Anda di halaman 1dari 25

HIV – AIDS

Bahan disusun dari berbagai sumber

Dr. dr. Harimat Hendarwan, M.Kes


Target pengendalian HIV/AIDS

Pencapaian eliminasi HIV AIDS yang telah disepakati di tingkat global bahwa pada tahun 2030: 95-95-
95 (95% ODHA mengetahui status; 95% dari ODHA yang mengetahui status mendapatkan pengobatan;
95% dari ODHA yang diobati virusnya tersupresi).

Sejalan dengan target global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030, maka Indonesia telah
menetapkan untuk mencapai 90-90 -90 dan three zero/3.0 HIV AIDS dan PIMS pada tahun 2020-2024
Three zeros: zero new HIV infections, zero AIDS-related deaths and zero discrimination

Target dampak (impact) 2024 :


1. Infeksi baru HIV berkurang menjadi 0,18 per 1000 penduduk
2. Infeksi baru HIV dan Sifilis pada anak mencapai kurang dari atau sama dengan 50/100.000 pada
tahun 2022
3. Infeksi Sifilis menjadi 5,3 per 1.000 penduduk tidak terinfeksi atau penurunan 30% di tahun 2024
• Epidemi HIV mengalami penurunan sekitar 33%
Situasi Epidemi Global sampai dengan 2019 sejak 2001.
• Kematian yang dikaitkan dengan AIDS menurun
Estimasi prevalensi HIV pada penduduk 15 tahun ke atas menurut Negara
tahun 2018 sampai 30% sejak 2005
• Kematian yang dikaitkan dengan TBC, juga
menurun sampai 30% sejak 2004. Kematian
terkait AIDS menurun dari puncaknya pada 2004
dengan 1,7 juta kematian terkait AIDS per tahun
menjadi 770 ribu kematian terkait AIDS pada
2018
• Data WHO menunjukkan pada akhir tahun 2018
terdapat 23,3 juta penderita HIV yang sudah
menerima pengobatan ARV. Peningkatan dari 7,7
juta pada tahun 2007 dan 17 juta pada tahun
2015.12
• Peningkatan proporsi ODHA yang mendapatkan
ARV dari 48% (tahun 2015) menjadi 62% (tahun
2018
• Pengendalian HIV dan AIDS di Asia Pasifik:
menurunkan infeksi baru HIV sampai dengan 9%
sejak 2010. Peningkatan cakupan pengobatan
ARV dari 42% (tahun 2015) menjadi 54% (tahun
2018). Kematian yang dikaitkan dengan AIDS
Sumber: UNIADS, AIDS Info, dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS diperkirakan menurun sampai 200.000 orang
di Indonesia Tahun 2020 - 2024 atau menurun dari 240.000 orang pada 2015.). 1
Situasi Epidemi Indonesia
Distribusi Proyeksi Jumlah ODHA tahun 2020

• Diperkirakan terdapat 543.100 orang dengan


HIV dan AIDS (ODHA) di tahun 2020. Hingga
akhir tahun 2019 dilaporkan 377.564 ODHA
mengetahui statusnya terinfeksi HIV dan
127.613 ODHA (23,5% dari total estimasi
ODHA tahun 2020) sedang dalam pengobatan
ARV.
• Prevalensi HIV di Indonesia adalah 0,26%
pada populasi dewasa lebih dari 15 tahun
terkecuali di Tanah Papua yang mempunyai
epidemi meluas tingkat rendah dengan
prevalensi 1,8%.

Sumber: Laporan Pemodelan Epidemi dan SIHA, Kemenkes 2020, dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan
dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia Tahun 2020 - 2024
ESTIMASI DAN PROYEKSI JUMLAH ODHA DAN INFEKSI BARU 15
TAHUN KE ATAS DI INDONESIA TAHUN 2005 - 2024 Estimasi dan Proyeksi Infeksi baru HIV pada populasi 15 tahun ke
atas di Indonesia tahun 2005 - 2024
Estimasi dan Proyeksi jumlah ODHA 15 tahun ke atas di Indonesia
tahun 2005 - 2024

Sumber: Laporan Pemodelan Epidemi dan SIHA, Kemenkes 2020, dalam Rencana Aksi
Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia
Sumber: Laporan Pemodelan Epidemi dan SIHA, Kemenkes 2020, dalam Rencana Aksi Tahun 2020 - 2024
Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia
Tahun 2020 - 2024 jumlah infeksi baru HIV pada populasi berusia 15 tahun keatas di Indonesia
diperkirakan akan terus menurun setelah mencapai puncaknya pada tahun
Hasil pemodelan dengan Asian Epidemic Model (AEM), menunjukkan 70% dari 2018-2019. Populasi perempuan bukan populasi kunci tahun 2020-2024
jumlah ODHA berasal dari bukan populasi kunci (non key population). (35.400; 35% dari total proyeksi infeksi baru), populasi LSL (35.200; 35%),
Penemuan kasus untuk mencari 70 % bukan populasi kunci akan dilakukan Pelanggan Pekerja Seks (14.000; 14%), laki-laki bukan populasi kunci (11.900;
pada sarana kesehatan terutama pada ibu hamil, penderita TBC, penderita 12%); WPS (3.400; 3%), Penasun (1.400; 1%) dan Waria (500; 0,5%)
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ( STBP)
Surveilans Sentinel HIV (SSH) dan survei cepat perilaku (SCP)

PENGGUNA NAPZA SUNTIK (PENASUN)

Prevalensi HIV pada Pengguna Napza Suntik (penasun) menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007
menjadi 13,6% di tahun 2018/19.
Penurunan prevalensi HIV tersebut ditemukan di:
1. Kota Medan dari 56% (2007) menjadi 15,79% pada 2015,
2. DKI Jakarta dari dari 55% (2007) menjadi 43,6% (2015)
3. Bandung dari 43% (2007) menjadi 2,7(2018-19)
4. Malang dari 36,4% (2011) menjadi 28,4% (2015)
5. Surabaya dari 56% (2007) menjadi 35,60% (2015)

Sebaliknya terjadi peningkatan prevalensi di Semarang dari1,18% (2011) menjadi 4,88% (2015)
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ( STBP)
Surveilans Sentinel HIV (SSH) dan survei cepat perilaku (SCP)

Laki-laki Suka Berhubungan Sex dengan Laki-laki


Prevalensi HIV pada LSL menunjukkan peningkatan prevalensi.
Data tahun 2007 menunjukkan prevalensi 5,3% dan STBP terakhir menunjukkan prevalensi 17,9 %

Waria
Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria mengalami
penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19%.
STBP 2018 menunjukkan prevalensi 11,9%. STBP 2018 juga menunjukkan peningkatan akses layanan
untuk tes HIV.

Wanita Penjaja Seks


STBP 2015 menunjukkan variasi prevalensi Wanita Pekerja Seksual langsung (WPSL) mulai dari 2% di
Deli Serdang hingga 15,2 % di Surabaya Data STBP 2018 – 2019 menunjukkan prevalensi HIV pada
Wanita Pekerja Seksusal (WPS) adalah 2,1 %. Angka prevalensi tersebut merupakan agregat dari WPSL
dan WPSTL. Prevalensi HIV pada WPS, berdasarkan data STBP 2018 – 2019, tertinggi didapat pada
Kota Jayapura dan Kab Gianyar yaitu masing masing sebesar 5,1% dan 6,1 %
Kejadian HIV berdasarkan Populasi Kunci
Proporsi Kejadian HIV Berdasarkan Populasi Kunci

Kelompok ibu hamil


Pada tahun 2019, hanya 45,10% ibu hamil yang
menjalani skrining HIV dengan positivity rate HIV
0,27%.
Dari 5.256.483 ibu hamil di Indonesia, diperkirakan
terdapat 14.278 ibu hamil HIV;
Ibu hamil yang menjalani skrining SIfilis hanya 8,05%
dengan positivity rate 1,17%.
Dari seluruh ibu hamil diperkirakan terdapat 61.296
ibu hamil dengan sifilis. Pengobatan ARV pada ibu
hamil dengan HIV hanya mencakup 30,35%,

Sumber: Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia
Tahun 2020 - 2024
Tanah Papua (1)

• Strategi khusus untuk Tanah Papua, karena mempunyai situasi epidemi yang berbeda,
• Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia 15-49 tahun di Tanah Papua, 2,3%
populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2% pada perempuan.
• Terdapat hubungan yang signifikan antara sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, infeksi HIV
terjadi pada 2,4% laki-laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki laki yang di sirkumsisi.
• Pada populasi perempuan, asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang
melakukan hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan 2,2%
perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya.
• Tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013 (2,3%)
Hasil STBP tahun 2013 juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah
Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu tahun terakhir,
termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada laki-laki sebesar 12,7% dan
perempuan 3,6%.
Tanah Papua (2)

• Penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan
signifikan dari 14,1% (STBP 2006) menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya
peningkatan perilaku seks yang aman.
• Pada tahun 2019 di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), pelayanan pemeriksaan
HIV pada ibu hamil mencakup 42,90% dengan positivity rate 1,07% sehingga diperkirakan terdapat
1.100 Ibu hamil HIV dari seluruh ibu hamil yang diestimasikan tahun 2019 sebanyak 102.508.
• Pengobatan ARV bagi ibu hamil dengan HIV sebesar 37,92%, sehingga kemungkinan bayi lahir dari
ibu HIV akan terinfeksi HIV sebanyak 920 anak.
Program Pencegahan

• Salah satu kegiatan upaya yang dilakukan dalam pengendalian HIV adalah program
pencegahan baik untuk populasi umum maupun populasi kunci yang meliputi: peningkatan
pengetahuan tentang HIV dan AIDS, penggunaan kondom, layanan alat suntik steril (LASS),
pemberian terapi rumatan metadon (PTRM), pre-exposure prophylaxis (PrEP, PEP dan
peningkatan akses pengobatan sebagai bagian dari pencegahan
• Program perbaikan akses jarum suntik bagi populasi kunci penasun juga telah menunjukkan
hasil positif. Program layanan alat suntik steril (LASS) saat ini sudah tersedia di 194
layanan yang tersebar di 19 provinsi dan 72 kabupaten/kota. Selain itu, data dari STBP
2018-2019 menunjukkan 37,6% penasun sudah memperoleh alat suntik dari toko obat/alat
kesehatan dan 45,3% lagi sudah memperoleh jarum dari LASS. Terdapat 92 layanan
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dengan 1.054 pasien aktif hingga akhir 2018
Penggunaan kondom
Penggunaan kondom oleh kelompok LSL

Penggunaan kondom pada kelompok penasun

Persentase penggunaan kondom oleh WPS

Sumber: Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian


HIV AIDS dan PIMS di Indonesia Tahun 2020 - 2024
Layanan Diagnosis, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV
Kaskade Tes dan Pengobatan HIV

• Pemanfaatan layanan tes HIV yang meningkat.


• Terjadi peningkatan pada populasi kunci, waria
45% menjadi 54%, WPSL 54% menjadi 67%,
WPSTL 31% menjadi 42%, penasun 40%
menjadi 54%, LSL 25% menjadi 38% (STBP
2009 dan STBP 2013). Kaskade Pengobatan HIV 2015 - 2019
• Pada STBP 2018, proporsi populasi kunci yang
pernah memanfaatkan layanan tes HIV adalah
72% pada waria, 59% pada LSL, 42% pada WPS,
dan 67,3% pada penasun.
Pencegahan Penularan HIV melalui Ibu ke Anak (PPIA)

• Berdasarkan hasil analisis proyeksi, prevalensi ibu hamil yang positif cenderung
meningkat dari 0,34% pada tahun 2011 menjadi 0,49% di tahun 2016 (Estimasi
2012).
• Data PPIA tahun 2015 yang menemukan proporsi kasus positif adalah 0,6% dari ibu
hamil yang diperiksa.
• Estimasi dan proyeksi 2015-2019; prevalensi HIV pada ibu hamil sebesar 0,31%.
• Dengan meningkatnya jumlah perempuan usia reproduktif yang terinfeksi HIV, maka
penularan HIV dari ibu ke anak akan cenderung meningkat jika upaya pencegahan
tidak dipercepat dan diperluas.
• Cakupan testing HIV diantara ibu hamil (45,39 %)
• Pengobatan HIV pada kelompok ibu hamil: 30,35% mendapatkan ARV
Ko-infeksi Tuberkulosis dan Pengobatan Pencegahan
dengan INH (IPT- Isoniazid Preventive Therapy)

• Indonesia memiliki beban TBC yang tinggi di populasi umum dan TBC menjadi
infeksi oportunistik paling umum pada ODHA.
• Kegiatan TB/HIV belum berjalan dengan baik meskipun sudah ada peraturan yang
mempromosikan kegiatan kolaboratif TB/HIV.
• Hasil kolaborasi TB/HIV menunjukkan lebih dari 80% ODHA yang mengetahui status
HIV-nya sudah diskrining TBC
• Di antara ODHA dengan TBC, lebih dari 85% telah menerima terapi TBC standar
• 52% pasien TBC yang sudah dites HIV.
• Hanya 48% diantara pasien TBC dengan hasil tes HIV positif menginisiasi ART
• Hanya 32% pasien TB/HIV menerima profilaksis kotrimoksazol.
• Implementasi Terapi Pencegahan TBC (TPT) pada ODHA sangat rendah (12%).
Kesenjangan utama dalam pencapaian pengakhiran epidemi HIV
di tahun 2030 melalui fast track 95-95-95 (1)

• Kesenjangan dalam tes HIV, Pada STBP 2018-2019 proporsi populasi kunci yang pernah
memanfaatkan layanan tes HIV adalah 72% pada waria, 59% pada LSL, 42% pada WPS, dan 67,3%,
sementara pada pelanggan hanya 7,8% yang pernah melakukan tes HIV. Pemanfaatan layanan tes
masih rendah terutama pada kelompok pelanggan.
• Kesenjangan dalam penemuan kasus baru HIV, berdasarkan jumlah estimasi ODHA di Indonesia
pada tahun 2019 maka 31% ODHA belum mengetahui statusnya, diperlukan upaya masif untuk
meningkatkan temuan kasus. Berdasarkan estimasi ODHA tahun 2019, 79% ODHA bukan berasal dari
populasi kunci. Upaya menemukan kasus baru ini juga harus menyasar kelompok non populasi kunci
dengan pendekatan yang lebih inovatif.
• Meskipun tidak ada laporan yang komprehensif terkait keterlambatan penemuan kasus HIV, tetapi
berdasarkan beberapa hasil penelitian terbaru maka dapat dikatakan terdapat kesenjangan dalam
menemukan kasus HIV sedini mungkin. Ini berkaitan dengan masih rendahnya persepsi terhadap
risiko terutama pada kelompok non populasi kunci dan belum terintegrasinya tes HIV ke dalam
deteksi dini penyakit menular di level layanan baik primer maupun sekunder.
• Kesenjangan dalam mempertahankan pengobatan. Hanya kurang lebih 50% ODHA yang memulai
pengobatan bertahan dalam pengobatan.
Kesenjangan utama dalam pencapaian pengakhiran epidemi HIV
di tahun 2030 melalui fast track 95-95-95 (1)

• Kesenjangan dalam pemeriksaan VL. Meskipun program Global Fund telah membantu pemeriksaan
VL tetapi dalam prakteknya jumlah mereka yang telah mendapatkan pemeriksaan VL masih sangat
rendah.
• Kesenjangan dalam infrastruktur pelayanan HIV AIDS baik dari segi logistik obat dan perbekalan
kesehatan maupun dari sisi kuantitas dan kapasitas sumber daya manusia pelaksana program dan
layanannya.
• Kesenjangan dalam modalitas pencegahan penularan IMS dan HIV AIDS pada populasi kunci. Masih
belum bergerak majunya angka pemakaian kondom pada terutama WPS dan LSL serta belum
digunakannya modalitas pencegahan lain seperti PrEP maka masih terdapat pekerjaan rumah yang
besar dalam pencegahan HIV melalui transmisi seksual terutama pada populasi berisiko tinggi.
• Kesenjangan dalam pembiayaan penjangkauan populasi kunci yang masih bergantung sepenuhnya
pada mitra pembangunan internasional
• Kesenjangan pada pengelolaan informasi kesehatan terkait HIV AIDS termasuk penelitian yang
dilakukan berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti, tidak
hanya di level nasional tetapi justru di tingkat daerah otonomi
Dasar kebijakan utama RAN Pencegahan dan Pengendalian
HIV AIDS 2020-2024 (Permenkes No. 21 tahun 2013)

• Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional,
regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia;
• Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
• Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
• Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta
berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;
• Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil,
perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan;
• Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
• Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam
penanggulangan HIV dan AIDS;
• Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta
menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS;
• Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasil
guna.
Target utama Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS 2024
6 strategi nasional pencegahan dan pengendalian HIV AIDS
dan PIMS menuju fast track 95-95-95

• Penguatan komitmen dari kementerian/lembaga yang terkait di tingkat pusat,


provinsi dan kabupaten/kota;
• Peningkatan dan perluasan akses masyarakat pada layanan skrining, diagnostik dan
pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang komprehensif dan bermutu;
• Penguatan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan PIMS berbasis
data dan dapat dipertanggungjawabkan;
• Penguatan kemitraan dan peran serta masyarakat termasuk pihak swasta, dunia
usaha, dan multisektor lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional;
• Pengembangan inovasi program sesuai kebijakan pemerintah;
• Penguatan manajemen program melalui monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut.
Tujuan Khusus RAN

• Mengurangi insidensi HIV pada tahun 2024 (Baseline 2018 = 0,24/1.000 penduduk)
• Meningkatkan proporsi ODHA yang mengetahui status HIV mereka menjadi 90%
Tahun 2024
• Meningkatkan proporsi ODHA yang menerima terapi pengobatan ARV menjadi 70%
dan memastikan kepatuhan mereka untuk menjamin keberhasilan menekan jumlah
virus di dalam darahnya di tahun 2024
• Meningkatkan akses cakupan pemeriksaan viral load ODHA on ARV menjadi 75%
tahun 2024
• Mengurangi infeksi baru HIV dan Sifilis, dan Hepatitis B pada anak
• Menurunkan diskriminasi terhadap ODHA dan populasi terdampak hingga 60% pada
tahun 2024
NOTIFIKASI PASANGAN DAN ANAK

• Dalal, Shona, Johnson C, et. Al. (2017): Positivity rate pasangan ODHA 20-72%.
• Kamboja dan Vietnam pilot implementasi notifikasi pasangan tahun 2014-2017, tes pada pasangan
menghasilkan positivity rate sebesar 7.5% dan 42% dari pasangan yang dites.
• Hasil uji coba implementasi notifikasi pasangan di 60 layanan kesehatan di DKI Jakarta sejak
Januari – September 2019 menunjukkan angka positivity rate sebesar 18%. Hasil uji coba pada 18
layanan di Denpasar sejak Januari sampai Juni 2019 menghasilkan angka positivity rate 30%.
• Hasil uji coba implementasi notifikasi pasangan di komunitas yang telah berjalan sejak September
sampai November 2019 di 5 kota (Jakarta, Surabaya, Makasar, Bali, Denpasar) menunjukkan angka
positivity rate yangmencapai 27,5% pada suami/istri dan anak biologis dari ODHA serta mitra seks
perempuan dari kelompok ODHA LSL. Sementara itu, hasil uji coba implementasi pada kelompok
ODHA LSL dengan mitra seks laki-laki di 5 kota di DKI Jakarta dari Juli sampai September 2019,
ditemukan angka positivity rate 24,2%
• Berpusat dan berfokus pada pasien: Layanan tes indeks harus berfokus
Prinsip Notifikasi pada kebutuhan dan keselamatan Pasien indeks dan (para) pasangan
serta anak (-anak)-nya. Pasien memilih metode yang paling tepat dan
tingkat pengungkapan status (misalnya, mengungkapkan status
sepenuhnya hingga tidak mengungkapkan status sama sekali) untuk
memberitahu setiap pasangan berdasarkan keadaannya masing-masing.
• Konfidensial: Identitas dan status HIV pasien indeks tidak boleh
diungkapkan kepada tes indeks dan sebaliknya (kecuali mendapat
persetujuan tertulis dari pasien indeks yang tercatat di rekam medis
pasien indeks).
• Sukarela: Layanan notifikasi pasangan bersifat sukarela, tidak memaksa.
• Tidak menghakimi: Layanan notifikasi pasangan harus disampaikan
dengan cara yang tidak menghakimi, bebas dari stigma atau diskriminasi.
• Tepat budaya dan bahasa: Layanan notifikasi pasangan dirancang sesuai
dengan konteks budaya dan bahasa yang dipahami oleh pasien.
• Dapat diakses dan tersedia bagi semua: Layanan notifikasi pasangan
harus tersedia bagi semua pasien indeks di manapun mereka
mendapatkan perawatan HIV.
• Komprehensif dan terintegrasi: Layanan notifikasi pasangan adalah
bagian dari prosedur rutin yang terdapat di layanan PDP dan mencakup
Sumber: Kemenkes, 2020, Petunjuk Teknis Notifikasi
rujukan dan keterkaitan yang kuat dengan layanan pengobatan dan
Pasangan dan Anak di Indonesia, Pencegahan pencegahan HIV termasuk layanan pengaduan akibat kekerasan dalam
dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS rumah tangga (KDRT)
Isu Konfidensialitas dalam notifikasi

• Konfidensialitas adalah perlindungan informasi pribadi.


• Informasi pribadi yang harus dijaga atau dilindungi kerahasiaannya mencakup:
• informasi spesifik yang memungkinkan orang lain untuk mengidentifikasi pasien indeks seperti nama,
tempat dan tanggal lahir, alamat, dan nomor telepon;
• diagnosis dan rencana pengobatan pasien HIV;
• informasi yang ditemukan dalam wawancara dan/atau pemeriksaan klinis.
• Penting untuk meyakinkan pasien indeks bahwa informasi yang diungkapkan akan terjaga kerahasiaannya.
• Informasi hanya dapat diungkapkan jika mendapat persetujuan pasien indeks. Konfidensialitas pasien indeks,
pasangan, dan anak biologis yang dijamin melalui:
• informasi dan data layanan tes indeks harus disimpan dalam tempat yang aman;
• data elektronik harus disimpan dengan aman, hanya petugas tertentu yang dapat mengakses dan
menggunakan kata sandi;
• konfidensialitas dapat dibuka antar petugas kesehatan dalam fasyankes atau antar fasyankes untuk
kepentingan pasien;
• fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan komunitas yang memiliki perjanjian kerjasama dapat berbagi
informasi terkait kepentingan pasien atas persetujuan pasien dengan menjaga konfidensialitas.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai