Anda di halaman 1dari 33

METODE UJI EFEKTIVITAS

PENGAWET
KELOMPOK 11

 Afrina Bicerni (200205150)

 Nani Widasari Zalukhu (200205184)

 Sutriana Purba (200205193)


DEFINISI

Bahan pengawet adalah zat atau bahan kimia yang


ditambahkan ke dalam produk makanan dan sediaan
farmasi untuk mencegah terjadinya pembusukan yang
disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba.
Apa itu Pengawet?

Pengawet adalah zat antimikroba yang ditambahkan pada sediaan


produk yang digunakan untuk melindungi sediaan, menghentikan
proses kerusakan atau sebagai perlindungan terhadap
pembusukan dan menghambat atau menurunkan kemampuan
mikroba.
Menurut Davidson dan Branen (1993), kemampuan suatu zat antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
 konsentrasi zat antibakteri
 waktu kontak dengan zat antibakteri
 suhu lingkungan
 sifat-sifat bakteri (jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan bakteri) dan
 sifat-sifat fisik dan kimia sediaan termasuk kadar air, pH, dan jenis senyawa di dalamnya

Mona Nur Moulia dkk, “Antimikroba Ekstrak Bawang Putih”, (Fakultas Teknologi Pertanian,Institut Pertanian Bogor, 2018), hlm. 9
1
JENIS-JENIS PENGAWET

Pengawet terbagi menjadi dua yaitu pengawet alami dan pengawet buatan.
Contoh pengawet alami yaitu bawang putih, lengkuas, garam, jeruk,
sedangkan contoh pengawet buatan adalah :

 Paraben (metil paraben dan propil paraben).

 Benzalkonium klorida

 Senyawa flavonoid

 Natrium benzoat
1. Metil Paraben

 Metil paraben dikenal dengan nama dagang nipagin sedangkan propil


paraben dikenal dengan nama nipasol. 

 Nipagin dan nipasol digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan


(BTP) khususnya antijamur dan sebagai pengawet obat-obatan.
Nipagin dan nipasol digunakan karena memiliki bentuk aktivitas
antimikroba berspektrum luas, tidak berwarna, stabil, tidak berbau
dan murah.
Nipagin dan nipasol merupakan senyawa fenolik, stabil di udara, sensitif terhadap
pemaparan cahaya, tahan terhadap panas dan dingin termasuk uap sterilisasi,
stabilitas menurun dengan meningkatnya pH yang dapat menyebabkan hidrolisis.

Mekanisme kerja senyawa nipagin dan nipasol adalah dengan menghilangkan


permeabilitas membran sehingga isi sitoplasma keluar dan menghambat sistem
transport elekrolit terhadap kapang dan khamir, serta efektif menghambat bakteri
Gram posistif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif.
Mengingat adanya bahaya yang ditimbulkan oleh nipagin dan nipasol
terhadap kesehatan maka diperlukan penentuan terhadap bahan pengawet
tersebut dalam obat. Penggunaan bahan pengawet harus tepat, baik jenis
maupun dosisnya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengatur
tentang batas maksimum penggunaan pengawet dalam Bahan Tambahan
Makanan dalam peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2004 tentang persyaratan mutu
dalam larutan dan suspensi oral yaitu sebesar 0.015-0.2%.
2. Benzalkonium klorida

Benzalkonium klorida adalah bahan aktif-permukaan kationik dari


golongan ammonium kuaterner yang banyak digunakan dalam
sediaan farmasi sebagai pengawet antimikroba. Larutan benzalkonium
klorida aktif menghambat bakteri, ragi, dan jamur dalam rentang yang
luas. Aktivitasnya lebih efektif jika digunakan untuk menghambat
bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif, sedikit dapat
menghambat endospora bakteri dan juga bakteri tahan asam.
Menurut David P. Elder & Patrick J. Crowley (2012) turunan amonium kuaterner
seperti benzalkonium klorida dan benzethonium klorida merupakan antimikroba yang
memiliki rentang pH luas (pH 4-10), aktivitasnya berhubungan dengan reaksi ionisasi
dan optimal pada pH tinggi.

Sedangkan menurut McDonnell (1999) benzalkonium klorida bekerja sebagai


pengawet, hal pertama yang dilakukan untuk menghambat kinerja bakteri adalah
adsorpsi dan penetrasi agen ke dalam dinding sel, kemudian terjadi reaksi dengan
membran sitoplasma (lipid atau protein) kemudian membran mulai rusak, bahan-
bahan yang berada di dalam sel mengalami kebocoran, degradasi protein dan asam
nukleat, dan dinding lisis disebabkan oleh enzim autolisis.
Pada sediaan mata, benzalkonium klorida merupakan salah satu pengawet yang penggunaannya luas, yaitu
pada konsentrasi 0,01-0,02% b/v. Pada sediaan hidung dan telinga konsentrasinya berkisar 0,002–0,02%
b/v, terkadang digunakan kombinasi dengan 0,002-0,005% thimerosal. Benzalkonium klorida 0,01%
digunakan sebagai pengawet untuk sediaan parenteral volume kecil. Benzalkonium klorida juga dapat
digunakan sebagai pengawet pada kosmetik.

1
Nada Aulia, “Latar belakang pengawet”, http://eprints.umm.ac.id/32844/2/jiptummpp-gdl-nadaaulia2-43990-2-babi.pdf hlm. 2
3. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang bersifat
sebagai antimikroba. Golongan fenolik ini diduga menjadi salah satu
komponen yang bertanggung jawab menghambat pertumbuhan mikroba uji.
Cara kerja senyawa flavonoid dalam membunuh mikroorganisme yaitu
dengan menghambat sintesis protein sel, menghambat fungsi membran
sitoplasma tanpa dapat diperbaiki lagi, dan menghambat metabolisme energi
dari bakteri.
Pengawet juga digunakan pada produk seperti :

1. Pengawet dalam makanan


Pengawet makanan atau bahan tambahan pangan adalah segala bahan kimia yang ditambahkan ke
dalam makanan untuk menjaga kesegaran dan mutunya. Fungsi Pengawet pada makanan akan
mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur, sehingga makanan bisa disimpan dalam waktu yang lebih
lama tanpa mengalami kerusakan atau pembusukan. Pengawet mencegah makanan berubah warna,
rasa, tekstur, dan nutrisinya. Beberapa jenis bahan pengawet makanan yang diizinkan untuk digunakan
dalam makanan adalah :
 Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts)
Bahan ini sering digunakan untuk mengawetkan wine, keju, roti, kue, serta daging. Zat asam sorbat
terbilang efektif dalam mencegah pertumbuhan jamur pada makanan.
 Natrium benzoat
Natrium benzoat adalah bentuk asam benzoat yang paling banyak digunakan. Senyawa ini dipakai
untuk menghambat pembusukan pada makanan asam seperti soda, jus lemon kemasan, saus salad,
kecap, dan bumbu lainnya.
 Nitrit dan nitrat

Secara alami, keduanya dapat ditemukan pada sayur. Tubuh pun bisa memproduksinya
sendiri. Nitrit dan nitrat berguna untuk mencegah pertumbuhan bakteri berbahaya,
menambah rasa asin pada makanan, serta memberi warna merah pada daging. Makanya,
kedua bahan ini sering ditambahkan ke dalam daging olahan, seperti sosis dan ham.

 Nisin

Merupakan bahan pengawet buatan yang dihasilkan dari bakteri asam laktat bernama
Lactococcus lactis. Nisin dikatakan mampu melawan berbagai jenis bakteri gram positif
dan spora. Pengawet makanan tersebut banyak digunakan pada produk maknan kalengan,
susu, keju, yogurt, roti, makanan kaleng, daging, ikan, saus salad, serta minuman
beralkohol.
2. Pengawet dalam Kosmetik

Pengawet dalam kosmetik yaitu bahan yang dapat mengawetkan kosmetik dalam jangka
waktu selama mungkin agar dapat digunakan lebih lama. Pengawet dapat bersifat anti
kuman sehingga dapat menangkal terjadinya bau tengik karena aktivitas mikroba
sehingga kosmetik menjadi lebih stabil, misal asam benzoat, alkohol, formaldehid.

 Mengapa pengawet harus digunakan pada kosmetik ?

