Anda di halaman 1dari 48

PRAPERADILAN DAN

PERKARA KONEKSITAS
Oleh:
Prof. Dr. Maidin Gultom, SH., MHum.

PKPA-HK LAW EDUCATION CENTRE


MEDAN
2022

1
Praperadilan:

Secara harfiah, pra berarti sebelum, dan


peradilan berarti proses pemeriksaan perkara
dipengadilan.

Praperadilan berarti sebelum proses


pemeriksaan perkara didepan pengadilan.

Hal-hal yang dibicarakan didalam praperadilan


belum mengyangkut pokok perkara.

2
Pasal 1 :10 KUHAP:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri


untuk memriksa dan memutuskan cara yang diatur
dalam undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan


atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan


atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan

3
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh
tersngka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
kepengadilan

Praperadilan dimaksudkan sebagai pengawasan


horizontal oleh hakim terhadap pelaksanaan tugas
penyidik dan penuntut umum, terutama mengenal
pelaksanaan tindakan/upaya-upaya paksa.

Praperadilan bertujuan untuk menempatkan


pelaksanaan hukum pada proporsi yang
sebenarnya demi terlindunginyua hak asasi
manusia, khususnya hak asasi tersangka atau
terdakwa pada pemeriksaan di tingkat penyidikan
dan penuntutan.

4
2. Subyek Praperadilan

a. Pasal 79 KUHAP:
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga
atas kuasanya

Diajukan kepada ketua PN dengan menyebutkan alasannya.

b. Pasal 80 KUHAP:
permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan

Diajukan kepada Ketua PN dengan menyebutkan alasannya.

5
c. Pasal 81 KUHAP:
permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnaya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan

Diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan

Diajukan kepada ketua PN dengan menyebutkan alasannya.

d. Pasal 95 KUHAP:
(1) tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan
tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditepkan;

(2) tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau karena kekelituan mengenai orangnya atau hukum
yang ditepkan;

6
Dari ketentutan pasal 79, 80, 81 dan 95
KUHAP di atas dapat diketahui:

Bahwa subyek praperadilan atau


orang-orang yang dapat mengajukan
tuntutan praperadilan itu dapat
digambarkan sebagai berikut :

7
Subyek atau penuntutan
No Jenis tuntutan praperadilan Dasar hukum
praperadilan
1 Sah atau tidak sahnya penangkapan atau penahanan 1. Terangka Pasal 79
2. Keluarga tersangka
2 Sahnya penghentian penyidikan 1. Tersangka Pasal 79
2. Pihak ketiga yang
berkepentingan

3 Tidak sahnya penghentian penyidikan 1. Pihak ketiga yang Pasal 80


berkepentingan
2. Penuntut umum

4 Sahnya penghentian penuntutan 1. Tersangka atau terdakwa Pasal 80


2. Pihak ketiga yang
berekepentingan

5 Tidak sahnya penghentian penuntutan 1. Pihak ketiga yang Pasal 80


berkepentingan
2. Penyidik

6 Tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi karena: 1. Tersangka Pasal 81


a.Tidak sahnya penangkapan/penahanan atau akibat 2. Piohak ketiga yang Pasal 95
sahnya penghentian penyidikan /penyuntutan. berkepentinga
b.Ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau 3. Tersangka
dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdsarkan 4. Terdakwa
UU atau kekliruan mengenai orangnya atau hukum 5. Terpidana
yang diterapkan.

8 8
Catatan : yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah saksi korban atau keluarganya. Dan saksi pelapor/pengadu
atau keluarganya. Keluarga berarti : anak, suami, isteri, orangtua, dan lain-lain sesuai dengan keadaan.
3. Kompetensi Pengadilan Untuk Memeriksa tuntutan
Praperadilan

Kompetensi pengadilan ada 2 macam, yaitu:

a. Kompetensi Absolut
Kompetensi Absolut menyangkut kewenangan mengadili dari
pengadilan yang berbeda jenisnya atau antar pengadilan yang
berbeda.

Misalnya antar pengadilan negeri dengan pengadilan militer


(Mahkamah Militer).

Terdapat 4 macam peradilan: Peradilan umum (PN);


Peradilan Militer (MM), Peradilan Agama (Pengadilan
Agama), dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

9
b. Kompetensi Relatif.

Kompetensi Relatif menyangkut kewenangan


mengadili dari pengadilan yang sejenis,
misalnya antara PN Lubuk Pakam adengan PN
Medan.

Kompetensi relatif ini umumnya dapat


menimbulkan persoalan pada PN yang wilayah
hukumnya berbatasan langsung, atau bati satu
tindakan penculikan.

Kompetensi relatif ini terkait dengan tempat


terjadinya tindak pidana (locus Delicti)

10
Pasal 1 : 10 KUHAP:
Wewenang pengadilan negeri dapat menimbulkan persoalan:

apakah praperadilan dikenal juga dalam peradilan militer, mengingat Mahkamah


Militer juga berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
militer/tentara?

Dengan kata lain, apakah polisi Militer dapat dipraperadilkan?

SEMA RI nomor : SE-MA/15 Tahun 1983:

Dasar atau patokan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang


melaksanakan sidang praperadilan.

Dalam hal ini pengadilan negeri atau pengadilan Militer adalah status sipelaku
tindak pidana, bukan status pejabat yang melakukan penahanan atau
penangkapan.

11
Kompetensi absolut pengadilan yang berwenang
mengadili praperadilan adalah status pelaku
tindak pidana.

Apabila pelakunya adalah orang sipil maka


kewenangan mengaili praperadilan adalah PN

Apabila pelaku tindak pidana adalah tentara


maka yang berwenang mengadili dalam
praperadilan adalah Mahkamah Militer

12
Pasal 15 PP No. 27/1983:

Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer

sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 KUHAP didasarkan pada peraturan


perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan.

Praperadilan dala perkara koneksitas (pasal 89 KUHAP)

Prapradilan bagi orang sipil diadili oleh PN dan tentara diadili oleh
Mahkamah Militer.

Hal ini terjadi karena ada tata cara atau presedur yang berlaku bagi polisi
(untuk orang sipil) dan Polisi Militer (untuk tentara) dalam melaksanakan
13 tugasnya.
4. Alasan untuk Mengajukan tuntutan
praperadilan:

a. Penangkapan tidak sah


b. Penahanan tidak sah
c. Sah atau tidak sahnya penghentian
penyidikan
d. Sah atau tidak sahnya penghentian
penentutan
e. Tuntutan ganti kerugian
f. Tuntutan rehabilitasi

14
1 : Penangkapan tidak sah

Terkait dengan suatu syarat.

Syarat formal dari penangkapan adalah :

a. Dilakukan oleh penyidik Polri atau penyelidik atas perintah penyidik


(lihat kembali pasal 7 dan pasal 5 KUHAP)

b. Dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan


(kecuali dalam hal tertangkap tangan)

c. Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan turunannya


kepada keluarganya

d. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan oleh setiap orang
(bukan hanya oleh penyidik/penyelidik).

15
Syarat material dari suatu (surat) penangkapan
adalah:

a. Harus ada bukti permulaan yang


cukup (lihat pasal 17 KUHAP)

b. Penangkapan dilakukan untuk paling


lama satu hari atau satu kali dua
puluh empat jam (lihat pasal 19 (1)
KUHAP).

16
2 : Penahanan tidak sah:

Penahanan harus dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan,

baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang


pengadilan,

dan hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu tertentu untuk setiap tingkat
pemeriksaan.

Penahanan rutan dilakukan di rutan, penahanan rumah dilakukan dirumah


tempat tinggal tersangka/terdakwa dan penahanan kota dilakukan dikota tempat
tinggal tersangka/terdakwa.

Apabila penahanan dilakukan di luar ketentuan diatas maka penahanan


tersebut tidak sah, dan dengan demikian orang yang ditahan
(tersangka/terdakwa) dapat mengajukan tuntutan praperadilan.

17
3. Sah atau tidak sahnya penghentian penyidikan:

Sahnya penghentian penyidikan maupun tidak sahnya


penghentian dapat dijadikan sebagai alasan untuk
menuntut praperadilan.

Apabila penyidikan dihentikan maka praperadilan dapat


diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan
(saksi korban atau saksi pelapor/pengadu atau
kelauarganya)untuk menuntut bahwa penghentian
penyidikan itu tidak sah.

Apabila penyidikan diteruskan maka tersangka dapat


mengajukan praperadilan untuk menuntut bahwa
penyidikan itu tidak sah.

18
Pasal 109 KUHAP:

Alasan yang dapat digunakan untuk menghentikan


penyidikan adalah karena

(1) tidak cukup bukti,


(2) peristiwanya bukan merupakan tindak pidana dan
(3) penyidikan dihentikan demi hukum

(terkait dengan pasal 76,77,78 dan 82 KUHAP, dan


dasar-dasar yang mengecualikan hukuman, serta
tidak adanya pengaduan untuk tindak pidana
aduan).

Penyidikan dihentikan tanpa berdasar kan kepada


Pasal 109 KUHAP maka penghentian penyidikan itu
tidak sah.

19
4 : sah atau tidak sahnya penghentian penuntutan.

Pasal 140 KUHAP:

Alasan utnuk menghentikan penuntutan adalah:

karena tidak dapat cukup bukti,

peristiwa tersebut ternyawta bukan merupakan


tindak pidana

Perkara ditutup demi hukum.

20
5: Tuntutan ganti kerugian

Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan


atas tuntutannya yang berupa imbalan uang

karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa


alasan yang berdasasrkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang


diterapkan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini


(Pasal 1 : 22 KUHAP).

21
Pasal 1 : 22 KUHAP dapat diketahui bahwa:

Ganti kerugian itu merupakan hak tersangka atau terdakwa.

Karena merupakan hak, maka dituntut dan boleh juga tidak dituntut.

Ganti rugi berupa pemenuhan imbalan sejumlah uang dan


Ganti kerugian itu diberikan kepada tersangka atau terdakwa

22
Besar ganti kerugian adalah serendah-rendahnya Rp.
5.000-

dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000- (pasal 9 (1) PP No.


27/1983).

Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain


sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP
menyebabkan yang bersangkutan sakit atau cacat

sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati,

besarnya kerugian setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-

(Pasal 9 (2) PP No. 27/1983).

23
a. Tuntutan ganti kerugian diajukan secara alternatif,

maksudnya:
tuntutan ganti kerugian diajukan berdasarkan alasan penangkapan
atau
penahanan tidak sah, atau atas dasar penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah.

b. Tuntutan ganti kerugian diajukan untuk satu kesalahan saja (tunggal).

Tuntutan ganti kerugian karena penghentian penyidikan atau


penuntutan, yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang
tidak sah, didalamnya hanya terkandung satu tuntutan ganti kerugian.

Oleh karena itu tidak mungkin diajukan tuntutan ganti kerugian secara
alternatif.

Alasannya adalah bahwa semua tindakan (kesalahan) yang dilakukan


oleh aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara
merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tidak dapat
24
dipisah-pisah.
c. Tuntutan ganit kerugian diajukan secara
kumulatif.

Terhadap kasus penghentian penyidikan dan


penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan
dan penahannan atau tindakan lain yang tidak
berdasarkan UU

Dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara


kumulatif, yakni terhadap semua kesalahan yang
terjadi pemohon/penuntut dapat sekaligus
menggabungkan beberapa tuntutan ganti kerugian
dalam satu permintaan.

25
Alasan pendirian yang ketiga ini adalah :

A, Bahwa masing-masing tindakan yang tidak berdasarkan UU itu


mempunyai nilai imbalan uang ganti kerugian yang berdiri sendiri.

Setiap tindakan (kesalahan) dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan


untuk meminta ganti kerugian.

b. Pasal 95-96 KUHAP dan pasal 9 PP No. 27/1983 tidak melarang


penggabungan itu.

Dengan bertititk tolak dari ajaran Ilmu Hukum apa yang tidak dilarang
oleh UU secara tegas adalah merupakan sesuatu yang diperbolehkan
maka penggabungan itu diperbolehkan, karena tidak dilarang.

c. Prinsip perlindungan terhadap kepentingan tersangka atau terdakwa.

Tersangka dan terdakwa tidak boleh dirugikan kepentingannya sepanjang


hal itu bertentangan dengan UU.

26
Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan diatur di dalam
surat keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 938/KMK.01/1983 tentang Tata
Cara Pembayaran Ganti Kerugian.

Tata cara pemberi ganti kerugian:

a. Melampirkan penetapan pengadilan ybs Ketua PN setempat mengajukan


permohonan pernyediaan dana kepada Menkeh c/q Sekretariar Jenderal
Departemen Kehakiman.

b. Berdasarkan permohonan ketua PN tersebut Menkeh c/q Sekjen Depkeh tiap


triwulan atau tiap kali diperlukan mengajukan permintaan penertiban surat
keputusan otoritas (SKO) kepada Ment. Keuangan c/q Dirjen Anggaran
disertai
dengan tembusan penetapan pengadilan yang menjadi dasar permintaannya.

c. Berdasarkan permintaan Menkeh dimaksud Menkeu c/q Dirjen Anggaran


menertibkan SKO atas beban Bagian Pembayaran dan perhitungan anggaran
belanja negara rutin.
27
d. Asli SKO tersbut disampaikan kepada yang berhak
e. Berdasarkan SKO tersbut permohonan mengajukan permohonan
pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara (KPN) melalui ketua
PN setempat, dengan melampirkan SKO dan asli/foto copy pastikan
penetapan pengadilan.

f. Ketua PN ybs meneruskan permohonan pembayaran kepada KPN


pembayar disertai dengan surat permintaan pembayaran (SPP) menurut
ketentuan yang berlaku

g. Berdasarkan SKO bersangkutan, permohonan pembayaran dari yang


berhak dan SPP ketua PN setempat, KPN menertibkan surat perintah
membayar (SPM) kepada yang berhak sebagai beban tetap.

h. Asli perikan penetapan pengadilan, setelah dibubuhi cap bahwa telah


dilakukan pembayaran. Oleh KPN dikembalikan kepada yang berhak.

28
6: Tuntutan Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan


haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya

diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan

karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan


yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang


diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(Pasal 1 : 23 KUHAP).

29
Dari Pasal 1 : 23 KUHAP ini dapat diketahui bahwa rehabilitasi itu merupakan:

a. Hak tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan seorang


tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas
kemampuan serta kedudukan dan harkat martabat.

b. Hak untuk mendapatkan pemulihan tersbut dapat diberikan dalam


semua tingkat pemeriksaan (penyidikan, penuntutan dan peradilan).

Tujuan utama dari upaya hukum rehabilitasi:

Memulihkan kembali nama baik, kedudukan serta harkat dan martabatnya

yang telah menjalani tindakan hukum tanpa alasan yang berdasarkan UU atau
tanpa alasan yang sah.

30
 Dasar atau asas dari rehabilitasi adalah:
Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi hak asasi tersangka atau
terdakwa (juga terpidana) karena tindakan melawan hukum dari aparat
penegak hukum.

Alasan yang dapat digunakan untuk meminta rehabilitasi dalam atau


melalui praperadilan adalah karena ditangkap atau ditahan tanpa alasan
yang berdasarkan UU atau kekeliruan mengenai orang atau tidak sahnya
penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon
(tersangka,keluarganya,kuasanya) (Pasal 12 PP No.27/1983).

31
Amar putusan praperadilan mengenai rehabilitasi
adalah: memulihkan hak pemohon dalam
kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya
(Pasal 14 (2) PP No. 27/1983)

sedangkan apabila pengadilan menjatuhkan putusan


bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum, maka
amar putusan pengadilan mengenali rehabilitasi
adalah :
Memulihkan hak terdakwa dan kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya’
(Pasal 14 (1) PP No. 27/1983).

32

5. Upaya hukum terhadap putusan praperadilan

Pasal 83 KUHAP menentukan:


1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding

2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang


menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan,

yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi


dalam daerah hukum yang bersangkutan.

33
Pasal 79 KUHAP menyangkut permintaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan,
Pasal 80 menyangkut permintaan sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan,
Pasal 81 menyangkut permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
Apabila hal ini dihubungkan dengan pasal 83 (1) KUHAP, maka pada dasarnya
terhadap permintaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79,80 dan 81 diatas
tidak dapat dimintakan banding.
Hal ini juga berarti bahwa putusan akhir ada pada pengadilan negeri (lihat
Pasal 1 : 10 KUHAP).
Namun walaupun demikian, terhadap ketentuan pasal 83 (1) KUHAP tersebut
terdapat pengecualian sebgaimana diatur dalam ayat (2)nya,
yaitu apabila putusan praperadilan itu menyangkut tidak sahya penghentian
penyidikan atau penuntutan maka dapat dimintakan putusan akhir
kepengadilan tinggi (banding).
34
Dari perkataan ‘putusan akhir’ kepengadilan tinggi

berarti upaya hukum terhadap putusan praperadilan itu hanya boleh


sampai tingkat banding,

tidak boleh dimintakan kasasi, hal ini telah diperkuat oleh pasal 45 A
UU No. 5/2004 tentang perubahan UU Nomor 14/1985 tentang
Mahkamah Agung,

yang pada dasarnya menentukan bahwa putusan praperadilan tidak


dapat diadili oleh MA dalam tingkat kasasi.

Permohonan kasasi putusan peradilan dinyatakan tidak dapat diterima


melalui penetapan ketua PN dan berkas perkaranya tidak dikirimkan
ke MA, dan terhadap penetapan ketua PN ini tidak dapat diajukan.

35
B. Perkara Koneksitas

Perkara koneksitas diatur dalam Pasal 89 (1) KUHAP, yang


menentukan:

Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka


yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum

kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan


Keamanan dengan persetujuan Menteri kehakiman perkara
itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer
(bandingkan dengan pasal 22 UU No. 14/1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan 4/2004 tentang
kekuasaan kahakiman:

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan
tertentu menurut keputusan ketua Mahkamah Agung
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer. 36
Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu adalah dilihat dari
titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.

Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer,


perkara tersebut terletak pada kepentingan umum, perkara tersebut
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Perkara koneksitas adalah suatu perkara yang dilakukan secara


bersama-sama (ingat : deelneming) oleh orang yang tunduk kepada
peradilan umum (sipil) dan orang yang tunduk kepada peradilan
militer (tentara).

37
Dengan kata lain, perkara koneksitas adalah perkara yang
dilakukan bersama-sama oleh orang sipil dan tentara.

Dengan demikian perkara koneksitas itu dapat juga disebut


sebagai peradilan campuran.
Karena satu peradilan mengadili orang yang berbeda
statusnya, yaitu sipil dan tentara.
Peradilan terhadap perkara koneksitas merupakan
penyimpangan terhadap asas peradilan pada umumnya.
Apabila seorang sipil melakukan tindak pidana maka
pengadilan yang berwenang mengadilinya dalam Mahkamah
Militer.
Namun dalam perkara konesitas, ada kalanya sipil diadili
oleh Mahkamah Militer.

38
Peradilan koneksitas bertujuan untuk menciptakan rasa
keadilan bagi masyarakat.

Peradilan koneksitas maka orang yang bersama-sama


melakukan suatu tindak pidana akan diadili oleh pengadilan
yang sama.

Diharapkan, putusannya pun (bukan bertanya/lamanya


hukuman) akan sama pula, dalam arti apabila yang satu (sipil
atau tentara) dijatuhi pidana maka yang lain pun (tentara atau
sipil) akan dijatuhi pidana juga.

Berbeda halnya apabila orang yang bersama-sama melakukan


tindak pidana itu diadili oleh pengadilan yang berbeda, yaitu
sisipil diadili oleh PN dan Sitentara diadili oleh Mahkamah
Militer.
39
Satu jenis tindak pidana yang diadili oleh hakim dan
pengadilan yang berbeda akan lebih potensial untuk
melahirkan putusan yang berbeda,

dalam arti yang satu (sipil atau tentara) dijatuhi pidana


dan yang lain (tentara atau sipil) tidak dijatuhi pidana.

Hal ini akan dawpat menimbulkan rasa ketidakadilan,


karena perkara yang sama diputus berbeda.

Perkara koneksitas merupakan lembaga baru dalam


KUHAP.

UU Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.


14/1970 telah melakukan perubahan terhadap pasal 22
UU No. 14/1970 (menyangkut perkara koneksitas).

40
Menjadi sebagai berikut:

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka


yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer,

diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan


peradilan umum

kecuali jika menurut keputusan ketua Mahkamah Agung


perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.

Berdasarkan asas hukum UU yang baru mengesampingkan


UU yang lama dengan sendirinya

Pasal 22 UU No. 14/1970 jo. Pasal 89 (1) KUHAP telah


dikesampingkan oleh UU No. 35/1999 yang juga telah dicabut
oleh UU No. 4/2004.
41
Dengan demikian, yang menentukan apakah
perkara koneksitas akan diadili oleh Mahkamah
Militer atau tidak adalah ketua Mahkamah Agung.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 22 UU


No. 14/1970 telah dikeluarkan keputusan Bersama
Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan dan
Panglima ABRI, ketua MA dan Jaksa Agung
Nomor Kep. B/01/XII/1971

tentang Kebijaksanaan dalam pemeriksaan Tindak


Pidana yang dilakukan oleh orang yang termasuk
dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan
militer.

42
Pada pokok keputusan bersama itu memuat :

a. Penyidikan dilakukan bersama oleh aparat Kepolisisan dan kejaksaan Umum


bersama-sama dengan Kepolisian Militer dan Keodituran Militer sesuai
dengan wewenang mereka masing-masing (bandingkan dengan pasal 89 (2)
KUHAP : penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(maksudnya : perkara Koneksitas) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang
terdiri dari penyidik sebgaimana dimaksud dalam pasal 6 (KUHAP) dan
polisi Militer ABRI (baca : TNI) dan oditur militer atau oditur militer tinggi
sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang
berlaku untuk penyidikan perkara pidana).

43
b. Pengadilan yang mengadili delik koneksitas ditetapkan
oleh penelitian bersama antara jaksa/jaksa tinggi
dengan oditur/Oditur Jenderal (bandingkan dengan
pasal 90 KUHAP: untuk menetapkan apakah
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan umum yang akan
mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 89 ayat (1), diadakanh penelitian bersama
oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur atau oditur
militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersbut
pada pasal 89 ayat (2).

44
c. Penentuan peradilan mana yang akan mengadili didasarkan
kepada tiutik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
yang bersangkutan (militer/umum), dan uga dipertimbangkan
factor tambahan yaitu sifat tindak pidana dan jumlah pelaku
masing-masing (dibandingkan dengan pasal 91 KUHAP : jika
titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum maka akan
diadili oleh peradilan umum, dan jika berat kerugian ada pada
kepentingan militer maka akan diadili oleh peradilan militer-
intinya).

45
d. Jika peradilan umum yang akan mengadili, maka berita
acara diambilalih oleh jaksa. Jika terjadi perbedaan
pendapat antara jaksa/jaksa tinggi dengan
oditur/oditur tinggi, dilaporkan kepada Jaksa Agung
dan Oditur Jenderal ABRI. Jika antara Jaksa Agung
dengfan oditur Jenderal terjadi perbedaan pendapat,
maka keputusan ada pada Jaksa Agung (bandingkan
dengan pasal 93 KUHAP : Apabila dalam penelitian
terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum
dengan oditur militer atau oditur militer tinggi, masing-
masing melaporkannya kepada Jaksa Agung dan
Oditur Jenderal ABRI, kemudian dimusyawarahkan.
Jika terjadi perbedaan pendapat,maka pendapat Jaksa
Agung yang lebih menentukan intinya)

46
e. Susunan Hakim, jika PN/PT yang memeriksa, satu hakim anggota
dari hakim Militer, demikian juga sebaliknya (bandingkan dengan
pasal 94 KUHAP : Apabila perkara diadili oleh peradilan umum
maka majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari PN dan hakim
anggota dari PN dan Mahkamah Militer secara berimbang
demikian juga sebaliknya-intinya).

Apabila perakara koneksitas diadili oleh peradilan militer maka


hakim dari peradilan umum diberi ; pangkat militer titular,
demikian juga tingkat banding.

47
TERIMA KASIH

48

Anda mungkin juga menyukai