Anda di halaman 1dari 3

Sekolah Moralku Sekolah Moralku belajar adalah sebuah proses dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak

bisa menjadi bisa, dari tidak terbiasa menjadi terbiasa belajar adalah sebuah proses bukan hanya hasil seperti apa yang orang selalu agung-agungkan Nama lengkap saya adalah An Najmi Bilqista Al Qowwiy. Panggil saja saya Najmi. Saya berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Bundaku seorang perawat di Puskemas kecamatan. Dan Ayahku seorang karyawan di salah satu perusahan perangkat lunak. Namun, ia bekerja di rumah. Dengan bantuan internet yang dipasang di rumah, Ayahku mengirim hasil kerjanya ke perusahaan tempat Ayah bekerja di kota. Sesekali dalam satu atau dua bulan, Ayahku pergi ke kota untuk menemui klien. Disini, ayah mengurus kebun buah san sayur yang cukup luas dengan beberapa pegawai. Alasan Ayahku bekerja di rumah bukan karena sakit, melainkan karena cintanya padaku juga Bunda. Juga penghargaan atas semangat juang dan keikhlasan Bunda. Untuk mengabdi dan menerapkan ilmu yang ia dapatkan ke masyarakat di kota kecil ini. Walau masih di pulau Jawa, jangan dikira bahwa pendidikan dan kesehatan sudah tersebar rata ke seluruh penduduknya. Sering bunda dan ayahku bacakan berita bahwa sudah banyak tersebar sekolah-sekolah untuk anak balita, PAUD(Pendidikan Anak Usia Dini) di kota, bermacam-macam sekolah keminatan yang bisa dienyam asal punya uang. Disini, jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah dasar yang hampir roboh adalah setengah jam dengan berjalan kaki. Masih banyak yang bertelanjang kaki. Namun tetap ceria berlarian mendengar lonceng tanda masuk sekolah. Saat imunisasi sudah berkembang di kota sana, saat pemeriksaan sampai tingkat ketelitian tinggi, kami masih harus mengantri untuk mendapatkan infus setelah diare berkepanjangan di Puskesmas. Ketidakmerataan ini mungkin hasil dari kemerataan potongan angka-angka anggaran untuk perkembangan Indonesia dari dahan paling tinggi sampai akar. Ini hasil pemikiranku saat aku mulai bisa membaca berita tulisan yang bergerak cepat di TV, setelah aku bisa membuka alamat situs berita nasional dan lokal di komputer ayahku. Sejak aku mulai bisa mengeja kata KORUPSI. Pendidikan formal ku enyam mulai umurku tujuh tahun. Tidak ada taman kanakkanak ataupun Pendidikan Anak Usia Dini. Tidak ada tempat les atau kursus di desaku. Ayah dan Bundaku bukan tak mampu menyekolahkanku ke tempat yang lebih baik di kota, mengirimiku guru les privat untuk belajar di rumah. Bukan. Seandainya ayah dan bundaku Ukhti Aulia Rakhmah

Sekolah Moralku berpikiran seperti itu, aku akan menolaknya. Aku lebih bangga berada di sisi mereka. Walaupun aku baru duduk di bangku sekolah pada usia tujuh tahun, namun sebenarnya aku sudah belajar entah sejak kapan, sejak hari pertama aku dilahirkan. Disini. Tetap disini. Di desaku. Di rumahku. Bundaku adalah sekolahku yang paling dasar dan utama. Bunda dan Ayah mempunyai waktu tersendiri untuk menemaniku belajar. Ini adalah konsekuensi mereka karena di sini tidak ada tempat pendidikan untuk anak sebelum usia tujuh tahun. Sebelum SD. Bunda dan Ayah selalu mengajarkan apapun sesuai perkembangan umurku. Itu yang kubaca di buku Bunda setelah aku cukup paham. Sebelum SD aku sudah diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Aku sudah suka membaca seja umurku lima tahun. Aku diperbolehkan membaca buku apapun di meja Ayah atau Bunda. Tidak di almari mereka, sesuai umurku. Menghitung apa saja. Menghitung uang belanja bunda, jumlah uang gaji yang harus dibayarkan untuk gaji pegawai ayah, tabunganku, dan lain-lain. Setelah cukup pintar untuk menghafal jalan pulang dan menghafal nama-nama belanjaan, aku sering membantu bunda berbelanja. Bunda selalu memberikan uang yang tidak pas dengan harga belanjaan. Selalu ada kepingan-kepingan uang yang tersisa dari uang yang diberikan Bunda. Bunda tak pernah menanyakan berapa uang kembalian belanja. Bahkan meminta. Tidak pernah. Beliau hanya mengangguk menerima laporan hasil belanjaku. Apa yang sudah terbeli, apa yang tidak ada di warung. Itu saja, lalu mencium keningku sambil mengucapkan terima kasih. Ya,, ayah dan bundaku juga mengajarkan kata minta tolong, terima kasih dan maaf. Aku tahu tempat menyimpan uang sisa hasil belanja, bunda meminta tolong untuk meletakkan uang kembalian disana, tanpa menghitungnya dari tanganku. Warung tempat aku berbelanja itu pun tidak hanya menjual sayur mayur dan sembako, tetapi juga jajan-jajan dan mainan anak-anak untuk anak seusiaku. Aku pun tertarik memilikinya layaknya anak-anak sesusiaku. Namun, mengingat soal perhitungan yang telah di ajarkan Bunda ku setiap malam, bahwa sepuluh ribu dikurangi enam ribu tujuh ratus adalah tiga ribu tiga ratus, aku selalu urung melakukannya tanpa izin Bunda atau Ayahku. Saat Ayahku bertugas ke kota untuk menemui klien, terkadang aku ikut dengannya. Tidak di hari sekolah. Karena, Pintar saja tidak cukup nak, kamu Najmi juga harus jujur dan amanah, kata Bunda dan Ayah ketika aku meminta membolos pada saat aku ada tugas membawa contoh tanaman berakar serabut. Kata-kata sederhana itu cukup mengena di hati dan pikiranku yang juga masih sederhana. Waktu itu. Namun, memang, saat aku tidak

Ukhti Aulia Rakhmah

Sekolah Moralku bersekolah, aku diizinkan ikut Ayah atau Bunda ke kota. Bundaku sering kehabisan alat kesehatan sehingga harus membelinya sendiri ke kota. Saat ku tanya kenapa tidak menunggu kiriman dari dinas bunda?? Protesku ketika uang yang dijanjikan bunda untuk membelikanku sepatu baru terpakai untuk menambahi pembayaran membeli set infus atau sarung tangan di apotek. Kenapa harus menunda pekerjaan yang bisa dilakukan hari ini sayang? Tetanggatetangga kita sangat membutuhkannya, Najmi tidak apa-apa kan, kalau sepatu barunya tidak di beli hari ini? mendengar jawaban itu, akupun mengangguk dan menyenangkan hati Bunda karena tidak enak hati melanggar janjinya membelikanku sepatu baru hadiahku ranking satu. Sepatu Najmi masih bagus koq Bunda, Dan lagi, Bundaku selalu melibatkanku saat ia akan mengambil uang kiriman dari dinas, perhitungan lagi, bahwa satu juta dikurangi sembilan ratus tiga puluh tujuh lima ratus adalah enam puluh dua lima ratus bukan nol. Najmi anak pintar puji Bundaku. Beliau selalu memberiku reinforcement positif saat aku berhasil melakukan kebaikan. Juga, saat aku melakukan kesalahan, aku mendapat sanksi. Dalam lomba matematika tingkat kecamatan, aku juara satu. Hasil ini tak luput dari andil Ayahku yang memintaku membantunya menghitung gaji para karyawan. Ayahku memintanya menghitung tanpa kalkulator. Hanya boleh menggunakan sempoa atau lidi hitung buatan Ayahku. Bahwa tiga puluh ribu kali tujuh adalah dua ratus sepuluh ribu, bukan seratus tujuh puluh lima ribu atau seratus lima puluh ribu. Bahwa lima ratus riby dibagi lima sama dengan seratus ribu, bukan tujuh puluh lima ribu. Latihan latihan itu yang kini membuatku dinobatkan menjadi karyawan terbaik dan manajer terfavorit di perusahaan tempatku bekerja. Aku bersyukur atas dua hal. Pertama, karena prestasiku itu bisa menambah gajiku. Kedua, aku bersyukur, karena di Indonesia ini, masih ada orang yang melihat kebenaran hasil perkalian, penambahan, pengurangan, dan pembagian nilai-nilai rupiah. Masih bisa menghargai kejujuran dan keamanahan seseorang. Pelajaran moral, yang menjadi tanggung jawab sebuah institusi pendidikan formal, yang kini mulai luntur, tetap ku dapatkan dari Ayah dan Bundaku Terima kasih Bunda, Terima kasih Ayah, Kau, mendidikku menjadi pribadi anti korupsi sejak dini Semoga jiwamu terus ada di jiwa orang tua Indonesia.

Ukhti Aulia Rakhmah

Anda mungkin juga menyukai