Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis:
Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak,
sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar
dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum
yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-
lembaga negara.
Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.
Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu
benar-benar hidup dalam masyarakat.
1. IR. Soekarno
Menurut Soekarno, filsafat Pancasila merupakan filsafat asli dari Indonesia
yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India
(Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam).
2. Soeharto
Filsafat Pancasila mulai mengalami perubahan, melalui para filsuf yang lahir
dari Depdikbud. Semua elemen Barat disingkirkan dan diganti dengan
interpretasi dalam budaya Indonesia (Pancasila truly Indonesia).
4. Notonagoro
Notonagoro mengatakan bahwa filsafat Pancasila memberikan
pengetahuan dan pengertian ilmiah mengenai hakikat Pancasila.
Menurutnya, secara ontologi, kajian Pancasila sebagai filsafat
dimaksudkan untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila yang
terkandung di dalam Pancasila.
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai
untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai
“keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya
sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian
( Frankena, 229).
Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut. Pada era
pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis
Soekarno atas rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut
dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan yang positif dari berbagai
kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama, persisnya pada 1 Juni 1945.
Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih
merupakan adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan
bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa
Indonesia.
Pancasila menjadi penataran P-4. Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem
filsafat kurang terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat
bergema dalam wacana akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan
oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa:
“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi
relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari
memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip,
dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah
denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi
dan kebebasan berpolitik”