Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

(CLERK NEUROPSIKIATRI)

Kelompok 2

DOSEN PEMBIMBING
dr. Nur Azizah A.S, Sp. KJ
Anggota Kelompok

1. Diah Rizqi Cahyaningtiyas 6130019009 9. Marosa Nabila Rizkina 6130019052


2. Ahmad Hero Artayuga 6130019010 10. Yasmin Aliyah Marwa 6130019053
3. Rasyid ABD Rahman A.H 6130019011 11. Jasmine Nabila 6130019054
4. Muhammad Hamdan Asyrofi 6130019012 12. Berlian Rahmat Hidayatullah 6130019055
5. Nida’ Aras Dianti 6130019013 13. Audrey Callista A.P 6130019056
6. Rindana Pragati Rosana W.A 6130019014 14. Giesha Ilham Muhdzori 6130019057
7. Yahya Nur Abdillah 6130019015 15. Mira Lovita Maylia 6130019059
8. Alif Alfian Alghifari 6130019016
Introduction

Kecemasan atau anxietas merupakan keadaan emosi dimana dapat menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan merasa terancam.
(Deslina, 2021).

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2007, ada 450 juta penduduk yang harus hidup dengan gangguan
mental dan pada prevalensi individu dewasa sampai lansia, ada 11.6% yang mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan
(Idaiani et al., 2020).

Fenomena Covid-19 yang membuat perubahan pada kegiatan sehari-hari masyarakat. Kebijakan pemerintah yang mengharuskan
masyarakat untuk menjaga jarak sosial dan tetap tinggal di rumah , adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar, cukup
berdampak pada sisi finansial maupun psikis seseorang, yang salah satunya adalah kecemasan (Prajogo dan Yudiarso, 2021).

Kecemasan seseorang melebihi batas wajar, akan berdampak terganggunya orang tersebut terhadap kecemasannya. Hal tersebut
pada akhirnya akan berakibat pada ketidakmampuan dirinya berpikir secara rasional (Deslina, 2021)
METODE
Diperoleh dari autoanamnesis pada tanggal 25 Oktober 2022
I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. E
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 36 Tahun
4. Alamat : Jemursari
5. Status : Belum menikah
6. Pendidikan : D1 Komputer Akuntansi
7. Pekerjaan : Belum bekerja, PHK 1 tahun yang lalu
8. Agama : Islam
9. Tanggal Pemeriksaan : 25 Oktober 2022
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Diperoleh dari autoanamnesis pada tanggal 25 Oktober 2022.
A. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan berpenampilan rapi dengan menggunakan baju lengan panjang, menggunakan masker berwarna hijau,
memakai kacamata, celana jeans dan dengan alas kaki. Pada saat dilakukan wawancara pasien cukup kooperatif dalam menjawab
pertanyaan dan banyak bercerita mengenai perjalanan penyakitnya dari awal hingga sekarang. Pasien mampu mengingat alur cerita
dari awal hingga akhir dengan sangat baik. Saat ini pasien tinggal di rumah bersama orang tua dan kedua adiknya perempuan dan
laki-laki. Pasien merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pasien dapat menjawab nama, usia dan alamat tempat tinggal
pasien dan bercerita tentang dirinya.
Pasien bercerita bahwa dirinya sebelum mengalami gejala merupakan orang semangat dalam pendidikan maupun bekerja,
ceria namun kadang temperament atau susah mengendalikan emosinya, setelah meluapkan emosi pasien merasa dirinya lebih
tenang dan tidak ada perasaan dendam. Pasien juga bercerita bahwa seringkali berbeda pendapat dengan ayahnya, dikarenakan
ayah dari pasien memiliki sifat keras. Pada suatu ketika pasien tidak sependapat dengan ayahnya kemudian mulai bertengkar
hebat, maka dari itu pasien memilih untuk kerumah teman SMAnya, berharap bisa meredakan emosi dan mendapatkan teman
cerita untuk keluh kesah kejadian yang dialami, pada saat sampai ke rumah temannya ternyata ayah dari temannya ini sedang
mengalami sakit
A. Riwayat Penyakit Sekarang

Puncaknya saat pasien berkontak fisik dengan ayah teman pasien saat bermain dirumah temannya, yang ternyata terdiagnosis COVID-19 dan
mendengar berita bahwa ayah temannya meninggal saat dirawat diruang isolasi COVID-19, sehingga pasien mengeluh jantung berdebar -debar, sakit
kepala, tangan dan kaki terasa lemas, sehingga hal itu sangat mengganggu pasien. Kondisi ini terus mengganggu pasien. Pasien merasa ada yang aneh
pada dirinya. Hal itu membuat pasien mengambil keputusan untuk pergi berobat ke puskesmas saat berobat, pasien dinyatakan normal.namun tidak
ada bukti yang menyebutkan bahwa pasien mengidap penyakit tertentu. Pasien tidak percaya dan tetap meminta obat kepada pemeriksa. Pasien-pun
diberi obat paracetamol dan obat flu. Hari demi hari, keluhan awal pasien tidak kunjung sembuh. Pasien merasa perlu untuk pergi berobat kembali
dan masih semangat untuk sembuh. Pada pemeriksaan selanjutnya, pasien tetap dinyatakan normal dan hanya diberi obat paracetamol saja. pasien
juga sempat berobat ke pengobatan alternatif dan didiagnosis sebagai penyakt jantung, namun hal tersebut nyatanya tidak benar saat pasien berobat
ke dokter spesialis jantung. Saat pasien berobat ke poli jantung, pasien bercerita bahwa takut akan mati dan selalu ada pikiran yang aneh, namun tidak
ada bukti yang menyebutkan bahwa pasien mengidap penyakit tertentu. Dari keluhan pasien yang bercerita takut mati dan ada selalu ada pikiran aneh,
pasien akhirnya dirujuk ke poli psikiatri, selama kontrol ke poli psikiatri awalnya pasien merasa kondisinya masih belum stabil, namun setelah 1
tahun berobat ke poli psikiatri, menurut pasien keluhannya sekarang sudah sembuh sekitar 80 hingga 90%.
Dalam proses penyembuhan ini, selain kontrol berobat ke poli psikiatri, pasien juga bercerita bahwa mengikuti pengajian dan ceramah islami
disekitar rumahnya dikarenakan pasien menyadari bahwa selama kondisi sakitnya ini, pasien tidak mau menjadi orang yang tersesat dari agama Islam
dan tetap mengedepankan Iman. Menurut pasien mengikuti pengajian dirumahnya ini membantu meredakan gejala yang selama ini pasien alami.
Pasien mengatakan tidak pernah memiliki penyakit seperti ini sebelumnya dan tidak memiliki riwayat penyakit seperti darah tinggi, kolesterol, asam
urat dan kencing manis. Keseharian pasien menjalani hari-hari dirumah seperti membersihkan rumah, memasak, sholat, dan mengikuti pengajian.
Dahulu pasien sempat bekerja di dealer honda, namun karena efek pandemi COVID-19, pasien di PHK dan sampai sekarang masih aktif mencari
pekerjaan. Pasien juga bercerita bahwa tidak pernah menggunakan obat - obatan terlarang dan alcohol dalam sehari-hari.
B. Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi dan Diabetes mellitus saat ayah pasien sudah berumur tua, riwayat gangguan mental di keluarga disangkal
C. Riwayat Pribadi yang relevan
• Riwayat penyakit dalam keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien.
• Riwayat Pendidikan
Pasien lulusan D1
• Riwayat pekerjaan
Pernah bekerja di dealer Honda, saat ini masih mencari pekerjaan
• Riwayat pernikahan
Belum menikah
• Riwayat ibadah
Sering menghadiri pengajian
• Riwayat sosial
Suka bergaul
• Riwayat waktu luang
Bersih bersih rumah dan melakukan pekerjaan rumah
• Riwayat penggunaan zat aktif
Alcohol (-), NAPZA (-)
III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
A. Status Internistik
● Vital sign : Tidak dilakukan
● Head to toe : Tidak dilakukan
A. Status Neurologis
● GCS = E4 V5 M6 Compos Mentis
● Reflek Cahaya = Tidak dilakukan
● Reflek Fisiologis = Tidak dilakukan
● Reflek Patologis = Tidak dilakukan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
V. STATUS PSIKIATRI
1. Kesan Umum: Pasien Perempuan, wajah sesuai usia, berpenampilan rapi, memakai kacamata, kooperatif, baju lengan panjang berwarna
kuning, menggunakan masker berwarna hijau, celana jeans biru dan dengan alas kaki flat shoes
2. Kontak: Mata (+), Verbal (+) relevan dan lancar
3. Kesadaran: Jernih Orientasi: WTO +/+/+
4. Persepsi: Halusinasi (-), Ilusi (-)
5. Proses Berfikir:
● Bentuk pikir : Realistik
● Arus pikir : Relevan
● Isi pikir : Preokupasi
6. Afek/Mood
- Mood : Normotia
- Afek : Luas
- Keserasian : Serasi
7. Kemauan: Sosial baik, aktivitas baik
8. Psikomotor: Pasien kooperatif, kontak mata baik, tidak ada gerakan involunter, dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik
9. Tilikan
- Norma sosial : Baik - Uji daya nilai : Baik
- Penilaian realitas : Baik - Tilikan : 6 (Pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi
untuk mencapai perbaikan)
VI. GEJALA PSIKOPATOLOGI YANG MENONJOL
● Hiperaktivitas otonom atau jantung berdebar-debar
● Khawatir nasib buruk saat ini pasien takut meninggal
● Ketegangan motorik seperti sakit kepala yang hebat saat kambuh
VII. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh
Diagnosis banding : F41 Gangguan Ansietas Lainnya
F45 Gangguan Somatoform
VII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : F41.1 Gangguan cemas menyeluruh
Axis II : Ceria dan Semangat
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Masalah psikososisal & lingkungan lain
Axis V : GAF Scale 81 (Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian biasa)
VIII. RENCANA TERAPI
● Terapi Farmakologi : SSRI seperti Fluoxetin 1x20mg dan diberikan antidepresan seperti Alprazolam 2x0,25 mg.
● Terapi Non Farmakologi : Terapi spiritual mendalami ilmu agama dengan mengikuti pengajian, konseling
● Edukasi : Pikiran harus positif
● Monitoring : Gejala kecemasan, interaksi obat, efek samping obat
RESULT & DISCUSSION 1
Diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F1) dapat disingkirkan. Diagnosis
skizofrenia (F2) juga disingkirkan. Diagnosis gangguan mood (F3) juga disingkirkan.
Pada pasien, kecemasan muncul hampir setiap hari secara bervariasi setidaknya selama 1 tahun. Beberapa gejala
yang ada seperti kecemasan, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonomik, kewaspadaan kognitif,
kekhawatiran terhadap sesuatu hal yang tidak pasti, sulit berkonsentrasi, gelisah, kesulitan tidur, sering
berdebar tanpa sebab yang jelas, dan sakit kepala. Karena keluhannya ini sudah dirasakan sejak 1 tahun yang
lalu, maka dapat digolongkan sebagai gangguan cemas menyeluruh. Pasien juga mengaku kesulitan dalam
melakukan beberapa kegiatan atau pekerjaan sehari-harinya ketika terjadinya peningkatan kecemasan, akan tetapi
dia tetap berfungsi penuh secara sosial dengan baik ketika kecemasan itu tidak ada.
Pasien didiagnosis menggunakan sistem diagnostik multiaksial:
● Diagnosis aksis I ditegakkan berdasarkan anamnesis. Data ini menjadi dasar untuk mendiagnosis bahwa pasien menderita gangguan
cemas menyeluruh (F41.1), yaitu kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan
● Pada aksis II dari data anamnesis pasien tidak ditemukan gangguan kepribadian yang sifatnya mengganggu lingkungan, maka dari itu
dapat dituliskan deskripsi kepribadian pada aksis II yaitu ceria dan semangat. Pasien mampu menyelesaikan pendidikan sampai tamat
kuliah D1, sehingga hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental (F7). Pasien didiagnosis tidak memiliki gangguan kepribadian.
● Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Oleh karena itu, aksis III tidak ada diagnosis.
● Pada aksis IV, pasien memiliki permasalahan dalam hidupnya. Pasien sudah mulai merasakan keluhan tersebut sejak meninggalnya ayah
dari temannya akibat terinfeksi oleh virus Covid-19. Pasien merasa takut, karena pasien melakukan kontak fisik dengan ayah dari
temannya tersebut selama beberapa hari sebelumnya. Pasien mengatakan bahwa dirinya menjadi sering merasa ketakutan akan kematian.
● Pada aksis V, penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala Global Assessment of
Functioning (GAF). Pada saat dilakukan wawancara, didapatkan hasil skor GAF 81 (gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak
lebih dari masalah harian biasa).

