Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Seperti diketahui untuk menggapai performa optimal, kesehatan ayam harus terjaga prima.
Oleh karena itu, menjaga kesehatan ayam dari serangan penyakit adalah hal yang mutlak. Tugas
tersebut tidaklah selalu mudah karena seiring dengan waktu, masing-masing penyakit juga
mengembangkan cara sendiri untuk menembus pertahanan yang dibuat peternak. Hal ini
diperlihatkan dari beberapa penyakit yang masih tetap eksis di Indonesia, salah satunya ialah
Gumboro.
Gumboro (infectious bursal disease/IBD), penyakit yang muncul pertama kali di daerah
Dellaware (Amerika Serikat) di tahun 1957 ini, masih tetap ada hingga kini di Indonesia. Seluruh
tipe ayam mulai dari pedaging, petelur, pembibit, pejantan dan juga buras rentan terhadap
Gumboro.
Menelusuri catatan penyakit di Indonesia, kita akan menemukan bahwa Gumboro sempat
menyebabkan outbreak di tahun 1991. Adalah strain very virulent infectious bursal
disease (vvIBD) yang menyebabkan outbreak tersebut. Virus ini juga
menyebabkan outbreak Gumboro di Eropa tahun 1987. Pada outbreak di Indonesia, tingkat
kesakitan mencapai 100% sedangkan tingkat kematian hingga 30% pada pedaging dan 60% pada
petelur (Ignatovic et al., 2003).
Semenjak itu, kejadiannya berlangsung sporadik (tidak teratur dan tersebar) di Indonesia
hingga sekarang. Data Technical Service Medion memperlihatkan bahwa Gumboro selalu berada
di 10 besar penyakit selama 2006-2009 baik di ayam pedaging maupun petelur. Hal ini
mengindikasikan penyakit ini masih tetap mengintai di sekitar kita.
Karena virus Gumboro termasuk jenis virus yang mudah menular, maka kasus Gumboro di
lapangan bisa menyebar dengan sangat cepat. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya penyakit
Gumboro tidak diturunkan dari induk ayam ke anaknya, namun menular secara langsung dari
feses karena ayam yang terinfeksi Gumboro akan mengeluarkan virus melalui fesesnya. Selama
ini feses memang menjadi media penular utama penyakit Gumboro. Dari beberapa literatur
diketahui bahwa virus Gumboro di dalam feses masih infektif hingga 122 hari setelah
dieksresikan (dikeluarkan) oleh ayam.
Selain melalui feses, media lain seperti litter, tempat air minum dan ransum juga dapat
berperan sebagai media penular jika sebelumnya pernah terkontaminasi feses yang mengandung
virus Gumboro. Virus Gumboro di dalam air minum dan ransum ayam misalnya diketahui pula
masih infektif hingga 52 hari setelah dieksresikan (Tabbu, 2000).





BAB II
PEMBAHASAN

II. 1 Kenali Penyebab gumboro
Penyakit ini disebabkan oleh virus IBD yang berasal dari famili (keluarga)
virus Birnaviridae dan genusAvibirnavirus. Virus ini memiliki dua serotype yaitu I dan II.
Hanya serotype I yang patogenik (menimbulkan sakit) pada ayam. Serotype II menyerang kalkun
dan tidak patogenik pada ayam.

Gambar I. Virus Gumboro dengan mikroskop elektron
(Sumber : www.answers.com)

