PENGAWET
KELOMPOK 11
Mona Nur Moulia dkk, “Antimikroba Ekstrak Bawang Putih”, (Fakultas Teknologi Pertanian,Institut Pertanian Bogor, 2018), hlm. 9
1
JENIS-JENIS PENGAWET
Pengawet terbagi menjadi dua yaitu pengawet alami dan pengawet buatan.
Contoh pengawet alami yaitu bawang putih, lengkuas, garam, jeruk,
sedangkan contoh pengawet buatan adalah :
Benzalkonium klorida
Senyawa flavonoid
Natrium benzoat
1. Metil Paraben
1
Nada Aulia, “Latar belakang pengawet”, http://eprints.umm.ac.id/32844/2/jiptummpp-gdl-nadaaulia2-43990-2-babi.pdf hlm. 2
3. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang bersifat
sebagai antimikroba. Golongan fenolik ini diduga menjadi salah satu
komponen yang bertanggung jawab menghambat pertumbuhan mikroba uji.
Cara kerja senyawa flavonoid dalam membunuh mikroorganisme yaitu
dengan menghambat sintesis protein sel, menghambat fungsi membran
sitoplasma tanpa dapat diperbaiki lagi, dan menghambat metabolisme energi
dari bakteri.
Pengawet juga digunakan pada produk seperti :
Secara alami, keduanya dapat ditemukan pada sayur. Tubuh pun bisa memproduksinya
sendiri. Nitrit dan nitrat berguna untuk mencegah pertumbuhan bakteri berbahaya,
menambah rasa asin pada makanan, serta memberi warna merah pada daging. Makanya,
kedua bahan ini sering ditambahkan ke dalam daging olahan, seperti sosis dan ham.
Nisin
Merupakan bahan pengawet buatan yang dihasilkan dari bakteri asam laktat bernama
Lactococcus lactis. Nisin dikatakan mampu melawan berbagai jenis bakteri gram positif
dan spora. Pengawet makanan tersebut banyak digunakan pada produk maknan kalengan,
susu, keju, yogurt, roti, makanan kaleng, daging, ikan, saus salad, serta minuman
beralkohol.
2. Pengawet dalam Kosmetik
Pengawet dalam kosmetik yaitu bahan yang dapat mengawetkan kosmetik dalam jangka
waktu selama mungkin agar dapat digunakan lebih lama. Pengawet dapat bersifat anti
kuman sehingga dapat menangkal terjadinya bau tengik karena aktivitas mikroba
sehingga kosmetik menjadi lebih stabil, misal asam benzoat, alkohol, formaldehid.
Kosmetik yang terdiri dari berbagai macam lemak dan minyak merupakan bahan yang
mudah ditumbuhi mikroorganisme baik bakteri amoeba maupun jamur yang akan
merusak bahan sehingga terjadi perubahan bau dan warna, untuk menanggulangi hal ini
diperlukan zat pengawet.
Adapun jenis-jenis pengawet yang digunakan dalam kosmetika, yaitu :
Asam organik dan garam serta esternya
Contohnya yaitu asam dehidroasetat, asam sorbat, asam salisilat, asam propionat dan garamnya, juga
asam benzoat berserta garamnya dan alkil ester. 4-hydroxybenzoic acid yang paling banyak digunakan
beserta alkil esternya (umumnya dikenal sebagai paraben) dan garamnya. Adapun pengawet tersebut
diantaranya metilparaben, etil paraben, propil paraben, dan butil paraben. Aktivitas antimikroba
golongan tersebut meningkat seiring dengan peningkatan jumlah karbon pada rantai alkilnya tetapi
kelarutannya dalam air menurun.
Aldehid dan pengawet yang melepaskan formaldehid
Contoh yang paling digunakan adalah formaldehid yang dikenal sebagai oxymethylene atau formalin.
Formalin tersebut memiliki keuntungan murah, lebih mudah larut dalam air daripada minyak dan lemak,
digunakan pada media yang berair seperti sampo, gel mandi, sabun cair untuk cuci tangan. Tetapi
formalin tersebut memiliki kekurangan diantaranya tidak berwarna, menimbulkan gas yang iritan dapat
menyebabkan mata berair, sensasi terbakar pada mata dan tenggorokan, mual, susah bernafas, dan alergi.
Berdasarkan keputusan ditetapkan bahwa batas maksimum pengawet ini didasarkan pada pelepasan
kandungan formaldehidnya yaitu sebesar 0,2% contohnya benzilhemiformal 0.15% sebanding dengan
0,044% formaldehid.
3. Pengawet dalam Sediaan Obat
1
Farmakope Indonesia Edisi VI, 2020, hlm. 1826
Setiap zat antimikroba dapat besifat sebagai pengawet, meskipun
demikian semua zat antimikroba adalah zat yang beracun, maka pada
penggunaannya harus diusahakan agar pada kemasan akhir kadar
pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat
menimbulkan keracunan pada manusia. Sehingga perlu dilakukan uji
efektivitas pengawet pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan
dasar atau bahan pembawa berair, seperti produk-produk parenteral,
telinga, hidung, dan mata (Depkes RI, 1995).
