Anda di halaman 1dari 39

EKOLOGI LAUT TROPIS

Definisi Terumbu Karang


TERUMBU KARANG

tersusus atas dua kata, yaitu terumbu dan karang, yang


memiliki makna masing-masing yang berbeda. Terumbu (reef) adalah endapan masif
batu kapur (limestone) terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang utamanya dihasilkan
oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur seperti alga berkapur
dan moluska. Terumbu adalah punggung laut yang terbentuk oleh batu karang atau
pasir di dekat permukaan air. Sedangkan Karang (coral) atau yang biasa disebut juga
karang batu adalah hewan dari ordo scleractinia yang mampu mensekresi CaCo3. Hewan
karang tunggal ini umumnya disebut polip. TERUMBU KARANG adalah sekumpulan
hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut
zooanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang
memiliki tentakel.

Gambar Terumbu karang


(http://abdul-kholik.tripod.com/potensi_biotik.htm)

HABITAT terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau


daerah yang masih terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah
permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup jauh di dalam laut dan
tidak memerlukan cahaya, tetapi terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis
dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.
EKOSISTEM terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan
tropis, sangat sensitif pada perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu,
salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Untuk
dapat bertumbuh dan berkembang biak secara baik, terumbu karang
membutuhkan kondisi lingkungan hidup yang optimal, yaitu pada suhu hangat
sekitar di atas 20 C terumbu karang juga memilih hidup pada lingkungan
perairan yang jernih dan tidak berpolusi. Hal ini dapat berpengaruh pada penetrasi

cahaya oleh terumbu karang. Beberapa terumbu karang membutuhkan cahaya


matahari untuk melakukan fotosintesis. Polip-polip penyusun terumbu karang
yang terletak pada bagian atas dapat menangkap makanan yang terbawa arus laut
dan juga melakukan fotosisntesis.

Tipe-tipe terumbu karang :


Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang
dengan daratan, terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang, yaitu :
1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

Terumbu karang tepi berkembang di pesisir pantai


dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter
dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses
perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya
bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada
pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh :
Bunaken (Sulawesi), P. Panaitan (Banten), Nusa dua (Bali).

2.

Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif


jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan
berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolam air) atau
celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang
penghalang tumbuh di sekitar pulau yang sangat besar atau benua dan membentuk
gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh : Great Barrier Reef
(Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Banggai kepulauan (Sulawesi
Tengah).

3.

Terumbu karang cincin (Atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cinci yang


mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak
terdapat pembatas dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin
merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman
rata-rata 45 meter. Contoh : Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan
Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua).

Gambar Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (kiri), terumbu
karang penghalang (tengah), dan terumbu karang cincin (kanan).

MANFAAT terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat


besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Manfaat dari terumbu
karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah :

Sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan oleh manusia dalam
bidang pangan. Seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning.

Pariwisata, wisata bahari untuk melihat keindahan bentuk dan warnanya.

Penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di


dalamanya.

Yang termasuk pemanfaatan secara tidak langsung adalah sebagai penahan


abrasi pantai yang disebabkan oleh gelombang dan ombak laut serta sebagai
sumber keanekaragaman hayati.

AKUSTIK KELAUTAN
Secara umum, akustik laut digunakan untuk mengetahui kedalaman dan
keberadaan suatu benda yang ada di bawah laut, seperti ikan atau biota laut, kapal
selam dan objek lainnya. Secara garis besar akustik bawah laut ini dapat
digunakan untuk survey laut, budidaya perairan, penelitian tingkah laku ikan, dll.
selain itu akustik laut ini juga dapat digunakan untuk penentuan kedalaman air
dalam pelayaran, jenis sedimentasi dasar laut, mengetahui kontur dasar laut,
eksplorasi minyak dan mineral di dasar laut, dll. Adapula diantaranya alat-alat
survey kelautan yaitu hydro-akustik yang merupakan salah satu teknologi
pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik yang diantaranya
berupa Echosounder, Fishfinder, Sonar, alat CTD, ADCP.
CTD
CTD merupakan alat untuk mengukur konduktivitas, suhu, dan kedalaman suatu
perairan sesuai dengan kepanjagannya yaitu Conductivity Temperature Depth.
Dalam pengolahan data nya, dengan melakukan standarisasi, lalu dibuat
visualisasi dan terakhir dikalkulasi (seperti laporan). Dari pengukuran tersebut,
dapat membantu menghitung parameter laut lainnya seperti tekanan (pressure),
densitas (density), suhu potensial (Tpot), salinitas (salinity), dan kecepatan suara
(sound velocity). Untuk mencari kecepatan suara diperlukan beberapa parameter
lain seperti suhu, salinitas, tekanan, musim, dan lokasi. Adapun rumus turunan
kecepatan suara sebagai berikut:
C= 1449.2+4.6T-0.055T2+0.00029T3+(1.34-0.010T)(S-35)+0.016Z
T=temperature; S=salinity; Z=Depth
Mengenai kecepatan suara secara mendetail serta pembentukan shadowzone
dalam kepentingan militer sudah pernah saya share sebelumnya dapat dilihat
disini, KECEPATAN SUARA dan SHADOW ZONE.
Atenuasi Gelombang Suara, Absorbsi, Target Strength, Volume Scatter,
Lapisan Sofar.
Atenuasi Gelombang Suara, merupakan penghamburan maupun penyerapan yang
berhubungan dengan sifat viskositas air laut. Adanya perbedaan viskositas
menyebabkan perbedaan tekanan permukaan laut yang menyebabkan atenuasi
gelombang-gelombang kapiler (gelombang kecil sekitar beberapa sentimeter
hingga meter pada permukaan laut) sehingga memperkecil radiasi hamburan
balik.
Absorbsi merupakan suatu fenomena yang terjadi saat gelombang dipancarkan,
yaitu penyerapan gelombang suara sehingga menyebabkan transmisi yang hilang

sejak di echo (dipantulkan) dari tranducer. Absorbsi ini juga bergantung pada
suhu, salinitas, pH, kedalaman, dan frekuensi.
Target Strength merupakan kekuatan pantulan gema yang dikembalikan oleh
target dan relatif terhadap intensitas suara yang mengenai target. Target strength
memiliki nilai 10x nilai log dari intensitas yang mengenai ikan.
Volume Scatter merupakan rasio yang direfleksi oleh suatu kelompok single
target yang di ukur dari target SV=10 log PV+TS.
Lapisan Sofar atau sofar layer merupakan daerah dengan akumulasi temperatur
dan kedalaman.lapisan ini merupakan lapisan air laut di mana gelombang suara
merambat dengan kecepatan minimum dibandingkan jika gelombang tersebut
merambat di lapisan lain di atas atau di bawahnya. Pada lapisan Sofar ini tidak
banyak energi yang hilang karena terprangkap di lapisan sofar. Lapisan Sofar
adalah daerah dengan akumulasi temperature dan kedalaman. Kawasan Lapisan
Sofar itu terletak antara kedalaman 800 1.300 meter bahkan pada lokasi tertentu
mendekati kedangkalan 175 meter. Di masa yang akan datang lapisan kanal
SOFAR ini dapat dimanfaatkan untuk mentransformasikan gelombang
elektromegnet, seperti telepon, internet, televise dan sebagainya dengan
memasang satelit-satelit transmisi bawah laut sebagai alternative memancarkan
gelombang ke lapisan ionosfer di luar angkasa.

REFERENSI:
http://www.kuliahkelautan.com/2012/12/ilmu-kelautan-aplikasi-akustikdibidang.html
http://awalahas-samuderapengetahuan.blogspot.com/2011/03/akustikkelautan.html
http://ekauknow.blogspot.com/2012_11_01_archive.html

Definisi Estuaria

Gambar 1.1.
Estuaria di Muara Sungai Swinhoe
(Foto: Wikipedia Commons)

Estuaria adalah perairan


muara sungai semi tertutup
yang berhubungan bebas
dengan laut, sehingga air laut
dengan salinitas tinggi dapat
bercampur dengan air tawar.
Estuaria dapat terjadi pada
lembah-lembah sungai yang
tergenang air laut, baik karena
permukaan laut yang naik
(misalnya pada zaman es
mencair) atau pun karena
turunnya sebagian daratan
oleh sebab-sebab tektonis.
Estuaria juga dapat terbentuk
pada muara-muara sungai
yang sebagian terlindungi oleh
beting pasir atau lumpur.

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu
komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut,
yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada
sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta
membawa pengaruh besar pada biotanya;
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu
sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air
sungai maupun sifat air laut;
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut
mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara
fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada
pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus
lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

Peranan Ekosistem Estuaria


Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan
organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus

pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat


dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena
kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh
sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang
terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi
tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan
bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini
dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken 1988)
yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110
mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka
hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.
Oleh sebab itu, organisme terbanyak di
estuaria adalah para pemakan detritus,
yang sesungguhnya bukan
menguraikan bahan organik menjadi
unsur hara, melainkan kebanyakan
mencerna bakteri dan jasad renik lain
yang tercampur bersama detritus itu.
Pada gilirannya, para pemakan detritus
berupa cacing, siput dan aneka kerang
akan dimakan oleh udang dan ikan,
yang selanjutnya akan menjadi mangsa
tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan
pemangsa dan burung.

Gambar 1.5.
Sejenis Burung Gagang Bayem
Asyik Mencari Makanannya di Lumpur Estuaria
(Foto: NOAA's Estuarine Research Reserve
Collection

Melihat banyaknya jenis hewan yang


sifatnya hidup sementara di estuaria,
bisa disimpulkan bahwa rantai makanan
dan rantai energi di estuaria cenderung
bersifat terbuka. Dengan pangkal
pemasukan dari serpih-serpih bahan
organik yang terutama berasal dari
daratan (sungai, rawa asin, hutan
bakau), dan banyak yang berakhir pada
ikan-ikan atau burung yang kemudian
membawa pergi energi keluar dari
sistem.

Sifat-sifat Ekologis

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria
sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut
waktu.
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada
batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada
pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis
vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada
salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar
cenderung terapung di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan
garam. Kondisi ini disebut estuaria positif atau estuaria baji garam (salt
wedge estuary) (Nybakken, 1988).
Akan tetapi ada pula estuaria yang
memiliki kondisi berkebalikan, dan
karenanya dinamai estuaria
negatif. Misalnya pada estuariaestuaria yang aliran air tawarnya
sangat rendah, seperti di daerah
gurun pada musim kemarau. Laju
penguapan air di permukaan, yang
lebih tinggi daripada laju masuknya
air tawar ke estuaria, menjadikan
air permukaan dekat mulut sungai
lebih tinggi kadar garamnya. Air
yang hipersalin itu kemudian
tenggelam dan mengalir ke arah
laut di bawah permukaan. Dengan
demikian gradien salinitas airnya
berbentuk kebalikan daripada
estuaria positif.

Gambar 1.2.
Sebuah Estuaria yang Ramai
oleh Lalu Lintas Air (Foto: Wikipedia Commons

Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi
perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola
ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung
cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan
sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir
berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari
darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel
garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan
yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.

Biota Estuaria
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga
komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan
tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau.

Gambar 1.3.
Cacing Laut Polikaeta Merupakan Organisme
yang Melimpah di Estuaria
(Foto: Wikipedia Commons)

Fauna lautan yang tidak mampu


mentolerir perubahan-perubahan
salinitas yang ekstrem biasanya
hanya dijumpai terbatas di sekitar
perbatasan dengan laut terbuka, di
mana salinitas airnya masih
berkisar di atas 30. Sebagian
fauna lautan yang toleran
(eurihalin) mampu masuk lebih
jauh ke dalam estuaria, di mana
salinitas mungkin turun hingga
15 atau kurang.

Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir


salinitas di atas 5, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian
hulu dari estuaria.
Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar
garam antara 5-30, namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang
sepenuhnya berair tawar atau berair laut. Di antaranya terdapat beberapa
jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang
Palaemonetes, dan cacing polikaeta Nereis.
Di samping itu terdapat pula faunafauna yang tergolong peralihan,
yang berada di estuaria untuk
sementara waktu saja. Beberapa
jenis udang Penaeus, misalnya,
menghabiskan masa juvenilnya di
sekitar estuaria, untuk kemudian
pergi ke laut ketika dewasa. Jenisjenis sidat (Anguilla) dan ikan
salem (Salmo, Onchorhynchus)
tinggal sementara waktu di estuaria
dalam perjalanannya dari hulu
sungai ke laut, atau sebaliknya,
untuk memijah. Dan banyak jenis
hewan lain, dari golongan ikan,

Gambar 1.4.
Sidat Eropa Anguilla anguilla Melintasi Estuaria
dalam Perjalanannya ke Laut
(Foto: Wikipedia Commons)

reptil, burung dan lain-lain, yang


datang ke estuaria untuk mencari
makanan (Nybakken, 1988).
Akan tetapi sesungguhnya, dari segi jumlah spesies, fauna khas estuaria
adalah sangat sedikit apabila dibandingkan dengan keragaman fauna
pada ekosistem-ekosistem lain yang berdekatan. Umpamanya dengan
fauna khas sungai, hutan bakau atau padang lamun, yang mungkin
berdampingan letaknya dengan estuaria. Para ahli menduga bahwa
fluktuasi kondisi lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya keragaman
topografi yang hanya menyediakan sedikit relung (niche), yang
bertanggung jawab terhadap terbatasnya fauna khas setempat.

Peranan Ekosistem Estuaria


Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan
organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus
pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat
dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena
kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh
sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang
terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi
tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan
bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini
dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken 1988)
yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110
mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka
hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.

Oleh sebab itu, organisme terbanyak di


estuaria adalah para pemakan detritus,
yang sesungguhnya bukan
menguraikan bahan organik menjadi
unsur hara, melainkan kebanyakan
mencerna bakteri dan jasad renik lain
yang tercampur bersama detritus itu.
Pada gilirannya, para pemakan detritus
berupa cacing, siput dan aneka kerang
akan dimakan oleh udang dan ikan,
yang selanjutnya akan menjadi mangsa
tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan
pemangsa dan burung.

Gambar 1.5.
Sejenis Burung Gagang Bayem
Asyik Mencari Makanannya di Lumpur Estuaria
(Foto: NOAA's Estuarine Research Reserve
Collection

Melihat banyaknya jenis hewan yang


sifatnya hidup sementara di estuaria,
bisa disimpulkan bahwa rantai makanan
dan rantai energi di estuaria cenderung
bersifat terbuka. Dengan pangkal
pemasukan dari serpih-serpih bahan
organik yang terutama berasal dari
daratan (sungai, rawa asin, hutan
bakau), dan banyak yang berakhir pada
ikan-ikan atau burung yang kemudian
membawa pergi energi keluar dari
sistem.

Deskripsi

Mangrove atau yang secara


umum dikenal sebagai hutan
bakau adalah vegetasi yang
tumbuh di

atas rawa-rawa

berair payau yang terletak


pada

garis

pantai

dan

dipengaruhi oleh pasang surut


air laut. Vegetasi ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di
Gambar 2.1.
Mangrove, Perbatasan antara Lautan dan Daratan

mana terjadi pelumpuran dan

(Foto: Wikipedia Commons)

akumulasi bahan organik. Baik


pada

teluk-teluk

terlindung
ombak,

dari

yang
gempuran

maupun

di

sekitar

muara sungai di mana air


melambat dan mengendapkan
lumpur yang diangkutnya dari
hulu sungai. Oleh sebab itu
mangrove
sebagai

juga
hutan

dikenal

payau atau

hutan pasang surut.


Itulah sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu: tingkat pelumpuran yang
tinggi, kadar oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan
pengaruh daur pasang surut air laut. Sehingga ekosistem ini sangat ekstrim
sekaligus sangat dinamis dan termasuk yang paling cepat berubah, terutama di
bagian terluarnya. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup di
wilayah mangrove, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau
karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia,
terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di wilayah
subtropika. Misalnya di pantai utara Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika
Serikat, pantai barat Afrika, dan ke selatan hingga pulau utara Selandia Baru.
(Nybakken 1988).
Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria
(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam Noor dkk.
1999).

Areal hutan-hutan mangrove


yang

luas

di

Indonesia

terutama terdapat di seputar


Dangkalan Sunda yang relatif
tenang dan merupakan tempat
bermuara sungai-sungai besar,
yakni di pantai timur Sumatra,
dan pantai barat serta selatan
Kalimantan.

Hutan-hutan

bakau di pantai utara Jawa

Gambar 2.2.
Hutan Mangrove di saat Air Laut Surut
(Foto: Wikipedia Commons)

telah banyak yang rusak atau


hilang

akibat

ditebangi

penduduk, dijadikan tambak,


permu-kiman dan lain-lain.
Di wilayah Dangkalan Sahul di
bagian timur Indonesia, hutanhutan mangrove yang masih
baik terdapat di pantai barat
daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai
luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia. (Noor dkk.
1999).

Ekologi mangrove

Sebagaimana ekosistem padang lamun, mangrove dikenal sebagai ekosistem


yang merekayasa sendiri habitatnya.

Mula-mula barangkali sebatang atau

beberapa batang propagul, yakni kecambah pohon, bakau yang terapung-apung


di laut tersangkut di tepian pantai yang tenang. Dapat terjadi di sebuah teluk
yang terlindung, lekuk pantai, atau perairan di belakang deretan terumbu
karang. Di atas substrat lumpur, pasir atau pecahan karang kecil-kecil yang
dangkal, calon pohon itu mulai menjulurkan akar-akarnya sehingga menembus

dan mencengkeram substrat. Apabila pantai cukup tenang dan bersahabat,


propagul bakau dapat segera tumbuh dan membesar.

Jenis-jenis bakau perintis seperti bakau betul (Rhizophora), api-api (Avicennia)


dan perepat (Sonneratia) memiliki akar yang kebanyakan dangkal saja, namun
efektif mencengkeram lumpur. Ditambah lagi dengan adanya jaringan akar
tunjang serta akar pena yang bermanfaat ganda, yakni penopang berdirinya
pohon dan sebagai alat bernafas (pneumatofor), untuk memperoleh oksigen
yang lebih banyak dari udara. Akar-akar ini pada gilirannya meredam gempuran
ombak dan memerangkap lebih banyak lagi sedimen serta sampah-sampah laut
di antara jalinannya yang ruwet.

Gambar 2.3 .
Permudaan (Semai) Sejenis Bakau (Rhizophora sp.)
Berkecambah di Tepi Muara Sungai
(Foto: Wikipedia Commons)

Demikianlah, semakin lama


akan semakin banyak sedimen
yang terperangkap, wilayah
berlumpur semakin stabil dan
hutan bakau pun tumbuh
semakin luas. Namun bagian
dalam hutan bakau kini semakin
meninggi dan semakin kering,
air laut pun semakin jarang
menyiraminya. Tidak lagi cocok
sebagai tempat hidup jenis-jenis
mangrove pionir, bertahuntahun kemudian bagian dalam
hutan bakau ini kemudian
dikuasai oleh jenis-jenis
mangrove pedalaman.

Vegetasi dan zonasi

Hutan mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi. Tidak


kurang dari 202 spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, 89 jenisnya berupa

pohon. Sementara itu, dari sekitar 60 spesies mangrove sejati yang dikenal
dunia, sebanyak 43 spesies didapati di Indonesia. (Noor dkk. 1999).

Jenis-jenis tetumbuhan hutan bakau bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi


lingkungan fisik di habitatnya, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi
tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut.

1. Jenis substrat.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang
paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur
dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini
sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh
di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan
kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di
pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian
depan hutan bakau yang
berhadapan dengan laut
terbuka

sering

harus

mengalami terpaan ombak


yang keras dan aliran air
yang kuat. Tidak seperti
bagian

dalamnya

yang

lebih tenang.
Bagian yang agak serupa
adalah

hutan

yang

Gambar 2.4.
Bakau (Rhizophora) sp.,
Tumbuh di Tepi Laut Terbuka
(Foto: Wikipedia Commons

berhadapan

langsung

dengan aliran air sungai,


yakni yang terletak di tepi
sungai.

Perbedaan-nya, salinitas di tepi aliran sungai tidak begitu tinggi,


terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara.

3. Penggenangan oleh air pasang


Bagian luar hutan bakau juga mengalami genangan air pasang yang paling
lama dan paling dalam dibandingkan dengan bagian yang lainnya; bahkan
terkadang terus menerus terendam. Sementara itu, bagian-bagian di
pedalaman hutan bakau mungkin hanya terendam air laut sekali dua kali
dalam sebulan manakala terjadi pasang tertinggi.

Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk


zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar
yang terpapar gelombang laut, hingga ke bagian pedalaman yang relatif kering.

Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang


kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh
di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba)
tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang di zona
terluar atau zona pionir ini hidup pohon api-api putih (Avicennia alba).

Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui
campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.),
kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai,
yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia
caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).

Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan jenis-jenis nirih
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis)
dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

Ancaman dan Kerusakan

Hutan-hutan bakau menghadapi banyak ancaman dan kerusakan yang bisa


membawa kepunahan. Ancaman itu ditimbulkan baik oleh penyebab-penyebab
alami maupun oleh manusia. Namun ancaman kegiatan manusialah yang
berpengaruh paling besar dan paling menentukan terhadap kelestarian hutan
mangrove.

Sekitar 95% hutan mangrove di Kalimantan ternyata telah dimasukkan ke


wilayah konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) (Burbridge and Koesoebiono
1980 dalam MacKinnon dkk. 1996). Sementara hanya kurang dari 1% luas yang
telah dilindungi dalam kawasan-kawasan konservasi (MacKinnon and Artha 1981
dalam MacKinnon dkk. 1996). Artinya, sebagian besar kawasan mangrove itu
dapat saja ditebang sewaktu-waktu untuk kebutuhan produksi.

Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan orang untuk bermacammacam keperluan. Kayu bakau berkualitas baik sebagai bahan bangunan dan
kayu bakar, beberapa jenisnya digunakan sebagai bahan arang. Kayu bakau
juga menghasilkan serat yang baik untuk membuat kertas. Kulit kayunya
dimanfaatkan sebagai penghasil zat penyamak.

Kondisi yang paling berat, kawasan hutan bakau seringkali dibuka orang untuk
diubah menjadi wilayah pertambakan, tambak garam, lahan pertanian dan
bahkan permukiman. Hutan-hutan bakau di Lampung dan di utara Jawa adalah

buktinya. Di daerah pantai utara Jawa, hutan-hutan bakau yang masih baik
tinggal sedikit di beberapa tempat saja. Kebanyakan berada di kawasan
konservasi seperti cagar alam atau taman nasional; atau di kawasan hutan
negara.

Di luar wilayah-wilayah itu, praktis telah habis oleh aktivitas manusia, dan bukan
hanya oleh rakyat miskin. Wilayah rawa bakau yang luas di utara Jakarta, yakni
antara Muara Angke dengan Muara Kamal, kini sebagian besar telah dibuka
untuk membangun pemukiman mewah dan lapangan golf. Rawa-rawa bakau di
sebelah timurnya bahkan telah lama diubah menjadi Taman Impian Jaya Ancol,
suatu tempat rekreasi terkenal. Sedangkan mangrove di sekitar Surabaya
banyak yang diubah menjadi kawasan industri.

Definisi

Gambar 3.1.
Lamun, Tumbuh di Sela-sela Rumpun Karang Tanduk
Rusa (Foto: Wikipedia Commons)

Padang lamun merupakan


ekosistem pesisir yang ditumbuhi
oleh lamun sebagai vegetasi yang
dominan. Lamun atau rumputrumputan laut (seagrass) adalah
kelompok tumbuhan berbiji tertutup
(Angiospermae) dan berkeping
tunggal (monokotil) yang mampu
hidup secara permanen di bawah
permukaan air laut. Lamun tidak
sama dengan rumput laut, yang
sebagian jenisnya digunakan
sebagai bahan agar-agar, yang
sesungguhnya lebih tepat disebut
alga laut. Jenis-jenis lamun ini
termasuk ke dalam empat suku
(familia) yakni Posidoniaceae,

Lamun biasa tumbuh di atas paparan pasir atau lumpur yang terendam air
laut dangkal. Karena perlu berfotosintesis, komunitas lamun berada di
antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di
mana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut.

Padang lamun merupakan suatu komunitas dengan produktivitas primer


dan sekunder yang sangat tinggi, detritus yang dihasilkan sangat banyak,
dan mampu mendukung berbagai macam komunitas hewan.
Sifat Ekologis

Keragaman jenis-jenis lamun sesungguhnya tak berapa tinggi. Total


hanya sekitar 50 jenis lamun di seluruh dunia (den Hartog 1977 dalam
Nybakken 1988). Akan tetapi padang lamun memiliki sifat-sifat ekologis
penting sebagai habitat aneka jenis hewan, terutama ikan-ikan kecil dan
avertebrata (hewan tak bertulang belakang).

Lamun tumbuh dengan padat sampai dengan 4.000 individu/m,


sehingga membentuk lapisan serupa permadani (Nybakken 1988). Jenisjenis lamun ini memiliki morfologi yang kurang lebih serupa, berdaun
panjang dan tipis yang tumbuh dari rizoma (akar tinggal) yang menjalar di
bawah lapisan pasir. Oleh sebab itu lamun dapat tumbuh rapat dan padat
berdekatan.

Struktur demikian bersifat meredam gerak arus dan gelombang, sehingga


padang lamun yang luas bisa lebih tenang dari lingkungan di
sekitarnya. Struktur dan kondisi lingkungan serupa itu pada gilirannya
memungkinkan butir-butir debu dan aneka serpih bahan padat yang
melayang-layang terbawa air laut terendapkan di paparan lamun.

Lingkungan yang tenang, tersedianya banyak sumber makanan serta


cover (perlindungan) berupa tutupan vegetasi lamun, telah menarik
kehadiran aneka invertebrata dan ikan-ikan kecil. Daun-daun lamun juga
berasosiasi dengan beberapa jenis alga laut kecil yang bersifat epifit, yang
merupakan makanan bagi kebanyakan hewan kecil itu. Dengan demikian
tidak mengherankan apabila padang lamun ini menjadi habitat yang kaya
jenis-jenis hewan laut.

Padang lamun menyebar hampir di seluruh kawasan pesisir di


Indonesia. Kedalaman laut yang dapat dicapai oleh ekosistem ini sekitar
50-60 m, bergantung pada topografi dan kecerahan laut setempat. Akan
tetapi umumnya padang lamun berada pada kedalaman sekitar 1-10 m
atau lebih sedikit. Pada saat surut terendah, padang-padang lamun di
tempat dangkal kerap mengering dan terpajan sinar matahari.
Biota Padang Lamun

Seperti diuraikan di atas, keragaman spesies lamunnya sendiri tidak


seberapa banyak. Di Indonesia sendiri hanya didapati sekitar 12 spesies
dari tujuh marga (genus).

Jenis-jenis itu tergolong ke dalam suku

Hydrocharitaceae (marga-marga Enhalus, Halophila dan Thalassia) dan


Potamogetonaceae

(Cymodocea,

Halodule,

Syringodium

dan

Thalassodendron). Tidak hanya hidup di padang lamun, tumbuhan laut ini


juga kerap didapati di sela-sela terumbu karang (Nontji 1987).

Meski demikian, padang


lamun merupakan salah
satu bentuk ekosistem laut
yang kaya jenis. Kekayaan
ini terutama ditunjukkan
oleh jenis-jenis hewan yang
hidup di sini, baik sebagai
penetap maupun
pengunjung yang
setia. Aneka jenis cacing,
moluska (siput dan kerang),
teripang, ketam dan udang,
dan berbagai jenis ikan kecil
hidup menetap di sela-sela
kerimbunan jurai-jurai
lamun. Juga beberapa jenis
bulu babi yang hidup dari
daun-daun lamun.

Gambar 3.2.
Sejenis Ikan Tangkur (Solenostomus cyanopterus) yang Menyamar
Menyerupai Serpih daun Lamun
(Foto: Wikipedia Commons)

Di samping itu berbagai jenis hewan dan ikan juga menggunakan padang
lamun ini sebagai tempat memijah dan membesarkan anak-anaknya. Di
antaranya adalah ikan beronang (Siganus spp.) dan beberapa jenis udang
(Penaeus

spp.).

memanfaatkan

Beberapa
padang

jenis
lamun

reptil

dan

mamalia

sebagai

tempat

laut

juga

mencari

makanan. Misalnya penyu hijau (Chelonia mydas), duyung alias dugong


(Dugong dugong) di perairan Australasia serta manate (Trichechus
manatus) di Karibia. Duyung dan manate adalah mamalia herbivor yang
mengkonsumsi lamun sebagai makanan utamanya.

Di saat air laut surut, padang lamun yang mengering sementara ini sering
pula dikunjungi oleh berbagai jenis burung dan hewan, yang sibuk
mencari ikan-ikan dan hewan kecil yang terjebak dan tertinggal di antara
kusutnya lamun.

Burung-burung merandai dari suku Charadriidae,

Scolopacidae dan Burhinidae kerap berdatangan untuk memburu aneka


cacing, moluska dan ikan-ikan kecil sebagai makanannya. Demikian pula
kuntul karang (Egretta). Di bagian yang dekat daratan sering pula

dikunjungi biawak (Varanus) dan monyet kera (Macaca) untuk mencari


makanan yang serupa.
Peranan Padang Lamun

Padang-padang lamun sering kali tumbuh luas menutupi wilayah-wilayah


paparan benua.

Dengan demikian menciptakan lingkungan dengan

produktifitas tinggi yang tak bisa diabaikan. Kisaran produktifitas ini


diperkirakan antara 500 1.000 C/m/tahun (McRoy dan McMillan 1977
dalam Nybakken 1988), yang merupakan daerah paling produktif di laut
setelah produktifitas plankton dan kebun kelp di daerah dingin.

Lamun sendiri tidak banyak


dimanfaatkan

secara

langsung

oleh

manusia.

Hanya

beberapa

jenis

ada
yang

buahnya digunakan sebagai


bahan makanan, itu pun
bukan
Gambar 3.3.
Duyung (Dugong dugong) Tengah Merumput
di Sebuah Padang Lamun
(Foto: Roberto Sozzani)

pada

skala

yang

penting. Akan tetapi lamun


penting

secara

ekologi

karena menyerap nutrien


dari
yang

tempat

tumbuhnya

berupa

sedimen

lumpur dan pasir. Dengan


demikian

lamun

telah

mengambil kembali nutrien


dari

dasar

laut

dan

mengembalikannya

ke

dalam rantai
makanan ekosistem. Sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh alga laut yang
mengandalkan nutrien yang terkandung dalam air saja.

Walaupun begitu, sejauh ini belum banyak diketahui bagaimana rantai


energi dan nutrien tersebut selanjutnya berperan dalam ekosistem pesisir
yang lebih luas. Selain duyung, manate dan penyu, tidak banyak jenis
ikan dan invertebrata yang diketahui memakan daun-daun lamun
ini. Sehingga kemungkinan yang paling besar, lamun ini menyumbang ke
dalam ekosistem pantai melalui detritus, yakni serpih-serpih bahan
organik (daun, rimpang dll.) yang membusuk yang diangkut arus laut dan
menjadi

bahan

makanan

berbagai

organisme

pemakan

detritus

(dekomposer). (Nybakken 1988).

Secara fisik, sebagaimana diterangkan di atas, padang lamun juga telah


mengubah lingkungan laut menjadi lebih tenang dan memerangkap
berbagai sedimen.

Perakaran lamun yang membentuk jalinan akar

rimpang di bawah lapisan sedimen, telah membantu menstabilkan dasar


laut serta melindunginya dari erosi pantai (abrasi) dan pasang surut.

Tutupan (coverage) tajuk rumput lamun ini juga memberikan naungan dari
cahaya matahari langsung, menciptakan iklim mikro khusus di dasar
perairan. Pada saat air laut surut, daun-daun lamun melindungi substrat
dari teriknya matahari dan mencegah penghuninya dari kekeringan yang
mematikan.

Ancaman Kelestarian Padang Lamun

Padang lamun diketahui sebagai salah satu habitat yang rentan terhadap
kerusakan.

Aneka kegiatan manusia diketahui memberikan dampak

negatif yang merusak padang lamun (Fairhust & Graham 2003, Terrados
& Duarte 2003).
Kegiatan pembangunan yang pesat dan perubahan peruntukan lahan di
wilayah pantai telah meningkatkan masuknya sedimen ke laut dan
menimbulkan eutrofikasi.
Bertambahnya pelumpuran
ini

telah

menaikkan

konsentrasi lumpur, bahan


organik, dan nutrien, serta
telah

meningkatkan

kekeruhan air laut, yang


pada gilirannya mengurangi
kedalaman laut yang dapat
dicapai

cahaya

matahari. Semua hal-hal ini


berpengaruh

buruk

bagi

ekosistem padang lamun.

Masuknya

lumpur

serta

berjenis-jenis bahan organik


yang

dihasilkan

aktivitas

manusia ke laut juga telah


meningkatkan jumlah dan

Gambar 3.4.
Pseudomonacanthus peroni, Sejenis Ikan Buntal yang Biasa Ditemukan
di Padang Lamun
(Foto: Wikipedia Commons)

jenis nutrien yang masuk ke


padang lamun.

Sementara sebagian nutrien dibutuhkan untuk tumbuhnya lamun,


sebagian nutrien yang lain mungkin menghasilkan efek racun bagi
lingkungan lamun. Nutrien yang semakin banyak dalam air juga
meningkatkan pertumbuhan alga epifitik yang tumbuh menempel di daundaun lamun, dan mengurangi kemampuan lamun berfotosintesis.

Dengan demikian cukup alasan bagi Terrados dkk. (1998, dalam Terrados
dan Duarte 2003) untuk menyebutkan bahwa pelumpuran dan naiknya
jumlah liat (clay) dalam air laut melebihi ambang tertentu, akan
menurunkan secara tajam kekayaan spesies dan biomassa daun
komunitas padang lamun. Sensitivitas jenis-jenis lamun ini berbeda-beda
terhadap gangguan tersebut, mulai dari Syringodium yang paling sensitif
hingga Enhalus sebagai jenis yang paling tahan.

Namun demikian Enhalus pun diketahui cukup terpengaruh oleh


pelumpuran dengan berkurangnya pembungaan dan pembentukan buah
pada air yang meningkat kekeruhannya.

Kematian rumpun-rumpun

Enhalus karena siltasi itu pun diduga dapat menurunkan kapasitas


reproduksi Enhalus lebih jauh, mengingat pembentukan buah Enhalus
berlangsung baik pada kepadatan rumpun yang cukup tinggi. (Terrados
dan Duarte 2003).

Deskripsi
Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di
daerah tropika. Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium
karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh

binatang karang (polip). Hewan karang ini termasuk kelas Anthozoa, filum
Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati
semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi.

Sebetulnya jenis-jenis binatang


karang hidup di lautan di seluruh
dunia, termasuk di wilayah kutub
dan ugahari (temperate,
bermusim empat). Akan tetapi
hanya hewan karang hermatipik
yang bisa menghasilkan
terumbu, dan karang ini hidup
terbatas di wilayah tropis. Salah
satu sebabnya ialah karena
karang hermatipik hidup
bersimbiosis dengan sejenis
tumbuhan (dinoflagellata) di
dalam sel-sel
tubuhnya. Kehidupan simbiotik
yang dikenal sebagai
zooxanthellae ini memerlukan
sinar matahari yang cukup
sepanjang tahun untuk
berfotosintesis, dan lingkungan
yang relatif hangat dengan suhu
optimal perairan sekitar 2325C.

Gambar 4.1 .
Aneka warna dan bentuk karang keras
(Foto: Wikipedia Commons)

Berkurangnya laju fotosintesis akan mempengaruhi kemampuan karang


membentuk terumbu. Sehingga kedalaman laut yang optimal untuk
membentuk terumbu berada kurang dari 25 m, di mana cahaya matahari
masih memadai untuk fotosintesis. Umumnya terumbu karang tidak dapat
terbentuk pada kedalaman lebih dari 50-70 m.

Keanekaragaman anggota komunitas

Komunitas terumbu karang merupakan salah satu komunitas yang paling


kaya jenis di lautan dan bahkan juga di dunia. Seperti telah disebutkan,
penyusun utama komunitas ini adalah hewan-hewan karang yang

membentuk aneka rupa karang keras (ordo Madreporaria). Di samping itu


juga terdapat aneka jenis karang lunak (Octocorallia), gorgonia, kipas laut,
cambuk laut serta berbagai jenis alga. Beberapa macam alga juga
memproduksi kalsium karbonat, bahkan kelompok alga yang disebut alga
koralin menghasilkan endapan kalsium karbonat di substrat yang
ditumbuhinya dan merekatkan bagian-bagian yang lepas, seperti pecahan
karang, menjadi satu.

Keberadaan bongkah-bongkah karang otak, rumpun karang tanduk rusa,


kepingan karang meja dan lain-lain menyediakan banyak relung (niche)
untuk kehidupan organisme lainnya. Aneka jenis teripang, bintang laut,
bulu babi, siput laut, kerang dan tiram, hingga ke ratusan spesies ikan,
udang dan kepiting, penyu serta ular laut, bisa ditemukan di terumbu
karang.

Terumbu karang tumbuh di semua perairan tropis, kecuali di beberapa


tempat seperti di pantai barat Afrika bagian selatan dan pantai barat
Amerika Selatan, di mana secara berkala terjadi arus dingin dan upwelling
air dingin yang membatasi pertumbuhan terumbu karang.

Kekayaan jenis karang yang terbesar berada di wilayah Indo-Pasifik,


khususnya Asia Tenggara. Dari sekitar 800 jenis karang pembentuk
terumbu di dunia, lebih dari 600 jenis ditemukan di perairan Asia Tenggara
(Burke dkk., 2002). Sementara Wells (1957, dalam Nybakken 1988)
mencatat sekurangnya terdapat 50 genera dan 700 spesies karang di
wilayah Indo-Pasifik, yang mencakup perairan-perairan di Kepulauan
Nusantara, Filipina, Papua hingga Australia.

Tipe terumbu

Telah dijelaskan bahwa terumbu karang membutuhkan perairan yang


hangat dan sinar matahari yang kuat untuk tumbuh baik. Kondisi
demikian banyak ditemukan di perairan dangkal yang tak jauh dari pantai,
terutama di sekitar pulau-pulau yang memiliki perairan jernih. Sementara
itu sebagai hewan laut sejati, terumbu karang memerlukan kadar garam
air laut yang normal antara 32-35 atau yang lebih tinggi. Di bagian laut
yang berkadar garam lebih rendah, misalnya dekat muara sungai-sungai
besar, terumbu karang akan terhalang pertumbuhannya.

Di samping itu aliran sungai juga


membawa serta endapan tanah dan
bahan organik lainnya. Bahanbahan ini akan memperkeruh air
laut, mengurangi penetrasi sinar
matahari, dan endapannya dapat
menutupi karang serta mematikan

Gambar 4.4 .
Terumbu Karang Penghalang
(Foto: QT Luong/ Terragalleria.com)

hewan-hewan karang. Oleh sebab


itu karang lebih berkembang pada
wilayah-wilayah perairan dengan
gelombang besar. Gelombang laut
yang kuat tidak banyak merusak
karang yang masif. Sementara itu,
gelombang justru menghalangi
pengendapan, memberikan air yang
segar dan memperkaya kandungan
oksigen dalam air laut.

Gambar 4.5.
Atol, dengan Pulau Pasir di Tengahnya
(Foto: www.webtime.ch/bilder/atoll.jpg)

Dari segi letaknya dikenal setidaknya tiga tipe terumbu karang, yakni
terumbu tepi, terumbu penghalang dan atol. Terumbu karang tepi
(fringing reef) adalah terumbu yang tumbuh relatif tidak jauh dari garis
pantai. Sedangkan terumbu karang penghalang (barrier reef) terletak
agak jauh dari pantai, diantarai oleh laut yang cukup dalam. Contoh
terumbu penghalang yang terkenal adalah The Great Barrier Reef, yang
membentang hampir sepanjang 2000 km di timur Australia.
Atol adalah terumbu karang
berbentuk cincin yang
biasanya terdapat di laut
dalam. Di tengah-tengahnya
terdapat semacam danau air
asin dangkal yang dikenal
sebagai gobah atau laguna
(lagoon). Para ahli menduga
bahwa atol berasal dari
Gambar 4.6.
terumbu karang tepi yang
tumbuh di sekeliling suatu
Terumbu Karang Tepi di Sekeliling Sebuah Pulau di Kepulauan
pulau vulkanik. Suatu ketika,
Palau (Foto: FL Colin/
karena sebab tertentu pulau
www.coralreefresearchfoundation.org)
vulkanik itu
tenggelam. Apabila pulau itu
tenggelam dengan perlahanlahan, terumbu yang terus
tumbuh itu dapat mengimbangi
kecepatan tenggelamnya pulau dan bertahan tumbuh di permukaan laut
menjadi atol. Akan tetapi ada pula yang pulaunya tenggelam dengan
cepat dan terumbu karangnya turut mati bersama tenggelamnya pulau
tersebut.

Ancaman kelestarian

Terumbu karang merupakan ekosistem yang kaya jenis namun rentan


oleh kerusakan, terutama yang diakibatkan oleh kegiatan
manusia. Banyak aktivitas manusia, yang secara langsung maupun tidak
langsung, yang bisa mengancam kelestarian terumbu karang.

Kegiatan penangkapan ikan, terutama di dekat pesisir, yang dilakukan


secara tidak hati-hati dapat mengancam kehidupan terumbu

karang. Banyak penangkapan yang telah dilakukan secara berlebihan,


sehingga populasi ikan-ikan karang terancam. Penggunaan jaring dasar
seperti pukat harimau, misalnya, dapat pula merusak dan membongkar
terumbu. Apalagi penggunaan bahan-bahan yang merusak seperti bahan
peledak dan racun potasium untuk memanen ikan-ikan karang.

Kegiatan-kegiatan pembangunan pesisir seperti penambangan pasir laut,


pengerukan dan reklamasi pantai, serta pembangunan fasilitas-fasilitas
transportasi dan wisata laut sangat mempengaruhi kehidupan terumbu
yang berdekatan. Selain sedimentasi dan pencemaran laut yang
diakibatkannya, kegiatan-kegiatan pembangunan ini bisa mengubah polapola arus laut lokal dan mengancam kelestarian terumbu karang.

Ancaman besar datang dari meningkatnya aktifitas manusia di


daratan. Aktifitas ini, terutama terkait dengan kegiatan pembangunan
wilayah, telah meningkatkan sedimentasi dan bahan organik dalam air
sungai, yang pada gilirannya terbawa ke laut. Meningkatnya endapan ini
telah membunuh karang di banyak tempat dan sebaliknya, ketersediaan
nutrisi mendorong pertumbuhan alga sehingga mendominasi terumbu.

Di samping itu pencemaran laut


pun turut meningkat. Aneka
bahan pencemar yang berasal
dari industri dan limbah
domestik perkotaan mengalir ke
laut bersama aliran sungai yang
melewati kota-kota itu. Bahan
Gambar 4.7.

pencemar lain datang dari lalu

Terumbu Karang Membentuk Relung yang Beraneka untuk


Kehidupan Laut yang Beragam (Foto: www.divethereef.com)

lintas transportasi laut, serta


tumpahan minyak atau limbah
pengeboran minyak lepas
pantai. Semua ini memberikan
pengaruh negatif terhadap
kesehatan terumbu karang.

Secara totalitas, Burke dkk.


(2002) memperkirakan sekitar
88% terumbu karang di Asia
Tenggara terancam oleh
aktifitas manusia. Dan kurang
lebih 50% terumbu yang
terancam itu berada pada
tingkat keterancaman yang
tinggi atau sangat tinggi.

Bahan bacaan
Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Reefs at Risk in Southeast
Asia. World Resources Institute.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Alih
bahasa H. Muh. Eidman dkk. Penerbit Gramedia. Jakarta.
LATIHAN

Klik pada satu alternatif jawaban yang menurut Anda paling tepat.

1. Tingkat kadar garam di daerah


estuaria tergantung
pada aspek berikut ini, kecuali ....

11. Komunitas lamun berada di antara


batas terendah daerah pasang surut
sampai kedalaman tertentu di mana
cahaya matahari masih dapat mencapai
A pasang-surut air laut
dasar laut, karena lamun perlu
B banyaknya aliran air tawar dan melakukan .

arus-

A. interaksi dengan ikan-ikan


permukaan

arus lainnya
C topografi daerah estuaria

B. fotosintesis

D gelombang air laut

2. Pada garis vertikal, umumnya


salinitas di
lapisan atas kolom air lebih rendah
daripada
salinitas air di lapisan bawahnya,
karena .
A air tawar cenderung
terapung di atas
air laut yang lebih berat oleh
kandungan garam
B pada lapisan atas kolom air
lebih
banyak arus gelombang
daripada
bagian bawah
C Ikan dan organisme laut
lainnya
cenderung hidup di permukaan
D banyaknya plankton di
permukaan
perairan
3. Fauna khas estuaria adalah hewanhewan
yang dapat mentolerir kadar garam
.
A 1 - 20
B 5 - 30

C. pernafasan
D. aktivitas menghindari
gelombang
laut
12. Padang lamun memiliki sifat-sifat
ekologis penting sebagai habitat
aneka jenis hewan, terutama untuk
.
A.

ikan-ikan

kecil

dan

kecil

dan

avertebrata
B.

ikan-ikan

vertebrata
lainnya
C.

avertebrata

saja

D. crustacea

13. Berbagai jenis hewan dan ikan juga


menggunakan padang lamun ini
sebagai tempat memijah dan
membesarkan anak-anaknya,

C 10 - 35
D 10 - 40

misalnya ikan .
A. bawal
B. kakap
C. kerapu
D. baronang

4. Pada kenyataannya, produktivitas


estuaria
bertumpu pada .
A bahan-bahan organik yang
terbawa
masuk estuaria melalui aliran
sungai
atau arus pasang surut air laut
B arus air tawar yang masuk ke
perairan
laut
C produktivitas plankton di laut
D Suhu perairan laut

14. Salah satu peranan komunitas


lamun dalam rantai makanan
ekosistem laut terbuka adalah .
A. mengambil kembali
nutrien dari
dasar laut dan
mengembalikannya
ke dalam rantai makanan
ekosistem
B. mengambil nutrien dari
permukaan
laut
C. memerangkap sedimen
D. sebagai tempat memijah
ikan-ikan
tertentu

5. Organisme terbanyak di estuaria


adalah .

15. Masuknya lumpur serta berjenisjenis bahan organik yang

A herbivora

dihasilkan aktivitas manusia ke

B karnivora

laut juga telah meningkatkan .

C para pemakan detritus


D para pemakan plankton

A. pencemaran pada
komunitas

lamun
B. arus laut ke dalam
komunitas
lamun
C. jumlah dan jenis nutrien
yang
masuk ke padang lamun
D. mineral yang masuk ke
komunitas
lamun
6. Mangrove juga dikenal sebagai
hutan
payau atau hutan pasang surut,
karena .
A tempat hidup fauna air tawar
maupun
fauna air laut
B tempat bertemunya air tawar
dan air
laut

16. Struktur dasar terumbu adalah


bangunan .
A. kalium karbonat
B. kalsium karbonat
C. besi karbonat
D. mangan karbonat

C tahan akan gempuran


gelombang laut
D vegetasi mangrove senang
tumbuh
pada air-air rawa yang bersifat
payau
dan terletak pada garis pantai
yang
dipengaruhi oleh pasang
surut
7. Jaringan akar tunjang dan akar pena 17. Hewan karang hermatipik yang
pada
hidup terbatas di wilayah tropis
tumbuhan mangrove dapat
bermanfaat
bisa menghasilkan terumbu,
ganda, yakni penopang berdirinya
karena karang hermatipik .
pohon
dan sebagai alat untuk.

A mengusir ikan
B bernafas

A. hidup bersimbiosis dengan


sejenis
tumbuhan (dinoflagellata)

C mengukur pasang surut


D mengukur pH

di dalam
sel-sel tubuhnya
B. hidup bersimbiosis dengan
diatom
C. aktif menghasilkan kapur
D. tahan terhadap terpaan
gelombang
laut

8. Berikut ini adalah faktor-faktor fisik 18. Terumbu karang tumbuh di semua
yang
perairan tropis, kecuali di beberapa
berpengaruh pada kehidupan
tumbuhan
tempat seperti di pantai barat
mangrove, kecuali .
Afrika bagian selatan dan pantai
A jenis substrat
barat Amerika Selatan, karena .
B terpaan ombak
A. gelombang lautnya besar
C salinitas
B. pH tidak sesuai dengan

D penggenangan oleh air pasang

pertumbuhan karang
C. banyak terjadi sedimentasi
dari
bahan-bahan organik
D. secara berkala terjadi arus
dingin
dan upwelling air dingin
yang
membatasi pertumbuhan

terumbu
karang.

9. Hutan-hutan bakau menghadapi


19. Kekayaan jenis karang yang
banyak
terbesar berada di wilayah Indoancaman dan kerusakan yang bisa
membawa kepunahan. Ancaman itu
Pasifik, khususnya Asia .
ditimbulkan baik oleh penyebabpenyebab alami maupun oleh
A. Tenggara
manusia.
Misalnya kulit kayu tumbuhan
B. Selatan
mangrove
banyak dimanfaatkan sebagai
C. Utara
penghasil .
D. Timur
A kayu bakar
B serat alami
C zat penyamak
D bahan kosmetik
10. Jenis biota yang senang melompat- 20. Beragam kegiatan penangkapan
lompat
ikan, terutama di dekat pesisir
atau berjalan dengan kedua
telah mengancam kehidupan
siripnya di
atas lumpur yang mengering, bahkan
terumbu karang, misalnya kegiatan
juga
memanjat-manjat ke atas akar bakau
berikut ini, kecuali penggunaan.
adalah ikan .
A. jaring dasar seperti pukat
A gelodok
harimau
B sapu-sapu
C bandeng
D dari jenis kerang-kerangan

B. bahan-bahan peledak
C. racun potasium untuk
memanen
ikan-ikan karang.
D. jaring insang

PENDAHULUAN
Saudara mahasiswa, matakuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
(MMPI5104) merupakan salah satu matakuliah wajib bagi Anda pada
semester I Program Magister Manajemen Perikanan. Matakuliah ini
memberikan pengetahuan tentang perlunya pengelolaan wilayah pesisir
dan laut, karakteristik, struktur dan dinamika ekosistem pesisir dan laut,
rencana pengelolaan perikanan dan wilayah pesisir, teknik dasar
perencanaan pesisir dan laut, valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan
laut.
Materi yang diberikan pada program web suplemen ini merupakan
suplemen/pelengkap dari materi yang telah diuraikan dalam Buku Materi
Pokok (BMP). Materi yang disampaikan belum banyak diuraikan dalam
BMP dan diharapkan dapat lebih mempermudah Anda dalam mempelajari
materi matakuliah tersebut. Materi web suplemen ini ditekankan pada
pengetahuan

tentang

kekhasan

ekosistem

laut

berikut

dengan

pengelolaannya. Setelah mempelajari WEB suplemen ini Anda sebagai


mahasiswa S2 Magister Manajemen Perikanan Program Pascasarjana UT
diharapkan

mampu

menjelaskan

konsep-konsep

utama

dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Lebih khusus lagi,


setelah mempelajari program web suplemen ini, Anda diharapkan mampu
menjelaskan tentang:
1.
2.
3.

Ekosistem

estuaria

Ekosistem
Ekosistem

mangrove
padang

lamun

4. Ekosistem terumbu karang


Suplemen matakuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut ini berisi 4
topik utama, yaitu yang berhubungan dengan kekayaan laut Indonesia

yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran kita


semua.

Kelima

topik

utama

1.
2.
3.

tersebut

adalah

Ekosistem

berikut.
Estuaria

Ekosistem
Ekosistem

sebagai

Mangrove
Padang

4. Ekosistem Terumbu Karang

Selamat belajar, semoga sukses !

Lamun

Anda mungkin juga menyukai