Struktur virus ini tidak beramplop, berbentuk simetris ikosahedral dan berisi dua utas
rantai RNA (Ribonucleic Acid) (en.wikipedia.org). Dikarenakan tidak beramplop, virus ini
memiliki kelebihan yaitu lebih stabil terhadap perubahan di lingkungan. Virus Gumboro tetap
stabil dalam rentang pH yang luas (2-8), terpapar enzim proteolitik di usus seperti tripsin dan
panas (60
o
C selama 30 menit tetap infektif) (MacLachlan dan Stott, 2004).MacLachlan dan Stott
(2004) juga menyatakan bahwa virus IBD masih bisa ditemukan di kandang yang telah dipanen
lebih dari 100 hari (tanpa didesinfeksi). Juga tahan terhadap sebagian besar golongan desinfektan
kecualiFormades, Desinsep, Sporades, Antisep dan Neo Antisep.
Virus Gumboro hanya ditularkan secara horisontal dengan media penular utama ialah
feses. Virus IBD di dalam feses masih infektif (mampu menginfeksi ayam lain,red) hingga 122
hari setelah dieksresikan (dikeluarkan) oleh ayam. Sedangkan virus di dalam air minum dan
pakan ayam masih infektif hingga 52 hari setelah dieksresikan. Tempat air minum, pakan,
kandang dan benda-benda lain juga dapat berperan sebagai media penular jika terkontaminasi
feses yang mengandung virus Gumboro.
Transmisi virus secara vertikal (dari induk ke anak atau via telur) tidak terjadi. Begitupun
dengan ayam yangcarrier atau ayam yang membawa virus tapi tidak sedang sakit Gumboro, juga
tidak ditemukan sehingga ayam yang sembuh dari Gumboro tidak berpotensi menularkan virus
ke lingkungan.
Anak ayam berumur 22-35 hari ternyata paling rentan terhadap serangan Gumboro.
Keterangan ini diperkuat dengan data Technical Service Medion selama tahun 2006-2009 yang
menyebutkan Gumboro paling sering menyerang ayam pedaging umur 22-28 hari dan ayam
petelur umur 29-35 hari (Grafik 1).



Grafik 1. Rata-rata Sebaran Umur Infeksi Gumboro pada Ayam Pedaging dan Petelur (dalam Persen)
Sumber : Data Technical Service Medion, 2010

II. 2 Karakteristik Virus Gumboro
Penyakit Gumboro disebabkan oleh virus yang berasal dari famili
(keluarga) Birnaviridae dan genus Avibirnavirus. Virus ini memiliki dua serotipe yaitu I dan II.
Hanya serotipe I yang patogenik (menimbulkan sakit) pada ayam. Sedangkan serotipe II
menyerang kalkun dan tidak patogenik pada ayam.
Virus Gumboro memiliki struktur tidak beramplop, berbentuk simetris icosahedral dan
berisi dua utas rantai RNA (ribonucleic acid). Karena tidak beramplop, virus ini memiliki
kelebihan yaitu lebih stabil dan mampu bertahan hidup lebih lama di lingkungan. Bayangkan
saja, di luar tubuh hospes (ayam, red), virus ini tahan hidup lebih dari 3 bulan dan masih bersifat
infektif (mampu menginfeksi ayam lain, red).
Virus Gumboro juga stabil hidup dalam rentang pH yang luas (pH 2-8) serta tahan
terhadap panas (60C selama 30 menit) (MacLachlan dan Stott, 2004). MacLachlan dan Stott
(2004) juga menyatakan bahwa virus Gumboro masih bisa ditemukan di kandang yang telah
dipanen lebih dari 100 hari (tanpa didesinfeksi).

Gambar II. Struktur Virus Gumboro



II. 3 Pengawasan dan pemeliharaan hewan
Mengoptimalkan masa persiapan kandang merupakan salah satu tips yang dinilai mampu
mengurangi jumlah virus Gumboro di lapangan. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Pembersihan kandang
Lakukan pembersihan kandang secara optimal dengan menghilangkan semua bahan
organik yang ada, seperti feses dan lendir. Caranya dengan menyikat semua bagian kandang
menggunakan air detergen, kemudian semprot dengan air dan dikeringkan. Jangan biarkan feses
dan litter dalam karung dibiarkan menumpuk begitu saja di sekitar areal kandang karena virus
Gumboro dalam feses akan mudah menyebar.
Desinfeksi
Setelah kandang dibersihkan, langkah selanjutnya ialah melakukan semprot/desinfeksi
kandang beserta peralatannya. Di awal kita sudah mengetahui bahwa virus Gumboro tergolong
ke dalam jenis virus yang tidak beramplop/non-amplop (tidak berselubung), yaitu virus yang
tidak memiliki selubung lipid (lemak) di permukaan tubuhnya.
Dalam penyemprotan desinfektan, kadangkala peternak melakukannya tanpa
pembersihan kandang terlebih dahulu atau pembersihan tidak optimal (masih terdapat sisa
litter/feses di sela- sela kandang). Kondisi ini tentunya akan mengakibatkan kerja desinfektan
tidak optimal, terutama pada penggunaan desinfektan golongan oxidizingagent yang daya
kerjanya dipengaruhi oleh materi organik. Karena virus Gumboro memiliki sifat lebih stabil di
lingkungan, maka desinfektan baru bisa membunuh virus Gumboro jika terjadi kontak minimal 1
jam. Oleh karena itu, efektivitas desinfeksi dalam membunuh virus bandel ini amat dipengaruhi
oleh porositas (kemampuan menyerap air) media yang didesinfeksi dan tingkat penguapan
desinfektan yang dipakai (Tabbu, 2000).
Contohnya, kandang ayam yang terbuat dari bambu akan cepat menyerap cairan
desinfektan sehingga permukaan yang disemprot cepat kering. Cuaca panas dan tiupan angin pun
akan mempercepat penguapan desinfektan sesaat setelah disemprotkan. Oleh karena itu, agar
hasil semprot bisa maksimal, maka penyemprotan desinfektan harus dilakukan berulang-ulang
hingga lama kontak minimal tercapai. Selain melakukan semprot kandang, sanitasi peralatan
kandang (tempat minum, tempat ransum, dsb) juga wajib dilakukan. Rendam peralatan kandang
dengan larutan Neo Antisep atau Sporades minimal selama 30 menit. Selanjutnya simpan
peralatan yang sudah disanitasi tersebut dalam kandang yang sudah didesinfeksi dan tutup
seluruh tirai kandang.

Istirahat kandang minimal 14 hari
Istirahat kandang atau yang juga disebut masa kosong kandang wajib diterapkan di peternakan.
Apalagi jika sebelumnya kasus Gumboro sudah merebak. Hendaknya peternak bisa
melaksanakan masa istirahat kandang dengan tepat, yaitu minimal selama 14 hari setelah
kandang bersih dan didesinfeksi. Tujuannya tidak lain untuk memutus siklus hidup virus
Gumboro.



Kendalikan vektor Gumboro
Untuk mengendalikan vektor Gumboro, pertama lakukan pemotongan rumput dan
semak- semak yang tumbuh di lingkungan kandang secara teratur. Cegah adanya genangan air di
sekitar kandang dengan membersihkan selokan hingga aliran airnya lancar. Selanjutnya lakukan
penyemprotan insektisida untuk mengeliminasi vektor serangga kumbang dan nyamuk yang
berperan menyebarkan virus Gumboro (vektor). Penggunaan insektisida sebaiknya dilakukan
hanya saat istirahat kandang, karena jika dilakukan saat ada ayam dikhawatirkan dapat
menyebabkan keracunan pada ayam. Adapun prosedur penyemprotan insektisida (Widianto,
2005) tersebut antara lain:
Gunakan alat pengaman berupa masker penutup hidung dan mulut, kaos tangan, sepatu
boot, dan jaket atau baju berlengan panjang.
Waktu paling baik untuk penyemprotan adalah pada saat terjadi aliran udara naik, yaitu
antara pukul 08.00 10.00 WIB atau sore hari pukul 15.00 18.00 WIB.
Jangan melakukan penyemprotan di saat angin kencang karena banyak insektisida yang
tidak mengenai sasaran. Juga jangan menyemprot dengan melawan arah angin, karena
cairan semprot bisa mengenai orang yang menyemprot.
Bersihkan alat semprot segera setelah selesai digunakan. Air bekas cucian sebaiknya
dibuang ke lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai. Penyemprot (orang yang
menyemprot, red) segera mandi menggunakan sabun dan cuci segera pakaian yang
digunakan.
Untuk mengendalikan virus Gumboro memang bukanlah suatu persoalan yang sederhana.
Sebagai benteng pertahanan agar ayam tidak terjangkit Gumboro, selain langkah vaksinasi,
ternyata biosekuriti dan manajemen yang baik ikut memainkan peran penting dalam mencegah
serangan virus Gumboro. Oleh karena itu, penanganan virus Gumboro dengan mengoptimalkan
masa persiapan kandang menjadi salah satu solusi yang bisa diterapkan.

II. 4 Penularan Virus Gumboro
Karena virus Gumboro termasuk jenis virus yang mudah menular, maka kasus Gumboro
di lapangan bisa menyebar dengan sangat cepat. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya penyakit
Gumboro tidak diturunkan dari induk ayam ke anaknya, namun menular secara langsung dari
feses karena ayam yang terinfeksi Gumboro akan mengeluarkan virus melalui fesesnya. Selama
ini feses memang menjadi media penular utama penyakit Gumboro. Dari beberapa literatur
diketahui bahwa virus Gumboro di dalam feses masih infektif hingga 122 hari setelah
dieksresikan (dikeluarkan) oleh ayam.
Selain melalui feses, media lain seperti litter, tempat air minum dan ransum juga dapat
berperan sebagai media penular jika sebelumnya pernah terkontaminasi feses yang mengandung
virus Gumboro. Virus Gumboro di dalam air minum dan ransum ayam misalnya diketahui pula
masih infektif hingga 52 hari setelah dieksresikan (Tabbu, 2000). Karena virus Gumboro dari
ayam sakit banyak terakumulasi di dalam feses, maka penanganan feses termasuk litter kandang
wajib diperhatikan. Hal ini karena feses dan litter sekaligus menjadi tempat berbagai vektor
penyakit Gumboro berkembang biak. Salah satu vektor utamanya adalah
kumbang franky/darkling beetle (Carcinopspumilio) et al., (1995). Bahkan menurut Tabbu
(2000), cacing, lalat, nyamuk dan tikus pun bisa ikut berperan sebagai vektor Gumboro. Vektor
tersebut umumnya sudah terbiasa hinggap pada feses dan sesaat kemudian pindah ke tempat
ransum atau air minum. Hal inilah yang juga perlu diwaspadai.

Gambar II. Vektor Gumboro


II. 5 BIOSEKURITI PADA TERNAK UNGGAS
Biosekuriti mencakup tiga hal utama, yaitu:
1) Meminimalkan keberadaan penyebab penyakit,
2) Meminimalkan kesempatan agen penyakit berhubungan dengan induk semang dan
3) Membuat tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin.
Selanjutnya bila biosekuriti dilihat dari segi hirarki terdiri atas tiga komponen yakni biosekuriti
konseptual, biosekuriti struktural dan biosekuriti operasional (Sudarisman, 2000).
Biosekuriti konseptual merupakan biosekuriti tingkat pertama dan menjadi basis dari
seluruh program pencegahan penyakit, meliputi pemilihan lokasi kandang, pemisahan umur
unggas, kontrol kepadatan dan kontak dengan unggas liar, serta penetapan lokasi khusus untuk
gudang pakan atau tempat mencampur pakan. Biosekuriti struktural, merupakan biosekuriti
tingkat kedua, metiputi hal hal yang berhubungan dengan tataletak peternakan (farm),
pernbuatan pagar yang benar, pembuatan saluran pembuangan, penyediaan peralatan
dekontaminasi, instalasi penyimpanan pakan, ruang ganti pakaian dan peralatan kandang.
sedangkan biosekuriti operasional adalah biosekuriti tingkat ketiga, terdiri dari prosedur
manajemen untuk mencegah kejadian dan penyebaran infeksi dalam suatu farm. Biosekuriti ini
harus ditinjau secara berkala dengan melibatkan karyawan (pekerja kandang), berbekal status
kekebalan unggas terhadap penyakit. Biosekuriti operasional terdiri atas tiga hal pokok, yakni
a) pengaturan traffic control,
b) pengaturan dalam farm dan,
c) desinfeksi yang dipakai untuk semprot kandang maupun deeping seperti golongan fenol
(atkohol, lisol dan lainnya); formatin; kaporit; detergen, iodine dan vaksinasi.

Berdasarkan penerapan biosekuriti, sistem produksi unggas dikelompokkan menjadi 4
sektor. Pembagian sektoral ini awalnya muncul dalam upaya pemberantasan penyakit Avian
influenza. (Guiding principles for HPAI surveillance and diagnostic networking in Asia,
Bangkok July 2004). Keempat sektor tersebut, yaitu:
a. Sektor 1: merupakan peternakan yang melaksanakan biosekuriti sangat ketat (high level
biosecurity) sesuai dengan prosedur standar. Dalam sektor ini misalnya adalah golongan
industrial integrated system seperti perbibitan (breeding farm).
b. Sektor 2: merupakan peternakan komersial dengan moderate to high level biosecurity. Yang
termasuk dalam sektor ini adalah peternakan dimana ayam ditempatkan dalam ruangan
tertutup/indoors, sehingga unggas dan burung lain tidak dapat kontak dengan ternak ayam.
Penggunaan kandang close house atau semi close house.
c. Sektor 3: Peternakan komersial yang melaksanakan biosekuriti alakadarnya dan masih terdapat
kontak dengan unggas lain atau orang yang masuk peternakan. Umumnya peternakan komersial
yang ada di Indonesia masuk dalam sektor ini.
d. Sektor 4: Unggas (ayam) yang dipelihara secara tradisional dengan minimal biosekuriti,
produknya ditujukan untuk dikonsumsi atau dijual untuk kebutuhan daerah setempat. Masuk
dalam sektor ini adalah ayam buras di kampungkampung.


II. 6 PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT
Saat terjadi kasus Gumboro, pertimbangkan baik-baik mana yang lebih dahulu ditangani.
Jika terjadi komplikasi dengan penyakit lain, umumnya penanganan kasus Gumboro lebih
diprioritaskan dibanding kasus lain dengan alasan immunosuppressive. Berikut adalah tindakan
yang dapat dilakukan jika ada kasus Gumboro :
1. Isolasi, desinfeksi dan pengeluaran feses
Penyakit Gumboro sangat mudah menular dengan tingkat morbiditas (kesakitan) mencapai
100%. Tingginya tingkat morbiditas ini ditunjang dengan adanya ayam sakit yang terus
mengeluarkan partikel virus serta keberadaan virus di feses. Oleh karena itu, lakukan
pemisahan ayam yang sakit. Juga jika memungkinkan keluarkan feses (dan litter,red) saat
terjadi outbreak Gumboro untuk menghilangkan sumber penularan virus (yang bersembunyi
di feses,red).
Tempat minum ayam (TMA dan TMAO) dan tempat ransum ayam (TRA) perlu
didesinfeksi dengan Neo Antisep. Desinfeksi air minum juga perlu dilakukan dengan
menggunakan Neo Antisep atau bisa juga denganDesinsep.
2. Terapi pendukung (supportive therapy)
Berikan air gula 2-5% untuk memulihkan stamina ayam. Tambahkan vitamin (Vita
Stress atau Fortevit)serta menghidupkan pemanas/ IGM untuk meringankan gejala penyakit
dan mengurangi tingkat stres ayam.
Pada kasus Gumboro yang mengalami pembengkakan ginjal, berikan Gumbonal untuk
membantu meringankan gejala penyakit. Antibiotik spektrum luas seperti Proxan-C, Proxan-
S atau Doctril (pilih salah satu) dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder. Tindakan
revaksinasi tidak dianjurkan mengingat tidak optimalnya tanggap kebal ayam.



Pencegahan Kasus Gumboro Selanjutnya
Setelah Gumboro berlalu, peternak harus mengevaluasi beberapa hal agar kasusnya tidak
terulang kembali. Beberapa yang bisa dilakukan untuk mencegah terulangnya kasus Gumboro :
1. Mengoptimalkan masa persiapan kandang
Optimalisasi masa persiapan kandang dapat membantu mengeliminasi virus Gumboro.
Lakukan desinfeksi kandang dengan baik dan benar mulai dari penurunan litter dan
pengeluaran feses dari farm. Kemudian kandang disikat dan disabun lalu lalu dibiarkan
hingga kering. Lalu didesinfeksi dengan Formades atauSporades.
Sanitasi juga peralatan kandang dengan Neo Antisep misalnya TMA, TRA dan TMAO.
Lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Hindari mengeringkan dengan sinar matahari
agar tidak merusak peralatan. Terakhir, taruh peralatan kandang yang sudah disanitasi dalam
kandang yang sudah didesinfeksi. Tutup tirai kandang dan istirahatkan selama minimal 14
hari sebelum chick in. Jangan lupa untuk melakukan penyemprotan insektisida untuk
mengeliminasi kumbang Alphitobius diaperinus yang berperan menyebarkan virus Gumboro
(vektor).

Gambar IV. Kumbang Alphitobius diaperinus yang berperan sebagai vektor Gumboro
(Sumber : entnemdept.ufl.edu)

2. Evaluasi program vaksinasi
Ada dua hal yang perlu diperhatikan saat mengevaluasi program vaksinasi yaitu cara
memvaksinasi, kapan vaksinasi dilakukan dan vaksin apa yang digunakan. Untuk itu,
diperlukan recording yang baik. Ambil contoh jika di suatu farm pedaging komersial sering
terjadi kasus Gumboro di umur 24-26 hari. Tingkat kematian sebesar 9% sedangkan vaksinasi
hanya sekali dengan Medivac Gumboro B umur 18 hari.
Tindakan di atas masih belum tepat. Evaluasi pertama ialah terlalu dekatnya jarak waktu
kejadian penyakit dengan waktu vaksin (+7 hari). Padahal antibodi hasil vaksinasi aktif paling
cepat baru mencapai titer protektif pada +14 hari post vaksinasi. Saran yang diberikan ialah
memajukan vaksinasinya menjadi di umur 10 hari. Bila pada periode pemeliharaan berikutnya
masih terjadi kasus Gumboro, ubah kembali program vaksinasi menjadi 7 dan 14 hari
dengan Medivac Gumboro A.
Evaluasi juga dilakukan terhadap jenis vaksin yang digunakan. Untuk tingkat kematian
yang tinggi (>5%),Medivac Gumboro A lebih tepat digunakan sehingga saran yang
diberikan ialah mengganti jenis vaksin dengan Medivac Gumboro A di umur 10 hari.
Untuk farm pedaging yang rawan Gumboro pada umur >3 minggu sekaligus rawan ND bisa
dilakukan program Medivac ND-Gumboro Emulsion dan Medivac ND Hitchner B1 di
umur 4 hari. Di umur 7 hari divaksin dengan Medivac Gumboro A (lihat Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Program Vaksinasi Gumboro pada Ayam Petelur


Tabel 2. Program Vaksinasi Gumboro pada Ayam Pedaging


Keterangan :
* Medivac Gumboro A untuk daerah yang sering terserang Gumboro pada umur 3 minggu
** Medivac Gumboro A atau Medivac Gumboro B di daerah yang sering terserang
penyakit Gumboro pada umur lebih dari 3 minggu. Gunakan Medivac Gumboro A jika
wabah disebabkan virus Gumboro yang sangat ganas dengan kematian lebih dari 5%
*** Vaksinasi ulang ayam petelur pada masa produksi dapat menggunakan vaksin aktif atau
inaktif. Agar penentuan waktu vaksinasi lebih tepat sebaiknya dilakukan monitoring titer
antibodi tiap bulan.











































DAFTAR PUSTAKA

BOENISCH, T. 2001. Staining Methods. In: BOENISCH T. et al. Immunochemical Staining
Methods 3rd Ed. DAKO corporation Carpinteria, California, USA.

HAMOUD, M.M., P. VILLEGAS and S.M. WILLIAM. 2007. Detection of infectious bursal
disease virus from formalin-fixed paraffin-embeded tissue by immunohistochemistry and
real-time reverse transcription-polymerase chain reaction. J. Vet Diagn. Invest. 19: 35 42.

IGNJATOVIC, J., S. SAPATS, R. REECE, A. GOULD, G. GOULD, P. SELLECK, S.
LOWTHER, D. BOYLE and H. WETSBURY. 2004. Virus strains from a flock exhibiting
unusually high mortality due to infectious bursal disease. Aust. Vet. J. 82: 763 768.

KATHRI, M. and J.M. SHARMA. 2007. Replication of infectious bursal disease virus in
macrophages and altered tropism of progeny virus. Vet Immunol. and Immunopathol. 117:
106 115.

KEY, M. 2001. Antigen Retrieval. In: BOENISCH T. et al. Immunochemical Staining Methods
3rd Ed. DAKO corporation Carpinteria, California, USA.

LUKERT, P.D. and Y.M. SAIF. 2003. Infectious bursal disease. In: SAIF YM, BARNES HJ,
GLISSON JR, Ed. Diseases of Poultry, 11th Ed. Iowa State University Press. pp. 161 179.

MULLER, H., M.R. ISLAM and R. RAUE. 2003. Research on infectious bursal disease-the past,
the present and the future. Vet. Microbiol. 97: 153 156.

PAREDE, L.H., S. SAPATS, G. GOULD, M. RUDD, S. LOWTHER and J. IGNJATOVIC.
2003. Characterization of Infectious Bursal Disease Virus Isolates from Indonesia indicates
the existence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32: 511
518.

OLADELE, O.A., D.F. ADENE, T.U. OBI, H.O. NOTTIDGE. 2009. Comparative susceptibility
of chickens, turkeys and ducks to infectious bursal disease virus using imunohistochemistry.
Vet. Res. Commun. 33: 112 121.

Anda mungkin juga menyukai