Anda di halaman 1dari 17

Artikel Asli373 Sari Pediatri, Vol. 10, No.

6, April 2009 Sindrom Klinefelter Samuel Harmin, Bambang Tridjaja A. A. P Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, RS Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

Sindrom Klinefelter (SK) merupakan kelainan akibat adanya kromosom seks tambahan (47,XXY) yang menyebabkan hipergonadotropik

hipogonadisme, dan infertilitas. Penampilan pasien SK hampir tidak berbeda dengan mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama masa anak, sehingga diagnosis ditegakkan setelah usia remaja atau dewasa muda. Keterlambatan dalam penegakkan diagnosis dapat

menyebabkan hilangnya kesempatan tata laksana untuk memperbaiki hipogonadisme, gangguan kognitif, dan faktor-faktor psikososial. Dilaporkan kasus anak laki-laki 13 tahun dengan keluhan ginekomastia. Pada pemeriksaan fisis ditemukan bentuk tubuh eunokoid, volume testis yang kecil dan teraba keras. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

peningkatan kadar LH dan FSH, dengan kadar testosteron yang masih dalam rentang normal. Diagnosis SK ditegakkan melalui pemeriksaan analisis kromosom dengan hasil 47, XXY. (Sari Pediatri 2009;10(6):373-7).

Sindrom Klinefelter (SK) merupakan kelainan kromosom seks yang paling banyak terjadi, disebabkan adanya kromosom X tambahan pada laki-laki (47,XXY).1,2 Pasien akan mengalami kegagalan perkembangan testis, dengan akibat hipogonadisme dan gangguan spermatogenesis. Gejala klinis SK yang lain adalah gangguan perkembangan, bentuk tubuh eunukoid, ginekomastia, volume testis yang kecil, dan peningkatan kadar hormon gonadotropin

(hipergonadotropisme).3 Penampilan anak laki-laki pasien SK hampir tidak

berbeda dengan mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama masa anak, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan saat remaja atau dewasa muda.3,4 Kesulitan dan keterlambatan dalam penegakkan diagnosis dapat menyebabkan hilangnya kesempatan tata laksana untuk memperbaiki keadaan hipogonadisme, gangguan kognitif, dan faktor-faktor psikososial.3Pendekatan diagnosis dapat dilakukan melalui analisis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis yang teliti, dengan petunjuk penting adalah testis yang teraba lebih kecil dan keras, sedangkan analisis kariotip dari darah perifer merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis.5 Angka kejadian SK di dunia berkisar antara 1 dalam 500-1000 anak laki-laki. Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM melaporkan kasus SK pertama. Alamat Korespondensi: Dr. Bambang Tridjaja AAP, Sp.A(K). Divisi Endokrinologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jl. Salemba no. 6, Jakarta 10430. Telepon: 0213100669. Fax.021-390 7743.

Samuel Harmin dkk: Sindrom Klinefelter Sari Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009 374 KasusSeorang anak laki-laki usia 13 tahun datang pertama kalinya ke poliklinik Endokrinologi IKA FKUI-RSCM dengan keluhan kedua payudara tampak semakin membesar sejak lima bulan, disertai nyeri ringan bila payudara ditekan. Tidak dijumpai riwayat minum obat-obatan tertentu, penurunan berat badan, keluarnya cairan dari kedua puting, dan riwayat timbulnya benjolan pada tempat lain. Cenderung makan makanan ayam cepat saji juga disangkal.Pasien berada dalam masa pubertas dan telah mengalami mimpi basah pada usia 12 tahun. Pasien saat ini duduk di SLTP kelas 3. Pasien sudah bisa membaca sejak masuk sekolah dasar. Pasien tidak pernah tinggal kelas namun memiliki prestasi akademis di bawah rata-rata kelas. Pada pemeriksaan fisis didapatkan seorang anak laki-laki, keadaan umum baik, sadar, dan kooperatif. Tanda vital dalam batas normal. Berat badan 53 kg (P75-90 NCHS CDC 2000), tinggi badan 167 cm (P90-97 NCHS CDC 2000), tinggi duduk 86 cm, panjang simfisis-tumit 89 cm, rentang tangan 165 cm, lingkar lengan atas 23,5 cm (P25-50 Frisancho). Tinggi potensi genetik antara 155,5-172,5 cm (P25-90 NCHS CDC 2000). Wajah tidak tampak dismorfik. Pemeriksaan fisis lainnya tidak ada kelainan. Kedua payudara tampak menonjol dengan diameter areola 2,5 cm, terdapat diskus mammae pada payudara kanan, teraba kenyal dan tidak ada nyeri tekan. Bentuk alat kelamin normal, volume testis kanan 2 mL dan testis kiri 3 mL. Status pubertas A1G1P2. Hasil laboratorium menunjukkan kadar luteinizing hormone 16,9 mIU/mL (normal: 0,4-4,6 mIU/mL), follicle stimulating hormone 38,0 mIU/mL (normal: 0,71-6,90 mIU/mL), prolaktin 7,3 ng/mL (normal: 3,6-17,6 ng/mL), dan testosteron 250,2 ng/dL (normal: 28-1.110 ng/dL). Pasien didiagnosis sebagai ginekomastia pubertal dan diminta untuk datang ke poliklinik endokrin anak setiap 3 bulan. Setelah kunjungan yang kelima (1 tahun 2 bulan setelah kunjungan pertama), ukuran kedua payudara makin mengecil, dan status pubertas A2G2P2. Pada pemeriksaan fisis didapatkan volume testis 4 mL/4mL, teraba keras, dan panjang penis 8 cm. Berat badan 56 kg, tinggi badan 169 cm, tinggi duduk 87 cm,

panjang kepalasimfisis 79 cm, panjang simfisis-tumit 90 cm, dan rentang lengan 174 cm. Berdasarkan pemeriksaan fisis terakhir terutama morfologi testes dan status pubertasnya maka pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan analisis kromosom dengan hasil 47, XXY. Pasien didiagnosis sebagai sindrom Klinefelter dan dilakukan edukasi pada orangtua mengenai keadaan yang diderita pasien serta pasien diminta untuk berobat teratur setiap 3 bulan DiskusiSindrom Klinefelter merupakan suatu kelompok kelainan kromosom yaitu terdapat paling tidak satu tambahan kromosom X pada laki-laki. Sekitar 80% kasus merupakan aberasi numerik kromosom kongenital, yaitu kariotip 47, XXY; sedangkan sisanya adalah aneuploidi kromosom dengan derajat yang lebih tinggi (48,XXXY; 48,XXYY; 49,XXXXY), mosaik 46,XY/47,XXY, atau kelainan struktural kromosom X.5,6Kromosom seks tambahan pada SK merupakan akibat nondisfungsi pada proses meiosis (gametogenesis parental), yang dapat berasal dari paternal (50-60% kasus) atau maternal (meiosis maternal I menyebabkan 34,4% kasus, meiosis maternal II menyebabkan 9,3% kasus). Nondisfungsi dapat juga disebabkan kegagalan pembelahan pada saat mitosis dalam zigot (3,2% kasus).3,7,8 Kromosom X tambahan tersebut merupakan suatu masa berkromatin, yang disebut sebagai Barr body. Barr body terdapat di dalam inti sel somatik, namun belum diketahui dengan tepat bagaimana kromosom tambahan ini dapat menyebabkan kegagalan testikular.9Pendekatan diagnosis SK atas dasar kombinasi beberapa gejala klinis. Hipogonadisme sebagai karakteristik SK, mempunyai berbagai bentuk kelainan fisis, hormonal, dan perkembangan. Gambaran klinis dapat bervariasi menurut usia. Abramsky dan Chapple melaporkan bahwa hanya 10% kasus SK yang dapat diidentifikasi pre-natal dan 26% kasus didiagnosis pada masa anak atau dewasa, sedangkan sisanya (64%) tidak terdiagnosis.10 Suatu studi besar di Denmark menyatakan SK banyak yang tidak terdiagnosis, dan kurang dari 10% kasus yang dapat ditegakkan sebelum usia pubertas.1Beberapa pasien dapat mempunyai semua gejala klinis klasik kelainan ini (diurutkan dari yang paling sering timbul) yaitu infertilitas, volume testis kecil, kurangnya rambut-rambut pada wajah dan pubis, ginekomastia, dan ukuran penis yang lebih kecil.

Samuel Harmin dkk: Sindrom Klinefelter 375 Sari Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009Gejala klinis yang paling penting adalah volume testis yang kecil dan teraba keras.11 Kelainan fisis pada SK sering muncul setelah mulainya pubertas.3 Diagnosis SK ditegakkan melalui analisis kariotip kromosom yang dapat dilakukan in utero dengan bahan cairan amnion, yang biasanya dilakukan secara rutin pada wanita yang hamil dalam usia yang lebih tua. Jika diagnosis tidak ditegakkan sejak pre-natal, laki-laki 47, XXY dapat menunjukkan gejala klinis yang berkembang sesuai usia. Pada masa bayi, pasien akan terdiagnosis setelah analisis kromosom dilakukan pada bayi yang datang dengan keluhan hipospadia, phallus kecil, atau kriptorkidisme.4 Pada masa anak, pasien datang dengan keluhan keterlambatan perkembangan, terutama

keterlambatan berbicara. Pada usia sekolah, pasien dapat terdeteksi akibat adanya keluhan kesulitan belajar, gangguan tingkah laku atau sosial.12 Pada usia remaja, SK akan terdeteksi setelah dilakukan evaluasi endokrin pada keadaan pubertas terlambat atau tidak sempurna dengan bentuk tubuh eunukoid, ginekomastia, dan ukuran testis yang kecil.13 Pasien yang telah dewasa biasanya datang dengan keluhan infertilitas atau keganasan payudara.14Pasien SK dapat mengalami perkembangan seksual yang normal sebelum pubertas dan memasuki pubertas sesuai waktu dengan fungsi hipofisis-gonadal yang normal.15 Hal ini dimungkinkan karena pada saat mengalami spermarke (mimpi basah), fungsi testikular pasien SK masih relatif normal.4,15,16 Degenerasi testis akan terjadi dengan cepat pada saat pubertas hingga tercapai hialinisasi lengkap tubulus seminiferus, degenerasi sel Sertoli, dan hiperplasia sel Leydig pada saat dewasa. Testis dapat teraba lebih keras karena terjadi fibrosis tubulus seminiferus.17 Gambaran klinis berupa volume testis yang lebih kecil dan teraba lebih keras ini hampir selalu ada pada SK, karena itu semua anak laki-laki usia sekolah seharusnya pernah diperiksa volume testisnya sebagai bagian dari pemeriksaan fisis yang lengkap, terutama pada anak dengan kesulitan belajar atau gangguan tingkah laku.4Pada saat pubertas karakteristik skeletal mulai terlihat, oleh sebab itu, perhatian khusus pada pemeriksaan bentuk tubuh (body habitus) sangat

diperlukan dalam penegakkan diagnosis.3 Pasien biasanya terlihat lebih tinggi dari rata-rata akibat ukuran tungkai bawah yang lebih panjang dan disertai rentang lengan lebih panjang 2 cm atau lebih dari tinggi badan. Bentuk tubuh seperti ini disebut eunukoid. Peningkatan ukuran segmen bawah tubuh (jarak simfisis pubis ke tumit) timbul sebelum pubertas dan bukan disebabkan secara primer akibat penutupan epifisis yang terlambat karena defisiensi androgen, tetapi karena perbedaan kecepatan tumbuh secara fundamental yang timbul akibat adanya kromosom X tambahan.18 Akibatnya tinggi badan pasien SK sering melebihi tinggi potensial genetiknya.3Fungsi endokrin testikular yang sudah menurun sejak janin, fungsi hipofisis-gonadal pasca-natal pasien SK dapat normal hingga pubertas.19 Baru setelah usia 12-14 tahun, terjadi peningkatan kadar FSH dan LH. Kadar testosteron pada saat itu dapat berada pada nilai batas bawah sampai di bawah normal.18,19 Pada kasus ini terdapat hipergonadotropik pada pasien yang sedang mengalami pubertas. Pubertas terutama ditandai oleh peningkatan kadar LH dengan rasio LH/FSH >1, sedangkan pada pasien ini FSH meningkat lebih tinggi dari pada LH dengan rasio LH/FSH 0,4. Pasien ini belum menunjukkan hipogonadisme karena kadar testosteron masih normal. Pemantauan kadar testosteron berkala setiap 3-6 bulan diperlukan untuk memulai substitusi testosteron bila telah terjadi hipogonadisme.Beberapa laporan pengamatan jangka panjang menyatakan bahwa pasien SK lebih sering mengalami kesulitan akademis.20 Kepribadian pasien SK juga sangat bervariasi. Suatu studi menggambarkan laki-laki 47, XXY pasif, tidak matang, tertutup, sensitif, pendiam, dan sulit bergaul dengan teman sebaya.21 Belum diketahui apakah terapi sulih hormon (hormonal replacement therapy) yaitu androgen, secara lebih dini yaitu pada onset pubertas dapat memperbaiki hipogonadisme pada pasien SK.22 Jika diberikan, maka terapi sulih androgen berlangsung seumur hidup.3,23,24 Terapi sulih testosteron tidak memperbaiki keadaan infertilitas, ginekomastia, dan ukuran testis yang kecil, namun dapat mengatasi defisiensi androgen.24 Akan nampak peningkatan rambut-rambut di wajah dan pubis, distribusi lemak tubuh menjadi lebih maskulin, pemikiran yang lebih terarah, meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi kelemahan tubuh dan iritabilitas,

serta akan meningkatkan libido, dan kekuatan tulang setelah mendapat terapi sulih testosteron.25 Testosteron juga mempunyai efek jangka panjang untuk mengurangi risiko osteoporosis, penyakit autoimun, dan keganasan payudara.26 Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada pasien SK adalah gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipotiroid, dan hipoparatiroid),19 keganasan 376 Samuel Harmin dkk: Sindrom Klinefelter Sari Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009 (karsinoma payudara, limfoma non-Hodgkin),27 penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjgren, dan artritis reumatoid),28 gangguan intelektual dan psikiatri (keterlambatan bicara dan berbahasa, berkurangnya daya ingat, ansietas, neurosis, psikosis dan depresi), dan tromboemboli (varises vena, trombosis vena dalam, dan emboli paru akibat stasis vena).29 Sindrom Klinefelter merupakan kelainan genetik yang menyebabkan defisiensi androgen, gangguan kognitif, dan psikososial, tetapi banyak kasus yang tidak terdiagnosis, baik karena luasnya variasi gambaran klinis, pasien tidak mencari pertolongan medis, maupun karena kurangnya kewaspadaan dokter. Oleh karena itu kewaspadaan terhadap kemungkinan seorang anak menderita SK, perlu ditingkatkan guna menjamin masa depan yang lebih berkualitas.

Daftar Pustaka 1. Bojesen A, Juul S, Gravholt CH. Prenatal and postnatal prevalence of Klinefelter syndrome: a national registry study. J Clin Endocrinol Metab 2003;88:622-6. 2. Nielsen J, Wohlert M. Sex chromosome abnormalities found among 34,910 newborn children: results from a 13-year incidence study in Arthus, Denmark. Birth Defects 1991;26:209-23. 3. Wattendorf DJ, Muenke M. Klinefelter Syndrome. Am Fam Physician 2005;72:2259-62. 4. Smyth CM, Bremner WJ. Klinefelter Syndrome. Arch Intern Med 1998;158:1309-14. 5. Kamischke A, Baumgardt A, Horst J, Nieschlag E. Clinical and diagnostic features of patients with suspected Klinefelter syndrome. J Androl 2003;24:41-8. 6. Nieschlag E, Behre HM, Meschede D, Kamischke A. Disorders at the testicular level. Dalam: Nieschlag E, Behre HM, Nieschlag S, penyunting. Andrology: male reproductive health and dysfunction. Edisi ke-2. New York: Springer, 2000. h. 143-76. 7. King RA, Potter JI, Motulsky AH. The Genetic Basis of Common Disease. New York: Oxford University Press,1992. h. 876-94. 8. Jacobs PA, Hassold TJ, Whittington E. Klinefelters syndrome: an analysis of the origin of the additional sex chromosome using molecular probes. Ann Hum Genet 1988;52:93-109. 9. Amory JK, Anawalt BD, Paulsen CA, Bremner WJ. Klinefelters syndrome. Lancet 2000;356:333-5. 10. Abramsky L, Chapple J. 47,XXY (Klinefelter syndrome) and 47,XYY: estimated rates of and indication for postnatal diagnosis with implications for prenatal counselling. Prenat Diagn 1997;17:363-8. 11. Simpson JL, Graham JM Jr, Samango-Sprouse C, Swerdloff R. Klinefelter syndrome. Dalam: Cassidy SB, Allanson JE, penyunting. Management of genetic syndromes. Edisi ke-2. Hoboken, NJ: Wiley & Sons, 2005. h. 323-33.

