Anda di halaman 1dari 28

MACAM-MACAM SUJUD, MENJAMA DAN

MENGQASHAR SHALAT
MAKALAH
dipresentasikan pada tanggal 30 bulan April tahun 2012
di jurusan Teknik Informatika semester 2
dalam rangka melengkapi perkuliahan mata pelajaran Fiqih
yang dibina oleh Ali Khosim Al-Mansyur, M.Ag

Oleh :
Rifqi Syamsul Fuadi (1211705138)
Sufie Nur Affifah (1211705155)
Sutrisna (1211705158)


IF-D
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012


i

KATA PENGANTAR
O) *.- ^}4uOO-
1gOO-
Assalamualaikum wr.wb.
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan tugas
makalah ini.
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama
empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu
menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi
dan budaya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang macam-macam sujud,
menjama dan mengqashar shalat yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh kami dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri kami maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Layaknya tak ada gading yang yang tak retak, begitu pula dengan makalah ini maka kami
mohon kritik dan saran yang membangun. Dengan begitu akan menjadi maklum adanya bila
terdapat kesalahan.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bandung, 1 April 2012




Penulis,





ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Macam-macam sujud......................................................................... 2
2.1.1 Sujud Tilawah .............................................................................. 2
2.1.2 Sujud Syukur ............................................................................... 9
2.1.3 Sujud Sahwi ............................................................................... 12
2.2 Menjama dan Mengqashar Shalat .................................................. 14

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 25



1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Latar belakang pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh. Di samping itu latar belakang kami membuat makalah ini adalah untuk
memberikan wawasan tentang macam-macam sujud, menjama dan menqashar shalat.
Samapai saat ini masih banyak yang meperdebatkan mengenai jama dan qashar
shalat, untuk itu kami akan mencoba menjelaskannya di makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah
1) Apa saja jenis-jenis sujud dan pengertiannya?
2) Bagaimana cara melakukan sujud-sujud tersebut dan syarat-syaratnya?
3) Apa yang dimaksud menjama dan mengqashar solat?
4) Bagaimana cara melakukan jama dan qashar serta syarat-syaratnya?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui dan memahami jenis-jenis sujud dan pengertiannya.
2) Mengetahui, memahami, dan dapat mengaplikasikan sujud-sujud tersebut dalam
kehidupan serta memenuhi syarat untuk melakukan sujud-sujud tersebut.
3) Mengetahui dan memahami pengertian dari jama dan qashar.
4) Mengetahui, memahami, dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan serta
memenuhi syarat untuk melakukan jama dan qashar.











2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Macam-macam Sujud
2.1.1 Sujud Tilawah
Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana
dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda: "Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan
menangis lalu berkata: Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka
dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku
mengabaikannya, maka neraka bagiku." (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam
halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi).
Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang
agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat
yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta'ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita,
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan
tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul
Mukminin, Aisyah Radhiallahu'anha:
Artinya: "Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari
kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim).
Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus "(Al Bayyinah: 5).
Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
Artinya: "Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu.
(Az Zumar: 65)
a. Definisi Sujud Tilawah
Secara bahasa tilawah berasal dari kata tala yaitu tilawatan artinya Bacaan.
Sedangkan menurut istilah, sujud tilawah artinya sujud bacaan atau mendengar
ayat sajdah. Sujud tilawah dilakukan satu kali baik dalam shalat maupun luar shalat,


3

barang siapa yang membaca atau mendengar ayat sajdah, disunatkan bertakbir lalu
sujud dan membaca doa sujud Tilawah. Nabi bersabda:
Dari Ibnu Umar ra. Berkata : Sesungguhnya Nabi SAW pernah membaca Alquran
di depan kami ketika beliau melalui (membaca) ayat sajdah beliau takbir, lalu sujud
kamipun sujud pula bersama-sama beliau. (HR. Turmudzi).

b. Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya
Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi
dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi'i dan
Imam Nawawi.
Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah:
1) Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata:
Artinya: "Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam pada surat (idzas sama'un syaqqat) dan (iqra' bismi rabbikalladzi
khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam
Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan
Nasa'i dalam Sunan-nya juga 2/161).
2) Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu 'anhu bersabda:
Artinya: "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud pada
surat An Najm." (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya
sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama
berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya
Umar radhiallahu 'anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum'at. Tatkala
sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada hari Jum'at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai
pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud.
Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak
sujud, maka tidak berdosa.


4

Pada lafadh lain : "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla tidak mewajibkan
sujud tilawah, melainkan jika kita mau." (HR. Bukhari).
Perbuatan Umar radhiallahu 'anhu di atas dilakukan di hadapan para
shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini
menunjukkan ijma' para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara
ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya
Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
Syaikh Abdurrahman As Sa'di menyatakan : "Tidak ada nash yang
mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur'an, hadits, ijma', maupun qiyas "
(Taudlihul Ahkam, halaman 167).
Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini
dinyatakan oleh Madzhab Hambali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq:
Artinya: "Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur'an dibacakan
kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak
beriman ketika dibacakan ayat Al Qur'an tidak mau bersujud. Dengan demikian
mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat
yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah
diterangkan di depan. Wallahu A'lam.
Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:
Artinya: "Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca
surat An Najm. (HR. Bukhari).
Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Artinya: "Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak
wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kadang-kadang
bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud.
Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca --dalam hal ini Zaid bin Tsabit-
- tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.


5

Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu
'anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama
beliau radhiallahu 'anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
c. Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah
Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur'an yang
mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan'ani
dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403:
1) Pendapat Madzhab Syafi'i
Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap
adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu
surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat
sampai An Nas).
2) Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung
pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.
3) Pendapat Madzhab Hambali
Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud
pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas: "Bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak
berpindah ke Madinah." (HR. Abu Dawud, 1403)
Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini: "Hadits ini dlaif, pada
sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin 'Ubaid. Haditsnya tidak dipakai."
Imam Ahmad berkata : "Abu Qudamah haditsnya goncang." Yahya bin Ma'in
berkata : "Dia dlaif." An Nasa'i berkata : "Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits
mungkar." Abu Hatim berkata: "Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya
(keraguannya)."
Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata :
"Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan
aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya."
Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya
beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika membaca


6

surat iqra' bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya
termasuk surat-surat mufashal).
Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau
tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam
keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah.
Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu
Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya,
sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A'lam. (Zadul Ma'ad, juz 1 halaman
273).
Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : "Aku sujud
bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A'raaf,
Ar Ra'd, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah,
Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal."
Abu Dawud berkata : "Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada
riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai."
Pendapat kedua terbantah dengan hadits 'Amr bin 'Ash : "Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas
(ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada
surat Al Hajj." (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan
bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam
mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : "Kesimpulannya, hadits ini
sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.
Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat
untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja,
sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung
oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal
ini termasuk hal yang dianggap masyru', lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat
yang menyelisihinya. Wallahu A'lam." (Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1) Al A'raf ayat 206.
2) Ar Ra'd ayat 15.


7

3) An Nahl ayat 50.
4) Maryam ayat 58.
5) Al Isra' ayat 109.
6) Al Hajj ayat 18.
7) Al Hajj ayat 77.
8) Al Furqan ayat 60.
9) An Naml ayat 26.
10) As Sajdah ayat 15.
11) Shad ayat 24.
12) An Najm ayat 62.
13) Fushilat ayat 38.
14) Al Insyiqaq ayat 21.
15) Al 'Alaq ayat 19.

d. Tata Cara Sujud Tilawah
Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh
dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara
hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di
atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Sa'id bin Jubair, beliau berkata : "Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai
kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu."
Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits
dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : "Janganlah seseorang sujud
kecuali dalam keadaan suci." Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang
dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir). Ucapan
ini dikuatkan dengan hadits : "Seorang musyrik itu najis."
Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama
kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang
dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : "Pada dasarnya
semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam
keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud


8

karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau
gangguan wudlu.
Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari
golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya,
padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa
sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang
tidak. Wallahu A'lam."
Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu
maupun yang tidak.
Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf
mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya
Taudlihul Ahkam.
Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan
dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud
tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang
diriwayatkan oleh Abdur Razaq: "Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar
shalat, hendaklah mengucapkan takbir."
Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar
yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : "Sanadnya shahih."
Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini
diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma'ad, juz 1 halaman 272. Wallahu
A'lam.
Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak
melakukan sujud tilawah :
1) Tidak diharuskan berwudlu.
2) Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3) Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para
fuqaha. Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar
Al 'Asqalani yang berbunyi : "Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa
Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu


9

dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu
isyarat." (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman
645).
Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur
fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4) Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5) Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang
membaca sujud dan tidak bila tidak.
6) Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring)
seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al
Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah
munqathi' (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini
diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.

e. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah:
Bacaan sujud tilawah adalah Subhaanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha
Illallah Allahu Akbar 3x. atau Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa
syaqqo samahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.
Artinya: Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan
pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci
Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa'i 1128, dan Al
Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi).
Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di
atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al
Albani.

2.1.2 Sujud Syukur
Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat
yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh
Ibnul Qayim dalam Zadul Ma'ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam
Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.


10

a. Hukum Sujud Syukur
Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh
Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya.
Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah:
1. Hadits dari Abi Bakrah :
Artinya : "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang
menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al
Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula
oleh Syaikh Al Albani)
2. Hadits:
Artinya : "Bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan.
Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya
seraya berkata : "Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan." (HR.
Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa'
2/226)
3. Hadits Anas bin Malik :
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau
sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini
terdapat Ibnu Lahi'ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata :
"Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya."
4. Hadits Abdurrahman bin Auf :
Artinya : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam
datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : "Sesungguhnya
Rabbmu berkata kepadamu, 'barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan
memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan
memberi salam kepadanya.' " Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR.
Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al
Hilali sebagai berikut : "Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang
berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-


