Secara bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy
yang berarti “lemah”, maka sebutan haditsdhaif dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Hadits dha’if sebagai hadits terendah dan terlemah kedudukannya adalah lantaran tidak memenuhi kriteria hadits yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Karena itulah hadits dha’if didefinisikan sebagai hadits tidak meliputi kriteria hasan dan shahih, baik dilihat dari segi matan atau sanad. Pembagian
Dalam hadits dhaif, ada dua pembagian besar yang
dilakukan oleh para ulama. Pembagian ini didasarkan pada sebab-sebab suatu hadits dihukumi dhaif (lemah), yaitu: pertama, karena terputusnya sanad (al-mardûd bi sabab saqtun fi al-isnad) dan kedua, karena cacatnya rawi (al-mardûd bi sabab ṭaʽn fi ar-rawi). (Lihat: Mahmûd al-Ṭaḥḥân, Taysîr Muṣṭalah al-Ḥadîts, [Riyadh: Maktabah Maarif, 2010], h. 76-155.) Pembagian
Kategori sebab yang pertama yakni terputusnya sanad,
memunculkan berbagai pembagian dalam hadits dhaif, seperti: Muallaq, Mursal, Muʽdhal, Munqathi, Mudallas, Muʽanʽan dan Mursal Khafi. Sedangkan kategori kedua, yaitu karena cacatnya perawi yang meriwayatkan hadits tersebut, juga memunculkan berbagai pembagian, yaitu Maudhu (palsu), Mungkar, Ma’ruf, Syadz, Muallal, Mukhalafah li as-Siqqah, Mudraj, Muththarrib, Maqlub, dan beberapa jenis yang lain. Pembagian
Kategori sebab yang pertama yakni terputusnya sanad,
memunculkan berbagai pembagian dalam hadits dhaif, seperti: Muallaq, Mursal, Muʽdhal, Munqathi, Mudallas, Muʽanʽan dan Mursal Khafi. Sedangkan kategori kedua, yaitu karena cacatnya perawi yang meriwayatkan hadits tersebut, juga memunculkan berbagai pembagian, yaitu Maudhu (palsu), Mungkar, Ma’ruf, Syadz, Muallal, Mukhalafah li as-Siqqah, Mudraj, Muththarrib, Maqlub, dan beberapa jenis yang lain. Pembagian Ada beberapa sebab terjadinya daif dalam kategori kedua ini: Pertama, sering berbohong (muttaham bi al-kadzab): yakni rawi tersebut diketahui sering berbohong dalam ucapannya sehari- hari tetapi tidak diketahui apakah ia berbohong atau tidak dalam meriwayatkan hadits. Konsekuensi dari sebab ini adalah menjadikan hadits yang diriwayatkan menjadi hadits matruk. Kedua, fasiq: perawi tersebut pernah melakukan suatu dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil. Ketiga, pelaku bid’ah: rawi melakukan bid'ah, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Keempat, tidak dikenali (jahâlah al-ʽain): perawi tidak dikenal atau tidak diketahui perilakunya. Pembagian Empat sebab yang telah disebutkan di atas merupakan sebab kecacatan rawi dalam segi ʽadalah (keadilan). Sedangkan sebab berikut adalah sebab kecacatan rawi dalam segi kedhabitan: Pertama, sering melakukan kesalahan (fahsy al-ghalaṭ): Hafalan sangat buruk, lebih banyak salah daripada benarnya dalam meriwayatkan hadits Kedua, sering lupa (ghaflah) Ketiga, jelek hafalannya (sû’ al-ḥifdz): Jeleknya hafalan rawi sehingga ia sering salah dalam dalam meriwayatkan hadits. Keempat, ragu-ragu (wahm): Rawi sering salah sangka dalam periwayatan, semisal mengira atsar yang mauquf menjadi hadits marfu', mengira hadits munqathi' adalah muttasil. Kelima, berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya (mukhalafah al-tsiqqah). (Lihat: Mahmûd al-Ṭaḥḥān, Taysîr Muṣṭalah al- Ḥadîts, [Riyadh: Maktabah Maarif, 2010], h. 76-155.)