Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN KARL MARX AGAMA SEBAGAI ALIENASI MASYARAKAT INDUSTRI SUATU APRESIASI DAN KRITIK

Sukron Kamil, MA endahuluan Sejak kemunculannya di Eropa Barat, khususnya Inggris (17501850), industrialisasi bukan saja telah membawa manfaat seperti

pemenuhan kebutuhan teknis dengan cara memudahkan manusia, tetapi juga membawa problem (efek sampingan negatif) bagi masa depan manusia. Industrialisasi ternyata menuntut pengorbanan biaya material, mental, kultural dan moral. Rusaknya lingkungan sebagai akibat dari eksploitasi alam yang berlebihan; urbanisasi yang melahirkan

pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas; sakit mental semisal stres dan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, sekularisme1 yang melahirkan dekadensi moral, dan penjajahan yang telah berlangsung di muka bumi ini, diyakini sebagai sesuatu yang tak terelakkan dari proses industrialisasi tersebut (Karim, 1994). Salah satu problem yang ditimbulkan akibat industrialisasi yang tidak kalah seriusnya adalah alienasi manusia dari diri dan lingkungannya. Alienasi, seperti yang dikatakan Erich Fromm merupakan salah satu dari jenis penyakit kejiwaan masyarakat industri dimana seseorang tidak lagi merasa dirinya sebagai miliknya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri, melainkan telah terenggut oleh suatu mekanisme di luar dirinya yang tak mampu dikendalikannya lagi. Pendek kata, orang yang dilanda alienasi akan merasakan suatu kebingungan, keterasingan, dan kesepian karena merasa apa yang dilakukannya bukan atas dasar kesadaran atau pilihan bebasnya, tetapi didesak oleh kekuatan luar yang tidak dikehendaki bahkan tidak

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

ketakutan sehingga tidak lagi bisa beristirahat dengan tenang, bersikap putus asa, dan menganggap hidup ini tidak lagi bermakna. Puncaknya, seperti yang bisa kita saksikan di negara-negara skandinavia, ia akan melakukan bunuh diri (Varma, 1987). Jadi, karena merupakan sesuatu yang inheren dalam proses industrialisasi, maka telaah terhadap alienasi pun telah muncul sejak dini. Diantaranya bahkan mengkritisinya secara tajam untuk pertama kali,

adalah Karl Marx. Ia mengkaitkan alienasi dengan bangunan infra struktur atau pondasi sosial --yang menurut Marx adalah ekonomi-- dan dengan bangunan supra struktur yang berdiri di atas infra struktur tersebut --yang menurut Marx diantaranya adalah agama. Sebagai sistem kepercayaan yang dibangun di atas basis ekonomi yang melahirkan alienasi, maka agama ikut berperan besar dalam proses peng-alienasi-an rakyat (kaum proletar yang mayoritas) sebagai akibat dari dominasi kaum borjuis (kaum pemilik modal). Mereka hanya mendapat upah ala kadarnya dan harus bekerja keras dalam waktu yang panjang tanpa mendapat jaminan kesejahteraan dan kesehatan. Mereka menjadi miskin dan tidak lagi bebas memilih pekerjaan. Agama, dalam hal ini, di satu sisi telah mengabdi kepada kepentingan masyarakat elit pemilik modal dan di pihak lain telah memalingkan masyarakat mayoritas (kelas buruh) dari persoalan-persoalan yang melingkupinya dengan doktrin adanya harapan hidup yang lebih bahagia kelak di alam akhirat. Sebagaimana halnya Freud yang melihat agama lewat analisa individual neurotik dan Durkheim lewat analisa sosialnya, Marx pun melalui analisa ekonomi dan politiknya melihat agama dari sudut pandang

pendekatan fungsional. Pendekatan tersebut telah berhasil melihat agama dalam kaitannya dengan masyarakat industri, yaitu suatu masyarakat yang jauh berbeda dengan masyarakat ketika agama itu lahir. Namun demikian, jelas Daniel L. Pals telah membawa Marx pada kesimpulan reduksionis. Ini diketahuinya sama sekali. Orang yang teralienasi akan juga merasa dihantui
Mesti dibedakan dengan sekularitas dan sekularisasi. Yang dimaksud di sini adalah ideologi yang melihat semuanya serba sekular dan menolak hal-hal transenden (ilahiah)
1

117

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

berbeda dengan Mercia Eliade, yang menjelaskan agama lewat term-term agama sendiri sehingga bersifat menyeluruh (Pals, 1996).

Karl Marx; Latar Belakang Intelektual dan Pandangannya tentang Agama sebagai Alienasi Masyarakat Latar Belakang Intelektual Karl Marx Karl Marx (1818-1883) lahir di Trier, daerah Rhine di Jerman, pada tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya bernama Heinrich Marx, seorang pengacara borjuis yang beberapa tahun sebelumnya pindah dari agama Yahudi menjadi agama Protestan. Pada usia 18 tahun (1837) sesudah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, ia pindah ke Berlin dan belajar filsafat. Pada masa kuliahnya ia berada di bawah pengaruh Hegel. Lewat filsafat Hegel, ia bersama kawan liberal radikalnya, mengkritik sistem politik di Jerman kala itu. Tahun 1841, ia dipromosikan menjadi doktor dalam

bidang filsafat dengan judul disertasi Natural Philosophies of Democritus and Epicurus (Falsafah Alam Demokritus dan Epikurus). Sebagai seorang yang berpandangan non kompromis, permohonannya menjadi dosen di

universitas itu ditolak. Ia kemudian menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal, Reinshe Zeitung, suatu profesi yang mengantarkannya menjadi pemikir orisinil dan begitu bersemangat. Bermula dengan menyerang agama, lantas ia dengan cepat tertarik pada masalah ekonomi. Tahun 1843, setelah harian yang dipimpinnya dilarang terbit, ia menikah dengan Jenny Van Westphaen, putri seorang bangsawan, tetangga dan sahabat lama keluarganya. Tak lama setelah itu pasangan pengantin baru tersebut pindah ke Paris. Di Paris, ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Enggel (18201895) yang kemudian menjadi teman akrab dan penerjemah teori-teorinya, dan beberapa tokoh Sosialis Prancis. Berawal dari seorang liberal radikal ia menjadi seorang sosialis. Beberapa tulisan penting berasal dari waktu itu. Misalnya, On the Jewish Question (1843), Toward the Critique of the Hegel s Philosophy of Right: Introduction (1843),

118

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

Manuscripts (1844), The Holy Family; Or a Critique of all Critique, dan lainlain. Tahun 1845, atas permintaan pemerintah Prusia, ia diusir oleh Pemerintahan Prancis dan pindah ke Brussel, Belgia. Dalam tahun-tahun tersebut ia mengembangkan teorinya yang definitif. Ia dan Enggel terlibat dalam bermacam-macam kegiatan kelompok-kelompok sosialis. Kerja samanya yang nyaris sempurna dengan Enggel melahirkan tulisannya Menipesto Komunis yang terbit bulan Januari 1848. Kelihatannya, apa yang disebut dengan Revolusi 48 membuatnya diusir pula dari Belgia dan pindah ke London, untuk menghabiskan sisa hidupnya. Di London, tahapan baru dilakukannya. Aksi-aksi praktis dan revolusioner ditinggalkan dan perhatiannya dipusatkan pada pekerjaanpekerjaan teoritis, terutama studi ekonomi. Tahun 1867, karya utamanya yang memuat kritiknya terhadap kapitalisme diterbitkan (jilid II dan III diterbitkan Engel sesudah Marx meninggal). Tahun-tahun terakhir hidupnya amat sepi dan terasing dari kawan-kawannya karena sikap sombong dan otoriternya. Tahun 1883, dua tahun setelah kematian istrinya, ia meninggal dunia dan pemakamannya hanya dihadiri oleh 8 orang (Hadiwijono, 1992; Suseno, 1998 dan Johnson, 1981). Kendati Marx dilahirkan sejak dimulainya abad ke-19 dan meninggal sebelum abad itu berakhir sebagaimana yang telah dipaparkan, namun tulisan dan pikirannya sangat banyak mempengaruhi, bahkan menjadi fenomena global abad 20, baik di lingkungan politik atau di dunia cendekiawan. Salah satu sebab mengapa Marx menjadi tokoh begitu

penting pada abad 20, ialah karena; (1) ia mewakili sosok intelektual politisi yang mencampurkan intelektualisme dengan aktivisme (politik praktis), yang memandang dunia dengan perasaan dingin dan mencari masa depan yang lebih bermoral dan lebih bebas bagi manusia (Apter, 1985). Pikirannya yang ingin membebaskan manusia dari belenggu dominasi menjadi rujukan yang sampai saat ini masih mempesona terutama bagi kalangan Neo-Marxis dan sedikit banyak mengilhami kalangan dependencia Economic and Philosophic

119

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

Aristoteles sampai Nietszhe, yang puas hanya dengan memahami dunia. Bagi Marx seorang filosof bukan saja harus memahami, tetapi juga yang lebih penting adalah mengubah dunia. Oleh karena itu, oleh para pengikutnya, Marx disebut telah melakukan terobosan (break-through) (Rais, 1991). Pandangan Marx tentang Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri Hasil pengamatannya terhadap masyarakat ketika ia hidup, Marx berkesimpulan bahwa mereka mengalami alienasi (keterasingan) dari diri dan lingkungannya. Dalam analisanya, pertama-tama ia membagi

masyarakat ke dalam dua kelas; kelas borjuis (kelas pengusaha/menengah) sebagai majikan dan kelas proletar sebagai buruh. Menurutnya keduaduanya mengalami keterasingan. Kelas borjuis terasing oleh karena posisinya yang harus menghamba kepada modal, dalam arti bahwa harta (uang) telah menguasai eksistensinya. Ia harus bekerja keras tetapi harus hidup sederhana dan hemat dalam menggunakan uang. Kenikmatan baginya harus merupakan bagian dari produksi yang harus diperhitungkan secara ekonomis. Kecuali itu, ia juga dihantui kekhawatiran akan bangkrut karena kerasnya persaingan di antara kelas borjuis (pemilik modal) dan juga hukum ekonomi kapitalis yang mengandaikan para pemilik modal yang kuatlah

yang akan mampu bertahan terus. Dirinya, dengan demikian, tidak lagi menjadi pusat hidupnya tetapi objek dari kekuatan luar yang memaksanya. Namun demikian keterasingan yang dirasakan kelas proletar (kaum buruh) jauh lebih berat dari kelas borjuis, kalau bukan sesuatu yang tidak

bisa dibandingkan. Jika kelas borjuis, yang berjumlah segelintir saja, lewat industri yang dikuasainya lebih banyak menikmati hidup, maka kelas proletar yang mayoritas lebih banyak menderita karena dominasi mereka. Dalam pandangan Marx, kelas proletar yang melakukan pekerjaanpekerjaan kasar dan berat hanya menikmati kekayaan paling sedikit dari apa yang dirasakan kelas borjuis, mengalami keterasingan: Pertama dari dirinya dengan teologi sendiri karena ia telah menjadi objek orang lain. Dirinya telah menjadi pembebasannya; (2). Ia borjuis berbeda filosof Baginya, sebelumnya, dari komoditas yang dibeli kelas di dengan pasaranpara proletariat. untuk

120

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

bisa bertahan hidup hanya ada satu pilihan, yaitu bekerja pada pabrik-pabrik kelas borjuis dengan jam kerja yang panjang tetapi upah yang rendah, padahal keadaan dalam pabrik membahayakan diri dan kesehatan mereka. Ia terasing dari minatnya, dari kebebasannya dalam memilih, dari kebahagiannya, dan dari perasaan harga dirinya. Hidupnya tertekan oleh dominasi kelas borjuis. Situasi itu seperti yang dikatakan Engel, penafsir pikiran-pikiran Marx: Cara bagaimana massa luas kaum miskin

diperlakukan masyarakat modern benar-benar keji. Mereka bergerombol datang ke kota-kota besar, dimana mereka menghirup udara yang lebih kotor ketimbang di desa. Mereka dirumahkan di distrik-distrik kotor yang paling buruk aliran udaranya, kehilangan sarana kebersihan, dan kekurangan air. Tiada akhirnya penderitaan yang menumpuk di atas kepala mereka. Orang-orang dipadatkan bersama dalam tempat yang luar biasa sempitnya. Mereka dihalau seperti binatang-binatang buas dan tidak pernah mempunyai kesempatan untuk menikmati kehidupan yang tenang . Kedua, terasing dari rumpun (species)-nya sebagai manusia yang bebas berkreasi, suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan. Kegiatan produktif buruh-buruh upahan ditentukan oleh hanya suatu

kebutuhan untuk dapat mempertahankan hidupnya, tidak lebih dari itu. Pekerjaan yang tadinya sebagai medan pelaksanaan kreatifitas manusia, bagi kaum buruh hanya untuk memenuhi keinginan majikannya. Mereka harus menyesuaikan diri dengan dunia benda-benda yang membatasi kreatifitasnya. Mereka hanyalah mengetahui ketundukan pada disiplin pabrik jika mereka ingin selamat. Bekerja tidak lagi menjadi alat tetapi tujuan. Ketiga, terasing dari hasil produksinya. Kelas buruh memproduksi suatu benda, setelah itu benda tersebut tidak lagi ia kuasai, bahkan melawannya. Ia harus membelinya di pasaran terlebih dahulu jika ia ingin menguasainya, padahal uang yang diperoleh dari bekerja begitu minim. Akhirnya, benda itu pun tidak bisa ia miliki sebagai layaknya orang yang memproduksi.

121

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

Keempat, terasing dari sesama buruh

karena mereka harus

bersaing berebutan tempat kerja. Celakanya lagi, peningkatan efisiensi melalui teknologi yang lebih baik ditambah jumlah buruh yang terus melimpah mengakibatkan jumlah buruh yang dipekerjakan semakin sedikit sementara harga tawar tenaga mereka pun semakin melemah. Akibatnya pengangguran dan penurunan gaji pun menjadi mungkin (Rodee, 1988 ; Gidden, 1982). Berangkat dari analisisnya tentang keterasingan yang ia susun dalam tulisan-tulisan awalnya, Marx selanjutnya berhasil melahirkan teorinya yang terkenal Materialisme Historis . Teori ini menjelaskan pandangannya tentang dua hal: (1) faktor ekonomilah yang menentukan perilaku manusia, dan (2) bahwa komunisme merupakan muara terakhir perjalanan sejarah manusia (Pals, 1996).

a. Ekonomi sebagai Penentu Perilaku manusia Untuk mencegah kesalahpahaman, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud Marx dengan materialisme di atas bukan berarti cara pandang yang melihat realitas seluruhnya bersifat material saja. Tetapi yang ia maksud adalah paradigma yang melihat bahwa hubungan atau cara produksi (mode of production) mendasari kehidupan manusia. Kesadaran dan perkembangan masyarakat, menurut Marx lewat paradigma ini, dibentuk oleh faktor produksi (material), bukan selainnya. Ia memandang kehidupan masyarakat sebagai dua unsur yang berhubungan searah. Ekonomi sebagai basis masyarakat menentukan segalanya, baik agama, moralitas, hukum, filsafat, politik, ilmu pengetahuan, atau berbagai bentuk kesadaran manusia lainnya. Jadi, ekonomi sebagai infra struktur sedangkan agama dan lain-lain sebagai supra struktur yang berdiri di atas ekonomi yang harus menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan dan prasyarat-prasyarat sistem ekonomi yang berlaku. Sebagai supra struktur semuanya itu hanyalah ungkapan basis (infra struktur) belaka. Jika basisnya berubah, maka

122

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

feodalisme telah hancur, maka bangunan atasnya pun hancur. Marx, dalam hal ini, begitu mementingkan bidang ekonomi (Setiawan dkk., 1990). Berdasarkan pandangan Marx sumber keterasingan masyarakat adalah sistem ekonomi yang berlaku yang mendorong dan mensahkan adanya penghisapan manusia. Sebab itu, ia mengkritik habis-habisan sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku saat itu dan juga sekarang. Kapitalisme, sebagaimana yang dirumuskan Werner Sombart dan diperkuat Wallerstein, adalah sistem ekonomi yang dikuasai dan diwarnai peranan modal, yang di dalam pandangan ekonominya didominasi oleh tiga gagasan, yaitu: usaha untuk memperoleh dan memiliki, persaingan, dan rasionalitas (nilai efisiensi kerja). Dalam sistem ini akumulasi modal (keuntungan) yang tanpa akhir telah menjadi tujuan dan menguasai hukum ekonomi. Dari sinilah, sistem ini mensyaratkan faktor individualisme yang menuntut kebebasan yang leluasa dan dengan free fight competition-nya menempatkan negara hanya sebagai penjaga malam saja (dilarang ikut campur) (Azhar, 1996; Rahardjo, 1991). Mengingat individualisme begitu inhern dalam sistem ekonomi ini, maka dalam prakteknya menimbulkan eksploitasi masyarakat oleh sekelompok kecil. Sehingga faktor sosial dikesampingkan. Manusia menjadi tercabut dari akar sosialnya. Menurut Marx, mengingat agama sebagai bangunan atas yang harus mengabdi kepada ekonomi sebagai basis, maka agama - paling tidak ketika ia hidup saat penguasa gereja tengah berkolusi dengan kalangan politisi dan pengusaha - ikut membantu terpeliharanya situasi eksploitatif tersebut. Agama bukan hanya sebagai ekspresi ekonomi, tetapi juga secara khas memberi dukungan moral atas kepincangan sosial. Ada dua fungsi yang dimiliki agama dalam konteks ini; Pertama bagi elit agamawan (gereja), ia menjadi alat justifikasi transendental bagi berlangsungnya status Quo atau hak-hak istimewa mereka. Sebab itu, sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif ini, jelas Marx, tidak mendapat protes apa pun. Kedua

bangunan atasnya pun berubah. Misalnya, karena sistem ekonomi

123

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

fisik dan kesulitan material dalam hidup. Tambahan pula cita-cita agama sebenarnya telah mengalihkan prioritas-prioritas alamiah/tuntutan-tuntutan normal dengan mengatakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Kekayaan material, status duniawi, dan kekuasaan dilihat dalam kesadaran agama sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya bagi kesejahteraan rohani individu serta pahalanya bagi kehidupannya kelak. Maka kemudian kemiskinan diubah menjadi kebajikan dan kekayaan menjadi kemiskinan rohani. Selain itu, kata Marx lebih lanjut, dalam persepektif agama, penderitaan hidup dianggap sebagai takdir yang harus diterima. Jadi, sikap nrimo, pasrah, dan pasif pun merupakan sikap bijak yang dianjurkan agama. Karenanya, agama, sindirnya secara sarkastik, pada dasarnya merupakan ekspresi penderitaan sosial. Agama adalah keluh kesah warga masyarakat yang tertindas. Agama adalah suatu sentimen dunia yang tak berperikemanusiaan. Ia adalah candu masyarakat yang hanya memberi penenang sementara, semu dan tidak mampu membongkar dan

menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan. Agama telah merampas kekayaan yang berharga dari manusia lalu menyerahkannya kepada Tuhan. Agama merupakan refleksi keterasingan manusia semata. Kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial, agama merupakan doktrin yang mengajarkan sikap pengecut dalam mengahadapi realitas hidup, kerendahan diri, kehinaan, ketundukan, kepedihan, dan rasa putus asa. Dari sini, Marx kemudian menjauhi agama dan memusuhinya. Agama adalah suatu yang destruktif yang harus dihapuskan. Sepeti halnya Feurbach, filosof sebelumnya yang menyerang agama, bagi Marx, Tuhan itu tidak ada (Good-Bye to God). Tuhan ada ,

karena diciptakan oleh pikiran (fantasi) manusia yang keliru. Selanjutnya, ia

pun terjebak padapada relativitas Baginya pengetahuan absolut penekanannya dunia sepenuhnya. transenden (non material) dan harapan akan hidup setelah mati membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan

124

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

keadaan material atau tercapainya tujuan (Pols, 1996 ; Johnson, 1994 ; Hidayat, 1994 ; Sheed, 1995). Seperti halnya agama, negara pun diperlakukan Marx sebagai institusi sosial yang mengabdi pada kepentingan sistem ekonomi kapitalistik. Sebagai produk kapitalistik, negara merupakan alat kelas atas untuk menjamin kedudukannya dan untuk itu dilakukanlah seperlunya penindasan kepada kelas bawah. Negara tidak mungkin mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Negara dikuasai oleh dan berpihak kepada kelas atas. Dalam konteks ini, ia juga memandang demokrasi liberal sebagai sarana yang

didukung oleh penghisapan terhadap kaum buruh (Suseno, 1988; Apter, 1985). Hal yang sama ia tujukan pada institusi pendidikan dan hiburan. Institusi pendidikan, tulis Marx, hanyalah sebagai suatu pelayanan terhadap keperluan-keperluan ekonomi, dengan memberikan indoktrinasi kepada individu-individu tentang norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung status quo dan dengan melatih mereka menduduki posisi-posisi pekerjaan dalam sistem ekonomi kapitalisme tersebut. Berbagai bentuk industri

hiburan ia lihat juga sebagai suatu usaha untuk mengalihkan atau menenangkan orang (Johnson, 1994).

b. Komunisme Merupakan Muara Terakhir Perjalanan Sejarah Manusia Dengan mengikuti teori dialektika Heraklitus dan terutama Hegel, ia berkesimpulan di dunia ini tidak ada yang tetap, tetapi berubah (panta rei). Gagasan (tesis) yang tumbuh senantiasa menimbulkan antitesis, lalu

melalui pertemuan secara kualitatif dan kuantitatif antara tesis dan antitesis melahirkan sintesis. Dialektika idealis Hegel ini ia ubah menjadi dialektika materialis. Secara deterministik, menurutnya, proses perubahan sejarah

bergerak dari mulai komunisme primitif (zaman pra sejarah) ke zaman perbudakan, kemudian feodalisme, lantas kapitalisme, selanjutnya sejarah mesti mengalami sosialisme dan akhirnya komunisme. Dalam proses atau standar moral tidak ada. Yang menjadi ukuran benar salah adalah perubahan itu selalu ditandai oleh dua kelas yang saling berhadap

125

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

antara kelas penindas dan yang ditindas. Pada masa kapitalisme, saat ia hidup tetapi juga sekarang, dua kelas yang saling bertentangan itu adalah antara kelas pemilik modal dan kelas buruh. Jika kelas pemilik modal menuntut keuntungan, maka kelas buruh menuntut upah yang layak dan keadilan. Polarisasi di antara mereka akan terus semakin berkembang dan memuncak. Sementara kaum kapitalis (borjuis) menggunakan alat

kekuasaan untuk menindas dan menguasai proletariat, kaum buruh yang mayoritas semakin sadar akan kondisi yang tidak manusiawi yang melingkupinya. Jaringan komunikasi dan terpusatnya mereka di daerah-