Zat pengawet yang ditambahkan pada sediaan bukan hanya untuk mencegah
adanya partumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kontaminasi, akan
tetapi juga untuk meminimalisir proliferasi bakteri walaupun tidak
dipersyaratkan pada produk non steril. Adanya jasad bakteri yang mati
dalam sediaan, dapat menyebabkan alergi pada pasien yang sensitif.
Pengawet biasa dipertimbangkan sebagai zat aktif dalam mencegah
pertumbuhan mikroorganisme sehingga potensinya harus dimonitoring
selama pembuatan produk.
Berikut adalah jenis-jenis pengawet yang biasa digunakan dalam formulasi farmasi
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EFEKTIVITAS PENGAWET
1
Marlia Singgih Wibowo, “Uji Efektivitas Pengawet Mikroba”, (School of Pharmacy ITB, 2014), hlm. 6
Keefektifan pengawet salah satunya dipengaruhi oleh pH karena laju pertumbuhan bakteri juga
dipengaruhi oleh pH. Setiap bakteri memiliki pH optimum (6,5 - 7,5) untuk pertumbuhannya.
Begitupula dengan konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi maka kinetika pembunuhan bakteri
akan semakin cepat.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini
dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan
mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu
sendiri.
Mikroorganisme yang sering digunakan untuk uji efektivitas pengawet
adalah :
Escherichia coli : bakteri gram negatif yang banyak ditemukan di dalam usus besar
manusia sebagai mikrobrata normal.
Pseudomonas aeruginosa : bakteri gram negatif, aerob, dan bergerak unipolar. Bakteri
ini biasanya menginfeksi saluran pernapasan, saluran kemih, luka bakar.
Siapkan masing-masing 4 buah obat tetes mata produk A dan B, kemudian tandai dengan nama mikroba uji
yang akan diinokulasikan. Inokulasi masing-masing wadah dengan menggunakan suspensi mikroba uji
menggunakan perbandingan 0,10 ml inokulum setara dengan 20 ml volume sampel (sampel yang diuji
bervolume 5 ml dan 10 ml, jadi suspensi yang diinokulasikan ke dalam sampel adalah 0,025 ml dan 0,05 ml),
campurkan. Di samping itu, tetapkan juga jumlah awal mikroba uji yang dimasukkan ke dalam sediaan dengan
menggunakan metode pengenceran dan cawan tuang (jumlah awal mikroba uji dalam sediaan segera setelah
inokulasi adalah 100.000-1.000.000 cfu/ml). Inkubasikan wadah yang telah diinokulasi pada suhu ruangan.
Kemudian lakukan pengamatan pada hari ke 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 setelah inokulasi. Setelah itu tetapkan
jumlah mikroba viabel pada tiap selang waktu tersebut dengan metode lempeng agar. Hitung perubahan kadar
dalam persen tiap mikroba uji selama pengujian berlangsung. Lakukan pengujian ulang terhadap masing-
masing 4 buah obat tetes mata produk A dan B dengan prosedur yang sama.
Hasil dan pembahasan
Berdasarkan tabel, dapat disimpulkan bahwa jumlah awal rata-rata setiap mikroba untuk uji efektivitas pengawet Benzalkonium
Klorida yang diinokulasikan ke dalam bahan uji memenuhi persyaratan yg tercantum dalam Farmakope Indonesia Edisi ke-4, yaitu
jumlah mikroba di dalam sediaan uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 cfu/ml.
Setelah dilakukan penginokulasian biakan masing-masing mikroba uji pada obat tetes mata O dan Z, dilakukan penginkubasian dan
penanaman dengan cara metode lempeng agar untuk mengetahui jumlah mikroba viabel per ml. Hasil perhitungan jumlah mikroba
uji selama 28 hari pengujian, dengan pengamatan pada hari ke 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 setelah inokulasi tercantum pada tabel
berikut :
Kedua tabel di samping menunjukkan bahwa pengawet
Benzalkonium Klorida dapat menurunkan jumlah
semua mikroba uji, baik bakteri (Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli) maupun
jamur (Candida albicans) mulai dari hari ke-14 selama
28 hari pengujian.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh jumlah awal rata-rata mikroba uji yang terdapat dalam sediaan segera
setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 cfu/ml, yang sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope
Indonesia edisi ke-4 untuk uji efektivitas pengawet. Dari hasil uji dapat dilihat bahwa pengawet Benzalkonium
Klorida 0.01% dalam obat tetes mata Nafazolin Hidroklorida yang beredar di pasaran adalah efektif menurunkan
jumlah semua mikroba uji, yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli dan Candida
albicans, sampai 100% mulai dari hari ke-14 dan mencegah kontaminasi selama 28 hari masa pengujian, begitu juga
pada obat tetes mata campuran Nafazolin Hidroklorida dan Seng Sulfat.
PENAFSIRAN HASIL SUATU PENGAWET
Pengawet anti mikroba dapat memberikan efektivitas yang baik, jika pengawet efektif di dalam
formula sediaan. Pengawet dinyatakan efektif bila tidak ada pertumbuhan mikroba pada sampel
yang telah diinkubasi dengan mikroba.
a) Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1 % dari jumlah
awal.
b) Jumlah kapang dan khamir viabel ada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1 %
dari jumlah awal.
c) Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap atau kurang
dari bilangan yang disebut di atas.
THANK YOUˆˆ