Anda di halaman 1dari 8

Menurut Syekh Mushafa al-Galayainiy: , ( ) ( : ( ) : .) : .

( : ( ) : .) : .) ( ) ( Menurutnya, bahwa wajib di-nashab isim, kecuali al-mustatsna minhu tidak disebutkan dalam suatu kalimat. Ia wajib mengikuti hukum-hukum irab, baik ia di-rafa, di-nashab, maupun dijarr. Pendapat tersebut di atas tidak mencakup al-mustatsna yang didahului oleh huruf nafyi, sehingga masih perlu dikemukakan pembicaraan al-mustatsna selanjutnya. Bahkan, masih perlu diperjelas menyangkut al-mustatsna yang tidak disebutkan baginya al-mustatsna minhu. Menurut George Merry, ada tiga ketentuan yang menyangkut al-mustatsna, yaitu: Untuk lebih merinci al-mustatsna tersebut di atas, maka dapat dikemukakan seperti berikut: 1. Wajib di-nashab Dalam hal yang pertama menyangkut wajibnya di-nashab al-mustatsna, sepakat para ahli nahwu. Kenyataan ini dirinci oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimiy seperti berikut: ( ) : . : : . : . : . : 2. Boleh di-nashab Maksud boleh di-nashab al-mustatsna adalah memilih di antara me-nashab atau me-rafa. Ia boleh di-nashab karena kedudukannya selaku al-mustatsna. Dan ia boleh di-rafa karena ia adalah al-thabi li al-marfu. Yang lebih dirinci lagi karena . Di bawah ini dikemukakan seperti berikut: . . : . 3. Di-nashab karena adanya amil yang berfungsi. Menyangkut al-mustatsna, di-nashab karena adanya amil yang lebih berfungsi. Dengan fungsi tersebut, maka kedudukan al-mustatsna bisa berubah karena fungsi amil tersebut. Di-nashabnya al-mustatsna, karena ia adalah maful bih. Di bawah ini dijelaskan sebagai berikut:

( ) , . , : ( ) , , ( ) Menurut pendapat tersebut di atas bahwa jika al-mustatsna minhu dalam keadaan mahdzuf, maka al-mustatsna harus mempunyai kedudukan menurut fungsi amil, apakah ia di-rafa, di-nashab, atau di-jarr. Al-mustatsna yang demikian itu terjadi, tetapi kalimatnya belum sempurna. Maksudnya bahwa kalimat tersebut tidak terdapat padanya al-mustatsna minhu. Apabila diteliti kalimat yang sempurna menyangkut pembicaraan al-mustatsna seperti yang telah dikemukakan, yaitu ada al-mustatsna minhu, adawat al-mustatsna, dan al-mustatsna itu sendiri. Fiil-nya adalah fiil yang lazim atau sama sekali tidak ada fiil. Berikut ini dikemukakan contohnya: Namun tat kala dipermasalahkan al-mustatsna yang berkedudukan menurut fungsi amil-nya yang tidak dikeluarkan dari al-mustatsna minhu dan yang terdapat padanya serta fiil-nya adalah fiil mutaaddiy, sering menimbulkan kekeliruan dalam menentukan al-mustatsna sebagai pelakunya. Contoh:
2. Mustastna denagan ( dan dan ) selamanya harus dibaca majrur dan berkedudukan sebagai .

Irab mustastna dengan [6] Seadangkan Irab dan

adalah seperti Irab isim yang mustastna setelah \ . [7]pada lafaz

Di baca apabila terdapat dalam kalimat lam mujab dan lam manfian serta pada kalimat naqis apabila berkedudukan sebagai mafulbih. Dibaca apabila terletak pada kaliamat lam manfian atau pada pada kalimat naqis bila berkedudukan sebagai fail. Dibaca apabila jar majrur.

Pada lafaz

maka tetap dibaca

baik dalam keadaan marfu mansub, maupun majrur.