daerah industri kota menghasilkan kebersamaan di antara mereka dan pada akhirnya akan mengakibatkan meletusnya revolusi sosial. Kaum buruh (proletar), dalam hal ini, mewakili aspirasi seluruh umat manusia. Dengan demikian, hemat Marx, dalam masyarakat kapitalis mapan2 seperti itu, revolusi menuju sosialisme selanjutnya komunisme menjadi niscaya dan absah3. Jadi, meskipun di dalam revolusi terdapat kekerasan, namun ia merupakan satu-satunya jalan ke arah tersebut. Baginya kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang hamil tua dengan masyarakat baru . Tanpa revolusi, keterasingan yang bersumber dari adanya kepemilikan pribadi tidak akan hilang di muka bumi. Begitu pula sosialisme yang akan mengantarkan ke masa surga komunisme pun tidak juga akan datang. Pasca revolusi (zaman sosialisme) kelas-kelas memang masih ada, tetapi perbedaannya tidak terlalu tajam karena ada suatu kediktatoran yang disebut kediktatoran proletariat (dictatorship of proletariat). Dalam

kediktatoran ini, para diktator secara kolektif menguasai negara --dengan mengatasnamakan kaum proletar-- untuk mengikis habis sisa-sisa kelas penindas. Pada fase transisi ini, negara masih dibutuhkan untuk memastikan kaum kapitalis tidak dapat bangkit lagi. Sesudah sisa kapitalis melebur
Marx mensyaratkan lahirnya revolusi diadahului oleh masa di mana kapitalisme telah mengalami kemapanan, walaupun pada kenyataan sejarah, komunisme justru lahir di negara
2

-hadapan

126

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

dengan kaum buruh, masyarakat seluruhnya hanya terdiri dari buruh saja, tidak ada kelas berbeda lagi. Semuanya sama rata sama rasa. Tidak ada kepemilikan individu, tidak ada pula pembagian kerja. Tidak ada kelas

penindas dan tertindas. Setiap orang akan dapat mengembangkan bakatnya secara utuh. Zaman komunisme seperti itu, bagaikan surga yang dibangun di atas dunia. Pagi berburu, siang memancing ikan, sore hari memelihara ternak, sesudah makan mengkritik, mencari hiburan dan seterusnya. Pasca revolusi manusia serba senang, tidak punya masalah lagi. Agama pun tidak lagi dibutuhkan karena kapitalisme sebagai basisnya telah hancur

(Budiharjo, 1995; Dainrendorf, 1986).

Apresiasi dan Kritik Terhadap Pemikiran Marx Satu hal yang telah disumbangkan Marx dalam dunia pemikiran, terutama kaitan antara agama dan sosial, adalah deskripsinya tentang masyarakat industri (modern). Marx adalah orang pertama yang berusaha memahami psikologi masyarakat industri secara tajam dan kritis, khususnya bila dihubungkan dengan sisi kemanusian. Tanpanya mungkin kita akan mendapatkan kesulitan memahami masyarakat industri (modern). Karena itu, hampir semua pemerhati sosial dan para politisi dunia, termasuk di dunia Islam, sampai saat ini tidak melewatkan, paling tidak mengenal, teori-teori sosial Marx - termasuk di dalamnya persoalan keagamaan -- yang dihubungkan dengan ekonomi dan politik. Menurut Pabotinggi (1986), setidaknya ada tiga hal sumbangan Marx dalam konteks ini; menempatkan materialisme dalam pemahaman intelektual (epistemologis) -- bukan sebagai pandangan hidup -- yang mempersaksikan besarnya peranan dunia benda dalam menentukan kehidupan manusia; serangan sekaligus

peringatannya terhadap bahaya kapitalisme yang melegitimasi adanya akumulasi produksi yang memproletarkan; dan terakhir dukungannya

-negara yang baru memulai masa kapitalisme, bahkan ada juga yang masih agraris. 3 Pendukung pemikiran Marx yang tidak setuju dengan dengan jalan revolusi tetapi parlementer yang dipelopori oleh Edwar Bernstein (1850-

127

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

terhadap strategi materialis (penguasaan sumberdaya) sebagai jalan yang mendesak untuk juga ditempuh jika ingin memiliki daya tahan yang kuat. Begitu pula sumbangan Marx yang tidak kalah berharganya bagi perkembangan dunia pemikiran kegamaan adalah kritiknya yang tajam terhadap fenomena keberagamaan, terutama pesan yang bisa kita ambil bahwa terdapat kemungkinan tercorengnya agama oleh perilaku elit-elit agamawan yang bertindak mengatasnamakan Tuhan/ agama. Pemikiran Marx telah menjadi fenomena global, terutama ketika Uni Soviet yang menganut komunisme sedang jaya-jayanya menjadi adikuasa dunia bersama Amerika Serikat. Ia bahkan sampai saat ini masih tetap hidup, meskipun tidak seluruhnya, terutama di Cina dan Kuba, di kalangan Neo-Marxis, dan sebagian pemikirannya pada kalangan dependensia di Amerika Latin dengan teologi pembebasannya. Namun demikian, banyak kritik yang dialamatkan pada teori sosial Marx. Kritik pertama yang muncul adalah bahwa analisa sosial Marx diracuni oleh reduksionisme. Marx telah mereduksi keanekaan ungkapan sosial manusia pada bidang ekonomi. Faktor negara/politik dan cara manusia berfikir yang mempengaruhi cara manusia berproduksi, suatu pengaruh yang sebenarnya timbal balik, terlewatkan dalam analisa Marx. Faktor kekuasaan -- yang merupakan fenomena yang tidak akan hilang -- tidak terbaca oleh Marx. Bahkan ia sama sekali tidak menangkap apa yang dialami negaranegara modern saat ini yang berkembang dari hanya sebagai penjaga malam dalam kancah kebebasan transaksi sosial rakyatnya menjadi

penyelenggara kehidupan masyarakat dalam hampir segala segi. Mulai dari pendidikan, lalu lintas, jaminan sosial, penanaman modal hingga pencarian pekerjaan. Begitu juga Marx tidak memperhitungkan dimensi kemungkinan reformasi dalam sistem kapitalisme, sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini, yakni dengan menghilangkan dampak negatif dari mekanisme

1932) disebut revisionis.

128

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

campuran4. Contoh unsur-unsur sosialisme dalam ekonomi kapitalisme itu adalah tingginya upah yang diterima buruh, tersalurkan aspirasi mereka dan elit-elitnya lewat serikat-serikat buruh sehingga mereka pun tidak lagi merasa perlu melakukan revolusi, adanya pajak pendapatan progresif (menurut besarnya pendapatan), dan peran aktif pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan (Johnson, 1994). Karenanya, Marx dinilai telah melakukan miskalkulasi, karena tak satu pun negara industri kapitalis asli (mapan) mengalami revolusi. Revolusi sosialis justru semuanya pecah dalam negara-negara yang masih agraris, atau baru memulai proses indutrialisasi seperti Rusia, Cina, Kuba, dan lainlain. Itu pun ternyata kemudian sebagian hancur lebur (semisal Rusia) dan yang ada pun mencampurnya dengan sistem kapitalisme (Cina). Jadi, tidak murni seperti yang diinginkan Marx. Pada kenyataan sejarah, revolusi terbukti bukan satu-satunya jalan, karena pertentangan dua kelas, majikan dan buruh, bisa dikompromikan. Begitu pula dengan individualitas, yang

dalam komunisme murni ditolak, belakangan ternyata dapat diterima sebagai pemikiran pendorong Marx. dinamisme oleh negara-negara ternyata yang mengikuti

Justru

demokrasilah

yang

menjembatani

kapitalisme menuju sikap-sikap sosial (manusiawi), bukan revolusi. Hal yang sama terjadi pada pandangannya tentang agama. Marx terjebak pula pada reduksionisme. Penilaiannya yang parsial (bukan berangkat dari konsep agama yang mendalam dan menyeluruh), pemusatan pengamatannya pada agama Katolik, dan tentu saja analisanya yang berangkat dari faktor produksi (ekonomi) semata, mengakibatkan ia tidak menangkap: (1) kemunculan agama sebagai kekuatan yang melakukan transformasi sosial5, seperti kemunculan agama Kristen sebagai kritik

Menurut beberapa pengamat ekonomi, seperti Samuelson, seorang ekonom Amerika

penerima hadiah Nobel, sekarang sistem kapitalisme murni sudah tidak berlaku lagi di dunia, pasar (persaingan) bebas ini dan dengan cara memasukan unsur-unsur sekalipun di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang dahulu begitu liberal ( Lihat M. Dawam Rahardjo,

sosialisme, sehingga saat ini tidak lagi murni sistem kapitalis tetapi op. cit., 12-13)
Pendapat Marx tentang agama ini berbeda dengan hasil penelitian Weber terhadap para penganut agama Protestan yang melihat bahwa ajaran agama yang dianut mempengaruhi tingkat
5

129

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

terhadap Pemerintahan Romawi yang lalim dan agama Islam dengan tauhidnya, terhadap kesewenang-wenangan Arab Jahiliyah. (2) Analisanya tidak bisa digunakan pada agama yang tidak memilki doktrin adanya kehidupan setelah mati. (3) Analisanya menunjukan luputnya kebutuhan transendental dari perhatian Marx. Terakhir, usulannya tentang komunisme yang mengandaikan

masyarakat tanpa kelas, tanpa kepemilikan individu, tanpa pembagian kerja, dan tanpa adanya paksaan, sebagaimana yang telah digambarkan di atas, merupakan utopia dan kelihatan absurd (Nawawi, 1991 ; Suseno, 1988).