Dapat diketahui bahwa pasien mengalami gangguan kejiwaan yaitu gangguan kecemasan menyeluruh. Diagnosis tersebut ditegakkan
sebagaimana Pedoman diagnostik untuk gangguan kecemasan menyeluruh menurut PPDGJ-III (F41.1) (Maslim, 2016).

Pemeriksaan penunjang yang mungkin dibutuhkan pada pasien gangguan cemas menyeluruh adalah EKG atau tes fungsi tiroid pada
pasien yang mengeluh berdebar-debar. (Redayanti, 2014).
Terapi Farmakologi :
Terapi Non Farmakologis :
Pada pasien juga dilakukan psikoterapi, yaitu Cognitive
• Obat anti depresan seperti SSRI  Fluoxetin
Behavioral Therapy (CBT). Terdapat beberapa metode CBT,
1x20mg
beberapa diantaranya, yakni:
• Obat anti ansietas seperti golongan
Benzodiazepin (Alprazolam 2x0,25 mg).
● Metode restrukturisasi (pasien dapat merestrukturisasi isi
pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran-pikiran negatif
yang dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang
dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran
positif),
● terapi relaksasi,
● terapi bernapas (pasien dapat mengontrol kadar kecemasan dan
mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi), dan
● terapi interocepative.

Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami


cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat
menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada
gangguan panik
(Mulugeta, 2018). (Karim & Sabrina, 2015).
Prognosis
Prognosis sulit diramalkan. Gangguan cemas menyeluruh pada pasien dapat berlangsung seumur hidup
(kronik), karena 25% pasien dengan gangguan cemas menyeluruh juga akan mengalami gangguan panik
dan menderita gangguan depresi berat. Namun, ada beberapa faktor yang meringankan kondisi pasien,
seperti dukungan keluarga, motivasi yang kuat (keinginan kuat untuk sembuh), dan tidak ada riwayat
keluarga (keluarga pasien tidak ada yang mengalami gangguan yang sama). Jika kondisi pasien menjadi
lebih ringan daripada sebelumnya, maka prognosis kondisi pasien adalah dubia ad bonam (Barlow,
2016).
RESULT & DISCUSSION 2
1. Penegakkan Diskusi
● Anamnesis
Seorang perempuan atas nama Ny. E berusia 36 tahun, datang ke RSI Jemursari pada hari selasa pada pukul 13.00 WIB. Pasien datang ke ruangan
diskusi clerk didampingi oleh dr. Azizah. Pasien berpenampilan wajar menggunakan kemeja, celana panjang jeans, menggunakan kacamata, dan
membawa tas selempang. wajah pasien sesuai dengan usia. Pada saat di Ruangan, pasien cenderung kooperatif dan komunikatif serta berkenan saat
dilakukan tanya jawab. Kontak mata dan verbal positif ketika dilakukan wawancara. Pasien menceritakan perjalanan penyakitnya dari awal hingga akhir.
Puncaknya saat pasien berkontak fisik dengan ayah teman pasien yang ternyata terdiagnosis COVID-19 sehingga pasien mengeluh jantung berdebar -
debar, sakit kepala, tangan dan kaki terasa lemas, sehingga hal itu sangat mengganggu pasien. Kondisi ini terus mengganggu pasien. Pasien merasa ada
yang aneh pada dirinya. Hal itu membuat pasien mengambil keputusan untuk pergi berobat ke puskesmas saat berobat, pasien dinyatakan normal.namun
tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa pasien mengidap penyakit tertentu. Pasien tidak percaya dan tetap meminta obat kepada pemeriksa. Pasien-
pun diberi obat paracetamol dan obat flu. Hari demi hari, keluhan awal pasien tidak kunjung sembuh. Pasien merasa perlu untuk pergi berobat kembali.
Pada pemeriksaan selanjutnya, pasien tetap dinyatakan normal dan hanya diberi obat paracetamol saja. pasien juga sempat berobat ke pengobatan
alternatif dan didiagnosis sebagai penyakt jantung, namun hal tersebut nyatanya tidak benar saat pasien berobat ke dokter spesialis jantung. Saat pasien
berobat ke poli jantung, pasien bercerita bahwa takut akan mati dan selalu ada pikiran yang aneh, namun tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa
pasien mengidap penyakit tertentu. Dari keluhan pasien yang bercerita takut mati dan ada selalu ada pikiran aneh, pasien akhirnya dirujuk ke poli
psikiatri, selama kontrol ke poli psikiatri awalnya pasien merasa kondisinya masih belum stabil, namun setelah 1 tahun berobat ke poli psikiatri, menurut
pasien keluhannya sekarang sudah sembuh sekitar 80 hingga 90%.
Dari keterangan pasien, pada keluarganya tidak ada yang mengalami keluhan yang sama. Saat ini pasien masih kontrol ke poli Jiwa dan sering pergi ke
tempat-tempat pengajian untuk meningkatkan spiritualitasnya. Pasien lulusan D1 Akuntansi. dan pernah bekerja di Dealer Honda. Status pernikahan
pasien belum menikah. Hubungan dengan ayah dan saudara perempuan terbilang kurang baik.
● Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dilakukan terhadap pasien.
2. Terapi

Farmakologi :
1. Obat anti depresan seperti SSRI, Fluoxetin 1x20mg
2. Obat anti ansietas seperti Benzodiazepin (Alprazolam 2x0,25 mg dan Clonazepam). Sindrom ansietas disebabkan oleh hiperaktivitas dari
sistem limbik SSP yang terdiri dari dopaminergic, noradrenergic, dan serotonergic neurons yang dikendalikan oleh GABA-ergic neuron.
Obat anti ansietas benzodiazepine yang berinteraksi dengan reseptornya akan memperkuat efek inhibisi dari GABA-ergic neuron, sehingga
hiperaktivitas tersebut mereda. (Apriansyah et al., 2015). Pengobatan bagi kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah
terapeutiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respons terapeutik (Astuti & Ruhyana, 2015).
Pada pasien juga dilakukan psikoterapi. Psikoterapi yang terpilih untuk gangguan ini seperti :
3. Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya, yakni metode restrukturisasi (pasien dapat
merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran-pikiran negatif
4. Mendalami spiritual dengan mengikuti pengajian maupun konseling.

3. Monitoring
● TTV
● Gejala pasien
● Kepatuhan minum obat
● Kesadaran umum
● Efek samping obat
(Karim & Sabrina, 2015).
4. Prognosis
Jika kondisi pasien menjadi lebih ringan daripada sebelumnya, maka prognosis kondisi pasien adalah dubia ad bonam (Barlow,
2016).

5. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Gangguan Kecemasan Pada Pasien


Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup
seseorang. Peristiwa- peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan.
● Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berpikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan
kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya. Dari dampak lingkungan itu sendiri berakibat
Ketakutan, kekhawatiran dan kegelisahan yang tidak beralasan pada akhirnya menghadirkan kecemasan, dan kecemasan ini tentu
akan berdampak pada perubahan perilaku seperti, menarik diri dari lingkungan, sulit fokus dalam beraktivitas, susah makan, mudah
tersinggung, rendahnya pengendalian emosi amarah, sensitive, tidak logis, susah tidur Kaplan, & sadock. (2010).
Ny. E 36 tahun datang ke RSI Surabaya Jemursari dengan keluhan dada
berdebar-debar. Keluhan ini muncul saat tingginya kasus kematian akibat COVID-19,
sehingga pasien merasa cemas. Keluhan ini diperberat sewaktu mengalami pikiran
aneh yang muncul tiba-tiba dan diperingan dengan rutin mengikuti pengajian.
Menurut pedoman PPDGJ-III, maka Ny.E di diagnosis dengan F.41.1 (Gangguan
Kesimpulan cemas menyeluruh). Pasien diberikan pengobatan psikofarmaka dengan pemberian
SSRI seperti Fluoxetin 1x20mg dan Alprazolam 2x0,25 mg. Selain itu, juga diberikan
terapi non-farmakologi seperti psikoterapi. Psikoterapi yang terpilih untuk gangguan
ini adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan mendalami spiritual dengan
mengikuti pengajian maupun konseling.
Daftar Pustaka
Apriansyah, Akbar. Siti, Romadoni. Desy, Andrianovita. (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Pre-Operasi Dengan
Derajat Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014. Jurnal Keperawatan
Sriwijaya, Volume 2 - Nomor 1.
Astuti, H. T. dan Ruhyana. (2015). Pengaruh Pemberian terapi relaksasi progresif terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi
di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. UNISA Digital.
Barlow, D. 2016. Intisari Psikologi Abnormal Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Deslina, S. (2021). Panik Neurosis dan Gangguan Cemas. Edisi Pertama.Tangerang: Jelajah Nusa
Idaiani, S., Raharni, & Isfandari, S. (2020). The Mental Emotional Disorder Pattern: Study of National Basic Health Research
2007, 2013, and 2018. Proceedings of the 4th International Symposium on Health Research (ISHR 2019), 22, 522–525.
https://doi.org/10.2991/ahsr.k.200215.100

Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis
Edisi ke-7Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15.
Daftar Pustaka
Karim, D., & Sabrina, F. (2015). Efektivitas terapi emotional freedom technique (EFT) terhadap kecemasan pasien kanker
payudara stadium II dan III. Jurnal Online Mahasiswa. ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015.
Mulugeta. (2018). Preoperative Anxiety And Associated Factors Among Adult Surgical Patients In Debre Markos And Felege
Hiwot Referral Hospitals, Northwest Ethiopia. BMC Anesthesiology Vol . 18:155.
Okta Diferiansyah. 2016. Gangguan Cemas Menyeluruh. Jurnal Medula Unila, Volume 5 Nomor 2
Prajogo, S. L., & Yudiarso, A. (2021). Metaanalisis Efektivitas Acceptance and Commitment Therapy untuk Menangani Gangguan
Kecemasan Umum. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 26(1), 85-100.
Redayanti P. Gangguan Cemas Menyeluruh. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G (ed). Buku Ajar Psikiatri. Ed 2. 2014. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Vildayanti, H., Puspitasari, I. M., & Sinuraya, R. K. (2018). Farmakoterapi Gangguan Anxietas. Farmaka, 16(1), 196-213.
Kaplan, & sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis (Concise Textbook Of Clinical Psychiatry). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai