BAB I
PENDAHULUAN
nyeri dapat dimodulasi atau gated pada sejumlah titik pada jalur nyeri.
Penelitian selanjutnya menunjukan kornu dorsalis (lamina II) korda spinalis
sebagai tempat penting dalam modulasi dan penatalaksanaan nyeri akut dan kronis
memakai pengetahuan ini untuk menghasilkan efek yang memuaskan.1
Opioid yang sudah diketahui sejak lama sebagai penghilang nyeri telah
mengalami perkembangan pesat dalam penggunaannya seiring dengan semakin
deketahuinya mengenai mekanisme kerjanya. Sejak dikembangkannya teknik
anestesia regional yang menggunakan anestetik lokal didapatkan keuntungan
bahwa untuk mendapatkan analgesia tidak selalu dengan anestesia umum. Pada
awal 1900, Mata mengkombinasikan morfin dan kokain untuk injeksi
subarachnoid. Morfin ditambahkan sebagai usaha untuk memperpanjang kokain
dan menghasilkan sedasi. Hal ini tidak pernah dilakukan hingga pada tahun 1970
setelah dikemukakan mengenai reseptor opiat di korda spinalis penggunaan opioid
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
SEJARAH
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
disekresikan tubuh saat adanya njury atau stres fisik yang panjang. Pada tahun
1977, Yaksh dan Rudy mendemonstrasikan pemberian secara spinal narkotik dosis
rendah pada hewan yang tidak teranestesi menghasilkan analgesia selektif yang
kuat disebabkan aksi spinal langsung. Pada tahun 1979, Wang, dkk menangani
nyeri yang sulit diatasi yang disebabkan keganasan dengan morfin intratekal. Pada
tahun 1979, Behar, dkk dan Magora, dkk memperkenalkan pemberian morfin
epidural untuk meringankan nyeri akut dan kronis dan mendemonstrasikan adanya
morfin pada cairan serebrospinal setelah injeksi epidural. 5,6
II.
STRUKTUR KIMIA
Opiat yaitu setiap agen yang berasal dari opium (alkaloid). Opioid yaitu
setiap substansi baik endogen maupun eksogen dengan sifat seperti morfin.
Morfin adalah opioid prototipik dan merupakan standar yang menjadi
perbandingan semua opioid.4 Morfin dapat disintesa tetapi lebih mudah
didapatkan dari opium. 7 Morfin dan derivatnya berefek seperti substansi natural
yaitu peptida opioid endogen. 4
Alkaloid opium dapat dibagi menjadi 2 kelas kimia yaitu phenanthren dan
benzilisoquinolin. Alkaloid phenantren utama yang berasal dari opium yaitu
morfin, kodein, thebain. Alkaloid benzilisoquinalin utama yang berasal dari opium
memiliki aktivitas opioid yang kurang.7 Termasuk dalam golongan ini papaverin
(vasodilator, tidak bersifat analgesik) dan noskapin.4,7
Ketiga cincin nukleus phenantren mengandung 14 atom karbon. Cincin
piperidin keempat mengandung nitrogen amin tertier dan muncul pada setiap
agonis opioid. Pada PH 7,4, nitrogen amin tertier sangat terionisasi membuat
molekul ini larut air. Hubungan yang sangat erat muncul antara struktur
stereokimia dan potensi opioid, dengan isomer levorotatori merupakan bentuk
yang paling aktif.7
Morfin terdiri dari 5 sistem cincin. Struktur pentasiklik membentuk bentuk
T dengan cincin piperidin membentuk satu balok melintang dan cincin
Universitas Indonesia
III.
KLASIFIKASI OPIOID
Terdapat 3 skema dalam klasifikasi opioid yaitu berdasarkan aksi intrinsik
(buphrenorphin),
agonis/antagonis
(butorphanol,
nalbuphin,
morfin
(levorphanol),
derivat
metadon,
derivat
benzomorphan
IV.
OPIOID ENDOGEN
Adalah neurotransmiter yang terlibat pada modulasi stimulus nyeri di SSP,
sebagai ligan endogen natural bagi berbagai tipe reseptor opiat dan pada peran
biologisnya menyerupai efek morfin.5
Terdapat tiga famili peptida opioid yang berbeda secara genetik. (1) beta
endorphin yang hanya terbatas distribusinya pada korda spinalis; (2) enkefalin
yang merupakan pentapeptida yang teridentifikasi pertama kali di otak, tetapi juga
berlokasi di korda terutama di area lumbosakral; (3) kelompok dinorfin yang
banyak pada daerah servikal.5
V.
RESEPTOR OPIOID
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Efek
Analgesia supraspinal
Analgesia spinal, depresi nafas, melambatkan transit gaster,
Pruritus, nausea, vomitus, kebanyakan efek kardiovaskular,
Ketergantungan fisik, euphoria
Kappa
K1
K2
K3
Delta
Sigma
Gambar 2.1. Reseptor opioid. Reseptor opioid ditemukan di membran sel pada
sistem saraf (neuron) dan dengan distribusi unik dan memiliki efek yang berbeda.8
Universitas Indonesia
VI.
MEKANISME AKSI
Pemberian opioid secara neuroaksial telah banyak dilakukan baik secara
intratekal atau epidural. Opioid lipofilik (paling umum fentanyl) diberikan sebagai
tambahan pada anestetik lokal untuk menambah efikasi anestesia spinal,
sedangkan opioid hidrofilik (paling umum morfin) diberikan pada ruang intratekal
atau epidural untuk memberikan analgesia postoperatif. Opioid umum diberikan
pada ruang epidural sebagai agen tunggal untuk analgesia postoperatif atau untuk
menambah efikasi infusan anestetik lokal epidural kontinus sebagai usaha untuk
mengurangi kebutuhan anestetik lokal dan efek sampingnya. Alasan pemberian
opioid pada anestesia neuroaksial yaitu untuk menghasilkan analgesia yang
dimediasi selektif secara spinal dengan berinteraksinya dengan reseptor opioid di
kornu dorsalis korda spinalis, dan selanjutnya meminimalisasi efek supraspinal
yang dibatasi dosis ( misal depresi pernapasan, sedasi, dan nausea) yang terjadi
ketika opioid diberikan secara sistemik mencapai tempat reseptor opioid di batang
otak.9
Pada
postsinap,
opioid
meningkatkan
konduktansi
K+,
pada
Universitas Indonesia
a.
b.
Gambar 2.2.a. Kornu dorsalis. Hubungan antara serat sensoris aferen dan neuron
korda spinalis ditunjukan dalam kornu dorsalis.
Gambar 2.2.b. Reseptor opioid. Daerah di korda spinalis dan otak dimana
reseptor opioid tipe ditemukan meliputi substansia gelatinosa, formasi retikular,
hipotalamus, thalamus dan korteks. Daerah ini tumpang tindih dengan daerah
tempat persepsi nyeri. Daerah tempat persepsi nyeri ditunjukan dengan warna
abu-abu, sedangkan reseptor opioid ditunjukan dengan warna biru. 11
Universitas Indonesia
10
Analgesia supraspinal
Analgesia spinal
Analgesia supraspinal dimediasi oleh pengambilan sistemik opioid
Universitas Indonesia
11
VII.
FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah studi mengenai nasib obat dalam tubuh (apa yang
Universitas Indonesia
12
Absorpsi
Absorbsi mengacu pada kecepatan dan jumlah obat yang dipindahkan dari
tempat pemberian. Proses ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran molekul obat,
konstanta ionisasi, kelarutan dalam lemak, dan sifat psikokimia membran yang
harus dilewati.4
Pada anestesia regional pemberian opioid melalui intratekal atau epidural.
Pemberian opioid melalui jalur ini memberikan keuntungan berupa dihasilkannya
analgesia dengan dosis yang relatif rendah. 4 Sebagai perbandingan, morfin yang
diberikan secara epidural yaitu sebesar 10% dan intratekal sebesar 1% dari dosis
parenteral.17
Mekanisme analgesia yang dihasilkan morfin secara epidural adalah
bimodal dan sinergistik. Saat 20 menit pertama, morfin yang diabsorbsi melalui
pembuluh darah mengaktivasi sistem penghambatan menurun kemudian begitu
konsentrasi morfin dalam cairan serebrospinal meningkat terjadi pengaktivan
reseptor korda spinalis.4
Distribusi
Agar opioid yang diberikan lewat epidural menghasilkan analgesia spinal,
opioid harus keluar dari rongga epidural untuk mencapai tempat aksinya di kornu
dorsalis korda spinalis. Dua struktur penting yang menentukan distribusi dari
rongga epidural ke intratekal yaitu lemak epidural dan pleksus venosus epidural.