Penutup Beberapa hal yang bisa kita catat sebagai kesimpulan adalah bahwa dalam tulisan-tulisannya, Marx menilai alienasi sebagai sesuatu yang inheren dalam indusrialisasi/modernisasi. Alienasi merupakan ciri sekaligus sindrom masyarakat modern. Mereka terasing dari diri dan lingkungannya. Mereka menjadi pasif, tidak berdaya, dan senantiasa berada dalam situasi yang menjemukan. Mengingat sumber adanya alienasi itu adalah dominasi kelas borjuis (pemilik modal), maka jalan keluarnya, tulis Marx, ialah menghapuskan kelas borjuis tersebut melalui revolusi yang akan membidani lahirnya

zaman sosialisme lantas komunisme, yakni suatu masyarakat sama rata sama rasa sebagaimana zaman sebelum ada negara. Hal itu berarti menggantikan sistem ekonomi kapitalisme dengan sosialisme- komunisme. Menurut Marx, mengingat ekonomi merupakan pondasi atau faktor penentu segala hal, termasuk di dalamnya agama, maka agama dengan demikian berada di atas pondasi ekonomi kapitalistik yang eksploitatif yang melahirkan kepincangan sosial dan keterasingan tersebut. Agama telah

mengabdi pada kepentingan ekonomi itu dengan cara dua hal; pertama sebagai alat justifikasi teologis bagi berlangsungnya kondisi yang menghisap

pencapaian dalam usaha dan status sosial (Lihat Taufiq Abdullah, Tesis Weber dan Islam di Indonesia , Dalam Agama Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi,

130

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

dan kedua penekanannya pada dunia transendal dan kebahagiaan hidup setelah mati telah mengalihkan perhatian masyarakat dari penderitan dan kesulitan hidupnya. Agama dalam hal ini hanya merupakan ekspresi keterasingan manusia industri belaka. Meski kelihatannya dibangun di atas konsep yang kuat, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Pandangan Marx tersebut merupakan pandangan yang reduksionis. Dalam pandangannya luput kenyataan bahwa kemunculan agama merupakan kekuatan transformatif dan dunia

transendental sebagai kebutuhan manusia. Wallah alam Bi al-Shawab.

Jakarta: LP3ES, 1993, h. 1-40)

131

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. 1993. Tesis Weber dan Islam di Indonesia . Dalam Agama Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES Ali, Fachry. 1984. Islam Keprihatinan Universal dan Politik di Indonesia (Sebuah Bunga Rampai). Jakarta: Pustaka Antar Kota Apter, David E.. 1985. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES Azhar, Muhamad. 1996. Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers Budiardjo, Meriam. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Daihrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Terjamahan Oleh Ali Mandan dari Class and Class Conflict in Industrial Society. Jakarta: Rajawali Pers Gidden, Antony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Terjamahan Oleh Soeheba K. dari Capitalism and Modern Social Theory; an Analisis of Writing of Marx, Durkheim, and Max Weber. Jakarta: UIP Hadiwijono, Harun. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Kanisius Hidayat, Komarudin. Tanpa Tahun. Arti Tasawuf untuk Dunia Modern . Dalam Buku Panduan Studi Tasawuf Paramadina. Jakarta: Paramadina ----------. 1994. Tiga Model Hubungan Agama dan demokrasi . Dalam Elza Peldi Taher (Ed.) Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Paramadina Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Terjamahan oleh Robert MZL. dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981). Jakarta: Gramedia Karim, M. Rusli. 1994. Agama Modernisasi dan Sekularisasi. Yogya: Tiara Wacana

132

Sukron Kamil Pemikiran Karl Marx Agama sebagai Alienasi Masyarakat Industri

Nawawi, Mohammad Ansori. 1991. Keruntuhan Komunisme . Dalam Tempo, 12 Oktober 1991 Pabottinggi, Mochtar. 1986. Islam antara Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of Religion. Press New York: Oxpord University

Rahardjo, M. Dawam. 1991. Perspektif Deklarasi Mekkah, Menuju Ekonomi Islam. Bandung: Mizan Rais. M. Amin. 1991. Kritik Islam terhadap Marxisme . Dalam bukunya Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan Rodee, CC. Dkk.. 1988. Pengantar Ilmu Politik. Tarjamahan oleh Zulkifli H. dari Introduction to Political Science, Jakarta: Rajawali Pers Setiawan, dkk.. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Sheed, FJ.. 1945. Comunism and Man. London: Sheed & Word Suseno, Franz Magnis. 1988. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Varma, SP.. 1987. Teori Politik Modern. Tarjamahan Oleh Tohir E. dari Modern Political Theory, Jakarta: Rajawali Pers

133

Anda mungkin juga menyukai