12. Walzer S, Wolff PH, Bowen D, Silbert AR, Bashir AS, Gerald PS, dkk. A method for longitudinal study of behavioral development in infants and children: the early development of XXY children. J Child Psychol Psychiat 1978;19:213-29. 13. Robinson A, Bender B, Linden MG. Summary of clinical findings in children and young adults with sex chromosome anomalies. Dalam: Evans JA, Hamerton JL, penyunting. Children and Young Adults with Sex Chromosome Aneuploidy. Birth Defects: Original Article Series Volume 26. New York: Wiley-Liss.1991. h. 225-8. 14. Okada H, Fujioka H, Tatsumi N, Kanzaki M, Okuda Y, Fujisawa M, dkk. Klinefelters syndrome in the male infertility clinic. Hum Reprod 1999;14:946-52. 15. Salbenblatt JA, Bender BG, Puck MH, Robinson A, Faiman C, Winter JS. Pituitary-gonadal function in Klinefelter syndrome before and during puberty. Pediatr Res 1985;19:82-6. 16. Topper E, Dickerman Z, Prager-Lewin R, Kaufman H, Maimon Z, Laron Z. Puberty in 24 patients with Klinefelter syndrome. Eur J Pediatr 1982;139:812. 17. Wikstrom AM, Raivio T, Hadziselimovic F, Wikstrom S, Tuuri T, Dunkel L. Klinefelter syndrome in adolescence: onset of puberty is associated with accelerated germ cell depletion. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:2263-70. 18. Hsueh WA, Hsu TH, Federman DD. Endocrine features of Klinefelters syndrome. Medicine (Baltimore) 1978;57:447-61. 19. Winter JS. Androgen therapy in Klinefelter syndrome during adolescence. Birth Defects 1991;26:234-5. 20. Visootsak J, Graham JM. Klinefelter syndrome and other sex chromosomal aneuploidies. Orphanet J Rare Dis 2006;1:42. 21. Bender BG, Harmon RJ, Linden MG. Psychosocial adaptation of 39 adolescents with sex chromosome abnormalities. Pediatrics 1995;96:302-8. 22. Aksglaede L, Petersen JH, Main KM, Skakkebk NE, Juul A. High normal testosterone levels in infants with non-mosaic Klinefelters syndrome.

European Journal of Endocrinology 2007;157:345-50.377 Samuel Harmin dkk: Sindrom Klinefelter Sari Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009 Refrensi>>> http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/10-6-4.pdf

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu proses dengan mana individu akan dilahirkan mengalami kelainan jumlah kromosom telah diketahui secara eksperimen untuk lebih dari 50 tahun dan dalam kenyataannya merupakan salah satu puncak kejadian dalam sejarah genetika. Yang akhirnya membawa semua itu kecuali keyakinan umum bahwa gen-gen tentu saja terdapat dalam kromosom, adalah penemuan non disjunction dan hubungan antara gambaran sitologi dan rasio genetik. Pada saat meiosis, sepasang kromosom dapat gagal utuk berpisah satu sama lain atau lebih mungkin gagal untuk berhubungan. Apabila pandangan terakhir ini benar, maka kromosom pada pasangan itu kemudian akan terletak bebas dan memisah satu sama lain secara random ( acak ). Apabila suatu kromosom pergi ke masing-masing kutub gelendong, maka akan terbentuk gamet normal. Tetapi apabila kedua kromosom pergi ke satu kutub, maka mungkin dua jenis komplementer dari gamet abnormal dapat dibentuk, baik gamet dengan dua kromosom dari sepasang kromosom dan bukan satu kromosom atau gamet tanpa kromosom tersebut. Fenomena ini disebut non disjunction, yang mencerminkan pandangan lain bahwa pasangan kromoson gagal untuk memisah. Apabila non disjunction terjadi pada wanita normal, maka kedua kromosom X mungkin tetap berada dalam ovum. Sebaliknya dapat juga kedua kromosom dapat menuju badan kutub ( polar body ) sehingga menyebabkan terbentuknya satu sel telur tanpa kromosom X Hal yang sama, non disjunction pada pria akan menyebabkan terbentuknya spermatozoon yang mengandung kromosom X dan kromosom Y, atau akan terbentuk spermatozoon yang tanpa kromosom X dan kromosom Y, apabila kejadian tersebut terjadi pada pembelahan meiosis pertama, non disjunction pada pembelahan meiosis kedua

