Konstipasi
Konstipasi
KONSTIPASI
I.
PENDAHULUAN
Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius.
Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi oleh
karena rasa nyeri yang dirasakan, nyeri perut rekuren kronis, sampai keadaan
penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.1
Konstipasi ini terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi
lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan
anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi. Manifestasi klinis yang
tampak dapat bersifat minimal, seringkali bersifat sementara tetapi dapat berulang.
Keadaan ini dapat terjadi pada segala usia, dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat
menetap sampai dewasa.2
Konstipasi harus dianggap sebagai suatu gejala bukan diagnosis, oleh
karena keadaan ini mungkin merupakan manifestasi dari berbagai kelainan atau
sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan. Pada anak-anak, konstipasi yang
tidak teratasi dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak diinginkan seperti
enkopresis, enuresis, sakit perut berulang, dan prolaps rektum.2
II.
III.
DEFINISI
Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada
umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi feses yang
keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Beberapa penulis menggunakan
batasan sederhana: defekasi kurang dari 3 kali seminggu. Yang lain lebih
menekankan pada kesulitan pengeluaran feses tanpa memperhitungkan frekuensi.3
North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition
(NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau kesulitan
dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup membuat pasien
menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi ini: a) kelambatan
artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu, b) kesulitan
dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa bab setiap hari tetapi jika disertai
kesulitan dalam pengeluaran feses disebabkan karena konsistensinya (berak keras
dan besar), itu disebut konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak defekasi dua
atau tiga hari sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada kesulitan dalam bab, ini
tidak disebut konstipasi.1
Kriteria ROMA II membedakan definisi konstipasi fungsional kronik pada
dewasa, anak dan bayi. Anak dikatakan mengalami konstipasi kronik fungsional
bila tidak ada bukti kelainan anatomi, endokrin, atau metabolik dan terdapat gejala
berikut selama minimal 2 minggu, yaitu pada anak yang berusia kurang dari 4
tahun, terdapat frekuensi defekasi kurang 3x seminggu atau bila terdapat nyeri
saat defekasi dan retensi feses walaupun frekuensi defekasi 3 kali seminggu atau
lebih. Pada anak berusia > 4 tahun. 1
Konstipasi ditegakkan bila terdapat minimal 2 kriteria berikut:1
a) frekuensi defekasi 2 kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian
laksatif;
b) terdapat 2 kali atau lebih episode solling/enkopresis setiap minggunya;
c) terdapat periode pengeluaran feses dalam jumlah besar 7 30 hari;
d) teraba massa abdominal atau massa rektal pada pemeriksaan fisik.
2
per minggu
per hari
5 40
2,9
0 3 bulan
ASI
Formula
5 28
2,0
6 12 bulan
5 28
1,8
1 3 tahun
4 21
1,4
> 3 tahun
3 14
1,0
Table 1. Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak. (dikutip dari
kepustakaan 4)
IV.
ETIOLOGI
Pada sebagian besar anak, penyebab konstipasi adalah fungsional,
karenanya tidak terdapat bukti obyektif untuk terjadinya suatu keadaaan patologis.
Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan oleh kelainan fungsional dan hanya
5% disebabkan oleh kelainan organik. Di antara penyebab organik, penyakit
Hirschprung adalah penyebab tersering dan paling penting. Walaupun demikian,
pada neonatus penyebab organik lebih sering daripada penyebab fungsional. Bila
terjadi konstipasi pada neonatus harus dipikirkan penyebab organik terlebih
dahulu seperti penyakit Hirschprung dan hipothyroidism.1
Konstipasi fungsional sebagian besar berkaitan dengan rasa nyeri saat
defekasi yang mengakibatkan penahanan feses secara sadar oleh seorang anak
dengan harapan defekasi yang tidak menyenangkan dapat dihindari. Berbagai
kejadian dapat menyebabkan rasa nyeri saat defekasi seperti toilet training terlalu
dini, perubahan makanan, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan
(dehidrasi), asupan susu yang berlebihan (susu mengandung rendah serat dan
tinggi kalsium), intoleransi terhadap susu sapi dapat bermanifestasi konstipasi
(8%), sebagian besar IgE-mediated dengan karakteristik utamanya infiltrasi
eosinofil, kejadian yang menyebabkan stres, menderita penyakit yang lama, tidak
3
tersedianya toilet, atau penundaan defekasi karena anak tersebut terlalu sibuk.
Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan pemanjangan stasis feses dalam kolon,
dengan reabsorpsi cairan, dan peningkatan ukuran dan konsistensi feses.1
Penyebab Konstipasi pada Anak1
Kausa
Idiopatik atau fungsional
Lesi sekunder pada anal
95%
Fisura Anal, lokasi anus yang terletak
Neurologikal
Endokrine / metabolic
penyakit Hirschsprung
Hypothyroidism, asidosis,
Obat-obatan
insipidus, hyperkalsemia
Anti konvulsi, antipsikotik, codein
palsy,
diabetes
PATOFISIOLOGI
Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait
dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi terganggu.
Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun suatu
obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan
idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik,
radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.5
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi
yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ
sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan
merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani
interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna
kemudian menjadi relaksasi dan faeses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon
melalui anus. Bila relaksasi sfingter interna tidak cukup kuat, maka sfingter anal
eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan. Otot
Isi
usus
REFLEKS
DEFEKASI
HILANG
SARAF
INTRINSIK
RELAKSASI
SFINGTER
INTERNA
kuat
RELAKSASI
SFINGTER
EXTERNA
DEFEK
ASI
lema
h
KONSTRIKSI
SFINGTER
EXTERNA
LAMA
Otot
puborektal
KONSTRIKSI
ANUS
VI.
Gejala
Konstipasi fungsional
Hirschsprung Disease
Jarang
Setelah 2 tahun
Jarang
Sering
Sering
Jarang
Tidak
Terdapat feses
Sering
Saat lahir
Sering
Hampir tidak pernah
Jarang
Sering
Bisa terjadi
Kosong
Mekonium terlambat
Onset
Failure to thrive
Fecal incontinence
Riwayat adanya fissura
Distensi abdomen
Enterocolitis
Colok dubur
DIAGNOSIS
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan
Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa
tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok
dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak
teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. 1
2.
3.
4.
IX.
PENATALAKSANAAN
Edukasi orang tua. Edukasi pada orang tua ini dapat diberikan mengenai
pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang dapat
diberikan. 6
glikol
diberikan
20ml/kg/jam
(maksimum
1000ml/jam)
diberikan melalui NGT selama 4 jam perhari. Evakuasi tinja dengan obat
per rectum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg BB 1-2
kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (6001000ml). Pada bayi digunakan enema gliserin 2-5ml. Evakuasi tinja
dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna. 6
Intervensi
diet,
anak
dianjurkan
banyak
minum,serta
3.
Apabila
terjadi
konstipasi
kronik,
rujuk
ke dokter
subspesialis
gastrohepatologi anak. 6
Bedah
11
X.
PROGNOSIS
Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya.
Anak dengan inkontinensia feses yang volunter tanpa disertai adanya mega
rektum dan impaksi (kemacetan) sangat resisten terhadap pengobatan. Anak
dengan keadaan seperti ini seringkali disertai gangguan tingkah laku yang berat,
dan memerlukan evaluasi dan pengobatan psikiatri. Selain itu, angka keberhasilan
tindakan pembedahan kolon pada penderita konstipasi yang intraktabel sangat
tergantung pada ketepatan diagnosis praoperasi. 6,7
12
DAFTAR PUSTAKA
1. USU.
Konstipasi.
2011
[cited
2012
oktober
15]. Available
from
:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter II.pdf
2. Mansjoer, Arif. Konstipasi. Kapita Selekta Kedokteran Gastroenterologi
Anak. Media Aesculapius FKUI. Jakarta :2000
3. Syarif, Badriul Hegar. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol. 6. Penerbit
FKUI. Jakarta :2004
4. Wendy S. Biggs, M.D., William H. Dery, M.D. Evaluation and Treatment of
Constipation in Infants and Children, Michigan State University College
of Human Medicine, East Lansing, Michigan [online]. 2006 Feb
1;73(3):469-477
[cited
2011
April
30].
Available
from:
http://www.aafp.org/afp/2006/0201/p469.html
5. Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo.
Konstipasi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya [online]. 2006 [cited 2011 April 30]. Available from:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110cmis232.htm
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak Edisi I 2004. Badan Penerbit IDAI. 2005.
7. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu
Kesehatan Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 1985.
8. E. Behrman, Richard. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 12 Bagian 3.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
13