Anda di halaman 1dari 42

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia terdapat gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.1 Leukemia adalah jenis penyakit keganasan yang paling banyak menyerang anak-anak, sekitar 41% keganasan yang terjadi pada anak-anak berumur kurang dari 15 tahun. Pada 2002, sekitar 2500 anak-anak kurang dari 15 tahun didiagnosis dengan leukemia di Amerika Serikat, dan insidensi tahunan mencapai 4.5 kasus per 100.000 anak. Leukemia limfoblastik akut (LLA) terjadi sekitar 77% dari semua kasus leukemia pada anak, leukemia mieloblastik akut (LMA) terjadi pada sekitar 11%, leukemia mieloblastik kronis (LMK) pada sekitar 2-3% kasus dan leukemia mieloblastik kronis juvenil (LMKJ) berkisar antara 1-2%. Kasus lainnya memiliki ciri leukemia akut dan kronis yang beragam dan tidak termasuk dalam definisi klasik LLA, LMA, LMK, dan LMKJ. 2 Leukemia dapat didefinisikan sebagai kelompok penyakit keganasan dimana kelainan genetik dalam sel hematopoietik yang mengakibatkan proliferasi sel klonal yang tidak beraturan. Hasil pembelahan dari sel-sel ini memiliki pertumbuhan yang lebih dari elemen selular normal, karena peningkatan tingkat proliferasi dan penurunan tingkat apoptosis spontan. Hal ini berakibat pada disrupsi fungsi sumsum normal dan akhirnya terjadi kegagalan sumsum. Manifestasi klinisnya, temuan laboratorium, dan respon terapi tergantung pada jenis leukemia.3 Mayoritas kasus leukemia pada anak adalah leukemia akut. Perjalanan penyakitnya yang cepat dan komplikasinya yang dapat membahayakan jiwa

menjadikan prognosis leukemia akut buruk. Tanpa terapi, penyakit ini fatal dan kematian dapat terjadi dalam 3-4 bulan, tanpa ada pasien yang bertahan 1 tahun setelah diagnosis.4 Berdasarkan latar belakang tersebut, referat ini akan membahas tentang diagnosis leukemia serta garis besar penatalaksanaan penyakit tersebut, sehingga dapat mencegah kekambuhan maupun komplikasi yang dapat terjadi.

B. TUJUAN 1. Mengetahui definisi leukemia 2. Mengetahui etiologi leukemia 3. Mengetahui patofisiologi leukemia 4. Mengetahui penegakan diagnosis leukemia 5. Mengetahui klasifikasi leukemia pada anak 6. Mengetahui prinsip penatalaksanaan leukemia

C. MANFAAT 1. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang. 2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai leukemia terutama pada anak bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI LEUKEMIA Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang dan darah. Pada leukemia terdapat suatu keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang didominasi oleh klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut ke darah dan semua organ tubuh. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena (a) kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, netropenia, trombositopenia); dan (b) infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meninges, otak, kulit, atau testis). 5,6,7

B. EPIDEMIOLOGI LEUKEMIA Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari kasus keganasan. Insidensi arata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara berkembang 83% leukemia limfoblastik akut (LLA), 17% leukemia mielogenik akut (LMA), lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi daripada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidensinya mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSUP Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.1

C. ETIOLOGI LEUKEMIA Keganasan hematologis dianggap berasal dari satu sel tunggal dalam sumsum tulang, timus, atau sistem limfoid perifer. Sel ini mengalami perubahan genetik (mutasi somatik) yang menyebabkan transformasi maligna.

Pembelahan mitotik berturut-turut mengalami klon sel yang berasal dari sel induk. Mutasi lebih lanjut dapat menghasilkan subklon (evolusi klonal). Sel yang bertransformasi mengalami proliferasi secara berlebih dan/atau resisten terhadap apoptosis. Sel ini sering membeku pada tahap diferensiasi tertentu.8

Penyebab neoplasia Neoplasia disebabkan oleh suatu interaksi kompleks antara mekanisme genetik dan mekanisme lingkungan.8 1. Predisposisi genetik. Kondisi tertentu yang diturunkan (misalnya Sindrom Down, trisomi 21) dan kondisi yang berhubungan dengan perbaikan DNA yang defektif (misalnya anemia Fanconi) atau supresi imun (misalnya telangiektasia ataksia). Cacat genetik lain yang mempunyai risiko leukemia lebih tinggi adalah sindrom Blooms.1 2. Infeksi virus. Hipotesis mengenai peranan infeksi virus dipaparkan oleh Alexander Greaves tahun 1993. Ia percaya ada 2 langkah mutasi pada sistem imun, pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada umumnya.1 Pada leukemia, virus leukemia sel-T manusia (human cell-T leukaemia virus, HTLV-1) bergabung menjadi genom sel-limfoid-T dan mendasari limfoma leukemia sel-T dewasa. Virus lain menjadi predisposisi terjadinya keganasan akibat supresi imun (misalnya HIV).8 3. Radiasi pengion menyebabkan mutasi DNA dan meningkatkan risiko neoplasia hematologis. 8 4. Toksin/zat kimia, misalnya benzena dan organokimia, mungkin merupakan predisposisi terjadinya leukemia dan mielodisplasia (MDS). 8 5. Obat-obatan. Agen pengalkilasi (misalnya melfalan, mustin) dan bentuk lain kemoterapi merupakan predisposisi terjadinya MDS dan leukemia mieloid akut. 8

6. Pengguanaan marijuana maternal menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anak yang menderita leukemia akut.1 7. Beberapa kondisi perinatal, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk tahun 1995. Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Selain itu, Shu dkk tahun 1996 melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol juga meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA. 1 Tabel 2.1 Faktor yang mempengaruhi leukemia anak9
Genetik Sindrom Down Sindrom Fanconi Sindrom Bloom Anemia Diamond-Blackfan Sindrom Schwachman Sindrom Klinefelter Sindrom Turner Neurofibromastosis Telangiektasia-ataksia Defisiensi imun berat Hemoglobinuria paroksismal nokturnal Sindrom Li-Fraumeni Lingkungan Radiasi ion Obat-obatan Zat alkilasi Nitrosourea Epipodophyllotoxin Paparan benzena Usia ibu yang tua

D. PATOGENESIS LEUKEMIA Sel maligna biasanya memperlihatkan translokasi kromosom atau mutasi DNA lain yang mengenai onkogen. LMA dapat terjadi setelah penyakit mieloproliferatif atau mielodisplastik. Pada beberapa kasus LLA garis keturunan (lineage) B pada masa kanak-kanak (sering), terdapat bukti dari penelitian pada kembar identik bahwa peristiwa pertama, yaitu translokasi kromosom, dapat terjadi in utero dan kejadian berikutnya mencetuskan onset LLA.8

E. PATOFISIOLOGI LEUKEMIA Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang

disebabkan karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal. Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi hipoaktivasi sumsum tulang, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolisme.2 Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang lebih dari produksi normal. Selsel tersebut terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok produksi sel darah putih yang normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah yang berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.2 Menurut Smeltzer dan Bare (2001), analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.2 Leukemia terjadi jika proses pematangan dari sel induk (stem cell) menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom. Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini

menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak. 2 Pada leukemia yang disebabkan oleh virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolak seperti benda asing lain. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh WHO, antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan. 2

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS LEUKEMIA Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler. 1. Manifestasi klinis 5 a. Anamnesis Anemia, sering demam, perdarahan, berat badan turun, anoreksia, kelemahan umum b. Pemeriksaan fisik 1) Anemis dan tanda perdarahan : mukosa anemis, perdarahan, ulsera, angina Ludwig. 2) Pembesaran kelenjar limfe general.

3) Splenomegali, kadang hepatomegali. 4) Pada jantung terjadi gejala akibat anemia. 5) Infeksi pada kulit, paru, tulang. 2. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta), pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila leukosit >50.000/l, terdapat massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi. 1 Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum tulang (BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi akibat leukostasis.1 Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan preleukemia memanjang, biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi yang jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodisplastik (MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri. Biasanya sumsum tulang menunjukkan

hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian berkembang menjadi leukemia akut.1

Gambar 2.1. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang

Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA belum memuaskan bila dibandingkan dengan LLA. Pada LMA, hasil

pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia, trombositopenia, dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 gr/dl, jumlah trombosit umumnya <50.000/l, dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/l. Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/l.1 Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa permasalahan, baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua sehingga perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan penyakit/

kemajuan pengobatan, sesuai jadual yang sudah ditentukan. Edukasi dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan rasa percaya diri pasien.1

G. KLASIFIKASI LEUKEMIA Leukemia dapat diklasifikasikan atas dasar: 7 1. Perjalanan alamiah penyakit Dua pembagian utama leukemia adalah leukemia akut (progresi cepat) dan leukemia kronik (progresi lambat). Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga hari. Pada leukemia akut ditemukan jumlah sel darah putih imatur atau sel blas yang abnormal. Sedangkan leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun. Pada leukemia kronik, sel darah putih matur lebih banyak ditemukan. 2. Tipe sel predominan yang terlibat Leukemia diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah tepi. a. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia limfositik. b. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik. 3. Jumlah leukosit dalam darah Dari pemeriksaan jumlah leukosit, leukemia dapat dibagi menjadi: a. Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal, terdapat sel-sel abnormal b. Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, terdapat sel-sel abnormal

c. Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, tidak terdapat sel-sel abnormal

Leukemia akut didefinisikan sebagai adanya lebih dari 30% sel blas dalam sumsum tulang pada saat manifestasi klinis. Leukemia akut adalah jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif, dengan transformasi ganas yang menyabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsum tulang dini. Dua bentuk paling sering dari leukemia akut adalah leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA). Lebih dari 95% kanker pada masa kanak-kanak merupakan jenis yang akut, dan mayoritas adalah LLA. 2,6

Tabel 2.2 Tipe Leukemia pada Anak


Akut LLA (75%) LMA (20%) LMK (3.5%) Kronis JMML (1.5%)

1. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan yang paling banyak menyerang anak-anak, dan mencakup sekitar 25% dari semua diagnosis kanker pada pasien dibawah 15 tahun. Insidensi dunia LLA adalah sekitar 1:25.000 anak pertahun. Puncak onset usianya adalah pada 4 tahun, dimana 85% pasien didiagnosis antara umur 2-10 tahun. 4 LLA adalah kanker tersebar yang pertama terbukti dapat

disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan. Terdapat hubungan antara perkembangan LLA dengan Sindrom Down, dimana risiko LLA lebih tinggi 15 (sumber lain 14) daripada anak tanpa Sindrom Down. Sebelum adanya kemoterapi, penyakit ini fatal, biasanya dalam 3-4 tahun, dan tidak ada yang bisa bertahan selama 1 tahun setelah diagnosis. 4,9,10

Manifestasi klinis Manifestasi klinis LLA ditentukan oleh derajat kegagalan sumsum, yang disebabkan oleh infiltrasi limfoblas dan infiltrasi organ

ekstramedular. Sekitar 2/3 anak dengan LLA akan mengalami tanda dan gejala penyakit kurang dari 4 minggu dari waktu diagnosis, tapi, perjalanan penyakit dalam beberapa bulan juga cocok dengan diagnosis LLA. Gejala pertama biasanya tidak spesifik dan termasuk letargi, kelemahan terus-menerus, nyeri tulang atau kehilangan nafsu makan. Gejala yang lebih spesifik yakni anemia, perdarahan, dan infeksi adalah dampak dari limfoblas yang menempati sumsum tulang dan mengganggu hematopoiesis normal. Tanda dan gejala LLA pada anak-anak tercantum dalam tabel 2.3. 10 Tabel 2.3 Tanda dan gejala pada anak dengan LLA10
Tanda anemia Tanda kerentanan terhadap infeksi Tanda kecenderungan perdarahan Tanda infiltrasi organ Letargi, kelesuan, cepat lelah, tidak ada nafsu makan Laboratorium: anemia normokromik normositik Demam Laboratorium: neutropenia absolut Purpura, perdarahan mukosat, hematoma, memar Laboratorium: trombositopenia, kadang koagulopati Nyeri tulang dan sendi, hepatomegali dan splenomegali, pembesaran kelenjar limfe secara umum, massa mediastinum dan disusul obstruksi vena cava superior Demam yang tidak diketahui sebabnya, penurunan berat badan, berkeringat malam

Tanda penyakit sistemik

Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya kurang dari 4 minggu dari waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya non spesifik dan meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna. Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan (trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan)gambaran ini biasanya mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.11 Pada pemeriksaan awal, umumnya penderita, dan lebih kurang 50% menunjukkan ptekie atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang

mungkin disebabkan oleh suatu sebab spesifik seperti infeksi saluran napas atau otitis media. Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di bawah arcus costae) dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan artralgia yang disebabkan oleh inflitrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekspansi rongga sumsum tulang akibat sel leukemia. Jarang terdapat gejala kenaikan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah, yang menunjukkan keterlibatan selaput otak. Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih banyak; 66% menunjukkan massa mediastinum anterior, suatu gambaran yang sangat berkaitan dengan subtipe leukemia. 11 Bila dari anamnesis dan gejala klinis seseorang dicurigai leukemia, pemeriksaan darah lengkap dan terutama pemeriksaan apusan darah tepi akan membuat pengambilan diagnosis yang cepat dalam banyak kasus. Tapi, gambaran darah normal dan apusan darah normal tidak menghilangkan kecurigaan diagnosis LLA. Aspirasi sumsum tulang harus dilakukan segera bila terdapat kecurigaan kearah LLA. Dimasa lalu banyak anak dengan gambaran reumatik salah diberikan terapi steroid. Kini keadaan ini sudah jauh berkurang, karena dapat menutupi diagnosis utama dan dapat menyebabkan remisi sementara dan resistensi obat. 10 LLA dapat diketahui secara tidak sengaja dari pemeriksaan darah rutin dari anak asimtomatis, atau pada kasus perdarahan yang mengancam jiwa, atau infeksi, atau episode distres respirasi, terutama pada anak dengan hiperleukositosis, contohnya pada LLA sel-T. 10 Hiperleukositosis adalah peningkatan jumlah sel leukosit darah tepi melebihi 100 000/ul. Peningkatan berlebihan sel leukosit ini terjadi akibat gangguan pengaturan pelepasan sel leukosit dari sumsum tulang sehingga leukosit yang beredar dalam sirkulasi berlebihan. 11 Limfadenopati biasanya muncul dan sering berhubungan dengan jumlah sel darah putih yang banyak (dengan ciri limfomatosa). Pada 3060% anak dengan LLA, ditemukan hepatomegali dan/atau splenomegali.

