Anda di halaman 1dari 26

Peningkatan Kualitas

Pelayanan KB dan Kesehatan


Reproduksi di Indonesia

dr. Herdhana Suwartono, Sp.OG (K) Onk


POGI SULTENG
KESEHATAN REPRODUKSI
Menurut WHO adalah kondisi sejahtera secara fisik, mental
dan sosial secara sempurna, serta bukan hanya terhindar dari
kesakitan dan kecacatan, baik alat, system, fungsi proses
reproduksi sehingga memungkinkan setiap hidup produktif
secara biologis, sosial dan ekonomis.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014
Kesehatan Reproduksi yang menjamin setiap orang berhak
memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang bermutu,
aman dan dapat dipertanggung jawabkan, dimana peraturan
ini juga menjamin kesehatan perempuan dalam usia
reproduksi sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat,
berkualitas yang nantinya berdampak pada penurunan Angka
Kematian Ibu.
Dewasa
Menopause

Kesehatan Reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh
pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi, serta proses reproduksi dan bukan
hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan.
Secara luas, ruang lingkup kesehatan
reproduksi meliputi:

1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir


2. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi termasuk
PMS-HIV/AIDS
3. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
4. Kesehatan reproduksi remaja Perlu pendidikan kesehatan reproduksi
sehubungan dengan menarche, perilaku seksual, PMS, kehamilan yang
tidak diinginkan
5. Pencegahan dan penanganan infertile
6. Kanker pada usia lanjut
7. Berbagai aspek Kesehatan reproduksi lainnya
Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi

Kesetaraan Gender Kemiskinan, kekurangan gizi Mutu Pendidikan yang rendah


dan Kesehatan yang buruk

Menikah usia dini Beban kerja yang berat


Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesehatan
reproduksi
1. Faktor Demografis – Ekonomi

Faktor ekonomi dapat mempengaruhi Kesehatan Reproduksi yaitu


kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakahuan tentang
perkembangan seksual dan proses reproduksi, usia pertama melakukan
hubungan seksual, usia pertama menikah, usia pertama hamil.
Sedangkan faktor demografi yang dapat mempengaruhi Kesehatan
Reproduksi adalah akses terhadap pelayanan kesehatan, rasio remaja
tidak sekolah, lokasi/tempat tinggal yang terpencil
2. Faktor Budaya dan Lingkungan
Faktor budaya dan lingkungan yang mempengaruhi praktek tradisional
yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak
anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang
membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, pandangan agama, status perempuan, ketidaksetraan gender,
lingkungan tempat tinggal dan cara bersosialisasi, persepsi masyarakat
tentang fungsi, hak dan tanggung jawab reproduksi individu, serta
dukungan atau komitmen
3. Faktor Psikologis
Sebagai contoh rasa rendah diri (“low self esteem”), tekanan teman sebaya
(“peer pressure”), tindak kekerasan dirumah/lingkungan terdekat dan dampak
adanya keretakan orang tua dan remaja, depresi karena ketidak seimbangan
hormonal, rasa tidak berharga Wanita terhadap pria yang membeli kebebasan
secara materi

4. Faktor Biologis
Faktor biologis mencakup ketidak sempurnaan organ reproduksi atau cacat
sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual,
keadaan gizi buruk kronis anemia, radang panggul atau adanya keganasan pada
alat reproduksi. Dari semua faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi
diatas dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan perempuan, oleh
karena itu perlu adanya penanganan yang baik, dengan harapan semua
perempuan mendapatkan hak-hak reproduksinya dan menjadikan
kehidupan reproduksi menjadi lebih berkualitas
Situasi kesehatan reproduksi di Indonesia dari perspektif upaya
meningkatkan kesehatan reproduksi terutama kesehatan ibu dan
anak, sepertinya masih perlu perhatian lebih. Hal ini bisa dilihat
dari pelaksanaan program dari kebijakan yang ada masih perlu
diperbaiki. Hal lainnya adalah masalah akses (fisik dan sosial-
ekonomi), dan kualitas layanan kesehatan, Infrastruktur yang
kurang memadai, distribusi dan kompetensi tenaga kesehatan
belum optimal juga masalah perilaku masyarakat tidak menunjang.
Situasi tersebut tergambar melalui beberapa indikator seperti angka kematian ibu, kematian
neonatal dan bayi, termasuk angka stunting pada anak usia 0-23 bulan, dimana angka-angka
ini masih tinggi dimana Indonesia berada pada urutan ke-2 tertinggi di ASEAN.
Program Keluarga Berencana (KB) sebagai salah satu dari 4 pilar
program intervensi penurunan kematian ibu (maternal) pada save
motherhood. Penurunan angka kematian ibu sebagai indikator
peningkatan kesehatan ibu, anak, dan keluarga. Program KB melalui
pemakaian kontrasepsi menurunkan kematian maternal melalui dua
mekanisme:
(1) Penurunan kelahiran
(2) Penurunan kehamilan risiko tinggi.
MASALAH KELUARGA BERENCANA
ASFR
15-19 TAHUN MODERN CONTRACEPTIVE PREVALENSI PEMAKAIAN
PREVALENCE RATE mCPR KONTRASEPSI (MKJP)
(KB cara modern )

SDKI 2012 SDKI 2017 SKAP 2019 TARGET 2024 SDKI 2012 SURVEY 2016 SUSENAS 2019 TARGET 2024

48
SDKI 2012 SDKI 2017 SUSENAS 2019 TARGET 2024

36 33 18 58 57,2 54,55 63,41 18.3 21.6 21.39 28.39


UNMET NEED TINGKAT PUTUS PAKAI
KB PASCA PERSALINAN KONTRASEPSI

SDKI 2012 SDKI 2017 TARGET 2024


SUSENAS 2019
RISKESDAS 2018 SDKI 2012
TARGET 2024 TARGET
11
SDKI 2017

11 19.78 7,4 23 40 27.1


2024

28.8 20
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi, 305 per 100.000
kelahiran hidup berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) 2015. Indonesia gagal mencapai target Millenium Development
Goals (MDGs) penurunan AKI sampai 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015, dan perlu upaya besar mencapai target RPJMN
penurunan AKI sampai 183 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2024. Penguatan program KB untuk mencegah kehamilan tidak
diinginkan dan kehamilan berisiko menjadi penting untuk membantu
percepatan penurunan AKI.
JUMLAH KEMATIAN IBU DI INDONESIA
TAHUN 2018 DAN 2019
2018 : 4.226
2019 : 4.196
Berbagai studi yang dilakukan di beberapa negara termasuk di Indonesia
didapatkan bahwa program KB sangat terkait dengan penurunan kematian
ibu, yaitu rata-rata sebesar 40%. Selain itu juga hasil review dari data-data
di 153 negara menunjukan keterkaitanyang kuat antara program KB
dengan penurunan angka stunting, seperti yang terlihat dari bagan di
bawah.
Ancaman terhadap kesehatan reproduksi ada beberapa hal,
yaitu:

• Kehamilan tidak diingikan (KTD): kecendrungan untuk mengugurkan


kandungan (aborsi) ditengah larangan dan norma-norma masyarakat maka
aborsi biasanya dilakukan ditempat tidak aman yang penuh risiko.
• Kehamilan 4 Terlalu (Terlalu Muda/Tua/Dekat/Banyak): kehamilan terjadi
pada saat ibu yang tidak siap secara fisik, mental dan sosial.
• Penyakit yang timbul akibat infeksi (IMS/HIV, ISPA, Diare)
• Kurang/gangguan gizi (infeksi dan asupan makanan).
Program KB bukan hanya satu program yang semata-mata untuk mengendalikan jumlah
penduduk, namun program ini adalah upaya mencegah kehamilan berisiko, mencegah kesakitan
dan kematian selama kehamilan. Program ini strategis karena intervensinya pada awal kehidupan
(proses reproduksi), karena gangguan pada awal kehidupan ini akan berdampak negatif jangka
panjang baik fisik, mental dan sosial bahkan hingga lintas generasi
Tantangan dan Hambatan Program dan
Pelayanan KB
• Mitos
• Integrasi pelayanan KB dengan pelayanan Kesehatan
reproduksi
• Kompetensi tenaga Kesehatan
• Konseling layanan pilihan kontrasepsi
• Dukungan pemangku kepentingan
• Jangkauan pelayanan KB
AKSES DAN MUTU PELAYANAN KB
 Telah terjadi perkembangan yang berarti dalam
teknologi kontrasepsi
 Untuk meningkatkan akses pelayanan KB yang
bermutu :
1. Pertimbangkan hak-hak klien dalam
manajemen pelayanan KB
2. Meningkatkan ketersediaan berbagai metode
kontrasepsi
3. Konseling dan pelayanan KB berdasarkan
kriteria dan kelayakan medik terkini
KONSELING PELAYANAN KB

Klien harus dapat informasi cukup tentang :


 Efektivitas
 Cara kerja
 Efek samping
 Keuntungan dan kerugian
 Gejala dan tanda yang perlu tindak lanjut
 Kembalinya kesuburan
 Perlindungan terhadap PMS

Anda mungkin juga menyukai