Anda di halaman 1dari 11

KONTROL KUALITAS SIMPLISIA

( LANJUTAN)
NAMA KELOMPOK:
1. SYAH SURYA ANAK AMPUN (2102021018)
2. ZUHRI FAHREZI (2101021025)
3. MURSAL (2101021010)
4. PANDI AHMAD KALOKO (2101021012)

DOSEN PENGAMPU: apt. RUTH MAYANA RUMANTI S.Farm,. M.Si


DEFINISI KONTROL KUALITAS SIMPLISIA

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan


dalam proses standarisasi suatu simplisia. Parameter
standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan
spesifik Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor
lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan
parameter spesifik terkait langsung deng sebuah senyawa
yang ada di dalam tanaman.
PENENTUAN RENDEMEN DALAM SIMPLISIA

Rendemen merupakan perbandingan berat ekstrak yang dihasilkan


dengan berat simplisia sebagai bahan baku. Semakin tinggi nilai
rendemen menunjukkan bahwa ekstrak yang dihasilkan semakin besar.

Perhitungan rendemen

%Rendemen = bobot ekstrak kental (gr) X 1OO%


bobot simplisia awal (gr)
PRINSIP PENGEMASAN SIMPLISIA

1. Wadah simplisia harus tidak beracun,inert sehingga


tidak menyebabkan bau, rasa dan warna.
2. Wadah harus dapat melindungi simplisia yang disimpan.
3. Melindungi simplisia baik dari pencemaran maupun
pengaruh lingkungan yang dapat menurunkan kualitas.
4. Simplisia yang tidak tahan sinar, misal yang
mengandung vitamin, pigmen, minyak perlu wadah
aluminium foil, plastik atau botol yang gelap
5. 5.Wadah yang sering digunakan : Karung, Kantong
plastik, Kantong kertas kedap udara, peti, drum
kaleng/besi berlapis, karton, peti kayu, botol/guci
PRINSIP KLT UNTUK KADAR AFLATOKSIN

Aflatoksin adalah senyawa organik hasil metabolisme


sekunder dari jamur Aspergillus sp, yang mempunyai sifat
toksik (racun) bagi kesehatan manusia atau hewan. 
Aflatoksin dapat menimbulkan kelainan hati pada hewan
dan manusia. Menurut Manik (2003), aflatoksin memiliki
sifat khas, yaitu menunjukkan fluoresensi jika terkena sinar
ultraviolet, sehingga sifat tersebut dapat digunakan untuk
uji kualitatif maupun penetapan kadar secara kuantitatif.

Uji aflatoksin adalah uji kualitatif untuk mengetahui ada


tidaknya aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dalam simplisia.
LANJUTAN…

Kadar aflatoksin adalah jumlah aflatoksin pada simplisia yang


dikeringkan ditetapkan dengan satuan ppb, yang diperoleh
dengan metode densitometri.

Identifikasi aflatoksin
Sampel yang sudah dielusi dalam kolom dilarutkan dengan 0,5 ml
metanol. Sampel kemudian ditotolkan pada plat silica sebanyak 5
bercak. Standar aflatoksin dan standar kurkumin juga ditotolkan
pada plat silica. Sampel yang sudah ditotolkan kemudian
dimasukkan ke dalam chamber KLT, dikembangkan sampai jarak
perambatan eluen mencapai 10 cm dari penotolan. Plat KLT
kemudian diambil dan dikeringkan. Bercak yang terbentuk
dideteksi menggunakan sinar UV 254 nm dan 365 nm. Apabila
bercak yang dihasilkan oleh sampel mengandung warna biru, hal
tersebut menandakan bahwa sampel mengandung aflatoksin.
Lanjutan…

Penetapan kadar aflatoksin


Penetapan kadar aflatoksin dilakukan dengan menggunakan
metode spektrodensitometri in situ, lempeng KLT yang
sudah dielusi diproses sehingga melalui bercak elusi
aflatoksin dapat ditetapkan kadar aflatoksin dalam simplisia
METODE YANG UMUM DIGUNAKAN UNTUK
MENGANALISIS AFLATOKSIN

1. Kromatografi Lapis Tipis Densitometri (KLT Densitometri)


KLT densitometri merupakan metode analisis yang masih
dimanfaatkan hingga saat ini. Analisis aflatoksin dilakukan
menggunakan fase diam lempeng KLT silica gel 60 F254 ukuran 20
10 cm dengan fase gerak kloroform-etil asetat (7:3). Deteksi dan
kuantitasi dilaksanakan menggunakan alat pemindai KLT
densitometri, detektor fluoresensi, pada panjang gelombang
eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm. Metode ini
mempunyai batas deteksi (limit of detection, LOD) untuk
aflatoksin B1 sebesar 9,62 pg dan untuk aflatoksin G1 sebesar
10,9 pg.
2. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Analisis aflatoksin dengan KCKT dilakukan dengan menggunakan
sistem KCKT fase terbalik dengan kondisi sebagai berikut: kolom
silika yang terikat dengan C-18 panjang 15 cm, fase gerak air-
metanol-asetonitril (50:40:10), kecepatan alir 0,8 ml/menit, suhu
ruang, volume injeksi 10 µl pada konsentrasi 0,044 mg/ml, dan
detektor fluoresensi. Panjang gelombang eksitasi maksimum dan
panjang gelombang emisi untuk detektor fluoresensi adalah 365
nm dan 455 nm.
3. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan
antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan padat dengan
menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim.
Hasil dari ELISA adalah suatu warna sebagai hasil reaksi antara enzim
dan substrat. Warna yang dihasilkan dapat diidentifikasi secara kasat
mata dan dibaca secara kuantitatif menggunakan ELISA plate reader
atau spektrofotometer kanal ganda
TERIMAKASIH…..

Anda mungkin juga menyukai