Kosmetik yang terdiri dari berbagai macam lemak dan minyak merupakan bahan yang
mudah ditumbuhi mikroorganisme baik bakteri amoeba maupun jamur yang akan
merusak bahan sehingga terjadi perubahan bau dan warna, untuk menanggulangi hal ini
diperlukan zat pengawet.
Adapun jenis-jenis pengawet yang digunakan dalam kosmetika, yaitu :
 Asam organik dan garam serta esternya
Contohnya yaitu asam dehidroasetat, asam sorbat, asam salisilat, asam propionat dan garamnya, juga
asam benzoat berserta garamnya dan alkil ester. 4-hydroxybenzoic acid yang paling banyak digunakan
beserta alkil esternya (umumnya dikenal sebagai paraben) dan garamnya. Adapun pengawet tersebut
diantaranya metilparaben, etil paraben, propil paraben, dan butil paraben. Aktivitas antimikroba
golongan tersebut meningkat seiring dengan peningkatan jumlah karbon pada rantai alkilnya tetapi
kelarutannya dalam air menurun.
 Aldehid dan pengawet yang melepaskan formaldehid
Contoh yang paling digunakan adalah formaldehid yang dikenal sebagai oxymethylene atau formalin.
Formalin tersebut memiliki keuntungan murah, lebih mudah larut dalam air daripada minyak dan lemak,
digunakan pada media yang berair seperti sampo, gel mandi, sabun cair untuk cuci tangan. Tetapi
formalin tersebut memiliki kekurangan diantaranya tidak berwarna, menimbulkan gas yang iritan dapat
menyebabkan mata berair, sensasi terbakar pada mata dan tenggorokan, mual, susah bernafas, dan alergi.
Berdasarkan keputusan ditetapkan bahwa batas maksimum pengawet ini didasarkan pada pelepasan
kandungan formaldehidnya yaitu sebesar 0,2% contohnya benzilhemiformal 0.15% sebanding dengan
0,044% formaldehid.
3. Pengawet dalam Sediaan Obat

Pengawet digunakan terutama pada wadah dosis ganda untuk menghambat


pertumbuhan mikroba yang dapat masuk secara tidak sengaja selama atau setelah
proses produksi dan yang mungkin masuk pada pengambilan berulang.
Penambahan pengawet juga diperlukan untuk sediaan yang pada proses sterilisasi
bahan aktif yang digunakan tidak tahan terhadap pemanasan dengan suhu tinggi dan
pada sediaan yang memiliki jaminan sterilitas yang rendah misalnya proses
sterilisasi dengan filtrasi.
Pengawet antimikroba tidak boleh digunakan sebagai pengganti cara produksi yang
baik atau semata-mata untuk menurunkan populasi mikroba viabel dari produk tidak
steril atau mengendalikan bioburden pra-sterilisasi dari formulasi sediaan dosis
ganda pada waktu diproduksi. Pengawet sesuai bentuk sediaan dalam farmakope
memenuhi syarat untuk Bahan Tambahan dalam Ketentuan Umum.

1
Farmakope Indonesia Edisi VI, 2020, hlm. 1826
Setiap zat antimikroba dapat besifat sebagai pengawet, meskipun
demikian semua zat antimikroba adalah zat yang beracun, maka pada
penggunaannya harus diusahakan agar pada kemasan akhir kadar
pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat
menimbulkan keracunan pada manusia. Sehingga perlu dilakukan uji
efektivitas pengawet pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan
dasar atau bahan pembawa berair, seperti produk-produk parenteral,
telinga, hidung, dan mata (Depkes RI, 1995).
Zat pengawet yang ditambahkan pada sediaan bukan hanya untuk mencegah
adanya partumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kontaminasi, akan
tetapi juga untuk meminimalisir proliferasi bakteri walaupun tidak
dipersyaratkan pada produk non steril. Adanya jasad bakteri yang mati
dalam sediaan, dapat menyebabkan alergi pada pasien yang sensitif.
Pengawet biasa dipertimbangkan sebagai zat aktif dalam mencegah
pertumbuhan mikroorganisme sehingga potensinya harus dimonitoring
selama pembuatan produk.
Berikut adalah jenis-jenis pengawet yang biasa digunakan dalam formulasi farmasi
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EFEKTIVITAS PENGAWET

Zat pengawet mikroba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :


 pH
 keberadaan fasa non akualitik pada sediaan
 adsorpsi solid dalam suspensi
 adsorpsi pada kemasan plastik

1
Marlia Singgih Wibowo, “Uji Efektivitas Pengawet Mikroba”, (School of Pharmacy ITB, 2014), hlm. 6
Keefektifan pengawet salah satunya dipengaruhi oleh pH karena laju pertumbuhan bakteri juga
dipengaruhi oleh pH. Setiap bakteri memiliki pH optimum (6,5 - 7,5) untuk pertumbuhannya.
Begitupula dengan konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi maka kinetika pembunuhan bakteri
akan semakin cepat.

Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini
dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan
mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu
sendiri.
Mikroorganisme yang sering digunakan untuk uji efektivitas pengawet
adalah :

Escherichia coli : bakteri gram negatif yang banyak ditemukan di dalam usus besar
manusia sebagai mikrobrata normal.

Pseudomonas aeruginosa : bakteri gram negatif, aerob, dan bergerak unipolar. Bakteri
ini biasanya menginfeksi saluran pernapasan, saluran kemih, luka bakar.

Staphylococcus aureus : bakteri gram positif merupakan bakteri yang berwarna


kunibng kemasan. Bakteri ini merupakan bakteri commensal pada kulit manusia, di
dalam hidung, usus dan urin yang dapat menyebabkan penyakit kutil.
Mikroorganisme yang sering digunakan untuk uji efektivitas pengawet adalah :

 Candida albicans : mikroorganisme fungi golongan khamir (yeast), hidup


sebagai mikroorganisme commensal dalam tubuh manusia yang bersifat
oportunistik yang disebut kandidiasis pada kulit, mukosa, dan organ dalam
manusia.

 Aspergillus brasioiensis : mikroorganisme fungi golongan kapang (mold), yang


tergolong dalam fungi berfilamen dan multiseluler
Contoh : Uji Efektivitas Pengawet Benzalkonium Klorida Dalam Dua Macam Obat Tetes
Mata Nafazolin Hidroklorida Yang Beredar Di Pasaran
Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan yaitu sediaan tetes mata ganda yang terdiri dari dua macam produk,
yaitu : 1. Produk O (produk yang mengandung Nafazolin Hidroklorida sebagai zat aktif dan
Benzalkonium klorida 0,01% sebagai pengawet). 2. Produk Z (produk yang mengandung
Nafazolin Hidroklorida dan Seng Sulfat sebagai zat aktif dan Benzalkonium Klorida 0.01%
sebagai pengawet).
Mikroba Uji
Bakteri : Staphylococcus aureus (Biofarma), Pseudomonas aeruginosa (Biofarma) dan
Escherichia coli (Biofarma). Sedangkan Jamur : Candida albicans (Biofarma).
Media Uji
Media uji yang digunakan untuk pengembangan mikroba uji segar adalah agar nutrien untuk
pertumbuhan bakteri dan agar Sabouraud Dextrose untuk pertumbuhan jamur, karena sesuai
untuk pertumbuhan masing-masing mikroba uji. Sedangkan media uji yang digunakan untuk
penghitungan jumlah mikroba uji viabel adalah agar nutrien.
Pembuatan Media Uji
- Media Agar Nutrien : Ditimbang agar nutrien sebanyak 28 gram, masukkan ke dalam erlenmeyer, larutkan
dalam 1 liter aquadest yang telah dididihkan terlebih dahulu, kemudian larutkan sempurna di atas penangas air.
Tutup dengan kapas yang telah dibalut kain kasa. Sterilkan dengan menggunakan sterilisasi, pemanasan dengan
autoklaf.
- Media Agar Sabouraud Dextrose : Ditimbang agar Sabouraud Dextrose sebanyak 65 gram, masukkan ke
dalam Erlenmeyer, larutkan dalam 1 liter aquadest yang telah dididihkan terlebih dahulu, kemudian larutkan
sempurna di atas penangas air. Tutup dengan kapas yang telah dibalut kain kasa. Sterilkan dengan
menggunakan sterilisasi, pemanasan dengan autoklaf.
Pembuatan Suspensi Mikroba Uji
Sebelum pengujian dilakukan, inokulasikan permukaan media uji dengan biakan mikroba uji untuk
mendapatkan persediaan mikroba uji segar. Masing-masing mikroba uji diinokulasikan pada agar miring
dengan media yang sesuai yang telah diberi tanda dengan nama mikroba uji yang akan dikembangkan. Inkubasi
biakan bakteri pada suhu 30-35ºC selama 18-24 jam dan biakan jamur pada suhu 20-25ºC selama 48 jam.
Untuk memanen biakan bakteri dan jamur digunakan larutan NaCl 0,9% steril, dengan cara mengambil 1
koloni mikroba yang tumbuh di permukaan agar kemudian disuspensikan dalam NaCl 0,9% steril dalam tabung
steril. Ukur absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang tertentu. Tambahkan NaCl 0,9% steril jika
perlu untuk mengurangi jumlah angka mikroba uji sehingga jumlah mikroba uji dalam sediaan segera setelah
inokulasi adalah 100.000- 1.000.000 cfu/ml.
Prosedur Kerja

Siapkan masing-masing 4 buah obat tetes mata produk A dan B, kemudian tandai dengan nama mikroba uji
yang akan diinokulasikan. Inokulasi masing-masing wadah dengan menggunakan suspensi mikroba uji
menggunakan perbandingan 0,10 ml inokulum setara dengan 20 ml volume sampel (sampel yang diuji
bervolume 5 ml dan 10 ml, jadi suspensi yang diinokulasikan ke dalam sampel adalah 0,025 ml dan 0,05 ml),
campurkan. Di samping itu, tetapkan juga jumlah awal mikroba uji yang dimasukkan ke dalam sediaan dengan
menggunakan metode pengenceran dan cawan tuang (jumlah awal mikroba uji dalam sediaan segera setelah
inokulasi adalah 100.000-1.000.000 cfu/ml). Inkubasikan wadah yang telah diinokulasi pada suhu ruangan.
Kemudian lakukan pengamatan pada hari ke 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 setelah inokulasi. Setelah itu tetapkan
jumlah mikroba viabel pada tiap selang waktu tersebut dengan metode lempeng agar. Hitung perubahan kadar
dalam persen tiap mikroba uji selama pengujian berlangsung. Lakukan pengujian ulang terhadap masing-
masing 4 buah obat tetes mata produk A dan B dengan prosedur yang sama.
 Hasil dan pembahasan

- Hasil Perhitungan Jumlah Awal Mikroba Uji

Berdasarkan tabel, dapat disimpulkan bahwa jumlah awal rata-rata setiap mikroba untuk uji efektivitas pengawet Benzalkonium
Klorida yang diinokulasikan ke dalam bahan uji memenuhi persyaratan yg tercantum dalam Farmakope Indonesia Edisi ke-4, yaitu
jumlah mikroba di dalam sediaan uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 cfu/ml.

- Hasil Perhitungan Jumlah Mikroba Uji dalam Rentang Waktu Pengamatan

Setelah dilakukan penginokulasian biakan masing-masing mikroba uji pada obat tetes mata O dan Z, dilakukan penginkubasian dan
penanaman dengan cara metode lempeng agar untuk mengetahui jumlah mikroba viabel per ml. Hasil perhitungan jumlah mikroba
uji selama 28 hari pengujian, dengan pengamatan pada hari ke 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 setelah inokulasi tercantum pada tabel
berikut :
Kedua tabel di samping menunjukkan bahwa pengawet
Benzalkonium Klorida dapat menurunkan jumlah
semua mikroba uji, baik bakteri (Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli) maupun
jamur (Candida albicans) mulai dari hari ke-14 selama
28 hari pengujian.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh jumlah awal rata-rata mikroba uji yang terdapat dalam sediaan segera
setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 cfu/ml, yang sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope
Indonesia edisi ke-4 untuk uji efektivitas pengawet. Dari hasil uji dapat dilihat bahwa pengawet Benzalkonium
Klorida 0.01% dalam obat tetes mata Nafazolin Hidroklorida yang beredar di pasaran adalah efektif menurunkan
jumlah semua mikroba uji, yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli dan Candida
albicans, sampai 100% mulai dari hari ke-14 dan mencegah kontaminasi selama 28 hari masa pengujian, begitu juga
pada obat tetes mata campuran Nafazolin Hidroklorida dan Seng Sulfat.
PENAFSIRAN HASIL SUATU PENGAWET

Pengawet anti mikroba dapat memberikan efektivitas yang baik, jika pengawet efektif di dalam
formula sediaan. Pengawet dinyatakan efektif bila tidak ada pertumbuhan mikroba pada sampel
yang telah diinkubasi dengan mikroba.

Suatu pengawet dinyatakan efektif apabila :

a) Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1 % dari jumlah
awal.

b) Jumlah kapang dan khamir viabel ada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1 %
dari jumlah awal.

c) Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap atau kurang
dari bilangan yang disebut di atas.
THANK YOUˆˆ

Anda mungkin juga menyukai