TB HIV

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

BAB III PEMBAHASAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) Definisi AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan

penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan system kekebalan tubuh normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian. Epidemiologi Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban, 2007).

Patogenesis

Gambar 1 Proses terjadinya infeksi HIV (Siregar, 2004) Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis Limfosit T helper/inducer yang mengandung marker CD4 (sel T4) .Limfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Kelainan selektif pada satu ,jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel. Human Immunodeficiency Virus mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi untuk virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah bentuk RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan virus lain, virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya virus ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh vius HIV menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-sel syaraf menyebabkan kerusakan neurologis. (Agustina, 2004) Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lmfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita (Siregar, 2004). Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui: 1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Siregar, 2004). Homoseksual Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan krusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari

seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital. Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. 2. Transmisi Non Seksual Transmisi Parenteral Jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Siregar, 2004) Faktor risiko dari infeksi HIV ini antara lain (Mayo Clinic, 2010): 1. Melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan Hubungan seksual yang tida terlindungi yaitu melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom yang terbuat dari latex atau polyurethane setiap saat. Anal seks

lebih berisiko daripada vaginal seks. Risiko akan meningkat bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 2. Mempunyai penyakit menular seksual Banyak penyakit menular seksual mengakibatkan adanya luka terbuka pada genitalia. Luka ini merupakan pintu masuk infeksi HIV. 3. Menggunakan obat-obatan melalui intravena Orang yang menggunakan obat-obatan intravena sering berbagi jarum suntik. Ini akan memaparkan infeksi melalui darah 4. Laki-laki yang tidak tersirkumsisi Beberapa studi menemukan bahwa tidak sirkumsisi meningkatkan risiko penularan HIV heteroseksual. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan, atu penggunaan obat-obatan intravena. Namun suami pasien menderita sakit yang sama yaitu batuk-batuk lama, semakin kurus, dan meninggal 3 tahun yang lalu. Sehingga pada pasien ini HIV kemungkinan ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan suami pasien. Diagnosis Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana . Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Apabila dengan pemeriksaan laboratorium

terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderita dinyatakan terinfeksi HIV. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel / mm3. Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( < 12 tahun ) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan gejala gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV : 1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV ensefalopati. 2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal, adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro faringeal, herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan. Pada pasien ini ditemukan hasil determinan tes positif, adanya 2 gejala mayor yaitu Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan dan demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, sedangkan pada gejala minor didapatkan Batuk menetap lebih dari 1 bulan dan kandidiasis oro faringeal. Sehingga pada pasien ini dapat didiagnosa sebagai HIV karena memenuhi kriteria sekurang kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. Tes HIV Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru

terlihat setelah bertahun tahun lamanya.Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi : 1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV 2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik: 1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) 2.Aglutinasi atau dot blot immunobinding assay Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia mendapatkan informasi yang sejelas jelasnya mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Stadium Klinis

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut (WHO, 2010): 1.Stadium 1 Asimptomatis Lymphadenopathy generalisata persisten

2. Stadium 2 Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (dibawah 10% dari berat badan yang diperkirakan) Infeksi saluran nafas yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, pharyngitis) Herpes zoster Angular cheilitis Sariawan yang berulang Papular pruritic eruptions Dermatitis seboroik Infeksi jamur pada kuku

3. Stadium 3 Penurunan berat badan yang parah tanpa penyebab yang jelas (lebih dari 10% berat badan terukur) Diare kronis tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari satu bulan Demam yang menetap tanpa sebab yang jelas (intermittent atau menetap selama lebih dari 1 bulan) Candidiasis oral persisten

Oral hairy leukoplakia TBC Paru Infeksi Paru yang parah (pneumonia, empyema, meningitis, pyomyositis, infeksi sendi dan tulang, bacteraemia, severe pelvic inflammatory disease)

Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis Anemia tanpa sebab yang jelas (dibawah 8 g/dl ), neutropenia (dibawah 0.5 x 109/l) dan/atau thrombocytopeni kronis

Terapi Antiretroviral untuk infeksi HIV pada dewasa dan dewasa muda

4. Stadium 4 HIV wasting syndrome Pneumocystis jiroveci pneumonia Pneumonia bacterial yang berulang Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital atau anorectal selama lebih dari 1 bulan pada daerah viseral) Candidiasis esofagus (atau candidiasis pada trachea, bronchi atau paru) Tuberculosis Ekstra Pulmonal Kaposi sarcoma Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi pada organ lain kecuali hepar, lien dan lymphonodi). Toxoplasmosis pada system saraf pusat HIV encephalopathy Cryptococcosis Ekstra pulmoner termasuk meningitis Disseminated nontuberculous mycobacteria infection

Progressive multifocal leukoencephalopathy Cryptosporidiosis kronis Isosporiasis Kronis Disseminated mycosis (histoplasmosis, coccidiomycosis) Septisemia berulang (including nontyphoidal Salmonella) Lymphoma (cerebral or B cell non-Hodgkin) Kanker Cerviks invasif Atypical disseminated leishmaniasis HIV Simptomatis-berhubungan dengan nephropathy atau HIV Cardiomyopathy Dari data-data yang ditemukan pada pasien ini didapat penurunan berat badan

yang parah tanpa penyebab yang jelas (lebih dari 10% berat badan terukur), demam yang menetap tanpa sebab yang jelas, Candidiasis oral persisten, TB Paru, sehingga pasien ini termasuk HIV stage 3. Terapi Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu : 1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV) 2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV / AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks. 3. Pengobatan simptomatis yang bertujuan untuk menghilangkan gejala-gejala yang muncul pada pasien 4. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang

lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. Terapi Antiretroviral

Gambar 2. Algoritme Penilaian dan Monitor infeksi kronis HIV Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuannya: 1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. 2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350 sel / mm3. 3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 350 sel / mm3. 4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml. 5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350

sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. Tabel 1. Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)

Tabel 2. Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial Kolom A Lamivudin + zidovudin Lamivudin + didanosin Lamivudin + stavudin Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin Lamivudin + didanosin Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin Nelvinafir Nevirapin Evafirenz * Kolom B

Lamivudin + didanosin * Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk hamil. Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugianya masing masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang

umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP). Pada pasien ini diberikan antibiotik Cotrimoxazole 2x960 mg dan Ceftriaxone 2 x 1 gram iv untuk terapi infeksi oportunistik. Juga diberikan Nystatin drop 4 x 3 cc untuk mengatasi oral trush. Terapi simptomatis diberikan oksigen 2-4 liter per menit melalui nasal canule karena pasien mengeluh sesak dan ambroxol 3 x 30 mg po untuk keluhan batuknya. Terapi suportif diberikan dengan pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein 2100 kkal/hari. ARV tidak langsung diberikan pada pasien ini, namun ARV diberikan setelah 25 hari yaitu Stavudin 2 x 1 tablet, Lamivudin 2 x 1 tablet, dan Efavirenx 2 x 1 tab, yang berupa kombinasi NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) dan NNRTI (Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). TUBERCULOSIS Epidemiologi TB pada Pasien HIV Risiko berkembangnya tuberkulosis (TB) diperkirakan antara 20-37 kali lebih besar pada orang yang hidup dengan HIV dibandingkan mereka tanpa infeksi HIV. Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru TB, dimana 1,2 (13%) juta antara orang yang hidup dengan HIV dan dari 1,7 juta orang yang meninggal akibat TB 400.000 (24%) hidup dengan HIV. Dengan 13% dari kasus TB baru dan 24% kematian akibat TB yang HIV terkait, TB adalah penyebab utama morbiditas dan kematian di antara orang yang hidup dengan HIV dan TB tersebut tetap sebagai risiko kesehatan yang serius bagi orang yang hidup dengan HIV. Patogenesis TB pada Pasien HIV Infeksi TB terjadi ketika orang dengan karier basil TB dalam tubuhnya, tetapi bakteri yang ada dalam jumlah kecil dan dorman. Dorman bakteri ini diatur oleh mekanisme pertahanan tubuh, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Pada pasien dengan

HIV terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga bakteri TB dengan mudah dapat menyerang. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa TB menyebabkan peningkatan replikasi virus HIV di dalam tubuh, sehingga adanya infeksi oportunistik TB pada pasien HIV akan memperparah HIV itu sendiri (Zahra, 2001). TB pada pasien ini adalah suatu oportunistik infeksi, karena pasien ini lebih dulu terkena hiv lalu manifestasi TB muncul setelah pasien terinfeksi HIV. Tabel di bawah ini menunjukkan dampak infeksi HIV pada lifetime risk dari M. tuberculosis-infected ndividual developing TB Tabel 3. Dampak Infeksi HIV pada Lifetime Risk dari M. Tuberculosis-Infected Ndividual Developing TB (WHO, 2004) HIV STATUS negative positive Diagnosis TB dengan HIV Gambaran klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari derajat berat ringannya. Pada saat awal ketika imunitas masih baik gejala TB tidak banyak berbeda dengan pasien TB tanpa HIV. Misalnya terdapat keluhan batuk-batuk, demam terutama sore hari, keringat malam, nafsu makan berkurang, berat badan turun dan batuk darah. Bila proses telah berlanjut dengan imuniti sangat rendah maka gambaran klinik menjadi tidak khas lagi. Dengan demikian sangat penting mengetahui riwayat penyakit, serta kemungkinan ada tidaknya faktor resiko, seperti seks bebas, riwayat penyakit STD, atau riwayat penggunaan jarum suntik pada penyalahgunaan obat . Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV, bila dijumpai proses perburukan klinis yang berlangsung sangat cepat. Misalnya keadaan umum menurun drastis, demam tinggi, dan atau timbulnya sesak nafas yang bukan oleh karena LIFETIME RISK OF DEVELOPING TB 5-10% 50%

bronkospasme yang ditandai bunyi wheezing. Bila HIV/AIDS sudah lanjut tentu saja disertai tanda tanda klinis HIV/AIDS yang jelas. TB pada HIV sering bermanifestasi klinis sebagai proses TB ekstra paru misalnya imfadenitis, efusi pleura, efusi pericard atau TB milier. Selain itu beberapa perbedaan yang patut dicatat adalah pad TB-HV gejala batuk lebih jarang. Hal ini disebabkan oleh karena jarang terjadi kaviti, proses inflamasi, endobrankial TB dan iritasi bronkus sebagai akibat berkurangnya aktifitas selsel mediated-imuniti. Demikian juga hemoptis akibat pecahnya arteri bronkialis juga jarang terjadi pda kasus TB-HIV, karena tidak terbentuknya proses nekrosis kaseosa . Pemeriksaan sputum BTA tetap merupakan pemeriksaan paling penting dalam penegakan diagnosis TB, walaupun di daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Penelitian yang dilakukan di sub sahara Afrika memperlihatkan pasien-pasien TB paru dengan HIV ternyata BTA sputumnya positif meskipun proporsi BTA negatif dan suspeknya lebih tinggi dibanding dengan pasien HIV negatif. Jumlah kuman yang terkandung dalam sputum lebih sedikit sehingg pada pemeriksaan mikroskopik per satuan lapang pandang juga lebih sedikit. Bila ada bahan lain selain sputum yang bisa diperiksa, sebaiknya dikirim untuk pemeriksaan BTA, misalnya feces, cairan pleura, LCS atau pus hasil aspirasi. Bila memungkinkan dilakukan juga pemeriksaan biakan atau kultur-resistensi. Pemeriksaan radiologis untuk menegakkan diagnosis penting sebagai pemeriksaan penunjang. Terutama bila pemeriksaan sputum BTA 3x negatif, dan pemberian antibiotik sprektum luas tidak memberikan respon. Gambaran radiologis juga tergantung dari berat ringannya HIV. Pada tahap awal atau early HIV ketika CD-4 masih normal, gambaran radiologis masih tipikal, seperti infiltrate, fibrosis kaviti dan kalsifikasi dengan lokasi yang masih di apeks. Bila imunitas sudah menurun atau pada late HIV gambaran radiologis bisa berubah menjadi atipikal dengan bayangan infiltrate di inferior, atau berupa pembesaran kelenjar hilus. Manifestasi yang sering dijumpai berupa TB

ekstra paru seperti efusi pleura, efusi perikard atau gabaran milier. Tetapi yang sulit kadang-kadang TB-paru pada pasien HIV gambaran foto rongent dadanya dapat normal . Berikut ini adalah alur diagnosis TB pada pasien HIV positif:

Gambar 3. Algoritme Diagnosis TB pada Pasien dengan HIV (CDC, 2007) Pada pasien ini didapatkan keluhan batuk sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit disertai demam, keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pasien memiliki riwayat terapi OAT 2 kali dan dinyatakan sembuh. Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV berupa proses perburukan klinis yang berlangsung sangat cepat yang didapatkan berupa keluhan sesak napas yang disertai wheezing. Sesak napas dirasakan pasien sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit.

Meskipun pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan sputum BTA negatif, namun pada gambaran radiologis didapatkan gambaran fibroinfiltrat di lapang paru atas, tengah, dan bawah yang disimpulkan sebagai TB paru far advance lesion. Sehingga pada pasien ini bisa didiagnosa TB. Terapi TB 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan selama dua bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari INH (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali atau setiap hari dalam seminggu selama 4 bulan selanjutnya (4H3R3). Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 1 adalah: a. Penderita baru TB paru dengan BTA positif b. Penderita TB paru BTA negatif, Roentgen positif yang sakit berat c. Penderita TB ekstra paru berat 2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E), dan suntikan Streptomisin (S) tiap hari di unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat yang dilakukan setelah penderita menelan obat HRZE. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu dilanjutkan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 2 adalah: a. Penderita kambuh (relaps) b. Penderita gagal (failure)

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default therapy) 3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama dua bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 3 adalah: a. Penderita baru TB paru dengan BTA , Roentgen positif yang sakit ringan b. Penderita TB ekstra paru ringan (limfadenitis, pleuritis eksudativa, TB kulit, TB tulang kecuali tulang belakang, sendi, dan kelenjar adrenal). 4. OAT Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (PDPI, 2004). Terapi TB pada pasien HIV Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT

yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak. INH diberikan terus menerus seumur hidup. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi/sesuai pedoman pengobatan MDR-TB (PDPI, 2009). Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Tabel 4. Waktu Pemberian Regimen OAT dan ARV (PDPI, 2009) Kondisi CD4 < 200 sel/mm3 Rekomendasi Mulai terapi OAT, mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2 CD4 200-350 sel/mm3 bulan) Mulai terapi OAT Pertimbangan ARV: -mulai salah satu dibawah ini setelah selesai fase intensif (mulai lebih dini dan bila penyakit berat): -Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T) +3TC+EFV (600 atau 800mg/hari) atau -Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak menggunakan rimfapisin (AZT atau d4T) CD4 > 350 sel/mm3 CD4 diperiksa Dengan perubahan sistem imun karena ARV, pasien dengan HIV lebih jarang berkembang menjadi TB selama mendapat terapi ARV. Ketika TB muncul pada pasien tidak +3TC+NVP Mulai terapi TB. (tunda ARV)

mungkin Mulai terapi TB (perimbangan ARV)

yang mendapat ARV, hal ini mungkin menandakan kegaalan terapi dari regimen ARV, dan/atau resistensi, atau TB yang terlewat diagnosa pada skrining awal (WHO, 2007). 1. Bila TB terdiagnosa pada awal 6 bulan inisiasi ARV, harus dianggap sebagai kegagalan terapi ARV. Regimen harus disesuaikan dengan pemberian rifampisin 2. Bila TB didiagnosa setelah terapi inisiasi ARV 6 bulan, sehingga evaluasi harus dilakukan untuk mengeksklusi kegagalan ARV, yaitu: jumlah CD4 menilai kepatuhan terapi, bila kepatuhan baik perlu pemeriksaan spesimen viral load dan/atau resistensi HIV menilai keadaan klinis dan bukti imulologis lain kegagalan terapi bila tidak bisa melakukan pemeriksaan CD 4, bila TB paru maka bukan kegagalan ARV, bila TB ekstra paru maka merupakan kegagalan ARV Berikut adalah regimen terapi bila ditemukan TB paru pada pasien yang telah mendapat ARV: Tabel 5. Regimen ARV bila Ditemukan TB Paru pada Pasien dengan ARV dan Mendapat OAT dengan Rifampisin (WHO, 2007)

Pada prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hapatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada odha dengan TB yang berasal dari golongan non nukleosida reverse transcriptase inhibitor adalah efvirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir (protease inhibitor) sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin (NNRTI) sampai 37%. Namun jika efavirenz tidak

memungkinkan diberikan, pada pemberian bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikkan. Pada pasien ini diberikan OAT kategori 2 berupa RHZE 450/300/750/750 mg dan injeksi streptomisin 1 x 750 mg karena sebelumnya didapatkan riwayat pernah mendapatkan terapi OAT 2 kali dan sembuh. ARV pada pasien ini diberikan karena CD4 < 200 sel/mm3. ARV pada pasien ini berupa kombinasi nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yaitu stavudin dan lamivudin serta non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)yaitu efavirenz. Penggunaan terapi ini disesuaikan dengan kondisi klinis pasien yang mendapatkan terapi antituberkulosis. Penggunaan stavudin dan lamivudin diberikan karena kadar toksisitasnya yang minimal. Adapun penggunaan efavirenz diindikasikan pada pasien ini karena pasien mendapatkan terapi OAT yaitu rifampisin yang mana sudah diketahui bahwa penggunaan efavirenz tidak banyak dipengaruhi oleh rifampisin dibandingkan penggunaan NNRTI jenis lainnya.

Daftar pustaka 1. http://www.webmd.com/hiv-aids/ accesed on march 14th 2013 2. http://www.mayoclinic.com/health/hivaids/DS00005/DSECTION=complications accesed on march 14th 2013

3. http://www.cdc.gov/tb/topic/TBHIVcoinfection/default.htm accesed on march


14th 2013 4.

Anda mungkin juga menyukai