11

hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu
'anhum.
Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :
1. Sujud Ali radhiallahu 'anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok
khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari
beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2. Sujud Ka'ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira
bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim
8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.
Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : "Oleh karena itu, seorang
yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud
syukur.
Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid'ah, maka
janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini." (Lihat Bahjatun Nadhirin,
jilid 2 halaman 325)

b. Syarat-syarat Melaksanakan Sujud Syukur
Imam Shan'ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud
syukur di atas : "Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya
syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat."
Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul 'Abbas, Al
Muayyid Billah, An Nakha'i, dan sebagian pengikut Syafi'i berpendapat bahwa syarat
sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam Yahya mengatakan pula : "Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun
satu pendapat pun."
Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul
Authar, juz 3 halaman 106)
Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu,
suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat.
Wallahu A'lam.

c. Cara Melakukan Sujud Syukur


12

Cara melakukan sujud syukur berbeda dengan sujud tilawah, sujud syukur adalah
sujud sebanyak 3 x dan sujud syukur tidak harus menghadap kiblat, hanya dilakukan
sesudah shalat (salam) atau diluar shalat, tapi yang lebih utama (afdhal) dilakukan
sebelum melakukan aktifitas lainnya termasuk zikir sesudah shalat.
1) Bacaan sujud pertama adalah :
Subhaanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Illallah Allahu Akbar dibaca 10 x.
2) Sujud kedua Doa sapu jagat :
Rabbanaa Aatina Fiddunyaa hasanah waa fil aakhirati hasanah waa qinaa
azabannar. Dibaca 10 x.
3) Sujud Ketiga adalah :
Allahumma Shalli alaa Sayyidinaa Muhammad waa alaa aalihii washohbihii
azmaiin. Dibaca 10 x.
Lalu bangkit tanpa salam sebagaimana dalam shalat, dengan catatan jika terjadi
secara spontan, maka kita sujud secara spontan juga di tempat yang bersih dan suci
dengan bacaan alhamdulillah wa syukrillah.

2.1.3 Sujud Sahwi
a. Definisi
Sujud sahwi artinya sujud kerana terlupa mengerjakan sesuatu yang sunnah atau
hal yang salah lainnya tanpa sengaja. Umpamanya lupa mengerjakan tahiyyat awal, lupa
membaca ayat atau surat pada rakaat pertama atau kedua, lupa tentang bilangan shalat dan
sebagainya. Menurut Al Gazhali, empat hal yang dapat digantikan dengan melakukan
sujud sahwi tersebut yaitu satu di antaranya termasuk perbuatan dan tiga lainnya termasuk
bacaan.
Yang termasuk perbuatan ialah duduk (setelah dua kali sujud pada rakaat kedua
shalat Zhuhur, Asar, Maghrib dan Isya) untuk membaca tasyahud. Duduk seperti ini
berpengaruh pada susunan bentuk shalat bagi siapa yang menyaksikannya. Sebab, dengan
itu, dapat diketahui apakah shalat tersebut rubaiyyah (terdiri atas empat rakaat) atau
bukan. Tidak seperti sunnah mengangkat tangan ketika takbir, misalnya, sebab hal itu tidak
mempengaruhi susunan bentuk shalat. Itu pula sebabnya, sunnah ini (yakni duduk untuk
tasyahud pertama) disebut badh (kata tunggal dari abadh) yang bererti bagian. Apabila
seseorang tidak mengerjakan abadh, dianjurkan dengan sangat agar ia menggantinya
dengan sujud sahwi.


13

Adapun bacaan-bacaan sunnah dalam shalat, semuanya tidak digantikan dengan
sujud sahwi, kecuali tiga (yaitu yang termasuk abadh):
1. Qunut
2. Bacaan tasyahud pertama
3. Salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w. pada tasyahud pertama.
Tidak termasuk di dalamnya takbir-takbir perpindahan (dari satu ruku ke ruku
lainnya), bacaan-bacaan dalam ruku, sujud dan itidal dari kedua-duanya. Hal ini
disebabkan ruku dan sujud adalah gerakan yang memiliki bentuk khas, berbeda dengan
gerakan-gerakan biasa. Dengan mengerjakannya, dapat diperoleh makna ibadah, walaupun
tanpa membaca zikir apapun dan tanpa takbir-takbir perpindahan. Tanpa zikir-zikir itu pun,
bentuk ibadah shalat dengan melakukan gerakan ruku dan sujud tetap tidak akan batal
atau hilang. Lain halnya dengan duduk untuk bertasyahud pertama. Ia tadinya merupakan
gerakan biasa (yakni, yang juga dilakukan di luar shalat). Tetapi, kini, sengaja
diperpanjang untuk diisi dengan bacaan tasyahud. Maka, meninggalkannya akan
menimbulkan perubahan cukup besar dalam susunan bentuk shalat.
Sebaliknya, meninggalkan bacaan doa istiftah, atau pun surah, tidak menimbulkan
perubahan, mengingat bahawa rukun berdiri dalam shalat telah cukup diisi dengan bacaan
Al Fatihah, sehingga dapat dibedakan dengan berdiri secara biasa. Dengan alasan itu pula,
bacaan doa setelah tasyahud terakhir tidak digantikan dengan sujud sahwi.
Bacaan qunut pun, pada dasarnya, tidak layak digantikan dengan sujud sahwi,
namun, disyariatkannya perpanjangan ruku itidal, pada shalat Subuh, adalah semata-mata
untuk diisi dengan bacaan doa qunut itu. Maka, sama halnya seperti rukun duduk untuk
tasyahud pertama. Ia adalah perpanjangan dari duduk istirahat, guna diisi dengan bacaan
tasyahud.

b. Cara melakukan Sujud Sahwi
Sujud sahwi dilakukan pada penghujung rakaat yang terakhir, yaitu sesudah
tahiyyat dan sebelum salam. Bersujud sambil mengucapkan Allaahu Akbar dan dalam
sujud membaca:
Subhaanalladzi laa yanaamu walaa yansaa (3x)
Artinya: Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa



14

1) Bila yang terlupakan itu salah satu rukun shalat, yang tidak bisa dibetulkan seketika,
maka shalatnya tidak sah, dan shalatnya harus diulang kembali. Tetapi bila yang
terlupakan itu rakaat, misalnya shalat Isya yang mestinya 4 rakaat , hanya 3 rakaat,
maka sesudah memberi salam, tanpa diselingi dengan atau perbuatan lain, segeralah ia
berdiri dan tambahlah rakaat yang tertinggal itu. Rakaat tersebut tetap diawali dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, kemudian anda lengkapi dengan sujud
sahwi.
2) Bila di dalam shalat timbul keraguan tentang jumlah rakaat maka ambillah jumlah
rakaat yang sedikit lalu yakinlah dengan itu (Misalnya bila kita lupa apakah sudah
empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka ambilah keputusan bahawa itu rakaat yang
ketiga. Lalu lanjutkan shalat dan tambahkan yang kurang).
3) Terlupa Mengerjakan Shalat
Bila seseorang terlupa mengerjakan shalat, baik kerana tertidur atau kerana lain hal,
maka hendaklah ia segera mengerjakannya seketika tersedar. Misalnya, kerana
ketiduran, sehingga waktu shalat subuh sudah habis. Maka ketika ia terbangun,
segeralah berwudhu dan tunaikanlah shalat subuhnya. Shalat tersebut bukan qadha
(membayar hutang), tetapi shalat dengan sesungguhnya. Allah s.w.t. akan memaafkan
kerana ia terlupa. Begitu pula bila peristiwa serupa lainnya terjadi secara tidak sengaja.

2.2 Menjama dan Mengqasar Shalat
a. Definisi
Shalat qashar adalah shalat yang disingkatkan. Qashar itu artinya singkat atau
pendek yaitu shalat diantara shalat fardhu yang lima, yang mestinya empat rakaat
dijadikan dua rakaat saja. Shalat yang boleh diqashar hanya shalat zuhur, ashar dan isya.
Adapun magrib dan subuh tetap sebagai biasa.
Sedangkan shalat jama adalah shalat yang dikumpulkan. Yang dimaksudkan
adalah dikumpulkannya dua shalat wajib dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur
dengan shalat ashar, shalat magrib dengan shalat isya. Shalat subuh tidak boleh
dikumpulkan dengan shalat lain.
Shalat qashar dan shalat jama adalah sama-sama dilakukan oleh orang yang
sedang bepergian kesuatu tempat yang jauh (musafir), dan juga dibolehkan untuk
mengqashar dan menjama shalatnya sekaligus (zuhur dengan ashar, masing-masing dua
rakaat). Mengerjakannya boleh dengan jama taqdim (shalat zuhur dengan shalat ashar


15

dikerjakan pada waktu zuhur dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu
magrib) dan jama takhir (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar
dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu isya).
Berikut ini beberapa contoh niat shalat jama dan qashar sekaligus, baik secara
jama taqdim maupun jama takhir:
1) Niat shalat zuhur dan ashar dengan qashar sekaligus jama taqdim:
Ushalli fardhadh zuhri rakataini qashran majmuuan bil ashri lillahi taaalaa
Artinya: Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama dengan ashar karena
Allah taaala.
2) Niat shalat ashar dengan zuhur sekaligus dengan qashar sekaligus jama takhir:
Ushalli fardhadh zuhri rakataini qashran majmuuan bil ashri lillahi taaalaa
Artinya: Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama dengan ashar secara
jama takhir karena Allah taaala.
3) Niat shalat isya dan magrib dengan qashar sekaligus jama takhir:
Ushalli fardhadh isyaa-i rakataini qashran majmuuan bil maghribi lillahi
taaalaa
Artinya: Aku niat shalat isya dua rakaat qashar dan jama dengan magrib karena
Allah taaala.
Pelaksanaan shalat dengan cara jama taqdim harus memenuhi syarat:
1) Tartib, yakni melakukan kedua shalat itu sesuai dengan urutan waktunya. Waktu yang
digunakan untuk jama taqdim adalah waktu shalat pertama, sedangkan shalat kedua
merupakan turutan. Jadi, shalat pertama itulah semestinya yang didahulukan.
2) Niat shalat jama ketika takbiratul ihram shalat pertama atau setidaknya sebelum
selesai shalat tersebut.
3) Wala, artinya pelaksanaan secara beruntun, shalat kedua tidak berselang lama dari
shalat pertama.
4) Keadaan sebagai musafir masih berlanjut ketika ia memulai shalat kedua.

Apabila mengerjakan dengan jama takhir maka shalat zuhur dulu yang dikerjakan 2
rakaat baru shalat ashar 2 rakaat, begitu pula halnya dengan shalat magrib dan isya maka
shalat magrib dulu yang dikerjakan 3 rakaat baru shalat isya 2 rakaat. Ini berdasarkan
ijtihad dari para ulama yang berpedoman kepada hadits nabi, yang artinya mulailah
olehmu darimana Allah memulai, maka yang mula datang menurut urutan adalah zuhur


16

sebelum ashar dan magrib sebelum isya. Walaupun jama takhir, maka mulailah
mengerjakan menurut asal datangnya.
Untuk jama takhir hanya dua syarat, yaitu:
1. Berniat pada waktu shalat pertama, akan menjamakan shalat tersebut ke shalat kedua.
Dengan demikian penundaan shalat tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran atau
kelalaian.
2. Pelaksanaan kedua shalat itu dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus sebelum
kedua shalat itu selesai dilaksanakan maka shalat pertama menjadi shalat qadha.

Shalat jama boleh juga dilakukan oleh orang yang tidak bepergian (mukim) pada
waktu hujan atau ada hal-hal yang memaksakan kita untuk melakukan itu, sehingga kalau
tidak dilaksanakan yang demikian, besar kemungkinan bisa menyebabkan tertinggalnya
shalat. Misalnya kita sudah tidak tidur beberapa malam, karena menjaga orang yang sakit.
Maka untuk lebih pulasnya tidur itu dibolehkan untuk menjama shalat. Nabi juga pernah
menjama shalat tanpa ada suatu yang mencemaskan dan bukan pula karena hari hujan.
Memang tidak dijelaskan dalam hadits itu, apa sebabnya nabi menjama tapi besar dugaan
tentu ada yang menjadi penyebanya.
Apabila mengerjakan shalat jama pada waktu mukim (menetap) maka harus
dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut (jama taqdim), bila mengerjakan
shalat zuhur dan ashar maka harus diwaktu zuhur dan bila menjama shalat isya harus pada
waktu magrib.

b. Sumber Hadits
Adapun hadits yang dipaparkan adalah yang terdapat dalam kitab Luluul Marjan no.
401 dan 410, sebagai berikut:
Artinya: Hadits Anas, dimana ia berkata: kami keluar dari Madinah menuju ke
Mekkah bersama-sama dengan Nabi saw, lalu beliau mengerjakan shalat dua rakaat
sehingga kami kembali ke Madinah Yahya bin Ishaq ditanya: Berapa lama kamu
bermukim (tinggal) di Mekkah? Ia menjawab: Kami bermukim selama sepuluh hari.
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam kitab mengqashar shalat bab tentang
menqashar dan berapa lama ia bisa mengqashar .
Artinya: Hadits Anas bin Malik, dimana ia berkata: Rasulullah saw apabila
berangkat sebelum matahari tergelincir (ke barat), maka beliau mengakhirkan shalat


17

dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun lalu menjama kedua shalat itu.
Apabila matahari sudah tergelincir sebelum berangkat, maka beliau mengerjakan shalat
dhuhur, kemudian beliau naik kendaraan.
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam kitab mengqashar shalat bab tentang
apabila seorang berangkat sesudah matahari tergelincir maka ia harus mengerjakan shalat
zuhur kemudian naik kendaraan.

c. Dalil-dalil Penguat
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan penguat dari permasalahan shalat qashar dan
shalat jama ini, diantaranya:
Firman Allah dalam Al-quran surah An-Nisa: 101 ( 101: )
-O)4 u7+4Og O) ^O- "^1U
7^OU4 NE4LN_ p W-+OO^^> =}g`
jE_OUO- up) u7+^= p N74Lg^4C
4g~-.- W-NOEE _ Ep) 4jOg^-
W-O+^~E 7 -E4N 4LO)lG` ^
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah telah mewajibkan shalat
dalam perjalanan, melalui nabinya sebanyak dua rakaat. Allah, Rasulullah, dan ijma kaum
muslimin tidak mengkhususkan perjalanan yang bagaimana, kecuali dengan nash atau
ijma yang diyakini kebenarannya.
Hadits nabi yang menjabarkan tentang firman Allah diatas:
Artinya: Dari Yala bin Umayah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Khattab
(yaitu ayat yang mempunyai arti) tidak ada dosa atasmu, bahwa kamu memendekkan
(mengqashar) shalat, jika kamu khawatir akan bahaya dari orang-orang kafir, maka
sesungguhnya sekarang manusia berada dalam keamanan. Berkata Umar: Memang aku
merasa heran diantara hal yang mengherankan ku. Maka aku tanyakan hal itu kepada
Rasulullah SAW dari hal yang demikian lalu beliau menjawab: Itu adalah sedekah yang
disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekahnya itu (HR. Jamaah, kecuali
Bukhari).
Dengan keterangan hadits diatas nyatalah bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan
adalah sebagai sunnah dan sebagai sedekah yang harus kita terima dengan segala senang


18

hati dan tangan terbuka. Orang yang tidak mau atau menolak sedekah yang diberikan orang
lain kepadanya, dianggap sebagai orang yang sombong, apalagi sedekah yang diberikan
Allah.
Sebagai alasan bahwa Nabi dan sahabat-sahabatnya tidak pernah melaksanakan shalat
secukupnya menurut shalat yang biasa dalam perjalanan ialah hadits yang tertera dibawah
ini:
Artinya: Terdapat dalam buku shahih Muslim, dari Ibnu Umar: Aku telah menyertai
(menemani) Nabi SAW dalam perjalanan, maka beliau tidak pernah melebihi shalatnya
dari dua rakaat sampai beliau meninggal, aku telah menyertai Abu Bakar dalam perjalanan,
maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat, sampai ia meninggal, aku telah
menyertai Umar dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua
rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Utsman dalam perjalanan, maka tidak
pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai ia meninggal.
Ada pula hadits yang berasal dari Aisyah menurut riwayat yang menyatakan bahwa
orang yang bepergian mengqashar shalatnya.
Artinya: Hadits Aisyah Ummul Mukminin, dimana ia berkata: Allah mewajibkan
shalat ketika mulai pertama diwajibkannya dua rakaat baik ditempat tinggalnya sendiri
maupun dalam bepergian, kemudian shalat dalam bepergian itu ditetapkan (dua rakaat) dan
shalat dalam tempat tinggalnya sendiri ditambah.
Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam Kitab Shalat bab tentang bagaimana shalat-
shalat itu diwajibkan dalam Isra dan Miraj.

d. Pendapat-Pendapat Para Ulama
Didalam pelaksanaan shalat Qashar dan shalat Jama ini terdapat berbagai macam
pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya yaitu:
a) Tentang shalat qashar
1) Ibnul Qaiyim
Pendapat yang beliau kemukakan adalah bahwa:
Jikalau bepergian, Rasulullah SAW selalu mengqashar shalat yang empat
rakaat dan mengerjakannya hanya dua-dua rakaat, sampai beliau kembali ke
Madinah, tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap
melakukannya empat rakaat. Hal ini tidak menjadi perselisihan lagi bagi imam-
imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. Umar, Ali,


19

Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir menetapkan bahwa
hukumnya wajib.
2) Abu Hanifah (Mahzab Hanafi)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah wajib, musafir yang tidak
meringkas shalat yang empat rakaat, jika ia duduk pada rakaat kedua setelah
tasyahud, maka shalatnya sah, hanya hukumnya makruh karena ia
mengundurkan salam, sedang dua rakaat selanjutnya dianggap shalat. Tapi bila
ia tidak duduk pada rakaat kedua itu maka shalatnya tidak sah. Dan jika berniat
mukim 15 hari maka boleh mengqashar shalatnya. Pendapat ini juga sama
dengan Al-Laits bin Saad, Umar, Abdullah bin Umar, dan Ibnu Abbas. Ada
juga riwayat yang menyatakan pendapat Said Ibnul Musaiyab juga sama dengan
mazhab Hanafi ini.
3) Maliki (Mahzab Maliki)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah sunat muakkad dan lebih
takid lagi dari shalat berjamaah, sehingga apabila musafir tidak mendapatkan
kawan sesama musafir untuk berjamaah, hendaklah ia bershalat secara
perseorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya mencukupkan empat
rakaat dan bermakmum kepada orang yang mukim. Dan jika seseorang berniat
hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan shalat dan kalau
kurang boleh mengqashar.
4) Ahmad bin Hambal (Mahzab Hambali)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya
lebih baik daripada menyempurnakan.
5) Imam SyafiI (Mahzab Safii)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya
lebih baik daripada menyempurnakannya. Kalau memang sudah mencapai jarak
boleh mengqashar.
Mengenai jarak bolehnya mengqashar shalat dapat diberi penjelasan oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri, katanya:
Artinya: Apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau
mengqashar shalat (diriwayatkan oleh Said bin Mashur dan disebutkan oleh Hafizh
dalam At-Takhlis, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).


20

Satu farsakh itu sama dengan tiga mil atau 5541 meter sedang 1 mil sama dengan
1748 meter.
Tempat dibolehkannya memulai mengqashar shalat adalah setelah keluar dari
rumah tempat kita tinggal (berdomisili). Dan bila seseorang telah kembali ke tempat
tinggal asalnya atau telah berniat untuk menetap di tempat yang dituju itu, maka habislah
baginya hukum qashar.

b) Tentang shalat jama
Para ulama sependapat bahwa menjama shalat zuhur dan ashar secar taqdim pada
waktu zuhur di Arafah, begitupun antara shalat magrib dan isya secara takhir diwaktu
isya di mudzalifah, hukumnya sunnat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw.
Artinya: Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan
satu shalat pun kecuali pada tepat waktunya selain shalat yang beliau jamak (gabung),
yakni zuhur dengan ashar di Arafah dan magrib dengan Isya di Mudzalifah.
(Diriwayatkan oleh Syaikhan).
Dan menjama dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat
itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah
dilakukannya itu sewktu berhenti ataukah selagi dalam perjalanan.Dalam kitab Al-
Muwaththa Malik meriwayatkan dari Muadz bahwa:
Artinya: Pada suatu hari nabi saw mengundurkan shalat diwaktu perang Tabuk dan
pergi keluar, lalu mengerjakan shalat zuhur dan ashar secara jama, setelah itu beliau
masuk dan kemudian beliau pergi lagi dan mengerjakan shalat magrib dan isya secara
jama pula.
Berkata Syafii: Kata-kata pergi dan masuk itu menunjukkan bahwa Nabi saw sedang
berhenti. Lalu Imam Syafii juga berkata: Jika seseorang bershalat magrib dirumahnya
dengan niat menjama, kemudian ia pergi ke mesjid melakukan shalat isya juga boleh.
Dikatakan bahwa Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.
Ada pula hadits dari Ibnu Umar yang membolehkan menjama dua shalat dalam
bepergian.
Artinya: Hadits Ibnu Umar ra, dimana ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw, jika
tergesa-gesa dalam berangkat, beliau mengakhirkan shalat magrib sehingga beliau
menjama (mengumpulkan) shalat magrib dan shalat isya.


21

Kemudian tentang menjama diwaktu hujan. Dalam sunnahnya Al-Atsram
meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: Termasuk sunnah Nabi
saw. menjama shalat magrib dengan isya, apabila hari hujan lebat. Dan Bukhari
meriwayatkan pula bahwa.
Artinya: Nabi saw menjama shalat magrib dan isya disuatu malam yang berhujan
lebat.
Kesimpulan pendapat mazhab-mazhab mengenai soal ini ialah sebagai berikut:
1) Golongan Syafii membolehkan seorang mukmin menjama shalat zuhur dengan
ashar dan magrib dengan isya secara taqdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika
membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan
masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
2) Menurut Maliki, boleh menjama taqdim dalam mesjid antara magrib dengan isya
disebabkan adanya hujan yang telah akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak
lumpur ditengah jalan dan malam sangat gelap hingga menyukarkan orang untuk
memakai sandal. Menjama shalat zuhur dengan ashar ini, dimakruhkan.
3) Menurut golongan Hambali berpendapat bahwa boleh menjama magrib dengan isya
saja, baik secara taqdim atau secara takhir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin
yang amat sangat serta hujan yang membasahkan pakaian, dan khusus bagi orang
yang tempatnya jauh dari mesjid.
4) Menjama sebab sakit atau uzur, menurut Imam Ahmad.,Imam Malik, Qadhie
Husien, Al-Khaththabi dan Al Mutawali dari golongan Syafii membolehkan
menjama baik taqdim atau taqdim dengan alasan karena kesukaran waktu itu lebih
besar daripada kesukaran diwaktu hujan. Berkata Nawawi: Dari segi alasan
pendapat ini adalah kuat. Akan tetapi Syafii tidak mebenarkan jama karena sakit
sebab menurutnya, illat yang menjadi alasan bolehnya jama itu adalah safar, jadi
hanya terdapat dan berlaku bagi musafir.
5) Menurut ulama Hanbali boleh pula menjama baik taqdim atau takhir karena
berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka membolehkan
orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya buat mencuci kain setiap hendak
bershalat.
6) Kemudian menjama sebab ada keperluan tapi tidak karena sakit atau sebab-sebab
lainnya, dan asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaan, ada beberapa imam yang
membolehkannya antara lain Ibnu Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan


22

menurut Al-Khaththabi, Qaffal dan Asy-Syasil Kabir dari golongan Syafii, Ishal
Marwazi, jemaah ahli hadits, Ibnul Mundzir, Ibnu Abbas.
e. Analisis Pendapat Sendiri
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan para ulama, maka penulis
mempunyai pendapatnya sendiri, yaitu:
Bagi orang yang sedang bepergian (musafir) boleh mengqashar shalat (menyingkat
shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat) dengan beberapa syarat:
1) Kepergiannya bukan dalam rangka kemaksiatan
Jadi, qashar hanya dapat dilakukan pada safar yang dibenarkan oleh syariat,
meliputi:
a) Safar yang wajib, seperti safar haji.
b) Safar yang mandub, seperti menziarahi makam Rasulullah.
c) Safar yang mubah seperti perjalanan niaga.
2) Jarak kepergiannya harus mencapai 16 farsakh (80 Km, lebih 640 m) atau 48 mil
yang sama dengan 76, 80 Km.
3) Shalat yang diqashar itu harus shalat yang rakaatnya 4, dan bukan shalat qadha.
4) Berniat qashar bersamaan dengan mengucapkan takbiratul ihram.
5) Tidak boleh bermakmum kepada orang yang menetap (mukim).
6) Perjalanan itu dilakukan menuju ke suatu tempat tertentu, orang yang berjalan tanpa
tujuan, sekalipun jarak yang ditempuhnya jauh tidak dibenarkan mengqashar shalat.
7) Shalat itu dilakukan setelah musafir melampaui batas kota atau desa yang menjadi
awal safarnya. Diriwayatkan dari Anas, katanya:
Artinya: Saya shalat zuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan Zul
Hulaifah dua rakaat (Hadits Jamaah)
8) Shalat tersebut dilakukan sepenuhya dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus,
misalnya ditengah pelaksanaan shalat itu ia sampai ketujuan, maka ia harus
menyempurnakannya menjadi empat rakaat. Artinya: Rasulullah bermukim di
Mekkah selama delapan belas hari dan selama itu pula beliau mengerjakan shalat
hanya dua rakaat-dua rakaat, dan sabdanya: wahai penduduk negeri ini, shalat lah
empat rakaat, karena kami adalah musafir. (Hadits Abu Daud)
9) Mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat tersebut.



23

Bagi orang musafir boleh menjama antara shalat zuhur dengan ashar diwaktu
mana saja ia kehendaki dengan jama taqdim atau jama takhir, dan begitu pula halnya
antara menjama antara shalat magrib dengan isya.
Orang yang tidak sedang bepergian atau mukim diperbolehkan menjama antara
dua shalat (zuhur dengan ashar, magrib dengan isya), akan tetapi harus dikerjakan
pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut dan boleh pula menjama pada waktu
hari hujan, karena sakit karena ada suatu keperluan.
Dari penjelasan diatas, dan berdasarkan pendapat para ulama, maka penulis
menyimpulkan bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) diharuskan mengqashar
dan menjama shalatnya. karena itu merupakan sedekah dan keringanan yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surah An-
Nisa ayat 101.



24

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sujud
itu dibagi menjadi 3 macam. Pertama, sujud sahwi yang dilakukan apabila melakukan
kesalahan atau lupa yang terdiri dari 2 kali sujud. Kedua, sujud tilawah yang dilakukan
apabila mendengar ayat-ayat sajdah yang terdiri dari 1 kali sujud. Sedangkan ketiga, sujud
syukur yang dilakukan apabila mendapat kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada
makhluk-Nya yang beriman dan bertaqwa.
Sedangkan untuk masalah menjama dan mengqashar dapat disimpulkan bahwa:
Shalat qashar adalah menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat (zuhur, ashar, dan
isya) menjadi dua rakaat, dan ini dikerjakan oleh orang yang sedang dalam perjalanan
(musafir).
Shalat jama adalah mengumpulkan dua shalat wajib dalam waktu yang sama, misal:
shalat zuhur dengan ashar, dan shalat magrib dengan shalat isya bisa dengan jama takhir.
Shalat jama juga boleh dikerjakan oleh orang yang tidak sedang bepergian (mukim),
karena hari hujan, karena sakit, atau karena sebab-sebab atau keperluan lain yang
mendesak.
Hukum shalat qashar apabila dalam perjalanan adalah wajib, akan tetapi adapula
ulama yang berpendapat hukumnya sunnat muakkad, jaiz (boleh), sedangkan shalat jama
juga boleh. Dan mengqashar shalat itu merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah
kepada mu semua, maka terimalah sedekah-Nya itu.
Jarak bolehnya mengqashar adalah 1 farsakh yang sama dengan 3 mil dan memulai
mengqashar adalah apabila telah keluar dari rumah tempat tinggal.
Demikianlah yang dapat disimpulkan semoga kita dapat mengerjakan shalat qashar
dan shalat jama ini apabila kita bepergian kesuatu tempat (musafir) karena ini merupakan
sebuah keringanan dari Allah bagi hamba-Nya.








25

DAFTAR PUSTAKA

Khosim Al-Mansyur. Ali, Kajian Fiqh Ibadah 4 Madzhab, Bandung: Mitra Cendekia,
Cetakan Ke-1, 2011.
http://ahdoy.blogspot.com/2010/02/sujud-tilawah-sujud-sahwi-sujud-syukur.html diakses
pada hari selasa tanggal 13 Maret 2012 pukul 07.59 WIB.
http://ahdoy.blogspot.com/2010/02/sujud-tilawah-sujud-sahwi-sujud-syukur.html diakses
pada hari Selasa tanggal 13 Maret 2012 Pukul 08.03 WIB.
http://www.jadilah.com/2012/01/pengertian-sujud-syukur-dan-sujud.html diakses pada
hari Selasa tanggal 13 Maret 2012 Pukul 08.08 WIB.
http://radensomad.com/pengertian-dan-tatacara-sujud-sahwi.html diakses pada hari Selasa
tanggal 13 Maret 2012 Pukul 08.13 WIB.
http://www.ombar.net/2009/08/sujud-syukur.html diakses pada hari Selasa tanggal 13
Maret 2012 pukul 08.17 WIB.
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/shalat-qashar-dan-jama/ diakses pada hari Kamis
tanggal 15 Maret 2012 pukul 20.22 WIB.
http://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=182 diakses pada hari Kamis tanggal 15
Maret 2012 pukul 20.29 WIB
http://ilmuenjoy.blogspot.com/2011/11/pengertian-sujud-sahwi-syukur-tilawah.html
diakses pada hari Senin tanggal 26 Maret 2012 pukul 17.12 WIB

Anda mungkin juga menyukai