Contoh:

Pada kalimat . . Kaum itu telah berdiri selain zaid: Kaum itu telah berdiri selain zaid :

Pada kalimat . . Kaum itu tidak berdiri selain zaid: Kaum itu tidak berdiri selain zaid :

Pada kalimat . . . Tidak ada yang berdiri selain zaid: Saya tidak melihat selain kepada zaid : Saya tidak bertemu selain dengan zaid:

3.

Mustastna dengan (

,,

dan

Irab mustastna dengan menggunakan lafazh dibaca majrur.[8] Contoh :

dan

adalah boleh dibaca mansub, boleh

Kaum itu telah berdiri, bukan zaid.

kaum itu telah berdiri kecua;I zaid. Adapun Irab mustastna yang terletak setelah wajib dibaca mansub.[9] dan yang memasuki huruf naf maka mustastna

Contoh: . . Sebagai diantara mereka selain zaid.[10] Sebagai diantara mereka bukan zaid :

AL-ISTITSNA

lafazh Mustatsna oleh illa pada kalam tam hukumnya NASHOB. (Selain) jatuh sesudah Nafi atau Syibhu Nafi, dipilihlah hukum <berlanjut> TABI (jadi badal) bagi yg mustatsna muttashil dan harus NASHOB! bagi yang mustasna munqothi. Menurut logat Bani Tamim, TABI BADAL juga berlaku pada yg mustatsna munqothi. PENGERTIAN ISTITSNA adalah : Mengecualikan dengan adat ILLA atau satu dari saudara ILLA terhadap lafaz yang masuk dalam hukum lafazh sebelum ILLA baik pemasukan hukum tsb kategori hakiki atau taqdiri. Contoh: QOROTU AL-KITAABA ILLA SHOFHATAN* = aku telah membaca kitab itu kecuali satu halaman. *Lafazh SHOFHATAN dikeluarkan/dikecualikan dari hukum lafazh sebelum adat ILLA, yaitu hukum MEMBACA (lafazh QOROTU), karena ia termasuk dalam hukum tersebut, pemasukan seperti ini disebut hakiki, karena SHOFHATAN bagian dari AL-KITAB. maka pengecualian seperti ini dinamakan MUSTATSNA MUTTASHIL. Contoh: JAAA AL-QOUMU ILLA SAYYAAROTAN* = Kaum itu telah datang kecuali mobil. *lafazh SAYYAAROTAN jatuh sesudah adat ILLA, ia dikecualikan dari hukum lafazh yg ada sebelum ILLA, yaitu hukum datang (lafaz JAAA). Andaikan tidak ada ILLA ia termasuk pada hukum datangnya Kaum, pemasukan seperti ini disebut Taqdiri, karena SAYYAAROTAN bukanlah jenis dari Kaum. maka pengecualian seperti ini dinamakan MUSTATSNA MUNQOTHI ADAWAT ISTISNA semuanya ada delapan dibagi menjadi empat bagian: 1. Kalimah huruf > ILLA 2. Kalimah Isim > GHOIRU dan SIWAA 3. Kalimah Fiil > LAISA dan LAA YAKUUNU 4. Taroddud antara Fiil dan Huruf > KHOLAA, ADAA, HASYAA (untuk HASYAA seringnya disebut kalimah Huruf) USLUB ISTITSNAA tersusun dari tiga bagian:

1. Al-Mustatsnaa (isim yg jatuh sesudah adat istitsna) 2. Al-Mustatsna minhu (isim yang ada sebelum adat istitsnaa) 3. Adatul-Istitsna (perangkat istitsna). IROB MUSTATSNA pada umumnya adalah wajib Nashob ala Istitsnaiyah, dengan syarat: 1. Berupa Kalam Tamm yaitu: kalam Istitsnaa dengan menyebut Mustatsna Minhu. 2. Berupa Kalam Mujab (kalimat positif) yaitu: tanpa Nafi atau Syibhu Nafi (Nahi, Istifham bimakna Nafi). Dalam hal ini Mustatsna wajib Nashob tidak ada perbedaan antara yang Mustatsna Muttashil dan Munqathi sebagimana dua contoh diatas. Contoh Firman Allah: FA SYAARIBUU MINHU ILLA QOLIILAN MINHUM = Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka (QS. Al-Baqoroh : 249) Juga tidak ada perbedaan antara penyebutan mustasna diakhirkan atau dikedepankan dari Mustatsna Minhu-nya, contoh: HADHORO ILLA ALIYYAN AL-ASHDIQOOU = teman-teman telah hadir kecuali Ali ((Apabila Kalam Ghoiru Tamm, yakni tanpa menyebut Mustasna Minhu, maka hukumnya akan diterangkan pada bait selanjutnya)) Apabila Kalam Tam tersebut Ghoiru Mujab atau Manfi (kalimat negatif) yakni memakai Nafi atau Syibhu Nafi, maka dalam hal ini terbagi dua: 1. Jika berupa MUSTASNA MUTTASHIL, maka boleh dibaca dua jalan: Nashob sebab Istitsnaa atau Tabi mengikuti Irob al-Mustatsna Minhu. Contoh: LAA TUJIBUNII AL-KUTUBU ILLAA ANNAAFIU/ANNAAFIA* = Kitab-kitab itu tidak membuatku kagum kecuali kemanfaatannya. *lafzh ANNAAFIU/ANNAAFIA manshub sebab Istisna, atau marfu sebab Tabi menjadi Badal dari AlMustatsna Minhu (AL-KUTUBU). Contoh Firman Allah: WAL-LADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM WA LAM YAKUN LAHUM SYUHADAAU ILLAA ANFUSU HUM* = Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri (QS. Annur :6)

*Qiroah Sabah membaca lafazh ANFUSU dengan Rofa, selain pada Al-Quran ia boleh dibaca Nashob. Namun bacaan al-Quran sunnah mengikuti bacaan Mereka. Dan contoh Firmannya: WA LAU ANNAA KATABNAA ALAIHIM AN-IQTULUU ANFUSAKUM AW-IKHRUJUU MIN DIYAARIKUM MAA FAALUUHU ILLAA QOLIILUN MINHUM* Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka (QS. Annisaa : 66) *Qiroah Sabah selain Ibnu Aamir membaca Rofa terhadap lafazh QOLIILUN sebagai Badal dari Fail dhamir Wau pada lafazh FAALUUHU. Sedangkan Ibnu Aamir membaca QOLIILAN Nashob sebab Istitsna. 2. Jika berupa MUSTASNA MUNQOTHI, maka harus dibaca Nashob menurut jumhur mayoritas bangsa Arab. Contoh: MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTAN = tamu-tamu tidak hadir kecuali Mobil. Contoh FirmanNya: MAA LAHUM BIHII MIN ILMIN ILLAA-TTIBAAA-AZHZHONNI* Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka (QS. An Nisaa : 157) *Pada lafazh ITTIBAAA, qiroah sabah membaca Nashob. Sedangkan bangsa Arab Bani Tamim membaca Tabi atau ikut Irob pada lafazh sebelum ILLA. Sekalipun al-Mustatsna bukan jenis bagian dari al-Mustatsna Minhu. Contoh : MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTUN* = tamu-tamu tidak hadir kecuali Mobil. *Lafazh SAYYAAROTUN dibaca rofa dijadikan Badal dari lafaz ADH-DHUYUUFU. Demikian ini shah karena kita boleh menyatakan: HADHORO SAYYAAROTUN = Mobil hadir. Apabila pernyataan dalam hal ini tidak shah, maka wajib dibaca Nashob, mufakat dari semua bangsa Arab. Contoh:

MAA ZAADA ALMAALA ILLAA MAA NAQOSHO* = harta tidak bertambah kecuali yang berkurang. *lafazh MAA NAQOSHO (maushul dan shilah) wajib mahal Nashob, karena kita tidak boleh menyatakan: ZAADA AN-NAQSHU = kurang bertambah

Anda mungkin juga menyukai