menghasilkan spermatozoon yang mengandung dua kromosom X atau dua kromosom Y atau sebaliknya tanpa kromosom X atau tanpa kromosom Y. Jadi non disjunction pada pria maupun pada wanita akan menghasilkan individu abnormal dengan konstitusi kromosom 47 XYY, 47 XXX, atau 45 X. Non disjunction pada pihak wanita akan menghasilkan satu jenis lagi dari konstitusi kromosom yang abnormal yaitu 45 Y. Rupanya pasti zigot yang mengandung kromosom kelamin OY tidak mampu hidup. Non disjunction pada pihak pria juga menghasilkan konstitusi kromosom XYY pada zigot. Konstitusi 47 XXY diidentifikasi pada orang orang yang menderita sindroma Klinefelter. Orangorang yang menderita sindroma ini penampilan luarnya normal, tetapi testisnyaa selalu kecil saat pubertas dan menderita azoospermia yang komplit atau hampir komplit. Sangat sering terdapat ginekomastia. Pada biopsi menunjukan adanya hialinisasi yang nyata pada tubulus seminiferus. Sering kelainan ini tidak tampak sebelum pubertas, dan perkembangan umum yang meliputi perkembangan genitalia eksterna adalah relatif normal. Pasien kadang-kadang secara kebetulan mengeluhkan hal ini karena adanya ginekomastia. Sering tidak dicurigai adanya kelainan, penderita ini dapat kawin dan kemudian sadar akan keadaannya karena adanya infertilitas. Kelainan mental biasanya dalam derajat yang lebih ringan ( kebanyakan mempunyai IQ 60 80 ) adalah lebih sering dibandingkan populasi umum, walaupun sebagian besar penderitapenderita tadi keadaan mentalnya benar-benar normal, bahkan apabila inteligensinya di bawah rata-rata dari saudara-saudara kandung mereka yang normal. 1.2 Tujuan Memberikan informasi pada para pembaca apa yang dimaksud dengan sindroma Klinefelter, penyebab sindroma Klinefelter dan gambaran klinisnya. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sindroma Klinefelter ( Seminiferous Tubule Dysgenesis, Testicular Dysgenesis, Medullary Gonadal Dysgenesis, Chromatin Positive Micro-orchidism ) adalah suatu kelainan kromosom pada pria. Orang-orang yang dilahirkan dengan kondisi seperti ini mengalami sedikitnya kelebihan satu kromosom X. Nama Sindroma

Klinefelter diberikan setelah Dr. Henry Klinefelter, orang yang pertama kali menemukan gejala-gejala yang ditemukan pada beberapa orang pria yang mempunyai kelebihan kromosom X, pada tahun 1942. 2.2 Deskripsi Sindroma Klinefelter adalah suatu kondisi, dimana kelebihan satu atau lebih kromosom X pada pria. Anak laki-laki yang dilahirkan dengan kelebihan kromosom X nampak normal saat dilahirkan. Ketika mulai memasuki masa pubertas penampilan mereka masih nampak normal, tetapi saat memasuki pertengahan masa pubertas kadar testosteron yang rendah menyebabkan testis yang kecil dan ketidakmampuan untuk menghasilkan spermatozoon. Pria dengan sindroma Klinefelter juga mempunyai gangguan pembelajaran dan problem perilaku seperti pemalu. 2.3 Profil genetik Kromosom terdapat di dalam sel dalam tubuh kita. Kromosom mengandung gengen, struktur yang memberitakan bagaimana tubuh kita akan tumbuh dan berkembang. Kromosom bertanggung jawab untuk mewariskan sifat dari orang tua kepada anakanaknya. Kromosom juga menentukan apakah seorang anak yang akan dilahirkan berjenis kelamin perempuan atau pria. Pada keadaan normal, manusia mempunyai total 46 kromosom dalam setiap selnya, dimana dua dari kromosom tadi akan bertanggung jawab untuk menentukan jenis kelaminnya. Dua kromosom seks ini disebut kromosom X dan Y. Kombinasi dari kedua kromosom seks ini menentukan jenis kelamin dari seorang anak Wanita mempunyai dua kromosom X ( XX ), pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y ( XY ). Pada sindroma Klinefelter, masalahnya adalah hasil dari perkembangan jumlah kromosom yang tidak normal, seringkali seorang pria dengan sindroma Klinefelter dilahirkan dengan 47 kromosom pada setiap selnya. Kelebihan satu kromosom tersebut adalah kromosom X. Hal ini berarti dibanding keadaan normal yaitu kombinasi kromosom XY, pria ini mempunyai kombinasi kromosom XXY. Karena orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai kromosom Y, maka mereka semuanya adalah seorang pria. Kira-kira 1-3 dari semua pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai perubahan kromosom lain termasuk kelebihan

satu kromosom X. Mozaic Klinefelter sindrom terjadi ketika beberapa sel dari tubuh mendapatkan tambahan kromosom X dan bagian yang lain mempunyai kromosom pria normal. Pria-pria ini dapat mempunyai gejala yang sama atau lebih ringan dibandingkan dengan Non Mozaic Klinefelter sindrom. Pria dengan tambahan lebih dari satu kromosom X, seperti 48 XXXY, biasanya mempunyai kelainan yang lebih berat dibanding pria dengan 47 XXY. Rata-rata usia ibu hamil yang melahirkan anak dengan sindroma Klinefelter adalah 32,3 tahun. 2.4 Demografis Sindroma Klinefelter merupakan salah satu kelainan kromosom yang sering terjadi. Ratarata setiap 500 800 pria yang dilahirkan ada satu yang menderita sindroma Klinefelter. Kira-kira 3 persen dari populasi pria yang infertil menderita sindroma Klinefelter. 2.5 Tanda dan gejala Gejala dari sindroma Klinefelter bervariasi dan tidak setiap orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai gejala yang lengkap. Pria dengan sindroma Klinefelter tampak normal saat dilahirkan dan mempunyai genitalia pria yang normal. Sejak masa kanak-kanak pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai tinggi badan yang lebih tinggi dari rata-rata dan lengan yang lebih panjang. Ratarata 20-50% mempunyai tremor ringan, suatu pergerakan yang tidak terkontrol. Banyak pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai kekuatan tubuh bagian atas yang lemah. Sindroma Klinefelter tidak menyebabkan kelainan homoseksual. Kira-kira 1-3 dari pria dengan sindroma Klinefelter mengalami pembesaran payudara ( ginekomastia ). Ginekomastia ini timbul pada sekitar 80% kasus. Kebanyakan anak laki-laki memasuki masa puber yang normal, tetapi beberapa ada yang mengalami keterlambatan. Sel-sel Leydig di testis biasanya memproduksi testosteron. Pada sindroma Klinefelter, sel Leydig gagal bekerja dengan semestinya menyebabkan produksi testosteron yang lambat saat pertengahan masa puber produksi testosteron menurun sampai kira-kira setengahnya. Hal ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan rambut di wajah dan pubis. Genitalia internal dan eksternal secara makroskopis tampak normal, kecuali testis tampak lebih kecil dan mrskipun pada keadaan normal

libido menurun, pria dengan sindroma Klinefelter tetap mempunyai kemampuan untuk ereksi dan melakukan intercourse. Penurunan testosteron juga

menyebabkan peningkatan dua hormon yang lain, foliccle stimulating hormone ( FSH ) dan luteinizing hormone ( LH ) . Pada keadaan normal FSH dan LH membantu sel-sel sperma yang immatur tumbuh dan berkembang. Pada sindroma Klinefelter, sel-sel sperma tersebut hanya sedikit atau bahkan tidak ada Peningkatan FSH dan LH menyebabkan hialinisasi dan fibrosis dari tubulus seminiferus dimana tempat spermatozoon diproduksi. Hasilnya testis menjadi lebih kecil dibanding normal. Pria dengan sindroma Klinefelter menjadi infertil karena tidak dapat memproduksi spermatozoon. Dulu dipercaya bahwa anak lakilaki dengan sindroma Klinefelter akan menjadi retardasi mental, dokter tidak mengetahui bahwa kelainan tersebut dapat timbul tanpa adanya retardasi mental. Bagaimanapun, anak-anak dengan sindroma Klinefelter seringkali mengalami kesulitan berbicara, termasuk cara belajar berbicara, membaca dan menulis. Kirakira 50% pria dengan sindroma Klinefelter mengalami dyslexia. Beberapa orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai kesulitan sosialisasi dan cenderung lebih pemalu, mudah cemas dan depresi. Clinical features in patients with Klinefelters Syndrome Including 47,XXY and variant Karyotypes Range of hormone values in men with Klinefelters Syndrome with healthy men Klinefelters Syndrome Healthy men Serum LH (mIU/ml) 4.25 -12.7 (7.8) 0.62 2.81 (1.8) Serum FSH (mIU/ml) 12.1 61.2 (29.4) 0.51 5.2 (2.7) Plasma testosterone (ng/dl) 81 849 (316) 346 1075 (990) Plasma estradiol (pg/ml) 3 65 (34) UD 34 (16) From Wang C, Baker HWG, Burger HG, et al: Hormonal studies in Klinefelters syndrome. Clin Endocrinol 4:399-411, 1975. Value in parentheses are population means. 2.6 Diagnosis Diagnosis dari sindroma Klinefelter ditegakkan bila terdapat kelebihan satu atau lebih kromosom X pada pria. Hal ini dapat diketahui sejak masa kehamilan dengan pemeriksaan prenatal seperti sample villi chorionic atau amniosintesis. Prosedur sample villi chorionic dapat dilakukan pada usia kehamilan 10-12 minggu untuk mengambil sedikit sample dari plasenta untuk diperiksa.

Amniosintesis dapat dilalukan pada usia kehamilan 16-18 minggu dengan mengambil sedikit cairan amnion untuk diperiksa. Kedua prosedur pemeriksaan tersebut mempunyai resiko terjadinya abortus. Biasanya prosedur pemeriksaan ini dilakukan bila ada perkiraan terjadinya sindroma Klinefelter . Misalnya, prosedur diagnostik prenatal dapat dilakukan pada seorang wanita tua untuk menentukan jika bayinya menderita sindroma Down. Jika diagnosis dari sindroma Klinefelter diharapkan pada seorang anak lakilaki atau pria dewasa, pemeriksaan kromosom dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan darah atau sample kulit sesudah dilahirkan. 2.7 Magemen terapi Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk merubah kromosom. Anak-anak dengan sindroma Klinefelter mungkin membutuhkan terapi wicara atau pelatihan pembelajaran yang lain. Injeksi testosteron dimulai saat masa pubertas dapat membantu pekembangan yang normal termasuk masa otot, pertumbuhan rambut, dan meningkatkan kemampuan seksual. Pemberian suplemen testosteron tidak dapat menambah ukuran testis, menurunkan pertumbuhan payudara atau memperbaiki infertilitas. 2.8 Prognosa Penderita dengan sindroma Klinefelter dapat mempunyai kehidupan seks yang normal , tetapi mereka biasanya hanya memproduksi sedikit atau bahkan tidak ada spermatozoon sama sekali. Antara 95% dan 99% dari pria XXY adalah infertil, karena mereka tidak BIRTH CHILDHOOD PUBERTY ADULTHOOD Cryptorchidsm X Microphallus X Hypospadias X Somatic anomalies X Learning disabilities x x X Behavioral disorder X x x Mental retardation x x X Tall stature X x Eunuchoid habitus x X Delayed puberty X Small testes X X Delayed sex characteristics X X Gynecomastia x X Infertility X Impaire dlibido X Thyroid dysfunction X dapat menghasilkan spermatozoon. Pria dengan sindroma Klinefelter mempuyai resiko yang meningkat untuk terjadinya osteoporosis, kelainan autoimun seperti lupus dan arthritis, diabetes dan tumor payudara maupun tumor germ cell

Kesimpulan 1. Sindroma Klinefelter yang juga dikenal dengan sindroma XXY, adalah suatu keadaan dimana kelebihan kromosom X pada seorang pria 2. Sindroma Klinefelter ditemukan pertama kali oleh Dr. Henry Klinefelter. 3. Tidak semua pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai gejala yang sama atau derajat kelainan yang sama. Beratnya gejala tergantung dari berapa banyak jumlah XXY pada sel-sel yang dimiliki pria tersebut. 4. Sindroma Klinefelter menyebabkan gangguan perkembangan : a. Perkembangan fisik : lemahnya otot dan penurunan kekuatan, rendahnya kadar testosteron, 95%-99% infertil b. Perkembangan berbicara : keterlambatan berbicara, kesulitan dalam berbahasa, kesulitan membaca, kesulitan memproses apa yang mereka dengar. c. Perkembangan sosial : kurang percaya diri, kurang aktif 5. Gambaran klinis : a. Testis kecil, konsistensi keras b. Penis kecil c. Rambut pubis, ketiak dan wajah sedikit d. Gynekomastia e. Proporsi tubuh yang abnormal ( rentang tangan > tinggi badan ) 6. Pada pemeriksaan lebih lanjut didapatkan : a. Karyotiping menunjukkan gambaran kromosom 47XXY b. Jumlah spermatozoon yang rendah c. Kadar testosteron yang rendah d. Kadar LH meningkat e. Kadar FSH meningkat f. Total plasma testosterone menurun pada 60% pasien 7. Managemen terapi : a. Terapi edukasi : terapi wicara, terapi psikologis seperti perkembangan mental, terapi keluarga b. Terapi medikamentosa : testosterone replascement therapy ( TRT ) dapat membantu meningkatkan kadar testosteron, peningkatan kadar testosteron ini

akan membantu meningkatkan perkembangan otot, pertumbuhan rambut tubuh, perubahan suara menjadi lebih berat. c. Intracytoplasmic sperm injection ( ICSI ) DAFTAR PUSTAKA 1. Blachford L. Stacey, The Gale Encyclopedia of Genetic Disorders, 2001 2. Burns W George, The Science of Genetics an Introdution to Heredity, 1983 3. Bouloux P, Diagnostic Tests in Endocrinology and Diabetes, 1994 4. Degroot LJ, Endocrinology, 1995 5. Levitan M, Textbook of Human Genetics, 1988 6. Pai C Anna, Dasar-dasar Genetika Manusia, 1992 7. Roberts Fraser & Pembrey E Marcus, Pengantar genetika Kedokteran, 1995 8. Sigman M, Howard S, Male Infertility, Cambells Urology Refrensi>>>> http://elib.fk.uwks.ac.id/jurnal/judul/48

Anda mungkin juga menyukai