Opioid sangat lipofilik (fentanyl dan sulfentanil) sangat terdistribusi di dalam
lemak epidural yang menyebabkan tidak tersedia untuk terdistribusi ke rongga
intratekal. Lapisan dalam duramater mengandung jaringan kaya kapiler yang
mengalir ke pleksus venosus epidural. Obat yang berdifusi kedalam jaringan
epidural (misal lemak epidural dan duramater) berpotensi terabsorbsi dan
dibersihkan dari rongga epidural melalui kapiler menuju pleksus venosus
epidural.9
Suatu studi menunjukan adanya hubungan linier yang kuat antara
peningkatan kelarutan dalam lemak dengan mean residence time di rongga
Universitas Indonesia
13
epidural dan terminal elimination half life. Perbedaan dalam kelarutan dalam
lemak ditentukan oleh perbedaan dalam seberapa besar opioid terpecah/ terpartisi
di dalam lemak epidural. Konsentrasi opioid di lemak epidural menunjukan
hubungan linier dengan kelarutan dalam lemak. Fentanyl dan sulfentanil lebih
lama terdapat dalam rongga epidural karena peningkatan proses sekuestrasi di
dalam lemak epidural menyebabkan distribusi kembali yang lama ke rongga
epidural menghasilkan peningkatan mean residence di rongga epidural dan
lipofilik opioid memiliki konsetrasi yang rendah di CSS.9
Pada pemberian spinal besarnya ambilan opioid intratekal dari CSS ke
dalam jaringan neuronal korda spinalis dan batang otak juga ditentukan terutama
oleh kelarutan dalam lipid. Korda spinalis terdiri dari substansia grisea yang
dikelilingi substansia alba. Substansia alba terutama terdiri dari membran akson
yang dilapisi lapisan-lapisan myelin kaya lemak. Sifat psikokimia berbagai opioid
menentukan bioavailibilitas untuk mencapai reseptor opioid. Opioid lipofilik akan
lebih terdistribusi di dalam substansia alba. Studi pada binatang dengan radiolabel
terhadap morfin, dihidromorfon dan fentanyl yang diberikan ke CSS ventrikel
lateral kelinci menunjukan morfin dan hidromorfon berpenetrasi lebih dalam pada
jaringan SSP dibandingkan fentanyl. Lebih penting lagi, morfin dan hidromorfon
lebih terdistribusi di dalam substansia grisea sedangkan fentanyl lebih
terakumulasi di substansia alba.9
Volume of distribution di korda spinalis (Vcord) mewakili opioid di ruang
ekstraselular yang tidak terikat, bebas berdifusi. Vcord meningkat pada opioid yang
tidak spesifik terikat dengan kompartemen jaringan (myelin) karena opioid yang
terikat tidak tersedia untuk reseptor opiod. Karena kelarutan dalam lemak
merupakan faktor yang mempengaruhi seberapa besarnya terjadi ikatan sehingga
Vcord berbanding lurus dengan koefisien partitisi dengan morfin memiliki Vcord
paling kecil dan sulfentanil memiliki Vcord paling besar. Opioid lipofilik yang
diberikan secara intratekal ataupun epidural menunjukan terbatasnya aksi spinal
selektif.9
Tabel 2. 2. Sifat Psikokimia Opioid untuk Anestesia Spinal dan Epidural 9
%Ikatan protein
pK
Koefision Partitisi
Universitas Indonesia
14
Morfin
Alfentanil
Fentanyl
Sulfentanil
35
92
84
93
7.9
6.5
8.4
8
76
11
91
80
1.4
128
8600
1778
Universitas Indonesia
15
Potensi Relatif
Morfin
Meperidin
0.1
Fentanyl
75-125
Sufentanil
500-1000
Alfentanil
10-25
Remifentanil
250
Potensi atau efek analgesia dapat dikoreksi dengan mengatur dosis akhir.
Efek klinis opioid sangat lipofilik ditentukan oleh volume of distribution
(koefisien partisi jaringan:darah). Semakin besar volume of distribution, semakin
kecil konsentrasi obat dalam plasma.4
Metabolisme
INJECTION INFUSION
metabolism opioid.4
Ekskresi
epidural venous drainage
spinal cord
brain
Ginjal membuang kebanyakan metabolit polar dan sebagian kecil
ELIMINATION
Universitas Indonesia
16
dari
kornu
dorsalis
korda
spinalis
dan
diaktifkannya
jalur
Universitas Indonesia
17
opioid
(meperidin,
metadon,
ketobemidon
dan
Universitas Indonesia
18
Sedangkan jelas bahwa tempat utama aksi analgesik opioid hirofilik yaitu secara
selektif pada spinal.4
Karena dosis yang lebih tinggi diperlukan pada pemberian opioid epidural
untuk menghasilkan analgesia, terjadi efek samping sistemik yang sedikit lebih
besar pada rute pemberian ini. Dosis equianalgesic opioid antara epidural dan
spinal yaitu 10:1. 6
DEPRESI NAFAS
Semua agonis menghasilkan depresi nafas tergantung dosis. Mekanisme
terjadinya depresi nafas dengan menurunkan respon pusat pernafasan di batang
otak terhadap karbondioksida. . Terjadi pula depresi pusat nafas di pons dan
medulla yang terlibat dalam regulasi irama respirasi. Terdapat peningkatan CO2
sisa dan pergeseran ke kanan kurva respon CO2.4
Karakteristik depresi nafas yang disebabkan
menurunnya laju nafas. Nyeri merupakan antagonis yang efektif terhadap efek
depresi nafas akibat opioid. Agonis reseptor menghasilkan efek depresi nafas
yang lebih ringan meskipun diberikan dalam dosis besar. Opioid antagonis dan
agonis opioid parsial digunakan untuk mengembalikan efek depresi nafas.4
Pada pemberian opioid intratekal
tergantung dosis.9,10 Depresi nafas juga terjadi meskipun dengan dosis yang lebih
kecil pada kondisi yang jarang. Insidens depresi nafas pada opioid kurang dari 1%
tergantung rute pemberian obat. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid
epidural dilaporkan 0,1% - 0,9%. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid
epidural (jika dosis yang digunakan tepat) baik injeksi tunggal ataupun infusan
kontinus tidak lebih tinggi dibanding yang terjadi pada pemberian opioid
sistemik.10
Obat lipofilik seperti fentanyl tidak terlalu menyebar setelah pemberian
intratekal, tetapi obat hidrofilik seperti morfin dapat menyebar kearah rostral dan
dapat menyebabkan depresi nafas tertunda. Hal ini juga terjadi setelah pemberian
epidural.4 Pada pemberian epidural, opioid lipofilik relatif cepat pembersihannya
Universitas Indonesia
19
dan interaksinya
Universitas Indonesia
20
dengan reseptor opioid di area postrema dan chemotactic trigger zone pada
medulla. 10
Terdapat pula komponen vestibular untuk terjadinya nausea. Terhambatnya
transit gaster juga berpengaruh terhadap terjadinya mual akibat opioid.4
RETENSI URIN
Kejadian retensi urin pada intratekal opioid lebih sering terjadi
dibandingkan intravena opioid pada dosis yang sama. Retensi urin akibat opioid
intratekal tidak tergantung dosis, dan lebih sering kejadiannya pada penggunaan
morfin. Mekanisme terjadinya berkaitan dengan inhibisi persarafan sistem saraf
parasimpatik sakralis yang diinduksi oleh reseptor opioid sehingga menghasilkan
relaksasi detrusor dan peningkatan kapasitas buli. Pada opioid epidural, kejadian
retensi urin akibat aktivasi reseptor opioid spinal dan terjadi mekanisme yang
sama seperti yang terjadi pada opioid intratekal. Kejadiannya pada opioid epidural
70%-80% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan opioid sistemik yaitu 18% dan
tampaknya kejadiannya tidak tergantung dosis.10
SEDASI
Merupakan efek samping yang terjadi tergantung dosis pada semua opioid
yang diberikan intratekal. Tidak ada data mengenai perbedaan tingkat sedasi
akibat pemberian opioid dari rute intratekal, epidural, ataupun intravena, namun
tampaknya kejadiannya umumnya berkaitan dengan rute pemberian. Insiden
sedasi lebih tinggi pada sulfentanil dibandingkan opioid lainnya.10
PERUBAHAN MOOD
Opioid menghasilkan euforia, damai, lega/puas. Euforia dimediasi reseptor
. Aktifasi reseptor menyebabkan disforia. Jalur dopaminergik terutama yang
melibatkan nukleus akumbens berperan pada efek obat yang memberikan rasa
nyaman. Efek agonis opioid pada ikatannya dengan dan member ketenangan
sedangkan pada ikatannya dengan sebaliknya. Konsentrasi tinggi reseptor opioid
Universitas Indonesia
21
dan saraf noradrenergik yang terdapat pada lokus ceruleus berperan pada perasaan
panik, waspada, takut dan cemas. Opioid endogen maupun eksogen menghambat
aktifitas neural di lokus ceruleus. Pada dosis tinggi opioid menyebakan tidur
terlihat pada pergantian gelombang cepat menjadi gelombang lambat pada
elektroensefalogram.4
ANTITUSIF
Efek ini akibat depresi pusat batuk di medulla.4
MIOSIS
Miosis akibat stimulasi nucleus Edinger-Westphal dari saraf okulomotor.4
KONVULSI
Konvulsi terjadi karena stimulasi saraf-saraf terutama di sel piramidal
hipokampus. Metabolit morfin -3- glukoronida berperan pada munculnya
gambaran spiking dan epileptiform pada EEG. Normeperidin (metabolit
meperidin)
dan
norpropoxyphene
(metabolit
propoxyphene)
diketahui
menyebabkan
bradikardia
yang
tergantung
dosis
dengan
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
Universitas Indonesia
24
IX.
pengawet. Opioid lain selain morfin dapat digunakan intratekal atau epidural yaitu
fentanyl, sulfentanil, meperidin, metadon, hydromorfon. 5,10 Remifentanil tidak
dapat diberikan intratekal karena disiapkannya dengan glisin dimana dapat
menyebabkan paralisis motor temporer.4 Meperidin merupakan satu-satunya
opioid yang memiliki sifat anestetik lokal pada dosis klinis. Meperidin tidak
seperti opioid lain dapat digunakan tunggal untuk menghasilkan analgesia pada
pembedahan.18
Keuntungan opioid intratekal terletak pada tidak adanya blok simpatik dan
hipotensi postural, cenderung lebih mudahnya ambulasi pada pasien, dan
Universitas Indonesia
25
A. MORFIN
Universitas Indonesia
26
lebih lama
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
B. SULFENTANIL
Merupakan agonis reseptor yang paling poten. Sulfentanil 5-10 kali
lebih poten dibanding fentanyl dan 1000 kali lebih poten dibanding morfin.
Afinitas terhadap reseptor opioid 30 kali lebih besar dibanding fentanyl.
Lebih dari 90% terikat protein.4
Universitas Indonesia
30
FARMAKOKINETIK
Merupakan opioid lipofilik. Kelarutannya dalam lemak lebih besar
dibanding fentanyl dan alfentanil. Sulfentanil menembus sawar darah otak
dan CSS dengan cepat sehingga mempunyai mula kerja yang cepat. Volume
of distribution, distribution half life dan elimination half life diantara
fentanyl dan alfentanil. 4,10
Efek analgesik sangat cepat karena cepatnya redistribusi ke lemak dan
otot skelet. Singkatnya elimination half-life disebabkan kecilnya volume of
distribution dan tingginya mobilisasi hepatik. Sulfentanil dimetabolisme di
hepar. Hasil N-dealkilasi tidak aktif dan hasil o-demetilasi (metilsulfentanil)
aktif. Ekskresi metabolitnya melalui urin.4
Studi
menghasilkan
klinis
menyebutkan
analgesia
spinal
pemberian
selektif
sulfentanyl
Tetapi
studi
intratekal
laboratoris
Universitas Indonesia
31
C. FENTANYL
Merupakan agonis opioid dengan afinitas tinggi terhadap resptor .
Sebagai analgesik, fentanyl sekitar 75-100 kali lebih poten dibanding
morfin.4 Fentanyl kurang larut dalam lemak dibanding sulfentanil.6
FARMAKOKINETIK
Fentanyl sangat larut lemak dan cepat menembus sawar darah otak.
Keseimbangan kadar plasma dengan CSS dalam 5 menit, memiliki mula
kerja cepat (30 detik) dan durasi aksi yang pendek akibat redistribusi ke
lemak dan otot skelet. Terdapat penurunan konsentrasi plasma yang cepat
menunjukan
redistribusi.
Pengulangan
dosis
atau
infus
kontinus
terikat
protein
sebesar
50%.
Fentanyl
terutama
Universitas Indonesia
32
mula
kerja
dan
memperpanjang
durasi
analgesia,
Universitas Indonesia
33
FARMAKODINAMIK
Merupakan opioid lipofilik, mempunyai profil klinik yang disukai
berupa onset yang cepat (menit), durasi sedang (1-4 jam). Untuk analgesia
postoperatif secara spinal pada pasien yang tidak dirawat lebih tepat
menggunakan opioid lipofilik seperti fentanyl. Hal ini disebabkan onset
analgesi yang cepat dan durasi aksi yang pendek sehingga meminimalkan
risiko depresi nafas tertunda.10
Data respon terhadap dosis menunjukan bahwa pemberian fentanyl
spinal tunggal memberikan analgesia tergantung dosis dengan dosis efektif
minimal sekitar 10 mcg. Risiko terjadinya depresi nafas awal juga
tergantung dosis dengan risiko yang signifikan terjadi pada dosis yang lebih
besar dari 25 mcg 10
Depresi nafas dapat terjadi dan onsetnya jauh lebih cepat dibanding
morfin. Karena sangat larut dalam lemak, risiko depresi nafas tertunda yang
disebabkan penyebaran ke arah rostral dari pemberian secara intratekal ke
pusat pernafasan di medulla sangat berkurang.4
Opioid yang sangat lipofilik, short-acting seperti fentanyl dapat
ditambahkan pada anestesi lokal untuk meningkatkan analgesia jangka
pendek pada prosedur-prosedur yang dirawat ataupun tidak dirawat.
Penambahan fentanyl 10 mcg pada bupivacain 0,5% (hiperbarik) secara
signifikan meningkatkan kualitas dan durasi analgesia dengan tidak adanya
peningkatan kelebihan apabila dosis ditingkatkan hingga 40 mcg.10
D. ALFENTANIL
FARMAKOKINETIK
Alfentanil digunakan untuk analgesia epidural dan intravenous
patient-controlled
analgesia.
Potensinya
5-10
kali
lebih
kurang
dibandingkan fentanyl. Memiliki mula kerja yang cepat (1-2 menit) dan
pemutusan efek yang dapat diprediksi. Pada pH fisiologik, memiliki pKa
Universitas Indonesia
34
BAB III
PENUTUP
Universitas Indonesia
35
DAFTAR REFERENSI
Universitas Indonesia
36
General
and
Regional
Anesthesia
3rd
Edition.
Pennsylvania:Lea&Febiger.
6. Waldman. Steven D ( 2007). The Role of Spinal Opioid in the Management
of Cancer Pain 349-351 : pain Management . Philadelphia: Saunders
Elsevier.
7. Stoelting, R.K., Hiller, S.C (2006). Opioid Agonists and Antagonists 87122: Pharmacology
13. http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-ofopioid.html
14. Stoelting, R.K, Miller, R.D (2007). Opioid112-121:Basics of Anesthesia (5 th
edition). Philadelphia: Elsevier.
15. Smith, Howard S. (2003). Spinal Analgesics 317-333 : Drugs For Pain.
Philadelphia: Hanley&Belfus, Inc.
16. Morgan, G.E, Mikhail, M.S, Murrat, M.J. (2006). Pain Management 396398:Clinical Anesthesiology (4th edition). USA: McGraw-Hill.
17. Pinnock, C, Smith, T (1999). Analgesic Drugs: Fundamentals of
Anaesthesia. London: Greewich Medical Media Ltd.
18. Wong, Cynthia A (2007). Postoperative Neuroaxial Analgesia 325-340:
Spinal and Epidural Anesthesia.USA: McGraw-Hill.
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia