14,5
RDW-SD 59,2 fL 37 – 54
NEUT % 79,1 % 40 – 74
LYM % 8,4 % 19 – 48
Ureum 52 mg/dl 8-53
Creatinin 0,8 mg/dl 0,6-1,2
Pemeriksaan kimia darah

• GDS 131 mg/dl

• Ureum 52 mg/dl

• Kreatinin 0,8 mg/dl

• SGOT 84 U/L

• SGPT 93 U/L

Pemeriksaan CT-SCAN

• Massa soft tissue di sinus maxillaris sinistra, sinus ethmoidale sinistra dan di cavum
nasi
Resume
Pasien laki-laki berumur 43 tahun masuk dengan keluhan nyeri menelan yang dirasakan sejak ±
3 minggu yang lalu. Awalnya pasien terkena flu dan batuk berdahak, tetapi lama kelamaan hidung
membesar serta terjadi perubahan bentuk pada pipi sebelah kiri. Keluar cairan agak kental tapi tidak
bercampur darah dari hidung sejak ± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. gangguan pendengaran
(+) sejak 2 minggu terakhir.

Pemeriksaan fisik

Primary survey

• Airway : Paten

• Breathing : Respirasi 20 kali/menit


• Circulation : Tekanan darah: 130/80 mmHg, Nadi: 84 kali/menit, reguler, kuat

Mallampathy : kelas 1
Diagnosis Kerja: Tumor sinonasal dan orofaring

Penatalaksanaan

• IVFD RL 20 tetes/menit

• Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam/IV

• Dexamethasone 1 amp/12 jam/IV

• Metronidazole drips/12 jam/IV

• Inj. Ketorolac 30mg/8 jam/IV


Data Anastesi
• Jenis anestesi : General Anastesi

• Teknik anestesi : Neuroleptik

• Induksi : Fentanyl 50mg

• Lama anestesi: 35 menit

• Lama operasi : 30 menit

• Anestesiologis : dr. Sofyan. B, Sp.An

• Operator : dr. Bastiana, Sp.THT-KL


Tekanan Darah
Flow-rate
a. Pre-operatif Menit ke Heart Rate
O2
- Pasien puasa 8 jam pre-operatif
Sistol Diastol
- Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal

b. Intra-operatif 0 115 75 95 4
c. Post-operatif
5 115 70 94 4
Pasien dipindahkan dari Recovery Room ke Aster dalam keadaan sadar baik.

10 115 77 95 4

15 114 75 92 4

20 115 73 93 4

25 115 75 92 4

30 115 74 92 4

35 115 75 93 4
Pembahasan
Dalam kasus ini akan dibahas mengenai terapi anti
nyeri pada pasien dengan diagnosis tumor sinonasal
dan orofaring
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,

1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana

berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.

Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai

oleh sistem sensorik nosiseptif.


Dari hasil anamnesis diketahui pasien mengeluh nyeri menelan yang dirasakan sudah sejak ±

3 minggu yang lalu. Awalnya pasien terkena flu dan batuk berdahak, tetapi lama kelamaan hidung

sebelah kiri membesar serta terjadi perubahan bentuk pada pipi sebelah kiri. Keluar cairan agak

kental tapi tidak bercampur darah dari hidung sejak ± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit.

gangguan pendengaran (+) sejak 2 minggu terakhir. Hal ini terjadi karena adanya massa tumor

yang membesar atau karena pertumbuhan pada nasal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa terdapat sekret di kavum nasi kiri dan uvula

berwarna kehitaman dan sedikit terdapat abses.


Pada kasus ini pasien diberikan terapi anti nyeri berupa Inj. Ketorolac 30mg/8 jam/IV. seperti yang

diketahui ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non steroid, yang

masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara struktur kimia berhubungan

dengan indometasin.

Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia obat tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana

ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid. Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah

menghambat sistesa prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim

siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti AINS pada umumnya, ketorolak

merupakan penghambat COX non selektif.


Pada pasien ini pemberian ketorolac dilakukan dari pasien pertama masuk hingga

dilakukan tindakan nasoendoskopi sementara sesuai teori untuk mengatasi nyeri pada

kanker, WHO menerapkan “ a three step ladder” yaitu 3 langkah bertahap sesuai dengan

nyeri yang dialami pasien. Selama pasien dirawat nyeri yang dialami pasien terkadang

berubah-ubah, hal ini dapat dinilai berdasarkan vas yang ada pada pasien. Kemungkinan

penanganan yang diberikan pada pasien tersebut belum sesuai dengan vas nyeri yang

dialami pasien.
Untuk mengatasi nyeri pada kanker, WHO menerapkan “ a three step ladder” yaitu 3 langkah bertahap sesuai

dengan nyeri yang dialami pasien. WHO juga menerapkan konsep dalam terapi medikamentosa untuk nyeri yaitu

lewat mulut (obat per oral),dan obat diberikan teratur setiap 3-6jam (untuk menjaga kadar obat tetap stabil).

Langkah pertama penanganan nyeri menurut WHO adalah penggunaan asetaminofen, aspirin atau OAINS

lainnya untuk nyeri ringan (VAS 1-4).

Jika nyeri masih ada atau bahkan meningkat (VAS 5-7), opioid seperti kodein atau hydrocodone harus ditambahkan

(bukan sebagai pengganti) ke OAINS. Pada langkah ini, opioid banyak diberikan dalam preparat kombinasi dengan

asetaminofen atau aspirin.

Jika nyeri persisten, ataupun muncul dalam taraf berat (VAS 8-10), maka harus ditangani dengan opioid yang

lebih poten atau dengan dosis yang lebih tinggi.


Selain itu pemberian ketorolac pada kasus ini dilakukan melalui intravena sementara

WHO menerapkan konsep dalam terapi medikamentosa untuk nyeri yaitu lewat mulut

(obat per oral),dan obat diberikan teratur setiap 3-6jam (untuk menjaga kadar obat tetap

stabil).
Penanggulangan nyeri yang sempurna merupakan suatu yang penting dalam pengobatan penderita

kanker. Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri akibat tumornya sendiri, segala sesuatu yang

berkaitan dengan tumor dan nyeri akibat pengobatan.

Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiat dan non-opiat

terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Opiate merupakan analgetik

sentral menghambat transduksi syaraf di medulla spinalis.

Sedangkan analgetik non-opiat, terutama analgetik anti-inflamasi non-steroid (AINS), merupakan

analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga

sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi


Berlawanan dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan toleransi, ketergantungan

fisik/psikis dan memiliki spectrum toksiitas yang berbeda. Efek samping OAINS yang

dapat terjadi adalah gagal ginjal, gangguan hati, perdarahan dan ulkus lambung. Jadi

penggunaan OAINS pada lansia harus diawasi agar tidak terjadi efek samping yang tidak

diinginkan.

Opioid dikelompokkan menjadi agonis, agonis parsial atau agonis-antagonis

bergantung pada reseptor spesifiknya. Opioid agonis berupa morfin, codein, hidrocodon,

metadon dan fentanyl.


Toleransi dan ketergantungan fisik terhadap opioid dapat terjadi pada pemberian opioid jangka

panjang. Ketergantungan fisik terhadap opioid muncul jika opioid dihentikan secara tiba-tiba.

Manifestasi klinisnya adalah kecemasan, iritabel, menggigil, nyeri sendi, lakrimasi, rhinorea, mual,

muntah, diare dan kram perut. Untuk opioid dengan waktu paruh pendek (seperti kodein, morfin),

gejalanya dapat terjadi 6-12 jam dengan puncaknya 24-72 jam sesudah opioid dihentikan.

Untuk opioid waktu paruh jangka panjang (metadon, fentanyl), gejalanya dapat tertunda 24 jam atau

lebih pasca penghentian obat dan gejala yang ditimbulkan dapat lebih ringan. Pasien dengan kanker

biasanya membutuhkan penghentian opioid jika penyebab nyeri sudah dihilangkan dengan terapi

antineoplasma
Daftar Pustaka
1. Lelo A., Hidayat. S. D, Widyawati T. Keuntungan Sediaan “Preferential COX-2 Inhibitor” Dalam Penanggulangan Nyeri Kanker. Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi Dan

Terapeutik Universitas Sumatera Utara

2. Nafrialdi; Setiabudy. R., 2009. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

3. Paice JA, Ferrel B. The Management of Cancer Pain. CA Cancer J Clin 2011; 61; 157-182

4. Jost L, Roila F. Management of cancer pain: ESMO Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology 21, 257-260, 2010.

5. Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics--irreplaceable in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed Schmerzther.

35(11):677-84,2009.

Anda mungkin juga menyukai