Hepatosplenomegali juga berhubungan dengan leukosit yang tinggi pada diagnosis. 10 Walaupun LLA sejatinya adalah penyakit sumsum tulang dan darah, banyak organ dapat diinfiltrasi oleh sel blas leukemia. Infiltrasi itu dapat terlihat jelas secara klinis, seperti limfadenopati atau hepatosplenomegali, tapi, infiltrasi ke organ lain dapat tersembunyi dan hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan histologi atau sitologi atau pencitraan diagnostik.10

Manifestasi klinis spesifik a. Manifestasi mediastinum Massa mediastinum anterior, seringnya dalam timus, terdapat pada 2/3 anak dengan LLA sel T, tapi sangat jarang pada subtipe lain. Efusi pleural leukemia dapat berhubungan dengan massa mediastinum pada beberapa anak dengan LLA sel T. Sindrom vena cava superior dan distres respirasi berat dapat terjadi pada anak-anak tersebut dan dapat mengakibatkan kegawatan. Selama induksi kemoterapi, dapat terjadi sindrom lisis tumor. 10 b. Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) Leukemia SSP ditunjukkan dengan adanya limfoblas pada cairan serebrospinal (CSS) yang ditemukan pada 1.5-10% anak yang baru didiagnosis LLA. Anak dengan leukemia SSP dapat mengalami tanda neurologis difus atau seperti peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah, edema papil dan letargi), seringnya tanpa kaku kuduk. Keterlibatan saraf kranialis tersering dengan N III, IV, VI, dan VII dapat diperiksa pada pemeriksaan saraf. Palsi N VI dan VII terjadi tanpa adanya bukti penyakit SSP lainnya. 10 Sel leukemia blas masuk dalam SSP secara hematogen, atau lebih jarang dengan perpanjangan sumsum tulang otak melalui vena ke arachnoid superfisial. Dengan leukemia SSP yang progresif, sel blas menginfiltrasi arachnoid dalam dan membran pia/glial dan akhirnya memasukin parenkim otak. 10

Beberapa studi menjelaskan peningkatan terjadinya leukemia SSP pada pasien dengan jumlah sel blas sedikit sel (<5 sel per lapang pandang) dan pasien dengan trauma pungsi lumbar saat diagnosis, kiranya berkaitan dengan penyebaran leukemia. Klasifikasi status SSP tercantum pada tabel 2.4 sebagai berikut. Tabel 2.4 Status SSP pada LLA10
CNS-1 CNS-2 CNS-3 Tidak ditemukan sel blas Jumlah leukosit <5106/L dengan ditemukannya sel blas secara morfologis Jumlah leukosit 5106/L dengan ditemukannya sel blas secara morfologis dan/atau keterlibatan nervus kranialis

Keterlibatan medula spinalis karena infiltrasi leukemia epidural lokal dapat menyebabkan kompresi medula spinalis sehingga terdapat keluhan nyeri punggung, kelemahan ekstremitas, paralisis, dan inkontinesi urin atau alvi. 10 c. Manifestasi genitourin Penyakit testikular dengan palpasi hati-hati atau sonografi, jarang pada LLA. Tapi, sel blas leukemia ditemukan pada biopsi testis pada 25% anak laki-laki. Keterlibatan testis terjadi hanya pada anak lakilaki dengan jumlah leukosit >25109/L. Infiltrasi leukemia ditemukan paling banyak di intersisil. Secara klinis biasanya tidak nyeri dan bersifat unilateral. Pada beberapa anak juga terdapat keterlibatan kelenjar limfe intraabdomen. 10 Infiltrasi ginjal dapat menyebabkan oliguria atau asimtomatis dan baru diketahui setelah ditemukannya ginjal yang membesar pada pemeriksaan USG atau CT. Priapismus sangat jarang ditemukan pada anak laki-laki dengan LLA sel T dan sindrom hiperleukositosis/ leukostasis. 10 d. Manifestasi skeletal Sekitar 20-30% anak-anak dengan LLA mengeluh nyeri berat, sering pada ekstremitas bawah, sehingga berjalan pincang atau tidak mau berjalan. Gejala ini muncul hampir hanya pada prekursor LLA-B

dan sering terjadi dengan jumlah darah normal dan limfoblas dalam jumlah kecil atau bahkan tidak ada (leukemia aleukemik) yang biasanya terlambat didiagnosis. 10 Lebih dari 20% anak dengan LLA hadir dengan perubahan ciri radigrafi tulang, termasuk garis radiolusen transversal pada metafisis, formasi tulang baru subperiosteal atau lesi osteolitik yang menyerupai tumor tulang, demineralisasi difus (osteopenia) atau kolaps vertebra yang menyerupai histiositosis sel Langerhans. Fraktur patologis dan kolaps vertebra dapat terjadi sekunder karena osteopenia berat (osteopati leukemia). Osteonekrosis, khususnya pada pinggu dan lutut, juga dapat menyebabkan nyeri tulang berat dan merupakan komplikasi yang jarang dari terapi antileukemia, khususnya steroid. Anak-anak dengan masalah tersebut jarang yang membutuhkan tindakan ortopedi khusus, yang faktanya menyebabkan osteopenia yang memburuk terutama pada lesi spinal. 10 e. Manifestasi gastrointestinal Masalah rongga mulut khusus lazim terjadi pada anak dengan leukemia akut. Infeksi oleh Candida albicans biasa ditemukan saat diagnosis dan selama polikemoterapi, dan perawatan mulut teratur dengan agen antifungal adalah hal yang penting dalam terapi suportif. Ptekie dan perdarahan gusi sering terjadi, terutama pada anak-anak dengan trombositopenia berat. Ulserasi mukosa juga biasa terjadi, terutama pada neutropenia dalam karena infeksi bateri atau jamur, contohnya Streptococus viridans (S. mitis, S. sanguis, S. hominis). 10 Perdarahan, yang diketahui dengan adanya darah (jelas atau samar) pada feses, adalah manifestasi leukemia di saluran cerna yang paling umum terjadi. Hal ini dapat terjadi karena trombositopenia, disseminated intravascular coagulation (DIC), infiltrasi sel leukemia, atau infeksi (contohnya oleh Candida). Infiltrasi masif kelenjar limfe intrabdomen, terutama kuadran kanan bawah, sering ditemukan pada LLA sel-B matur. 10

Sindrom berupa karakteristik nyeri kuadran kanan bawah, tensi abdomen, muntah dan sepsis biasanya terjadi selama neutropenia dalam karena polikemoterapi intensif (typhlitis neutropenia atau enterokolitis nektrotikan). Ulkus peptikum dan duodenum dapat kadang muncul pada anak LLA, terutama saat terapi steroid. 10 Gangguan fungsi hati dengan atau tanpa peningkatan bilirubin dapat terjadi karena infiltrasi hati oleh sel blas leukemia, hepatotoksisitas karena kemoterapi, terutama saat terapi dengan asparaginase, metotreksat dan analog purin, atau hepatitis, teutama virus hepatitis B atau C. Jarang, pasien didiagnosis dengan disfungsi hepar berat karena infiltrasi hati. 10 f. Manifestasi mata Keterlibatan mata tersamar diketahui dengan pemeriksaan

oftalmologi pada lebih dari 1/3 anak yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan retina diduga terjadi karena trombositopenia dan dapat mengawali perdarahan intrakranial, terutama pada anak dengan sindrom hiperleukositosis/leukostasis. Infiltrasi pada mata jarang didapatkan dan biasanya berhubungan dengan leukemia kambuh. Sekitar anak-anak dengan infiltrasi leukemia ke mata terjadi dengan gejala SSP. Palsi okulomotor dan edema papil adalah tanda yang sering dari leukemia meningeal saat kambuh. 10 g. Manifestasi jantung paru Keterlibatan jantung dan paru pada leukemia jarang. Namun manifestasinya dapat menyebabkan masalah yang mengancam-jiwa pada anak dengan LLA. Efusi leukemia perikardial ditemukan dengan ekokardiografi pada 1/3 anak dengan LLA sel B dan biasanya berhubungan dengan efusi leukemia pleural dan massa mediastinum. Sindrom hiperleukositosis/leukostatis yang mengancam jiwa dapat menyebabkan distres respirasi karena infiltrasi dan leukostasis dalam paru pada pasien dengan leukosit yang tinggi. Leukapheresis darurat atau transfusi tukar dapat dibutuhkan sebagai tindakan

menyelamatkan-jiwa namun umumnya pasien merespon lebih baik dengan kemoterapi intensif dan perawatan suportif. 10 Kardiomiopati berat pada anak dengan leukemia terlihat selama septikemia berat atau gangguan metabolik pada anak dengan leukosit tinggi dan limfoblas lisis cepat (sindrom tumor lisis). Kardiomiopati lambat ditemukan setelah terapi panjang dengan antrasiklin. 10 h. Manifestasi kulit Infiltrasi kulit jarang terdapat pada anak dengan LLA, berbeda dengan leukemia monositik. Tapi, limfoblas dapat berproliferasi ke dalam kulit karena perdarahan intradermal yang disebabkan trombositopenia. 10 i. Hiperleukositosis Hiperleukositosis dapat ditemukan pada 6-15% pasien leukemia limfositik akut (LLA), 13-22% pasien leukemia non-limfositik akut dan pada hampir semua pasien mielogenus kronis. Di Bagian IKA FKUI/ RSCM Jakarta dalam kurun waktu Mei 1994 Desember 2000 terdapat 57 (22%) pasien dengan hiperleukositosis dari 262 pasien LLA. Sebagian besar pasien berusia antara 2-9 tahun dan 61% datang pertama kali dengan jumlah leukosit >100.000/ul. 11 Hiperleukositosis dapat menyebabkan viskositas darah meningkat, terjadi agregasi serta trombus sel blas pada mikrosirkulasi. Selain itu akibat ukuran sel blas yang lebih besar dibanding sel leukosit matur, serta tidak mudah berubah bentuk menyebabkan sel blas akan mudah terperangkap dan menimbulkan oklusi pada mikrosirkulasi. Keadaan ini disebut dengan leukostasis. 11 Organ tubuh yang paling sering mengalami leukostasis adalah susunan saraf pusat dan paru. Leukostasis akan menyebabkan perfusi yang buruk dan terjadi hipoksia, metabolisme anaerob, asidosis laktat, akhirnya akan menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan perdarahan. Bila leukostasis terjadi pada susunan saraf pusat maka akan terdapat gejala klinis berupa pusing, penglihatan kabur, tinitus, ataksia, delirium, perdarahan retina dan perdarahan intra kranial. 11

Gejala klinis yang berhubungan dengan leukostasis pada paru ialah takipne, dispne, hipoksia dan gagal nafas. Dalam sebuah penelitian pada 57 pasien dengan hiperleukositosis, lebih dari 80% datang dengan hepatomegali dan splenomegali, sedang gejala leukostasis yang ditemukan adalah delirium, penglihatan kabur, hipoksia dan sesak nafas. 11

Pemeriksaan penunjang Bila seorang pasien dicurigai LLA, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang dalam tabel 2.5. Tabel 2.5 Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada LLA10
Pemeriksaan darah Darah lengkap Hitung jenis darah Laktat dehidrogenase Elektrolisis Pemeriksaan fungsi ginjal Pemeriksaan fungsi liver Screen koagulasi Serologi virus Diagnostik sumsum Aspirasi sumsum tulang tulang Morfologi Imunofenotipik Sitogenetik dan DNA Genetik molekuler, termasuk translokasi t(4;11) dan t(9;22) Diagnostik SSP LCS: jumlah sel, cytospin, protein, glukosa, kultur Kardiologi Ekokardiografi Diagnostik pencitraan Radiografi dada Radiografi tulang bila ada indikasi USG abdomen untuk hepar, limpa, ukuran ginjal (opsional) Lain-lain Alkaline fosfatase dan myeloperoksidase kadang dibutuhkan untuk sitokimia sumsum tulang

Pada pemeriksaan awal, umumnya terdapat anemia, meskipun hanya kirakira 25% yang mempunyai Hb 6 gr%. Kebanyakan penderita juga trombositopenia, tetapi kira-kira 25% mempunyai trombosit 100.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan hitung sel darah putih kurang

dari 10.000/mm3, sekitar 20% penderita memiliki hitung sel darah putih yang lebih besar dari 50.000/mm3. Diagnosis leukemia dikesankan oleh adanya sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang, yang biasanya diganti sama sekali oleh limfoblas leukemia. Kadang-kadang, sumsum tulang pada awalnya hiposelular. Pemeriksaan sitogenetik pada kasus-kasus ini mungkin bermanfaat untuk mengidentifikasi abnormalitas spesifik yang berkaitan dengan sindroma preleukemia. Jika sumsum tulang tidak dapat diaspirasi atau cuplikannya hiposelular, maka diperlukan biopsi sumsum tulang.12 Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi, imunologi, dan genetik sel blas leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan atas pemeriksaan aspirasi sumsum tulang. Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada klasifikasi morfologik yang memuaskan. 13 Penampakan sel blas pada LLA bervariasi. Berdasarkan klasifikasi sistem France-America-British (FAB), LLA dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan penampakan sitomorfologik dalam pewarnaan WrightGiemsa. WHO merekomendasikan klasifikasi FAB agar ditinggalkan karena klasifikasi morfologis ini tidak memiliki relevansi secara prognostik/klinis. WHO menganjurkan penggunaan klasifikasi

imunofenotipik dan sitogenetik yang dapat menunjukkan prognosis. Tapi, pengetahuan tentang penampakan LLA dapat berguna dalam

mengevaluasi CSF, khususnya dalam korelasi penemuan CSF dengan aspirasi sumsum tulang. 13 Tabel 2.6 Klasifikasi FAB untuk LLA13
L1 blas kecil nukleus bulat kromatin halus nukleolus kurang terlihat sitoplasma sedikit, agak basofilik L2 blas lebih besar nukleus iregular kromatin halus nukeolus prominen sitoplasma besar L3 kromatin kasar nukleoli banyak sitoplasma biru gelap vakuola sitoplasmik kecil (lemak).

Gambar 2.2. Klasifikasi LLA menurut FAB A. L1, B. L2, C. L3 (dikutip dari 13)

Bila menggunakan klasifikasi sistem FAB, karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.13 Klasifikasi lain LLA bergantung kepada kombinasi gambaran sitologik, imunologik dan kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma, maka imunotip dapat ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor-B, lebih kurang 15% dari sel progenitor-T, dan 1% dari sel B yang relatif matang. Imunotip ini mempunyai implikasi prognostik maupun terapeutik. Subtipe LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya ditunjukkan pada tabel 2.7.12

Tabel 2.7. Insidensi subtipe LLA 12


Jumlah penderita 44 2 56 209 33 Hitung leukosit (103) (median) 61.2 12.2 12.4 50.0 % dengan Massa Mediastinum 38.2 1.2 1.0 Tidak ada Abnormalitas Kromosom Terkait t(11;14) t(8;14) t(1;19) t(9;22) t(4;11)

Sub tipe T B PreB PreB awal PreB awal bayi

% 14 0.6 18 67 NA

Umur (median) 7.4 th 4.7 th 4.4 th 1 th

% Pria 67.2 54.8 56.5 55

Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya juga terlibat. Karena itu, tidak ada sistem pembagian stadium (staging) untuk LLA.12

Diagnostik pencitraan Radiografi dada diperlukan untuk menentukan apakah ada massa mediastinum. Radiografi tulang mungkin menunjukkan perubahan trabekula medulla, defek korteks, atau resorpsi tulang subepifiseal. Penemuan ini tidak punya arti klinis ataupun prognostik, sehingga survei skeletal biasanya tidak diperlukan. Cairan serebrospinal harus diperiksa untuk menemukan sel leukemia karena keterlibatan awal SSP mempunyai implikasi prognostik penting. Kadar asam urat dan fungsi ginjal harus ditentukan sebelum terapi dimulai.12

Gambar 2.3 Gambaran massa mediastinum pada foto thoraks pasien LLA (ditunjuk panah).

Gambar 2.4 Radiografi sendi lutut secara frontal dan oblique pada pasien LLA. Panah menunjukkan berkas metafisis lebih lusen yang terdapat pada 90% pasien leukemia.

2. Leukemia Mieloblastik Akut Leukemia mieloblastik akut [acute myelogenous leukemia (AML)] juga disebut leukemia nonlimfositik akut [acute nonlymphocytic leukemia (ANLL)] adalah keganasan progresif yang terbentuk dari prekursor hematopoietik, atau sel induk mieloid, yang kemudian berkembang

menjadi granulosit, monosit, eritrosit, dan trombosit. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kejadian genetik pada awal maturasi stem cell dapat menyebabkan leukemia. Pertama, adanya jeda waktu 5-10 tahun perkembangan leukemia setelah paparan terhadap agen kausatif seperti kemoterapi, radiasi, dan beberapa zat. Kedua, banyak kasus dari leukemia sekunder yang berevolusi dari fase preleukemia memanjang dan dikenal dengan sindrom mielodisplasia dari hipoproduksi dengan maturasi abnormal tanpa keganasan yang terjadi. Akhirnya, pemeriksaan sel prekursor pada tahapan yang lebih awal dari klon keganasan yang diperluas dapat mengungkap adanya abnormalitas genetik seperti monosomi atau trisomi pada kromosom yang berbeda. 14 Faktor risiko LMA anak hampir sama dengan faktor risiko LLA, seperti yang tercantum pada tabel 2.8 berikut. Tabel 2.8 Faktor risiko LMA 15
Kelainan kromosom Trisomi 21 Sindrom Klinefelter Sindrom Bloom Neurofibromatosis Telangiektasia-ataksia Anemia Fanconi Sindrom Diamond-Blackfan Sindrom Shwachman-Diamond Sindrom Kostmann Sindrom Thrombocytopenia-absent radii Trombositopenia familial

Kelainan hematopoiesis konstitusional

Faktor risiko lingkungan pada LMA mencakup paparan prenatal dan post natal. Beberapa faktor risiko yang sudah dibuktikan dan potensial pada LMA anak tercantum dalam tabel 2.9 berikut. Tabel 2.9 Faktor risiko lingkungan terhadap LMA15
Konsumsi alkohol/tembakau/obat-obatan maternal Ingesti makanan yang mengandung topoisomerase II oleh ibu hamil Radiasi ionisasi* Kemoterapi sitotoksik (agen alkilasi dan epipodophyllotoxins)* Produk-produk petroleum

Pestisida Benzena* Logam berat *) faktor risiko yang terbukti

Manifestasi klinis Tanda dan gejala LMA pada anak bervariasi luas. Komplikasi mengancam jiwa terjadi karena penurunan hematopoiesis normal yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia ke sumsum tulang seperti juga karena disfungsi organ karena infiltrasi leukemia.15 Walaupun jumlah leukosit biasanya meningkat pada LMA, jumlah neutrofil normal biasanya cukup rendah, sehingga menyebabkan neutropenia yang membuat penderita berisiko tinggi terhadap infeksi bakteri. Anemia normositik normokromik yang juga umum terjadi menyebabkan sakit kepala, pusing, lemah, pucat, dan kadang gagal jantung kongesti. Pasien LMA sering mengeluh nyeri tulang, karena penggantian sumsum dengan blas leukemia yang menyebabkan tekanan dalam periosteum. Hal ini dapat menyebabkan terbangun malam hari, pincang, atau nyeri punggung. Koagulopati biasa terjadi sebagai komplikasi LMA, khususnya pada subtipe leukemia promielositik akut (APL), tapi juga pada leukemia mielomonositik akut (AMML) dan leukemia monositik akut (AmoL). Koagulopati dapat terjadi karena trombositopenia karena DIC yang disebabkan baik oleh infeksi maupun karena pelepasan aktivitas koagulan (contohnya aktivitas tromboplastin) yang berhubungan dengan granula sitoplasmik dari beberapa blas LMA. DIC dapat memburuk saat terapi dimulai karena peningkatan pelepasan protein koagulan ini berhubungan dengan lisis tumor dan mengakibatkan kehabisan faktor dan perdarahan. Penggantian faktor pembekuan yang agresif dan transfusi trombosit seringkali dibutuhkan untuk mencegah perdarahan hebat. 15 Organomegali yang terdapat pada sekitar setengah pasien LMA terjadi karena infiltrasi blas leukemia ke hepar dan lien. Leukemia ekstramedular terjadi pada 10-20% pasien dengan hipertrofi ginggiva,

limfadenopati, dan leukemia kutis (teraba nodul nontender di kulit) menjadi yang paling umum. Sarkoma granulositik atau kloroma dapat mencakup anatomik seperti periorbita, paraspinal, dan intraorgan. Keterlibatan periorbita dapat menyebabkan proptosis, kloroma paraspinal menyerang kanalis spinalis dapat menyebabkan kompresi medula spinalis.15 Karena besarnya ukuran blas LMA dan sifat adesifnya,

hiperleukositosis dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. Saat jumlah leukosit perifer >100109/L, blas LMA dapat mulai menggumpal dan menyebabkan leukostasis dan mengendap di pembuluh darah kecil. Hal ini menyebabkan hipoksia seluler, infark jaringan, dan akhirnya perdarahan jaringan. Bila hal ini terjadi di sistem saraf pusat, terjadi peningkatan risiko stroke dan sindrom somnolen yang dapat berkembang sampai koma. Manifestasi hiperleukositosis di paru termasuk infiltrasi parenkim, edema pulmoner, kegagalan respirasi dan kadang perdarahan. Penurunan leukosit dengan cepat dibutuhkan, sering dengan leukapheresis bersama dengan hidrasi agresif. Sitoreduksi definitif dengan kemoterapi harus diberikan dengan cepat, karena mekanisme lain untuk menurunkan leukosit hanya akan memperbaiki sementara. Pengecualian adalah leukapheresis untuk sitoreduksi adalah APL. Pada APL, leukapharesis dapat mengaktivasi leukemia promielositik dan

menyebabkannya untuk melepaskan koagulan yang mengandung granul, dan dapat meningkatkan risiko DIC dan perdarahan fatal. Kemoterapi sitoreduksi menggunakan all-trans retinoic acid (ATRA) dan kemoterapi harus diberikan segera, dengan pertimbangan kuat untuk diberikan steroid juga.15

Klasifikasi Klasifikasi morfologik komprehensif untuk LMA adalah klasifikasi French-American-British (FAB) yang dikemukakan tahun 1976 dan direvisi tahun 1985. Walaupun klasifikasi ini hanya berdasarkan morfologi dan analisis histokimia sel maligna tapi tetap menjadi kerangka berguna

untuk mengklasifikasikan subtipe LMA. Klasifikasi FAB membagi LMA menjadi 8 subtipe berdasarkan morfologi setelah pewarnaan dengan Wright, Wright-Giemsa, atau May-Grunwald. Kecuali subtipe subtipe M6M7, klasifikasi asli mengandung 30% mieloblas pada sumsum tulang untuk menjadikan diagnosis LMA. Pada tahun 1997 WHO merevisi klasifikasi FAB dengan menambahkan analisis sitogenetik kepada klasifikasi subtipe LMA. Selain itu, klasifikasi WHO menurunkan presentase sel blas maligna pada sumsum tulang untuk diagnosis LMA.13,15

Gambar 2.5. Klasifikasi AML menurut FAB (dikutip dari 15)

Tabel 2.10. Klasifikasi LMA oleh FAB 1,13,15


M0 M1 M2 M3 M4 M4Eo M5 M6 M7 Leukemia mieloblastik akut dengan diferensiasi minimal Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi Leukemia mieloblastik akut dengan maturasi Leukemia promielositik hipergranuler Leukemia mielomonositik akut Bervariasi, dengan peningkatan eosinofil sumsum Leukemia monositik akut Leukemia eritroblastik (eritroleukemia) Leukemia megakariosit akut

Tabel 2. 11. Klasifikasi LMA oleh WHO 13,15


LMA dengan translokasi sitogenetik LMA dengan displasia multilineage LMA dan sindrom mielodisplasia, terkait terapi LMA tak ter-kategorikan

3. Leukemia Mielogenik Kronis Leukemia mielogenik kronis (LMK) merupakan keganasan klonal dari sel induk sistem hematopoietik yang ditandai oleh translokasi spesifik, t(9;22)(q34;q1), yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia. Translokasi ini mendekatkan gena bcr pada kromosom 22 dengan gena abl pada kromosom 9, sehingga menghasilkan gena gabungan yang menyandi protein gabungan bcr-abl. LMK sebih sering pada orang dewasa dan hanya sebanyak 3% dari kasus leukemia masa kanak-kanak. Pada kebanyakan kasus, tidak ada gambaran predisposisi.16 Seperti pada dewasa, LMK mempunyai perjalanan bifasik atau trifasik. Selama fase konis, yang berlangsung 3-4 tahun, hitung leukosit mudah dikendalikan dengan kemoterapi dosis-rendah. Perburukan kearah krisis blas mieloid atau limfoid yang menyerupai leukemia akut dapat terjadi dengan cepat atau mungkin menyertai fase akselerasi di mana hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas sitogenetik tambahan mungkin timbul.16

Patologi LMK ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang. Kromosom Philadelphia yang patognomonik dapat dideteksi dengan mudah pada 90% kasus, dan pada penderita sisanya, analisis bekuan Southern atau teknik reaksi rantai polimerasi (RRP) menunjukkan penyusunan kembali bcrabl.16

Manifestasi Klinis Awitan gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif), atau dengan gejala hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis, seperti gangguan penglihatan atau priapismus jarang terjadi. Studi di Prancis menemukan bahwa dari 40 anak yang didiagnosis LMK, 23% ditemukan secara tidak sengaja karena peningkatan pemeriksaan darah rutin. Gejala lain yang kurang sering adalah perdarahan (biasanya dengan jumlah trombosit dan pemeriksaan koagulasi normal) dan nyeri tulang. Bila terdapat leukositosis bermakna (>100109/L), pasien dapat datang dengan gejala hipermetabolik, termasuk demam dan keringat malam.17 Tabel 2.12. Manifestasi klinis saat diagnosis LMK15
Umum Kelemahan Penurunan berat badan Nyeri perut/ splenomegali Asimtomatik (ditemukan tidak sengaja) Nyeri tulang Perdarahan Demam Berkeringat Leukostasis (contohnya priapismus) Gout Infark lien

Tidak umum

4. Leukemia Kongenital Leukemia kongenital sangat jarang sekali, didiagnosis pada usia bulan pertama dengan angka 4,7 per juta kelahiran hidup. Leukemia mieloid tampaknya predominan pada kelompok ini. Umumnya, kasuskasus menunjukkan leukositosis berat, ptekie, ekimosis, dan keterlibatan ekstramedular, dengan hepatosplenomegali masif, nodulus kulit, dan leukemia SSS. Neuroblastoma dan reaksi leukemoid akibat eritroblastosis fetalis dan infeksi bakteri atau virus kongenital dapat mirip leukemia kongenital, tetapi ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Lebih sulit untuk membedakan dengan kelainan

mieloproliferatif sementara, yang terutama terjadi pada neonatus dengan trisomi 21 atau mosaikisme kromosom 21. Kebanyakan kelainan mieloproliferatif sementara mengalami remisis spontan dalam beberapa minggu. Jadi, penderita harus hanya menerima terapi suportif pada awalnya, tetapi memerlukan tindak lanjut yang seksama karena beberapa penderita akan menderita leukemia beberapa bulan atau tahun kemudian.18 Leukemia kongenital mempunyai prognosis jelek, terutama pada kasus dengan rearrangement kromosom sel leukemia yang mempengaruhi regio q23 dari koromosom 11. Meskipun waktu laten yang pendek memberi dugaan predisposisi genetik, penelitian memberi kesan bahwa pemajanan intrauterin terhadap karsinogen bertanggung jawab paling sedikit pada beberapa kasus leukemia anak yang amat muda.18

H. DIAGNOSIS BANDING LEUKEMIA Diferensial diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, termasuk infeksi kronis virus Epstein-Barr (EBV) dan cytomegalovirus (CMV), menyebabkan limfadenopati, hepatosplenomegali, demam, dan anemia. Ptekie dan purpura yang prominen dapat menyebabkan

kecenderungan diagnosis immune thrombocytopenic purpura. Kepucatan yang signifikan dapat disebabkan karena eritroblastopenia sementara pada masa kanak-kanak.1

I. PENATALAKSANAAN LEUKEMIA Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. 1 Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemia, berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi.

Pengobatan LLA Berdasarkan data Divisi Hematologi dan Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA FKUI RSCM) sejak Januari tahun 2000-Juni 2008 terdapat 517 pasien LLA baru dengan perbandingan lelaki dan perempuan sebesar 1,6:1. Angka keberhasilan terapi LLA saat ini telah mendekati 80%.2 Prognosis LLA paling baik dibandingkan dengan kanker lainnya karena lebih dari 95% mengalami remisi dan 63-83% tidak mengalami kekambuhan dalam 5 tahun setelah selesai kemoterapi. 19 Saat ini di Indonesia ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol Wijaya Kusuma-LLA 2000. Pada pertengahan tahun 2006, di RSUP Dr Kariadi mulai digunakan Protokol Indonesia 2006 yang dibuat oleh Unit Kelompok Kerja Hematologi Onkologi Indonesia yang ditetapkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia untuk terapi pasien LLA. Protokol ini terdiri dari 3 fase (induksi, konsolidasi, pemeliharaan) untuk kelompok risiko standar (standard risk [SR]), dan 4 fase (ditambah fase reinduksi) untuk kelompok risiko tinggi (high risk [HR]). 1,20

1. Kemoterapi a. Terapi induksi Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau

antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi parsial, atau gagal. b. Intensifikasi Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. c. Terapi SSP Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Pada beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5tahun, mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi. d. Terapi lanjutan rumatan Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan. Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia, para aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dl tanpa transfusi, jumlah

leukosit >3000/l dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.1 Yang perlu diperhatikan saat terapi adalah metabolik, infeksi dan hematologi, dan reaksi sindrom lisis tumor. Penghancuran sel abnormal berlebihan pada keadaan hiperleukositosis bisa berlangsung secara spontan atau setelah terapi sitostatika. Sindrom lisis tumor yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan metabolik dan gagal ginjal akut. 11 Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-termsurvival) sementara relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik, khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.1 2. Transplantasi sel induk [stem cell transplantation (SCT)] Sebanyak 70-80% kasus LLA diterapi dengan kemoterapi

konvensional. Namun terdapat beberapa pasien yang memiliki risiko tinggi kambuh dengan terapi konvensional (75-100%) dan harus diterapi dengan SCT. Tingkat DFS berkisar antara 15-65%, dengan tingkat kekambuhan 30-70%. 21 Pasien dengan LLA risiko tinggi yang memiliki donor HLA yang cocok dapat memenuhi syarat untuk SCT alogenik. Anak-anak yang menerima SCT dari saudara kandung dengan HLA yang cocok untuk LLA berisiko tinggi pada remisi lengkap pertama memiliki tingkat DFS 70-80% dengan tingkat kekambuhan 0-10%. 21 Faktor risiko kekambuhan LLA hanya dengan kemoterapi konvensional antara lain 21: a. LLA kongenital atau bayi (< umur 1 tahun) b. Translokasi kromosom t(4,11), t(9,22)-Philadelphia, t(8-14)

c. Morfologi FAB L3 (Burkitt) d. Jumlah sel darah putih 100.000/mm3 e. Gagal remisi f. Kambuh selama kemoterapi g. Remisi kedua dan subsekuen (ketika remisi pertama <30 bulan) h. Lebih dari 1 manifestasi ekstramedular tanpa sumsum tulang i. LLA sekunder yang terjadi karena terapi kanker sebelumnya. 3. Terapi suportif Mielosupresi pada LLA disebabkan oleh invasi sel ganas pada sumsum tulang maupun karena pemberian kemoterapi yang intensif. Hal ini akan menyebabkan kondisi anemia dan trombositopenia. Kehilangan darah akibat trombositopeni juga akan memperberat kondisi anemia dan tidak jarang berakhir pada kematian, sehingga terapi suportif sangat diperlukan. Sebelum era transfusi trombosit, perdarahan adalah penyebab kematian utama pada LLA. Penggunaan profilaksis trombosit dan dukungan transfusi darah sangat bermakna menurunkan angka perdarahan. Transfusi sel darah merah juga sangat sering digunakan dalam terapi anemia pada leukemia. 20 Transfusi PRC diberikan jika kadar Hb kurang dari 8 mg/dl, pasien seharusnya mendapatkan dosis transfusi 10-15ml/kg berat badan. Pasien anemia berat dengan kadar Hb kurang dari 5 mg/dl harus ditransfusi dengan kecepatan rendah (3-4 ml/kg selama 3-4 jam) dengan monitor ketat. Peningkatan yang diharapkan adalah setiap 1 ml/kg PRC akan meningkatkan hematokrit 1%.
20

Batas pemberian transfusi sel darah

merah tergantung dari keadaan pasien. Transfusi sel darah merah harus dihindari pada pasien dengan hiperleukositosis. Pemakaian produk trombosit pada manajemen keganasan masih belum jelas dosis optimalnya maupun kadar untuk menetapkan kapan diindikasikan tindakan transfusi. Perdarahan serius bisa dipicu dari kadar trombosit kurang 15.000-20.000/mm3. Untuk alasan ini maka transfusi trombosit akan diberikan jika 20:

a. Jumlah trombosit kurang dari 15.00020.000/mm3. b. Jumlah trombosit lebih dari 20.000/mm3, tetapi didapatkan perdarahan ( mimisan, hematemesis, melena atau perdarahan otak) c. Pasien yang direncanakan operasi namun jumlah trombosit masih kurang dari 50.000/mm3. Dosis trombosit yang diberikan adalah 1 unit per 10 kgBB pada donor yang acak atau 1 unit/50kg pada donor tunggal. Temuan terbaru menunjukkan bahwa batas kadar untuk profilaksis kurang dari 10.000/mm3. Tindakan terapi sama amannya dengan profilaksis pada banyak pasien.20

Pengobatan LMA Tiga puluh tahun yang lalu, hampir setiap anak dengan LMA meninggal dan tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini dilaporkan gambaran survival hidup lebih dari 40%. Perubahan terjadi pada tahun 70-an dengan dikenalnya sitarabin (AraC) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda, remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun tanpa terapi lanjut kebanyakan anak relaps dalam 1 tahun.1 Tabel 2.13. Protokol kemoterapi LMA 22
Fase induksi MTX+AraC IT h1 Ara-C 50mg/m2 infus 24 jam h12, AraC 50mg/m2 bolus/12 jam h3-4; Ara-C 75mg/m2 bolus/12 jam h56; AraC 100mg/m2 bolus/12 jam h-7-8 Dauborubisin 30 mg/m2 infus/12 jam h3,4,5 Etoposid 150 mg/m2 infus/hari h6,7,8 Deksametason 4 mg/m2 po, h1-28 6-MP 50 mg/m2 po, h1-28 Vinkristin 1,5 mg/m2 bolus, h1,8,15,22 Adriamisin 30 mg/m2 bolus, h1,8,15,22 Ara-C 75 mg/m2 bolus, h24, h912, h1619, 2326, h3033, h3740 Siklofosfamid 500 mg/m2 infus h29,43 MTX+AraC IT h1,15,29,43 Ara-C 3 g/m2 infus/12 jam h1-3 Etoposid 125 mg/m2 infus h2-5

Fase konsolidasi

Fase intensifikasi

Kualitas remisi harus diperbaiki dengan konsolidasi intensif, namun intensitas remisi juga bisa mempengaruhi hasil yang tidak berharga dari tipe terapi konsolidasi yang digunakan. Tiga metode konsolidasi adalah dengan kemoterapi sendiri, transplantasi sumsum tulang autologus, atau transplantasi alogenik dari donor dengan HLA yang identik. Transplantasi sel induk adalah terapi yang dilakukan pada LMA remisi pertama. Tingkat disease-freesurvival (DFS) berkisar antara 55-83% untuk SCT saudara kandung yang cocok selama remisi komplit pertama. Saat ini nampaknya transplantasi sumsum tulang autologus menunjukkan hasil yang baik, namun transplantasi alogenik dari donor dengan HLA yang identik masik merupakan yang terbaik untuk kesembuhan. 21

J. FAKTOR PROGNOSTIK LEUKEMIA Berdasarkan faktor prognostik, maka pasien leukemia dapat digolongkan kedalam kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik tersebut berhubungan dengan in vitro resistance. 1. Faktor prognostik LLA 1 a. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/ul mempunyai prognosis yang buruk. b. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan gene rearrangement pada kromosom 11q23 seperti t(4;11) atau t(11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi.

c. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat diagnosis juga mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi kappa dan lambda pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B, prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol risiko tinggi. d. Jenis kelamin. Sebagian besar penelitian menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-laki. Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme merkaptopurin dan metotreksat. e. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang pada induksi hari ke-7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk. f. Obesitas Hiperleukositosis ditemukan pada 6 dari 12 pasien obesitas dengan kisaran leukosit 66.700-159.000/mms3. Adanya tren jumlah leukosit tinggi lebih sering ditemukan pada pasien obesitas sesuai dengan adanya dampak obesitas terhadap pertumbuhan sel. Butturini, dkk mendapatkan bahwa jumlah leukosit yang tinggi saat diagnosis juga merupakan salah satu prediktor outcome yang buruk pada pasien leukemia limfoblastik akut anak. 23 g. Kelainan jumlah kromosom mempengaruhi prognosis. 1) LLA hiperploid (>50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik.

2) LLA hipoploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t(1;19). 3) Translokasi t(9;22) pada 5% anak atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.

Faktor prognostik LLA dirangkum pada tabel 2.13 berikut. Tabel 2.13. Faktor prognostik LLA 8
Jenis kelamin Usia Jumlah sel darah putih Kromosom Penyakit ekstrameduler Kecepatan remisi Bersihan blas darah perifer Hilangnya penyakit residual minimal dalam sumsum tulang Baik Perempuan 2-9 tahun Rendah (<10 109/L) Hiperdiploid Tidak ada 4 minggu 1 minggu 1-3 bulan Buruk Laki-laki Dewasa Tinggi (>50 109/L) t(9;22), t(4;11) Ada >4 minggu >1 minggu >3 bulan

2. Faktor prognostik LMA 1 a. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis yang lebih baik. b. Leukosit tinggi (tapi tidak pada semua studi). c. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi. d. Anak-anak dengan Sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar merupakan FAB M7 dan mempunyai respon baik dengan kemoterapi. Translokasi kromosom adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;21), t(15;17) dan inversi 16. e. Respon awal terhadap terapi.

Dengan pemeriksaan analisis sitogenetik dan DNA microarray, dapat diketahui informasi prognostik untuk LLA seperti yang tercantum pada tabel 2.14 berikut.

Tabel 2.14. Risiko LMA berdasarkan perubahan sitogenetik 8


Risiko baik M2: t(8;21) M3: t(15,17) M4 eosinofilia: inversi 16 Monosomi 5, monosomi 7 Kariotipe kompleks Kelainan 11q23 Mutasi FLt-3 Semua kasus lain. Kasus-kasus ini lebih lanjut dapat dibagi menjadi kelompok prognostik menggunakan teknik DNA microarray

Risiko buruk

Risiko standar

III. KESIMPULAN

1. Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang dan darah. Hal ini menyebabkan sumsum tulang didominasi oleh klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut kedarah dan semua organ tubuh. 2. Etiologi leukemia berasal dari satu sel tunggal dalam sumsum tulang, timus, atau sistem limfoid perifer yang mengalami perubahan genetik (mutasi somatik) yang menyebabkan transformasi maligna. Penyebab ini merupakan suatu interaksi kompleks antara mekanisme genetik dan mekanisme lingkungan. 3. Patofisiologi leukemia berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang untuk mempertahankan hematopoiesis normal dan infiltrasi leukemia ke organorgan. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai manifestasi klinis pada organ tersebut. 4. Penegakan diagnosis perikarditis didasarkan pada manifestasi klinis dari riwayat penyakit dan pemeriksaaan fisik, serta berbagai pemeriksaan penunjang diagnosis terutama pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan apusan darah dan aspirasi sumsum tulang. 5. Klasifikasi leukemia pada anak antara lain leukemia limfoblastik akut, leukemia mieloid akut, leukemia mielogenik kronis, dan leukemia kongenital. 6. Prinsip terapi leukemia pada anak adalah dengan protokol kemoterapi dan bila perlu dilakukan transplantasi sumsum tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugraseda IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006. h. 236-45. 2. Hu W. Leukemia. Didapat dari http://www.emedicinehealth.com/leukemia/article_em.htm. Diakses tanggal 10 Oktober 2012. 3. Wu L. Leukemias. Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/1201870-overview#showall. Diakses tanggal 10 Oktober 2012. 4. Maloney K, Greffe BS, Foreman NK, dkk. Neoplastic disease. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. United States of America: McGraw Hill. h.885. 5. Permono B, Ugrasena IDG, Ratwita M. Leukemia limfoblastik akut. Didapat dari http://www.scribd.com/doc/95943211/Http. Diakses tanggal 10 Oktober 2012. 6. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi kedua. EGC. Jakarta. 2005. h. 12 7. Judarwanto W. Penyakit leukemia atau kanker darah. Didapat dari http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/09/penyakit-leukemiaatau-kanker-darah/. 2009. Diakes tangga1 10 Oktober 2012. 8. Mehta A, Hoffbrand V. At a glance hematologi. Edisi kedua. EGC. Jakarta. 2006. h. 46-56. 9. Tubergen DG, Bleyer A. The leukemias. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi 18. Saunders. 2007 [ebook] 10. Smith OP, Hann IM. Clinical features and therapy of lymphoblastic leukemia. Dalam: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP, penyunting. Pediatric hematology. Edisi 3. Blackwell Publishing. 2006. h. 450-73 [ebook] 11. Windiastuti A, Mulawi C. Gangguan metabolik pada leukemia limfositik akut dengan hiperleukositosis. Sari pediatri vol 4 no 1 . 2002: 31-35. 12. Cibas ES. Cerebrospinal fluid. Dalam: Cibas ES, Ducatman BS, penyunting. Cytology: Diagnostic principles and clinical correlates. Edisi 3. Saunders. 2009. [ebook]

13. Crist WM, Pui CH. Leukemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Volume 3. EGC. Jakarta. 2000 14. Tripathy D. Neoplasia. Dalam: McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD, penyunting. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. Edisi 2. Appleton & Lange. 1997. [ebook] 15. Kean LS, Arceci RJ, Woods WG. Acute myeloid leukemia. Dalam: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP, penyunting. Pediatric hematology, Edisi 3. Blackwell Publishing. 2006. h. 360-75 [ebook] 16. Heslop HE. Leukemia mielogenik kronis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Volume 3. EGC. Jakarta. 2000. 17. Roberts IAG, Dokal IS. Chronic myeloid leukemia. Dalam: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP, penyunting. Pediatric hematology. Edisi 3. Blackwell Publishing. 2006. 384-99. [ebook] 18. Pui CP. Leukemia kongenital. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 3. EGC. Jakarta. 2000. 19. Kamima K, Gatot D, Hadinegoro SRS. Profil antioksidan dan oksidan pasien anak dengan leukemia limfoblastik akut pada kemoterapi fase induksi (studi pendahuluan). Sari pediatri vol 11 no 4. 2009: 282-88. 20. Nency YM. Perbedaan kebutuhan transfusi darah selama fase induksi pada leukemia limfoblastik akut. Sari pediatri vol 13 no. 4. 2011: 271-4. 21. Velardi A, Locatelli F. Hematopoietic stem cell transplantation. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi 18. Saunders. 2007 [ebook] 22. Sjakti HA, Windiastuti E. Pola infeksi pada leukemia mieloblastik akut pada anak. Sari pediatri vol 13 no. 6. 2012: 426-30. 23. Sari TT, Windiastuti E, Cempako GR, Devaera Y. Prognosis leukemia limfoblastik akut pada anak obes. Sari pediatri vol 12 no 1. 2010: 58-62.

Anda mungkin juga menyukai