Anda di halaman 1dari 9

Kasus Suap Wisma Atlet (Scandal Nazaruddin)

Kasus Suap Wisma Atlet


Latar Belakang
Kasus korupsi suap wisma atlet sangat menyita perhatian publik (masyarakat). Hal ini
dikarenakan para pelakunya adalah petinggi di jajaran instansi pemerintahan dan anggota DPR.
Pengusutan Kasus wisma atlet ini berawal dari kasus proyek pembangunan jalan tol tengah di
Surabaya, Jawa Timur. Dari perkara itulah dari hasil pelacakan ditemukan adanya
persengkongkolan dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Awal mula Tim KPK
melakukan penyelidikan proyek pembangunan wisma atlet tersebut, atas usulan deputi
penindakan KPK berdasarkan pengembangan dari proyek yang berada di Surabaya.
Sesungguhnya pengusutan Kasus Proyek Wisma Atlet itu berawal dari ketidak sengajaan.
Pada bulan Maret 2011 terkait kasus Jalan Tol di Surabaya. Pada bulan itu di Surabaya memang
tengah ramai kasus Proyek Tol Tengah. Pada Proyek tersebut terjadi perseteruan antara DPRD
Kota Surabaya yang setuju pembangunan tol dan Walikota yang menolak Pembangunan. Pada
akhirnya perseteruan itu dimenangkan oleh DPRD Kota Surabaya, proyek pembangunan jalan
Tol tengah tersebut hampir mencapai 5 Trilliun, dan bakal dibiayai perusahaan konsorsium.
Dengan tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi: PT.Jasa Marga 55
%, PT.DGI 20 %, PT.PP 20 % dan PT.Elnusa 5 %. PT DGI yang ikut dalam proyek ini adalah
perusahaan yang kini bermasalah dalam kasus pembangunan wisma Atlet.
Diduga ada permainan tender, maka sampailah sebuah informasi ke KPK terkait
permasalahan pembangunan proyek tersebut. Diduga kuat ada praktik tidak sehat untuk
melancarkan proyek tersebut dan dalam proses tender. Kebetulan salah satu pejabat KPK yakni
Deputi Penindakan Ade Raharja mendapat informasi tersebut, apalagi beliau sebelumnya
bertugas di kepolisian di Surabaya. Tidak aneh jika Nazaruddin, dalam pernyataannya menuduh
Ade Raharja sengaja merekayasa kasus dirinya.

KPK mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada dugaan main mata antara anggota
DPRD dengan sejumlah perusahaan yang ikut dalam tender proyek tersebut. Berawal dari
informasi tersebut, dimulailah pemantauan terhadap beberapa politisi di DPRD, demikian juga
dengan para perusahaan yang terlibat, dan salah satunya PT DGI (Duta Graha Indah). Selama
jalannya pemantauan, KPK tidak cukup menemukan bukti yang jelas terkait kasus jalan tol
tengah Surabaya. Yang ada malah secara tidak sengaja, KPK menemukan bahan lain, yakni
terkait PT DGI yang menjadi pemenang tender proyek Wisma Atlet Palembang. Ketika
diselidiki, ternyata ada dugaan proses yang tidak sehat, dan terdapat deal-dealan dengan pihak
tertentu untuk dapat meloloskan perusahaan PT DGI sebagai pemenang tender.
Dari situlah KPK mulai fokus dan secara intensif mengawasi para Pejabat PT DGI, salah
satunya Manajer Marketing M. EL Idris. Dan diketahui El Idris melakukan beberapa kontak
dengan sejumlah penyelenggara Negara.
Setelah intensif melakukan monitoring dan pengawasan terkait dugaan suap yang
merugikan Negara dan menjalarnya penyakit masyarakat yakni korupsi dan penggelembungan
dana akhirnya membuahkan hasil. Setelah beberapa kali terkecoh terkait transksi suap karena
batal dilakukan, akhirnya sampailah pada transaksi oleh PT DGI (El Idris dan Rosa) dengan
Sesmenpora Wafid Muharam. Tanggal 20 April KPK mencatat ada komunikasi intens antar 2
pihak tersebut.
KPK pun mulai bergerak, dan kedua pihak tertangkap basah sedang bertransaksi. Saat
penangkapan tidak terjadi insiden yang besar, Wafid panik dan kemudian menyebar uang
dimana-mana. Bahkan cek dan beberapa uang sampai diberikan ke sopir dan ajudannya. adapula
uang yang berserakan dilantai. Dari peristiwa penggerebekan transaksi tersebutlah cerita tentang
keterlibatan M. Nazaruddin muncul.[1]

Bedah Kasus
1. Tersangka

[1]
[1] http://hukum.kompasiana.com/2011/08/11/kasus-proyek-tenderwisma-atlet/.

Pada 21 April 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Sekretaris Menteri


Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharam, pejabat perusahaan rekanan Mohammad El Idris, dan
perantara Mindo Rosalina Manulang karena diduga sedang melakukan tindak pidana korupsi
suap menyuap. Penyidik KPK menemukan 3 lembar cek tunai dengan jumlah kurang lebih
sebesar Rp 3,2 milyar di lokasi penangkapan. Keesokan harinya, ketiga orang tersebut dijadikan
tersangka tindak pidana korupsi suap menyuap terkait dengan pembangunan wisma atlet untuk
SEA Games ke-26 di Palembang, Sumatera Selatan. Mohammad El Idris mengaku sebagai
manajer pemasaran PT Duta Graha Indah, perusahaan yang menjalankan proyek pembangunan
wisma atlet tersebut, dan juru bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa cek yang diterima
Wafid Muharam tersebut merupakan uang balas jasa dari PT. DGI karena telah memenangi
tender proyek itu. Memenangi di sini maksudnya adalah di dalam tender tersebut terdapat
rekayasa yang dilakukan oleh wafid terhadap PT. DGI agar PT tersebut memenangkan tender.
Pada 27 April 2011, Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)
Boyamin Saiman menyatakan kepada wartawan bahwa Mindo Rosalina Manulang adalah staf
Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin menyangkal pernyataan itu dan mengatakan bahwa ia tidak
mengenal Rosalina maupun Wafid. Namun, pernyataan Boyamin tersebut sesuai dengan
keterangan Rosalina sendiri kepada penyidik KPK pada hari yang sama dan keterangan kuasa
hukum Rosalina, Kamaruddin Simanjuntak, kepada wartawan keesokan harinya. Kepada
penyidik KPK, Rosalina menyatakan bahwa pada tahun 2010 ia diminta Nazaruddin untuk
mempertemukan pihak PT DGI dengan Wafid, dan bahwa PT DGI akhirnya menang tender
karena sanggup memberi komisi 15 % dari nilai proyek, 2 % untuk Wafid dan 13 % untuk
Nazaruddin. Akan tetapi, Rosalina lalu mengganti pengacaranya menjadi Djufri Taufik dan
membantah bahwa Nazaruddin adalah atasannya. Ia bahkan kemudian menyatakan bahwa
Kamaruddin, mantan pengacaranya berniat menghancurkan Partai Demokrat sehingga
merekayasa keterangan sebelumnya, dan pada 12 Mei 2011 Rosalina resmi mengubah
keterangannya mengenai keterlibatan Nazaruddin dalam berita acara pemeriksaannya.
Namun demikian, Wafid menyatakan bahwa ia pernah bertemu beberapa kali dengan
Nazaruddin setelah dikenalkan kepadanya oleh Rosalina.[2]
2. Terdakwa
[2]

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nazaruddin.

Nazaruddin mendapat jatah uang sebesar Rp 4,34 miliyar dalam bentuk empat lembar cek
dari PT. DGI yang diberikan oleh Idris. Pemberian tersebut karena Nazaruddin selaku anggota
DPR RI telah mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang yang
mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera
Selatan. Idris yang mempunyai tugas mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI, bersama-sama
dengan Dudung Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI, pada sekitar Juni atau Juli 2010,
bertemu dengan Nazaruddin yang sudah lama dikenalnya. Dalam pertemuan itu, Idris dan
Dudung menyampaikan keinginan PT DGI untuk bekerjasama dengan Nazaruddin.
Mantan anggota Komisi III DPR itu, langsung merespon niatan Idris dan Dudung. Dia
memanggil Mindo Rosalina Manulang, manager Marketing PT Anak Negeri. Idris lalu diminta
oleh Nazaruddin untuk berhubungan dengan Mindo Rosalina Manulang untuk menindaklanjuti
kerjasama tersebut. Nazaruddin sendiri lalu bertemu dengan Sesmenpora Wafid Muharam
dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Dalam pertemuan yang terjadi sekitar Agustus 2010 di
sebuah rumah makan di belakang Hotel Century Senayan itu, Nazaruddin meminta Wafid untuk
dapat mengikutsertakan PT DGI dalam proyek yang ada di Kemenpora.
Rosa pun menjalankan tugasnya sebagai "pengawal" PT DGI. Dia lalu memperkenalkan
Dudung Purwadi dan Edris pada Wafid. Perkenalan kedua petinggi PT DGI tersebut dengan
Wafid, dibungkus dalam sebuah pertemuan di ruang kerja Wafid. Dalam pertemuan itu, Dudung
dan Idris lalu menyampaikan niatan mereka untuk "berpartisipasi" mengerjakan proyek
pembangunan Wisma Atlet. Tak lupa mereka memperkenalkan sosok PT DGI sebagai sebuah
perusahaan kontraktor nasional. Atas penyampaian tersebut Wafid Muharam menyanggupi dan
akan mempertimbangkan PT DGI Tbk untuk mengerjakan proyek tersebut serta mengarahkan
untuk mengurusnya ke daerah karena anggaran block grant dilaksanakan oleh daerah dalam hal
ini Provinsi Sumatera Selatan.
Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat ikut serta dalam proyek
pembangunan Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat bertemu beberapa kali lagi untuk
membahas rencana pemberian success fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan
pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan tersebut,
khususnya pihak-pihak yang sudah membantu PT DGI Tbk untuk dapat ikut serta dalam proyek
tersebut.

Salah satu pertemuan berlangsung di Plaza Senayan Jakarta. Dalam pertemuan itu, Idris
lalu berinisiatif menawarkan fee (imbalan) sebesar 12 % dari nilai kontrak kepada Nazaruddin
jika PT DGI Tbk ditunjuk sebagai pelaksana proyek. Namun Nazaruddin keberatan dan meminta
jatah fee lebih besar 3 persen dari yang ditawarkan Idris. Setelah melalui pembahasan alot, Idris,
Nazaruddin dan Rosa sepakat besaran fee yang akan diberikan adalah sebesar 13 %.
Kesepakatan itu diketahui pula oleh Dudung Purwadi.
Pada Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya diumumkan sebagai pemenang lelang
oleh panitia pengadaan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi
Sumatera Selatan. Merekalah yang akan mengerjakan proyek pembangunan Wisma Atlet di
Palembang. Keputusan ini sendiri, merupakan hasil kesepakatan antara Idris, Dudung Purwadi,
Rosa, Wafid, Nazaruddin, Rizal Abdullah dan panitia pengadaan. Pada 16 Desember 2010, PT
DGI lalu mendapatkan kontrak mereka senilai Rp 191.672.000.000. Uang muka dari kontrak
tersebut, senilai Rp 33.803.970.909 didapat PT DGI dua minggu kemudian.
Sesuai dengan kesepakatan yang sudah terjalin, pada sekitar pertengahan Februari 2011,
Idris pun menyerahkan cek senilai Rp 4,34 miliar kepada Nazaruddin. Penyerahan itu baru
dilangsungkan setelah PT DGI mendapatkan uang muka proyek pembangunan Wisma Atlet dan
Gedung Serbaguna. Idris mengantarkan langsung empat lembar cek tersebut ke kantor PT Anak
Negeri di Tower Permai grup. Namun cek diserahkan melalui Yulianis dan Oktarina Furi alias
Rina yang merupakan staf keuangan Nazaruddin. Penyerahan uang dalam bentuk cek itu sendiri
dilakukan dalam dua tahap.
Penyerahan pertama dilakukan pada awal Februari 2011. Edris menyerahkan dua lembar
cek BCA nomor AN 344079 dengan nilai Rp 1.065.000.000 dan satu lagi dengan nomor cek AN
344083 senilai Rp 1.105.000.000. Dua cek bernilai total Rp 2.170.000.000 itu diterima oleh
Yulianis. Tahap kedua diserahkan beberapa hari setelah penyerahan tahap pertama. Edris
menyerahkan dua lembar cek BCA masing-masing dengan nomor cek AN 232166 bernilai Rp
1.120.000.000 dan AN 232170 dengan nilai cek sebesar Rp 1.050.000.000. Dua lembar cek ini
diterima oleh Oktarina Furi.

Keseluruhan cek tersebut diberikan kepada Muhammad Nazaruddin selaku anggota DPR
RI sebagai bagian dari komitmen pemberian 13 % karena PT DGI Tbk berhasil menjadi
pelaksana pekerjaan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna.[3]
3. Vonis Hukuman
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menuntut
terdakwa perkara suap wisma atlet SEA Games M Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta. Mantan bendahara umum Partai Demokrat itu dituntut hukuman 7
tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara. Jaksa Penuntut Umum
meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan terdakwa telah bersalah secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 12 b UU/31/1999
sebagaimana diubah dalam UU/20/2001 Tentang Perubahan UU/31/1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam mengambil tuntutannya, JPU mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan. Yang memberatkan yaitu perbuatan Nazaruddin membuat buruk citra DPR, tidak
memberikan contoh tauladan kepada rakyat, menyalahgunakan jabatannya, mempersulit proses
persidangan dan tidak kooperatif karena melarikan diri yang membuat negara mengeluarkan
biaya besar untuk memulangkannya, serta perbuatannya dilakukan saat pemerintah gencar
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan hal yang meringankan yaitu
Nazaruddin belum pernah dihukum dan masih memiliki tanggungan keluarga.
JPU KPK menilai, berdasarkan fakta persidangan, Nazaruddin terbukti selaku anggota
DPR RI telah mengatur PT Duta Graha Indah (PT DGI) untuk mendapatkan proyek
pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang. Hal tersebut dimulai pada Januari 2010 di
mana di ruang Menpora Andi Malarangeng melakukan pertemuan dengan Andi sendiri,
Sesmenpora Wafid Muharam, dan dua orang anggota DPR yaitu Angelina Sondakh dan
Mahyudin. Di sana, Nazaruddin membicarakan proyek wisma atlet. Kemudian, tindak lanjut dari
pertemuan tersebut, Nazaruddin memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang selaku Direktur
Marketing PT Anak Negeri ke Sesmenpora Wafid Muharam. Nazaruddin pun meminta Wafid
untuk membantu melalui Rosalina supaya PT DGI memenangi tender proyek wisma atlet SEA
[3]
[3] http://nasional.inilah.com/read/detail/1695532/inilah-kronologisuap-nazaruddin.

Games. Nazaruddin kemudian juga mengenalkan Rosalina ke Badan Anggaran (Banggar) DPR
dan meminta supaya Rosalina mendapat fasiltas.
Atas permintaan Nazaruddin tersebut, Wafid Muharam menyanggupi untuk memenangi
PT DGI. Namun, dengan catatan DPR sudah menyetujuinya. Nazaruddin kemudian meyakinkan
Wafid bahwa Komisi X DPR telah menyetujuinya. Atas bantuan Nazaruddin memenangkan PT
DGI itu, Nazaruddin mendapatkan fee 13 % dari total keseluruhan biaya proyek sebesar Rp 191,
6 miliar yaitu senilai Rp 25 miliar. Namun, Nazaruddin baru menerima cek dari Direktur
Marketing PT DGI, M Idris sebesar Rp 4,6 miliar dalam bentuk lima lembar cek.
Lima lembar cek itu sendiri, kemudian telah dicairkan oleh Wakil Direktur PT Permai
Group, perusahaan milik Nazaruddin, Yulianis. Uang itu disimpan dalam sebuah brankas di
kantor PT Permai Group, Warung Buncit Jakarta. Dapat disimpulkan bahwa cek tersebut sudah
dalam kuasa terdakwa (Nazaruddin)[4].
Akan tetapi dalam persidangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Jumat (20/4/2012), menjatuhkan vonis 4 tahun dan 10 bulan penjara serta denda Rp 200
juta subsider 4 bulan kurungan. Vonis hakim tersebut masih di bawah tuntutan jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis menghukum Nazaruddin tujuh tahun
penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Dalam persidangan, jaksa
mendakwa Nazaruddin dengan empat dakwaan alternatif, yakni Pasal 12 huruf b dan Pasal 11
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Namun, majelis hakim akhirnya memilih menjerat
Nazaruddin dengan pasal 11 yang ancaman hukuman maksimalnya lima tahun penjara. Selain
kasus wisma atlet, Nazaruddin juga diduga terlibat sejumlah kasus lain, antara lain kasus tindak
pidana pencucian uang terkait pembelian saham perdana PT Garuda Indoneisa (masih dalam
penyidikan), kasus Hambalang (penyelidikan), kasus pengadaan proyek wisma atlet
(penyelidikan), kasus korupsi wisma atlet SEA Games yang menjerat Angelina Sondakh
(penyidikan), pengadaan alat laboratorium di sejumlah universitas (penyidikan), dan kasus
proyek Revitalisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) di Kementerian Pendidikan Nasional tahun
anggaran 2007 (penyelidikan).

[4]
[4] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/02/m1unkrnazaruddin-diituntut-tujuh-tahun-penjara-dan-denda-rp-300-juta

Pembahasan
1. Secara Filosofis
Suap atau yang menyuap merupakan tindakan yang disalahkan dalam peraturan UndangUndang di dalam negeri kita ini. Apa sebenarnya yang terfikir di benak para pejabat?. Di sini
kami akan lebih mengkritisi mengenai tindakan para pejabat DPR dan KEMENPORA ini. Apa
yang mereka lakukan tersebut adalah salah menurut hukum dan dampaknya adalah kepada
rakyat. Tapi kita wajib mensyukurinya karena badan anti korupsi (KPK) di mana merekalah
tapuk dari sebuah lembaga yang mana memiliki peran penting bagi negeri kita. Kepada
merekalah rakyat menitip kebenaran yang harus ditindak, lebih khususnya terhadap kasus
korupsi pembangunan wisma atlet SEA GAMES. Kami para rakyat mengharapkan tindakan yang
cekatan dari permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para elit politik
dan pemerintahan yang seharusnya merekalah yang mengemban amanah dari janji-janjinya
tersebut. Kami harapkan kepada badan hukum di negara ini harus tegas dalam bertindak. Jangan
pandang bulu dan jangan tebang pilih dalam menegakakkan hukum, baik dia pejabat atau
siapapun itu, jika memang telah melanggar ketentuan hukum, maka harus ditindak lanjuti dan
dihukum sesuai dengan apa yang mereka lakukan.
2. Secara Sosiologis
Dilihat dari latar belakangnya, ini adalah salah satu permainan politik di kalangan
pembisnis demi mendapatkan tender dari proyek pembangunan yang dikucurkan oleh pemerintah
untuk pembangunan wisma atlet SEA GAMES Ke-26 di Palembang, Sumatera Selatan. Salah
satu strategi yang mereka gunakan adalah dengan cara suap. Hal itu dilakukan agar pejabat
pemerintahan yang ditugaskan untuk menjalankan program tersebut, memberikan pelaksanaan
pembangunan (tender) kepada perusahaan yang menyuap pejabat tersebut agar perusahaan
tersebut mendapatkan keuntungan dari tender tersebut. Dalam hal ini, keuntungan yang diperoleh
dari perusahaan tersebut yaitu dari dana yang dikucurkan oleh pemerintah, di mana dana tersebut
akan dikelola oleh perusahaan pemenang tender. Dana tersebut pastilah karena melebihi dari
kebutuhan pembangunan wisma atlet tersebut. Dari situlah perusahaan pemenang tender tersebut
mendapatkan hasil.

Daftar Pustaka

http://hukum.kompasiana.com/2011/08/11/kasus-proyek-tender-wisma-atlet/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nazaruddin.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1695532/inilah-kronologi-suap-nazaruddin.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/02/m1unkr-nazaruddin-diituntut-tujuhtahun-penjara-dan-denda-rp-300-juta.

Anda mungkin juga menyukai