Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN

Bidang anestesi erat kaitanya dengan penatalaksanaan nyeri. Pasien dengan


nyeri yang dihadapi oleh seorang anestesiologis yaitu mulai dari pasien di kamar
operasi yang mengalami nyeri saat pembedahan, nyeri pasca bedah (nyeri akut)
dan nyeri kronik yang penatalaksanaannnya cukup sulit. Penatalaksaan nyeri akut
yang tidak baik dapat menyebabkan nyeri kronis yang penatalaksanaannya lebih
sulit.
Perkembangan penanganan nyeri tidak terlepas dari perkembangan
mengenai pemahaman terjadinya nyeri, perkembangan pengetahuan farmakologi
agen- agen yang dapat mengatasi nyeri dan perkembangan teknik teknik
anestesai. Mekanisme transmisi nyeri pada tahun 1645 dikemukakan oleh
Descrates. Ia mengemukakan bahwa impuls nyeri perifer ditransmisikan secara
langsung dari perifer ke otak oleh sistem hard-wired tanpa melalui perantara
modulasi apapun. Teori ini digunakan hingga akhirnya pada tahun 1965 Melzack
dan Wall mengemukakan teorinya yaitu

gate-control teory yang menyatakan

nyeri dapat dimodulasi atau gated pada sejumlah titik pada jalur nyeri.
Penelitian selanjutnya menunjukan kornu dorsalis (lamina II) korda spinalis
sebagai tempat penting dalam modulasi dan penatalaksanaan nyeri akut dan kronis
memakai pengetahuan ini untuk menghasilkan efek yang memuaskan.1
Opioid yang sudah diketahui sejak lama sebagai penghilang nyeri telah
mengalami perkembangan pesat dalam penggunaannya seiring dengan semakin
deketahuinya mengenai mekanisme kerjanya. Sejak dikembangkannya teknik
anestesia regional yang menggunakan anestetik lokal didapatkan keuntungan
bahwa untuk mendapatkan analgesia tidak selalu dengan anestesia umum. Pada
awal 1900, Mata mengkombinasikan morfin dan kokain untuk injeksi
subarachnoid. Morfin ditambahkan sebagai usaha untuk memperpanjang kokain
dan menghasilkan sedasi. Hal ini tidak pernah dilakukan hingga pada tahun 1970
setelah dikemukakan mengenai reseptor opiat di korda spinalis penggunaan opioid

Universitas Indonesia

neuroaksial kembali menjadi rutin penggunannnya sebagai bagian anestesia


regional modern.2
Transmisi nyeri di sistem saraf sentral dan perifer meliputi rangkaian
kompleks neurotransmiter dan jalur yang tidak mudah diblok oleh satu jenis obat
atau teknik.

Pengetahuan ini dapat membantu anestesiologis dalam tindakan

anestesia regional berupa:1

Pemilihan ajuvan untuk anestetik lokal untuk mempercepat mula kerja,

memperpanjang efek, mengurangi dosis total yang diperlukan.


Agen yang dipakai dapat meningkatkan analgesia postoperatif tanpa

memperpanjang efek samping anestesi lokal.


Agen yang digunakan terutama bekerja pada tempat perifer tanpa efek
sentral sehingga analgesia tercapai optimal sementara efek samping sistem
saraf pusat minimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

SEJARAH

Universitas Indonesia

Sejarah penggunaan medis opium dan morfin berawal ketika manusia


primitif saat mencoba berbagai tanaman untuk dipastikan dapat dimakan
menemukan beberapa dari yang dicoba dapat menghilangkan nyeri. Opium
berasal dari bahasa Yunani opos yang berarti jus. Efek farmakologi opium
didokumentasikan 500 tahun yang lalu dengan bangsa Sumeria menyebutkan
popy pada farmakopeia mereka dan menyebutnya HU GIL yang berarti
tanaman kesenangan. Ebers Papyrus, ditulis pada tahun 1552 SM, menjelaskan
formula Mesir kuno yang diantaranya mengandung opium. Scribonius Largus
dalam Compotiones Medicamentorum (40 M) menjelaskam metode mendapatkan
opium dan menyebutkan bahwa opium berasal dari kapsul bibit yang belum
matang dari tanaman popy. Sertuner mengisolasi unsur aktif dari opium pada
tahun 1805. Ia menyebutkan penemuannnya principium Somniferum. Pada tahun
1817 ia menamakan morfin mengacu pada Morpheus, dewa mimpi Yunani.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid yang berbeda.3 Penemuan alkaloid
lainnya menyusul yaitu kodein ditemukan tahun 1832, papaverin pada tahun 1848,
dan penemuan opioid endogen pada tahun 1970.3,4
Opioid merupakan obat pilihan untuk kebanyakan sindrom nyeri, tetapi obat
ini berkaitan dengan toleransi dan ketergantungan. Penelitian dilakukan untuk
menemukan opioid yang efektif yang tidak berpotensi terhadap ketergantungan. 4
Selain efek opioid yang menguntungkan, efek samping toksik dan potensi adiktif
obat ini telah lama diketahui. Analgesik opioid sintesis tanpa efek samping
dikembangkan, tetapi banyak opioid sintesis menyebabkan efek samping sama
seperti opioid alami. Penelitian mencari agonis opioid baru menghasilkan sintesis
antagonis opioid dan bentuk dengan gabungan sifat agonis/ antagonis yang
memperluas pilihan terapi dan sebagai alat penting mempelajari mekanisme aksi
opioid.3
Sejarah penggunaan opioid sebagai analgesia regional bermula pada tahun
1973, Pert dan Snyder, Terrenius, dan Simon, dkk secara terpisah, dan pada
kisaran waktu yang sama mengidentifikasikan reseptor opiat di SSP termasuk
korda spinalis. Pada tahun 1974-1975, Goldstein dan Hughes, dkk mengisolasikan
peptida mirip opioid endogen dari kelenjar talamus dan jaringan otak yang

Universitas Indonesia

disekresikan tubuh saat adanya njury atau stres fisik yang panjang. Pada tahun
1977, Yaksh dan Rudy mendemonstrasikan pemberian secara spinal narkotik dosis
rendah pada hewan yang tidak teranestesi menghasilkan analgesia selektif yang
kuat disebabkan aksi spinal langsung. Pada tahun 1979, Wang, dkk menangani
nyeri yang sulit diatasi yang disebabkan keganasan dengan morfin intratekal. Pada
tahun 1979, Behar, dkk dan Magora, dkk memperkenalkan pemberian morfin
epidural untuk meringankan nyeri akut dan kronis dan mendemonstrasikan adanya
morfin pada cairan serebrospinal setelah injeksi epidural. 5,6

II.

STRUKTUR KIMIA
Opiat yaitu setiap agen yang berasal dari opium (alkaloid). Opioid yaitu

setiap substansi baik endogen maupun eksogen dengan sifat seperti morfin.
Morfin adalah opioid prototipik dan merupakan standar yang menjadi
perbandingan semua opioid.4 Morfin dapat disintesa tetapi lebih mudah
didapatkan dari opium. 7 Morfin dan derivatnya berefek seperti substansi natural
yaitu peptida opioid endogen. 4
Alkaloid opium dapat dibagi menjadi 2 kelas kimia yaitu phenanthren dan
benzilisoquinolin. Alkaloid phenantren utama yang berasal dari opium yaitu
morfin, kodein, thebain. Alkaloid benzilisoquinalin utama yang berasal dari opium
memiliki aktivitas opioid yang kurang.7 Termasuk dalam golongan ini papaverin
(vasodilator, tidak bersifat analgesik) dan noskapin.4,7
Ketiga cincin nukleus phenantren mengandung 14 atom karbon. Cincin
piperidin keempat mengandung nitrogen amin tertier dan muncul pada setiap
agonis opioid. Pada PH 7,4, nitrogen amin tertier sangat terionisasi membuat
molekul ini larut air. Hubungan yang sangat erat muncul antara struktur
stereokimia dan potensi opioid, dengan isomer levorotatori merupakan bentuk
yang paling aktif.7
Morfin terdiri dari 5 sistem cincin. Struktur pentasiklik membentuk bentuk
T dengan cincin piperidin membentuk satu balok melintang dan cincin

Universitas Indonesia

aromatik terhidroksilasi terletak pada axis vertikal. Modifikasi pada kelompok


fungsional pada rangka menghasilkan opioid semisintetik, diasetilmorfin,
hidromorfon, oxymorphon, hydrocodone dan oxycodon. Opioid sintetik dibuat
dengan reduksi jumlah cincin yang menyatu pada struktur phenanthren.4

III.

KLASIFIKASI OPIOID
Terdapat 3 skema dalam klasifikasi opioid yaitu berdasarkan aksi intrinsik

pada reseptor, berdasarkan afinitas terhadap reseptor opioid, berdasarkan


bagaimana pembuatan opioid. Berdasarkan aksi intrinsik pada reseptor, opioid
diklasifikasikan sebagai agonis (morfin, kodein, metadon, fentanyl, dll), agonis
parsial

(buphrenorphin),

agonis/antagonis

(butorphanol,

nalbuphin,

pentazocin,dezocin) dan antagonis (naloxon, naltrexon, cholecystokinin).4


Berdasarkan afinitasnya terhadap reseptor

opioid yaitu opioid lemah

(kodein, propoxyphen) dan opioid kuat. Berdasarkan pembuatan yaitu opioid


alami (morfin, kodein), semisintetik, sintetik.4 Kelompok opioid sintetik yaitu
derivat

morfin

(levorphanol),

derivat

metadon,

derivat

benzomorphan

(pentazocin), derivat phenilpiperidin (meperidin, fentanyl). 7

IV.

OPIOID ENDOGEN
Adalah neurotransmiter yang terlibat pada modulasi stimulus nyeri di SSP,

sebagai ligan endogen natural bagi berbagai tipe reseptor opiat dan pada peran
biologisnya menyerupai efek morfin.5
Terdapat tiga famili peptida opioid yang berbeda secara genetik. (1) beta
endorphin yang hanya terbatas distribusinya pada korda spinalis; (2) enkefalin
yang merupakan pentapeptida yang teridentifikasi pertama kali di otak, tetapi juga
berlokasi di korda terutama di area lumbosakral; (3) kelompok dinorfin yang
banyak pada daerah servikal.5

V.

RESEPTOR OPIOID

Universitas Indonesia

Keberadaan reseptor opioid pertama kali dihipotesakan pada tahun 1954.


Menggunakan studi ikatan reseptor dan kloning, Martin dkk menunjukan adanya
tiga tipe reseptor utama dan penamaannya berdasarkan obat yang digunakan pada
studinya yaitu atau reseptor morfin, atau reseptor SKF-10047 dan atau
reseptor ketocyclazocine. Adanya reseptor (deferens) diperkenalkan oleh Lord,
dkk. Reseptor N/OFQ (ORL-1/ opioid receptor-like-1) dikloning pada tahun 1994.
Digambarkan pula subtipe reseptor yaitu ( 1,2), (1,2), dan reseptor
(1,2,3).4
Reseptor opioid terdistribusi di sistem saraf pusat (SSP), dan perifer.
Reseptor terdistribusi sepanjang neuroaksis dengan kepadatan tertinggi di
nukleus kaudatus. Reseptor ini juga terdapat pada neokorteks, thalamus, nukleus
akumbens, hipokampus, amigdala, dan lapisan superfisial kornu dorsalis korda
spinalis. Tempat ikatan ligan reseptor spinal terutama berlokasi di presinap dari
ujung/ akhir nosiseptor aferen primer. Reseptor terutama dikenal dengan sifat
analgesik dan adiksi obat opioid. Morfin menghasilkan ikatan yang lebih kuat 50
kali terhadap reseptor dibandingkan dengan . Reseptor mengontrol berbagai
fungsi fisiologis termasuk nosisepsi, respirasi, kardiovaskular, transit usus,
feeding , belajar dan memori, aktivitas lokomotor, termoregulasi, sekresi hormon,
fungsi imun.4
Reseptor lebih terbatas distribusinya di SSP, yaitu pada bulbus olfaktori,
kaudatus, putamen, neokorteks, nukleus akumbens, thalamus, hipotalamus, batang
otak. Reseptor ini terlibat dalam analgesia, integrasi motorik, fungsi kognitif,
perilaku pengendalian mood, motilitas gastrointestinal, olfaksi dan respirasi.
Aktivasi reseptor menghasilkan analgesia spinal tanpa disertai depresi nafas.4
Reseptor meliputi regulasi nosisepsi, diuresis, feeding, fungsi imun, fungsi
neuroendokrin, dan kemungkinan termoregulasi. Diuresis akibat inhibisi
pelepasan hormon antidiuretik. Pemberian agonis pada korda spinalis
menghasilkan fasilitasi dan inhibisi respon nosiseptif yang dipicu serabut C.
Aktivasi reseptor menyebabkan analgesia spinal, disforia, sedasi tanpa disertai
depresi nafas.4

Universitas Indonesia

Tabel 2.1 Reseptor Opioid dan Efek Klinisnya 4


Reseptor
Mu
Mu 1
Mu 2

Efek
Analgesia supraspinal
Analgesia spinal, depresi nafas, melambatkan transit gaster,
Pruritus, nausea, vomitus, kebanyakan efek kardiovaskular,
Ketergantungan fisik, euphoria

Kappa
K1
K2
K3
Delta
Sigma

Analgesia spinal, diuresis, sedasi, miosis


Potensi lemah untuk ketergantungan
Analgesia supraspinal
Modulasi aktifitas reseptor mu, analgesia spinal
Tidak bersifat analgesia, disforia, hipertonia, stimulasi
respirasi dan vasomotor, midriasis
__________________________________________________________________

Gambar 2.1. Reseptor opioid. Reseptor opioid ditemukan di membran sel pada
sistem saraf (neuron) dan dengan distribusi unik dan memiliki efek yang berbeda.8

Universitas Indonesia

VI.

MEKANISME AKSI
Pemberian opioid secara neuroaksial telah banyak dilakukan baik secara

intratekal atau epidural. Opioid lipofilik (paling umum fentanyl) diberikan sebagai
tambahan pada anestetik lokal untuk menambah efikasi anestesia spinal,
sedangkan opioid hidrofilik (paling umum morfin) diberikan pada ruang intratekal
atau epidural untuk memberikan analgesia postoperatif. Opioid umum diberikan
pada ruang epidural sebagai agen tunggal untuk analgesia postoperatif atau untuk
menambah efikasi infusan anestetik lokal epidural kontinus sebagai usaha untuk
mengurangi kebutuhan anestetik lokal dan efek sampingnya. Alasan pemberian
opioid pada anestesia neuroaksial yaitu untuk menghasilkan analgesia yang
dimediasi selektif secara spinal dengan berinteraksinya dengan reseptor opioid di
kornu dorsalis korda spinalis, dan selanjutnya meminimalisasi efek supraspinal
yang dibatasi dosis ( misal depresi pernapasan, sedasi, dan nausea) yang terjadi
ketika opioid diberikan secara sistemik mencapai tempat reseptor opioid di batang
otak.9

VI. 1 SPINAL OPIOID


Secara spesifik reseptor opioid terletak terutama di dalam subtansia
grisea dari substansia gelatinosa. Opioid intratekal secara selektif memblok
transmisi stimulus nosiseptif aferen dari serabut A dan C dengan berikatan
dengan reseptor opioid presinap dan postsinap tanpa mempengaruhi aksonakson akar dorsalis ataupun somatosensory evoked potential. Pada presinap,
memberikan efek pelepasan adenosine spinal yang merupakan mediator
penting spesifik untuk analgesia yang dimediasi secara spinal. Pada ikatan
di presinap juga terjadi penghambatan influx Ca2+ dan penghambatan
pelepasan glutamate dan neuropeptida (seperti substansi P) dari akhir aferen
primer.

Pada

postsinap,

opioid

meningkatkan

konduktansi

hiperpolarisasi keatas saraf-saraf second order tanpa efek

K+,
pada

somatosensory atau motor evoked potential.9,10

Universitas Indonesia

a.

b.

Gambar 2.2.a. Kornu dorsalis. Hubungan antara serat sensoris aferen dan neuron
korda spinalis ditunjukan dalam kornu dorsalis.
Gambar 2.2.b. Reseptor opioid. Daerah di korda spinalis dan otak dimana
reseptor opioid tipe ditemukan meliputi substansia gelatinosa, formasi retikular,
hipotalamus, thalamus dan korteks. Daerah ini tumpang tindih dengan daerah
tempat persepsi nyeri. Daerah tempat persepsi nyeri ditunjukan dengan warna
abu-abu, sedangkan reseptor opioid ditunjukan dengan warna biru. 11

Kontras dengan anestesi lokal pada spinal yang memblok konduksi


nyeri pada membran akson serabut dan jalur saraf, opioid untuk efektif
harus mencapai reseptor spesifiknya yang berlokasi di saraf-saraf korda
spinalis. Aksi spinal opioid sangat berkaitan dengan konsep interaksi obatreseptor dan anatomofisiologi berbagai sistem reseptor opiat dan populasi
peptid endogen.5
Aksi spinal opioid : 5

Presinaptik: mengontrol ambang tinggi aferen primer dengan

memblok pelepasan transmiter nyeri


Postsinap: inhibisi eksitasi sel neuron nosiseptif
Sistem penghambatan nyeri opioid dan non opioid menurun: aktifasi
opioid, serotoninergik, nordrenergik dan neuron GABA.

Gambar 2.3. Aksi opioid pada korda spinalis.12

Universitas Indonesia

10

VI.2 EPIDURAL OPIOID


Terdapat 2 mekanisme bagaimana opioid yang diberikan secara
epidural dapat menghasilkan analgesia:10

Analgesia supraspinal
Analgesia spinal
Analgesia supraspinal dimediasi oleh pengambilan sistemik opioid

yang diberikan epidural dan selanjutnya terjadi redistribusi ke batang otak.


Redistribusi ke batang otak dapat juga melalui CSS.6,10

Gambar 2.4. Mekanisme aksi analgesi opiod.13

Universitas Indonesia

11

Analgesia spinal didapatkan melalui difusi meningen spinal kedalam


cairan serebrospinal (CSS). Begitu terdapat didalam CSS opioid berinteraksi
dengan reseptor opioid spinal yang berlokasi di Lamina II kornu dorsalis
korda spinalis dan menghasilkan antinosisepsi melalui reduksi pelepasan
neurotransmitter aferen presinap dan hiperpolarisasi neuron-neuron kornu
dorsalis postsinap.6,10

VI.3 PERINEURAL OPIOID


Terdapat sedikit bukti akan keuntungan penambahan opioid pada
anestetik lokal pada blok saraf perifer. Saat inflamasi, reseptor opioid
terdapat pada serabut saraf perifer dan sel imun. Opioid endogen dilepaskan
dari sel ini dan mengimbangi peningkatan status nosiseptif yang disebabkan
inflamasi. Reseptor opioid yang ditemukan pada serabut aferen primer
berasal dari ganglion akar dorsalis ke tempat inflamasi. Ketika reseptor
opioid melakukan transport di dalam akson, reseptor tersebut tidak mudah
dicapai oleh agonis opioid.1
Studi yang dilakukan Christoph Stein, dkk di Berlin menunjukan
kemampuan sistem imun untuk menghantarkan opioid endogen dan
kemampuan inflamasi menstimulasi pergerakan reseptor opioid ke tempat
injury yang memungkinkan terjadinya antinosiseptif. Ternyata perubahan
ini tidak terjadi segera setelah injury dan dapat mencapai hingga 96
jam.1,3

VII.

FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah studi mengenai nasib obat dalam tubuh (apa yang

tubuh lakukan terhadap obat), termasuk absorpsi, distribusi, biotransformasi/


metabolism, eliminasi. Golongan opioid memiliki farmakodinamik yang mirip
tetapi sifat kinetik yang sangat berbeda.4

Universitas Indonesia

12

Absorpsi
Absorbsi mengacu pada kecepatan dan jumlah obat yang dipindahkan dari
tempat pemberian. Proses ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran molekul obat,
konstanta ionisasi, kelarutan dalam lemak, dan sifat psikokimia membran yang
harus dilewati.4
Pada anestesia regional pemberian opioid melalui intratekal atau epidural.
Pemberian opioid melalui jalur ini memberikan keuntungan berupa dihasilkannya
analgesia dengan dosis yang relatif rendah. 4 Sebagai perbandingan, morfin yang
diberikan secara epidural yaitu sebesar 10% dan intratekal sebesar 1% dari dosis
parenteral.17
Mekanisme analgesia yang dihasilkan morfin secara epidural adalah
bimodal dan sinergistik. Saat 20 menit pertama, morfin yang diabsorbsi melalui
pembuluh darah mengaktivasi sistem penghambatan menurun kemudian begitu
konsentrasi morfin dalam cairan serebrospinal meningkat terjadi pengaktivan
reseptor korda spinalis.4
Distribusi
Agar opioid yang diberikan lewat epidural menghasilkan analgesia spinal,
opioid harus keluar dari rongga epidural untuk mencapai tempat aksinya di kornu
dorsalis korda spinalis. Dua struktur penting yang menentukan distribusi dari
rongga epidural ke intratekal yaitu lemak epidural dan pleksus venosus epidural.
Opioid sangat lipofilik (fentanyl dan sulfentanil) sangat terdistribusi di dalam
lemak epidural yang menyebabkan tidak tersedia untuk terdistribusi ke rongga
intratekal. Lapisan dalam duramater mengandung jaringan kaya kapiler yang
mengalir ke pleksus venosus epidural. Obat yang berdifusi kedalam jaringan
epidural (misal lemak epidural dan duramater) berpotensi terabsorbsi dan
dibersihkan dari rongga epidural melalui kapiler menuju pleksus venosus
epidural.9
Suatu studi menunjukan adanya hubungan linier yang kuat antara
peningkatan kelarutan dalam lemak dengan mean residence time di rongga

Universitas Indonesia

13

epidural dan terminal elimination half life. Perbedaan dalam kelarutan dalam
lemak ditentukan oleh perbedaan dalam seberapa besar opioid terpecah/ terpartisi
di dalam lemak epidural. Konsentrasi opioid di lemak epidural menunjukan
hubungan linier dengan kelarutan dalam lemak. Fentanyl dan sulfentanil lebih
lama terdapat dalam rongga epidural karena peningkatan proses sekuestrasi di
dalam lemak epidural menyebabkan distribusi kembali yang lama ke rongga
epidural menghasilkan peningkatan mean residence di rongga epidural dan
lipofilik opioid memiliki konsetrasi yang rendah di CSS.9
Pada pemberian spinal besarnya ambilan opioid intratekal dari CSS ke
dalam jaringan neuronal korda spinalis dan batang otak juga ditentukan terutama
oleh kelarutan dalam lipid. Korda spinalis terdiri dari substansia grisea yang
dikelilingi substansia alba. Substansia alba terutama terdiri dari membran akson
yang dilapisi lapisan-lapisan myelin kaya lemak. Sifat psikokimia berbagai opioid
menentukan bioavailibilitas untuk mencapai reseptor opioid. Opioid lipofilik akan
lebih terdistribusi di dalam substansia alba. Studi pada binatang dengan radiolabel
terhadap morfin, dihidromorfon dan fentanyl yang diberikan ke CSS ventrikel
lateral kelinci menunjukan morfin dan hidromorfon berpenetrasi lebih dalam pada
jaringan SSP dibandingkan fentanyl. Lebih penting lagi, morfin dan hidromorfon
lebih terdistribusi di dalam substansia grisea sedangkan fentanyl lebih
terakumulasi di substansia alba.9
Volume of distribution di korda spinalis (Vcord) mewakili opioid di ruang
ekstraselular yang tidak terikat, bebas berdifusi. Vcord meningkat pada opioid yang
tidak spesifik terikat dengan kompartemen jaringan (myelin) karena opioid yang
terikat tidak tersedia untuk reseptor opiod. Karena kelarutan dalam lemak
merupakan faktor yang mempengaruhi seberapa besarnya terjadi ikatan sehingga
Vcord berbanding lurus dengan koefisien partitisi dengan morfin memiliki Vcord
paling kecil dan sulfentanil memiliki Vcord paling besar. Opioid lipofilik yang
diberikan secara intratekal ataupun epidural menunjukan terbatasnya aksi spinal
selektif.9
Tabel 2. 2. Sifat Psikokimia Opioid untuk Anestesia Spinal dan Epidural 9
%Ikatan protein

pK

%Terionisasi (pada pH 7,4)

Koefision Partitisi

Universitas Indonesia

14

Morfin
Alfentanil
Fentanyl
Sulfentanil

35
92
84
93

7.9
6.5
8.4
8

(Kelarutan dalam lemak)

76
11
91
80

1.4
128
8600
1778

Opioid hidrofilik yang diberikan secara epidural, setelah terjadi penetrasi


membran duramater dan memasuki CSS akan bertahan di CSS untuk
menghasilkan analgesia spinal dan menyebar ke arah rostal di dalam CSS untuk
beraksi di batang otak. Opioid yang diberikan pada rongga epidural akan
mengalami difusi ke dalam jaringan sekitarnya termasuk lemak epidural dan venavena. Opioid yang masuk ke dalam lemak tidak lagi dapat berikatan dengan
reseptor opioid sehingga tidak dapat memberikan efek analgesia.10
Setelah masuk sirkulasi, opioid terdistribusi di dalam tubuh. Distribusi
terjadi dalam 2 fase: fase awal dan fase kedua. Pada fase awal obat terdistribusi ke
jaringan kaya perfusi seperti jantung, hepar, ginjal, otak. Pada fase kedua terjadi
difusi lambat ke daerah dengan perfusi yang lebih kurang seperti otot, lemak,
rongga perut, kulit.4
Volume of distribution adalah jumlah obat didistribusikan di dalam tubuh
(perhitungannya adalah jumlah obat di plasma dibagi oleh konsentrasi plasma).
Distribusi menentukan mula kerja. Obat yang mudah berdifusi yang aksinya pada
organ yang mudah terdifusi akan menghasilkan mula kerja yang sangat cepat.
Obat tidak terionisasi dan tidak terikat adalah mudah terdifusi dan obat ini
meninggalkan sirkulasi untuk terdistribusi.4
Obat sangat terikat protein adalah terdifusi lemah dan memiliki volume of
distribution yang kecil. Obat tidak larut lemak lemah terdifusi dan juga memiliki
volume of distribution yang kecil, dan sebaliknya. Pengukuran kekuatan asam
(pKa) menentukan sifat terionisasi atau tidak terionisasi pada pH tertentu. Potensi
opioid tergantung sifatnya yang tidak terikat, tidak terionisasi dari opioid yang
larut lemak dalam berdifusi melewati membran untuk mencapai reseptor. Hal ini
menjelaskan potensi yang lebih besar dari fentanyl dan sulfentanil dibandingkan
dengan morfin.4

Universitas Indonesia

15

Tabel 2.3. Perbandingan potensi Opioid14

Agonis opioid dan perbandingan potensinya


Obat

Potensi Relatif

Morfin

Meperidin

0.1

Fentanyl

75-125

Sufentanil

500-1000

Alfentanil

10-25

Remifentanil

250

Potensi atau efek analgesia dapat dikoreksi dengan mengatur dosis akhir.
Efek klinis opioid sangat lipofilik ditentukan oleh volume of distribution
(koefisien partisi jaringan:darah). Semakin besar volume of distribution, semakin
kecil konsentrasi obat dalam plasma.4

Metabolisme

INJECTION INFUSION

Opioid terkonjugasi di hepar dengan asam glukoronat untuk membentuk


glukoronida opioid yang akan diekskresikan lewat ginjal. Beberapa opioid alami
dan semisintetik dimetabolisme oleh sitokrom P 450 . Derivat phenilpiperidin
epiduralmetabolisme
fat epiduraloksidatif.
space
meninges
CSFjalurcerebral
mengalami
Demetilasi Nspinal
sebuah
minor CSF
untuk

metabolism opioid.4
Ekskresi
epidural venous drainage

spinal cord
brain
Ginjal membuang kebanyakan metabolit polar dan sebagian kecil

diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah. Konjugat glukoronid juga


diekskresikan lewat empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik.4
systemic distribution compartment
systemic distribution compartment
central compartment

ELIMINATION

Universitas Indonesia

16

Gambar 6. Model farmakokinetik pemberian obat spinal.15


VIII. FARMAKODINAMIK
Sifat psikokimia berbagai opioid tidak hanya menentukan mekanisme
primer (spinal Vs supraspinal) tetapi juga potensinya, mula kerja, durasi kerja dan
efek samping. Perbedaan utama yang mempengaruhi potensi, lama kerja analgesia
dan efek samping ditentukan oleh kecepatan redistribusi ke tempat opioid
dibatang otak dan mekanisme suatu opioid mencapai tempat di batang otak. 9
ANALGESIA
Efek analgesi opioid menyerupai aksi opioid endogen. Opioid yang sering
digunakan menghasilkan analgesia dengan berikatan dengan reseptor .
Penggunaan klinis agonis terbatas karena tidak dapat menembus sawar darah
otak. Efek analgesi morfin akibat dihambatnya transmisi keatas informasi
nosiseptif

dari

kornu

dorsalis

korda

spinalis

dan

diaktifkannya

jalur

Universitas Indonesia

17

penghambatan kebawah. Aksi opioid pada sistem limbik mengubah respon


emosional terhadap nyeri sehingga membuat nyeri tersebut dapat ditoleransi.
Agonis opioid memiliki efek analgesik perifer.4
Beberapa

opioid

(meperidin,

metadon,

ketobemidon

dan

dekstropropoksifen) memiliki efek antihiperalgesik dan antialodinik dengan


sifatnya sebagai antagonis N-metil-D-aspartat (NMDA). Studi preklinik
menunjukan antagonis reseptor NMDA mencegah munculnya toleransi terhadap
morfin.4
Analgesia opioid regional adalah kondisi yang didapatkan ketika sejumlah
kecil narkotik eksogen atau ligan opioid endogen diberikan kedalam ruang
intratekal atau epidural. Efeknya reversibel dan langsung ditujukan pada neuronneuron korda spinalis di Lamina Rexe I-II dan V kornu dorsalis yang diketahui
kaya akan tempat ikatan opioid. Pada nyeri kanker, pemberian opioid secara
spinal dapat sebagai penanganan yang agresif pada pain emergencies yang
tidak dapat dikontrol secara cepat dengan modalitas penanganan nyeri kanker
lainnya.5,6
Profil analgesi opioid yang diberikan secara neuroaksial terutama tergantung
pada derajat lipofilisitas dan hidrofilisitas agen opioid. Mula kerja analgesia
berkaitan dengan lipofilisitas. Faktor yang menentukan durasi aksi opioid spinal
yaitu lipofilisitas, afinitas terhadap reseptor, aktivitas agonis instrinstik opioid,
kecepatan terlepasnya dari tempat ikatan di korda spinalis, dan berpindahnya
opioid melalui sirkulasi di korda spinalis. Opioid hidrofilik seperti morfin dan
hidromorfon menghasilkan durasi analgesi yang lebih panjang dibandingkan
dengan opioid lipofilik seperti fentanyl atau sulfentanil. Injeksi intratekal tungal
opioid hidrofilik seperti morfin memberikan analgesia postoperatif selama 12-18
jam. 4
Opioid epidural menghasilkan analgesia tidak didominasi melalui
mekanisme spinal. Diduga opioid lipofilik (terutama jika diberikan secara
kontinus infusan) akan menghasilkan analgesia terutama oleh pengambilan
sistemik dan redistribusi opioid lipofilik ke reseptor opioid di batang otak.

Universitas Indonesia

18

Sedangkan jelas bahwa tempat utama aksi analgesik opioid hirofilik yaitu secara
selektif pada spinal.4
Karena dosis yang lebih tinggi diperlukan pada pemberian opioid epidural
untuk menghasilkan analgesia, terjadi efek samping sistemik yang sedikit lebih
besar pada rute pemberian ini. Dosis equianalgesic opioid antara epidural dan
spinal yaitu 10:1. 6
DEPRESI NAFAS
Semua agonis menghasilkan depresi nafas tergantung dosis. Mekanisme
terjadinya depresi nafas dengan menurunkan respon pusat pernafasan di batang
otak terhadap karbondioksida. . Terjadi pula depresi pusat nafas di pons dan
medulla yang terlibat dalam regulasi irama respirasi. Terdapat peningkatan CO2
sisa dan pergeseran ke kanan kurva respon CO2.4
Karakteristik depresi nafas yang disebabkan

agonis reseptor yaitu

menurunnya laju nafas. Nyeri merupakan antagonis yang efektif terhadap efek
depresi nafas akibat opioid. Agonis reseptor menghasilkan efek depresi nafas
yang lebih ringan meskipun diberikan dalam dosis besar. Opioid antagonis dan
agonis opioid parsial digunakan untuk mengembalikan efek depresi nafas.4
Pada pemberian opioid intratekal

dan epidural, risiko depresi nafas

tergantung dosis.9,10 Depresi nafas juga terjadi meskipun dengan dosis yang lebih
kecil pada kondisi yang jarang. Insidens depresi nafas pada opioid kurang dari 1%
tergantung rute pemberian obat. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid
epidural dilaporkan 0,1% - 0,9%. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid
epidural (jika dosis yang digunakan tepat) baik injeksi tunggal ataupun infusan
kontinus tidak lebih tinggi dibanding yang terjadi pada pemberian opioid
sistemik.10
Obat lipofilik seperti fentanyl tidak terlalu menyebar setelah pemberian
intratekal, tetapi obat hidrofilik seperti morfin dapat menyebar kearah rostral dan
dapat menyebabkan depresi nafas tertunda. Hal ini juga terjadi setelah pemberian
epidural.4 Pada pemberian epidural, opioid lipofilik relatif cepat pembersihannya

Universitas Indonesia

19

di cairan serebrospinal (CSS) sehingga mengurangi berkembangnya depresi nafas


tertunda.10
Lamanya waktu menetap di CSS merupakan mekanisme penyebaran sefalad
ke batang otak melalui migrasi CSS dan risiko depresi nafas tertunda. 9 Faktorfaktor yang mengkontribusi terjadinya terjadinya depresi nafas setelah pemberian
opioid intratekal: keadaan opioid-nave, pemberian bersama dengan opioid atau
sedatif sistemik, meningkatnya umur, obstructive sleep apnea. Faktor yang
meningkatkan risiko terjadi depresi nafas pada pemberian opioid epidural yaitu
pembedahan toraks, adanya komorbid, meningkatnya umur, keadaan opioid-nave,
dan pemberian bersama dengan opioid atau sedatif sistemik. 10
PRURITUS
Pruritus akibat pemberian opioid intratekal dan epidural akibat migrasi ke
sefalad dari obat dan interaksinya dengan reseptor opioid di nukleus trigeminal
yang berlokasi di superfisial dari medulla, berkaitan dengan aktivasi itchcenter. Gatal tidak berkaitan dengan histamin ataupun absorpsi sistemik obat.
Pruritus yang dihasilkan tidak berkaitan dengan pelepasan histamin perifer.
Kejadiannya pada pemberian opioid intratekal dilaporkan dari berbagai tempat
berkisar dari 20% - 100% pada berbagai studi dan tergantung dosis sedangkan
pada pemberian opioid epidural sebesar 60 % dibandingkan dengan pemberian
opioid secara sistemik yaitu 15% - 18%. Tidak jelas apakah pruritus akibat
pemberian opioid epidural tergantung dosis.10
MUAL MUNTAH
Kejadian mual terjadi pada kisaran 20% - 40 % pada pasien yang
mendapatkan opioid intratekal, 20%-50% setelah pemberian dosis tunggal opioid
epidural, dan 45%- 80% pada pemberian opioid epidural infusan kontinus.
Terjadinya mual muntah setelah pemberian opioid epidural tergantung dosis.10
Mual terjadi biasanya dalam waktu 4 jam setelah injeksi intratekal.
Mekanisme terjadinya mual akibat migrasi obat ke sefalad

dan interaksinya

Universitas Indonesia

20

dengan reseptor opioid di area postrema dan chemotactic trigger zone pada
medulla. 10
Terdapat pula komponen vestibular untuk terjadinya nausea. Terhambatnya
transit gaster juga berpengaruh terhadap terjadinya mual akibat opioid.4
RETENSI URIN
Kejadian retensi urin pada intratekal opioid lebih sering terjadi
dibandingkan intravena opioid pada dosis yang sama. Retensi urin akibat opioid
intratekal tidak tergantung dosis, dan lebih sering kejadiannya pada penggunaan
morfin. Mekanisme terjadinya berkaitan dengan inhibisi persarafan sistem saraf
parasimpatik sakralis yang diinduksi oleh reseptor opioid sehingga menghasilkan
relaksasi detrusor dan peningkatan kapasitas buli. Pada opioid epidural, kejadian
retensi urin akibat aktivasi reseptor opioid spinal dan terjadi mekanisme yang
sama seperti yang terjadi pada opioid intratekal. Kejadiannya pada opioid epidural
70%-80% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan opioid sistemik yaitu 18% dan
tampaknya kejadiannya tidak tergantung dosis.10

SEDASI
Merupakan efek samping yang terjadi tergantung dosis pada semua opioid
yang diberikan intratekal. Tidak ada data mengenai perbedaan tingkat sedasi
akibat pemberian opioid dari rute intratekal, epidural, ataupun intravena, namun
tampaknya kejadiannya umumnya berkaitan dengan rute pemberian. Insiden
sedasi lebih tinggi pada sulfentanil dibandingkan opioid lainnya.10
PERUBAHAN MOOD
Opioid menghasilkan euforia, damai, lega/puas. Euforia dimediasi reseptor
. Aktifasi reseptor menyebabkan disforia. Jalur dopaminergik terutama yang
melibatkan nukleus akumbens berperan pada efek obat yang memberikan rasa
nyaman. Efek agonis opioid pada ikatannya dengan dan member ketenangan
sedangkan pada ikatannya dengan sebaliknya. Konsentrasi tinggi reseptor opioid

Universitas Indonesia

21

dan saraf noradrenergik yang terdapat pada lokus ceruleus berperan pada perasaan
panik, waspada, takut dan cemas. Opioid endogen maupun eksogen menghambat
aktifitas neural di lokus ceruleus. Pada dosis tinggi opioid menyebakan tidur
terlihat pada pergantian gelombang cepat menjadi gelombang lambat pada
elektroensefalogram.4
ANTITUSIF
Efek ini akibat depresi pusat batuk di medulla.4
MIOSIS
Miosis akibat stimulasi nucleus Edinger-Westphal dari saraf okulomotor.4
KONVULSI
Konvulsi terjadi karena stimulasi saraf-saraf terutama di sel piramidal
hipokampus. Metabolit morfin -3- glukoronida berperan pada munculnya
gambaran spiking dan epileptiform pada EEG. Normeperidin (metabolit
meperidin)

dan

norpropoxyphene

(metabolit

propoxyphene)

diketahui

menyebabkan eksitasi SSP.4


KEKAKUAN OTOT
Diduga mekanisme terjadinya kekakuan otot terjadi karena mekanisme
sentral yang berlokasi di striatum dimana diketahui kaya akan tempat ikatan
opioid. Dosis tinggi dan injeksi cepat opioid intravena terkenal dapat
menyebabkan kekakuan otot terutama pada populasi tua (>60 tahun). Kekakuan
otot striatal digambarkan sebagai peningkatan tonus otot yang semakin
berkembang. Hal ini terutama melibatkan otot toraks, abomen sehingga disebut
wooden chest yang menggangu ventilasi.4
SISTEM KARDIOVASKULAR
Opioid

menyebabkan

bradikardia

yang

tergantung

dosis

dengan

meningkatkan stimulasi vagal yang dimediasi secara sentral. Meperidine


menghasilkan takikardia karena strukturnya yang mirip dengan atropine. Morfin

Universitas Indonesia

22

dan beberapa opioid lainnya (meperidin dan kodein) memprovokasi pelepasan


histamin yang menjadi penyebab utama dalam terjadinya hipotensi. Nalokson
tidak menghambat pelepasan histamin yang disebabkan opioid.4
TRAKTUS GASTROINTESTINAL
Meskipun opioid dalam dosis kecil dapat menurunkan motilitas gaster dan
memperpanjang waktu pengosongan gaster. Efek gastrointestinal opioid terutama
dimediasi oleh reseptor dan di usus. Opioid menyebabkan kontriksi pada
sphincter oddi dan meningkatkan tekanan duktus biliaris komunis.4
Depresi nafas tertunda diduga disebabkan sirkulasi enteroenterosistemik
opioid. Puncak kedua dapat dilihat pada grafik konsentrasi-waktu dalam plasma
pada studi farmakokinetik opioid yang lebih larut lemak. Hal ini diduga karena
absorbsi opioid pertama dimurnikan oleh asam lambung kemudian diabsorbsi
dari usus halus.4
KULIT
Morfin dalam dosis terapetik menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit.
Hal ini merupakan bagian pelepasan histamin dan penurunan resistensi vaskular
perifer. Kulit daerah muka, leher, dan dada bagian atas menjadi kemerahan.
Morfin dan meperidin merangsang pelepasan histamin yang menyebabkan
urtikaria di tempat penyuntikannya. Ini tidak diatasi dengan nalokson.
Oxymorphone, metadon, fentanyl dan sulfentanil tidak berkaitan dengan plepasan
histamin.4
Pruritus efek samping penggunaan opioid dan paling sering pada
penggunaan opioid intratekal. Efek ini muncul dimediasi oleh neuron kornu
dorsalis dan diatasi oleh nalokson.4
SISTEM IMUN
Morfin mengubah sejumlah sel-sel imunokompeten matang yang terlibat
dalam respon imun dimediasi-sel dan humoral. Individu yang terpapar terapi
opioid untuk manajemen nyeri atau mereka dengan pemeliharaan dengan metadon

Universitas Indonesia

23

tidak menunjukan penekanan sistem imun. Pada pencandu heroin terjadi


perubahan dan gangguan sistem imun dan menunjukan prevalensi penyakit infeksi
yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak tercandu.4
TOLERANSI
Merupakan fenomena dimana paparan terhadap obat menyebabkan
pengurangan efek atau kebutuhan akan dosis obat yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek. Toleransi dapat alami (genetik) atau didapat. Terdapat 3
tipe toleransi yang didapat, yaitu farmakokinetik, farmakodinamik dan learned.
Toleransi farmakokinetik akibat perubahan pada metabolisme dan distribusi obat
setelah pemberian yang berulang-ulang (misal induksi enzim). Toleransi
farmakodinamik berasal dari perubahan adaptif (misal perubahan pada densitas
reseptor yang diinduksi obat). Toleransi learned adalah hasil mekanisme
kompensasi yang dipelajari (learned).4
Toleransi jangka pendek kemungkinan melibatkan fosforilasi reseptor dan
melalui protein kinase C. Toleransi jangka panjang akibat peningkatan aktifitas
adenilat siklase, suatu counter regulation untuk menurunkan kadar cyclic AMP
yang terlihat setelah pemberian opioid akut. Pada toleransi opioid decoupling
fungsional dari reseptor opioid akibat mekanisme seluler yang diatur protein G
terjadi sehingga menyebabkan regulasi menurun (down regulation) opioid
endogen dan/atau reseptor opioid dan perubahan tingkah laku. Antagonis NMDA
dapat memblok toleransi antinosiseptif terhadap morfin 4
ADIKSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK
World health Organization mendefinisikan adiksi sebagai state, psychic
and sometimes also physical, resulting from the interactions between a living
organism and a drug, characterized by a behavioral and other responses that
always include a compulsion to take the drug on continuous or periodic basis in
order to experience its psychic effects, and sometimes to avoid the discomfort of
its absence. Ketergantungan fisik didefinisikan sebagai potensi untuk terjadinya
sindrom penghentian obat (abstinence) atau lepas obat (withdrawl) setelah

Universitas Indonesia

24

pengurangan, penghentian dosis obat mendadak atau pemberian obat antagonis


atau agonis-antagonis.4
Sistem dopamin mesolimbik berperan pada efek rewarddari obat yang
menyebabkan penyalahgunaan seperti opioid dan opioid endogen berperan pada
mekanisme adaptif yang menyertai. Agonis opioid pada reseptor dan bersifat
rewarding (menyenangkan), sedangkan agonis pada reseptor aversive
(efek tidak mengenakan). Sistem mesolimbik dopaminergik yang berasal dari area
tegmental ventral midbrain memberikan efek menyenangkan pada penggunaan
opioid. Pelepasan dopamin di nukleus akumbens berasal dari kontrol tonik sistem
opioid yang berlawanan yaitu aktivitas reseptor (dan kemungkinan reseptor )
yang berasal dari area tegmental ventral yang meningkatkan dan aktivitas reseptor
(berasal dari nukleus akumbens) yang menurunkan aktivitas basal sistem
reward mesolimbik.4

IX.

AGEN OPIOID YANG DIGUNAKAN SECARA NEUROAKSIAL


Opioid yang boleh diberikan secara neuroaksial harus bebas bahan

pengawet. Opioid lain selain morfin dapat digunakan intratekal atau epidural yaitu
fentanyl, sulfentanil, meperidin, metadon, hydromorfon. 5,10 Remifentanil tidak
dapat diberikan intratekal karena disiapkannya dengan glisin dimana dapat
menyebabkan paralisis motor temporer.4 Meperidin merupakan satu-satunya
opioid yang memiliki sifat anestetik lokal pada dosis klinis. Meperidin tidak
seperti opioid lain dapat digunakan tunggal untuk menghasilkan analgesia pada
pembedahan.18
Keuntungan opioid intratekal terletak pada tidak adanya blok simpatik dan
hipotensi postural, cenderung lebih mudahnya ambulasi pada pasien, dan

Universitas Indonesia

25

terhindarnya kolaps kardiovaskular atau konvulsi dimana hal ini merupakan


komplikasi mayor blok anestesi lokal. Pemberian opioid spinal juga dapat
memberikan efek analgesia, sama seperti obat anestesi lokal, tanpa menggangu
fungsi motorik.6,10,16
Analgesia pada neuroaksial opioid tergantung dosis dan spesifik untuk nyeri
viseral dibandingkan somatik.7 Meskipun opioid intraspinal tunggal dapat
menghasilkan analgesia yang baik, banyak pasien mengalami efek samping yang
tergantung dosis yang signifikan, terutama dengan opioid larut lemak. Ketika
larutan anestesi lokal dikombinasikan dengan opioid terjadi sinergi yang
signifikan.16
Efek samping pada neuroaksial opioid dapat dimediasi secara sistemik atau
sentral. Karena ruang epidural sangat kaya vaskularisasi, setiap obat yang melalui
rute ini memasuki sirkulasi sitemik. Efek samping paling sering pada opioid
neuroaksial berupa pruritus, nausea, vomitus, somnolen, retensi urin, dan depresi
nafas. Efek samping sistemik pada pemberian opioid epidural pada dosis yang
cukup besar sama seperti pemberian intravena.4,6

A. MORFIN

Gambar 2.6. struktur kimia morfin

Universitas Indonesia

26

Merupakan agonis reseptor . Bentuk levo isomer merupakan bentuk


yang aktif secara dan farmakologi. Pka morfin pada pH fisiologis 7,9.
Relatif larut air dan sangat tidak larut dalam lemak karena adanya kelompok
OH- hidrofilik. Kelemahan larut dalam lemak membatasi perpindahannya
menembus membran dan merupakan hambatan untuk memasuki sistem
saraf pusat.4
FARMAKOKINETIK
Morfin terikat dengan protein di dalam plasma sebesar 20%-40%,
yaitu pada albumin dan gamma globulin. Elimination half-life rata-rata
berkisar dari 1,4 hingga 3,4 jam. Volume of distribution rata-rata berkisar
dari 2,1 hingga 4,0 L/kg.4 Ini dipengaruhi status hemodinamik pasien,
perubahan pada ikatan ikatan protein plasma, dan variasi aliran darah
jaringan. Morfin merupakan hidofilik opioid dengan volume of distribution
yang kecil dan clearance yang lambat dari korda spinalis.4,10
Berdasarkan studi manusia terminal elimination half life pada
pemberian morfin intratekal dilaporkan 90 menit dengan kisaran 60-140
menit. Ini menghasilkan morfin tereliminasi tuntas dari CSS lumbal sekitar
6-12 jam. Bagaimanapun durasi analgesia dan juga inhibisi respon ventilasi
terhadap hipoksia tetap bertahan setelah konsentrasi dalam CSS dan plasma
diharapkan dapat diabaikan. Hal ini dapat sebagian dijelaskan dengan
perbedaan antar individu yang besar pada farmakokinetik CSS. Morfin
bertahan di reseptor opioid di korda spinalis dan batang otak

lebih lama

dibandingkan di CSS menunjukan perbedaan antara farmakokinetik CSS


dan farmakokinetik tempat-efek.9
Morfin dapat diberikan intratekal, epidural, intraventrikel. Kadar
morfin dalam plasma setelah pemberian intratekal terlalu rendah dalam
memberikan efek klinis yang signifikan tetapi menghasilkan kadar morfin
dalam CSS beberapa kali lebih besar dibandingkan rute sistemik.4
Morfin memberikan analgesia spinal yang sangat selektif. Penetrasi
korda spinalis yang yang lambat dan durasi yang panjang di dalam cairan

Universitas Indonesia

27

serebrospinal akibat hidrofilitasnya serta lambatnya clearance dari korda


spinalis dan kecilnya Vcord menyebabkan onset yang lambat (>30 menit) dan
durasi aksi yang panjang (6 jam atau lebih), dan risiko depresi nafas
tertunda (12-18 jam) akibat penyebaran ke atas (rostral) di dalam cairan
serebrospinal.4,6,10
Bukan sifat morfin memiliki ketersediaan yang lebih besar untuk
terdistribusi ke sefalad di dalam CSS dibandingkan dengan opioid lipofilik.
Yang paling utama dalam penyebaran obat adalah pergerakan CSS itu
sendiri. Korda spinalis bergerak ke kaudal di dalam kanalis vertebralis pada
awal siklus kardiak bersamaan dengan aliran pulsatil darah kedalam SSP.
Peristiwa ini disertai pergerakan cepat CSS pada arah kaudal di bawah
permukaan dorsal korda spinalis. Kemudian pada siklus kardiak, CSS
bergerak sepanjang permukaaan ventral korda spinalis dengan aliran pasti
pada arah sefalad. Sehingga morfin dapat mencapai tempat di batang otak
karena rendahnya bersihan dari CSS dengan lebih banyak obat yang tersedia
untuk terbawa oleh aliran CSS ke sefalad.9
Pemberian morfin secara epidural cepat diabsorbsi ke dalam sirkulasi
sistemik menghasilkan kadar plasma yang signifikan. Setelah administrasi
intravena morfin cepat terdistribusi ke dalam jaringan dan organ kaya
perfusi seperti paru, ginjal, hati, lien. Morfin dan metabolitnya yang sangat
polar morfin-3-glukoronid (M3G) dan M6G menembus sawar darah otak
dalam jumlah kecil. Kadar morfin dalam CSS setelah administrasi sistemik
adalah 4%-6%.4
Metabolisme morfin yaitu dengan dengan glukoronidasi dan hepar
merupakan tempat utama untuk biotransformasi. Sekitar 90% dari morfin
yang diinjeksikan dikonversi menjadi metabolitnya terutama (45%-55%)
M3G dan M6G (10%-15%). Metabolit lainnya yaitu morfin-3, 6diglukuronid, morfin-3-ethereal sulfat, normorfin, normorfin-6-glukoronid,
normorfin-3-glukoronid dan kodein.4

Universitas Indonesia

28

M3G sangat kecil afinitasnya dengan reseptor sehingga tidak


memiliki potensi analgesik. Agen ini diketahui sebagai antagonis analgesi
dan depresi nafas yang disebabkan morfin dan M6G. Diduga juga M3G
mempengaruhi timbulnya toleransi morfin.4
M6G memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor dibandingkan
terhadap reseptor dan . M6G dapat terakumulasi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal dan hal ini merupakan faktor yang menyebabkan
perpanjangan efek setelah administrasi opioid. Peningkatan M6G ini
menyebabkan peningkatan pada konsentrasinya dalam CSS. Di dalam CSS,
M6G 45-100 kali lebih poten dibanding morfin untuk efek analgesiknya dan
10 kali lebih poten untuk efek depresi nafasnya.4
Normorfin sedikit dihasilkan dan secara farmakologi aktif. Agen ini
neurotoksik, analog terhadap normeperidin.4
Dalam 10 menit setelah morfin terdapat dalam plasma , 96-98% obat
dibersihkan dari plasma. Ekskresi morfin terutama di ginjal. Sirkulasi
enterohepatik dan bentuk glukoronidanya menyebabkan ditemukannya
morfin dalam jumlah kecil di feses dan urin beberapa hari setelah dosis
terakhir.4
FARMAKODINAMIK
Dosis epidural tunggal morfin terutama efektif untuk analgesia
postoperatif yang panjang. Dosis morfin epidural perlu dikurangi pada
pasien tua. Analgesia antara morfin dan hidromorfon secara epidural lumbal
sama.10
Beberapa kejadian depresi nafas yang secara klinis signifikan
dilaporkan pada dosis kurang dari 0,4 mg pada pemberian morfin intratekal.
Morfin khas terjadi depresi nafas tertunda terjadi 6 sampai 12 jam setelah
pemberian tetapi juga telah dilaporkan hingga 19 jam setelah injeksi
intratekal. Depresi nafas signifikan secara klinis tidak pernah dilaporkan
setelah 19 jam setelah injeksi intratekal.10

Universitas Indonesia

29

Kejadian pruritus pada pasien yang mendapatkan morfin intratekal


lebih tinggi dibandingkan yang mendapatkan fentanyl. Kejadian pruritus
sedang sampai berat pada hari pertama postoperatif pada pemberian secara
epidural berkurang pada penggunaan hidromorfon.10
Efek mual lebih sering terjadi pada penggunaan opioid intratekal yang
menggunakan morfin. Mekanisme terjadinya mual akibat migrasi obat ke
sefalad dan interaksinya dengan reseptor opioid di area postrema.10
Untuk pasien toleran opioid, pemberian dosis yang lebih tinggi dapat
diterima. Pada individu opioid-nave, dosis kurang dari 0,3 mg mungkin
ideal. Alhashemi et al mendomonstrasikan bahwa morfin intrarekal 250 mcg
adalah dosis optimal untuk menghasilkan analgesia postoperatif yang
signifikan tanpa penundaan ekstubasi trakea setelah pembedahan coronary
artery bypass graft.10
Extended-Release Epidural Morphine (EREM)
Mengandung sistem penghantaran berbasis lipid yang dirancang
menghasilkan bebas nyeri selama 48 jam tanpa diperlukannya kateter
epidural yang dipertahankan. Tidak adanya kateter epidural memberi
keuntungan terutama pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan.10
EREM disetujui oleh U.S Food and Drug Administration pada dosis
10-20 mg. Perhatian pada pasien lebih tua membutuhkan dosis yang lebih
rendah dibandingkan usia muda. EREM tidak direkomendasikan pada
pasien di atas 65 tahun dengan dosis melebihi 15 mg. Efek samping sama
seperti analgesik opioid epidural lainnya.10

B. SULFENTANIL
Merupakan agonis reseptor yang paling poten. Sulfentanil 5-10 kali
lebih poten dibanding fentanyl dan 1000 kali lebih poten dibanding morfin.
Afinitas terhadap reseptor opioid 30 kali lebih besar dibanding fentanyl.
Lebih dari 90% terikat protein.4

Universitas Indonesia

30

FARMAKOKINETIK
Merupakan opioid lipofilik. Kelarutannya dalam lemak lebih besar
dibanding fentanyl dan alfentanil. Sulfentanil menembus sawar darah otak
dan CSS dengan cepat sehingga mempunyai mula kerja yang cepat. Volume
of distribution, distribution half life dan elimination half life diantara
fentanyl dan alfentanil. 4,10
Efek analgesik sangat cepat karena cepatnya redistribusi ke lemak dan
otot skelet. Singkatnya elimination half-life disebabkan kecilnya volume of
distribution dan tingginya mobilisasi hepatik. Sulfentanil dimetabolisme di
hepar. Hasil N-dealkilasi tidak aktif dan hasil o-demetilasi (metilsulfentanil)
aktif. Ekskresi metabolitnya melalui urin.4
Studi
menghasilkan

klinis

menyebutkan

analgesia

spinal

pemberian
selektif

sulfentanyl

Tetapi

studi

intratekal
laboratoris

menyebutkan bahwa pengambilan (uptake) sistemik yang dilanjukan dengan


analgesia supraspinal mungkin merupakan mekanisme aksi yang dominan.
Studi sulfentanil intratekal dengan dosis 12.5, 25, 50 mcg, ketiganya
menghasilkan ambang analgesik yang sama. Konsentrasi sulfentanil plasma
dari ketiga dosis ini melebihi konsentrasi efektif minimum yang dapat
menghasilkan analgesia sistemik yang efektif. Ketiga dosis tersebut
menyebabkan depresi nafas yang signifikan, puncaknya pada 90-120 menit,
sejajar dengan lamanya waktu puncak efek analgesia dan konsentrasi
sulfentanil plasma maksimal. Karena depresi nafas merupakan efek
supraspinal, hal ini menunjukan sebagian analgesia faktanya dimediasi
supraspinal. Besarnya Vcord dan cepatnya bersihan menuju sirkulasi sitemik
dengan kadar plasma puncak 30-60 menit menunjukan dasar farmakokinetik
untuk beberapa laporan kasus depresi nafas awal.9,10
Karena kelarutan dalam lemak yang ekstrem dari sulfentanil, agen ini
memiliki volume of distribution yang sangat besar di korda spinalis dengan
clearance yang cepat menuju vaskularisasi korda spinalis dan rongga
epidural pada model babi. Penemuan laboratorium ini menunjukan bahwa

Universitas Indonesia

31

terdapat sulfentanil spinal yang sangat sedikit untuk berinteraksi dengan


reseptor opioid di korda spinalis dikarenakan sekuestrasi di substansia alba
larut lemak dan redistribusi sistemik. Karena alasan tersebut terdapat sedikit
penggunaan sulfentanil secara spinal untuk mendapatkan analgesia spinal
selektif.10
FARMAKODINAMIK
Opioid lipofilik memiliki profil klinis yang lebih disukai berupa onset
yang cepat (menit), durasi yang sedang (1-4 jam), dan sedikit risiko depresi
nafas tertunda. Depresi nafas biasanya terjadi dalam menit sampai jam
untuk opioid lipofilik (fentanyl, sulfentanil) dengan depresi nafas awal
(menit) tidak pernah dilaporkan pada opioid hidrofilik seperti morfin.10

C. FENTANYL
Merupakan agonis opioid dengan afinitas tinggi terhadap resptor .
Sebagai analgesik, fentanyl sekitar 75-100 kali lebih poten dibanding
morfin.4 Fentanyl kurang larut dalam lemak dibanding sulfentanil.6

FARMAKOKINETIK
Fentanyl sangat larut lemak dan cepat menembus sawar darah otak.
Keseimbangan kadar plasma dengan CSS dalam 5 menit, memiliki mula
kerja cepat (30 detik) dan durasi aksi yang pendek akibat redistribusi ke
lemak dan otot skelet. Terdapat penurunan konsentrasi plasma yang cepat
menunjukan

redistribusi.

Pengulangan

dosis

atau

infus

kontinus

menyebabkan simpanan dalam lemak dan otot jenuh sehingga perpanjangan


efek akibat akumulasi sistemik dan perlambatan penurunan konsentrasi
plasma.4
Fentanyl

terikat

protein

sebesar

50%.

Fentanyl

terutama

dimetabolisme di hepar oleh sitokrom P450 3A4 menjadi asam phenilasetik,


norfentanyl dan sejumlah kecil komponen aktif yaitu p-hidroksi fentanyl

Universitas Indonesia

32

yang diekskresikan melalui empedu dan urin. Fentanyl merupakan obat


pilihan pada pasien dengan penyakit ginjal karena semua metabolitnya tidak
aktif.4
Fentanyl mempunyai volume of distribution yang besar dan
dibuktikan dengan elimination half life yang panjang (3-4 jam). Sama
seperti opioid yang larut lemak lainnya , half life fentanyl dipengaruhi oleh
lama durasi pemberian yang merupakan fungsi besarnya pemecahan lemak.
Pada kondisi steady-state, elimination half life adalah 7-12 jam. Penyakit
hati tidak memperpanjang half life tetapi perpanjangan efek terlihat pada
pasien tua.4
Fentanyl dengan kelarutan dalam lemak yang lebih kurang
dibandingkan sulfentanil akan mempertahankan selektifitas spinal yang
cukup saat diberikan intratekal. Data respon dosis menunjukan bahwa
fentanyl intratekal tunggal menghasilkan analgesia dengan dosis efektif
minimal 10 mcg pada orang dewasa. Fentanyl memiliki mula kerja cepat (510 menit) dan durasi aksi pertengahan (60-120 menit) membuat fentanyl
ideal sebagai tambahan pada anestetik lokal untuk menambah efek pada
anestesia spinal. Penambahan fentanyl 10-25 mcg ke anestetik lokal
membuat penggunaan dosis anestetik lokal yang lebih sedikit yang
meningkatkan keberhasilan anestesia spinal dan memperlama durasi tanpa
memperlama resolusi sensorik yang utuh dari blok secara signifikan.6,10
Bolus fentanyl secara epidural tunggal dapat diberikan untuk
menghasilkan analgesia postoperatif yang cepat (onset dalam 5-10 menit)
tetapi

tidak lama (hingga 4 jam). Melarutkan dosis fentanyl epidural

(biasanya 50-100 mcg) pada setidaknya 10 mL cairan NaCl dapat


mempercepat

mula

kerja

dan

memperpanjang

durasi

analgesia,

kemungkinan akibat peningkatan penyebaran awal dan difusi fentanyl.


Mengkombinasikan opioid hidrofilik (morfin) dengan opioid lipofilik
(fentanyl) pada injeksi epidural tunggal mengkombinasikan waktu mula
kerja pendek oleh opioid lipofilik dengan durasi analgesia panjang oleh
opioid hidrofilik.10

Universitas Indonesia

33

FARMAKODINAMIK
Merupakan opioid lipofilik, mempunyai profil klinik yang disukai
berupa onset yang cepat (menit), durasi sedang (1-4 jam). Untuk analgesia
postoperatif secara spinal pada pasien yang tidak dirawat lebih tepat
menggunakan opioid lipofilik seperti fentanyl. Hal ini disebabkan onset
analgesi yang cepat dan durasi aksi yang pendek sehingga meminimalkan
risiko depresi nafas tertunda.10
Data respon terhadap dosis menunjukan bahwa pemberian fentanyl
spinal tunggal memberikan analgesia tergantung dosis dengan dosis efektif
minimal sekitar 10 mcg. Risiko terjadinya depresi nafas awal juga
tergantung dosis dengan risiko yang signifikan terjadi pada dosis yang lebih
besar dari 25 mcg 10
Depresi nafas dapat terjadi dan onsetnya jauh lebih cepat dibanding
morfin. Karena sangat larut dalam lemak, risiko depresi nafas tertunda yang
disebabkan penyebaran ke arah rostral dari pemberian secara intratekal ke
pusat pernafasan di medulla sangat berkurang.4
Opioid yang sangat lipofilik, short-acting seperti fentanyl dapat
ditambahkan pada anestesi lokal untuk meningkatkan analgesia jangka
pendek pada prosedur-prosedur yang dirawat ataupun tidak dirawat.
Penambahan fentanyl 10 mcg pada bupivacain 0,5% (hiperbarik) secara
signifikan meningkatkan kualitas dan durasi analgesia dengan tidak adanya
peningkatan kelebihan apabila dosis ditingkatkan hingga 40 mcg.10

D. ALFENTANIL
FARMAKOKINETIK
Alfentanil digunakan untuk analgesia epidural dan intravenous
patient-controlled

analgesia.

Potensinya

5-10

kali

lebih

kurang

dibandingkan fentanyl. Memiliki mula kerja yang cepat (1-2 menit) dan
pemutusan efek yang dapat diprediksi. Pada pH fisiologik, memiliki pKa

Universitas Indonesia

34

yang rendah sehingga 90% dalam bentuk tidak terionisasi. Alfentanil


memiliki volume of distribution yang kecil, kelarutan dalam lipid yang lebih
rendah dan sedikit lebih besar dalam hal ikatan dengan protein bila
dibandingkan dengan fentanyl. Efek analgesik pendek akibat redistribusi. 4
Absorbsi sistemik yang lebih besar dari lemak epidural dan jaringan
kapiler dura pada alfentanil dibandingkan fentanyl dan sulfentanil karena
kelarutan dalam lemaknya yang lebih rendah dan lebih cepatnya pelepasan
dari lemak epidural.9
Metabolisme dan eliminasi melalui hepar. Elimination half life yaitu
70-98 menit dan meningkat pada pasien dengan sirosis. Penyakit ginjal tidak
mempengaruhi bersihan.4

BAB III
PENUTUP

Penanganan nyeri saat ini semakin berkembang dengan ditemukannya


teknik anestesia regional dan setelah diketahuinya reseptor opiod yaitu di kornu
dorsalis korda spinalis yang merupakan tempat penting dalam modulasi nyeri.
Dengan digabungkannya anestetik lokal sebagai agen utama pada anestesia
regional dengan opioid dapat memberikan keuntungan meminimalkan efek
samping dari masing-masing obat. Selain itu penggabungan keduanya dapat
memberikan efek sinergis sebagai upaya memberikan multimodal analgesia dan
dapat mepercepat mula kerja, memperpanjang efek dan mengurangi dosis total
anestetik lokal.

Universitas Indonesia

35

Pemberian opioid langsung pada target reseptor di korda spinalis secara


intratekal atau epidural dapat mengurangi efek samping opioid apabila diberikan
secara sistemik. Perbedaan farmakologi opioid secara neuroaksial terletak pada
sifat hidrofilik atau lipofiliknya sehingga menghasilkan mekanisme kerja, mula
kerja, durasi kerja, profil efek samping yang berbeda.

DAFTAR REFERENSI

1. The New York School of Regional Anesthesia (2007). Analgesic Adjuvants


in Peripheral Nervous System 146-150 :Textbook of Regional Anesthesia
and Acute Pain Management. China: McGraw-Hill
2. The New York School of Regional Anesthesia (2007). Analgesic Adjuvants
in neuroaxial Anesthesia 133-134 :Textbook of Regional Anesthesia and
Acute Pain Management. China: McGraw-Hill
3. Miller, Ronald D (2010). Opioids769-814: Millers Anesthesia (7 th edition).
Philadelphia: Churchill Livingstone.
4. Waldman. Steven D ( 2007). Opioid Analgesics 939-961 :pain Management.
Philadelphia: Saunders Elsevier.

Universitas Indonesia

36

5. Collin, Vincent J (1993) Subarachnoid and epidural opioid analgesia


1622-1631

General

and

Regional

Anesthesia

3rd

Edition.

Pennsylvania:Lea&Febiger.
6. Waldman. Steven D ( 2007). The Role of Spinal Opioid in the Management
of Cancer Pain 349-351 : pain Management . Philadelphia: Saunders
Elsevier.
7. Stoelting, R.K., Hiller, S.C (2006). Opioid Agonists and Antagonists 87122: Pharmacology

& Physiology in Anesthetic Practice (4 th edition).

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.


8. The Opioid Receptors :
http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/opioid-receptors.html
9. Wong, Cynthia A (2007). Pharmacology of Drugs for Spinal and epidural
and Analgesia 97-102: Spinal and Epidural Anesthesia.USA: McGraw-Hill.
10. F, Scott M, B, Jane C, R, James P(2010). Regional Anesthesia Techniques
For Acute Pain Management 723- 729: Bonicas Management of Pain (4 th
Edition). Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins
11. http://www.georgiapainphysicians.com/l2_edu_pharma_mod1_slides.htm
12. http://www.pharmacology2000.com/Central/Opioid/Opioid_obj1.htm

13. http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-ofopioid.html
14. Stoelting, R.K, Miller, R.D (2007). Opioid112-121:Basics of Anesthesia (5 th
edition). Philadelphia: Elsevier.
15. Smith, Howard S. (2003). Spinal Analgesics 317-333 : Drugs For Pain.
Philadelphia: Hanley&Belfus, Inc.
16. Morgan, G.E, Mikhail, M.S, Murrat, M.J. (2006). Pain Management 396398:Clinical Anesthesiology (4th edition). USA: McGraw-Hill.
17. Pinnock, C, Smith, T (1999). Analgesic Drugs: Fundamentals of
Anaesthesia. London: Greewich Medical Media Ltd.
18. Wong, Cynthia A (2007). Postoperative Neuroaxial Analgesia 325-340:
Spinal and Epidural Anesthesia.USA: McGraw-Hill.

Universitas Indonesia

37

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai