Anda di halaman 1dari 295

BUKU AJAR

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Oleh :
IR. BAHARUDDIN, MP.
IRA TASKIRAWATI, S.Hut., M.Si

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2009

RINGKASAN MATERI

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan hasil hutan yang


menjadi harapan setelah era hasil hutan kayu mengalami penurunan akibat
luas hutan dan potensi semakin berkurang. HHBK ini merupakan hasil
hutan yang sangat banyak jumlahnya dan memiliki banyak manfaat setiap
jenisnya sehingga akan menyebabkan masalah di dalam pengelompokan
dan memberian sap-sap materi pengajaran.
Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah materi perkuliahan yang
dianggap dapat memayungi semua materi walaupun secera keseluruhan
tidak dapat disajikan secara tuntas dalam Satuan Acara Pengajaran (SAP)
atau GBRP. Dalam materi ini diberikan dalam 8 Bab meliputi : Bab I.
Pengertian Hasil Hutan Bukan kayu, Bab II. Tumbuhan Monokotil, Bab III.
Minyak Atsiri, Bab IV Minyak dan Lemak, Bab V. Tumbuhan Penghasil
Ekstraktif/Eksudat, Bab VI. Gaharu, Bab VII. Serangga Berguna, sedangkan
Jenis-jenis Hasil Hutan Bukan Lainnya di bahas pada Bab VIII.

xiii

TINJAUAN MATA KULIAH


A. Diskripsi Mata Kuliah :
Buku ini memaparkan mengenai Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu,
Klasifikasi Hasil Hutan Bukan
Kayu, Mengetahui Potensi, Penyebaran,
Pemanenan, Pengolahan, Pengujian Kualitas, dan Pemasaran Hasil Hutan Bukan
Kayu.
B. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa akan dapat menjelaskan
pengertian dan klasifikasi hasil hutan bukan kayu, mengetahui potensi,
penyebaran, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan bukan kayu.
C. Kegunaan Mata Kuliah :
Mahasiswa diharapkan mampu mengenal, mengetahui, mengolah, serta
memasarkan hasil hutan bukan kayu yang merupakan salah satu kekayaan hasil
hutan selain kayu
Kompetensi Utama

: 1. Meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi


sumberdaya hutan dan hasil hutan secara
lestari.
2. Merancang dan merekayasa produk hasil
hutan.

Kompetensi Pendukung

Kompetensi Lainnya

: Mampu bermitra
masyarakat.

1. Mampu mengkomunikasikan pikiran dan


gagasan secara lisan dan tertulis serta dapat
bekerjasama dengan orang lain.
2. Mampu menggunakan teknologi informasi
dalam memperoleh dan menyebarkan
informasi tentang hasil hutan bukan kayu.
dan

bersinergi

dengan

ix

D.

Tujuan Umum dan Khusus Tiap Bab

BAB I.

Materi
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu Menjelaskan pengertian hasil hutan Mendefinisikan,
(HHBK)
bukan kayu dan produk-produk Mengidentifikasi, dan klasifikasi
kehutanan yang masuk dalam HHBK
HHBK yang mempunyai nilai
sosial ekonomi

BAB II.

Tumbuhan Monokotil

Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan


monokotil; perbedaan dengan jenis
dikotil, dan klasifikasi jenis-jenis
monokotil,
serta
beberapa
pengolahan produk monokotil dan
pemasarannya.

Menjelaskan bambu, rotan, aren


dan nipah sebagai hasil hutan
bukan kayu dari tumbuhan
monokotil

BAB III.

Minyak Atsiri

Menjelaskan tentang HHBK minyak


atsiri; tanaman penghasil minyak
atsiri; karakteristik bahan baku
minyak atsiri dan metode ekstraksi
minyak atsiri dari beberapa jenis yang
memberikan nilai ekonomi yang tinggi
serta cara pengujian beberapa produk
minyak atsiri dan pemasarannya.

Menjelaskan kayu putih, minyak


eukaliptus dan minyak nilam
sebagai produk hasil hutan bukan
kayu dari golongan minyak atsiri

BAB IV

Materi
Minyak dan Lemak

Tujuan Umum
Menjelaskan
tentang
HHBK
minyak/lemak; tanaman penghasil
minyak/lemak; karakteristik bahan
baku minyak/lemak, dan metode
ekstraksi
minyak/lemak
dari
beberapa jenis yang memberikan
nilai ekonomi yang tinggi serta cara
pengujian
beberapa
produk
minyak/lemak dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan
jarak,
kemiri,
tengkawang, dan kalumpang
sebagai produk hasil hutan bukan
kayu
dari
golongan
minyak/lemak

BAB V.

Tumbuhan Penghasil Ekstraktif/Eksudat

Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan


penghasil ekstraktif/eksudat, potensi
dan penyebarannya, bahan baku,
teknologi pengolahannya, produk
turunannya,
kualitas
dan
cara
pengujian beberapa produk dan
pemasarannya.

Menjelaskan
resin
(Kopal,
damar, gondorukem, kemenyan
dan jernang) dan tanin (Bahan
Penyamak/Pewarna
alami)
sebagai produk hasil hutan bukan
kayu
dari
golongan
ekstraktif/eksudat

BAB VI.

Gaharu

Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan Menjelaskan gaharu sebagai


penghasil gaharu, potensi dan produk hasil hutan bukan kayu
penyebarannya, teknologi produksi
dan
pengolahannya,
produk
turunannya,
kualitas
dan
pemasarannya.

xi

BAB VII.

Serangga Berguna

Materi

Tujuan Umum
Menjelaskan jenis-jenis serangga
hutan, potensi dan budidaya,
teknologi pengolahannya, produk
turunannya, kualitas dan cara
pengujian beberapa produk serangga
hutan dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan lebah madu, ulat
sutera dan kutu lak sebagai
serangga berguna penghasil
produk hasil hutan bukan kayu

BAB VIII.

Jenis-Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Menjelaskan, jenis-jenis hasil hutan


Lainnya
bukan kayu lainnya, potensi dan
budidaya, teknologi pengolahannya,
produk turunannya, kualitas dan cara
pengujian beberapa produk dan
pemasarannya.

Menjelaskan HHBK turunan


kayu, tumbuhan obat dan
tumbuhan penghasil pati sebagai
HHBK.

xii

13

KATA PENGANTAR
Dalam rangka melaksanakan sistem pengajaran berbasis Student Center
Learning (SCL), maka keberadaan bahan ajar dalam bentuk buku ajar menjadi
sangat penting. Bukan berarti bahwa bahan ajar tersebut merupakan satu-satunya
buku wajib yang harus dimiliki oleh mahasiswa tetapi merupakan acuan untuk
dapat memperoleh atau mengakses materi-materi yang berkaitan dengan mata
kuliah tersebut.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan mata kuliah wajib diberikan
berdasarkan dengan kurikulum yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut maka
disusunlah buku ajar ini sebagai acuan untuk mempelajari lebih jauh tentang
HHBK. Dalam cakupan materi tentang HHBK maka dalam buku ajar ini sangat
terbatas dan difoukuskan kepada HHBK yang merupakan bernilai ekonomi dan
bernilai sosial tinggi. Namun dalam cakupan pelaksanaan tugas mandiri dan
berkelompok mahasiswa akan diajak untuk mempelajari HHBK lainnya walaupun
tidak terdapat dalam Buku Ajar ini, namun secara klasifikasi merupakan bagian
HHBK.
Berdasarkan manfaat ekonomi dan sosialnya maka sumber pengetahuan
tentang HHBK tidak hanya diperoleh dari ruang kuliah, perpustakaan, dan
internet, tetapi dimasyarakat juga merupakan sumber utama terutama yang
berkaitan dengan pemanfaatan HHBK sesuai dengan masyarakat lokal atau secara
etnobotani.
Dengan selesainya buku ajar ini diharapkan memberikan manfaat yang
besar bagi pengembangan ilmu kehutanan terutama berkaitan dengan Hasil Hutan
Bukan Kayu. Namun disadari bahwa masih ditemui banyak kekurangan sehingga
setiap saat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dan revisi sesuai dengan
perkembangan dimasyarakat.

Makassar, Agustus 2009


Tim Penyususn

ii

DAFTAR ISI
Halaman
Judul

.................................................................................

Kata Pengantar

.................................................................................

ii

Daftar Isi

.................................................................................

iii

Daftar Tabel

.................................................................................

vi

Daftar Gambar

.................................................................................

vii

Tinjauan Mata Kuliah .................................................................................


Ringkasan Materi

.................................................................................

BAB I.

PENGERTIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU....................


Tujuan Umum ..........................................................................
Tujuan Khuus ..........................................................................
1.1. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu .................................
1.2. Klasifikasi HHBK .............................................................
1.3. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu bagi Kehidupan Manusia .
1.4. Bahan Diskusi ....................................................................
1.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan ..............................................
1.6. Latihan Soal-Soal ..............................................................

I-1
I-1
I-1
I-1
I-3
I-6
I-9
I-9
I-9

BAB II.

TUMBUHAN MONOKOTIL ....................................................


Tujuan Umum ..........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
2.1. Mengenal Tumbuhan Monokotil .......................................
2.2. Perbedaan Tumbuhan Monokotil dan Dikotil ...................
2.3. Klasifikasi Tumbuhan Monokotil ......................................
2.4. Peranan Tumbuhan Monokotil bagi Manusia ...................
2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya ...............
2.5.1. Rotan ..............................................................................
2.5.2. Bambu ............................................................................
2.5.3. Sagu ................................................................................
2.5.4. Aren ................................................................................
2.5.5. Nipah ................................................................................
2.6. Bahan Diskusi ....................................................................
2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan ..............................................
2.8. Latihan Soal-Soal ..............................................................

II-1
II-1
II-1
II-1
II-1
II-8
II-10
II-11
II-11
II-42
II-51
II-91
II-103
II-114
II-115
II-115

BAB III.

MINYAK ATSIRI ....................................................................


Tujuan Umum ...........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
3.1. Pengertian HHBK Minyak Atsiri ......................................
3.2. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri ....................................

III-1
III-1
III-1
III-1
III-2
iii

3.2.1. Melaleuca Leucadendron Linn ......................................


3.3.2. Eucalyptus deglupta ........................................................
3.2.3. Pogostemon heyneanus Benth .......................................
3.3. Karakteristik Bahan Baku Minyak Atsiri ..........................
3.3.1. Komposisi Kimia Minyak Atsiri ..............................
3.3.2. Proses Terbentuknya Minyak Atsiri .........................
3.4. Kegunaan Minyak Atsiri .....................................................
3.5. Metode Ekstraksi Minyak Atsiri .........................................
3.6. Bahan Diskusi ....................................................................
3.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan ..............................................
3.8. Latihan Soal-Soal ..............................................................

III-2
III-7
III-9
III-17
III-17
III-18
III-20
III-22
III-26
III-26
III-26

BAB IV. MINYAK DAN LEMAK .........................................................


Tujuan Umum ..........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
4.1. Pengertian HHBK Minyak dan Lemak .............................
4.2. Tanaman Penghasil Minyak dan Lemak ...........................
4.2.1. Minyak Jarak ....................................................................
4.2.2. Minyak Kemiri ...............................................................
4.2.3. Minyak Tengkawang .......................................................
4.2.4. Minyak Kalumpang .........................................................
4.3. Metode Ekstraksi Minyak dan Lemak ...............................
4.4. Bahan Diskusi ....................................................................
4.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan ..............................................
4.6. Latihan Soal-Soal ..............................................................

IV-1
IV-1
IV-1
IV-1
IV-2
IV-2
IV-3
IV-6
IV-8
IV-11
IV-14
IV-14
IV-15

BAB V.

TUMBUHAN PENGHASIL EKSTRAKTIF/EKSUDAT .......


Tujuan Umum ...........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
5.1. Tumbuhan Penghasil Resin .................................................
5.1.1. Damar .............................................................................
5.1.2. Gondorukem ..................................................................
5.1.3. Kemenyan ......................................................................
5.1.4. Kopal ..............................................................................
5.1.5. Jernang ...........................................................................
5.2. Tumbuhan Penghasil Tanin (Bahan Penyamak/Pewarna
Alami) ................................................................................
5.2.1. Bahan Penyamak ............................................................
5.2.1. Bahan Pewarna ...............................................................
5.3. Bahan Diskusi ....................................................................
5.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan ..............................................
5.5. Latihan Soal-Soal ..............................................................

BAB VI. GAHARU


..........................................................................
Tujuan Umum ..........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
6.1. Jenis-jenis
Tumbuhan
Penghasil
Gaharu
dan
Penyebarannya .................................................................

V-1
V-1
V-1
V-1
V-2
V-6
V-8
V-10
V-12
V-13
V-13
V-16
V-18
V-19
V-19
VI-1
VI-1
VI-1
VI-2

iv

6.2.
6.3.
6.4.
6.5.
6.6.
6.7.
6.8.

Manfaat Gaharu ................................................................


Teknologi Pengolahan Gaharu .........................................
Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen Gaharu ..........
Arti Ekonomi Tanaman Gaharu .......................................
Bahan Diskusi ..................................................................
Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................
Latihan Soal-Soal .............................................................

VI-2
VI-4
VI-5
VI-7
VI-8
VI-8
VI-8

BAB VII. SERANGGA BERGUNA ........................................................


Tujuan Umum ..........................................................................
Tujuan Khusus ..........................................................................
7.1. Serangga Berguna ............................................................
7.2. Jenis-jenis Serangga Hutan Berguna ...............................
7.2.1. Lebah Madu ...................................................................
7.2.2. Ulatsutera .......................................................................
7.2.3. Kutu Lak ........................................................................
7.3. Bahan Diskusi ..................................................................
7.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................
7.5. Latihan Soal-Soal .............................................................

VII-1
VII-1
VII-1
VII-1
VII-1
VII-1
VII-13
VII-28
VII-42
VII-42
VII-42

BAB VIII. JENIS-JENIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU LAINNYA... VIII-1


Tujuan Umum .......................................................................... VIII-1
Tujuan Khusus .......................................................................... VIII-1
8.1. Jenis-jenis Hasil Hutan Kayu Lainnya ............................. VIII-1
8.1.1. Burung Walet ................................................................ VIII-1
8.1.2. Jamur .......................................................................... VIII-21
8.2. Bahan Diskusi .................................................................. VIII-31
8.3. Bacaan/Rujukan Pengayaan ............................................. VIII-32
8.4. Latihan Soal-Soal ............................................................. VIII-32
Daftar Pustaka

DAFTAR TABEL
Halaman
2.1.

Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil


berdasarkan ciri fisik ........................................................................
II-2
2.2. Sub-klas, ordo, dan famili dalam monocotiledoneae .......................
II-8
2.3. Potensi produksi rotan Indonesia ...................................................... II-14
2.4. Daftar jenis rotan komersil dan daerah sebaran di Indonesia ........... II-18
2.5. Penyebaran Marga Bambu ............................................................... II-43
2.6. Perkiraan potensi sagu di Indonesia, Papua Nugini,
Ma1aysia. Thailand. Filipina dan Kepulauan Pasifik ....................... II-55
2.7. Perkiraan luas sagu di beberapa propinsi di Indonesia ..................... II-57
2.8. Luas areal hutan sagu di Irian Jaya ................................................... II-57
2.9. Sebaran dan luas areal sagu di Propinsi Maluku .............................. II-58
2.10. Sebaran dan luas areal sagu di Jawa Barat ........................................ II-60
2.11. Sebaran dan luas areal sagu di Riau .................................................. II-60
2.12. Populasi sagu di Pulau Seram, Buru dan Halmahera ........................ II-62
2.13. Populasi sagu siap panen berdasarkan jenisnya ................................ II-62
2.14. Produksi aci dan berbagai jenis sagu di Seram Barat ........................ II-63
2.15. Ukuran batang, umur dan hasil aci sagu di Irian Jaya ....................... II-64
2.16. Produksi rata-rata pohon sagu dari Jayapura ....................................... II-64
2.17. Produksi rata-rata aci sagu dan pohon sagu di Salawati Irian
Jaya .................................................................................................... II-64
2.18. Data tanaman sagu di lembah Sungai Sepik Papua Nugini ............... II-65
2.19. Produksi aci per pohon di Riau .......................................................... II-65
3.1. Persyaratan mutu minyak kayu putih ............................................... III-6
4.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok minyak
lemak ................................................................................................. IV-1
4.2. Perbedaan pengepresan hidrolik (Hydraulic Press) dengan
pengepresan berulir (Screw Press) ................................................... IV-12
5.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok resin .................
V-2
5.2. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok tanin ................ V-13
5.3. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok bahan
pewarna ............................................................................................. V-16
6.1. Harga glubal gaharu menurut kelas .................................................. VI-7
7.1. Persen kandungan air kokon ............................................................. VII-26
7.2. Penentuan kelas mutu kokon secara visual/fisik .............................. VII-28
8.1. Fase perkembangbiakan wallet ......................................................... VIII-14
8.2. Kandungan asam amino esensial, semi-esensial, dan nonesensial yang terdapat pada sarang wallet ........................................ VIII-19
8.3. Analisis zat gizi dari hasil uji coba 100 gram sarang burung
walet dengan beberapa perlakuan ..................................................... VIII-20
8.4. Perbandingan kandungan gizi jamur dan bahan makanan
lain (dalam %) .................................................................................... VIII-23

vi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Embrio pada tanaman jagung .............................................................
II-5
2.2. Perbedaan struktur tanaman dikotil (atas) dan monokotil
(bawah) : akar, berkas pengangkutan, pertulangan daun, dan
struktur bunga ....................................................................................
II-6
2.3. Contoh berbagai bentuk pertulangan daun pada tumbuhan
monokot .............................................................................................
II-6
2.4. Perakaran serabut dan akar adventif tumbuhan monocot .................
II-7
2.5. Penilaian sumber daya rotan dunia .................................................... II-17
2.6. Peta Pusat Daerah Sagu di Malaysia, Indonesia, Phillipina
dan Papua Nugini .............................................................................. II-55
2.7. Peta Areal Sagu di Indonesia ............................................................. II-56
2.8. Potensi Tanaman Sagu ..................................................................... II-59
2.9. Peta penyebaran Corypha, Arenga, Euqeissona dan caryota ............. II-66
2.10. Penampang membujur batang sagu ................................................... II-73
2.11. Struktur mikrokopis empelur beberapa jenis sagu ........................ II-74
2.12. Skema pembuatan gula aren ............................................................. II-100
3.1. Mikrograf kilasan electron bahian-bagian daun 1.
Eucalyptus camaldulensis 135x. 2. Ficus elastic, yang
memperlihatkan litosista berisikan sistolit. Sumber FAHN
A. (Anatomi Tumbuhan) ................................................................. III-20
3.2. Penyulingan dengan air ...................................................................... III-24
4.1. Biji kemiri yang sudah dikupas dari cangkangnya ........................... IV-4
4.2. Alat pemecah biji kemiri .................................................................. IV-5
4.3. Buah tengkawang ............................................................................. IV-7
4.4. Pohon Kalumpang (S. foetida Linn.) yang terdapat di
Universitas Hasanuddin, Makassar .................................................. IV-9
4.5. Buah kalumpang muda (A), Buah kalumpang siap panen (B) ........... IV-10
5.1. Bubuk damar ....................................................................................
V-3
5.2. Gondorukem .....................................................................................
V-6
5.3. Pabrik Gondorukem Perum Perhutani ..............................................
V-8
5.4. Kopal dari Madagaskar .................................................................... V-10
7.1. Ulatsutera .......................................................................................... VII-15
7.2. Beberapa produk hasil olahan lak : a. lak putih, b. Mica, c.
kayu yang telah dipernis, d. keripik lak, e. permen yang
menggunakan lak sebagai pelapis .................................................... VII-29
7.3. Proses penularan kutu lak : a. Seleksi bibit, b-c.
Memasukkan bibit lak dalam kantong, d. Bibit lak di bawa
ke lapangan, e. Persiapan penularan lak, f-g. Peletakan bibit
lak pada tanaman kesambi, h. Bibit lak yang telah diletakkan
di pohon ............................................................................................ VII-33
7.4. Kutu lak yang swarming dan mulai mencari tempat pada
ranting (beberapa hari setelah peletakan bibit) .................................. VII-34
7. 5. Kutu lak setelah 1 bulan penularan .................................................. VII-34
7.6. Kutu lak yang menulari ranting tanaman kesambi ........................... VII-34

vii

7.7.
7.8.
7.9.

7.10.
7.11.
7.12.

7.13.
7.14.
7.15.
8.1.
8.2.
8.3.
8.4.
8.5.
8.6.
8.7.
8.8.
8.9.
8.10.
8.11.

Pungutan bekas bibit lak dikeluarkan dari kantong untuk


dikirim ke pabrik ............................................................................... VII-36
Lak siap unduh ................................................................................. VII-37
Proses pengunduhan lak batang : a-b. Pemotongan cabang
dan ranting yang akan diunduh, c. Ranting hasil
pemangkasan, d-f. Pemotongan dan pengguntingan lak
cabang ............................................................................................... VII-38
Perlakuan unduhan prematur ............................................................ VII-38
Tanaman inang setelah dilakukan pengunduhan ............................. VII-38
Lak dari hutan yang dikumpulkan di gudang untuk diseleksi:
a. lak batang yang belum diseleksi, b. lak batang yang akan
dijadikan bibit, c. lak batang afkir ..................................................... VII-39
Proses pengantongan bibit lak ........................................................... VII-40
Lak cabang AII dan AIII .................................................................. VII-41
Lak cabang yang siap diangkut ke pabrik untuk diprooses
menjadi lak butiran ........................................................................... VII-41
Budidaya walet pada gedung/bangunan ........................................... VIII-2
Burung walet dan sarangnya ........................................................... VIII-13
Sarang Walet Merah .......................................................................... VIII-16
Sarang Walet Putih ............................................................................ VIII-17
Sarang Walet Kuning ........................................................................ VIII-18
Sarang Walet Hitam .......................................................................... VIII-18
Jamur pada batang pohon .................................................................. VIII-21
Jamur champignon, salah satu jamur konsumsi yang sudah
dibudidayakan .................................................................................... VIII-22
Jamur kuping ..................................................................................... VIII-24
Jamur tiram ........................................................................................ VIII-26
Jamur merang .................................................................................... VIII-28

viii

BAB I. PENGERTIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU


Tujuan Umum
Menjelaskan pengertian hasil hutan bukan kayu dan produk-produk kehutanan
yang masuk dalam HHBK

Tujuan Khusus
Mendefinisikan, Mengidentifikasi, dan klasifikasi HHBK yang mempunyai nilai
sosial ekonomi

1.1. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu


Hutan tropis secara tradisional dilihat sebagai sumberdaya penting : lahan
dan kayu gergajian. Di dalam pemerolehan lahan, jutaan hektar hutan tropis telah
dibuka dan dikonversi untuk pemanfaatan lahan alternatif. Di dalam pemerolehan
kayu, banyak areal telah dipanen dengan panen pilih yang bernilai tinggi. Pada
bagian ini kita akan membicarakan produk yang ke tiga yang dapat diperoleh dari
hutan tropis yaitu Non Timber Forest Products (NTFPs) atau Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Produk ini meliputi resin, kulit, tanaman pangan (edible plants),
material konstruksi, produk hewan dan obat-obatan.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) penting untuk konservasi, kelestarian
dan ekonomi. Penting untuk konservasi sebab untuk mengeluarkan hasil hutan
bukan kayu biasanya dapat dilakukan dengan kerusakan minimal terhadap hutan.
HHBK penting untuk kelestarian sebab proses panen biasanya dapat dilakukan
secara lestari dan tanpa kerusakan hutan. Penting untuk ekonomi karena bukantimber produk ini berharga/memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada beberapa
keadaan (Circumtimes), pendapatan dari HHBK dapat

lebih banyak jika

dibandingkann pendapatan dari semua alternatif yang lain. Mengeluarkan HHBK


dapat memperkembangkan antara pengawetan dan pengembangan hutan tropis.
Keuntungan lain dari pengelolaan HHBK adalah dapat mengurangi kerusakan
hutan alam, selama masyarakat lokal memperoleh pendapatan dari lahan hutan.
FAO mendefinisikan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah produk biologi asli
selain kayu yang diambil dari hutan, lahan perkayuan dan pohon-pohon yang

I-1

berada di luar hutan. NWFP menggunakan pengertian yang berbeda dari


pengertian umum mengenai HHBK yaitu Non-Timber Forest Product (NTFP)
yang meliputi kayu untuk penggunaan selain kayu walaupun masih ada areal yang
abu-abu.

Istilah NTFP memiliki pengertian produk hutan bukan kayu yang

meliputi semua material biologi selain kayu yang di sadap dari hutan untuk
kebutuhan manusia.
Dari Buku Non-Timber Forest Product Data Base yang diterbitkan oleh
CIFOR dalam publikasi khususnya disebutkan sebagai berikut : istilah-istilah
Hasil Hutan Bukan Kayu seperti Non-timber Forest Products, Non-wood
Forest Products, Minor Forest Products, Multi-use Forest Produce,
Vernacular Forest Products, Special Forest Products yang dikemukakan oleh
setiap pengarang semata-mata untuk pertimbangan kesederhanaan.
Singkatan NTFP untuk Hasil Hutan Bukan Kayu dapat juga disebut
NWFP (non-Wood Forest Product), tapi istilah NTFP lebih sering didengar dan
mungkin lebih gampang diterima, walaupun FAO lebih memilih istilah NWFP.
Penelitian tentang Hasil Hutan Non-Kayu tidak digunakan secara konsisten hal ini
disebabkan oleh laporan produk yang tercantum dalam laporan itu berbeda untuk
tiap penulisnya sehingga susah untuk diperbandingkan. Contohnya ada dalam
beberapa definisi berikut ini :
FAO dalam www.fao.org/forestry/fop/fopw/nwfp (berlaku Juni 2001) menuliskan
definisi sebagai berikut : Hasil Hutan Bukan Kayu adalah produk biologi asli
selain kayu yang diambil dari hutan, lahan perkayuan dan pohon-pohon yang
berada di luar hutan. Hasil Hutan Bukan Kayu yang dipungut dari alam bebas,
atau dihasilkan dari hutan yang ditanami, skema agroforestry dan pohon-pohon
yang berada diluar hutan. Contoh Hasil Hutan Bukan Kayu berupa makanan atau
bahan tambahan (additive) untuk makanan (biji-bijian yang dapat dimakan,
jamur/cendawan, buah-buahan, herba, bumbu dan rempah-rempah, tumbuhan
aroma dan binatang buruan), serat (yang digunakan untuk konstruksi, furniture,
pakaian atau perlengkapan), damar, karet, tumbuhan dan binatang yang digunakan
untuk obat-obatan, kosmetika dan keperluan upacara adat (religi dan culture).

I-2

Dykstra & Heinrich, 1996 (FAO): semua materi biologi, selain kayu industri,
yang melalui proses ekosistem alam, baik untuk keperluan komersial, untuk
keperluan sehari-hari ataupun juga untuk keperluan sosial, budaya dan agama.
Sist et al., 1998 (CIFOR) menuliskan definisi yang sama, bedanya hanya
menghilangkan kata ekosistem alam dan menggantinya dengan kata hutan.
Profounds www.ntfp.org (2001) mencantumkan pemisahan yang lebih luas
dengan definisi sebagai berikut: Hasil Hutan Bukan Kayu meliputi semua bahan
biologi selain kayu yang di hasilkan dari hutan untuk kebutuhan manusia, dengan
demikian maka kayu industri digantikan oleh balok dan digunakan untuk
keperluan rumah tangga atau untuk keperluan sosial, budaya dan agama.

1.2. Klasifikasi HHBK


Tidak ada standar umum yang dipakai dalam pengklasifikasian Hasil
Hutan Bukan Kayu.
Ada tiga contoh pengklasifikasian tipe produk yaitu:
1. Pancel, 1993:
a. Karet dan damar
b. Bahan celup dan penyamak. Bahan celup berasal dari campuran
bermacam tumbuhan, kulit kayu, daun dan buah. Penyamak berasal dari
phenols yang dapat larut yang berasal dari bagian-bagian tumbuhan
seperti kayu atau kulit kayu.
c. Tumbuhan yang dapat dimakan
d. Bahan serat
e. Obat-obatan
f. Produk dari binatang
2.

Qwist-Hoffman et al., 1998 (RECOFTC):


a.

Serat dan benang

b.

Produk yang dapat dimakan

c.

Berupa ekstrak dan cairan

d.

Tumbuhan obat-obatan

e.

Tumbuhan ornamen/ pohon hias

f.

Hasil dari binatang

I-3

3.

Profounds webpage www.ntfp.org (2001) mengklasifikasikan Hasil Hutan


Bukan Kayu menjadi lima bagian, gabungan dari kelompok produk dan tipe
produk:
a. Tumbuhan yang dapat dimakan
1. Makanan
2. Minyak yang dapat dikonsumsi
3. Bumbu
4. Makanan ternak
5. Tumbuhan lain yang dapat dikonsumsi
6. Tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi
b. Tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi lainnya
1. Rotan
2. Bambu
3. Produk kayu
4. Pohon hias
5. Bahan kimia
c. Bahan obat-obatan
-

Semua bahan obat-obatan

d. Hewan yang dapat dikonsumsi


1. Binatang darat
2. Produk dari hewan
3. Ikan dan invetebrata air
e. Produk hewan lainnya yang dapat dikonsumsi
1. Produk hewan yang tidak dapat dikonsumsi
2. Serangga
3. Margasatwa dan binatang hidup
4. Hewan yang tidak dapat dikonsumsi lainnya

Permasalahan utama yang terjadi dalam pengklasifikasian ini adalah


masalah pengklasifikasian susunan dan manfaatnya. Struktur/susunan contohnya:
serat dan ekstrak sedangkan contoh manfaat: yang dapat dikonsumsi dan obatobatan. Sebagai tambahan contohnya damar. Perbedaan kualitas suatu produk

I-4

tergantung dari spesiesnya. Damar misalnya, damar dapat digunakan sebagai


produk untuk obat-obatan, sama seperti minyak yang dapat di konsumsi dan
digunakan untuk industri kosmetik, damar dapat diklasifikasikan ke dalam
katagori karet dan damar atau obat-obatan menurut pengklasifikasian Panchel
dan termasuk katagori ekstrak dan cairan atau tumbuhan obat-obatan menurut
Qwist-Hoffman tetapi tidak akan cocok bila diklasifikasikan sebagai bahan untuk
kosmetika. Dalam penjelasan pengklasifikasian Profound, damar dikategorikan ke
dalam kelompok vegetative. Sedangkan bambu memiliki dua katagori sebagai
tumbuhan yang dapat dimakan (untuk tunas muda) dan tumbuhan yang tidak
dapat dimakan. Hal ini agak membingungkan dalam mengklasifikasikannya. Hasil
Hutan Bukan Kayu ini sedikit agak rumit untuk diklasifikasikan bila dilihat dari
asalnya, kadang orang mengkatagorikannya ke dalam produk industri dan
terkadang sebagai produk yang dipungut dari hutan. Tapi tentu saja HHBK itu
merupakan produk yang dipungut dari hutan dan bukan merupakan produk
industri. Contoh untuk kasus ini adalah:
1. Kayu dijadikan minyak ekstrak bagi perusahaan kimia untuk produk sabun
atau parfum;
2. Damar pohon cemara dijadikan bahan industri penghasil minyak tusam;
3. Biji-bijian dari pohon dipterocarp dijadikan minyak ekstrak untuk bahan
industri berskala kecil sebagai bahan baku untuk mentega.
Pengklasifikasian kelompok tumbuhan merambat dianggap kurang jelas
maksudnya, karena rotan menurut definisinya dikatagorikan ke dalam palem
rambat yang berduri. Dalam database proyek rotan diklasifikasikan ke dalam
kelompok produk merambat dan bukan katagori kelompok produk palem.
Kelompok evaluasi menjadi sub-kelompok produk dalam laporan ini. Penggunaan
istilah sub-kelompok memang sangat tepat, misalnya: sub-kelompok untuk rotan
yang merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa rotan tetapi secara
umum ia tidak disebut rotan. Lebah juga merupakan HHBK masuk dalam subkelompok madu dan lilin, yang masuk dalam satu katagori.
1. HHBK dibedakan berdasarkan keberadaannya disuatu areal tertentu atau
tersebar; nilai per kg; pasar tetap; ada selama musim panen; menghasilkan
uang.

I-5

2. HHBK yang paling banyak ditemui dan tersebar dimana-mana, biasanya


dipanen dalam jumlah yang besar oleh kelompok tertentu; sebagian besar
dipanen sebelum masa transaksi; harga memuaskan/sesuai; dilakukan
ketika kegiatan alternatif (seperti menyadap karet, bertani) kurang
menarik; sebagian besar dijual dan sisanya digunakan untuk kebutuhan
rumah tangga.
3. HHBK yang ada sesuai musim atau harus di pungut oleh tenaga
ahli/khusus; sebagian besarnya dijual dan sisanya di konsumsi sendiri;
merupakan pendapatan tambahan.
4. HHBK dipungut untuk di konsumsi sendiri atau di jual.
5. HHBK yang sedikit tidak dibahas secara mendalam disini.

1.3. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu bagi Kehidupan Manusia


Hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya alam yang sangat
melimpah di Indonesia dan memiliki prospek yang sangat baik untuk
dikembangkan. Sampai dengan tahun 2004, luas hutan Indonesia seluas 120,35
juta ha. Seluas 109,9 juta ha telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai
kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24
juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21
juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat
dikonversi seluas 13,67 juta ha. Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan
negara

dengan

kekayaan

alam

hayati

yang

tinggi,

tercermin

dengan

keanekaragaman jenis satwa dan flora. Indonesia memiliki mamalia 515 jenis (12
% dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia),
1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis
binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan. Jika kita mampu mengelolah
dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut secara lestari maka sumber daya
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejak zaman prasejarah hasil hutan bukan kayu telah banyak dimanfaatkan
oleh manusia. Sebelum manusia mengenal peralatan logam manusia purba telah
menggunakan batu gunung dan tulang binatang sebagai alat berburu. Pada saat
itu, manusia purba hidup berburu dan meramu dan belum mengenal bangunan

I-6

rumah. Mereka tinggal di dalam gua. Pakaian mereka masih berupa kulit binatang,
daun-daun dan kulit-kulit kayu yang yang dijalin rapi. Beberapa tumbuhantumbuhan dari hutan mereka gunakan sebagai tanaman obat.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mereka kemudian telah
mengenal teknik bercocok tanam. Mereka mulai bercocok tanaman umbi-umbian
dari hutan sebagai sumber makanan mereka dan telah menjinakkan hewan sebagai
hewan peliharaan untuk bahan makanan dan kendaraan mereka.

Selain itu,

mereka kemudian mengenal teknik menganyam. Mereka mengajam rotan, bambu,


daun pandan sebagai alat-alat rumah tangga seperti tikar, bakul, tampi, topi,
kurungan ayam dan lain-lain sebagainya. Dalam upacara-upacara adat hasil hutan
bukan kayu sangat memegang peranan penting. Hasil kerajinan terkadang
dijadikan mas kawin seperti sarung sutera, bakul dan perabot rumah lainnya.
Selain itu, pewarna-pewarna alam juga sudah banyak dikenal sebagai pewarna
makanan dalam kegiatan upacara adat.
Sejak manusia mengenal kayu sebagai bahan bangunan, penggunaan hasil
hutan kayu tetap tidak lepas dari kehidupan manusia. Walaupun komponen
strukturalnya adalah kayu namun masih tetap mengandalkan bambu sebagai
pagar, tiang, jendela, dan atap. Rotan sebagai bahan furniture dan pengikat kayu
dan ijuk sebagai bahan atap rumah. Di beberapa daerah di Indonesia penggunaan
hasil hutan bukan kayu sebagai komponen struktural masih tetap diminati.
Bagi masyarakat pedesaaan hasil hutan bukan kayu merupakan sumber
daya yang penting bahkan merupakan kebutuhan pokok mereka. Mereka
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sebagai pangan (pati sagu, umbi-umbian,
pati aren, nira aren), bumbu makanan (kayu manis, pala) dan obat-obatan. Selain
itu, mereka juga menggunakan hasil hutan bukan kayu sebagai bahan pembuat
pakaian seperti sarung sutera serta sebagai bahan pembuat bangunan rumah.
Sampai saat ini, peranan hasil hutan bukan kayu tetaplah penting, bahkan
pemanfaatannya telah mulai ditingkatkan seperti pemanfaatan bambu sebagai
pembuat kertas dan papan komposit, nira aren sebagai penghasil gula, cuka dan
bioetanol; rotan sebagai furniture yang menarik, bahan ekstraktif sebagai parfum
dan lain-lain sebagainya. Oleh karena itu, semakin tinggi peradaban manusia
semakin tinggi pula tingkat ketergantungnya pada hasil hutan bukan kayu.

I-7

Secara umum peranan hasil hutan bukan kayu bagi kehidupan manusia
adalah:
1. Sebagai bahan makanan seperti pati sagu, umbi-umbian (talas, gadung, suweg
dan lain-lain), biji-bijian (pangi, biji aren, biji polong-polongan dan lain-lain)
dan buah-buahan (mangga, durian, sukun)
2. Sebagai komponen bangunan (bambu dan batang aren).
3. Sebagai furniture
4. Sebagai perabot rumah tangga
5. Sebagai penghasil bahan kimia dan produk-produk industri
6. Sebagai bahan obat-obatan.
7. Sebagai bahan kosmetik
8. Sebagai bahan pengawet
9. Sebagai bahan perekat
10. Sebagai bahan minuman
11. Sebagai bahan bioenergi
12. Sebagai pewarna alami
13. Sebagai bahan kerajinan tangan
14. Sebagai bahan indutri tekstil
15. Sebagai alat musik dan olahraga
16. Sebagai makanan ternak
17. Sebagai alat mainan dan boneka
18. Sebagai senjata dan peralatan berburu
19. Sebagai bahan penghiasan (tanaman hias dan kegemaran)
20. dan lain sebagainya
Ciri ekonomi mata pencaharian masyarakat di pedesaan, terutama di
negara-negara berkembang adalah suatu keberagaman. Masayarakat desa
mengandalkan pemanfaatan langsung hasil pertanian dan hutan serta berbagai
sumber pendapatan lainnya yang dihasilkan dari penjualan hasil hutan atau dari
upah bekerja. Berdasarkan tingkat pendapatan tunai rumah tangga dan proporsi
pendapatan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu, maka masyarakat desa yang
berkecimpung dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat dibagi ke dalam
tiga kategori utama yaitu :

I-8

1. Rumah tangga yang bergantung penuh pada sumber daya sekadarnya


(pemanfaatan langsung dari hutan).
2. Rumah tangga yang menggunakan hasil hutan bukan kayu komersial sebagai
pendapatan tambahan.
3. Rumah tangga yang mendapatkan sebagian besar pendapatan tunainya dari
penjualan hasil hutan bukan kayu.

1.4. Bahan Diskusi


Pada bagian ini, mahasiswa secara berkelompok diminta untuk mendiskusikan
dan menyampaikan pendapat tentang Permasalahan, Peluang dan Strategi
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia.

Diskusi ini akan

dilaksanakan dikelas dengan meknisme sebagai berikut :


1. Peserta mata kuliah dibagi menjadi 3 kelompok
2. Kelompok I memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya dengan tema diskusi : Permasalahan

Pengelolaan Hasil

Hutan Bukan Kayu di Indonesia


3. Kelompok II memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya dengan tema diskusi : Peluang Pengelolaan Hasil Hutan
Bukan Kayu di Indonesia
4. Kelompok III memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya dengan tema diskusi : Strategi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan
Kayu di Indonesia
5. Tiap kelompok membuat resume hasil diskusi yang telah dilaksanakan
6. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas
untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya

1.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/
1.6. Latihan Soal-Soal
1. Jelaskan pengertian hasil hutan bukan kayu !
2. Jelaskan klasifikasi hasil hutan bukan kayu yang anda ketahui !
I-9

3. Jelaskan bagaimana peran HHBK bagi masyarakat sekitar hutan !


4. Jelaskan permasalahan apa saja yang dihadapi dalam pengelolaan HHBK !
5. Jelaskan peluang apa saja yang dihadapi dalam pengelolaan HHBK !
6. Jelaskan Strategi dalam pengelolaan HHBK !

I-10

BAB II. TUMBUHAN MONOKOTIL


Tujuan Umum
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan monokotil; perbedaan dengan jenis dikotil,
dan klasifikasi jenis-jenis monokotil, serta beberapa pengolahan produk
monokotil dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan bambu, rotan, aren dan nipah sebagai hasil hutan bukan kayu dari
tumbuhan monokotil

2.1. Mengenal Tumbuhan Monokotil


Monokotil merupakan salah satu kelompok hasil hutan ikutan (Hasil Hutan
Bukan Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan
terutama masyarakat yang berkecimpun langsung dengan pemanfaatan dan
pemungutan HHBK monokotil

maupun masyarakat yang lebih luas yang

memanfaatkan HHBK monokotil sebagai bahan makanan, bahan baku industri,


bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tumbuhan kelas tingkat tinggi dapat dibedakan atau dibagi menjadi
dua macam, yaitu tumbuh-tumbuhan berbiji keping satu atau yang disebut dengan
monokotil / monocotyledonae dan tumbuhan berbiji keping dua atau yang disebut
juga dengan dikotil/dicotyledonae. Ciri-ciri tumbuhan monokotil dan dikotil
hanya dapat ditemukan pada tumbuhan subdivisi angiospermae karena memiliki
bunga yang sesungguhnya.

2.2. Perbedaan Tumbuhan Monokotil dan Dikotil


Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil berdasarkan ciri fisik
pembeda yang dimiliki :

II-1

Tabel 2.1. Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil berdasarkan ciri
fisik
Ciri Fisik
Monokotil
Dikotil
Bentuk akar
Memiliki sistem akar
Memiliki sistem akar
serabut
tunggang
Bentuk sumsum atau pola
Melengkung atau
Menyirip atau menjari
tulang daun
sejajar
Kaliptrogen / tudung akar
Ada tudung akar /
Tidak terdapat ada
kaliptra
tudung akar
Jumlah keping biji atau
satu buah keping biji
Ada dua buah keping
kotiledon
saja
biji
Kandungan akar dan batang
Tidak terdapat
Ada kambium
kambium
Jumlah kelopak bunga
Umumnya adalah
Biasanya kelipatan
kelipatan tiga
empat atau lima
Pelindung akar dan batang
Ditemukan batang
Tidak ada pelindung
lembaga
lembaga / koleoptil
koleorhiza maupun
dan akar lembaga /
koleoptil
keleorhiza
Bisa tumbuh
Pertumbuhan akar dan batang Tidak bisa tumbuh
berkembang menjadi
berkembang menjadi
membesar
membesar
Contoh Tumbuhan
Kelapa, Jagung, dan
Kacang tanah,
lain sebagainya
Mangga, Rambutan,
Belimbing, dan lainlain.

Terdapat perbedaan antara batang dikotil dan monokotil dalam susunan


anatominya.
1. Batang Dikotil
Pada batang dikotil terdapat lapisan-lapisan dari luar ke dalam :
a. Epidermis
Terdiri atas selaput sel yang tersusun rapat, tidak mempunyai ruang antar
sel. Fungsi epidermis untuk melindungi jaringan di bawahnya.

Pada

batang yang mengalami pertumbuhan sekunder, lapisan epidermis


digantikan oleh lapisan gabus yang dibentuk dari kambium gabus.
b. Korteks
Korteks batang disebut juga kulit pertama, terdiri dari beberapa lapis sel,
yang dekat dengan lapisan epidermis tersusun atas jaringan kolenkim,
makin ke dalam tersusun atas jaringan parenkim.

II-2

c. Endodermis
Endodermis batang disebut juga kulit dalam, tersusun atas selapis sel,
merupakan lapisan pemisah antara korteks dengan stele. Endodermis
tumbuhan Angiospermae mengandung zat tepung, tetapi tidak terdapat
pada endodermis tumbuhan Gymnospermae.
d. Stele/Silinder Pusat
Merupakan lapisan terdalam dari batang. Lapis terluar dari stele disebut
perisikel atau perikambium. lkatan pembuluh pada stele disebut tipe
kolateral yang artinya xilem dan floem. Letak saling bersisian, xilem di
sebelah dalam dan floem sebelah luar.
Antara xilem dan floem terdapat kambium intravasikuler, pada
perkembangan selanjutnya jaringan parenkim yang terdapat di antara berkas
pembuluh angkut juga berubah menjadi kambium, yang disebut kambium
intervasikuler. Keduanya dapat mengadakan pertumbuhan sekunder yang
mengakibatkan bertambah besarnya diameter batang.
Pada tumbuhan dikotil, berkayu keras dan hidupnya menahun,
pertumbuhan menebal sekunder tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya
pada saat air dan zat hara tersedia cukup, sedang pada musim kering tidak terjadi
pertumbuhan sehingga pertumbuhan menebalnya pada batang tampak berlapislapis, setiap lapis menunjukkan aktivitas pertumbuhan selama satu tahun, lapislapis lingkaran tersebut dinamakan Lingkaran Tahun.

2. Batang Monokotil
Pada batang monokotil, epidermis terdiri dari satu lapis sel, batas antara
korteks dan stele umumnya tidak jelas. Pada stele monokotil terdapat ikatan
pembuluh yang menyebar dan bertipe kolateral tertutup yang artinya di antara
xilem dan floem tidak ditemukan kambium. Tidak adanya kambium pada
monokotil menyebabkan batang monokotil tidak dapat tumbuh membesar, dengan
perkataan lain tidak terjadi pertumbuhan menebal sekunder. Meskipun demikian,
ada monokotil yang dapat mengadakan pertumbuhan menebal sekunder, misalnya
pada pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan pohon Nenas seberang (Agave sp).

II-3

Monokotil bercirikan adanya satu daun lembaga, daun sempit dengan


tulang daun sejajar, berkas pembulu angkut dalam batang terpencar dan tidak
mampu untuk meluas, jarang terdapat perkembangan membentuk kayu, dan
bagian-bagian bunga tersusun dalam karangan-karangan (lingkaran)

yang

berbilangan tiga.
Tumbuhan monokotil dan dikotil yang lebih populer dengan sebutan
tumbuhan monokot dan dikot adalah tumbuhan yang tergabung dalam kelompok
tumbuhan berbunga atau tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae). Kelompok
tumbuhan ini dapat dibedakan dengan kelompok tumbuhan berbiji terbuka
(Gymnospermae) karena sebagal berikut :
1. Adanya megasporangia atau bakal biji (ovule) yang diselimuti oleh
megasporofil atau dinding buah (carpel). Penyelimutan dinding buah ini
dapat melindungi bakal biji dalam perkembangannya menjadi biji. Akan
tetapi, proses pembuahannya menjadi Iebih rumit sehingga terjadilah
bentuk-bentuk kepala putik yang khusus sebagai hasil adaptasi agar
terjadinya proses penyerbukan dan pembuahan menjadi lebih mudah.
Megasporofil yang menyelimuti bakal biji tersebut secara keseluruhan
membentuk putik (pistil) yang merupakan bentuk dasar dan organ kelamin
betina atau gynoecium. Pada bagian ini terdapat kepala putik (stigma)
yang merupakan tempat melekatnya tepung sari. Kepala putik ini kadangkadang mempunyai tangkai pendek atau panjang yang sedemikian rupa
sehingga memudahkan tepung sari dapat melekat pada kepala putik.
2. Adanya mikrosporofil atau benang sari (stamen) yang merupakan bentuk
dasar dan organ kelamin jantan atau androecium. Benang sari terdiri dari
tangkai sari (filament) dan kepala sari atau kotak sari (anther).
3. Adanya daun steril yang mengelilingi putik dan serbuk sari merupakan
bentuk dasar dan perhiasan bunga (pennth) yang terdiri dan kelopak (calix)
dan mahkota (corolla)
4. Adanya bunga yang merupakan gabungan antara kelopak, mahkota,
gynoecium, dan androecium.
Tumbuhan monokot ada yang berupa tumbuhan akuatik (misalnya eceng
gondok), semi akuatik (genjer), epifit (anggrek) dan teresterial. Bentuk

II-4

tumbuhannya ada yang terna (rerumputan), semak berdaging (pisang), terna


berkayu

yang memanjat atau liana (rotan), dan pohon (bambu, kelapa).

Tumbuhan monokot dapat dibedakan dengan tumbuhan dikot berdasarkan ciriciri khas sebagai berikut:
1. Embrio (Gambar 2.1.) pada tumbuhan monokot hanya mempunyai keping
biji (kotiledon) satu sehingga daun pertama yang tumbuh juga hanya satu.

Gambar 2.1. Embrio pada tanaman jagung


2. Batang (Gambar 2.2.) pada tumbuhan monokot mempunyai ikatan pembuluh
yang tersebar, tidak mempunyai batasan korteks yang jelas kambiumnya tidak
terbentuk pada batang sehingga diameter batang pada sebagian besar anggota
tumbuhan monokot tidak bertambah besar setelah pertumbuhan primer
berlangsung. Dengan kata lain pada tumbuhan monokot tidak ada
pertumbuhan sekunder karena tidak ada kambium. Batang pada beberapa
anggota tumbuhan monokot yang berbentuk pohon seperti kelapa dan bambu,
mencapai diameter maksimum setelah berlangsungnya pertumbuhan primer
dan besarnya diameter tetap bertahan setelah perturnbuhan primemya terhenti.

II-5

Gambar 2. 2. Perbedaan struktur tanaman dikotil (atas) dan monokotil (bawah)


: akar, berkas pengangkutan, pertulangan daun, dan struktur
bunga (Postletwait dan Hopson, 1995)
3. Daun (Gambar 2.2 dan 2.3.) tumbuhan monokot pada umumnya mempunyai
pertulangan daun sejajar atau melengkung yang bertemu di ujung daun.
Seringkali dijumpa! anak tulang daun yang bercabang dad tulang daun
utamanya. Kadang-kadang anak tulang daun merupakan penghubung tulang
daun utamanya sehingga menjadi bentuk seperti tangga. Beberapa anggota
tumbuhan monokot mempunyal pertulangan daun menyirip atau menjari,
terutama pada sub-kias Arecidae dan Zingiberidae. Walaupun demikian,
secara anatomis pertulangan daun tersebut masih sangat berbeda dengan
anggota tumbuhan dikot, terutama dilihat dan segi ikatan pembuluhnya yang
tersebar. Pada pangkal daun kebanyakan anggota tumbuhan monokot dijumpai
pelepah yang menyeilmuti batangnya.

Gambar 2.3. Contoh berbagai bentuk pertulangan daun pada tumbuhan monokot
II-6

4. Bunga (Gambar 2.2.) tumbuhan monokot pada dasarnya merupakan kelipatan


tiga (3-merous). Pada beberapa anggota tumbuhan monokot, kelopak dan
mahkotanya dapat dibedakan dengan jenis antara satu dengan lainnya. Akan
tetapi, ada yang tidak dapat dibedakan karena keduanya berbentuk sama.

Bentuk perhiasan bunga yang sama tersebut dapat berbentuk seperti sepal
(sepaloid), atau petal ( petaloid ) saja. Pada beberapa anggota tumbuhan
monokot, bagian perhiasan bunganya tereduksi atau bahkan sampai tidak ada
sama sekali. Bunga tumbuhan monokot pada umumnya mempunyai benang
sari sebanyak enam buah, yang mempunyai benang sari banyak hanya pada
beberapa genera.

Sebaliknya terdapat juga anggota yang benang sarinya tereduksi menjadi tiga
atau kurang, bahkan kadang-kadang berubah menjadi starminodia. Organ
kelamin betina pada dasarnya terdini dan tiga dinding buab, tetapi ada anggota
sub klas Alismatidae yang hanya mempunyai beberapa dinding mempunyai
dinding buah banyak

5. Akar (Gambar 2.2. dan 2.4.) tumbuhan monokot merupakan akar dengan
diameter akar satu dengan lainnya relatif sama. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya kambium sehingga diameter akar akan tetap besarnya selama
berlangsungnya pertumbuhan primer. Pada beberapa anggota tumbuhan
monokot mempunyai akar yang tumbuh pada batang dekat permukaan tanah
yang berfungsi sebagai penguat batang.

Gambar 2.4. Perakaran serabut dan akar adventif tumbuhan monokot

II-7

2.3. Klasifikasi Tumbuhan Monokotil


Tumbuhan berbunga yang ada di dunia ini diperoleh lebih dari 250.000
spesies. Lebih kurang 50.00 spesies dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan
monokot. Tumbuhan tersebut telah diberi nama dalam bahasa Latin sesuai dengan
hukum tata nama dalam International Code of Botanical Nomenclature, kemudian
dikelompokkan dalam katagori yang lebih tinggi berupa genera, famili, ordo, dan
seterusnya berdasarkan kritenia tertentu atau berdasarkan sistem klasifikasi
tertentu. Setiap pakar botani mempunyai kriteria tersendiri dalam sistem
klasifikasinya sehingga hasil pengelompokkannya juga akan berbeda-beda pula.
Sebagai contoh, Bentham and Hookers (18621883) membagi tumbuhan
berbunga dalam 179 famili, Cronquist (1968) membagi dalam 354 famili, dan
Takhtajan (1969) membagi dalam 418 famili. Tumbuhan monokot yang kadangkadang dimasukkan dalam klas Liliopsida, oleh Cronquist (1981) dibagi dalam 5
sub-klas, 19 ordo, 65 famili dan lebih kurang 50.000 spesies, seperti terlihat pada
Tabel 2.2.
Anggota tumbuhan monokot tersebar di seluruh belahan dunia, ada yang
kosmopolit, ada yang di kawasan tropika atau kawasan beriklim sedang saja. Oleh
karena itu, keanekaragaman jenis di suatu kawasan dengan sendirinya akan
berbeda dengan kawasan lain. Demikian pula di Indonesia tidak semua anggota
dari tumbuhan monokot ini dapat di jumpainya.
Tabel 2.2. Sub-klas, ordo, dan famili dalam monocotiledoneae
Sub-klas
Ordo
Famili
Alismatidae
Alismatales
Butomaceae
Limnocharitaceae
Alismataceae
Hydrocharitales

Hydrocharitaceae

Najadales

Aponogetonaceae
Scheuchzeriaceae
Juncaginaceae
Potamogetonaceae
Ruppiaceae
Najadaceae
Zannichelliaceae
Posidoniaceae

II-8

Tabel 2.2. Lanjutan


Sub-klas

Arecidae

Commelinidae

Zingiberidae

Ordo

Famili
Cymodoceaceae
zosteraceae

Triuridales

Petrosaviaceae
Triuridaceae

Arecales

Palmae (Arecaceae)

Cyclanthales

Cyclanthaceae

Pandanales

Pandanaceae

Arales

Araceae
Lemnaceae

Commelinales

Rapateaceae
Xyridaceae
Mayacaceae
Commelinaceae

Eriocaulales

Eriocaulaceae

Restionales

Flagellariaceae
Joinvilleaceae
Restionaceae
Centrolepidaceae

Juncales

Juncaceae
Thurniaceae

Cyperales

Cyperaceae
Gramineae (Poaceae)

Hydatellales

Hydatellaceae

Typhales

Sparganiaceae
Typhaceae

Bromeliales

Bromeliaceae

Zingiberales

Strelitziaceae
Heliconiaceae
Musaceae
Lowiaceae

II-9

Tabel 2.2. Lanjutan


Sub-klas

Lilidae

Ordo

Famili
Zingiberaceae
Cannaceae
Marantaceae

Liliales

Philydraceae
Pontederiaceae
Haemodoraceae
Cyanastraceae
Liliaceae
Iridaceae
Velloziaceae
Aloeaceae
Agavaceae
Xanthorrhoeaceae
Hanguanaceae
Taccaceae
Stemonaceae
Smilacaceae
Dioscoreaceae

Orchidales

Geosiridaceae
Burmanniaceae
Corsiaceae
Orchidaceae

Sumber : Cronquist (1981)


2.4. Peranan Tumbuhan Monokotil bagi Manusia
Tumbuhan berbunga merupakan kelompok tumbuhan berpembulu yang
dominan di dunia saat ini. Anggota tumbuhan berbunga ini bukan saja terbanyak,
tetapi juga merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai peranan penting
bagi kehidupan manusia. Keberadaan tumbuhan berbunga sebagai salah satu
komponen ekosistem sangat menentukan kelangsungan hidup manusia, ternak,
satwa liar, dan tumbuhan itu sendiri. Peranannya antara lain, adanya penyedian O2
yang dihasilkan. Tumbuhan dalam proses fotosintesis bagi manusia dan hewan;
adanya rantai makanan dalam ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan
pangan manusia sangat tergantung pada tumbuhan.
Anggota tumbuhan monokot sebagai bagian tumbuhan berbunga sangat
banyak yang mempunyai peranan penting bagi manusia. Peranan ini dapat bersifat

II-10

merugikan dan juga bersifat menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Peranan yang merugikan disebabkan banyak sekali anggota tumbuhan
monokot yang berperan sebagai gulma di danau, waduk, kolam, pengairan, sawah,
atau lahan pertanian. Gulma yang terdapat di danau, waduk, atau kolam akan
dapat mempercepat proses pendangkalan sehingga mengurangi daya tampung air
dan merusak habitat ikan. Gulma yang terdapat di perairan dapat mengganggu
pelayaran. Pada pengairan teknis, gulma dapat menyumbat pintu-pintu air dan
mempercepat pendangkalan saluran sehingga mengurangi debit air yang
diperlukan manusia. Gulma yang terdapat di sawah dan lahan pertanian dapat
memperkecil produksi pertanian.
Peranan yang menguntungkan disebabkan sebagian besar bahan makanan
pokok manusia merupakan anggota tumbuhan monokot. Beberapa kegunaan
tumbuhan monokot bagi manusia sebagai berikut :
1. Sumber karbohidrat: terutama tanaman serelia, tanaman umbi-umbian dan
beberapa tanaman palma.
2. Sumber minyak goreng: terutama anggota famili Palmae dan beberapa
anggota famili Gramineae.
3. Sumber bumbu dan rempah: terutama anggota famili Zingeberaceae.
4. Sumber bahan kerajinan dan bangunan : anggota famili Palmae,
Pandanaceae, Cyperaceae, dan Gramineae.
5. Sumber Tanaman Hias : terutama anggota famili Orchidaceae dan banyak
anggota famili lainnya.
6. Sumber kebutuhan lainnya.

2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya


2.5.1. Rotan
Rotan merupakan salah satu hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu)
yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama
masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemungutan rotan maupun
masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan rotan sebagai bahan baku
industri, bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.

II-11

2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya


2.5.1. Rotan
Rotan merupakan salah satu hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu)
yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama
masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemungutan rotan maupun
masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan rotan sebagai bahan baku
industri, bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.

II-11

Indonesia merupakan negara produsen rotan yang mampu memenuhi


kebutuhan rotan dunia, dan selama ini mampu mensuplai kurang lebih 80 % dari
kebutuhan rotan dunia dan 90 % dari produksi rotan dihasilkan dari hutan alam
yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10 % dihasilkan
dari budidaya rotan.

2.5.1.1. Penyebaran
Rotan merupakan salah satu tumbuhan khas di daerah tropis yang secara
alami tumbuh pada hutan primer maupun hutan sekunder, termasuk pada daerah
perladangan berpindah dan belukar. Secara umum rotan dapat tumbuh pada
berbagai keadaan, seperti : di rawa, tanah kering, dataran rendah, pegunungan,
tanah kering berpasir, tanah liat berpasir yang secara periodik digenangi air atau
sama sekali bebas dari genangan air. Jenis tanah yang dapat ditumbuhi rotan
adalah tanah alluvial, latosol dan regosol. Pertumbuhan terbaik pada daerahdaerah lereng bukit yang cukup lembab dengan ketinggian antara 0 2900 m.dpl.
dan memiliki iklim basah sampai kering.
Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi
Kehutanan, dari 143 juta hektar luas hutan di Indonesia diperkirakan hutan yang
ditumbuhi rotan seluas kurang lebih 13,20 juta hektar, yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang memiliki hutan alam. Dari
hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan
Wilayah XV Makassar bahwa di Sulawesi Selatan ditaksir sekitar 673.166 ha
yang tersebar di CDK Luwu, CDK Mamuju, CDK Mapilli, dan CDK Bila.
Produksi rotan di Sulawesi Selatan menurut Dinas Kehutanan pada tahun 1996
mencapai 2.627.361 ton/tahun.
Pendugaan areal rotan lebih sulit karena rotan merupakan salah satu
tumbuhan hutan yang penyebarannya tidak merata. Rotan tumbuh berumpun atau
soliter dalam kelompok-kelompok hutan secara sporadis dan kehadirannya
sebagai tegakan tidak nampak jelas, karena tumbuhnya merambat pada pohonpohon lain disekitarnya (inang).
Pengetahuan tentang penyebaran rotan masih sedikit. Diperkirakan lebih
dari 516 jenis rotan yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk 11 marga.

II-12

Beberapa jenis tersebar luas, sedangkan jenis lainnya sangat terbatas, tetapi pola
penyebarannya belum diketahui secara pasti. Jenis-jenis rotan tersebut adalah :
Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Korthalsia 30 jenis, Myrialepis 2
jenis, Calopatha 2 jenis, Bejaudia satu jenis, Ceratolobus 6 jenis, beberapa jenis
dari genus Carnera dan Scizophata.
Jenis rotan terbanyak dan tersebar luas adalah dari marga Calamus yang
menyebar dari Afrika Barat sampai kepulauan Fiji, dan dari Cina Selatan sampai
Selandia Baru. Pusat keragaman jenis rotan ditemukan di Semenanjung Malaya,
yaitu pada daerah pusat dangkalan Sunda sebagai salah satu daerah beriklim
basah, dimana ditemukan delapan dari sembilan marga rotan yang terdapat di Asia
Tenggara. Makin jauh lokasi dari daerah tersebut makin kurang jumlah
keragamannya. Tiga marga rotan ditemukan di Afrika Barat menunjukkan ciri
tumbuhan primitif, yaitu Calosphta, Myrialeps dan Plectocomiopsis. Dengan
demikian di duga bahwa Afrika Barat merupakan daerah asal rotan yang termasuk
anak suku Lepidocaryoideae.
Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih
306 species telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Dari
keseluruhaan yang telah teridentifikasi tersebut, sebanyak kurang lebih 50 jenis
diantaranya telah dipungut, dipakai, diolah, dan diperdagangkan sejak lama oleh
penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar hutan untuk memenuhi permintaan
lokal dan internasional. Dari delapan genera terdapat dua genera rotan yang
bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops. Jumlah total rotan
yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang
lebih

128

jenis.

Sementara

itu,

rotan

yang

sudah

umum

diusahakan/diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru


mencapai 28 jenis saja.
Budidaya rotan di Indonesia belum banyak dilakukan dan luas areal
budidaya juga masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan luas areal
keseluruhan potensi rotan. Dari berbagai sumber diperoleh bahwa hutan tanaman
rotan atau kebun rotan kurang lebih 50.000 ha dengan terluas di Kalteng kurang
lebih 47.000 ha, sisanya terdapat di Jawa, Sulawesi Utara, Kalsel, Sumatera Barat,
Riau dan Kendari. Ditempat lain didapatkan hanya sebagai plot-plot percobaan.

II-13

2.5.1.2. Potensi Rotan


Setelah terjadi perubahan penutupan hutan maka pada tahun 80-an maka
terjadi perubahan luas hutan di Indonesia sehingga luas hutan yang memiliki
potensi rotan akan terjadi perubahan. Diperkirakan luas hutan pada dekade 80-an
kurang lebih 120 juta ha dengan potensi rotan di 16 propinsi

di Indonesia

diperkirakan hanya 5,6 juta ha. Dari 16 propinsi yang telah di survey potensi
penyedian rotannya pertahun adalah sebesar 573.890 ton/tahun. Bagaimana
kondisi sekarang ?
Tabel 2.3. Potensi produksi rotan Indonesia
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Propinsi (ton/tahun)

Aceh
Riau
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat
Jumlah
Sumber : Departemen Kehutanan, 1983

Potensi Produksi
45.000
2.800
6.000
34.000
6.900
23.100
5.000
24.000
92.500
24.000
7.000
11.650
87.000
18.400
150.000
36.000
573.890

Dari data tersebut dapat diprediksi data riil sepuluh kali lipat sampai
duapuluh kali lipat dari data yang ada. Sehingga potensi yang sebenarnya sangat
tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah kemampuan produksi, perubahan luas areal
hutan yang semakin meningkat, dan potensi yang tinggi semakin jauh dari
pemukiman masyarakat lokal.
Perkiraan hasil yang dilaporkan untuk perkebunan Calamus trachycoleus
dan C. caesius di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Secara umum
Calamus trachycoleus dikatakan siap di panen pada umur 7 10 tahun setelah di

II-14

tanam dengan produksi 1 3.5 ton/ha, 2,2 3,9 ton/ha, dan 7 ton/ha. Sedangkan
untuk C. caesius dengan masa panen 9 10 tahun setelah penanaman dengan
hasil beragam dari 3.5 ton/ha. 5 7,5 ton/ha rotan hijau dan 2,3 3,1 ton/ha.

2.5.1.3. Perdagangan Dalam Negeri Dan Luar Negeri


Perdagangan rotan antar pulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai
oleh daerah produsen, yaitu Kalimantan (69 %), Sulawesi (23 %). Dan daerah
lainnya (8 %). Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antar pulau
sebagian besar jawa (57 %), Ujung Pandang atau Makassar (31 %) dan daerah
lainnya (12 %).
Pada tahun 1996, pemasaran rotan antar pulau melonjak kembali hingga
mencapai 58 %, yakni dari total 174.759 ton menjadi 332.432 ton.

Jumlah

tersebut terbagi atas berdasarkan asal tujuan antar pulau, yaitu dari Kalimantan
sebesar 29,8 %, dari Sulawesi sebesar 69 %, dan dari daerah lainnya sebesar 1.2
%. Tujuan pemasaran rotan antarpulau terbesar masih Surabaya (69 %), Jakarta
(7 %), Sampit Kalimantan Tengah (14 %), dan daerah lain (10 %).
Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan kontribusi
terbesar dalam memenuhi keperluan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau
sebesar 81.26 ribu ton dari total 111,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara
tujuan utama perdagangan rotan adalah Hongkong, Singapura, Taiwan dan Negara
maju lainnya. Berdasarkan data dari BPS Jakarta, dari tahun 1993 sampai 2002,
ada 25 negara menjadi tujuan ekspor rotan.

2.5.1.4. Pengelompokan Jenis Rotan


Rotan merupakan tumbuhan monokotil yang banyak dikenal orang yang
pemanfaatannya

luas

baik

orang

dipedalaman

maupun

diperkotaan.

Pemanfaatannya begitu penting sehingga muncul istilah kalau tidak ada rotan
akar-pun jadi.
Rotan berasal dari bahasa melayu yang berarti nama dari sekumpulan jenis
tanaman famili Palmae yang tumbuh memanjat yang disebut Lepidocaryodidae,
Lepidocaryodidae berasal dari bahasa Yunani yang berarti mencakup ukuran

II-15

buah.

Kata rotan dari bahasa melayu diturunkan dari raut yang berarti

mengupas (menguliti), atau menghaluskan.


Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan yang terdapat di Asia Tenggara,
termasuk 11 marga. Beberapa jenis tersebar luas, sedangkan jenis lainnya sangat
terbatas, tetapi pola penyebarannya belum diketahui secara pasti. Jenis-jenis rotan
tersebut adalah : Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Korthalsia 30 jenis,
Myrialepis 2 jenis, Calopatha 2 jenis, Bejaudia satu jenis, Ceratolobus 6 jenis,
beberapa jenis dari genus Carnera dan Scizophata.
Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih
306 species telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Dari
keseluruhaan yang telah teridentifikasi tersebut, sebanyak kurang lebih 50 jenis
diantaranya telah dipungut, dipakai, diolah, dan diperdagangkan sejak lama oleh
penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar hutan untuk memenuhi permintaan
lokal dan internasional. Dari delapan genera terdapat dua genera rotan yang
bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops. Jumlah total rotan
yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang
lebih

128

jenis.

Sementara

itu,

rotan

yang

sudah

umum

diusahakan/diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru


mencapai 28 jenis saja.
Berdasarkan sistematika dalam tumbuhan maka rotan terdiri atas :
Divisio/Divisi

Magnoliophyta

Classis/kelas

Liliopsida

Sub-classis/ Anak kelas

Arecidae

Ordo / Bangsa

Arecales

Famili / Suku

Arecaceae

Sub-Family/Anak suku

Lepidocaryoideae

Genus / Marga

Calamus, Daemonorops, Korthalisia, Plectocomia,


Pectocomioopsis,
Myrialepis,
Calosphata,
Ceratolobus, dan Bejaudia.
Sedangkan perincian jumlah kegunaan rotan berdasarkan marga atau suku

rotan adalah sebagai berikut.


1. Suku/marga Korthalsia sebanyak 14 jenis rotan.
2. Suku/marga Ceratolobus sebanyak 3 jenis rotan.

II-16

3. Suku/marga Plectocomia sebanyak 2 jenis rotan.


4. Suku/marga Plepcomiopsis sebanyak 3 jenis rotan
5. Suku/marga Myrialepis sebanyak 2 jenis rotan.
6. Suku/marga Daemonorops sebanyak 31 jenis rotan.
7. Suku/marga Calamus sebanyak 73 jenis rota.

Gambar 2.5. Penilaian sumber daya rotan dunia

2.5.1.5. Rotan Terpenting Indonesia (Jenis, Sifat dan Penggunaannya)


Rotan dalam sistematika tumbuh-tumbuhan termasuk divisio Spermatophyta, sub-divisio Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Spacadiciflorae, dan famili/suku Palmae. Rotan yang sampai saat ini sudah dikenal
sebanyak 15 suku, yakni Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia,
Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis, Calospatha, Bejaudia, Cornera,
Schizospatha, Eremospatha, Ancitrophylum dan Oncocalamus.
Dari jumlah suku rotan yang telah ditemukan tersebut, telah diketahui
sebanyak 9 suku dengan jumlah jenisnya masing-masing, yakni Calamus (370
jenis), D'aemonorops (115 jenis), Khorthalsia (31 jenis), Plectocomia (14

II-17

jenis), Ceratolobus (6 jenis), Plectocomiopsis (5 jenis), Myrilepis (2 jenis),


Calospatha (2 jenis), dan Bejaudia (1 jenis).
Di Indonesia sampai saat ini ditemukan sebanyak 8 jenis rotan, yakni
Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis, dan Calospatha. Dari 8 suku tersebut, total jenisnya di
Indonesia mencapai tidak kurang dari 306 jenis. Penyebaran rotan tersebut
meliputi pulau Kalimantan sebanyak 137 jenis, Sumatra sebanyak 91 jenis,
Sulawesi sebanyak 36 jenis, Jawa sebanyak 19 jenis, Irian sebanyak 48 jenis,
Maluku sebanyak 11 jenis, Timor sebanyak 1 jenis, dan Sumbawa sebanyak 1
jenis.
Rotan yang benar-benar memiliki sifat dan memenuhi syarat serta
kualitas baik untuk berbagai keperluan berjumlah 128 jenis (Tabel 2.4.). Dari
jumlah tersebut, rotan yang memiliki nilai komersial tinggi dan banyak
dipungut serta diperdagangkan berkisar 28 jenis (Tabel 2.4.).
Tabel 2.4. Daftar jenis rotan komersil dan daerah sebaran di Indonesia
No Nama lokal
1 Manau

2 Semambu
3 Sega/taman
4
5
6
7
8
9

Irit
Tohiti
Batang/air
Pulut/bolet
Pulut putih
Seuti

10 Taman,
Sego
11 Sega air
12 Sega batu
13
14
15
16

Jermasin
Tabu-tabu
Jernang
Getah

17 Datu

Nama Botanis
Calamus manna Miq.

Daerah sebaran produksi


Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi,
Bengkulu, Lampung,
Kalimantan
Calamus scipionum Loure Sumbar, Bengkulu, Lampung
Calamus caesius Bl.
Aceh, Sumut, Sumbar, Riau,
Bengkulu
Calamus trachyoleus Becc Kalimantan
Calamus inops Becc
Sulawesi, Maluku
Calamus zolingeri Becc
Sulawesi, Maluku
Kaltim, Kalsel
Calamus ipar Bl
Kaltim, Kalsel
Calamus sp
Bengkulu, Lampung, Sumbar,
Calamus ornatus Bl
Jawa
Kaltim, Kalsel, Kalteng
Calamus optimus Becc
Calamus exilis Griff
Calamus hetroideus Bl.
Calamus leijocaulis Becc.
Daemonorops sabut Becc
Daemonorops draco Bl.
Khorthalsia angustifolia
Bl.
Calamus minahasa Warb

Jambi, Sumsel, Lampung.


Jambi, Sumsel, Lampung,
Bengkulu, Kalsel, Kalteng
Sulawesi, Maluku
Sumbar, Bengkulu, Kalimantan
Jambi, Sumbar, Riau
NTB, Aceh, Sumbar, Jambi,
Lampung
Maluku, Irja

II-18

Tabel 2.4. Lanjutan


No Nama lokal
18 Lilin
19 Batu
20 Lita
21 Dandan
22 Umbul
23 Duduk
24 Suwai
25 Seel
26 Wilatung
27 Balubuk
28 Telang
29 Dahan
30 Inun
31 Bulu
32 Semut
33 Cacing
34 Udang
35 Manau tikus
36 Manau
Gajah
37 Pelah
38 Lacak
39 Tunggal
40 Leules
41
42
43
44
45
46
47

Epek
Rawa
Samuli
Arasulu
Buluk
Terumpu
Hoa

Nama Botanis
Calamus javanensis Bl.
Calamus filiformis Becc.
Daemonorops lamprolepis
Becc
Calamus schistacanthus
Bl.
Calamus symhysipus Mart
Daemonorops longopes
Mart
Calamus warbugii K.
Schum
Daemonorops
melanochaetes Becc
Daemonorops fissus
Calamus burchianus Becc
Calamus polystachys Becc
Khorthalsia flagellaris
Miq.
Calamus scabidulus
Khorthalsia celebica Bl
Khorthalsia scaphigera
Mart
Calamus ciliaris Bl.
Khorthalsia echinomerta
Becc
Calamus oleyanus Becc
Calamus marginatus
Mart.
Daemonorops rubra Bl.
Calamus crinatus Bl.
Calamus mucronatus
Becc
Calamus melanoloma
Mart
Calamus tolitoliensis Becc
Calamus tenuis
Calamus picicapus Bl
Calamusrumpii Bl
Calamus hispidulus Becc
Calamus muricatus
Calamus didymocarpus
Warb

Daerah sebaran produksi


Sumatera, Jawa, Kalimantan
Bengkulu, Lampung, Kalteng
Kalbar, Kaltim, Sulawessi
Sumsel, Jambi, Lampung
NTB, Sulawesi
Bengkulu, Sumbar,Sumsel,
Lampung, Aceh,
Maluku, Irja
Sumatera, Jawa, Kalimantan
Kalimantan
Sumatera, Jawa
Sumut, Aceh, Jambi, Riau,
Kalimantan
Jambi, Riau, Bengkulu, Jawa,
Kalimantan
Lampung, Jawa
Sulawesi, Maluku, Irja
Lampung, Jawaa
Sumatera, Jawa, Kalimantan
Sumbaar, Bengkulu
Jambi, Sumbar, Bengkulu
Sumbar, Bengkulu, Kalimantan
Sumatera, Jawa, Kalimantan
Riau, Jawa, Kalimantan
Sumatra, Kalimantan
Lampung, Jabar
NTB, Sulawesi, Maluku
Jambi, Sumsel, Lampung
Sulawesi, Maluku
Maluku, Irja
Sumsel, Riau, Bengkulu,
Sumbar, Lampung, Kalimantan
Sulawesi
Sulawesi, Maluku, Irja

II-19

Tabel 2.4. Lanjutan


No
48
49
50
51

Nama lokal
Lambang
Selutup
Kidang
Leluo

Nama Botanis
Calamus sp.
Calamus optimus Becc.
Calamus sp.
Calamus maximus

Daerah sebaran produksi


Sulawesi, Maluku
Sumatera, Jawa, Kalimantan
Lampung, Jabar
Sulawesi

Habitus dan sifat-sifat rotan terpenting :


1. Rotan Jernang Besar (Daemonorops draco Blume)
Rotan jernang besar, jernang beruang, dan jernang kuku adalah nama
lokal yang diberikan oleh penduduk Sumatra Selatan, sedangkan di Jawa Barat
disebut getik badak dan di Jawa Tengah disebut getik warak. Penyebaran rotan
jernang besar tidak luas, hanya dijumpai di semananjung Malaya dan Sumatra.
Secara alami, rotan ini tumbuh di dataran rendah dalam hutan meranti pada
ketinggian 300 m dari permukaan laut. Rotan ini tumbuh memanjat dan
membentuk rumpun. Pembiakannya terjadi melalui biji dan tunas yang tumbuh
pada pangkal batang.
Batangnya yang sudah kering dan telah dirunti berwarna cokelat kekuning-kuningan dan mengkilat, sedangkan bagian tengah batang berwarna putih.
Batang rotan ini memiliki diameter kurang lebih 12 mm dan panjang ruas 18
cm - 35 cm.
Daunnya termasuk daun majemuk menyirip, dengan anak daun berbentuk lanset seperti pita. Permukaan atas anak daun dan tulang anak daun tumbuh
duri-duri halus. Duduk anak daun berhadap-hadapan, berjumlah banyak, dan
berwarna cokelat kekuning-kuningan.
Bunganya berbentuk malai dan tersusun dalam tandan. Tandan ketika
masih kuncup diselubungi seludang berbentuk perahu dan di luar seludang
tumbuh duri-duri.
Buah yang masak berbentuk bulat, berwarna cokelat kemerah-merahan,
dan berbiji tunggal. Dengan biji-bijinya inilah rotan jernang besar membiakkan
diri. Buahnya banyak mengandung resinotanol sehingga banyak dimanfaatkan
oleh rakyat untuk obat sakit murus. Batangnya dimanfaatkan untuk bahan
furnitur, sedangkan getah buahnya dimanfaatkan untuk bahan pewarna dan
bahan industri farmasi.

II-20

Getah jernang yang dihasilkan dari buah rotan Jernang telah diperdagangkan sejak lama untuk tujuan ekspor, paling tidak telah tercatat dalam
data ekspor sejak tahun 1918. Pada saat itu, daerah pelabuhan utama ekspor
getah jernang adalah pelabuhan Pontianak (Kalimantan), Belawan (Medan),
Palembang, Jambi, Tanjung Balai Riau, dan Bagan Siapi-Api, dengan tujuan
ekspor Malaysia dan Singapura.

2. Rotan Dahanan (Korthalsia flagellaris Miq.)


Rotan dahanan banyak tumbuh di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan
Kalimantan. Lokasi tempat tumbuh yang umum adalah di daerah berawa-rawa
dataran rendah sampai pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut.
Rotan dahanan tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat
mencapai 20 batang yang merambat pada tumbuhan lain. Perbanyakan tanaman
menggunakan biji atau tunas yang tumbuh di pangkal batang yang membentuk
rumpun.
Batang rotan dahanan sering bercabang, diameter batang berkisar 1,5
cm - 3 cm, dan panjang ruas batang 20 cm - 50 cm. Panjang batang yang
merambat dapat mencapai 50 m. Permukaan batang agak kasar, berwarna
cokelat sebam, dan batang bagian dalamnya cokelat. Batang rotan ini keras dan
liat, sehingga agak sukar untuk dibelah. Karena itu, rotan ini banyak digunakan
untuk rangka mebel.
Bentuk daunnya majemuk menyirip dan letak anak daun agak berpasangan. Anak daun berbentuk bundar telur lanset sunsang yang bagian ujungnya bergerigi. Pada tulang daun bagian bawah, tumbuh duri-duri.
Bunganya berbentuk malai yang terletak diujung batang. Setelah berbunga dan berbuah, rotan ini akan mati. Buahnya berwarna kuning dan kulit buah
bersisik.

3. Rotan Semambu (Calamus scipionum Louer)


Rotan semambu hidup membentuk rumpun yang satu atau dua batangnya menjalar dan memanjat. Rotan ini banyak tumbuh secara alami di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Kalimantan. Tempat tumbuhnya tersebar di

II-21

dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Selain
itu, rotan ini tumbuh di daerah belukar dengan iklim basah.
Rotan semambu memiliki nama lokal sumambu (Batak Karo), simambo
(BatakToba), simambu (Minangkabau), semambu (Lampung), semabu (Kalbar), dan tantuwo (Dayak-Kalteng)
Batang rotan ini dapat mencapai tinggi lebih dari 20 m. Diameter
batangnya 3 cm dan ruas batang dapat mencapai 30 cm atau lebih. Batangnya
berwarna cokelat kemerah-merahan kalau sudah kering.
Daunnya berbentuk majemuk menyirip, panjang daun mencapai 2 m,
daun terdiri atas anak-anak daun berbentuk lanset, dan pada ujung daun
terdapat sulur panjat. Panjang tangkai daun 1 m; pelepah dan tangkai daun
tumbuh duri.
Bunganya ada dua macam, yaitu bunga yang subur dan bunga yang
mandul. Bunga yang subur berbentuk cemeti dan berduri yang fungsinya untuk
memanjatkan batangnya ke pepohonan kayu. Bunga yang subur ber bentuk
malai panjang. Bunga jantan dan betina terletak pada pohon yang berlainan.
Buahnya berbentuk lonjong, panjang buah 1,5 cm, dan kulit buah bersisik.
Rotan semambu telah dikenal dalam perdagangan Internasional sejak
awal abad XIX. Tujuan ekspor rotan ini antara lain ke benua Eropa. Karena
kekuatan dan keuletannya, rotan ini banyak digunakan untuk tongkat pendaki
gunung, tongkat ski, gagang payung, dan cambuk. Rotan ini juga banyak
dipakai untuk rangka pembuatan mebel.

4. Rotan Jermasin (Calamus leocojolis Becc.)


Batang rotan jermasin berwarna hijau kekuning-kuningan dan apabila
telah kering serta dirunti berwarna hijau telur kekuning-kuningan serta nampak
mengkilat. Batang rotan ini dapat tumbuh mencapai kurang lebih 50 m.
Diameter batang lebih kecil daripada rotan irit, yaitu antara 6 mm -10 mm dan
ruas buku antara 15 cm - 40 cm. Batang rotan ini agak keras dan kuat. Rotan
ini hidup berumpun dan ketika dewasa pada setiap rumpun berjumlah antara 30
- 50 batang.

II-22

Biasanya, rotan ini tumbuh secara alami di daerah Kalimantan,


Sumatra, dan Sulawesi pada ketinggian tempat l0 m - 100 m di atas permukaan
laut. Kondisi tempat tumbuh rotan ini adalah pada tanah berbatu dan banyak
pasir, pada lereng, lembah, dan punggung gunung.
Daun rotan jermasin termasuk daun majemuk menyirip yang hampir
sama dengan daun rotan sega; warna anak daun hijau tua baik di bagian atas
maupun bagian bawah. Batang rotan ini digunakan untuk bahan baku mebel.

5. Rotan Buyung (Calamus optimus Becc.)


Rotan buyung tumbuh di pinggir-pinggir sungai, daerah berbukit
dengan ketinggian antara 100 m - 300 m dari atas permukaan laut. Rotan ini
tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun sebanyak 60 batang. Di
daerah Kalimantan rotan ini dikenal dengan nama rotan buyung, rotan selutup
dan rotan sega bulu.
Batangnya berwarna hijau tua, tetapi setelah dirunti dan kering akan
berubah berwarna kuning telur mengkilap. Diameter batang antara 12 mm - 24
mm, panjang ruas 20 cm - 30 cm, panjang batang dapat mencapai 40 m.
Daunnya berbentuk majemuk menyirip, anak daun berbentuk lanset, warna
permukaan sama dengan rotan hijau. Kegunaan rotan buyung adalah untuk
bahan baku mebel.

6. Rotan Mantang (Calamus ornatus Blume)


Rotan mantang adalah nama yang diberikan oleh penduduk Jambi dan
banyak tumbuh di daerah tersebut. Di beberapa daerah, rotan ini memiliki
beberapa nama, yakni rotan sega badak (Semenanjung Malaya), howe kasur
dan howe seuti (Jawa Barat), manau dan salian (Kalimantan), upentu dan padas
mapentu (Minahasa). Rotan ini tumbuh secara alami di daerah-daerah tersebut,
tetapi juga tumbuh di Thailand dan Filipina.
Diameter batang termasuk pelepahnya (sebelum dipungut) dapat mencapai 40 mm, sedangkan diameter batang yang sudah dibersihkan dan dirunti
berkisar 15 mm - 30 mm, sedangkan panjang ruas 16 cm - 20 cm. Batang rotan
yang masih hidup berwarna hijau gelap, sementara batang yang sudah dirunti

II-23

dan kering berwarna kuning muda. Batang dari jenis rotan mantang banyak
dipakai untuk keperluan pembuatan bahan baku mebel.
Daun rotan ini berbentuk majemuk menyirip, panjang pelepah daun
kurang lebih 4 m, dan bangun anak daun lanset. Pelepah daun berwarna hijau
gelap dan ditumbuhi duri-duri tajam berwarna hitam yang panjangnya 4 cm
dan lebar dasar 1 cm.
Buahnya bulat telur agak runcing di ujungnya, panjang buah 3 cm dan
lebar 2 cm. Buah ditutupi oleh kulit yang bersisik. Daging buahnya oleh
sebagian masyarakat sering dimakan yang rasanya agak masam.

7. Rotan Dandan (Calamus Schistolantus Blume)


Rotan dandan tumbuh di daerah berketinggian sedang sampai agak
tinggi yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut dengan iklim basah. Rotan ini
tumbuh tunggal (tidak berumpun). Karena itu, perkembangbiakannya melalui
perkecambahan biji yang jatuh dari pohon induknya.
Batangnya sebesar ibu kelingking atau berkisar antara 3 mm - 6 mm
dan panjang ruas kira-kira 15 cm. Permukaan batang berwarna kuning mengkilat agak cokelat, dengan inti berwarna sama. Batang rotan ini dipakai untuk
tali pengikat, pembuatan alat penangkap ikan, pengikat rakit, dan anyaman.
Daunnya berbentuk majemuk menyirip, anak daun berbentuk lanset,
memanjang sampai sunsang. Ujung daun digunakan untuk memanjat, tetapi
kemudian terbebas setelah daun berikutnya memanjat menggantikannya.
Tangkai daun berduri, tetapi tidak rapat.
Bunganya berbentuk malai, di mana bunga jantan dan betina masingmasing terletak pada pohon yang berbeda. Panjang malai mencapai 2 m.
Buahnya berbentuk lonjong.

8. Rotan Inun (Calamus scabridulus Becc.)


Rotan inun tumbuh pada jenis tanah yang dipengaruhi edapis tinggi
pada ketinggian 50 m - 200 m di atas permukaan laut, dengan iklim type A.
Rotan ini tumbuh secara berkelompok dan merambat.

II-24

Rotan ini memiliki diameter batang kurang lebih 6 mm dan panjang


ruas antara 28 cm - 40 cm. Permukaan batang agak mengkilat, berwarna
kuning kecokelat-cokelatan, dan inti berwarna cokelat sebam. Batangnya
memiliki sifat kuat dan lentur. Batang rotan inun banyak dipakai untuk bahan
tali pengikat dan bahan anyaman
Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi duri yang rapat dan tajam.
Daunnya berbentuk

majemuk

menyirip, anak daun berbentuk lanset

memanjang, letak anak daun pada tangkai daun hampir tidak beraturan.
Bunganya berbentuk malai, di mana bunga jantan dan betina masingmasing terletak pada pohon yang berbeda. Panjang malai mencapai 1,5 m.
Buahnya berbentuk bulat.

9. Rotan Batang (Daemonorops robustus Warb.)


Rotan batang tumbuh di daerah Sulawesi dan menyukai tanah sarang
sampai berbatu dan berpasir dengan ketinggian 10 m - 900 m di atas permukaan laut.
Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 90 batang. Batangnya berwarna hijau tua, tetapi sesudah kering berwarna
abu-abu dan ada juga yang berwarna kemerah-merahan. Diameter batang
antara 2,5 cm - 6 cm dan panjang ruas 25 cm - 60 cm. Rotan ini digunakan
untuk rangka pembuatan mebel

10. Rotan Manau (Calamus manan Miq.)


Rotan manau secara umum memiliki warna batang kuning lansat.
Diameter batang yang sudah dirunti berkisar 25 mm dan panjang ruas 35 cm.
Total panjang batang bila merambat dan telah dewasa dapat mencapai 100 m.
Rotan ini tumbuh secara alami di daerah Thailand, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, dan Kalimantan. Kondisi iklim yang disukai adalah
daerah beriklim basah, dan hidup baik pada ketinggian 50 m - 600 m dari atas
permukaan laut. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun) dan merambat di
antara batang dan ranting pohon, sehingga untuk pembudidayaannya hanya
melalui biji.

II-25

Daun rotan ini termasuk majemuk menyirip, tiap daun terdiri atas
kurang lebih 40 pasang anak daun. Bentuk anak daun bervariasi dari bentuk
lanset sampai bulat telur lanset sunsang. Pelepah dan tangkai daunnya
diselimuti duri yang tajam dan rapat. Bunganya tersusun dalam tandan
berbentuk malai, berukuran panjang dan letaknya menggantung. Buahnya tidak
terlalu besar, panjang buah kurang lebih 3 cm, bersisik, dan berbentuk lonjong.
Diameter batangnya cukup besar, kuat, dan kokoh, maka rotan ini banyak dipakai untuk rangka kursi, meja, tempat tidur, sofa, dan rangka furnitur
lainya.

11. Rotan Irit (Calamus trachycoleus Becc.)


Rotan irit tumbuh endemik di daerah pinggiran sungai Barito dan Kahayan di Kalimantan Tengah, dan telah sejak lama dibudidayakan oleh penduduk
desa Dadahup dan Mengkatip. Rotan ini tumbuh dan berkembang di daerah
rawa-rawa, baik yang tergenang air maupun tidak tergenang air pada
ketinggian 0 m -15 m di atas permukaan laut.
Jenis rotan ini berumpun dan setiap rumpun dapat mencapai jumlah 100
batang. Bagian pangkal batang dapat membentuk tunas ba~ng.melata di atas
tanah yang disebut dengan selantar. Panjang selantar dapat melebihi 3 m. Dari
selantar yang merambat, tumbuh tunas-tunas baru.
Batang rotan irit yang masih hidup berwarna hijau kekuning-kuningan,
tetapi setelah dirunti berubah menjadi kuning telor dan mengkilap. Panjang
batangnya dapat mencapai 50 m atau lebih. Diameter batang 4 mm - 11 mm
dan panjang ruas 10 cm -15 cm. Batangnya cukup kuat, mudah dibelah, dan
berwarna stabil. Dengan demikian, rotan ini sangat laku diperdagangkan
sebagai bahan baku anyaman, bahan baku kursi antik, lampit rotan, tirai, dan
lain-lain.
Daunnya berbentuk majemuk menyirip, tiap daun terdiri atas 14 pasang
anak daun yang tersusun dalam 2 - 3 kelompok. Anak daunnya berbentuk
lanset memanjang.
Bunganya berbentuk malai yang panjangnya 1,5 m. Bunga jantan dan
betina terletak pada pohon yang berlainan. Bunga-bunganya tersusun berpa-

II-26

sangan dalam bentuk bulir. Buahnya berbentuk lonjong, panjangnya mencapai


1,5 m, dan kulit buahnya bersisik.

12. Rotan Taman (Calamus caesius Blume)


Rotan taman banyak tumbuh di daerah Kalimantan. Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan sega (Aceh), rotan segeu (Gayo), rotan
sego (Sumatra Barat), rotan sega benar/segabuah (Malaya}.
Rotan taman tumbuh di daerah yang kering dan di dataran rendah yang
kering sampai berbukit-bukit. Jenis rotan ini sudah sejak lama dibudidayakan
oleh masyarakat Kalimantan Tengah yang berdiam didaerah sungai Mentaya,
sungai Katingan, sungai Kahayan, dan daerah lainnya.
Rotan taman tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat
mencapai 100 batang; panjang setiap batang yang sudah dewasa mencapai 50
m atau lebih.
Batang rotan taman berwarna hijau kekuning-kuningan dan berubah
menjadi kuning telur dan mengkilap setelah dirunti dan kering. Diameter
batang antara 4 mm - 11 mm dan panjang ruas 15 cm - 30 cm.
Daunnya berbentuk majemuk menyirip. Anak daun berbentuk lanset
memanjang dan permukaan anak daun bagian bawah berwarna putih kapur dan
permukaan daun bagian atas berwarna hijau mengkilat. Selain itu, bagian
ujung anak daun melengkung ke atas. Panjang daun berikut cirrus 0,5 m - 1,25
m. Seludang ditumbuhi duri berbentuk segitiga agak pendek. Buahnya
berbentuk lonjong, panjang mencapai 1,5 cm, kulit buah bersisik, dan
berwarna hijau. Warna buah akan berubah menjadi cokelat kekuning-kuningan
bila sudah masak. Sama halnya rotan irit, rotan taman merupakan bahan baku
untuk pembuatan lampit dan bahan baku pembuatan anyaman.

13. Rotan Lilin (Calamus javensis Blume)


Rotan lilin tumbuh secara berumpun dan memanjat. Panjang batang
dapat mencapai 50 m. Rotan ini secara alami tumbuh di daerah Malaya, Thailand, Sumatra, dan Kalimantan. Rotan ini menyukai daerah dataran rendah
ataupun pegunungan sampai ketinggian 1200 m di atas permukaan laut.

II-27

Batangnya berwarna kuning muda, tetapi akan berubah menjadi cokelat


kekuning-kuningan dan mengkilat apabila sudah kering. Batang rotan ini
lemah dan mudah dibelah. Diameter batang bersama pelepahnya 2 mm - 6 mm
dan bila tanpa pelepah hanya 3 mm. Panjang ruas buku 30 cm atau lebih dan
panjang batang yang dapat dipungut mencapai 10 m. Kegunaan utama batang
rotan lilin adalah untuk bahan pembuatan keranjang, pengikat, tikar, dan
kerajinan anyaman lainnya.
Bentuk anak daun bervariasi dari lonjong bundar telur sampai lanset
bundar sunsang yang ujungnya meruncing. Anak daun melekat dekat batang
dan tumbuh ke arah batang. Panjang tangkai daun bervariasi dari pendek sekali
sampai panjang 6 cm. Tangkai daun sedikit berduri.
Bunganya berbentuk malai memanjang. Bunga yang satu mandul dan
berbentuk sulur yang berfungsi untuk memanjat, sedangkan bunga yang
lainnya subur. Panjang bunga yang subur dan yang mandul 1 m. Bentuk
buahnya bervariasi dari bulat sampai lonjong. Panjang buah yang lonjong
mencapai 1,5 m. Kulit buah bersisik dan berbiji satu.

14. Rotan Korod (Calamus heteroides Bl.)


Rotan korot tumbuh secara berumpun yang jumlahnya dapat mencapai
5 batang tiap rumpun. Rotan ini tumbuh di Jawa Barat di daerah dataran
rendah sampai pegunungan dengan ketinggian antara 200 m - 1500 m di atas
permukaan laut. Biasanya, rotan ini mudah ditemukan di daerah yang curam.
Batangnya yang masih hidup berwarna hijau tua, tetapi bila sudah
kering dan dirunti berubah menjadi kuning telor. Diameter batang dapat
mencapai 2,5 cm. Panjang batang dapat melebihi 40 m dan ruas buku 16 cm 35 cm. Pangkal ruas akan makin membesar ke atas.

1 5. Rotan Balukbuk (Calamus burkianus Becc.)


Rotan balukbuk tumbuh di daerah dataran rendah sampai pegunungan,
terutama daerah yang curam di daerah Jawa Barat. Tingkat ketinggian lokasi
yang banyak ditumbuhi rotan balukbuk antara 50 m - 800 m di atas permukaan
laut. Di daerah Jawa Barat, rotan ini dinamakan howe balukbuk.

II-28

Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 10 batang. Panjang batang bila sudah dewasa mencapai 40 m, diameter
batang 2,5 cm, dan panjang ruas 50 cm. Batang rotan balukbuk berwarna
kecokelat-cokelatan. Ujung batang (umbut) yang masih muda dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk sayuran.
Daun rotan balukbuk berbentuk majemuk menyirip dan bentuk anak
daun lanset. Panjang daun mencapai 3 m, panjang anak daun 60 cm dan lebar 2
cm - 4 cm.
Bunganya tongkol majemuk, ibu tongkolnya bercabang-cabang dan
sebelah luarnya diselimuti seludang. Bunga muncul dari ujung batang. Buahnya yang masak berwarna merah kekuning-kuningan dan besar buah antara 2,3
cm - 2,85 cm.
Batang rotan ini menjadi bahan baku untuk pembuatan tali pengikat,
bahan anyaman dan kerajinan yang banyak dipakai di daerah Jawa Barat.

16. Rotan Pelah (Daemonorops rubra Blume)


Rotan pelah tumbuh di daerah Jawa dan Sumatra, terutama di dataran.
rendah sampai pegunungan yang berketinggian 100 m - 800 m di atas per.mukaan laut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun 2 - 5
batang yang merupakan hasil pertumbuhan tunas batang.
Diameter batangnya 2,5 cm, panjang batang 40 m, dan panjang ruas
batang 15 cm - 35 cm. Rotan ini memiliki batang yang diameternya makin ke
atas makin membesar.
Bentuk daunnya majemuk menyirip dan letak duduk anak daun sejajar
genap. Panjang daun 1 m - 1,5 m, sedangkan panjang anak daun 20 cm - 40 cm
dan lebar 2 cm - 4 cm.

17. Rotan Kirtung (Myrialepis scortechinii Becc.)


Rotan kirtung tumbuh di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000
m di atas permukaan laut, terutama di kawasan Semenanjung Malaya dan
Sumatra.

II-29

Rotan ini tumbuh secara berumpun dan panjang batangnya dapat


mencapai 40 m atau lebih. Diameter batang bersama pelepah dapat mencapai 7
cm. Apabila sudah dirunti, diameter batang hanya berkisar 4 cm, sementantara
panjang ruas batang sekitar 40 cm.
Bentuk daunnya majemuk menyirip yang panjangnya 3 m - 5 m. Ana
daun berbentuk lanset dan panjangnya 45 cm. Permukaan anak daun bagia atas
dan bagian bawah berwarna hijau.
Bunganya berbentuk tongkol majemuk, sedangkan buahnya dapat mei
capai diameter 3 cm.Karena bentuk batangnya yang besar, kokoh, dan kuat,
maka sebagia besar batangnya digunakan untuk rangka pembuatan bahan
kerajinan dan furnitur.

18. Rotan Pulut Merah (Calamus Sp.)


Rotan pulut merah, banyak tumbuh secara alami di daerah Kalimantan
terutama di daerah Kalimantan Timur, yaitu di tanah aluvial daerah datara
rendah dan pinggir sungai. Jenis rotan ini telah sejak lama dibudidayakan oleh
masyarakat karena memiliki kualitas yang sangat baik dan hidupnya
berumpun. Bila sudah dewasa, setiap rumpun dapat mencapai 50 batang.
Panjang batang dapat mencapai 30 m.
Batang rotan ini memiliki diameter 2 mm - 5 mm dan panjang ruas
batang 40 cm. Batang rotan ini berwarna abu-abu kemerah-merahan. Jenis
rotan ini paling disukai untuk bahan anyaman.
Daunnya majemuk menjari, anak daun bagian ujung berwarna kemerahmerahan. Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi oleh duri yang halus dan agak
lunak. Rotan pulut termasuk rotan yang berkualitas baik, sehingga banyak
digunakan untuk bahan pembuatan kerajinan karena hasilnya baik dan indah

19. Rotan Getah (Daemonorops angustifolia (Gri ff) Mart.)


Daerah penyebaran rotan getah adalah daerah dataran rendah yang
beriklim basah. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan tiap rumpun dapat
terdiri atas beberapa batang. Tinggi batang dapat mencapai 40 m, diameter

II-30

batang bersama pelepahnya 4 cm, dan bila telah dibersihkan dan dirunti
diameter batangnya hanya 2,5 cm, panjang ruas 35 cm.
Bentuk daunnya majemuk menyirip, panjang keseluruhan daun
mencapai 3,5 m, termasuk tangkai daun 30 cm dan sulur panjat 1,5 m. anak
daun panjangnya 35 cm dan lebar 1,5 cm. Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi
duri yang rapat dan tajam; panjang duri 2,5 cm dan lebar dasar duri 5 mm.

20. Rotan Umbul (Calamus simphysipus Mart.)


Tumbuh rotan umbul banyak ditemukan di Sulawesi pada dataran rendah sampai pegunungan antara 300 m - 600 m di atas permukaan laut. Rotan
ini lebih menyukai tanah yang subur dan di pinggir-pinggir sungai.
Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun) dan berkembangbiak
dengan bijinya. Batangnya berwarna hijau bergaris kuning. Setelah dirunti dan
kering, batang rotan ini berubah menjadi kuning telur dan mengkilap. Diameter
batang antara 1,5 cm - 3 cm dan panjang ruas 20 cm - 40 cm.
Daun bagian atas berwarna mengkilap dan daun bagian bawah anak
daun berwarna kecokelat-cokelatan. Pelepahnya diselimuti oleh duri-duri
pendek dan besar dan berwarna kuning.

21. Rotan Sega Ayer (Calamus axillaris Becc.)


Rotan sega ayer tumbuh di dataran rendah, terutama daerah rawa gambut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun terdiri atas
beberapa batang. Rotan ini berkembang biak dengan tunas batang dan biji yang
jatuh tersebar.
Daunnya majemuk menyirip dengan panjang lebih dari 2 m termasuk
sulur panjat 75 cm. Bentuk anak daun lanset. Buahnya yang sudah matang
memiliki ukuran panjang 11 mm dan lebar 9 mm.
Batangnya mempunyai diameter 1,3 cm, panjang ruas batang 15 cm,
dan panjang batang yang sudah dewasa mencapai lebih dari 10 m. Batang rotan
ini digunakan untuk kerajinan, anyaman, dan keperluan lainnya.

II-31

22. Rotan Saloso (Calamus sp.)


Rotan saloso tumbuh di daerah Sulawesi Utara pada daerah dataran
rendah. Rotan ini tumbuh secara berumpun. Anakan rotan tumbuh dari tunas
batang atau dari biji yang telah masak dan jatuh di sekitar batang atau terbawa
jauh oleh binatang.
Batangnya berwarna hijau, tetapi berubah menjadi berwarna kuning bila
sudah kering dan dirunti. Diameter batangnya antara 0,8 cm - 2 cm dan
panjang ruas 25 cm - 40 cm.
Bentuk daunnya hampir sama dengan rotan tohiti, tetapi ukurannya
lebih kecil, ujung anak daun berwarna kemerah-merahan. Alat pemanjat
terdapat pada ujung dan di antara pelepah dan flagelum.
Karena bentuk batangnya yang relatif kecil, maka umumnya batang
rotan ini dimanfaatkan untuk tali pengikat dan anyam-anyaman.

23. Rotan Manau Riang (Calamus oxleyanus T et B)


Rotan manau riang tumbuh di daerah dataran rendah dan tidak
menyukai tanah gambut dan aluvial. Rotan ini banyak dijumpai di
Semenanjung Malaya dan Sumatra.
Rotan manau riang tumbuh secara berumpun dengan beberapa batang
dalam setiap rumpunnya dan memanjat dengan bantuan sulur panjat. Diameter
batang termasuk dengan pelepahnya 3 cm dan bila tanpa pelepah hanya
berkisar 1,5 cm. Panjang ruas 12 cm.
Rotan manau riang memiliki bentuk daun majemuk menyirip yang panjangnya bisa lebih dari 3,25 m, tangkai daun 0,75 m, dan sulur panjat 1 m.
Jumlah anak daun bisa lebih dari 50 buah, berbentuk lanset, panjang tiap anak
daun 32 cm dan lebar 1,5 cm.

24. Rotan Tohiti (Calamus inops Becc.)


Rotan tohiti secara alami tumbuh di daerah berbukit dan ditemukan
hampir di seluruh daratan Sulawesi. Rotan ini tumbuh secara tunggal (tidak
berumpun). Perkembangbiakannya hanya melalui biji.

II-32

Rotan ini mempunyai permukaan batang berwarna kuning mengkilat


dengan gelang berwarna kelam tajam melingkari buku. Batang rotan ini agak
keras dan tidak begitu mudah dibelah. Diameter batang dapat mencapai 15 mm
dan panjang ruas 20 cm - 35 cm.
Bentuk daunnya majemuk menyirip dengan susunan anak daun hampir
sama dengan susunan anak daun rotan manau. Panjang anak daun 20 cm - 35
cm dan lebar 2 cm - 3 cm. Daunnya juga mempunyai cirrus, tetapi bukan
flagellum.

Karena rotan tohiti memiliki sifat liat, keras, dan tidak mudah

dibelah, maka sangat baik untuk bahan pembuatan mebel, penahan pasir di
gurun pasir, sandaran kapal, pengisi batang sepeda, dan pengganti kerangka
beton baja.

25. Rotan Seel (Daemonorops melanochaetes Blume)


Rotan seel banyak ditemukan di daerah belantara Sumatra dan Jawa,
yaitu di daerah dataran rendah sampai kepegunungan pada ketinggian 10 m 500 m di atas permukaan laut.
Batang rotan ini berwarna cokelat kekuning-kekuningan, besarnya antara 22 mm - 25 mm dan panjang ruas lebih kurang 22 cm - 28 cm. Rotan ini
tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai lebih dari 5
batang. Batang rotan ini berwarna hijau kekuning-kuningan, tetapi bila kering
dan selesai dirunti berubah menjadi kuning telur. Daunnya berwarna kekuningkuningan. Batang rotan seel yang sudah tua dapat digunakan untuk bahan tali
pengikat dan umbutnya dapat dijadikan sayuran.

26. Rotan Loluo (Calamus Sp.)

Rotan loluo banyak ditemukan di Sulawesi Tengah pada daerah pegunungan dengan ketinggian 1000 m - 2000 m di atas permukaan laut. Rotan ini
kebanyakan tumbuh di punggung dan lereng bukit.
Rotan loluo tumbuh secara berumpun dan panjang tiap batang dapat
melebihi 80 m. Diameter batang rotan ini sekitar 3 cm - 8 cm dan ruas batang
berkisar 25 cm - 40 cm. Warna batang kemerah-merahan dan bila sudah kering
akan berwarna kuning.

II-33

Panjang daun mencapai 9 m termasuk cirrus sepanjang 4 m - 5 m.


Bentuk daun seperti daun kelapa. Panjang anak daun 60 cm - 80 cm dan lebar
0,3 cm - 0,5 cm.

27. Rotan Udang Semut (Korthalsia scaphigera Mart)


Rotan udang semut banyak tumbuh di tempat yang senantiasa tergenang
air, terutama di tepi-tepi sungai yang berawa di daerah Sumatra dan Kalimantan. Selain itu, rotan ini ditemukan pula tumbuh di Malaysia dan Thailand.
Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan pitet (Kalbar), rotan
lalun (Dayak), dan rotan samut (Kubu/Jambi).
Rotan udang semut tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun
dapat mencapai 15 batang. Rotan ini merambat naik di antara ranting, cabang,
dan tajuk pohon setinggi 45 m atau lebih.
Bentuk permukaan batang yang sudah dipungut dan dirunti berwarna
cokelat kusam, bergaris membujur, dan intinya berwarna kuning gading. Rotan
ini dalam keadaan segar dapat dijadikan bahan pengikat yang cukup kuat dan
mudah untuk dibelah, tetapi jika telah kering mudah putus dan rapuh. Batang
rotan ini bergaris tengah tidak lebih dari 4 mm, bentuknya sangat merata dan
panjang ruas antara 10 cm - 20 cm.
Bentuk daun menyirip majemuk yang panjangnya mencapai l,l m termasuk sulur sepanjang 60 cm. Anak daun berbentuk belah ketupat agak lancip
dan duduk anak daun berselang-seling. Jumlah anak daun pada salah satu
bagian berjumlah 3 - 7 anak daun, panjang 20 cm, dan lebar 10 cm.

28. Rotan Dahan (Korthalsia rigida Blume)


Rotan dahan banyak tumbuh di daerah Belitung. Di daerah Bangka
rotan ini dikenal dengan nama rotan beladang/meladang. Rotan ini tumbuh di
daerah dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian tempat 1.100 m
di atas permukaan laut, terutama di daerah Sumatra dan Kalimantan. Rotan
dahan tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun sekitar 5 batang.
Panjang batang mencapai 20 m atau lebih. Diameter batang yang sudah
dibersihkan rata-rata 20 mm - 25 mm dan panjang ruas buku 20 cm. Bentuk

II-34

batang tidak rata dan buku-bukunya menonjol. Warna batang cokelat kusam
dan intinya berwarna cokelat muda. Batang rotan dahan ini mudah dibelah.
Batang rotan ini biasanya dipakai untuk pembuatan keranjang.
Panjang daun rotan dahan mencapai 1,5 m, termasuk tangkai daun 10
cm dan sulur panjat 75 cm. Bentuk daun menyirip majemuk, sedangkan anak
daun berbentuk belah ketupat yang menempel secara berselang-seling.

29. Rotan Meiya (Korthalsia echinometra Becc.)


Rotan meiya mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan meiya
(Kalimantan), rotan uwi hurang (Palembang), dan rotan siu (Kubu/Jambi).
Rotan ini banyak tumbuh di daerah Kalimantan dan Sumatra, terutama pada
kawasan yang berawa-rawa.
Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun mencapai
10 batang. Batangnya merambat naik dengan panjang melebihi 35 m. Diameter
batang, termasuk pelepahnya, mencapai 30 mm, tetapi bila sudah dibersihkan
hanya berkisar antara 8 mm -12 mm. Bentuk permukaan batang merata dan
panjang ruas 20 cm-25 cm. Permukaan batang berwarna cokelat kusam, beralur
memanjang, dan intinya berwarna cokelat muda.
Bentuk daunnya menyirip majemuk dan panjang daun mencapai 1,8 m,
termasuk panjang sulur 70 cm. Bentuk anak daun lanset yang menempel saling
berhadapan. Anak daun pada satu sisi berjumlah 25 buah, panjang 30 cm, dan
lebar 3 cm. Warna anak daun bagian atas hijau gelap dan bagian bawah
berwarna abu keputih-putihan.
Buahnya yang masak berbentuk bulat, memiliki ukuran panjang 2,5 cm
dan lebar 1,5 cm, sedangkan bijinya berukuran 1,5 cm dan lebar 1 cm.

30. Rotan Lowa (Plepcomiopsis geminiflorus Becc.)


Rotan lowa banyak tumbuh di daerah Belitung. Di daerah Lampung,
rotan ini dikenal dengan nama huwi pupuran. Rotan ini tumbuh di daerah
rawa-rawa gambut di Kalimantan dan Sumatra, serta di Malaysia.

II-35

Rotan lowa tumbuh secara berumpun dan panjang batang jika sudah tua
berkisar antara 25 m - 30 m. Rotan ini menjalar naik di antara dahan dan
ranting di hutan.
Batangnya yang sudah bersih berbentuk segi tiga dan berdiameter
antara 10 mm - 25 mm, tetapi bila masih dibalut pelepah, diameter batang
dapat mencapai 60 mm. Panjang ruas batang berkisar 15 cm - 50 cm.
Permukaan batang yang sudah kering berwarna cokelat sebam kusam, begitu
pula dengan warna intinya.
Daun rotan lowa berbentuk menyirip majemuk dan panjang daun 3 m,
termasuk sulur 1 m. Anak daun berbentuk lanset, jumlah anak daun pada satu
bagian 20 buah, panjang anak daun 40 cm, dan lebar 4 cm. Batang rotan lowa
digunakan untuk pembuatan keranjang, selain sebagai tali pengikat.

31. Rotan Sabut (Daemonorops hystri.x (Griff) Mart)


Rotan sabut banyak tumbuh di daerah pegunungan Sumatra. Rotan ini
mempunyai beberapa nama daerah, antara lain rotan uwi kalang sintang
(Palembang) dan rotan tahi landak (Semenanjung Malaka).
Diameter batangnya sekitar 8 mm -15 mm, bentuk buku-buku menonjol
dalam lingkaran yang agak teratur, dan panjang ruas sekitar 10 cm -15 cm.
Bentuk permukaan batang kasar, agak mengkilat, sedikit beralur, dan berwarna
kuning kecokelat-cokelatan. Batang rotan ini digunakan untuk bahan pengikat,
tetapi rotan ini kurang komersial.
Rotan sabut tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun tidak lebih dari 6 batang. Batang rotan ini jika menjulur naik dapat mencapai ,
panjang hingga 25 m.
Panjang daun kira-kira 2,5 m, sedangkan panjang tangkai daun kira+,
kira 40 cm dan berduri yang panjangnya 5 cm. Anak daun berbentuk lanse:~
panjang 35 cm, dan lebar 1,3 cm. Anak daun pada salah satu tangkai berjumlah
60 buah.

II-36

32. Rotan Pakak (Daemonorops periacantha Miq,)


Rotan pakak banyak tumbuh di daerah Sumatra. Rotan ini mempunyai
beberapa nama daerah, antara lain rotan uwi landak (Palembang), huwi kapuikapui (Lampung), dan rotan pakak (Belitung). Rotan ini juga tumbuh di
Kalimantan pada kawasan hutan dengan ketinggian 200 m di atas permukaan
laut.
Rotan pakak tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun hanya 2
- 3 batang; panjang setiap batang dapat mencapai 20 m. Diameter batang bila
masih diselimuti pelepah daun sekitar 30 mm atau lebih, tetapi bila sudah
dibersihkan hanya 10 mm - 17 mm; panjang ruas batang tidak lebih dari 20 cm.
Rotan pakak memiliki bentuk daun menyirip majemuk dan pada bagian
pelepah daun banyak ditumbuhi duri-duri yang rapat berwarna hitam kecokelat-cokelatan yang panjangnya 6 cm. Selain itu, duri-duri juga menempel
pada pinggiran bagian bawah tangkai tulang daun. Bentuk anak daun lanset,
jumlah anak daun pada satu bagian mencapai 30 buah, panjang daun mencapai
40 cm, dan lebar anak daunnya 3 cm.

33. Rotan Uwi Koroh (Daemonorops geniculata (Griff.) Mart.)


Rotan uwi koroh adalah nama jenis rotan yang diberikan oleh masyarakat di sekitar hutan Palembang (Sumatra Selatan). Rotan ini terutama tumbuh
di tanah-tanah pada ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut.
Rotan uwi koroh tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun 5
batang. Panjang batang dapat mencapai 15 m atau lebih. Diameter batang yang
hidup dan masih diselubungi pelepah daun berkisar 3 cm, tetapi bila
pelepahnya sudah dibersihkan diameternya hanya 1,5 cm. Panjang ruas batang
berkisar 6 cm - 10 cm dan buku-buku ruas batang yang menonjol. Permukaan
batang berwarna cokelat kekuning-kuningan dan intinya berwarna kuning
gading. Batang rotan ini cukup keras dan mudah dibelah. Rotan ini banyak
digunakan untuk tongkat berjalan dan pembuatan mebel dengan kualitas yang
rendah. Batang rotan ini banyak digunakan untuk pembuatan keranjang kasar.
Rotan uwi koroh memiliki bentuk daun manyirip majemuk, panjang
daun dapat mencapai 3 m. Panjang tangkai daun mencapai 1 m atau lebih,

II-37

sedangkan panjang sulur mencapai 40-100 cm. Anak daun berbentuk lanset
dan duduk berhadapan. Setiap anak daun berwarna hijau gelap, panjang 30 cm,
dan lebar di bagian tengah 2 cm. Pelepah daun diselimuti duri yang tersusun
berbaris sejajar mengelilingi pelepah. Pada pinggiran pelepah daun, dekat anak
daun, tumbuh duri-duri yang cukup panjang.

34. Rotan Duduk (Daemonorops longipes (Griff.) Mart.)


Rotan duduk adalah nama yang umum untuk jenis rotan yang tumbuh di
kawasan Semenanjung Malaya. Di kawasan Indonesia, rotan ini mempunyai
beberapa nama daerah, yakni rotan rundang atau rotan tanah (Bangka), rotan
mentulak (Belitung), dan rotan huwi tikus (Lampung). Selain di Malaysia,
rotan ini juga banyak tumbuh di luar hutan-hutan payau Sumatra dan
Kalimantan.
Rotan duduk tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun berkisar
5 - 10 batang; panjang batang berkisar 10 m. Diameter batang yang masih
dibalut pelepah 5 cm dan bila sudah dibersihkan hanya 1,5 cm - 3,5 cm;
panjang ruas 20 cm. Permukaan batang berwarna suram, sedangkan intinya
berwarna cokelat sebam dan lunak. Biasanya, rotan ini digunakan untuk
pembuatan perabot rotan dengan kualitas yang kurang baik.
Rotan duduk memiliki daun berbentuk menyirip majemuk, panjang
daun 4,5 m atau lebih, panjang tangkai daun 50 cm, dan panjang sulur 1,25 m.
Bentuk anak daun lanset menempel pada tangkai daun secara berselang seling.
Jumlah anak daun pada satu bagian mencapai 50 buah.

35. Rotan Ulur (Calamus ulur Becc.)


Rotan ulur tumbuh di daerah yang banyak air, terutama di daerah Sumatra bagian selatan. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap
rumpun mencapai 6 - 8 batang. Jenis rotan ini merambat di antara ranting dan
dahan pohon hingga mencapai ketinggian 40 m.
Rotan ulur berdiamater sangat kecil, yaitu hanya sebesar 10 mm. Bila
masih diselimuti pelepah, diameter batang tidak lebih dari 25 mm dan panj ang
ruasnya 20 cm. Permukaan batang berwarna cokelat kekuning-kuningan

II-38

mengkilat dengan gelang-gelang gelap melingkari buku-bukunya, sedangkan


intinya berwarna kuning sebam. Batangnya lemah, lentur, sangat mudah
dibelah, kuat, dan awet. Rotan ini di daerah Sumatra banyak dipakai untuk
pembuatan keranjang batu bara.
Rotan ulur memiliki daun berbentuk menyirip majemuk, panjang daun
mencapai 1,75 m termasuk dengan sulur sepanjang 1 m, sedangkan panjang
tangkai daun hanya 5 cm. Anak daun berbentuk lanset dan duduk daun
berhadapan yang semakin ke atas akan berselang-seling. Panjang anak daun 35
cm dan lebar 2,5 cm.

36. Rotan Manau Tikus (Calamus tumindus Furtado)


Rotan manau tikus berdiameter besar dan banyak tumbuh di daerah
Sumatra Barat dan Semenanjung Malaysia. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak
berumpun). Ketika merambat naik di sela-sela tajuk pohon, ketinggian batang
dapat mencapai 60 m atau lebih.
Batang rotan manau tikus yang sudah dibersihkan dari pelepahnya memiliki diamater pangkal sebesar 1,2 cm dan semakin ke ujung batang makin
membesar hingga mencapai diameter 2,5 cm. Dalam keadaan masih hidup,
diameter batang dapat mencapai 4,5 cm. Panjang ruas batang cukup bervariasi,
yaitu antara 12 cm - 30 cm. Di dalam perdagangan, harga rotan ini cukup
mahal. Jenis rotan ini digunakan untuk rangka pembuatan mebel dengan
kualitas yang baik karena termasuk jenis rotan manau.
Rotan manau tikus memiliki bentuk daun menyirip majemuk, panjang
daun mencapai 4 m, termasuk panjang sulur 1,5 m. Anak daun berbentuk
lanset, panjang 40 cm, dan lebar 6 cm. Duduk anak daun berhadapan dengan
jumlah 25 pasang.
Pelepah rotan manau tikus berduri panjang dan tajam yang panjangnya
mencapai 4 cm dan lebar 7 mm.

II-39

37. Rotan Manau Padi (Calamus marginantus Mart.)


Rotan manau padi adalah nama jenis rotan yang dikenal di daerah
Bangka, sedangkan di daerah Palembang disebut dengan nama rotan besi, dan
di Kalimantan Selatan dikenal dengan nama rotan pehekan.
Rotan manau padi tumbuh secara tunggal (tidak berumpun) dan menyu, kai tanah-tanah ringkai pada dataran rendah. Batang rotan ini merambat naik
hingga menjangkau ketinggian 40 m.
Batang rotan manau padi yang sudah bersih mempunyai diameter ; 10
mm - 15 mm dan panjang ruas 12 cm - 20 cm. Permukaan batang berwarna
kuning mengkilat dengan gelang-gelang hitam melingkari buku bukunya,
sedangkan intinya berwarna kuning gading.
Rotan manau padi memiliki sifat padat, keras, dan kokoh, sehingga
rotan ini dikategorikan memiliki kualitas yang sama dengan rotan manau (C.
manan). Jenis rotan ini digunakan untuk bahan pembuatan rangka mebel. yang
berkualitas tinggi.

38. Rotan Tunggal (Calamus laevigatus Mart.)


Sesuai dengan namanya, rotan ini tumbuh secara tunggal (tidak
berumpun). Rotan ini memiliki jangkauan merambat yang cukup tinggi karena
batangnya dapat memiliki panjang 30 m.
Penyebaran rotan tunggal cukup luas, selain tumbuh di Kalimantan dan
Sumatra, juga ditemukan di daerah Semenanjung Malaya dan Singapura.
Lokasi tumbuhnya berada pada tanah dataran rendah yang kering sampai pada
ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Oleh karena itu, jenis rotan ini tidak
ditemui di kawasan tanah rawa gambut dan daerah tanah rawa aluvial.
Batangnya yang masih hidup dan diselimuti pelepah daun memiliki
diameter 2 cm, tetapi bila telah dibersihkan hanya berdiameter 8 mm - 10 mm;
panjang ruas 25 cm.
Rotan tunggal memiliki daun berwarna hijau gelap ketika masih segar.
Bila sudah kering, daun rotan ini berwarna hijau kecokelat-cokelatan. Bentuk
daun menyirip majemuk dan anak daun berbentuk lanset.

II-40

39. Rotan Dago Kancil (Calamus conirostris Becc.)


Rotan dago kancil di Palembang dikenal dengan nama rotan dalem
buku. Jenis rotan ini banyak ditemukan di daerah pinggir sungai yang tidak
tergenang air atau daerah pinggir sungai yang kering. Daerah penyebarannya
adalah Sumatra dan Kalimantan.
Rotan dago kancil tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun
berkisar 3 - 6 batang. Batang rotan ini merambat di antara pepohonan hingga
mencapai ketinggian 35 m. Batangnya berdiameter sangat kecil yakni hanya 10
mm, sementara diameter batang yang masih diselimuti pelepah mencapai
35 mm; panjang ruas 35 cm atau lebih. Permukaan batang berwarna
kuning sebam mengkilat dan intinya berwarna cokelat muda. Batang rotan ini
lemah, lentur, lunak, sukar untuk dibelah, dan peralihan pada buku-bukunya
tidak rata. Karena sifatnya itu, maka rotan ini hanya dipakai untuk bahan
pengikat pada bangunan rumah di pedesaan dan untuk anyaman keranjang
kasar.
Rotan dago kancil memiliki pelepah daun yang diselimuti duri-duri
panjang dan tajam. Bentuk daun menyirip majemuk, panjang daun mencapai
2,5 m, panjang tangkai daun 50 cm, bagian ujung daun terdapat sulur daun, dan
tangkai daun diselimuti duri-duri pendek. Pada pelepah daun tumbuh sulur
panjat sepanjang 75 cm. Anak daun berwarna hijau gelap dan jumlah anak
daun pada salah satu bagian mencapai 35 buah. Bentuk anak daun lanset
dengan panjang 40 cm dan lebar 2 cm.

40. Rotan Lita (Daemonorops lemprolepis Becc.)


Rotan lita tumbuh dan dikenal oleh masyarakat suku Bugis di daerah
Wajo. Karena itu, rotan ini ditemukan tumbuh di daerah Sulawesi bagian
selatan. Rotan lita tumbuh di tempat-tempat berawa-rawa, baik rawa air tawar
maupun rawa air asin.
Garis tengah batang rotan lita antara 5 mm - 10 mm dan panjang ruas
20 cm- 35 cm. Permukaan batang berwarna kuning cerah mengkilat, sedangkan
bagian dalam berwarna kuning gading. Rotan ini cukup banyak diperdagangkan untuk bahan pembuatan keranjang.

II-41

Kegunaan rotan dapat dibedakan berdasarkan batangnya. Rotan yang


berdiameter kecil lebih banyak digunakan untuk tali pengikat, bahan anyaman,
dan pendamping dalam pembuatan rangka mebel. Sedangkan rotan yang
berdiameter besar lebih banyak kegunaannya untuk tongkat berjalan dan
rangka mebel. Adapun rincian kegunaan rotan adalah sebagai berikut :
a.

Kegunaan batang untuk berbagai keperluan bahan kerajinan, dan lain-lain


sebanyak 117 jenis rotan.

b.

Kegunaan pucuk rotan (umbut) dan buah untuk sayuran dan bumbu masak
sebanyak 9 jenis rotan.

c.

Kegunaan rotan untuk atap (daun) dan konstruksi tulangan beton sebanyak
2 jenis.

d.

Kegunaan rotan untuk obat tradisional sebanyak 2 jenis rotan

e.

Kegunaan hasil getah jernang sebanyak 7 jenis rotan.

2.5.2. Bambu
Bambu merupakan salah satu jenis hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan
Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama
masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemanfaatan dan pemungutan
HHBK bambu maupun masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan HHBK
bambu dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya bambu ialah nama kumpulan bagi rumput-rumputan berbentuk
pohon kayu atau perdu yang melengkung,

dengan batang-batangnya yang

biasanya tegak, kadang-kadang menanjak, mengayu dan bercabang-cabang, dapat


mencapai umur panjang dan pada lazimnya mati tanpa bunga.
Sama halnya dengan tanaman tebu, batang bambu terdiri dari buku dan
ruas. Pada salah satu sisi buku, muncul cabang yang beruas-ruas dan diantara ruas
cabang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh buku cabang. Pada
salah satu buku cabang muncul ranting, demikian seterusnya sehingga tanaman
bambu merupakan tegakan rumpun dengan batang-batang tegak, bagian ujung
batang melengkung dan kiri-kanan muncul cabang pada buku berselang-seling
yang dipenuhi oleh ranting dan daun.

II-42

Sejak jaman dahulu bambu sudah dikenal sebagai tumbuhan serbaguna


bahkan oleh bangsa kita, batang pohon bambu dipakai sebagai symbol senjata
dalam meraih kemerdekaan dari tangan penjajah. Pohon yang termasuk suku
Graminea ini merupakan

tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat

Indonesia karena tanaman ini sudah menyebar di seluruh kawasan nusantara.


Bambu dapat tumbuh di daerah beriklim basah hingga kering, dari dataran rendah
sampai ke daerah pegunungan. Di pedesaan seringkali dijumpai tanaman bambu
rakyat yang ditanam di lahan-lahan tertentu seperti dipekarangan, di tepi sungai,
tepi jurang atau pada batas-batas kepemilikan lahan.
Jika melihat ciri rumah-rumah di pedesaan yang bahan bangunannya
didominasi oleh bambu, itu menandakan bahwa bambu sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat desa, demikian juga dengan peralatan rumah tangga yang
mereka pakai tidak terlepas dari hasil modifikasi bambu yang diraut sedemikian
rupa sehingga berguna untuk peralatan rumahtangga sehari-hari.
Ada juga yang disebut dengan istilah rebung. Rebung adalah tunas atau
batang-batang bambu

yang masih muda yang muncul dari permukaan dasar

rumpun, tumbuh dan berkembang membentuk kerucut yang merupakan bentuk


awal dari perkembangan batang. Rebung ini biasanya dipanen untuk dikonsumsi
menjadi bahan makanan misalnya untuk dibuat sayur sebagai teman nasi.

2.5.2.1. Penyebaran Bambu di Indonesia


Bambu dapat tumbuh di daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim
sedang, dari dataran rendah sampai ketinggian tertetntu. Tanaman ini tumbuh di
dataran rendah sampai ketinggian sedang di daerah tropis, hidup liar,
dibudidayakan atau tumbuh di habitat yang sangat bervariasi (Tabel 2.5.).
Tabel 2.5. Penyebaran marga bambu
Marga
Bambusa

Cephalostachyum

Dendrocalamus

Jumlah Jenis
+ 37

11

+ 29

Penyebaran
Asia tropis dan subtropics terutama yang
beriklim angin musim dan tropis basah,
sebagian besar dibudidayakan
Dari Timurlaut Himalaya sampai Thailan
dan Mindoro; dari gunung sampai dataran
rendah
Dari dataran India sampai Asia Tenggara;
daerah tropis kering dan lembab

II-43

Tabel 2.5. Lanjutan


Marga
Jumlah Jenis
Dinochloa
+ 30

Penyebaran
Malaysia, Pegunungan dan dataran
rendah, hutan keruing
Holttumocholoa
3
Semenanjung Malaya
Kinabaluchloa
2
Malaysia; hutan Montana
Maclurochloa
1
Semenanjung Malaya, hutan dataran
tinggi
Melokalamus
1
Bangladesh, India, Burma, Thailand, Cina
daerah selatan; dataran rendah
Nastus
+ 15
Indonesia, Papua Newgini; hutan Montana
Neohouzeaua
2
Bangladesh sampai Thailand; liar atau
dibudidayakan di dataran rendah
Pseudostachyum
1
Burma dan India
Racemobambus
+ 16
Malaysia; terutama di Montana
Schizostachyum
+ 30
Asia Tenggara, liar atau dibudidayakan
terutama di dataran rendah
Soejatmia
1
Semenanjung Malaya; liar, di dataran
rendah dan pegunungan
Sphaerobambus
3
Malaysia, hutan dataran rendah
Thyrsostachys
2
Thailand sampai Victoria, dataran rendah
kering
Vietnamosasa
3
Thailand sampai Vietnam; padang rumput
kering, dataran rendah sampai hutan
pegunungan
Yushania
2
Taiwan sampai Sabah; hutan dataran
tinggi
Sumber : Pengembangam Budidaya Bambu, Departemen Kehutanan, 1996
2.5.2.2. Budidaya Tanaman Bambu
Dengan meningkatnya industri atau kerajinan yang memakai komoditas
bambu sebagai bahan produksinya, maka kebutuhan akan bambu juga meningkat.
Namun pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dapat sepenuhnya, tergantung pada
persedian alam. Untuk itu tanaman bambu harus dibudidayakan secara intensif
agar kebutuhan akan bambu sebagai bahan baku produksi dapat terjamin.
Dalam pembudidayaan bambu, hal yang harus diperhatikan adalah
menentukan media tumbuhnya. Karakteristik dari media tumbuh tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap tumbuhan yang akan ditanam, tapi tidak berlaku
mutlak untuk tanaman bambu. Berbagai keaadaan tanah dapat ditumbuhi bambu
mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering sampai becek dan dari tanah
subur sampai tanah kurang subur. Tanaman bambu mempunyai daerah

II-44

penyebaran yang cukup luas, baik penyebaran vertical maupun horizontal. Dengan
demikian hampir semua jenis bambu dapat tumbuh pada berbagai tempat di
Indonesia.
Dalam pengembangbiakan tanaman bambu, ada dua cara yang dikenal
yaitu cara generatif dan vegetatif. Dibandingkan tanaman yang dilakukan secara
vegetatif, tanaman yang berasal dari benih/biji (generatif) membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk mencapai ukuran normal.
Cara yang umum dilakukan dalam pengembangbiakan vegetatif adalah
dengan stek batang, stek cabang dan stek rhizom. Ketiga cara ini biasanya
dicocokkan lagi dengan jenis bambu yang akan ditanam. Di pulau Jawa, orang
jarang menggunakan stek , tetapi dalam kebanyakan hal mereka memakai
potongan-potongan akar (Rhizom), jenis bambu yang banyak berhasil diterapkan
dengan cara ini misalnya adalah : Bambusa bambus, Bambusa spinosa, dan
Bambosa vulgaris.
Tanaman

bambu

yang

dibudidayakan

perlu

juga

pemeliharaan.

Pemeliharaan bambu dapat dibagi dua tahap yaitu tahap sebelum mencapai
perumpunan normal, dan tahap setelah perumpunan normal. Pemeliharaan tahap
pertama meliputi penyiangan dan penggemburan tanah sekitar tanaman, dan
pemeliharaan tahap kedua yaitu melakukan pemangkasan cabang bawah sekitar 2
3 meter serta penimbunan dasar rumpun dengan tanah. Meskipun tanaman
bambu pemeliharaan namun dalam pelaksanaannya tidak bgitu intensif, sehingga
tidak mrepotkan pemiliknya. Tindakan pemeliharaan tanaman bambu antara lain
pemangkasan, penyiangan, pembumbungan dan pemupukan.
Sama halnya dengan tanaman lain, bambu juga perlu diberi pupuk. Selain
mempercepat pertumbuhan, pemupukan juga berguna untuk meningkatkan jumlah
batang dan rebung. Pupuk yang digunakan tanaman bambu adalah 15-15-15
NPK, Urea, TSP dan KCl. Dosis pupuk yang digunakan belum ada ketentuan
yang pasti karena berapapun pupuk yang diberikan pasti diserap tanaman bambu.
Tanaman bambu tergolong tumbuhan yang banyak menyerap unsur hara,
sedangkan unsure hara yang dikembalikan ke tanah relatif kecil. Pemupukan
dengan menggunakan 15-15-15 NPK (masing-masing 100, 100, 100, kg/ha) dapat

II-45

meningkatkan hasil buluh dan rebung. Pemupukan dilakukan pada awal dan akhir
musim hujan.
Tanaman yang dijuluki The Poor Man Timber ini ternyata juga tidak
dapat luput dari serangan hama dan penyakit. Umumnya jenis gangguan yang
dialami tanaman bambu adalah hama uret, kumbang bubuk atau hama buku dan
rayap. Hama perusak bambu dibagi menjadi dua golongan yaitu agen biosis dan
agen abiosis. Termasuk dalam agen biosis adalah bakteri, cendawan, rayap,
serangga penggerek serta burung pelatuk. Sedangkan agen abiosis melibatkan api,
keausan mekanis dan kelapukan. Dari sekian jenis hama yang disebutkan tadi,
maka kumbang bubuk atau serangga penggereklah yang sangat ekstrim dalam
melakukan perusakan tanaman, ini disebabkan karena jenisnya banyak dan
merusak dengan cara memakan jaringan bambu bahkan dijadikan tempat untuk
bertelur.
Sebenarnya masih banyak kumbang penggerek yang dapat merusak
tanaman bambu, tapi yang sudah teridentifikasi diantaranya adalah Dinederus
minitus, D. brevis, Conarthus filiformis, C. paraestus, Tillus notalis dan
Mycolandra exarata. Khusus untuk kumbang bubuk (hama penggerek), tidak
semua jenis bambu disukainya. Sebenarnya yang disukai oleh hama ini adalah zat
pati yang terdapat dalam jaringan serat bambu, setiap jenis bambu memiliki
kandungan pati yang berbeda-beda. Sebagai contoh bambu apel lebih disukai
hama bubuk karena kandungan patinya lebih tinggi dari pada bambu betung,
bambu wulung, atau bambu bambu apus.
Dari identifikasi penyakit, yang diderita oleh tanaman bambu yaitu pada
saat proses pembibitan. Dalam pembibitan, yang sering menyerang adalah
dumping off yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani, tetapi dapat dibasmi
dengan fungisida.

2.5.2.3. Pemanenan dan Pascapanen


Dalam pemanenan bambu, hal penting yang harus diperhatikan

yaitu

waktu tebang yang tepat. Maksudnya adalah batang bambu yang ditebang sudah
cukup tua. Misalnya bambu yang digunakan untuk barang kerajinan sebaiknya
diambil setelah berumur tigatahun. Bila bambu yang diambil terlalu muda, maka

II-46

kurang baik hasilnya. Adapun musim yang tepat untuk pemanenan bambu adalah
pada awal musim kemarau atau diakhir musim penghujan.

Pada waktu

pemanenan sebaiknya pada awal atau saat musim kemarau. Hal ini dimaksudkan
bila dipanen di musim kemarau maka kadar air buluh pada bambu sangat rendah
juga bambu tidak mudah terserang hama pengebor buluh.
Selain tepatnya waktu penebangan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah
cara penebangan. Dalam pemanenan bambu, kita mengenal dua cara penebangan
yaitu tebang pilih dan tebang habis. Cara tebang pilih yakni memilih buluh yang
sudah tua saja dengan tebangan berkisar 25 50 % buluh yang cukup tuah perrumpun. Setelah 1 2 tahun, penebangan berikutnya kembali dilakukan.
Kelemahan dari cara ini yaitu memakan waktu lebih lama dan juga membutuhkan
keahlian khusus dalam pengerjaannya.
Alternatif lain adalah system tebang habis yang memang dirasakan lebih
menguntungkan . Namun, cara ini kelemahannnya lebih banyak lagi. Rumpun
yang sudah ditebang tidak dapat menghasilkan rebung atau menghasilkan rebung
yang berukuran lebih kecil

dari ukuran normal, sementara produk batangan

bambu ikut terhenti.


Setelah pemanenan, proses selanjutnya ialah pengawetan. Perlu tidaknya
suatu pengawetan tergantung pada kebutuhan pemakaian bambu tersebut. Jika
bambu yang dipakai sekedar hanya untuk membuat sumpit atau tusuk sate saja,
rasanya tidak begitu perlu diadakan proses pengawetan. Tapi jika bambu akan
digunakan sebagai bahan bangunan , sudah barang tentu pengawetan perlu
dilakukan agar bambu yang dipakai bias lebih tahan lama.
Ada beberapa cara dalam mengawetkan bambu diantaranya: pengawetan
tradisional, dengan cara perendaman vertical, perendaman dingin, perendaman
dengan metode boucherie, bahkan sekarang dikenal metode pengasapan,
perebusan, pemanasan pelesteran atau dengan menggunakan air kapur. Namun
Nandika & Tapa Darma (1994) mengklasifikasikan macam cara dan metode
tersebut kedalam dua metode yaitu 1) pengawetan bambu tanpa bahan kimia
dan 2) pengawetan bambu dengan bahan kimia. Metode pengawetan tanpa bahan
kimia (metode tradisional)

dipandang cocok digunakan dalam pengawetan

bambu. Ini disebabkan karena muda pelaksanaannya, ekonomis, serta bersahabat

II-47

dengan lingkunganmeskipun beberapa hasil penelitian menunnjukkan bahwa


metode tersebut hanya efektif terhadap serangan bubuk kering. Sedangkan metode
denga bahan kimia yang umum dilakukan adalah metode merendam, dengan
bahan pengawet yang biasa digunakan untuk wolmanit CB, TCB, ACC atau asam
borak.

2.5.2.4. Manfaat Bambu


Bambu merupakan jenis vegetasi yang dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya.
Bambu dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas dalam setiap aspek kehidupan
sehingga setiap orang sejak masih kecil sudah mengenal vegetasi bambu.
Bambu dimasyarakat memiliki arti baik dari aspek ekonomi, ekologi, dan
sosial budaya. Pemanfaatan

bambu oleh masyarakat meliputi

setiap aspek

kehidupan masyarakat. Upacara-upacara keagamaan, perkawinan, kelahiran,


kematian, dan banyak kegiatan kebudayaan tidak terlepas dari pemanfaatan
bambu sebagai bahan dan alat bantu untuk melaksanakan segala aspek kegiatan
dalam masyarakat. Bambu runcing, bambu gila yang memiliki kekuatan magis,
bambu sebagai bahan untuk membuat rakit sebagai sarana transportasi.
Bambu digunakan sebagai alat bantu memasak masakan tradisional
tertentu masyarakat di Sulawesi Selatan seperti tusuk sate, ikan asap, lemmang
atau piong, beberapa negera Asia menggunanakan bambu sebagai alat bantu untuk
makan (sumpit). Setelah makan bambu digunakan sebagai alat tusuk gigi untuk
membersihkan sisa makanan disela-sela gigi.
Bambu memberikan manfaat langsung sejak masih merupakan rumpun
bambu sebagai tanaman pencegah longsor pada tebing sungai, sebagai pemecah
angin (windsbreak),tunas bambu yang masih mudah (rebung) digunakan sebagai
bahan makanan, ranting sebagai bahan mainan anak-anak, dan bambu di ekstrak
sebagai bahan suplement dan obat untuk berbagai jenis penyakit.
Bambu dikatakan sebagai vegetasi serbaguna karena hampir semua bagian
tanaman dapat dimanfaatkan, seperti akar, tunas, batang, dan ranting dapat
dimanfatkan, misalnya untuk bahan kerajinan, tunas untuk bahan makanan, batang
bambu yang sangat serbaguna dalam penggunaannya.

II-48

Industri tertentu membutuhkan bambu sebagai bahan baku utama seperti


industri pulp dan kertas. Meubel, kerajinan tangan, bahan knstruksi.
Pemanfatan bambu dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a.

Kebudayaan (ganrang bulo, meriam bambu, bola soji, baruga, maddebang,


sarafo, alat pengiris (cawile), senjata (surah, panah, sumpit), membuat obor,
kentongan)

b.

Konservasi (pencegah longsor, pemecah angin, tanaman hias)

c.

Kebutuhan sehari-hari (keranjang, tusuk sate, masakan khas)

d.

Konstruksi (Tiang rumah, pagar, sebagai pengganti pipa saluran air di daerah
pegunungan, atap rumah, lantai, dinding, plafon, bambu cement)

e.

Kerajinan (bahan ukuiran, anyaman)

f.

Alat musik (suling, kulintang)

g.

Industri kecil (skala rumah tangga, skala kecil)

h.

Industri besar (pulp dan kertas)

i.

Tanaman hias

j.

Bahan bakar (arang)


Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dari akar hingga pucuk tanaman

bambu semuanya bermanfaat. Misalnya akar bambu bias berfungsi sebagai


penahan erosi dan kebanjiran. Batang bambu adalah bagian yang banyak sekali
dimanfaatkan seperti untuk bahan bangunan, untuk kerajinan anyaman bambu,
aneka peralatan rumah tangga seperti tikar, kerei, tirai, kap lampu, keranjang
sampah, tempat nasi dan lain-lain. Bisa digunakan sebagai bahan pembuatan
mebel seperti kusi, meja, rak, tempat tidur, dan lemari. Selain itu batang
bambujuga digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas dan pulp serta manfaat
lain untuk peralatan musik, senjata, alat olah raga maupun rekreasi. Adapun
daunnya berfungsi sebagai bahan pembungkus dan obat-obatan. Buluh untuk
bahan pembungkus dan pembuatan kertas, rebung, atau tunas muda bambu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan sayur-sayuran.
Dari rincian banyaknya benda atau barang yang memakai bambu sebagai
bahan dasar, maka timbul pertanyaan berapa batang atan berapah ton-kah bambu
yang dikomsumsi untuk keperluan industri di Indonesia?. Sebagai bahan acuan

II-49

dalam perhitungan jumlah konsumsi , berikut ini adalah data statistik konsumsi
bambu di Indonesia.
Selain untuk berbagai macam kegunaan, tanaman bambu itu sendiri
ternyata dapat dijadikan hiasan yang indah di halaman rumah misanya bambu
china (Phyllostachys spp.). Bambu china jika ditata dengan selaras akan
memberikan nuansa yang asri dan sejuk serta memiliki daya tarik tersendiri.
Sedangkan bambu

kuning (Bambusa vulgaris Schrad) selain indaj untuk

dijadikan tanaman hias dan dapat dijadikan tanaman obat, juga menurut
kepercayaan sebagian orang, bambu ini sanggup mengusir roh-roh jahat yang ada
disekitar rumah dimana bambu tersebut ditanam. Terlepas dari benar atau
tidaknya mitos tersebut, paling tidak kita telah mengetahui dan mengakui bahwa
tanaman bambu adalah tanaman yang sudah teruji banyak kegunaannya.

2.5.2.5. Produktifitas Bambu


Produktivitas Thyrsostachys siamensis di Thailand rata-rata 1500 buluh/ha
pertahun. Produksi bambu ini pada tahun panen raya 3 x pada panenan biasa yakni
3 5 ton/h. Produktivitas Bambusa bambos 5000 8000 buluh/ha/tahun, 24,7
ton/tahun pada saat panenan raya atau 5 -8 ton/ha pada panenan biasa per tahun.
Di Filipina Bambusa bluncana memproduksi 960 16000 buluh/ha/tahun. Di
India Bambusa bambos rata-rata 32 t/ha/thn. Hasil rebung Dendrocalamus asper
pada tahun 1984 di Thailan sekitar 38.000 ton/ha. Di Indonesia, produksi batang
mencapai 43,4 ton/ha dengan rotasi 2 tahun.

2.5.2.6. Pemasaran Bambu


Mengingat kebutuhan akan bambu cukup tinggi, pamasaran dan
pengusahaan bambu tentunya memiliki prospek yang baik. Jenis pemasaran
bambu dapat dibagi

dalam bentuk yang yang masih gelondongan, kerajinan

tangan, mebel, bahan makanan (rebung) sumpit, tanaman hias dan lain-lain.
Selain untuk dipasarkan di dalam negeri, Indonesia juga mengekspor
komoditas ini ke berbagai negara. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu
dari tahun 1992-1997 ini negara yang menjadi tujuan pasar atau ekspor bambu
adalah jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapore, Arab Saudi, Amerika Serikat

II-50

dan beberapa negara besar di belahan Eropa misalnya Inggris, Belanda, Francis,
Jerman, Belgia, Austria, Denmark, Italy, Spanyol dan Rusia.
Melihat data ekspor di atas, bambu dari tahun ke tahun menunjukkan
kenaikan dan penurunan atau bisa dikatakan tidak stabil. Hal ini bisa saja
dikarenakan semakin banyaknya negara pesaing ekspor, dan beraneka ragamnya
permintaan negara pengimpor yang kadang membuat harga tidak stabil. Untuk
dapat meningkatkan ekspor barang-barang kerajinan bambu, perlu kiranya tetap
dilanjutkan upaya pembinaan pemerintah yang bekerjasama dengan pengusaha
dalam meningkatkan kualitas produksi kerajinan bambu, misalnya dengan
mengurangi kelemahan-kelemahan baik dari segi teknik industri, peningkanan
mutu produk dan peralatan produksi yang dimiliki. Selain itu sangat diperlukan
informasi mutakhir tentang pemasaran hasil kerajinan bambu misalnya: informasi
mutu, desain yang sedang trend saat itu, atau informasi tentang pasaran negara
yang akan dituju. Dengan demikian kiranya dipastikan bahwa produk kerajinan
bambu Indonesia dapat lebih bersaing di pasaran dunia.

2.5.3. Sagu
Sagu merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang dapat dipergunakan
sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia, khususnya di
wilayah Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Kapan sagu dikenal di Indonesia belum ada data
yang pasti. Yang jelas sagu sudah lama membudaya di kalangan penduduk
Kepulauan Maluku dan IrianJaya. Sagu di kedua tempat tersebut dapat dijumpai
di kawasan hutan dengan banyak ragamnya. Sagu ada yang berduri panjang, ada
yang tidak berduri, sedangkan di daerah lain di Indonesia biasanya hanya
dijumpai satu atau dua macam sagu saja. Dilihat dan keanekaragaman dan
keasliannya, diduga sagu berasal dan daerah Maluku dan Irian Jaya. Penyebaran
sagu hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara.

II-51

Sagu merupakan salah satu jenis monokotil yang memberikan banyak


manfaat yang sangat besar terutama masyarakat Indonesia Bagian Timur.
Komoditi tanaman pangan ini dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang
cukup potensial di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang
pada dasarnya sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Penduduk
Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Sulawesi merupakan propinsi yang paling banyak
memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok. Upaya budidaya tidak banyak
dilakukan malah banyak dikonversi untuk dijadikan sebagai lahan persawahan,
pemukiman dan perkebunan. Komunitas sagu merupakan bagian dari satu
ekosistem yang khas tetapi terancam oleh alih fungsi lahan.
Negara-negara produsen sagu yang sudah dikenal hanyalah Indonesia,
Malaysia dan Papua New Guinea (PNG). Sagu di negara-negara tersebut
tampaknya masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja. Ada
informasi bahwa Jepang pernah melakukan impor tepung sagu sekitar 20.000 ton
yang digunakan sebagai bahan dasar produksi Glukosa, sirup berfruktosa tinggi,
Sorbitol dan sebagainya.
Secara komersial dikenal tiga jenis sagu yaitu: sagu Ihur (Metroxylon
rumphii, Mart.var.Sylvestre, Mart), sagu Tuni (Metroxylon rumphii), dan sagu
Molat (Metroxylon sagu, Rottb.). Diperkirakan potensi sagu di Indonesia tidak
kurang dan 740.000 ha, setara dengan 5.180.000 8.510.000 ton tepung
sagukering per tahun. Sampai sekarang pemanfaatan sagu di Indonesia pada
umumnya masih dalam bentuk pangan tradisional, misalnya di-konsumsikan
sebagai bahan makanan pokok dalam bentuk papeda.
Di samping sebagai makanan pokok sagu juga dikonsumsi sebagai
makanan pendamping seperti: sagu lempeng sinali, bagea dan lain-lain. Pada
umumnya pangan tersebut diproduksi dalam skala industri kecil. Sagu di Jawa
Barat, hanya daunnya dimanfaatkan sebagai bahan atap.
Teknologi yang digunakan dalam pengolahan tepung sagu di Indonesia
masih tradisional dan hanya sebagian kecil yang menggunakan cara rnekanik.
Pengolahan sagu secara industri baru dilakukan di daerah-daerah seperti Jambi
Riau dan Sumatera Selatan. Produksinya terutama untuk memenuhi permintaan
pasar dalam negeri dan dalam jumlah terbatas pernah diekspor. Di Malaysia,

II-52

teknologi pengolahan sagu sedikit lebih maju yakni pengambilan sagu sudah
dilaksanakan secara fabrikasi. Karena cara pengolahan sagu di Indonesia masih
tradisional, maka produksi serta mutu tepungnya pun masih tergolong rendah.
Budidaya tanaman sagu di Indonesia pada umumnya masih primitif, atau
dapat dikatakan masih tumbuh secara liar. Yang jelas masih banyak petani sagu
belum melaksanakan teknik budidaya sagu seperti teknik budidaya umbi-umbian
atau serealea lainnya. Sagu di Indonesia masih menuntut teknik bercocok tanam
secara intensif.

2.5.3.1.

Penyebaran Sagu dan Sejarah Singkat Sagu

Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian, karena itu sagu mempunyai
arti khusus sebagai pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini
belum ada data yang pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini
dikenal. Diduga budidaya sagu di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama
kunonya dengan pemanfaatan kurma di Mesopotamia. Sagu sudah dikenal sejak
tahun 1200 berdasarkan catatan-catatan dalam tulisan-tulisan Cina. Misalnya
Marco Polo menemukan sagu di Sumatra pada tahun 1298 dan pabrik sagu di
Malaka sudah tercatat dalam tahun 1416. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa
kultur padi di Asia Tenggara telah didahului oleh suatu tahap hortikultur yang
berintikan suatu kompleks pertanian vegetatif yang terdiri dari Uwi (Yam) talas
dan sagu. Usaha pertanian tanaman pangan yang dibiakkan tanpa biji ini
berkembang dalam kelompok masyarakat yang bermukim di lembah-lembah
sekitar muara sungai atau sepanjang pantai.
Pada abad ke 15 sagu dan buah-buahan masih digambarkan sebagai
sumber pangan pokok di beberapa tempat di Semenanjung Melayu. Dewasa ini
padi memang sudah menyebar di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra Sulawesi dan
sebagainya. Dalam istilah bahasa Jawa nasi disebut sego dan menurut para ahli
bahasa kata tersebut berasal dan kata sagu Kata sagu sendiri masih tetap dikenal
dan digunakan dalam pemberian nama panganan-panganan di Jawa, misalnya
Jenang sagu, walaupun bahannya bukan berasal dari pohon sagu melainkan pohon
aren.

II-53

Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan


sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan
Irian Jaya. Diperkirakan 30 persen penduduk Maluku dan 20 persen penduduk
Irian Jaya meng-konsumsi sagu sebagai makanan pokok.
Teknologi eksploatasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju
saat ini adalah di Malaysia. Indonesia, khususnya dari daerah Riau sudah mulai
melakukan ekspor produk sagu dalam bentuk sagu kotor

pada

tahun

1879.

Ekspor sagu bersih dan Indonesia dimulai pada tahun 1901 dan mulai ekspor
dalam bentuk sagu mutiara pada tahun 1917. Sejarah yang pantas dicatat dalam
perkembangan industri sagu di Indonesia adalah didirikannya sebuah industri
pengolahan sagu oleh PT. Sagindo Sari Lestari pada pertengahan tahun 1989. di
Arandai, Bintuni, Manokwari, Irian Jaya. Industri pengolahan sagu ini adalah
yang paling modern pada saat itu. Kapasitas produksinya berkisar antara 36 - 150
ribu ton sagu kering per tahun. Hal mi benar-benar memberikan indikasi bahwa
sagu, selain sebagai bahan pangan modern, merupakan bahan baku untuk berbagai
macam industri.
Banyak para ahli memperkirakan bahwa pusat dan asal sagu (Metroxylon
sp) khususnya Metroxylon rumphii Martius dan Metroxylon sagus Rottbol adalah
Maluku dan Irian. Perkiraan tersebut berdasarkan penemuan hutan sagu yang luas
di daerah Maluku dan Irian yang terdiri dari kedua species di atas dan jenis lain
yang hampir mirip dengan species tersebut. Diduga jenis yang mirip Metroxylon
rumphii, Martius dan Metroxylon sagus Rottbol merupakan hasil perkawinan
silang kedua spesies tersebut.
Tanaman sagu di Halmahera, Seram dan Bum menyebar ke arah utara
sampai ke Mindanao, kemudian ke arah timur sampai ke Pulau Vanikoro, ke
selatan sampai di Kepulauan Aru, Pulau Damer dan pulau Timor. dan ke arah
barat sampai ke Sulawesi terutama di pesisir timur. Selanjutnya menyebar ke
Kalimantan, Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Sumatra, pulau-pulau sebelah barat
Sumatra, Jawa, Malaysia dan Singapura. Diduga jenis sagu yang menyebar ke
arah timur adalah jenis Metroxylon rumphii Martius, dan yang menyebar ke
bagiain barat adalah Metroxylon sagus Roitbol.

II-54

Sagu yang baik pertumbuhannya terutama ditemukan di Papua Nugini,


Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Pasifik Selatan yang meliputi areal
sekitar 2,2 juta hektar. Luas areal sagu yang terdapat di Papua Nugini dan
Indonesia masing-masing diperkirakan satu juta hektar. Penyebaran dan rincian
potensi sagu disetiap daerah disajikan pada Gambar 2.6 dan Tabel 2.6.

Gambar 2.6. Peta pusat daerah sagu di Malaysia, Indonesia, Phillipina dan
Papua Nugini (Flach, 1983).
Tabel 2.6.

Perkiraan potensi sagu di Indonesia, Papua Nugini, Ma1aysia.


Thailand. Filipina dan Kepulauan Pasifik
Negara/ Daerah
Tumbuh Liar (Ha)
Dibudidayakan (ha)
INDONESIA :
Irian Jaya
14.000
Malukia
980.000
10.000
Sulawesi
20.000
10.000
Kalimantan
20.000
Sumatra
60.000
Total
1.000.000
114.000
PAPUA NUGINI:
Propinsi Sepik
500.000
33.000
Propinsi Gulf
400.000
5.000
Propinsi lain
100.000
10.000
Total
1.000.000
48.000

II-55

Tabel 2.6. Lanjutan


Negara/ Daerah
MALAYSIA:
Sabah
Serawak
Malaysia Timur
THAILAND
FILIPINA
KEPULAUAN PASIFIK
Total
Sumber: Flach (1983)

Tumbuh Liar (Ha)

Dibudidayakan (ha)

2.000.000

10.000
20.000
3.000
5.000
5.000
10.000
187.000

Sagu di Indonesia meliputi areal 850.000 ha yang tersebar terutama di


daerah Irian Jaya (Inanwatan, Sentani, Waropen, Membramo, Paniai, Salawati,
dan Agats), Maluku, Kalimantan Selatan (bagian selatan dan tengah), Kalimantan
Timur (di sepanjang sungai Mahakam), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
(bagian selatan), Bengkulu, Pulau Mentawai, pantai barat Sumatra Barat, Pantai
timur Riau, dan Sumatra Utara serta beberapa tempat di Aceh, Bogor, Banten,
Sukabumi, Cianjur dan pantai utara Jawa Tengah. Daerah-daerah penyebaran sagu
di Indonesia disajikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Peta areal sagu di Indonesia (Soekarto dan Wijandi. 1983)

Sebenarnya sampai saat ini luas areal Sagu di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi berdasarkan prakiraan Darmawan Soedewo dan
Bambang Hariyanto (1983) luas areal Sagu di Indonesia sekitar 716.000 ha,
sedangkan Soekarto dan Wijandi (1983) memperkirakan potensi sagu di Indonesia
seluas 850.000 (Tabel 2.7).

II-56

Tabel 2.7. Perkiraan luas sagu di beberapa propinsi di Indonesia


Propinsi
Irian Jaya
Maluku
Sulawesi Selatan
dan lainnya di 1uar
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
dan Lainnya

Perkiraan luas
Daerah/Lokasi
(x 1.000 ha)
600 Sorong, Paniai, Waropen, Membramo,
Sentani, Fakfak, dan Merauke.
30 77,7 Kolaka. Kendari dan Buton
P. Seram, Buru.
4 37,0 Halmahera, Bacan Ambon dan
Saparua. Mamuju, Luwu, Sulawesi

5 13,7 Tengah dan Minahasa Timur.


250 Sambas,
Pontianak,lembah
mahakam,Barito dan Kapuas, dan KalTeng.
Sumatra tanpa Riau
40 Aceh Sumut dan Bengkulu
Riau
30 - 3 1,90 Indragiri Hilir, Bengkalis,Kampar dan
Kep. Riau. Pandeglang, Lebak.
Jawa Barat dan Jawa
0,3 - 2,0 Pandeglang, Lebak, Bogor. Sukabumi,
Banten dan Pantai Utara Jawa Tengah.
TOTAL
716,30 - 852,30
Sumber : Darmawan Soedewo dan Bambang Harianro (1983),Sukarto dan
Wijandi (1983)
Di Irian Jaya yang merupakan salah satu pusat penyebara sagu di
Indonesia, Manan dan Supangkat (1986) memperkirakan luas areal hutan sagu
sekitar 4,2 juta hektar yang tersebar di beberapa daerah (Tabel 2.8). Secara
kontroversial Manan dan Supangkat (1986) yang menyebutkan bahwa luas areal
sagu di kabupaten Sorong sekitar 81.000 hektar. BPPT (1987) mencatat bahwa
luas hutan sagu, khusus di kecamatan Inanwatan yang terletak di Kabupaten
Sorong, adalah sekitar 270 000 ha yang tersebar di daerah Bintuni sekitar sungai
Kamundan, sungai Kais, sungai Metamani, Inanwatan dan Teminabuan.
Tabel 2.8. Luas areal hutan sagu di Irian Jaya
Daerah
Merauke
Fakfak
Jayapura
Serui
Sorong 1)
Sorong 2):
a. Bintuni
b. Sungai Kamundan

Luas (ha)
3.569.130
89.840
36.670
88.020
81.810
50.200
66 .050
94.600

II-57

Tabel 2.8. Lanjutan


Daerah
c. S. Kais dan Metamani
d. Inanwatan
e. Teminabuan
Manokwari
Biak
Total Irian Jaya:
Sumber: 1) Manan dan Supangkat (1986)

Luas (ha)
53.050
6.200
270. 100
11.330
6.500
4.183.300 4.371.590

Potensi sagu di Maluku berdasarkan hasil survei BPPT dan Universitas


Pattimura pada tahun 1981, luas areal sagu adalah 30.048 hektar yang tersebar di
Pulau Seram, Halmahera, Pulau Buru dan Pulau Bacan (Tabel 2.9).
Tabel 2.9. Sebaran dan luas areal sagu di Propinsi Maluku
Kabupaten/Kecamatan
1.

2.

3.

Maluku Tengah.
Seram Barat I
Seram Barat II
Werinama
Amahai
Buru Utara Barat
Buru Utara Timur
Buru Selatan
Maluku Utara
Kao
Bacan

Luas Areal
( ha)
3.200
2.350
4.200
1.150
240
588
10
11.736

Lokasi (Kecamatan)

Peru, Ariate dan Sekitarnya.


Hatusua dan Sekitarnya.
Werinama, Atiahu dan sekitarnya.
Waraka dan Sekitarnya.
Air Buaya
Waisuhan dan Sekitarnya
Kawiri

10.000 Toliwang dan sekitarnya


2.235 Labuhan dan sekitarnya
12.235

Halmahera Tengah
Oba
Wasile

5.625 Payahe, Toseho dan Akelamo


450 Soebaem dan sekitarnya
6075
Sumber : BPP Teknologi (1982), Buku. I. 11 Win III

II-58

Gambar 2.8. Potensi tanaman sagu

Tanaman sagu, khususnya jenis Metroxylon sagus Rottbol, banyak


dijumpai di daerah Jawa Barat, terutama di daerah-daerah Kabupaten Sukabumi,
Bogor, Lebak dan Pandeglang. Berbeda dengan daerah lainnya, sagu di Jawa
Barat menyebar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil di sepanjang aliran
sungai atau di sekitar sumber air lainnya. Kelompok sagu yang lebih luas jarang
ditemui di daerah ini. Berdasarkan hasil survei BPPT bersama dengan Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1981 luas areal Sagu di daerah ini sekitar 260
hektar yang sebarannya dapat dilihat pada Tabel 2.10.

II-59

Tabel 2.10. Sebaran dan luas areal sagu di Jawa Barat


Kabupaten
Luas (ha)
Lokasi (Kecamatan)
Pandeglang
191 Labuan Menes dan Pagelaran
Lebak
30 Malimping dan Banjarsari
Bogor
32 Jasinga, Parung Panjang dan Cigudeg
Sukabumi
9 Cibadak. Pelabuhari Ratu dan Cisolok.
Tota1
262
Suinber: BPP Teknologi (1982 c), Buku IV. V dan VI

Areal sagu di Sulawesi Tenggara diperkirakan seluas 13.706 hektar yang


tersebar di tiga Kabupaten, yaitu Kendari (10.812 ha), Kaloka sekitar 2 821 ha dan
Buton sekitar 73 ha. Sagu di daerah ini dikenal ada empat macam atau jenis
sesuai nama lokalnya, yaitu sagu Runggu Manu, sagu Rui, sagu ROl, dan sagu
Boruwila.
Penyebaran sagu di Sulawesi Selatan tampaknya berpusat di Kabupaten
Luwu, dan diperkirakan menapai 29.500 hektar. Produksi sagu dan daerah ini
mencapai sekitar 70.000 ton per tahun. Areal sagu di kabupaten ini tersebar di
sembilan kecamatan yaitu Kecamatan Masamba (terluas), Wotu, Malangke, BoneBone, Larompong, Bajo, Bupon, Suli dan Wara. Sagu yang terdapat di Wilayah
Kalimantan Barat tumbuh Secara alamiah dan tidak teratur. Luasnya mencapai
sekitar 2.430 hektar yang tersebar di Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang dan
Kabupaten Sanggau. Sagu di daerah ini tersebar dalam kelompok-kelompok
rumpun-rumpun kecil yang terdapat di daerah sepanjang bantarn sungai, rawarawa dan ada juga yang tumbuh berdampingan dengan pohon karet. Sagu di
Kalimantan
Tabel 2.11. Sebaran dan luas areal sagu di Riau
Kabupaten
Indragiri Hilir
Bekalis
Kepulauan Riau
Kampar
Sumber : Rosyid dkk (1982)

Luas Daerah (ha)


1.160.577
3.064.683
809.970
2.829.186

Luas Areal Sagu (ha)


16.279
12.035
2.433
919

Barat hanya tersebar di empat Kabupaten: Sambas, seluas 1.380 ha


(tersebar di sepanjang bantaran sungai Sambas Kecil, S Bantanan S Tebes dan S
Selakau), Pontianak 650 ha (sepanjang bantaran S Kapuas Besar-Kecil S Landak,
II-60

S. Ambawang dan sepanjang jalan raya Pontianak ke Ngambang); Kabupaten


Ketapang 230 hektar (sekitar S. Pawan, S. Melano dan S. Tengar) dan Kabupaten
Sanggau 170 ha (sepanjang bantaran S. Sekayarn, S. Sekadau dan S. Kapuas).
Tanaman Sagu di Propinsi Riau telah dikelola oleh Petani dalam bentuk kebun
Sagu yang tersebar di empat Kabupaten yaitu Indragiri Hilir Bengkalis Kepulauan
Riau dan Kampar Luas areal sagu di Riau sekitar 31. 666 hektar atau sekitar 0.33
% dari luas daerah Riau. Selain itu di Riau, khususnya di Kabupaten Bengkalis,
telah dilakukan usaha perluasan areal sagu yang pada tahun 1982 sudah mencapai
2.400 hektar.

2.5.3.2.

Populasi dan Produksi Sagu

Pada umumnya tanaman sagu tumbuh secara liar, namun ada juga yang
sengaja ditanam oleh petani meskipun jarak tanam dan tata ruangnya belum
memenuhi syarat agronomi.

Populasi tanaman sangat tergantung dari jenis,

daerah produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan.


Pertumbuhan sagu yang diusahakan atau dibudidayakan populasinya lebih padat
daripada yang tumbuh secara liar. Demikian juga jumlah pohon yang dapat
dipanen dalam satu hektar pun setiap tahunnya berbeda-beda.
Di daerah Maluku, populasi pohon sagu per hektar cukup padat, bahkan
mencapai ribuan pohon. Dan hasil survei BPP Teknologi dan Universitas
Pattimura pada tahun 1981 terlihat bahwa populasi tanaman sagu di daerah
Maluku sangat bervariasi, baik dalam tingkat pertumbuhannya maupun jumlah
pohon di setiap daerah atau pulau tempat sagu tersebut tumbuh.
Populasi sagu paling banyak adalah pada tingkat semai, dan semakin
tinggi tingkat pertumbuhannya semakin berkurang populasinya. Populasi sagu per
hektar di pulau Buru umumnya lebih padat daripada di pulau-pulau lainnya.
(Tabel 2.12.).

II-61

Tabel 2.12. Populasi sagu di Pulau Seram, Buru dan Halmahera


TingkatPertumbuhan

Populasi (pohon per ha)


Seram
Buru
Semai
1455- 4252
2900 - 4427
Sapihan
60 - 250
966 - 1483
Tiang
82 - 154
107 - 150
Pohon
32 - 130
10 - 183
Masak Tebang
10 - 114
34 - 88
Sumber: BPPTeknologi (1982), Buku I, II dan III

Halmahera
1352- 4648
82 - 1640
136 - 140
40 - 68
28 - 51

Di daerah Inanwatan (Irian Jaya), populasi pohon sagu dalam satu hektar
lebih kecil daripada populasi sagu di daerah Maluku. Akan tetapi, populasi sagu
pada tingkat pohon di Inanwatan lebih besar. Hasil survei BPP Teknologi bekerja
sama dengan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Cendrawasih pada tahun
1986 menunjukkan kerapatan pohon sagu per hektarnya terdiri atas:
1. tingkat semai 90 - 140 pohon
2. tingkat sapihan dan tiang 40 - 65 pohon
3. tingkt pohon 141 - 200 pohon
4. tingkat masak tebang 30 - 40 pohon
Menurut perkiraan jumlah pohon sagu yang siap dipanen di daerah
Maluku berkisar antara 15 - 60 batang per hektar, tergantung jenisnya (Tabel
2.13.).
Tabel 2.13. Populasi sagu siap panen berdasarkan jenisnya
Jenis Sagu
M. silvester MART (Ihur)
M. rumphii MART (Tuni)
M. sagus ROTTB (Molat)
M. longispinut MART (Makanaru)
M. micracamthum MART (Rotan)
Sumber: Soekarto dan Wijandi (1983)

Populasi SiapTebang
40 - 60
40 - 60
25 - 30
20
15

Peneliti lain melaporkan bahwa jumlah tanaman sagu yang dapat ditebang
setiap tahunnya rata-rata 20 batang per hektar. Sedangkan di Riau, populasi sagu
per hektar cukup padat, yaitu mencapai 125 batang/ha, dan per hektarnya
mencapai 60 batang yang siap dipanen per tahun. Sedangkan di Irian Jaya,
populasi dan produktivitas sagu per hektar per tahun lebih rendah daripada di

II-62

Riau, yaitu sekitar 30 batang per hektar. Di Inanwatan, menurut hasil penelitian
BPP Teknologi, jumlah pohon sagu yang dapat ditebang diperkirakan 3540
pohon per hektar per tahun, yang produksinya mencapai sekitar 120 175 kg aci
kering per pohon. Apabila tanaman sagu tersebut dibudidayakan diperkirakan
bahwa jumlah pohon sagu yang dapat dipanen mencapai sekitar 100 pohon
/ha/tahun.
Produksi aci sagu sangat bervarasi tergantung dari jenis dan keadaan
lingkungan tempat sagu tersebut tumbuh. Sagu yang tumbuh di hutan-hutan secara
a1amiah di Indonesia dan di Papua Nugini terdapat 40 60 pohon/ha yang dapat
dipanen setiap tahun, yang produksinya mencapai antara 7 11 ton aci sagu
kering dan nilainya mencapai 28- 44x 104 kcal. Sedangkan apabila sagu telah
dibudidayakan dalam bentuk perkebunan, setiap tahun dapat dipanen sekitar 138
pohon/ha dengan produksi aci sagu kering mencapai 25 ton dengan nilai 100 x 106
kcal.
Di Pulau Seram produksi sagu per pohon rata-rata 280 kg aci sagu basah.
Di Irian Jaya dari sejumlah 25 pohon/are/tahun diperoleh aci sagu basah sekitar
3.125 - 4.375 kg dengan kadar air 35 - 45 persen. Pertumbuhan tanaman sagu
yang baik di Serawak rata-rata dapat dipanen 30 pohon/are/tahun dengan produksi
8.100 kg aci sagu kering.
Data lain dari Ambon menyebutkan bahwa setiap batang sagu
menghasilkan 400640 kg sagu basah. Setiap batang sagu manghasilkan aci sagu
basah 500 - 600 kg. Produksi setiap pohon sagu dari berbagai jenis di Seram
Barat. Pada umur di atas 11 tahun, setiap pohon sagu dapat menghasilkan aci sagu
kering sekitar 144 - 265 kg (Tabel 2.14.).
Tabel 2.14. Produksi aci dan berbagai jenis sagu di Seram Barat
Jenis Sagu

Berat
batang
(kg)
1.M. rumphii
1.281
2. M. sagus
1.250
3. M. sylvester
1.244
4.M.longispinum
1.190
Sumber: Rumalatu (1981)

Tinggi
batang
(m)
15,9
14,7
16,0
15,2

Berat
empulur
(kg)
1.057
1.007
1.001
964

Hasil aci
kering
265
237
227
144

Kadar air
(%)
12,3
14,0
12,1
14.8

II-63

Di Irian Jaya produksi aci dalam setiap pohon sagu berbeda-beda, yakni
berkisar antara 300 - 700 kg aci basah (Tabel 2.15.).
Tabel 2.15. Ukuran batang, umur dan hasil aci sagu di Irian Jaya
Daerah

Tinggi
Diameter
batang
batang
(m)
(cm)
1.Jayapura
1015
52
2.Kaimana
1020
5075
3.Sorong
812
4560
4.Paniai
1014
6080
5.Yapen Waropen
1015
5065
6.Merauke
710
5060
Sumber: Universitas Cenderawasih (1979)

Umur panen
(th)
810
710
810
710
1012
1015

Hasil Aci
Basah
(kg/bt)
400
400 700
300375
360 500
400 500
300500

Produksi aci dan setiap pohon sagu di Jayapura rata-rata 250 kg.
Sedangkan komposisi setiap batangnya dapat kita lihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16. Produksi rata-rata pohon sagu dari Jayapura
Perbandingan
Total Berat
terhadap total segar
Segar
(kg)
(kg)
Batang
1250
100
Kulit
400
32
Kadar Aci
850
68
Kadar Air
425
34
Sisa Lainnya
175
14
Sumber : Colon (1958) dalam Flach (1983)
Bagian

Perbandingan
terhadap Empulur
(%)
100
50
21

Berdasarkan analisis statistik dan jumlah pohon sagu yang terdapat di


hutan Su1awesi, Irian Jaya, diduga bahwa produksi aci dalam satu pohon sagu
rata-rata 150 kg dengan kisaran 90 kg - 325 kg (Tabel 2.17.).
Tabel 2.17. Produksi rata-rata aci sagu dan pohon sagu di Salawati Irian Jaya
Bagian
Rata-rata
Kisaran
Kulit
25%
Kadar air Empulur
66%
60 70%
Tepung pada Empulur
20.2%
15 30%
Kandungan tepung perpohon
150kg
90 kg325 kg
Sumber : Vegter, dkk (1983)

II-64

Sebagai perbandingan dapat kita lihat data sagu di Papua Nugini yang
dilaporkan oleh Toyo Menka Kaisha, Ltd. (1972). Hasilnya relatif lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman sagu di Irian Jaya (Tabel 2.18.).
Tabel 2.18. Data tanaman sagu di lembah Sungai Sepik Papua Nugini
Ukuran
Keliling Batang (m)
Tinggi Batang (m)
Diameter (cm)
Specific Gravity
Berat Batang Kotor (kg)
Kandungan Aci (%)
Kandungan Aci per batang (kg)
Perbandingan Pohon sagu liar terhadap yang dibudidayakan
Sumber: Toyo Menka Kaisha, Ltd (1972)

Hasil
1,34
6,1
43
0,88
800
21,4
137,7
8:2

Di daerah Riau, produksi aci dari setiap pohon sagu berkisar antara 150 300 kg (Tabel 2.19.). Di Sulawesi Tenggara produksi aci dari setiap pohon sagu
berkisar antara 200 - 450 kg sagu basah. Di Kalimantan Barat produksi aci dari
setiap pohon sekitar 175 - 210 kg sagu basah dan di Kepulauan Mentawai
produksi aci dari setiap pohon sekitar 300 - 400 kg sagu basah.
Tabel 2.19. Produksi aci per pohon di Riau
Daerh Sampel
Produksi Aci Basah (kg/bt)
1. Kampar
150 -200
2. Indragiri Hilir
138267
3. Bengkalis
200 300
4. Kepulauan Riau
300
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dati I Riau (1980)

2.5.3.3.

Sistematika

Sagu terrmasuk tumbuhan monokotil dan keluarga (famili) Palmae marga


(genus) Metroxylon dan ordo Spadiciflorae. Di kawasan Indo pasifik terdapat lima
marga Palma yang zat tepungnya telah dimanfaatkan. yaitu Metrexylon, Arenga,
Corypha, Euqeissona dan Caryota. Wilayah pemeliharan kelima marga tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

II-65

Gambar 2.9.

Peta penyebaran Corypha, Arenga, Euqeissona dan caryota


(Ruddle, dkk, 1976).

Sagu jenis Arenga banyak ditemukan di Filipina dan Indonesia seperti di


Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon
dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi. Nama Metroxylon berasal dar
bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra dan Xylon. Metra beranti isi batang
atan empulur (pith) dan xylon berarti xylem.
Sagu hampir dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia, tetapi namanya
berbeda-beda di setiap daerak Metroxylon sp dikenal dengan nama Rumbia di
Minangkabau; Kirai di Jawa Barat; bulung, kresuia, ambulung, bulu, rembulung
atau resula di Jawa tengah: lapia atau napia di Ambon; bak meurauya atau bak
sagee di Aceh; meriue, rembiue atau Rumbieu di Gayo; Rumbia atau baruhur di
daerah Batak; Saku di Nias; pohon sagu di Malaysia; rembiau di Serawak;
bhulung di Madura; ambulung di Bali; rambia atau humbia di Sangir Talaud;
tumba di Gorontalo: puntaworo di Toli-toli; Pogalu atau tabaro di Toraja;
rambiam atau rabi di Kepulauan Aru; er di Kepulauan Kai; bai atau bonfia di
Pulau Seram; empi honi di Pulau Aru; huda di Ternate dan hula ma rohi di
Tidore.
Secara garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang
hanya berbunga atau berbuah sekali dan yang berbunga atau berbuah dua kali atau
lebih. Golongan pertama sangat penting nilai ekonominya karena kandungan
acinya tinggi. Golongan ini terdiri dan lima jenis atau species, yaitu:
II-66

- Metroxylon rumphii Martius


- Metroxylon sagus Rottbol
- Metroxyion sylvester Martius
- Metroxylon longispinum Martius dan
- Metroxylon micracantum Martius
Golongan kedua terdiri dan species Metroxylon filarae dan Metroxylon
elatum, yang banyak tumbuh di dataran-dataran yang relatif tinggi, tetapi
kandungan acinya rendah. Walaupun secara umum dikenal lima jenis sagu yang
berbunga sekali dan bernilai ekonomi penting, tetapi di P. Seram terdapat
beberapa jenis sagu yang berbunga atau berbuah satu kali, dan morfologinya
sangat berbeda dengan kelima jenis utama tadi. Jenis-jenis sagu tersebut dikenal
dengan nama sagu molat berduri sa gu duri puti atau sagu tuni putih dan sagu
tuni hitam. Jenis molat berduri hampir sama dengan Metroxylon sagus Rottbol,
sedangkan jenis putih atau tuni putih dan tuni hitam hampir menyerupai
Metroxylon rumphii Martius. Jenis sagu yang diuraikan dalam buku ini terutama
dari golongan sagu berbunga atau berbuah sekali.

2.5.3.4.

Jenis-jenis Sagu

1. Metroxylon rumphii Martius.


Jenis sagu ini di P. Seram dan Ambon dikenal dengan nama Lapia Tuni.
Lapia berarti sagu dan tuni berarti murni. Jadi menurut penduduk setempat jenis
sagu turi adalah asli. Di daerah Ternate sagu ini disebut harumabai, sedangkan di
daerah Bacan disebut tirus dan di Sulawesi Tenggara disebut lunggumonu. Ciricirinya adalah sebagai:
a. Tinggi batangnya sekitar 10 15 bahkan dapat mencapai 18 m atau lebih, dan
tebal kulit sekitar 2 3 cm.
b. Kulit pada bagian pangkal batang lebih tebal daripada kulit pada bagian
tengah atau bagian ujung batang.
c. Diameter pada pangkal sampai pada ujung batang hampir sama, kecuali pada
dasar pangkal karena perakarannya dangkal.

II-67

d. Daunnya berwarna hijau tua, dan panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 5 - 7
m. Tangkai daunnya berduri pada bagian pangkal sampai ujung, juga pada
pinggiran daunnya.
e. Panjang daun 1 - 4 cm dan pada anakan sagu durinya sangat banyak dan
rapat.
f. Setiap tangkai daun terdiri dari 100 - 200 anak daun yang panjangnya 80 - 120
cm dan lebarnya 5 - 10 cm.
g. Jenis sagu ini mempunyai perakaran yang dangkal dan banyak terubusnya.
h. Berat batang pada umur panen lebih dari 1 ton. Empulurnya lunak dan sedikit
mengandung serat sehingga mudah ditokok.
i. Kadar empulurnya mencapai sekitar 82 persen dari berat batang dan
kandungan aci sekitar 20%.
j. Acinya berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan
170 - 500 kg aci kering. Sagu ini merupakan jenis sagu yang paling besar
ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya.

2. Metroxylon Sagus Rottbol


Jenis sagu ini terdapat di seluruh Indonesia dan acinya telah lama
diperdagangkan di pasaran Eropa. Jenis sagu ini oleh masyarakat Maluku Tengah
dikenal dengan nama sagu Lapia Molat atau Molaty atau sagu betina karena
tidak berduri. Di daerah Ternate sagu ini dikenal dengan nama hanai putih dan
molat putih (khususnya di daerah Saparua), sedangkan di Sulawesi Tenggara
disebut sagu roe. Jenis sagu ini banyak dijumpai di Sumatra, Jawa, Kalimantan
dan Sulawesi. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
a.

Tinggi batang sekitar 10 - 14 m, diameter sekitar 40 - 60cm dan

b.

berat batang mencapai 1,2 ton atau Iebih.

c.

Jenis sagu ini tidak berduri, ujung daun panjang meruncing sehingga dapat
melukai orang bila tersentuh.

d.

Letak daun berjauhan panjang tangkai daun sekitar 4,5 m, panjang lembaran
dauri sekitar 1 5 m dan lebamya kira-kira 7 cm.

e.

Bunganya adalah bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan

II-68

f.

Empulurnya lunak dan berwarna putih, oleh karena itu acinya berwarna putih
dan enak rasanya sehingga sangat disukai oleh penduduk.

g.

Berat empulur sekitar 80 persen dari berat batang, dan kandungan aci sekitar
18 persen. Setiap pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau
sekitar 200 kg aci kering.

3. Metroxylon Sylvester Martius


Sagu jenis ini di Seram Barat dan di Maluku Tengah dikenal dengan nama
Lapia Ihur atau sagu Ihur dan banyak terdapat di Halmahera. Ciri-cirinya adalah
Sebagai berikut:
a.

Pohonnya relatif lebih tinggi daripada jenis yang lain. yaitu sekitar 12 16 m
bahkan dapat mencapai 20 m.

b.

Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton dan tebal kulit 1 3 cm.

c.

Tangkai daun sekitar 4 - 6 m. Daunnya berwarna hijau tua, tulang daun yang
lunak, dan ujungnya membengkok ke arah bawah. Di sekitar pelepah dan
sepanjang tangkai daun terdapat duri yang panjangnva sekitar 1- 5 cm.

d.

Empulurnya agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerahmerahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan. Berat
empulur sekitar 81 persen dari berat batang, dan kandungan aci sekitar 17 18 persen. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering.

4. Metroxylon longispinum Martius


Sagu ini banyak dijumpai di Maluku. terutama di P. Ambon dan di Pulau
Seram dikenal dengan nama lapia makanaru. Di daerah Ambon sering juga
disebut sagu merah, karena warna acinya kemerah-merahan. Sedangkan di daerah
Bacan disebut siksi dan di daerah Ternate disebut nau. Ciri-cirinya adalah Sebagai
berikut:
a. Tinggi batang sekitar 12 15 m, diameter sekitar 50 cm. Berat batang sekitar
satu ton dan empulur sekitar 80 persen dari berat batang.
b. Tangkai daun pendek, yaitu sekitar 4 - 6 m, dan banyak berduri. Anak daun
kecil-kecil, panjagnya sekitar 80 - 120 cm, dan pada pinggir daun penuh duri.

II-69

c. Kandungan aci dalam empulur hanya sekitar 200 kg per pohon dan rasanya
kurang enak.

5. Metroxylon microcanthum Martius


Di Maluku Tengah jenis sagu ini dikenal dengan nama lapia luliuma atau
sagu daun rotan, karena daunnya penuh dengan daun yang agak pendek seperti
daun rotan. Sedangkan di Sulawesi Tenggara disebut saga daun. Ciri-cirinya
adalah sebagai berikut:
a.

Tinggi batang sekitar 8 m, dan diameter sekitar 40 cm.

b.

Produksi aci dalam tiap pohon hampir sama dengan Metroxylon sylvester
Martius.

c.

Empulurnya tidak cepat mengalami proses fermentasi atau pengasaman,


sehingga tidak cepat busuk setelah dipanen.

2.5.3.5.

Botani Sagu
Klasifikasi

Sagu, sago, lapia atau angkrik (Metroxylon, sp), termasuk ordo:


Spadicif1orae. Familia: Palmae. Dari famili palmae, banyak yang dapat
menghasilkan tepung karbohidrat. Tepung sagu tulen diambil dan salah satu
anggota famili Palmae, yaitu dan genus Metroxylon, yang selanjutnya lazim
disebut palma sagu, lapia, sago atau angkrik. Palma sagu (Metroxylon sp) dalam
botani digolongkan menjadi dua yaitu: Palma sagu yang berbunga/berbuah sekali
(Hapaxanthic) dan palma sagu yang berbunga/berbuah dua kali atau lebih
(Pleonanthic).
Dari dua golongan tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah
golongan hapaxanthic, palma sagu ini mengandung karbohidrat lebih banyak
dibanding dengan Pleonanthic; sagu Pleonanthic tidak akan dibicarakan dalam
buku ini.
Golongan Hapaxanthic terdiri dan lima varietas penting, yaitu:
a. Metroxylon sagus, Rott.atau Sagu MOLAT
b. Metroxylon rumphii, Mart.atau Sagu TUNI
c. Metroxylon rumphii, Mart .var . Sylvestre Mart, atau sagu IHUR

II-70

d. Metroxylon rumphii, Mart.var.Longispinum Mart, atau sagu MAKANARU


e. Metroxylofl rumphii, Mart.var.Micrcanthum Mart, atau sagu ROTAN.
Dari kelima varietas ini yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur,
Tuni dan Molat. Ihur dan Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri sehingga
disebut sagu perempuan. Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan sagu Ihur
kurang enak. Sagu Tuni dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak yang tinggi,
sedang sagu molat pada umumnya anakan yang dibentuk jauh lebih sedikit.
Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat daripada Molat, tinggi batang Ihur 10-20
m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m.

Morfologi Sagu
Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren (Arecha sp), perbedaannya,
Aren tidak membentuk rumpun, sedangkan sagu tumbuh dalam bentuk rumpun.
Batang Aren hampir seluruhnya diliputi ijuk hitam, sedangkan sagu hanya
mempunyai ijuk hitam sedikit pada pinggiran pelepah daunnya sehingga batang
sagu tampak jelas, mirip pohon pinang.
Pada rumpun sagu rata-rata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal
batang tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan
melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan.
Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa.
Tingkat pertumbuhan batang dibedakan sebagai berikut:
a.

Tingkat semai : tinggi batang sampai 0,50 m

b.

Tingkat sapihan : tinggi batang 0,501,50 m

c.

Tingkat tiang : tinggi batang 1,505 m.

d.

Tingkat pohon : tinggi batang lebih dan 5 m.

1. Batang
Batang

sagu

merupakan

silinder

yang

berfungsi

untuk

mengakumulasi/menumpuk karbohidrat. Tinggi batang sagu dan permukaan


tanah sampai pangkal bunga berkisar antara 10-15 m, dengan diameter batang
pada bagian bawah mencapai 35-50 cm. Pada waktu panen batang sagu bisa
mencapai berat 1 ton, di mana 20% empulur mengandung tepung, sehingga 1

II-71

pohon sagu mampu menghasilkan 150-300 kg tepung sagu basah. Berat


tersebut masih ditambah berat akar dan mahkota daun - + 50 kg. Sagu berakar
serabut dengan jumlah yang besar, sehingga sagu dapat menyesuaikan din pada
lahan yang air tanahnya anaerobik
Batang sagu merupakan bagian yang terpenting, karea merupakan
gudang penyimpanan aci atau karbohidrat yang lingkup pemanfaatannya dalam
industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacammacam industri kimia lainnya. Ukuran batang sagu berbeda-beda, tergantung
dari jenis, umur dan 1ingkungan atau habitat pertumbuhannya. Pada umur 3 11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3 - 16 m, bahkan dapat mencapai 20
m.
Sagu memiliki batang tertinggi pada umur panen, yakni 11 tahun ke atas.
Pada tingkat umur ini perbedaan tinggi batang untuk setiap jenis sagu tidak
jauh berbeda, tetapi pada umur di bawah 11 tahun perbedaannya sangat
mencolok. Perbedaan tinggi batang dari setiap jenis sagu pada tingkat umur dan
lingkungan yang sama tergantung dari sifat genetis dan kemampuan
pertumbuhannya. Jenis sagu yang memiliki sifat genetis dan daya adaptasi
terhadap lingkungan yang baik akan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih
baik pula.
Batang sagu berbentuk silinder, dan diameter sekitar 50 cm bahkan dapat
mencapai 80 90 cm. Umumnya diameter batang bagian bawah agak lebih
besar daripada bagian atas, dan batang bagian bawah umumnya mengandung
pati yang lebih tinggi daripada bagian atas.
Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian
dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan aci. Tebal kulit luar
yang keras sekitar 3 - 5 cm dan bagian ini di daerah Maluku sering digunakan
sebagai bahan bangunan. Pohon sagu yang umurnya masih muda, kulitnya
lebih tipis dibandingkan dengan sagu dewasa.
Berat batang sagu berbeda-beda, tergantung dari tingkat umur dan
lingkungan

pertumbuhannya. Selama pertumbuhan, sagu menyimpang aci

dalam batangnya, sehingga apabila berat batang semakin bertambah sesuai


dengan pertambahan tinggi dan diameternya, kandungan acinya pun

II-72

bertambah. Pada umur panen (11 tahun) berat batang sagu mencapai 1,2 ton.
Bahkan di daerah Inanwatan, Irian Jaya, terdapat sagu yang berat empulur
batangnya mencapai 1,7 ton atau berat seluruh batangnya sekitar 2 ton,
sedangkan di daerah Jawa Barat terdapat sagu berat batangnya hanya sekitar
300 kg pada umur panen, karena daunnya sering diambil untuk atap selama
pertumbuhannya.
Berat kulit batang sagu sekitar 17 - 25 persen dari berat batang,
sedangkan berat empulurnya sekitar 75 - 83 persen. Perbandingan antara berat
kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu relatif tetap. Secara makroskopis
struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun,
lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan lapisan kulit dalam
yang keras dan padat berwarna coklat kehitam-hitaman kemudian lapisan serat
dan akhirnya empulur yang mengandung aci dan serat-serat (Gambar 2.10.).

Gambar 2.10. Penampang membujur batang sagu (Rumalatu, 1981)

Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sasa daun dari sebagian
pelepah sagu yang terlepas, sehingga yang kelihatan hanya lapisan kulit tipis
membungkus kulit dalam yang keras. Pada tanaman sagu yang masih muda,
kulit dalam ini tipis dan tidak begitu keras. Serat dan empulur pada sagu muda
masih lunak dan banyak mengandung air, sedangkan pada sagu dewasa sampai
umur panen empulur dan serat-seratnya sudah mulai agak kering dan keras.
Kandungan aci dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung
dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Makin tua umur
tanaman sagu, kandungan aci dalam empulur makin besar, dan pada umur

II-73

tertentu kandungan aci tersebut akan menurun. Penurunan kandungan aci


dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia
bunga. Karena itu para petani sagu dengan mudah dapat mengenal saat
rendemen aci sagu mencapai maksimum.
Pada umur 3 - 5 tahun, empulur batang belum banyak mengakumulasi
aci, akan tetapi pada umur 11 tahun ke atas, sekitar umur panen, empulur sagu
mengandung aci sekitar 15 - 20 persen. Di daerah Inanwatan Irian Jaya terdapat
sagu yang empulurnya mengandung pati sampai 25 persen, sehingga satu
pohon dapat menghasilkan aci sampai 400 kg.
Penumpukan karbohidrat sebagai hasil proses fotosintesis mencapai
tingkat maksimal dalam semua jaringan batang sagu pada saat sagu mencapai
umur dewasa sampai panen, sehingga pada tingkat umur ini empulur
mengandung aci tinggi. Dalam kondisi ini berlangsung proses perubahan gula
menjadi molekul-molekul aci. Peningkatan kadar aci berlangsung sampai fase
pembentukan primordia bunga. Setelah lewat fase primordia, kandungan pati
mulai menurun karena dipergunakan sebagai energi untuk proses pembentukan
bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan
menjadi gabug (kosong), kemudian sagu akan mati.
Struktur empulur secara mikroskopis terdiri dari butiran-butiran dan
serat-serat halus yang berbeda menurut jenis dan umur sagu. Bentuk butiran
ini tidak bundar tetapi bulat telur dan pinggirnya ada yang tidak rata.
Sedangkan serat-seratnya sangat halus, hampir tidak kelihatan (Gambar 2.10).

Gambar 2.11. Struktur mikrokopis empelur beberapa jenis sagu (Rumalatu,


1981)

II-74

Pembuluh-pembuluh Xylem menyebar secara tidak beraturan di atas


penampang atau potongan transversal, hal ini sesuai dengan maknah ilmiah
sagu yaitu Metroxylon. Pembuluh xylem yang paling besar berdiameter sekitar
1.4 mm. Jaringan di antara pembuluh adalah empulur, yang terdiri dari sel-sel
yang penuh dengan butir-butir aci dengan ukuran 40 50 milimicron. Empulur
sagu yang masih muda memiliki butiran yang relatif kecil, bening dan sedikit
mengandung serat. Pada sagu yang sudah dewasa sampai menjelang umur
panen, empulurnya terdiri dari butiran yang lebih besar, berwarna agak
kecoklatan dan banyak mengandung serat.

2. Daun
Daun merupakan bagian sagu yang peranannya sangat penting, karena
merupakan dapur pembentukan aci melalui proses fotosintesis. Apabila
pertumbuhan dan perkembangan daun berlangsung dengan baik, maka secara
keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan organ-organ lain seperti batang,
kulit dan empulur akan berlangsung dengan baik pula dan proses pembentukan
aci dari daun yang kemudian disimpan di dalam batang sagu akan berlangsung
secara optimal.
Sagu memiliki daun sirip, menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada
tangkai daun. Sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan penyinaran yang baik
pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5 - 7 m.
Dalam setiap tangkai terdapat Sekitar 50 pasang daun yang panjangnya
bervariasi antara 60 - l80 cm, dan lebarnya sekitar 5 cm. Sagu yang masih
muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu 12 15 buah.
Setiap bulan sagu membentuk satu tangkai daun dan diperkirakan berumur
rata-rata sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah tua. Daun sagu muda
pada umumnya berwarna hijau berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua
kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila suda tua atau
matang. Tangkai daun yang sudah tua akan lepas dari batang dan meninggalkan
bekas pada kulit batang.
Daun sagu berbentuk memanjang lanset (Lanceolotus), agak lebar dan
berinduk tulang daun di tengah. Bertangkai daun, di mana antara tangkai daun

II-75

dengan lembar daun terdapat ruas yang mudah dipatahkan. Pada waktu muda
daun berwarna hijau muda kemudian dengan Semakin bertambahnya umur
berangsur-angsur menjadi hijau tua. Daunnya memiliki pelepah seperti daun
pisang, pada waktu muda pelepah tersusun secara berlapis, tetapi setelah
dewasa terlepas dan melekat sendiri-sendiri pada ruas batang.

3. Bunga dan Buah


Tanaman sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10 15
tergantung jenisnya dan kondisi pertumbuhannya, dan sesudah itu pohon sagu
mati. Munculnya bunga menandakan hahwa sagu tersebut telah mendekati
akhir daur pertumbuhannya. Fase ini didahului dengan munculnya daun
bendera yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun sebelumnya.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau
puncak batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat. Bunga
sagu bercabang banyak seperti tanduk rusa yang terdiri dari cabang-cabang
primer, sekunder dan cabang tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang
bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan mengeluarkan tepung sari
sebelum bunga betina terbuka. Dengan demikian diduga bahwa penyerbukan
terjadi secara silang maka bila tumbuh soliter jarang sekali berhasil membentuk
buah. Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya
satu yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk telur lainnya
bersifat rudimenter.

Waktu antara bunga mulai muncul sampai fase

pembentukan buah diduga berlangsung sekitar 2 tahun. Pohon sagu


mengandung aci maksimum pada fase antara waktu setelah berbunga (florasi)
dan sebelum buah terbentuk sempurna.
Bunga sagu berbentuk rangkaian yang keluar pada ujung batang dengan
didahului adanya tanda mengecilnya daun bendera. Sagu mulai berbunga pada
umur 8 - 15 tahun tergantung pada kondisi tanah, tinggi tempat dan varietas.
Bunga sagu tersusun dalam manggar secara rapat berukuran kecil-kecil
Warnanya putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau.
Bilamana sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga bunga dapat
membentuk buah. Buahnya bulat-bulat kecil dan tersusun pada tandan mirip

II-76

buah kelapa. Buahnya bersisik dan berwarna coklat kekuningan. Sagu budidaya
merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau berbuah sekali pada
masa hidupnya Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati.

3.5.3.5.1. Cara Menentukan Umur Sagu


Pada umumnya palma sagu yang tumbuh pada suatu tempat merupakan
tegakan-tegakan liar yang tumbuh dengan sendirinya tanpa atau sedikit campur
tangan manusia, bahkan palma sagu yang dibudidayakan pun sering kali sulit
untuk mengetahui secara tepat umurnya. Hal mi disebabkan corak morfologis dan
sagu berupa rumpun yang terdiri atas banyak pohon dan anakan dan berbagai
tingkat umur.
Penentuan umur sagu sangat penting terutama dalam hubungan dengan
penentuan saat panen yang lebih tepat. Umur sagu berkorelasi positif dengan
kandungan pati dalam empulur sagu. Untuk penentuan umur sagu telah
dikembangkan suatu cara, yaitu dengan menggunakan metode estimasi dengan
berpijak pada proses pembentukan daun sagu.
Terbentuknya daun pada tumbuhan sagu mempunyai tenggan waktu
tertentu, yakni mulai dan terbentuknya daun yang pertama hingga membentuk
batang dan akhirnya tumbuhan memasuki fase pembungaan dan pembuahan.
Estimasi umur sagu merupakan angka komulatif dan umur pembentukan pangkal
batang, umur pembentukan batang seluruhnya serta umur pembentukan sisa daun
yang masih ada. Dan estimasi umur pohon sagu tersebut dapat dinyatakan dengan
rumus sebagai berikut
Umur Pohon Sagu (UPS) = Up +

( Bd + D)
D1

Dimana:
Up = Umur pada saat terbentuknya pangkal batang. Umur pembentukan
pangkal batang sagu rata-rata adalah 3-5 tahun.
Bd = Bekas daun yang terdapat pada kulit batang sagu.
D
= Jumlah daun yang masih duduk pada batang sagu.
Dt = Jumlah daun yang terbentuk dalam satu tahun. Banyaknya daun yang
terbentuk dalam satu tahun rata-rata 3-4 tangkai.

II-77

Contoh perhitungan :
Suatu batang sagu, pangkal batang terbentuk pada umur 3 tahun enam bulan.
Bekas daun yang terdapat pada kulit batang adalah 12 buah, sedangkan jumlah
daun yang tersisa (yang masih duduk pada batang) sebanyak 28 buah. Jumlah
daun yang terbentuk dalam satu tahun = 3 tangkai. Dugalah umur sagu tersebut?
Penyelesaian :
UPS = Up +
Up
Bd
D
Dt

=
=
=
=

( Bd + D)
D1

3 tahun = 42bulan
l2buah
l8buah
3 per tahun = 3 per 12 bulan

Dimasukkan dalam rumus:


42 (12 + 18)
UPS =
+
12
3

Jadi : UPS = 31/2 + 10 tahun = 13 tahun 6 bulan.


Dari pengetahuan estimasi umur ini, maka penentuan jadwal tebang dapat
memperoleh kemudahan.
3.5.3.5.2. Perkembangan Kematangan Sagu
Dalam

pertumbuhannya,

sagu

rnenunjukkan

tingkatan-tingkatan

pertumbuhan yang runtut. Setiap tingkatan pertumbuhan palma sagu menentukan


tinggi rendahnya kadar tepung sagu dalam empulur. Dengan mengetahui kondisi
tingkatan masing-masing, diharapkan dalam menentukan saat-saat pemeliharaan
tanaman dan saat panen diperoleh waktu yang tepat, artinya pemeliharaan
tanaman benar-benar memberikan manfaat dengan daya guna yang tinggi dan
panen benar-benar dilakukan pada waktu kadar sagu dalam empulur pada kondisi
rnaksimum.
Tampaknya secara umurn sagu rnenunjukkan dua fase pertumbuhan yaitu:
1.

Fase pemasakan vegetatif

2.

Fase pertumbuhan generatif

1.

Fase Pertumbuhan Vegetatif


Fase mi dimulai sejak sagu ditanam atau sejak trubus sagu dibentuk,

sampai dengan terbentuknya organ-organ vegetatif dalam kondisi maksimal, yaitu


II-78

saat di mana ukuran tinggi dan diameter batang tertinggi/terbesar telah dicapai;
jumlah dan luas daun (LAI = Leaf Area Indeks) maksimal; dan jumlah serta
volume perakaran terbanyak/terbesar telah dicapai. Selama fase pertumbuhan
vegetatif berlangsung, unsur-unsur kehidupan sagu sepenuhnya diarahkan untuk
pembentukan kerangka sistern fotosintesis per batang dan pembentukan anakan.
Dengan demikian fase ini sangat menentukan kapasitas pertanaman untuk
membentuk fotosintat yang dapat diakumulasikan (ditumpuk) di dalam empulur.

Fase Pemasakan Vegetatif

Fase ini sangat berhubungan erat dengan saat panen (penebangan). Setiap
jenis sagu memiliki jangka waktu kemasakan yang berda-beda tergantung pada
jenis atau varietas dan habitatnya. Selama fase pemasakan vegetatif sagu
menampakkan adanya kemunduran laju pertumbuhan organ vegetatif yang
berbarengan dengan semakin meningkatnya akumulasi (penumpukan) tepung sagu
dari ujung batang yang berangsur-angsur menumpuk ke arah pangkal dan
bertepatan dengan mulai dibentuknya primordia bunga, kandungan tepung sagu
maksimum akan dicapai.
Penumpukan tepung sagu adalah usaha tanaman sagu untuk menyediakan
energi kimiawi dalam rangka pembentukan organ generatif, dengan demikian
bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya organ generatif secara berangsurangsur kandungan tepung pada batang akan menurun terus selaras dengan
pertumbuhan dan perkembangan organ vegetatif sampai nilai kandungan tepung
sagu yang terendah.
Dalam praktek dibedakan dalam empat fase pemasakan vegetatif,yaitu:
1)

Wela atau putus duri atau fase Wali Tua


Fase ini ditandai dengan lenyapnya sebagian besar daun pada pelepah
daun. Pada saat ini tanaman belum mencapai kematangan sempurna, seluruh
batang sudah mengandung tepung akan tetapi masih dalam jumlah sedikit,
dan sebagian besar masih terlokalisasi pada bagian ujung batang.

II-79

2). Fase Maputih atau Putih Masa


Fase ini ditandai dengan mulai rnenguningnya pelepah daun. Duri-duri
pada pelepah seluruhnya telah lenyap, kecuali sedikit pada pangkal pelepah.
Pada fase ini pada ujung batang keluar daun-daun muda tetapi ukurannya
lebih pendek dibanding dengan daun biasa. Masa ini berlangung dari
pembentukan daun yang pendek sampai dengan mulai terbentuknya
jantung (karangan bunga). Pada fase ini sagu Tuni sudah mencapai
kandungan tepung maksimal.

3)

Fase Jantung
Fase jantung adalah fase kemasakan sagu yang berlangsung antara
timbulnya jantung (kuncup bunga) sampai pada waktu jantung terbuka. Jika
batang pada fase ini dipanen, hasilnya adalah sama dengan fase Maputih,
tetapi sagunya mempunyai rasa lebih baik terutama sagu Ihur. Pada sagu
Tuni bila dipanen pada fase ini tepungnya kurang enak. Sagu Ihur sangat
tepat bila dipanen pada fase ini.

4)

Fase Siri Buah


Fase siri buah berlangsung sejak kuncup bunga telah mekar dan
bercabang menyerupai tanduk rusa sampai dengan terbentuknya buah sirih,
yaitu buah-buah sagu yang masih kecil-kecil dan bersisik mirip buah salak.
Fase kematangan ini adalah terbaik untuk jenis sagu Makanaru. Akan tetapi
untuk sagu-sagu jenis lainnya, sampai fase kematangan ini, kandungan
tepung sagunya hampir seluruhnya habis, hal ini dikarenakan tepung sudah
ditransfer menjadi energi yang dipergunakan dalam pembentukan bunga dan
buah (pertumbuhan organ generatif). Untuk beberapa jenis sagu pada saat ini
batang sudah hampa. Dengan demikian pada fase ini untuk jenis sagu selain
Makanaru semestinya sudah dipanen, sebab kalau tidak panenan sagu akan
gagal, keterlambatan panen berarti mengurangi kandungan sagu pada batang,
yang selanjutnya pohon akan berangsur-angsur mati. Fase jantung dan siri
buah sebenarnya merupakan fase pertumbuhan generatif.

II-80

2.

Fase Pertumbuhan Generatif


Fase pertumbuhan generatif sagu, adalah masa pertumbuhan organ-organ

generatif sagu yakni dan pembentukan primordia bunga, bunga mekar,


pembentukan buah sampai dengan pemasakan buah. Mengingat produk utama
sagu adalah organ vegetatif, maka untuk kepentingan bercocok tanam sagu
masalah pertumbuhan generatif kurang perlu diperhatikan.

3.5.3.6.

Ekologi , Habitat dan Pertumbuhan Sagu


Ekologi

Zona tanaman sagu tersebar di daerah Asia Tenggara, akan tetapi sagu
sebagai tanaman asli, zona penyebarannya dapat dikatakan tidak mencerminkan
batas potensi produksinya. Di Indonesia sagu banyak terdapat di Aceh, Tapanuli,
Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Ujung Pandang dan terutama banyak terdapat di
Maluku dan Irian Jaya.
Di Irian Jaya dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah
dengan daerah yang sangat luas. Di Sumatera sagu banyak ditanam pada daerahdaerah rawa yang membentang dari propinsi Sumatera Selatan sampai Sumatera
Utara melalui Jambi dan Riau. Bentangan ini merupakan daerah tempat belasan
sungai bermuara, seperti Musi, Batang Hari, Indragiri, Siak, Rokan, Kampar
hingga Asahan, beserta puluhan anak sungainya bersama-sama membentuk
daerah-daerah rawa yang ajeg (kontinu) direndam air tawar. Sagu dari daerah
Indonesia bagian timur dapat menyebar ke Indonesia Barat sampai dengan
Malaysia, diduga ada yang membawa kemudian menanamnya, akan tetapi sampai
saat ini sagu di daerah Indonesia Barat dan Malaysia tumbuh secara agak liar
kecuali di Riau.
Sagu umumnya dijumpai antara 90 - 180 Bujur Timur dapat tumbuh di
semua hutan hujan daerah khatulistiwa, di daerah rendah, tepi pantai dan di
sepanjang aliran sungai pada garis lintang antara 19 LU sampai dengan 10 LS,
dan pada garis tinggi dari daerah tingkat laut sampai dengan 300 m 700 m dari
permukaan air laut, dan mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun.
Namun dalam hal produksi, yang terbaik hanya dapat diperoleh pada daerah

II-81

dengan ketinggian dekat permukaan air laut sampai ketinggian 400 m di atas
permukaan air laut. Tampaknya para ahli sependapat bahwa pada umumnya
tanaman sagu lebih baik pertumbuhan dan produksinya pada dataran rendah.
Tanaman sagu tumbuh baik pada kondisi lingkungan dengan lembap udara nisbi
(RH) 60% dan pertumbuhannya akan terhambat bila lembap udara nisbi kurang
dan 40% sedangkan suhu udara berkisar antara 24-30C.
Lingkungan hidup yang baik bagi sagu adalah daerah ber1umpur basah
dengan air tanah yang berwarna coklat dan bereaksi sedikit asam karena
mengandung hancuran bahan organis sehingga akar napas tidak terendam dalam
air dan menciptakan kondisi yang sesuai dengan kehidupan mikro organisme.
Lingkungan yang selalu basah tidak selamanya cocok untuk pertubuhan sagu,
karena bila air menggenang terus diperkirakan akan mempengaruhi akumulasi
tepung di dalam batang. Namun begitu sagu juga kurang baik pada lahan yang
kering.
Kekurangan air tanah secara terus menerus pada 1ingkungungan akar lebih
dari satu bulan tidak dapat ditahan oleh sagu, akan tetapi di Ambon sagu yang
paling tinggi produksi tepungnya dijumpai pada lahan atau daerah kering, sebab
meskipun demikian tanahnya masih lembap. Kekurangan air tanah sementara,
umumnya mampu ditahan oleh sagu yang pertumbuhannya, baik sagu dengan
kulitnya yang tebal tampaknya berfungsi sebagai isolasi yang istimewa sehingga
seluruh tanaman tahan kekeringan yang nisbi dan umumnya memiliki tekanan
kekurangan air (water stress) buktinya sagu yang baru saja menderita kebakaran,
sagu itu akan cepat membentuk daun baru dan kuncup ujung yang dilindunginya
dengan baik.
Produk utama sagu adalah tepung atau karbohidrat, tepung adalah produk
dari fotosintesis dengan demikian untuk pertumbuhan sagu harus diusahakan agar
cukup mendapat sinar matahari. Untuk pertumbuhan tanaman dibutuhkan unsur
unsur hara yang kebanyakan disuplai oleh air, yakni K, P, Ca dan Mg di samping
itu tentu saja N. Dari kenyataan bahwa sagu dapat tumbuh di daerah gambut yang
asam, dapat disimpulkan bahwa sagu besar kemungkinannya lebih tahan terhadap
Fe, Al dan Mn yang tinggi daripada kebanyakan tanaman lain. Sagu yang paling
baik pertumbuhannya pada tanah lumpur, bendungan yang tinggi dan pinggiran

II-82

kelok-kelok sungai. Sagu tahan terhadap tanah padas, tanah berat yang kedap air
dan tanah gambut asam.
Populasi sagu tampaknya juga seakan-akan mempunyai efek menstabilitasi
iklim, terutama bila populasinya luas. Meskipun kalah bila dibandingkan dengan
hutan hujan tropis, perlindungan sagu setinggi 12-15 m memungkinkan efek
memantapkan secara baik terhadap iklim. Kapasitas mengendalikan banjir cukup
baik, efek spon vegetasi dan penanaman secara perkebunan di bendungan dan
melemparkan tanah ke lahan, sagu memiliki kemampuan untuk membersihkan air
buangan industri dan air buangan masyarakat kota. Dengan demikian sagu
berpotensi besar untuk menjaga pencemaran air akibat limbah pabrik ataupun
limbah sampah perkotaan. Pelarutan tanah pada suatu perkebunan sagu diduga
minimal, dapat dipersamakan dengan hutan primer dan menimbulkan kurang
lumpur daripada tanaman perkebunan lain.
Keanekaragaman sagu dapat dikatakan sangat kurang akibat sifat klonnya.
Untuk tanaman lain dalam kondisi seperti ini besar kemungkinannya untuk
menjadi penumpukan hama dan penyakit tertentu, akan tetapi sagu tidak demikian
halnya. Sagu dalam kenyataannya tidak mudah diserang hama dan penyakit.

Habitat

Sagu pada umumnya tumbuh dengan baik di daerah antara 10 LS - 15


LU dan 90 - 180 BT pada ketinggian 0 - 700 m di atas permukaan air laut.
Akan tetapi pertumbuhan optimum dapat dicapai pada ketinggian 400 m dari
permukaan air laut kebawah. Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair
tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah-daerah sepanjang aliran
sungai, sekitar sumber air atau di hutan-hutan rawa yang kadar garamnya
(salinitas) tidak terlalu tinggi.
Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang
berlumpur, di mana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik,
air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam. Habitat yang demikian cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan
tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme,
pertumbuhan sagu akan kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu juga

II-83

dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama unsur
potasium, fosfat, kalsium dan magnesium. Apabila akar napas sagu terendam
terus-menerus, maka pertumbuhan sagu akan terhambat, sehingga pembentukan
aci atau karbohidrat dalam batang juga terhambat.
Dengan kondisi yang optimum tersebut, sagu akan mampu bersaing
dengan tumbuhan pengganggu di sekitarnya sehingga pertumbuhan sagu akan
berlangsung dengan baik. Pada tanah yang terlalu lembab, jenis-jenis rumputan
dan gulma perdu lainnya akan berkembang lebih pesat daripada sagu. Sebaliknya
pada tanah yang terlalu kering, tumbuhan pengganggu jenis pohon-pohonan akan
tumbuh lebih pesat dan akan menutupi sagu, sehingga pertumbuhannya terhambat
bahkan sagu akan mati. Selain kondisi tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh
pada tanah-tanah organik, akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah
demikian menunjukkan berbagai gejala kekahatan (defisiensi) terhadap beberapa
unsur hara tertentu yang ditandai oleh kurangnya jumlah daun dan umur sagu
akan lebih panjang yaitu dapat mencapai 15 - 17 tahun. Sagu banyak juga yang
tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat yang berawa dan kaya akan
bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu sagu
dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning
alluvial hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya.

Pertumbuhan Sagu

Sagu adalah tanaman tahunan yang dapat berkembang biak kalau


dikembangbiakkan dengan anakan atau dengan biji. Anakan sagu mulai
membentuk batang pada umur sekitar 3 tahun. Kemudian pada sekitar pangkal
batang tumbuh kuncup-kuncup (tunas) yang berkembang menjadi anakan sagu.
Anakan sagu tersebut memperoleh unsur hara dan pohon induknya sampai akarakarnya mampu mengabsorbsi unsur hara sendiri dan daunnya mampu melakukan
fotosintesis.

Pola pertumbuhan sagu demikian berlangsung terus sehingga

tumbuhan sagu membentuk rumpun.


Dalam setiap rumpun sagu terdiri dari beberapa tingkat pertumbuhan,
yaitu:

II-84

a.

tingkat semai atau anakan : tingkat semai yaitu sagu yang masih kecil yang
memiliki batang bebas daun 0 -0,5 m

b.

tingkat sapihan (sapling) : tingkat sapihan yaitu sagu yang memiliki batang
bebas daun 0,5 - 1,5 m

c.

tingkat tiang (pole) : tingkat tiang, yaitu sagu dengan tinggi batang bebas
dun 1,5- 3m

d.

tingkat pohon (tree) : sagu dengan tinggi batang bebas daun di atas 5 m.

Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu tersebut didasarkan atas tinggi batang


sagu bebas daun atau pelepah, yakni: Pola Tumbuh Sagu Membentuk Rumpun.
Dalam satu rumpun sagu umumnya terdapat 1 - 3 pohon dewasa (tingkat
pohon), beberapa pohon muda (tiang dan sapihan) dan puluhan anakan (semai).
Dalam satu rumpun biasanya hanya ada satu pohon masak atau siap panen. Satu
rumpun rata-rata ada dua pohon sagu yang dapat dipanen setiap 3 tahun.

3.5.3.7.

Peranan Sagu

Sagu sebagai salah satu sumber karbohidrat memiliki peranan yang sangat
penting pada berbagai bidang, meskipun pada saat ini peranan sagu masih
berkembang secara tradisional dengan teba yang terbatas.

Dalam pasaran

internasional tepung sagu tampaknya baru dimanfaatkan oleh Jepang sebagai


bahan dasar pembuatan glukosa, sirup berfruktosa tinggi dan sorbitol.
Di Indonesia peranan sagu sangat mendukung pelaksanaan Inpres No.20
tahun 1979 tentang usaha diversivikasi pangan, sebab sagu di Indonesia di
samping potensi produksinya tinggi, sagu berpeluang besar dipakai sebagai
makanan yang disukai masyarakat. Dengan teknologi pangan yang tinggi sagu
dimungkinkan sebagai bahan pangan yang lezat dan bergizi tinggi. Mengingat
bahwa kandungan kalori relatif sama dengan kalori jagung kering atau beras
giling, bahkan dinyatakan sebagai jauh lebih tinggi dibanding dengan kalori yang
dikandung oleh ubi kayu atau kentang, maka sagu adalah salah satu komoditi
pangan yang dapat menjawab tantangan di bidang pangan pada Pelita V dan VI
yang akan datang, di mana diperkirakan menjelang tahun 2000 Indonesia harus
mampu menyediakan pangan yang cukup zat gizi dan terbeli oleh sekitar 226 juta

II-85

penduduk. Kebutuhan bahan pangan efektif pada tahun-tahun tersebut


diperkirakan sangat besar, yaitu sekitar 48 juta ton bahan pangan ekuivalen beras.
Pada sagu, memang kandungan proteinnya lebih rendah dibanding dengan
bahan pangan lain, akan tetapi kekurangan ini dapat diganti dengan
mengkonsumsi sumber bahan pangan lainnya, mengingat sagu adalah tanaman
daerah penghasil ikan, yaitu di sekitar lahan rawa, tepi-tepi sungai dan muaramuara sungai dekat laut. Dengan demikian sagu berperan dalam intensifikasi
pemanfaatan lahan juga. Hal ini mengingat bahwa lahan di mana sagu tumbuh,
merupakan lahan yang untuk komoditi tanaman lain tidak mampu tumbuh dengan
baik dan produktif, dan sementara itu lahan pertanian mengalami penyempitan
untuk pemukiman dan industrialisasi Sagu di masa yang akan datang berpeluang
besar dalam hal industri bahan pangan, industri makanan ternak, bahan energi dan
industri Iainnya.

3.5.3.8.

Pengembangan Tanaman Sagu

Dalam pengembangan suatu jenis tanaman di Indonesia, pendekatan yang


dipergunakan adalah pendekatan gizi. Di samping usaha pengadaan karbohidrat
maka agar seiring dengan usaha pengadaan karbohidrat diproduksikan pula unsurunsur gizi yang lain.
Memperhatikan pola usaha tani di daerah penanaman sagu (khususnya
Maluku), di mana dalam usaha taninya terdiri dan berbagai jenis usaha terdapat di
dalam satu unit produksi, maka tidak diperlukan pendekatan gizi. Pendekatan
yang lebih tepat adalah pendekatan menu. Karbohidrat di dapat dan tanaman
penghasil karbohidrat, sedang protein, lemak, vitamin dan mineral dapat diambil
dan sumber lain. Dalam pengembangan sagu sebagai sumber karbohidrat, lebih
tepat dengan pendekatan menu. Dengan demikian sebaiknya tidak perlu
rnemperbandingkan sagu dengan padi dalam usaha pengembangannya.
Untuk pengembangan sagu dibutuhkan teknologi baru, antara lain:
teknologi pengembangan dan teknologi perbaikan pertanaman sagu alami.

II-86

Teknologi Pengembangan Sagu

Dan segi budidaya, sagu memiliki sifat-sifat baik yaitu:


1. Potensi produksinya tinggi.
2. Dapat tumbuh dan berproduksi pada daerah rawa, di mana bila dikembangkan
untuk tanaman lain memerlukan investasi modal yang tinggi.
3. Tanaman sagu tergolong kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah
basah, dataran rendah tropis yang basah, di mana daerah ini untuk usaha
tanaman semusim tanpa irigasi masih merupakan suatu usaha yang sulit
dilaksanakan.
4. Keragaman genetiknya besar.
5. Pada saat ini terdapat area sagu yang cukup luas yang tersebar dan Irian Jaya
sampai dengan Riau.
Di samping itu sifat-sifat yang buruk dan tanaman sagu, yaitu:
1. Perkembangbiakannya lambat.
2. Daur hidupnya panjang, hal mi sebenarnya tidak menjadi masalah bila pada
tempat yang bersangkutan sudah ada tanaman sagu.
Akan tetapi problemnya menjadi lebih besar bila sagu dibudidaykan pada lahan
baru.
Dari segi agronomis diperlukan suatu teknologi untuk peningkatan sifat
baik dan tanaman sagu, baik dalam hal peningkatan kemampuan produksi pada
areal pertanaman yang ada maupun untuk kemampuan perluasan areal.
Dari segi lingkungan fisik (ekologi) untuk pertumbuhan dan produksi sagu dengan
baik, Indonesia sangat mendukung karena Indonesia merupakan daerah asal
tanaman sagu.

Teknologi Perbaikan Tanaman Sagu

Pengalaman di Papua New Guinea (PNG) menunjukkan bahwa rata-rata 1


ha pertanaman sagu dapat menghasilkan 25 pohon masak tebang per tahun,
dengan produksi rata-rata per pohon 100 kg sagu kering. Dengan demikian hasil
taksasi perhektar adalah 2,5 ton tepung kering. Setelah diperbaiki dengan jalan
peningkatan teknis bercocok tanam produksi dapat meningkat 10 ton per hektar

II-87

per tahun. Tingkat hasil tepung tergantung pada varietas, tingkat kemasakan pada
saat dipanen dan keadaan lingkungan fisik.
Tindakan yang harus dilakukan dalam teknis bercocok tanam sagu dalam
rangka memperbai pertanaman alami, antara lain:
1)

Menghilangkan vegetasi bukan sagu yang tumbuh pada lahan sagu dengan
maksud agar cahaya matahari secara maksimal dapat diterima oleh sagu.

2)

Pengendalian rumpun sagu disarankan dalam satu hektar jangan lebih dari
204 rumpun.

3)

Pengendalian pertumbuhan anakan per rumpun, dengan cara pemangkasan,


disarankan dalam satu rumpun hendaknya dipelihara 3-4 pohon pada semua
tingkat pertumbuhan, dengan perhitungan begitu pohon pokok dipanen
secara beruntun, tetap dapat diganti.

4)

Sanitasi terhadap pohon sagu, dengan jalan membersihkan daun-daun kering


dan pohon sagu.

5)

Penyiangan secara intensif.

6)

Eksploitasi secara terus-menerus selama bertahun-tahun akan menguras


unsur hara dan dalam tanah, maka perlu tindakan pemupukan.

Untuk

pertumbuhan sagu, jumlah N, P dan K yang diabsorpsi dan dalam tanah


kuantitasnya tidak terlalu tinggi, tetapi untuk Ca dan Mg cukup tinggi.
Tampaknya kebutuhan unsur hara bagi sagu lebih banyak disuplai melalui
air yang mengalir, sehingga kekurangan unsur hara tidak berjalan cepat.
Selanjutnya untuk mengimbangi tindakan pengembangan sagu tersebut,
maka perlu diadakan penelitian untuk menentukan teknologi tepat guna yang
sesuai dengan kondisi fisik, ekonomi, dan varietas yang ada, serta pengembangan
pasca panen dan pemasaran.

3.5.3.9.

Sagu di Sumatera

Di Sumatera sagu dikenal dengan nama RUMBIA. Rumbia ada tiga jenis
yang dibedakan daunnya yaitu:
1)

Rumbia berduri (Metroxylon, sp)

2)

Rumbia tidak berduri (Metroxylon bomban) dan

3)

Rumbia Sangkam, rumbia ini sebenarnya tergolong rumbia berduri.

II-88

Rumbia Sangkam merupakan rumbia yang tidak populer. Rumbia


Sangkam sewaktu rnasih muda bagian pelepah daun ditumbuhi duri kasar dan
besar serta cukup banyak jumlahnya, namun setelah tua, duri-duri tersebut
semakin jarang dan bentuknya semakin mengecil.
Rumbia berduri hanya tumbuh baik pada lahan rawa-rawa yang terletak
dekat permukaan air laut sampai ketinggian 400 m dari permukaan air laut.
Sedangkan Rumbia tidak berduri/mulus, masih baik pertumbuhannya sampai
dengan 500-600 m dan permukaan air laut, tumbuh dengan baik pada daerah
rawa-rawa maupun daerah kering sekali pun. Dan ke tiga rumbia tersebut yang
produksi dan kualitas sagunya tinggi adalah jenis yang berduri, sehingga sagu
berduri inilah yang sudah banyak dibudidayakan oleh petani sagu.
Klasifikasi pertumbuhan Rumbia (sagu Sumatera) adalah sebagai berikut:
1)

Masa Batita (bawah tiga tahun): Pada masa mi daun sagu masih merupakan
daun-daun yang masih lengket satu sama lain pada pelepahnya, gambarannya
seperti janur (daun kelapa muda).
Pohon sagu belum tampak dan daun-daun belum mekar. Masa ini lazim
disebut ABUT RUMBIA. Umur sagu 0-3 tahun.

2)

Masa Abut Dara: Masa ini sagu/rumbia berumur 3-5 tahun. Pada masa ini
batang rumbia mulai membesar, masa ini juga dikenal sebagai masa sandar
antan, karena keadaan pelepah sudah mulai kuat khususnya bila disandari

antan (antan = batang penumbuk padi) pelepah tidak akan patah.


3)

Masa Sagu Muda: Adalah masa rumbia mulai berbatang dan mulai tampak
ruas-ruasnya. Pada masa ini sagu berumur antaara 5-8 tahun.

4)

Masa Sesah Ujung: Masa ini berlangsung antara umur 8-9 tahun sagu mulai
beranjak tua, di mana daun-daqun yang menempel pada pelepah daun mulai
menjadi pendek-pendek.

5)

Masa Membuang Duri. Masa ini berlangsung 6 bulan setelah masa Sesah
Ujung, pada masa ini duri-duri rontok berguguran hingga pelepah menjadi
licin.

6)

Masa Ekor Buntak. Masa ini berlangsung 6 bulan setelah masa membuang
duri, ukuran daun semakin memendek, yang semula 6 7 m panjangnya 2

II-89

m saja. Di samping itu pucuk daun berbentuk melingkar mirip ikan buntok,
dari bentuk inilah maka masa tersebut disebut masa ekor buntok.
7)

Masa Menjorong atau Menjari. Pada masa ini berlangsung 6 bulan setelah
masa ekor buntok, pada masa ini sagu sudah memunculkan bakal bunga dari
tengah-tengah pucuk batang. Pada saat ini daun-daun muda sudah tidak
dibentuk lagi, sehingga batang tampak menjorong atau menjari. Satu bulan
setelah masa ini bunga baru mekar (Florasi).

8)

Masa Pembungaan dan Pembentukan Buah. Masa ini berlangsung sejak


bunga-bunga sagu mulai melakukan penyerbukan sampai dengan buah
masak.
Pada masa ini kandungan tepung pada batang suda merosot sekali, akibat
dipergunakan untuk pertumbuhan bunga dan buah. Selanjutnya tiga bulan
kemudia, pohon sagu secara perlahan-lahan akan mati.
Dari masa-masa pertumbuhan tersebut, disimpulkan, bahwa pada masa

ekor buntok atau masa menjorong, yaitu kira-kira pada umur 10 tahun. Pada saat
ini tinggi pohon rata-rata 10 15 m, denga garis tengah batang 60 70 cm, tebal
klit luar 10 cm, dan diameter empulur yang diambil tepung sagunya 50 60 cm.

Sagu dari Nusa Utara

Di daerah Nusa Utara, yaitu kepulauan Sangihe Talaud, juga dijumpai


satu jenis sagu yang dikenal dengan SAGU BARUK, sampai saat buku ini
ditulis belum ada informasi tentang sistematikanya. Dibandingkan dengan sagu
pada umumnya, sagu baruk mempunyai batang yang relatif lebih kecil dengan
diameter batang kurang lebih 20 25 cm. Tinggi tanaman bervariasi antara 6 16
m, tergantung pada kesuburan tanahnya.
Keistimewaan sagu baruk adalah kemampuannya tumbuh baik pada lahan
kering, bahkan pada lahan yang terletak pada 1ereng-lereng bukit di mana
tanaman lain sulit tumbuh dan berkembang, sagu masih mampu tumbuh dan
bererkembang. Sagu baruk tumbuh dan berkembang dengan baik dan ketinggian
dekat permukaan air laut sampai 600 m dari permukaan air laut. Satu batang sagu
baruk dengan panjang kurang lebih 8 m dan diameter 15-20 cm dapat

II-90

menghasilkan 25 kg sagu basah, dan diduga dengan intensifikasi sagu ini masih
memiliki potensi untuk ditingkatkan produksinya.

2.5.4. Aren

Salah satu jenis monokotil yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah aren (Arenga sp). Tumbuhan ini tumbuh secara liar baik di hutan-hutan
maupun di lahan milik masyarakat. Aren ini bukan hanya memberikan manfaat
langsung dari pemanfaatan seluruh bagian tumbuhan, akan tetapi manfata lain
terhadap ekosistem sangat penting terutama untuk konservasi. Namun dalam
perkembangannya terjadi pergeseran pemanfaatan lahan dan penggantian
komoditi sehingga terjadi perubahan potensi, sehingga perlu menjadi perhatian
khusus melihat dari segi manfaatnya. Usaha yang perlu dilaksanakan adalah
diversifikasi produk sehingga dapat bersaing dengan komoditi lain agar
masyarakat menjaditertarik untuk mengembangkannya secara swadaya.

2.5.4.1. Gambaran Umum Aren


Sistematika

Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya


terbungkus daging buah. Pohon aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Dulu tanaman aren dikenal dengan nama botani Arenga saccharifera.
Tetapi sekarang lebih banyak dipustakan dengan nama Arenga pinnata Merr.
Konon, tanaman yang termasuk dalam keluarga Palmae atau Aracaceae ini berasal
dari Indonesia.Pohon aren merupakan salah satu kelas monokotil yang tergolong
hasil hutan non kayu. Menurut Steenis (1988), aren mempunyai sistematika
sebagai berikut :
Divisio

: Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae


Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Arecales

Famil

: Aracaceae (Palmae)

Genus

: Arenga

Species

: Arenga pinnata Merr

II-91

Aren termasuk famili Aracaceae (pinang-pinangan) merupakan tumbuhan


berbiji tertutup (Angiospermae), biji buahnya selalu terbungkus daging buah.
Tanaman ini berbatang besar dengan diameter dapat mencapai 65 cm dengan
tinggi 25 m, daun berbentuk sirip, anak daun selalu berdiri tegak di puncak
batang, mempunyai perakaran yang menyebar dan cukup dalam (akar serabut),
batang tidak berduri dan tidak bercabang. Pohon ini hampir mirip dengan pohon
kelapa. Perbedaannya, pohon kelapa mempunyai batang yang bersih sedangkan
batang pohon aren sangat kotor karena batangnya terbalut ijuk sehingga pelepah
daun yang sangat tua sulit diambil atau lepas dari batangnya. Oleh karena itu,
batang pohon aren sering ditumbuhi banyak tanaman paku-pakuan. Tangkai daun
pohon ini dapat mencapai panjang 1.5 m, helaian daun yang panjangnya dapat
mencapai 1.45 m dan lebar 7 cm. Selain itu, pohon ini akan mulai berbunga pada
umur 6 12 tahun, dimana proses pembungaannya dimulai dengan munculnya
tunas bunga yang berada diantara pelepah dan diikuti oleh tunas-tunas berikutnya
kearah pangkal batang.
Umur pohon aren dapat mencapai lebih dari 50 tahun dan di atas umur ini
pohon aren sudah sangat berkurang dalam memproduksi buah, bahkan sudah tidak
mampu lagi memproduksi buah sedangkan penyadapan dimulai setelah pohon
aren mencapai umur 12 16 tahun. Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses
penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah ini berbentuk bulat
dengan diameter 4 5 cm dan didalamnya berisi biji tiga buah dan masing-masing
berbentuk seperti satu siung bawang putih.

Syarat Tumbuh
Aren lebih senang tumbuh di daerah yang curah hujannya merata
sepanjang tahun. Daerah hujan semacam ini kebanyakan berada di lereng
gunung. Disamping itu jenis tanahnya yang mudah meneruskan kelebihan air,
misalnya tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah liat
berpasir di sepanjang tepian sungai. Aren dapat tumbuh pada daerah pegunungan,
di lembah-lembah dekat aliran sungai, mata air dan tempat terbuka. Curah
hujannya yang merata sepanjang tahun atau yang hujannya jatuh selama 7 10
bulan dalam setahun. Daerah hujan semacam ini kebanyakan berada di lereng

II-92

gunung. Di daerah yang bulan basahnya kurang dari itu, Aren tidak mau berbuah
lebat. Temperatur udara rata-rata 25C dan umumnya tumbuh baik pada tanahtanah yang relatif subur dan mengandung banyak humus, tanah-tanah liat,
berkapur, dan berpasir. Jika diperhitungkan dengan perumusan Schmidt dan
Ferguson, iklim yang paling cocok untuk tanaman ini adalah iklim sedang sampai
iklim agak basah. Dengan demikian tanaman ini tidak membutuhkan sinar
matahari yang terik sepanjang hari.
Pohon aren dapat tumbuh di mana-mana baik di dataran rendah maupun di
dataran tinggi, bahkan sampai pada ketinggian 1.400 m dpl. Tanaman aren dapat
tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur
pada ketinggian 500 - 800 m dpl. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian
kurang dari 500 m dan lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun
produksi buahnya kurang memuaskan.

Potensi dan Penyebarannya


Arenga pinnata Merr, merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara dan
Indonesia. Banyak dijumpai mulai dari pantai barat India sampai ke selatan china
dan di kepulauan Guam. Di Indonesia pohon aren dijumpai di mana-mana dengan
penyebaran mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian di
atas permukaan laut mencapai 1400 m. Tanaman aren bisa dijumpai dari pantai
barat India sampai ke sebelah selatan China dan juga kepulauan Guam. Habitat
aren juga banyak terdapat di Filipina, Malaysia, Dataran Assam di India, Laos,
Kamboja, Vietnam, Birma (Myanmar), Srilangka dan Thailand. Saat ini tercatat
sekitar 2.800 jenis tanaman anggota palmae yang terdiri dari 215 genus. Sebanyak
460 jenis dari 35 genus diantaranya berada di Indonesia dan tersebar diberbagai
pulau, baik di pulau kecil maupun di pulau besar. Dari sekian ratus jenis tanaman
keluarga palmae di Indonesia, maka tanaman aren termasuk unggulan bila dilihat
dari potensi dan kegunaannya.
Wilayah penyebaran aren terletak antara garis lintang 20 LU - 11 LS
yaitu meliputi : India, Srilanka, Bangladesh, Burma, Thailand, Laos, Malaysia,
Indonesia, Vietnam, Hawai, Philipina, Guam, dan berbagai pulau di sekitar
Pasifik. Di Indonesia tanaman ini hampir tersebar di seluruh wilayah Nusantara,

II-93

khususnya di daerah-daerah lembah perbukitan dan memiliki berbagai nama


daerah seperti Aceh (Bak Juk), Banjarmasin (Hanau), Madura (Aren), Bali
(Hano), Bima (Nao), Flores (Inoke), Toraja (Onao), Sumbawa (Pola), Manado
(Pohon Seho), Maluku (Pohon Sageru). Hampir seluruh tanaman aren yang ada,
tumbuh secara liar (tidak sengaja ditanam orang). Penyebarannya secara alami
dengan bantuan binatang, yaitu luwak (Paradoxurus hermaphroditua). Binatang
ini sangat menyukai buah aren yang sudah tua, dimana daging buahnya lunak dan
manis serta tidak menimbulkan rasa gatal. Biji buah aren yang keras itu ikut
termakan luwak dan dikeluarkan bersama kotoran disembarang tempat terutama di
tempat-tempat yang terlindung dan lembab. Biji-biji buah aren yang terbuang
bersama kotoran luwak inilah yang tumbuh dan dapat menyerupai semak belukar.

Kegunaan
Pohon aren berfungsi sebagai tanaman konservasi yaitu pencegah erosi
tanah karena perakaran yang dangkal dan melebar. Demikian pula dengan daun
yang cukup lebat dengan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat
efektif untuk menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Di
samping itu, pohon aren tumbuh baik pada tebing-tebing, sangat baik sebagai
pohon pencegah erosi dan longsor. Fungsi produksi dapat diperoleh mulai dari
akar, batang, daun, bunga, dan buah. Seluruh bagian tanaman aren dapat
digunakan diantaranya batang, ijuk, tandan bunga aren, akar, daun mudahnya, dan
lain-lain. Akar yang segar dapat menghasilkan arak yang dapat digunakan sebagai
obat sembelit, obat disentri dan obat penyakit paru-paru. Daun muda, tulang daun
dan pelepah daunnya dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu lidi dan tutup botol
sebagai pengganti gabus. Tangkai bunga bila dipotong menghasilkan cairan yang
berupa nira yang mengandung zat gula dan dapat diolah menjadi gula aren.
Batang bagian dalam dapat menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat,
sedangkan buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan seperti kolang-kaling
yang banyak digunakan untuk campuran es, kolak atau manisan kolang-kaling .
Nira aren segar yang manis, banyak diminum orang sebagai sedap-sedapan
dan pemakainannya dianjurkan untuk mengobati tuberkolosis, disentri, wasir, dan
melancarkan buang air besar. Selain itu digunakan juga untuk jamu tradisional

II-94

dan dapat mengobati sariawan dengan hasil yang memuaskan. Nira aren dapat
juga digunakan sebagai perangsang haid, menyembuhkan sembelit, sariawan,
pneumnonia, disentri, radang paru-paru dan mejen.

Gula arennya sering

digunakan dalam ramuan obat tradisional dan memiliki khasiat sebagai obat
demam dan sakit perut. Akarnya direbus dan diminum sebagai obat penyakit
ginjal berbatu atau penyakit batu dalam kandung kencing (menghancurkan
batunya).

2.5.4.1. Produksi Nira


Nira adalah cairan yang rasanya manis dan diperoleh dari bagian dan jenis
tumbuhan tertentu. Proses pengambilan nira biasa dilakukan dengan cara digiling,
diperas dan disadap. Selanjutnya dijelaskan bahwa nira dalam keadaan segar
mempunyai rasa manis, berbau harum dan tidak berwarna. Komponen utama
yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat dalam bentuk sukrosa
sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak, vitamin dan mineral tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut memungkinkan nira untuk
direkayasa lebih lanjut menjadi berbagai ragam produk baru seperti aneka
macam pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, alkohol, dan
juga sebagai media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme terutama bakteri dan
khamir.
Menurut kajian BPPT Banteng, dalam setahun setiap pohon aren bisa
memproduksi nira 300 4000 liter/ tandan bunga.selama 3 4 bulan. Jadi dalam
satu pophon aren mampu menghasilkan nira kurang lebih 900 1.600 liter / tahun,
dan untuk setiap liter nira dapat diolah menjadi sekitar 0,15 0,177 kg gula
semut.
1. Persiapan Penyadapan Nira
Persiapan penyadapan nira berperan penting dalam mendapatkan masa
penyadapan yang lama dan mendapatkan jumlah nira yang banyak. Peralatan
yang perlu disiapkan adalah pisau tajam untuk memotong tangkai bunga, palu
pemukul yang dibuat dari kayu, dan bumbung untuk tempat menampung nira.
Bumbung dibuat dari bambu yang berukuran besar, seperti bambu betung atau
bambu gembong yang terdiri dari 2 3 ruas. Bumbung besar dipilih agar

II-95

kapasitas tampung niranya besar dan nira tidak tumpah. Jumlah bumbung
yang harus disediakan untuk setiap tandan bunga, paling tidak sebanyak dua
buah agar dapat dipakai secara bergiliran.
Pohon aren mempunyai bunga jantan dan bunga betina. Kedua bunga
dapat disadap niranya dan yang selalu disadap adalah bunga jantan karena
jumlah dan mutu yang dihasilkan lebih memuaskan dibanding bunga betina.
Bunga jantan lebih pendek dibanding bunga betina. Panjangnya sekitar 50
cm, sedangkan bunga betina mencapai 175 cm. Tumbuhnya bunga berawal
dari puncak pohon kemudian disusul tumbuhnya bunga-bunga yang lain yang
semakin ke bawah pada batang pohon dan yang terakhir bunga itu sudah
mendekati permukaan tanah.
Sebelum penyadapan, pohon aren dibersihkan kemudian pelepah
daunnya dipotong dan serabut-serabut ijuknya dibersihkan agar tidak
mengganggu pemanjatan. Untuk memanjat aren digunakan tangga yang dibuat
dari sebatang bambu yang diberi lubang kecil sebesar ibu jari kaki di setiap
batas atas bukunya atau dengan membuat dua lubang sebesar ibu jari tangan
pada masing-masing batas ruas buku dan dalam lubang tersebut dimasukkan
sepotong kayu.

2. Proses Penyadapan Nira


Penyadapan nira aren tidak memandang musim, sebab pohon aren
(enau) berbunga sepanjang tahun. Meskipun demikian, kualitas nira yang
dihasilkan akan menurun pada musim hujan, tetapi kuantitasnya akan
bertambah. Sebaliknya pada musim kemarau yang panjang, kuantitas nira
biasanya akan menurun. Waktu yang paling baik adalah pada waktu terang
dimana tidak turun hujan dan bukan pada musim kemarau panjang.
Ada beberapa petunjuk yang biasa dipergunakan para penyadap nira
aren untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan penyadapan.
Ada yang mengatakan penyadapan dapat dilakukan apabila tepung sari sudah
banyak yang gugur. Ada pula yang menggunakan tanda setelah keluarnya
getah berminyak dari kuntum bunga saat diiris pisau.

II-96

Kegiatan penyadapan nira meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut :


1. Pembersihan tongkol yang dilakukan dengan cara membersihkan ijuk yang
ada di sekitar tongkol dan menghilangkan pelepah daun yang berada di
atas dan di bawah tongkol untuk mempermudah penyadapan.
2.

Memukul-mukul tandan (tongkol) kemudian mengayun-ayunkannya, hal


ini dimaksudkan untuk memperlancar keluarnya nira. Kegiatan tersebut
dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari dengan frekuensi
pemukulan tongkol sekitar 250 kali. Kegiatan ini berlangsung sekitar 3
minggu dengan selang waktu 2 hari.

3.

Menyadap nira setelah kegiatan pemukulan tongkol selesai. Indikator


yang digunakan adalah apabila tongkol ditoreh akan mengeluarkan cairan.
Jika telah ditemukan ciri demikian, maka tongkol kemudian dipotong
dengan parang tajam. Pada bagian bawah tongkol dipasang bumbung
bambu untuk menampung nira. Pengambilan hasil sadapan dilakukan 2
kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Setiap kali pengambilan hasil
sadapan, potongan tongkol diperbaharui dengan cara mengiris tipis ujung
tongkol yang telah terpotong. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar
nira tetap keluar dengan lancar.
Setelah bumbung dipasang dan diikat untuk menampung nira, maka

mulut bumbung ditutup dengan kain atau daun pisang untuk mencegah
masuknya kotoran terutama debu atau kumbang.

Hasil penampungan

dikumpulkan setiap pagi dan sore. Bumbung tidak boleh digunakan dua kali
sebab sisa-sisa nira yang menempel pada bumbung akan mempengaruhi
keasaman nira yang lain. Nira tersebut tidak menghasilkan gula melainkan
menghasilkan cuka.

3. Sifat dan Kualitas Nira Aren


Selain dapat diolah menjadi gula karena rasanya yang manis dan
berbau harum, nira dapat pula digunakan sebagai bahan minuman seperti tuak,
minuman segar dan dapat pula dibuat asam cuka. Bila nira dibiarkan beberapa
waktu tanpa adanya usaha pengawetan, maka akan timbul perubahan kimia
dan fisik. Perubahan ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme

II-97

(enzim) terhadap kandungan sukrosa. Nira aren yang masih segar (baru)
rasanya manis, aromanya khas dan tidak berwarna. Setelah dituangkan dari
bumbung dan disimpan, perubahan rasa nira akan segera terjadi. Rasa nira
yang manis menjadi rasa cuka, disebabkan oleh kegiatan jasad-jasad renik
tertentu atau mengalami proses fermentasi. Biasanya jasad renik yang
mengubah gula menjadi alkohol dalam nira adalah khamir (Saccharomyces
sp).
Selanjutnya dijelaskan bahwa nira merupakan bahan yang mudah
mengalami kerusakan. Penyebab utamanya adalah akibat adanya kontaminasi
oleh mikroorganisme khususnya khamir dan bakteri. Khamir dapat tumbuh
dalam media cair dan padat dengan cara yang sama seperti bakteri. Jenis
mikroorganisme tersebut adalah Saccharomyces sp dan Acetobacter sp. Nira
yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme, akan mengalami proses
fermentasi atau perombakan terhadap senyawa-senyawa penyusunnya yang
mengakibatkan sukrosa yang terdapat dalam nira akan berubah menjadi
alkohol dan berubah lagi menjadi asam asetat sedangkan komponen lain akan
dimanfaatkan oleh mikroorganisme penyebab kontaminasi untuk memacu
pertumbuhannya.
Kerusakan nira bisa terjadi sejak nira diambil dari pohonnya sehingga
aktifitas mikroorganisme penyebab kerusakan tersebut harus dihentikan.
Beberapa langkah terpenting dalam usaha mencegah kerusakan nira adalah
sebagai berikut :
a. Wadah atau bumbung tempat menampung nira harus tetap dalam keadaan
bersih dengan cara mencucinya dengan air panas beberapa kali setiap
habis dipakai dan mengasapinya sampai bumbung mengering.
b. Cara sanitasi bumbung sadap nira, juga dilakukan dengan mencuci
bumbung sampai bersih dengan penambahan Natrium metabisulfit atau
dengan Natrium benzoat.
c. Memasukkan bahan tertentu yang disebut sebagai laru. Jenis laru yang
digunakan antara lain campuran kapur sirih dengan irisan kulit manggis,
akar kawao atau dengan menambahkan Natrium metabisulfit.
d. Pemasangan bumbung sadap diusahakan sedemikian rupa sehingga nira

II-98

langsung menetes kedalam bumbung.


e. Tidak menyimpan nira terlalu lama karena proses fermentasi akan tetap
berlangsung meskipun bumbung telah mendapat perlakuan pencegahan.
f. Nira yang tidak langsung diproses menjadi gula, sebelumnya dididihkan
dahulu sekitar 1 jam untuk mematikan mikroorganisme yang mungkin
mencemari nira.

2.5.4.2. Pembuatan Gula Aren


Nira mempunyai sifat yang mudah menjadi asam, karena adanya proses
fermentasi oleh bakteri Saccharomyces sp.

Nira harus segera diolah setelah

diambil dari pohon paling lambat 90 menit setelah dikeluarkan dari bumbung.
Nira dituang sambil disaring dengan kasa kawat yang dibuat dari bahan tembaga,
kemudian dituang ke atas tungku perapian untuk segera dipanasi

(direbus).

Pemanasan berlangsung selama 1-3 jam, tergantung banyaknya (volume) nira.


Pemanasan tersebut sambil mengaduk-aduk nira yang mendidih, buih-buih yang
muncul di permukaan nira harus dibuang, agar dapat diperoleh gula aren tidak
berwarna terlalu gelap (hitam), kering dan tahan lama.

Pemanasan diakhiri

setelah menjadi kental dengan volume sekitar 8 % dari volume awal

yaitu

sebelum di panaskan.
Panasnya api hendaknya melebihi 1000C, atau pada tingkat panas yang
tinggi. jika tidak maka tidak akan menjadi gula. Apabila nira terasa berat bila
diaduk dan mengental, sebaiknya digunakan sutil agar tidak terlalu banyak gula
yang mengering di pinggir wadah.

Setelah benar-benar menjadi gula, maka

rebusan yang sudah menjadi adonan itu diangkat dari api (Proses pembuatan gula
aren dapat dilihat pada skema pembuatan gula aren di Gambar 2.12.). Sebelum
dicetak dalam bumbung pencetak, nira yang kental diaduk agar panasnya lebih
merata. Pengadukan tidak boleh terlalu lama untuk mencegah timbulnya kristalkristal gula yang menyulitkan pencetakan.
Kegagalan pembuatan gula merah disebabkan dua hal. Pertama karena
temperatur yang sangat tinggi (melebihi 120C) menyebabkan gula menjadi
gosong (hangus), hingga warnanya menjadi tua sampai hitam dan baunya tidak
normal (bau karamel), bisa juga disebabkan oleh tingginya kandungan gula

II-99

pereduksi dalam gula akan menyebabkan gula lebih bersifat higroskopis dan cepat
gosong (karamelisasi). Kedua karena bahan bakunya (nira) sudah asam hingga
gula yang terbentuk tidak bisa menjadi padat.

Pengambilan dari Pohon

NIRA

kapur + akar rebet

2 menit

Kayu bakar + panas


lebih dari 100C

DIREBUS

metafisolfide

3-4 jam

DIANGKAT DARI
API/DIARE

0,5 jam

Kerekan

DICETAK

Tataan

10 menit
DIBUNGKUS

Daun aren/tali

Penyelesaian hasil akhir

SIAP
DIPASARKAN

Plastik/label

Gambar 2.12. Skema pembuatan gula aren

Kualitas/ Mutu
Kualitas berarti cocok dengan penggunaannya dimana produk itu sesuai
dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rangcangan, yang

II-100

antara lain dipengaruhi oleh pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan
angkatan kerja, dan jenis sistem jaminan kualitas. Kualitas merupakan
keistimewaan produk meliputi pemenuhan kebutuhan pelanggan, memenuhi
syarat persaingan, meminimalkan biaya kumulatif, sesuai dengan standarisasi dan
bebas defesiensi/kesalahan.
Kualitas adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa yang
mencakup pemasaran, rekayasa, pembuatan dan pemeliharaan yang membuat
produk dan jasa tersebut dapat memenuhi harapan pelanggan, atau kesesuaian
terhadap kebutuhan pemakaian dan pengertian yang mencakup kualitas barang
dan jasa, kualitas biaya, kualitas penyampaian/penyerahan, kualitas keselamatan
dan kesehatan kerja dan kualitas semangat para pelaksana dan pimpinan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu/kualitas gula aren adalah : mutu
bahan baku (nira), proses pembuatan nira menjadi gula (antara lain temperatur),
penambahan bahan-bahan pembantu seperti buli daun atau buli akar, dan
pengemasan atau pembungkusan.

2.5.4.3. Proses Pembuatan Gula Kristal


Pada prinsipnya proses pembuatan gula pasir nipah sama dengan proses
pembuatan gula pasir tebu atau aren. Perbedaannya terletak pada nira sebagai
bahan bakunya. Tahap yang penting dalam pembuatan gula putih yaitu ekstraksi
nira, penjernihan, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan pengeringan.
Gula kristal dapat dibuat melalui 2 cara yaitu cara tradisional (langsung) dan cara
modern (tidak langsung). Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat yang
modern pada proses modern sedangkan cara tradisional tidak. Secara garis besar
tahap-tahap proses pembuatan gula putih adalah :
1. Penjernihan dengan penambahan kapur yang dilanjutkan dengan pemanasan
nira mencapai suhu antara 60 -90C.
2. Pompa vakum dihidupkan untuk membuang uap air yang dihasilkan dari
proses penguapan. Proses penguapan dimaksudkan untuk menghilangkan
sebagian air yang terdapat dalam nira dari hasil penjernihan.
3. Pengentalan dari sirup (consentrating).
4. Pengeringan menjadi gula pasir.

II-101

5. Pengepakan dan pengemasan.

Kualitas Gula
Kualitas berarti cocok dengan penggunaannya dimana produk itu sesuai
dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rangcangan, yang
antara lain dipengaruhi oleh pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan
angkatan kerja, dan jenis sistem jaminan kualitas.

Kualitas juga merupakan

keistimewaan produk yang meliputi pemenuhan kebutuhan pelanggan, memenuhi


syarat persaingan, meminimalkan biaya kumulatif, sesuai dengan standarisasi dan
bebas defesiensi/kesalahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu/kualitas gula aren adalah tempat
tumbuh, cuaca dan iklim, mutu bahan baku (nira), proses penyadapan nira, proses
pembuatan nira menjadi gula (antara lain temperatur), penambahan bahan-bahan
pembantu seperti buli daun atau buli akar, dan pengemasan atau pembungkusan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi nira adalah cuaca, keadaan tanah,
bentuk dan pertumbuhan pohon. Produksi nira pada musim kemarau lebih tinggi
dibanding pada musim hujan. Umur Aren diatas 8 tahun juga lebih mengeluarkan
banyak nira dibanding dengan umur dibawahnya.

Kristalisasi
Kristal adalah bahan padat dengan susunan atom atau molekul yang
teratur. Kristalisasi adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristal dari suatu
larutan atau suatu lelehan. Kristal-kristal yang terbentuk pada umumnya masih
harus dipisahkan dari sebagian besar larutan dengan cara penjernihan atau
penyaringan. Selanjutnya, pengkristalan dalam pembuatan gula putih terjadi dari
sukrosa yang semula larut dan kemudian memisahkan diri.

Penjernihan dan

penyaringan pada tahap kristalisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya


karamelisasi serta mencegah terbentuknya kerak akibat pemanasan yang terus
menerus.

II-102

Pengaruh Lama Penyimpan


Bahan pangan dalam kondisi penyimpanan normal akan mengalami
reaksi-reaksi atau perubahan, sehingga bahan pangan tersebut tidak dapat dipakai
lagi. Setiap perubahan dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah
diolah dimana perubahan sifat-sifat kimiawi dan fisik dari bahan pangan tersebut
mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen.
Pada saat penyadapan, nira disimpan atau ditampung dalam bumbung
yang terbuat dari bambu yang telah dibersihkan dan diasapi, namun pada saat itu
perubahan mulai terjadi. Bumbung bagian dalam harus bersih dan steril agar nira
yang ditampung tidak cepat menjadi asam. Sebelum digunakan untuk menampung
nira, bumbung diisi atau dicuci dengan air panas kemudian diberi kapur.
Nira merupakan bahan yang mudah sekali mengalami kerusakan oleh
karena itu sebaiknya nira yang telah disadap harus secepatnya diolah.

Nira

sebagai bahan baku pembuatan gula harus dalam keadaan segar. Apabila nira
yang digunakan telah rusak yang ditandai dengan berubahnya rasa manis menjadi
asam, berbuih dan berlendir maka mutu gula yang dihasilkan akan
mengecewakan. Penyimpanan nira jika diberi bahan pengawet seperti buli atau
daun manggis, akan menghambat kerusakan nira 90 menit setelah penyadapan.
Wadah yang digunakan untuk penyimpanan juga berpengaruh sehingga harus
bebas dari kontaminasi, karena jika terkontaminasi maka akan terjadi proses
fermentasi atau perombakan terhadap senyawa-senyawa penyusunnya dimana
sukrosa berubah menjadi alkohol dan berubah lagi menjadi asam asetat.

2.5.5. Nipah
Nipah merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sudah lama
dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Jenis ini tumbuh subur di
daerah pasang surut, sungai-sungai besar dan rawa-rawa yang berair payau
dimana kondisi ini hampir di semua pulau yang ada di Indonesia, mulai dari
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, Irian dan pulau-pulau lainnya.
Luas hutan nipah di Indonesia diperkirakan sekitar 700.000 hektar atau 10% dari
luas daerah pasang surut yang luasnya sekitar 7 juta hektar. Sedangkan populasi

II-103

tanaman nipah diperkirakan tidak kurang dari 8000 pohon setiap hektar, sehingga
jumlah keseluruhan tanaman nipah sekitar 5.600 juta pohon.
Nipah termasuk tanaman multifungsi, di mana hampir semua bagian dari
tanaman tersebut dapat dimanfaatkan mulai dari daun untuk atap rumah, batang
atau pelepah daun untuk bahan bakar, akar untuk obat-obatan, berfungsi sebagai
penyangga ekosistem dan yang paling utama adalah sebagai penghasil nira. Nira
nipah diperoleh dari penyadapan tangkai bunga atau malai tanaman nipah. Pada
dasarnya nira adalah hasil fotosintesis dari daun yang berupa sukrosa. Agar
sukrosa tersebut dapat tersimpan dalam buah atau biji, maka arus pengiriman
sukrosa tersebut dipercepat melalui proses fisiologis tanaman dan diubah menjadi
zat gula berbentuk cair yang dikenal dengan nira. Nira nipah selain dimanfaatkan
untuk pembuatan gula merah, gula semut, cuka dan minuman fermentasi yang
mengandung alkohol, juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan gula putih atau
gula kristal.

2.5.5.1. Pengenalan Tanaman Nipah


Sistematika dan Morfologi
Sistematika nipah adalah sebagai berikut :
Kingdom
Devisio
Sub Devisio
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:
:
:

Plantae
Spermatophyta
Angiospermae
Monocotyledoneae
Arecales
Arecaceae (Palmae)
Nypah
Nypah fructicans Wurmb

Tanaman nipah tumbuh berumpun dengan batang yang sangat pendek


sehingga tidak kelihatan. Dari fokus indera mata yang cukup jauh, sosok rumpun
nipah mirip dengan rumpun sagu. Tetapi dengan adanya batang yang tersembul di
antara rumpun, biasanya menjadi pedoman untuk membedakan sagu dengan
nipah. Secara keseluruhan tanaman nipah dapat mencapai tinggi hingga 8 m.
Setiap batang nipah biasanya terdiri atas 3-5 tangkai atau pelepah daun dengan
panjang antara 5-7 m. Setiap pelepah daun rata-rata mempunyai 25-100 helai
anak daun yang bertulang seperti daun aren atau kelapa. Anak daun panjangnya

II-104

mencapai 100 cm dan lebar 4-7 cm berbentuk pita dan ujungnya meruncing.
Warna daun nipah muda menyerupai janur kelapa lalu berubah menjadi hijau
kalau sudah tua.
Bunga nipah sangat menarik dan aneh. Hal ini dijumpai terutama pada
bentuk bunga betina yang berupa kumpulan bunga yang rapat dan membentuk
sebuah kepala. Bunga nipah terdiri atas dua macam bunga yaitu bunga jantan dan
bunga betina. Letaknya menjadi satu pada pohon yang sama. Bunga jantan
berwarna kuning oranye dan keluar dari bagian samping tangkai yang
menggantung. Tumbuhnya tegak dengan panjang mencapai 5 cm. Bunga jantan
diselimuti oleh kelopak bunga, serbuk sarinya tersembul keluar. Adapun bunga
betina berbentuk bulat peluru, tumbuh bengkok, dan mengarah ke samping. Satu
tangkai bunga nipah memiliki 2-3 cabang dan setiap cabang terdiri atas 2 3 bulir
bunga jantan. Pada setiap pohon nipah dewasa dapat tumbuh 1 3 tandan bunga.
Bila tangkai tandan bunga dipotong sebelum buahnya masak, akan keluar getah
manis yang dikenal dengan nira nipah. Nira merupakan sumber bahan baku
murah pembuatan gula dan alkohol.
Tanaman nipah memiliki akar serabut, buahnya terdiri atas kulit luar, sabut
atau daging buah dan biji. Ukuran biji nipah kira-kira sebesar kepalan tangan
dengan panjang antara 8-13 cm, berbentuk kerucut, dan memiliki tempurung yang
keras jika sudah tua. Jumlah buah untuk setiap tangkainya berkisar antara 30-50
butir yang tumbuh berdempetan sehingga tampak menjadi bundar.

2.5.5.2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh


Nipah dikenal dengan nama daerah loso (Filipina), nipah palm (Inggris),
nipah (Indonesia dan Malaysia).

Tanaman nipah tersebar luas di sepanjang

kawasan tropik mulai dari Srilanka sampai Kepulauan Solomon dan Australia dan
sebagai batas penyebarannya di sebelah utara adalah Kepulauan Ryu Kyu.
Tanaman ini termasuk suatu jenis flora yang sudah sangat tua, hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya fosil-fosil nipah di Afrika, Amerika Selatan dan Eropa.
Secara keseluruhan potensi tanaman nipah tidak kalah dibandingkan dengan
komoditi lain, yakni merupakan tanaman serba guna.

II-105

Nipah tergolong tanaman dataran rendah yang menyukai iklim pantai dan
tumbuh liar pada ketinggian 0-10 m dari permukaan laut. Oleh karenanya, nipah
hanya tumbuh subur di sepanjang daerah pasang surut dekat dengan pantai dan di
tepi muara sungai atau rawa-rawa yang berair payau. Nipah liar tumbuh subur,
sebagian tubuhnya (batang dan akar) terendam di dalam lumpur halus yang berair
payau. Derajat keasaman (pH) yang sesuai antara 6 6,5 dan kadar salinitasnya
antara 50-100 mmosh/cm3.

Kadar salinitas yang tinggi akan menyebabkan

tanaman kerdil serta produksi malai dan buahnya menjadi rendah. Kondisi suhu
lingkungan yang cocok berkisar 20-250C. Suhu rendah sangat mempengaruhi
pertumbuhan nipah karena nipah sangat toleran terhadap suhu lingkungan.
Tanaman nipah dikenal di Indonesia dengan nama bak nipah (Aceh), nipah
(Kano, Lampung), nipa (Bugis, Makassar), tangkal daun (Sunda), byuk (Jawa),
bhuyuk (Madura), nifa (Bima), libra (Sumba), ipal, nypa, perumpong
(Kalimantan), dungkun (Sangir), bobo (Manado), nipa, enduk (Toraja, Enrekang).

2.5.5.3. Kegunaan Nipah


Nipah masih sering dianggap sebagai tanaman liar yang tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, sampai saat ini tanaman nipah belum banyak dibudidayakan
orang, kecuali penduduk di sekitar hutan nipah yang telah lama memanfaatkannya
untuk berbagai keperluan hidupnya. Daun nipah yang tua banyak digunakan
untuk pembuatan atap rumah yang daya tahannya dapat mencapai 3-5 tahun.
Sedangkan daunnya yang masih muda dapat dianyam untuk membuat dinding
rumah yang disebut kajang. Selain itu juga dapat dianyam untuk membuat tikar,
tas dan klobot untuk pembungkus rokok. Sedangkan lidinya dapat digunakan
untuk pembuatan sapu, bahan anyam-anyaman dan tali. Pelepah daun nipah dapat
digunakan sebagai bahan kayu bakar dan bahan baku pembuatan pulp (bubur
kertas) karena mengandung selulosa.

Selain itu pelepah daun nipah dapat

digunakan sebagai bahan baku particleboard yang berkualitas baik karena


warnanya sangat khas dan menarik. Buah nipah yang masih muda, yang disebut
tembatuk, dapat dijadikan kolang-kaling. Sedangkan buah nipah yang sudah tua
ditumbuk untuk dijadikan tepung roti. Di Kalimantan arang dari akar nipah
digunakan untuk obat sakit gigi dan sakit kepala.

II-106

Daun nipah yang dikeringkan dimanfaatkan secara tradisional sebagai


bahan atap, dinding, dan aneka keranjang anyaman. Di Sumatera, pada masa
silam daun nipah yang muda dijadikan daun rokok yaitu lembaran pembungkus
untuk melinting tembakau setelah dikupas kulit arinya yang tipis, dijemur sampai
kering dan dipotong-potong sesuai ukuran rokok.

Nipah dapat pula disadap

niranya, yakni cairan manis yang diperoleh dari bunga yang belum mekar. Di
Filipina, nira ini diperam untuk menghasilkan semacam tuak yang dinamakan
Tuba (dalam bahasa setempat).

Fermentasi lebih lanjut dari tuba akan

menghasilkan cuka. Pucuk nipah dan buah yang masih muda dapat dimakan.
Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti suku Sunda, Jawa, Madura, Bali,
Palembang, Aceh, Batak dan Makassar telah memanfaatkan buah nipah untuk
dimakan dalam keadaan segar, bahkan suku bangsa Sunda dan Madura telah
menfaatkan buah nipah untuk pembuatan kue (tepung buah). Bila dilihat dari
potensi dan manfaatnya maka buah nipah tersebut cukup memberikan nilai
ekonomis yang baik sebagai sumber pangan.
Tanaman nipah berpotensi besar dijadikan sumber bahan baku pembuatan
gula. Hal ini disebabkan nipah merupakan bahan baku yang murah dan mudah.
Harganya murah karena tanpa harus memelihara dan menanamnya, kita telah
mendapatkan bahan baku gulanya. Penyadapannya mudah karena tidak perlu
memanjat terlebih dahulu. Nira nipah selain diolah menjadi gula juga dapat
diolah menjadi cuka dan alkohol. Fungsi lain tanaman nipah adalah sebagai
tanaman penyangga ekosistem seperti halnya tanaman bakau.

Fungsi yang

terpenting adalah menahan erosi tanah di tepian muara sungai dan menahan abrasi
(pengikisan tanah) yang disebabkan oleh angin dan air laut ketika pasang.

2.5.5.4. Nira Nipah


Kata nira berasal dari bahasa sansekerta neer yang berarti air. Dalam
keadaan segar mempunyai rasa manis, tak berwarna dan berbau harum. Rasa
manis nira karena adanya sukrosa. Nira adalah cairan yang rasanya manis dan
diperoleh dari bagian dan jenis tumbuhan tertentu. Adapun jenis tanaman yang
dapat menghasilkan nira antara lain: tebu, bit, mapel, siwalan, bunga dahlia, dan
tanaman dari dari keluarga palma seperti aren, kelapa, nipah, sagu, kurma dan

II-107

sebagainya. Pengambilan nira biasa dilakukan dengan cara digiling, diperas dan
disadap. Gula terutama diperoleh dari tebu dan bit. Selain digunakan sebagai
bahan pangan, gula juga menjadi bahan kimia yang sangat penting dalam bidang
industri dan menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda. Jika berbicara
tentang gula, yang kita maksud biasanya adalah gula tebu,

akan tetapi ada

beberapa jenis gula tertentu yang mempunyai tempat dan kegunaannya masingmasing. Sumber sukrosa tersebut antara lain jagung, shorgum, palma tertentu dan
madu.
Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat
dalam bentuk sukrosa sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak,
vitamin dan mineral tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut
menyebabkan nira dapat menghasilkan beberapa produk baru seperti aneka
macam pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, dan alkohol.
Kandungan alkohol dalam nira nipah dapat mencapai 6-7 %.

Nira nipah

mengandung sukrose 15-20%, gula reduksi 0,2-0,5%, dan abu 0,3-0,7%. Oleh
karena itu, nira nipah ini sangat potensial untuk dijadikan gula merah ataupun gula
pasir.
1. Persiapan Penyadapan Nira Nipah
Tanaman nipah sudah dapat disadap niranya apabila telah berbunga.
Biasanya tanaman nipah mulai berbunga pada umur lima tahun. Jika bunga
dibiarkan tumbuh, maka bunga tersebut (bunga betina) akan berubah menjadi
buah. Waktu penyadapan yang paling baik adalah pada saat buah masih
dalam fase degan atau buah nipah masih mudah. Pada fase ini tanaman
sedang aktif mengumpulkan bahan makanan untuk pembentukan biji. Fase ini
ditandai dengan isi biji yang berwarna putih bening dan lunak, seperti halnya
buah kelapa.
Sebelum penyadapan dimulai tangkai bunga nipah diberi perlakuan
khusus.

Perlakuan tersebut meliputi pemukulan, penggoyangan, dan

pelenturan tangkai tandan selama 3 hari. Setelah itu, distirahatkan selama 2-3
hari. Selanjutnya diulangi dengan perlakuan yang sama sampai seminggu
menjelang penyadapan. Semua perlakuan prasadap harus dilakukan secara
hati-hati, agar tidak terjadi kerusakan tangkai bunga yang akan disadap

II-108

sehingga penyadapan dapat berjalan dengan baik. Tandan yang dipilih harus
memenuhi persyaratan sadapan.

Persyaratan sadapan antara lain panjang

bidang sadapan harus lebih dari 45 cm dan diameter tangkai tandan sekurangkurangnya 3 cm. Tangkai buah dibersihkan dan dililitkan tali rotan tipis
terlebih dahulu sampai menutupi bagian yang besar dari tangkai bunga yang
akan disadap. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari kerusakan tangkai
tandan bunga sewaktu mengalami perlakuan.

2. Proses Penyadapan Nira Nipah


Waktu penyadapan yang paling baik adalah pada saat buah belum
menjadi tua, yakni pada fase buah nipah masih muda. Pada fase ini tanaman
nipah sedang aktif mengumpulkan bahan makanan untuk pembentukan biji.
Nira nipah dalam keadaan segar mempunyai rasa yang manis, tidak berwarna
dan berbau khas nira. Rasa manis ini disebabkan oleh kandungan sukrosa.
Penyadapan nipah mirip penyadapan dari keluarga palma lainnya.
Namun, saat penyadapan tidak diperlukan tangga untuk mencapai tangkai
buah yang akan disadap.

Cara penyadapan dilakukan dengan memotong

miring bidang sayatan dari tangkai buah atau mayang. Dengan cara ini, nira
yang dihasilkan akan lebih banyak dan keluar dengan lancar.

Hal ini

disebabkan karena pembuluh floem pada tanaman nipah terletak menyebar di


antara jaringan xilem. Sebelum penyadapan di mulai tangkai dibersihkan
terlebih dahulu.

Selanjutnya tali rotan yang dililitkan pada mayang

dilepaskan, bersamaan dengan itu waktu pengistirahatan perlakuan prasadap


yaitu seminggu sebelum penyadapan. Nira yang keluar dari tandan bunga
ditampung dengan menggunakan kantong plastik karena lebih praktis, mudah,
ekonomis, dan bersih dari kotoran-kotoran yang dapat mencemarkan nira.
Kantong plastik ini diikatkan pada leher tangkai sadap dengan tali rafiah atau
karet. Ikatannya harus kuat dan rapi agar air tidak masuk ke dalam kantong
plastik dan kantong tidak terlepas. Selain itu pengikatan yang rapi diharapkan
dapat mencegah kontaminasi dengan kotoran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
penyadapan nira nipah sangat baik dilakukan pada pagi dan sore hari, karena
pada saat itu tegangan turgor sedang naik sehingga nira yang diperoleh lebih

II-109

banyak. Banyaknya nira yang dihasilkan antara 0,5-2 liter setiap kali panen.
Di Papua Nugini rata-rata 1,8 liter per tandan per satu kali panen. Penyadapan
dapat berlangsung sekitar 40-60 hari bahkan bisa lebih lama tergantung pada
ketebalan sayatan tandan yang disadap dan tempat tumbuh tanaman serta
musim pada saat pemanenan.

3. Penanganan Nira Nipah Pascapanen


Nira yang sudah dikumpulkan dari hasil sadapan sebelum dimasak perlu
disaring dengan saringan agar bebas dari berbagai kotoran yang terikat bersama
dengan nira selama penyadapan berlangsung. Kotoran kasar tersebut dapat
berupa serangga, daun-daun dan sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan
dalam pengumpulan nira adalah usaha menghindari proses fermentasi oleh
mikroba dan enzim-enzim yang dapat mengurangi kemurnian nira nipah.
Karena kadar gula pada nira dapat mencapai 15%-20%, maka hal ini dapat
menjadi tempat yang ideal bagi perkembangan bakteri dan jamur. Oleh karena
itu sebelum nira tersebut dimasak menjadi gula perlu diawetkan terlebih dahulu
agar tahan paling tidak selama 12 jam sebelum diproses menjadi gula. Cara
pengawetan nira nipah yang baik agar tidak terjadi fermentasi oleh bakteri
mikroba dan enzim-enzim adalah menjaga kebersihan tempat penyimpanannya.
Di samping itu, nira yang telah dikumpulkan harus diberi kapur atau bahan
natrium benzoat atau natrium biculpit. Nira nipah yang baik untuk dijadikan
gula adalah yang mempunyai pH antara 6-7. Dan akan lebih baik lagi bila nira
nipah hasil sadapan tersebut segera diolah, setidak-tidaknya 12 jam setelah
ditampung. Bila penampungan nira nipah itu lebih dari 12 jam, kemurnian dan
kualitas gula yang dihasilkannya akan menurun.
Ada beberapa cara yang penting dalam usaha mencegah kerusakan nira
yaitu :
1. Wadah atau bumbung nira harus bersih dengan pencucian berulang-ulang,
kemudian dikeringkan/pengasapan di atas api kurang lebih 10 menit atau
beberapa pembilasan akhir ditambahkan natrium metasulfit atau natrium
benzoate 0,01 %.

II-110

2. Pencegahan juga dilakukan dengan menambahkan bahan larutan tertentu.


Jenis larutan yang biasa dipakai adalah : campuran sirih dengan irisin kulit
manggis atau manggis 15 g/10 liter, akar kawao (6,23 g/liter atau natrium
bisulfit (NaHSO3) 20 ml/l)
3. Nira diusahakan tidak terlalu lama di dalam bumbung sadapan karena
proses fermentasi terus berlangsung hanya saja prosesnya diperlambat.
Idealnya nira tidak lebih dari 12 jam dalam bumbung.

4. Sifat dan Kualitas Nira Nipah


Nira mempunyai sifat mudah menjadi asam karena adanya proses
fermentasi oleh bakteri Saccharomyces sp, di mana bakteri ini dapat merubah
gula menjadi alkohol, selanjutnya menjadi asam asetat. Oleh karena itu nira
harus segera diolah setelah diambil dari pohonnya (Soesono, 1992). Nira yang
tidak segera diolah akan menjadi rusak ditandai dengan warna nira menjadi
keruh atau putih berbuih, karena telah mengalami fermentasi. Warna menjadi
keruh seperti susu dan agak kekuning-kuningan seperti susu, rasa asam dan
bau menyengat. Hal ini disebabkan karena terjadi pemisahan sukrosa menjadi
gula reduksi. Adapun proses perubahannya sbb :
Sukrosa Glukosa dan Fruktosa Alkohol Asam Asetat
Karbondioksida dan Air.

Perubahan dari sukrosa sampai dengan alkohol

terlibat kegiatan ragi, selanjutnya ke asam asetat terlibat kegiatan bakteri dan
hasilnya berupa cuka yang berasa asam.
Nira yang disadap di tepi sungai/laut bila telah menjadi gula rasanya akan
agak asin, karena salinitasnya tinggi dan kandungan garamnya juga tinggi.
Sedangkan kawasan yang agak jauh dari tepi laut/sungai biasanya tingkat
kesuburan tanahnya lebih baik, sehingga hasil niranya pun akan lebih banyak
daripada nipah yang ada ditepi sungai/laut. Rasa manis pada nira disebabkan oleh
kandungan sukrosa.

Akan tetapi rasa manis ini juga tergantung dari tempat

tumbuh nipah dan juga dipengaruhi oleh musim, jika musim kemarau maka
derajat kemanisan nira akan tinggi tetapi bila musim hujan tiba maka tingkat
kemanisan akan berkurang karena diduga adanya air hujan yang merembes ke
dalam batang nipah maupun pada saat proses penyadapan.

II-111

2.5.5.5. Gula Kristal


Gula merupakan komoditas strategis mengingat keberadaannya sebagai
salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Peningkatan jumlah
penduduk, beragam menu makanan masyarakat dan tumbuhnya industri makanan
dan minuman telah menjadi pemicu meningkatnya kebutuhan akan gula.
Diperkirakan pada tahun 2020 ketika jumlah penduduk Indonesia mencapai 290
juta dan komsumsi 17,6 kg/kapita/tahun, kebutuhan gula nasional akan mencapai
5,1 juta ton. Gula sebagai pemanis yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan
dalam kegiatan industri makanan dan minuman adalah gula murni atau refinery
sugar karena dapat menghasilkan produk yang bermutu baik.
Gula yang kita kenal ada beberapa macam di antaranya: gula putih (gula
kristal), gula merah, gula semut dan gula cair fruktosa. Seperti halnya jenis gula
yang lain, gula putih atau yang biasa dikenal sebagai gula pasir atau gula kristal
merupakan senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan pemanis dengan
memanfaatkan nira dalam bentuk karbohidrat, di mana karbohidrat tersebut
disalurkan ke biji melalui jarigan floem yang secara alami diubah menjadi sukrosa
dan berbentuk nira.
Gula putih atau biasa dikenal dengan gula pasir atau gula kristal
merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan karbohidrat, rasanya manis
dan mudah larut dalam air. Sebuah gula adalah bentuk dari karbohidrat, jenis gula
yang paling sering digunakan adalah kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk
merubah rasa dan keadaan makanan atau minuman.

Gula sederhana seperti

glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam)
menyimpan energi yang digunakan oleh sel. Gula kristal merupakan gula bit atau
gula tebu berbentuk granulasi seperti gula pada umumnya yang dijual dalam
bentuk gula butiran/pasir atau dicetak dalam bentuk gula kubus.
Pada gula terdapat sukrosa yang bersumber dari tebu, jagung, mapel gula
(acer), shorgum (cantle), palma tertentu, dan madu. Selanjutnya dijelaskan bahwa
tinggi rendahnya kandungan sukrosa dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan,
jarak tempat pengolahan dengan tempat penyadapan serta bahan pengawet yang
digunakan untuk mempertahankan mutu nira. Gula secara umum adalah turunan

II-112

dari karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan pemanis di dalam industri
makanan dan disebut sukrosa.
1.

Proses Pembuatan Gula Kristal


Pada prinsipnya proses pembuatan gula pasir dari nipah ini sama
dengan cara pembuatan gula pasir dari tebu, hanya saja pada nipah tidak
perlu menggunakan alat penggiling seperti pada penggilingan tebu. Nira
nipah

tidak

mengandung

ampas

seperti

halnya

tebu,

sehingga

penyaringannya pun lebih mudah. Tahap yang penting dalam pembuatan


gula putih yaitu ekstraksi nira, penjernihan, penguapan, kristalisasi,
pemisahan kristal dan pengeringan. Gula kristal dapat dibuat melalui 2 cara
yaitu cara tradisional (langsung) dan cara moderen (tidak langsung).
Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat yang moderen pada proses
moderen sedangkan cara tradisional tidak. Secara garis besar tahap-tahap
proses pembuatan gula putih adalah :
1. Penjernihan dengan penambahan kapur setelah pemanasan nira
mencapai suhu antara 60 900C.
2. Pompa vakum dihidupkan untuk membuang uap air yang dihasilkan dari
proses

penguapan.

Proses

penguapan

dimaksudkan

untuk

menghilangkan sebagian air yang terdapat dalam nira dari hasil


penjernihan.
3. Pengentalan dari sirup (consentrating).
4. Pengeringan menjadi gula pasir.
5. Pengepakan dan pengemasan.
2.

Pengaruh Lama Penyimpan


Pada saat pemanenan atau pegolahan bahan pangan akan
dihasilkan mutu yang lebih baik, tetapi hal ini hanya berlangsung sementara.
Tergantung lama bahan tersebut disimpan, beberapa bahan pangan dapat
menurun mutunya dalam satu atau dua hari, atau dalam beberapa jam setelah
pemanenan. Efek kerusakan ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba,
keaktifan enzim, gangguan serangga, pengaruh pemanasan, pendinginan dan
kadar air

Pada umumnya waktu yang lebih lama akan menyebabkan

kerusakan bahan yang lebih besar, kecuali untuk bahan-bahan tertentu

II-113

misalnya pada keju, minuman anggur dan lain-lain. Bahan pangan dalam
kondisi penyimpanan normal akan mengalami reaksi-reaksi atau perubahan,
sehingga bahan pangan tersebut tidak dapat dipakai lagi. Setiap perubahan
dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah diolah dimana
perubahan sifat-sifat kimiawi dan fisik dari bahan pangan tersebut
mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen.
Nira merupakan bahan yang mudah sekali mengalami kerusakan
oleh mikroba yang ada dalam nira. Kehadiran mikroorganisme dalam nira
akan mempercepat proses fermentasi gula yang terdapat dalam nira sehingga
menyebabkan nira menjadi cepat rusak.

Kerusakan nira nipah ditandai

dengan perubahan rasa yang menjadi asam, berbuih dan berlendir.


Kerusakan ini dapat menurunkan kualitas gula yang dihasilkan. Oleh sebab
itu, nira yang telah disadap harus secepatnya diolah dan

apabila disimpan

maka nira harus di beri bahan pengawet berupa buli, kulit pohon manggis,
dan natrium metabisulfit. Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan
bahan pengawet ke dalam tempat penampungan sebelum nira diolah lebih
lanjut. Setelah itu, sebaiknya nira segera dimasak.

2.6. Bahan Diskusi


Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut :
1. Membuat paper dengan judul :
I.

Pemanfaatan tumbuhan monokotil oleh masyarakat sekitar hutan

II.

Potensi Budidaya Rotan di Indonesia

III. Potensi Budidaya Bambu di Indonesia


IV. Potensi Budidaya Sagu di Indonesia
V.

Potensi Budidaya Nipah di Indonesia

VI. Potensi Budidaya Aren di Indonesia


Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar,
menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New
Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar
pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.

II-114

2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point


3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di
depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.

2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/
2.8. Latihan Soal-Soal
1. Tuliskan karakteristik HHBK monokotil
2. Tuliskan perbedaan dikotil dan monokotil
3. Tuliskan pembagian monokotil berdasarkan famili.
4. Tuliskan potensi dan penyebaran rotan baik di dunia dan khususnya di
Indonesia
5. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan
masing-masing jenis di Indonesia.
6. Tuliskan karakteristik HHBK bambu.
7. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu baik di dunia dan khususnya di
Indonesia
8. Tuliskan pemanfaatan sagu di dalam dan luar negeri.
9. Tuliskan jenis-jenis sagu yang dimanfaatkan.
10. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu.
11. Tuliskan potensi sagu berdasarkan data-data terbaru yang tersedia.
12. Tuliskan pemanfaatan sagu bagi masyarakat dan aspek ekologinya.
13. Tuliskan potensi dan penyebaran aren baik di Indonesia
14. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan
masing-masing jenis di Indonesia.
15. Tuliskan potensi dan penyebaran nipah.
16. Tuliskan potensi nipah berdasarkan data-data terbaru yang tersedia.
17. Tuliskan pemanfaatan nipah bagi masyarakat dan aspek ekologinya.
18. Tuliskanjenis-jenis pemanfaatan nipah terutama nira nipah.

II-115

2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Astawan, M. 1989. Teknologi Sederhana Pembuatan Gula Pasir. Teknologi No.
2, th III/Juni 1989, hal 32 dan 33. PT. Dharma Yasamas Teknindo,
Jakarta.
Bandini, Y. 1996. Nipah Pemanis Alami Baru. Penebar Swadaya. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 2002. Jakarta.
Bolin, H.R dan Jackson, R. 1986. Journal of Food Processing and Preservation.
Vol. IX, No. 1. Food and Nutrition, Inc. Westport, Connecticut.
Buckle, K.A., R.A. Edwards G.H. Fleet, M.Wootton. 1987.
(terjemahan). Universitas Hasanuddin Press. Jakarta.

Ilmu Pangan

Harsanto, P.B. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit Kanisius. Jakarta.


Citrosupomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.BioPengolahan Rotan Lepas Panen. Prosea
Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan
Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990.
Departemen Kehutanan. Jakarta

Pengembangam Budidaya Bambu.

Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statitistik . 2004. Potensi Hutan Rakyat
Indonesi. Jakarta
Departemen Pertanian. 2002. Berita Standarisasi dan Mutu Kegunaan Pangan.
Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Jakarta.
Dransfield S., and E. A. Widjaya. 1996. Plant Resources of South-East
Rattan. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia

Asia 6.

Dransfield, S. and E. A. Widjaya. 1995. Prosea. Plant Resources of South-East


Asia. No. 7. Bogor Indonesia.
Elsppat, T. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Puspa Swara. Jakarta
FAHN, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Fardiaz S, Winarno F.G, dan Dedi F. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT
Gramedia. Jakarta.
II-115

Food-Info net Gula. 2007. Jenis-jenis Gula dan berbagai Produk Terkait. An
iniatiave
of
Wageningen
University,
The
Netherlands.
Http://www.produk.makanan.com [18 Oktober 2007]

Heyne, K. 1979. Tumbuhan Berguna Indonesia I.


Kehutanan. Jakarta.

Litbang Departemen

Hutabarat, BSM. 1998. Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional.


Gula Indonesia. Vol XXIII/4 ISSN 0216/2954. Hal 27
http//www//: inbar
Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Karyadi, M. Hatibu dan M.T Andarias. 1975. Penelitian Mutu Gula Merah di
Sulawesi Selatan. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian Kimia,
Makassar
Litbang Kehutanan. 2000. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu.
Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Indonesia
Lutony, T.L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Matanubun H, dan L. Maturbongs. 2005. Sago Palm Potential, Biodiversity and
Socio-Cultural Considerations for Industrial Sago Development in Papua,
Indonesia. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium.
Universitas Negeri Papua, Manokwari.
Moctar, H.M. 1996. Penafsiran Produk dan Masakan Rafinasi. Gula Indonesia,
Vol XX1/2-3.
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula
di Indonesia. Institut Teknologi Bandung
Polunin N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Polunin, N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Gadjah Mada University Press.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.

II-116

Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan. 1996. Jakarta


Rachman, A.K, dan Y. Sudarto. 1992. Nipah Sumber Pemanis Baru. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Rampengan, V, J. Pontoh dan D.T Sembel. 1985. Dasar-Dasar Pengawasan
Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia
Bagian Timur. Makassar.
Sardjono, E.A. Basrah, dan S. Oyok. 1987. Penelitian Pengemasan Gula Merah
Cetak. Warta Info Hasil Hutan Vol 4, No. 1.
Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Aditya Media.
Soesono, S. 1992. Bertanam Aren. Penebar Swadaya. Jakarta
Somaatmadja, D. 1980. Ketela sebagai Bahan Pembuatan Gula.
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia edisi 5.

Buletin

Sudarnadi H. 1995. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya. Jakarta.


Sutiyono dkk. 1996. Paket Modul Partisipatif: Budidaya Bambu Guna
Meningkatkan Produktivitas Lahan. Prosea Indonesia. Yayasan Prosea.
Bogor Indonesia.
Sumiasri, N. 1995. Pemanfaatan Nipah (Nypah fruticans Wurmb) oleh Beberapa
Suku Bangsa di Indonesia. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional
Etnobotani II, Ikatan Pustakawan Indonesia, Jakarta.
Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium
Bogoriense. Bogor Indonesia.
Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI Balai Penelitian
Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia.
Wikipedia Indonesia. 2007. Gula. Wikipedia Indonesia,
Http://id.wikimedia.org/wiki/Gula. [27 Juli 2007].

Jakarta.

Zulnely. 2002. Beberapa sifat Buah Nipah (Nypah fruticans). Info Hasil Hutan
Vol. 9 No. 1.

2.8. Latihan Soal-Soal


1. Tuliskan karakteristik HHBK monokotil
2. Tuliskan perbedaan dikotil dan monokotil

II-117

3. Tuliskan pembagian monokotil berdasarkan famili.


4. Tuliskan potensi dan penyebaran rotan baik di dunia dan khususnya di
Indonesia
5. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan
masing-masing jenis di Indonesia.
6. Tuliskan karakteristik HHBK bambu.
7. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu baik di dunia dan khususnya di
Indonesia
8. Tuliskan pemanfaatan sagu di dalam dan luar negeri.
9. Tuliskan jenis-jenis sagu yang dimanfaatkan.
10. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu.
11. Tuliskan potensi sagu berdasarkan data-data terbaru yang tersedia.
12. Tuliskan pemanfaatan sagu bagi masyarakat dan aspek ekologinya.
13. Tuliskan potensi dan penyebaran aren baik di Indonesia
14. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan
masing-masing jenis di Indonesia.
15. Tuliskan potensi dan penyebaran nipah.
16. Tuliskan potensi nipah berdasarkan data-data terbaru yang tersedia.
17. Tuliskan pemanfaatan nipah bagi masyarakat dan aspek ekologinya.
18. Tuliskanjenis-jenis pemanfaatan nipah terutama nira nipah.

II-118

BAB III. MINYAK ATSIRI


Tujuan Umum
Menjelaskan tentang HHBK minyak atsiri; tanaman penghasil minyak atsiri;
karakteristik bahan baku minyak atsiri dan metode ekstraksi minyak atsiri dari
beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara pengujian
beberapa produk minyak atsiri dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan kayu putih, minyak eukaliptus dan minyak nilam sebagai produk
hasil hutan bukan kayu dari golongan minyak atsiri

3.1.

Pengertian HHBK Minyak Atsiri


Di alam ini kita mengenal ada tiga jenis minyak utama yaitu minyak bumi,

minyak dari hayati (nabati dan hewani) yang terdiri dari minyak dan atau lemak,
dan yang khusus diproduksi oleh tanaman adalah adanya minyak atsiri (essential
oil). Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak terbang atau minyak eteris
(essential oil atau volatile). Minnyak atsiri dapat dihasilkan dari berbagai
tanaman,seperti akar, batang, ranting, daun, bunga, atau buah. Jenis tanaman
penghasil minyak atsiri ada 150 200 spesies. Sementara itu, minyak atsiri yang
beredar di pasaran dunia ada sekitar 70 jenis. Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis
tanaman penghasil minyak atsiri.
Minyak atsiri merupakan kelompok besar minyak nabati yang berwujud
cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan
aroma yang khas. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal sebagai
bibit minyak wangi. Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya
rendah.
Minyak atsiri atau minyak eteris adalah minyak yang bersifat menguap,
yang terdiri dari campuran zat yang menguap, dengan komposisi dan titik didih
yang berbeda-beda. Minyak atsiri juga disebut minyak terbang (menguap) pada
suhu kamar (250C) tanpa mengalami dekomposisi. Aroma minyak atsiri umumnya
khas sesuai dengan jenis tanamannya. Minyak atsiri bersifat mudah larut dalam

III-1

pelarut organik, tapi tidak larut air. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada
tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi yaitu : membantu proses penyerbukan
dengan menarik beberapa jenis serangga, mencegah kerusakan tanaman oleh
serangga, dan sebagai cadangan makanan bagi tanaman.
Bau khas dari tanaman ternyata ditimbulkan secara biokimia sejalan
dengan perkembangan proses hidupnya sebagai suatu produk metabolit sekunder
yang disebut minyak atsiri. Minyak ini dihasilkan oleh sel tanaman atau jaringan
tertentu dari tanaman secara terus menerus sehingga dapat memberi ciri tersendiri
yang berbeda-beda antara tanaman satu dengan tanaman lainnya. Minyak ini
bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi tersusun oleh gabungan dari berbagai
senyawa pencetus bau lainnya yang jenis, sifat dan khasiatnya berbeda. Secara
kimia tersusun dari berbagai macam komponen yang secara garis besar terdiri dari
kelompok terpenoid dan fenil propana. Melalui asal usul biosintetik, minyak atsiri
dapat dibedakan menjadi turunan terpenoid dan fenil propanoid. Adapun sifat
sifat minyak atsiri yaitu : memiliki bau khas yang mewakili bau tanaman aslinya;
memiliki rasa getir, berasa tajam, menggigit, memberi rasa hangat sampai panas
atau justru dingin ketika dikulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya;
bersifat tidak dapat disabunkan dengan alkali dan tidak berubah menjadi bau
tengik, berbeda dengan minyak lemak; tidak dapat bercampur dengan air,tetapi
dapat memberi baunya pada air walaupun kelarutannya sangat kecil; sangat mudah
larut dalam pelarut organik.
Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri.
Jenis yang telah lama dikenal adalah minyak kayu putih, minyak nilam, sedangkan
minyak eukaliptus (leda) belum diusahakan walaupun dikawasan timur Indonesia
adalah termasuk jenis yang banyak tumbuh secara alami..

3.2.

Tanaman Penghasil Minyak Atsiri

3.2.1. Melaleuca Leucadendron Linn


Sistematika Pohon Kayu Putih
Sistematika pohon kayu putih menurut adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

III-2

Sub Divisio

: Angiospermae

Class

: Dicotyledonae

Ordo

: Myrtales

Family

: Myrtaceae

Genus

: Melaleuca

Species

: Melaleuca Leucadendron Linn

Taksonomi pohon kayu putih ini adalah berupa pohon atau perdu dengan
tinggi 10-20 m, kulit batangnya berlapis-lapis, berwarna keabu-abuan dengan
permukaan kulit yang terkelupas tidak beraturan. Batang pohonnya tidak terlalu
besar, dengan percabangan menggantung ke bawah. Daun tunggal, agak tebal
seperti kulit, bertangkai pendek, letak berseling. Helaian daun berbentuk jorong
atau lanset, panjang 4,5 - 15 cm, lebar 0,75 - 4 cm, ujung pangkalnya runcing, tepi
rata, tulang daun hampir sejajar. Permukaan daun berambut, warna hijau kelabu
sampai hijau kecoklatan. Daun bila diremas atau dimemarkan berbau minyak
kayu putih. Perbungaan majemuk bentuk bulir, bunga berbentuk seperti lonceng,
daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna putih kekuningan, keluar di
ujung percabangan. Buah panjang 2,5 - 3 mm, lebar 3 - 4 mm. Warnanya coklat
muda sampai coklat tua. Bijinya halus, sangat ringan seperti sekam, berwarna
kuning kecoklatan. Ada beberapa varietas pohon kayu putih, ada yang kayunya
berwarna merah dan ada yang kayunya berwarna putih.

Penyebaran
Di Indonesia tegakan kayu putih terutama terdapat di sebelah timur
kepulauan Indonesia (Seram, Buru, NTT) dan di pulau Jawa. Selain di Indonesia,
tanaman kayu putih terdapat pula di Australia dan kawasan Asia Tenggara dengan
daerah penyebarannya mulai dari dataran hingga daerah pegunungan.

Tempat Tumbuh dan Nama Daerah


Pohon kayu putih tidak memerlukan persyaratan dan jenis tanah tertentu,
dapat tumbuh pada tanah yang dangkal berbatu-batu, lembab berawa-rawa dengan
variasi kesuburan mulai dari yang tidak subur dan gersang sampai tanah yang baik
dan subur. Di Australia yang merupakan sumber utama tanaman kayu putih,

III-3

tanaman ini dapat tumbuh pada tanah podsol, laterit, alluvial dengan banyak
variasi batuan induk yang terdiri dari batuan pasir, granit dan sedimen.
Pertumbuhannya cepat dan selalu hijau sepanjang tahun. Tahan terhadap air asin,
angin dan kekeringan dan tahan pula terhadap kebakaran. Jika tanaman kayu
putih terbakar, tunasnya akan segera muncul kembali dan ternyata lebih cepat jika
dibandingkan dengan jenis-jenis kayu lainnya.
Tanaman kayu putih ini tumbuh baik mulai dari dataran rendah sampai
daerah pegunungan (0 - 1000 m dpl), bahkan masih dapat tumbuh di daerah
dengan ketinggian 1500 m dpl. Di Irian Jaya di sekitar danau Sentani (200 m dpl),
kayu putih banyak dijumpai tumbuh secara alami dengan ukuran pohon besar.
Tanaman ini dikenal di Indonesia dengan beberapa nama menurut
daerahnya masing-masing seperti Gelam (Sunda, Jawa), Ghelam (Madura),
Inggolom (Batak), Gelam;Kayu gelam;Kayu putih (Melayu), Bru gelang;Waru
gelang (Sulawesi), Nggielak;Ngelak (Roti), Iren;Sekaten (Piru), Irano (Amahai),
Ai kelane (Hila), Irono (Haruku), Ilano (Nusa Laut Saparua), Elan (Buru).

Minyak Kayu Putih (Cajeput Oil)


Minyak atsiri yang dihasilkan dari proses penyulingan daun kayu putih
disebut dengan minyak kayu putih atau dalam perdagangan dikenal dengan nama
Cajeput oil. Aroma minyak kayu putih sangat khas dan minyaknya memberikan
rasa hangat pada kulit. Minyak kayu putih hingga saat ini banyak digunakan
dalam industri farmasi, khususnya sebagai obat gosok kulit, sebagai penghangat
tubuh, atau sebagai pengusir serangga khususnya nyamuk.
Minyak Kayu Putih bisa berasal dari beberapa jenis pohon seperti M.
leucadendron dan Eucalyptus spp. Namun yang paling populer di Indonesia
umumnya minyak kayu putih yang berasal dari M. leucadendron atau Melaleuca
cajuputi. Melaleuca ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda di Indonesia dan
di mancanegara. Pohon ini juga mampu tumbuh di daerah dengan curah hujan
rendah maupun curah hujan tinggi. Namun pohon yang menghasilkan rendemen
minyak kayu putih yang tinggi umumnya berasal dari daerah kering.

III-4

1. Sifat Fisik
Minyak kayu putih yang kasar berwarna biru sampai hijau. Sedangkan
minyak kayu putih yang telah dimurnikan berwarna kuning sampai tidak
berwarna dan berbau seperti kamper. Minyak kayu putih yang murni bila
dikocok di dalam botol, maka gelembung-gelembung yang terbentuk di
permukaan akan cepat menghilang. Bila minyak kayu putih dipalsukan, yaitu
dicampur dengan minyak tanah atau bensin, maka gelembung-gelembung yang
terbentuk setelah dikocok tidak akan cepat hilang.
2. Kandungan dan Sifat Kimia
Senyawa aktif yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih adalah
1,8-sineol 50-65%, linalool, alfaterpineol, terpinen 4-ol,terpinil asetat, pinene,
nerolidol, laevo-pinene, 20(29)-ene-3beta, 17beta-diol, (2E,6E)-farnesol, fitol,
squalene,

alloaromadendrene,

ledene,

palustrol,

viridiflorol,

ledol,

betulinaldehid, asam betulinat, asam 3beta-asetil-lup-20(29)-en-28-at, asam 3oxolup-20(29)-en-28-oat,

asam

platanat,L-limonen,

dipenten,

azulen,

sesquiterpen, valerianik aldehid dan benzaldehide. Minyak kayu putih dapat


larut dalam alkohol, ester, benzil benzoat dan tidak larut dalam gliserin.
3. Kegunaan
Minyak kayu putih digunakan sebagai obat-obatan dan wangi-wangian.
Sebagai obat, minyak kayu putih dapat bersifat analgesik dan stimulan. Kayu
putih digunakan untuk obat gosok maupun obat diminum, mengurangi kejang,
sakit kepala, kuping, sakit gigi, reumatik, sakit dada, kejang di kaki, bengkak,
luka iris, luka bakar, sakit otot dan juga sebagai bahan insektisida dan
perfumeri.

Perlakuan Pasca Panen


Pemanenan daun kayu putih sudah dapat dilakukan setelah tanaman
berumur 2 tahun. Produksi dapat berlangsung sampai pohon berusia 30 tahun,
tergantung pada pemeliharaan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan minyak
kayu putih adalah helai daun kurang lebih 20 cm dari pucuk. Daun sebaiknya
disuling dalam keadaan segar, karena penyimpanan akan menurunkan kualitas
minyak. Namun, penyulingan daun dalam keadaan segar sukar dilaksanakan,

III-5

karena jumlah daun kayu putih hasil panen tidak selalu sama dengan kapasitas
ketel, sehingga perlu dilakukan penyimpanan.
Penyimpanan dilakukan tidak lebih dari satu minggu dengan menebarkan
di lantai setinggi kurang lebih 20 cm pada suhu kamar, di tempat kering dengan
sirkulasi udara terbatas. Bila daun dimasukkan ke dalam karung, min minyak
yang dihasilkan akan berbau apek dan kadar sineolnya menjadi rendah.

Kualitas Minyak Kayu Putih


Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas minyak kayu putih

secara

umum adalah jenis tanaman, cara penyimpanan dan proses penyulingan. Mutu
minyak kayu putih dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu mutu Utama (U) dan
mutu Pertama (P). Keduanya dibedakan oleh kadar sineol yang terdapat dalam
minyak kayu putih tersebut.
Selama penyulingan berlangsung, jumlah dan kualitas minyak yang
tersuling akan terus menurun. Penurunan jumlah minyak disebabkan oleh minyak
yang terkandung dalam daun makin lama makin berkurang. Penurunan kualitas
disebabkan oleh kadar sineol yang sebagian besar sudah tersuling pada awal
penyulingan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang rendah. Bila
penyulingan minyak dilakukan tanpa pemisahan ke dalam fraksi menurut periode
penyulingan, akan diperoleh campuran minyak dengan kadar sineol tinggi dan
rendah yang tidak memenuhi persyaratan ekspor. Untuk mengatasi hal tersebut
minyak perlu ditampung dalam dua atau tiga tempat penampungan menurut
periode waktu penyulingan. Dengan cara tersebut akan diperoleh minyak dengan
tiga kualitas yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Berdasarkan ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia (SNI), syarat
mutu minyak kayu putih yang diperkenankan adalah seperti yang terlihat pada
tabel berikut:
Tabel 3.1. Persyaratan mutu minyak kayu putih
No
1
2
3
4

Persyaratan
Berat Jenis pada 15C
Indeks Bias pada 20C
Putaran Optik pada 27,5C
Kelarutan dalam alkohol 80 %

Nilai atau Komposisi


0,90-0,93
1,46-1,47
(-4) - 0
Jernih pada perbandingan 1: 1 sampai
1: 10
III-6

Tabel 3.1. Lanjutan


No

Persyaratan
Minyak lemak
Minyak pelikan
Kadar sineol mutu Utama (U)
Kadar sineol mutu Pertama (P)
Uji bau

5
6
7
8
9

Nilai atau Komposisi


Negatif (tidak diperkenankan)
Negatif (tidak diperkenankan)
55 %
< 55 %
Bau khas minyak kayu putih

3.2.2. Eucalyptus deglupta


Sistematika dan Morfologi Leda
Sistematika tanaman leda menurut adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub division : Angiospermae


Class

: Dicotyledonae

Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus

: Eucalyptus

Species

: Eucalyptus deglupta

Pohon ini mempunyai batang tegak, tinggi dan bertajuk pohon tinggi.
Kulitnya sangat licin yang sebagian putih tapi terus-menerus mengelupas tidak
teratur. Tinggi pohon leda sekitar 10-25 m dengan kulit berwarna coklat sampai
abu kecoklatan, daun berbentuk bulat telur memanjang sampai bentuk lanset,
bunga berbentuk payung

dan buah berbentuk lonceng. Bulan April Juli

merupakan musim berbunga leda, buah yang masak berwarna hijau tua sampai
hitam.
Tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi curah hujan
dan suhu yang tinggi sepanjang tahun serta mampu tumbuh dengan cepat.
Tumbuhan ini berbuah dan berbiji dengan cepat pada usia yang dini dan patahan
pohon muda akan dengan cepat membentuk ranting baru. Tumbuhan ini dapat
tumbuh pada tanah berpasir, terdapat abu vulkanik (dengan pH 6 7,5) dan
mampu tumbuh dengan baik pada tanah liat vulkanik yang memilki status nutrisi
rendah. Tanaman ini banyak dijumpai di Australia, Papua New Guinea, Timor
dan kepulauan Filipina. Selain itu, tanaman ini juga dikembangkan di Algeria,

III-7

Spanyol, Amerika Selatan, Kongo, Belgia dan bagian lain di dunia menggunakan
bibit berasal dari Australia.

Minyak Eukaliptus (Eucalyptus oil)


Pohon eukaliptus merupakan tanaman yang dapat menghasilkan minyak
atsiri. Ada beberapa jenis eukaliptus yang diketahui sebagai penghasil minyak
atsiri dan minyak atsiri yang dihasilkannya mempunyai sifat-sifat yang berbedabeda. Minyak atsiri yang dihasilkan dari pohon eukaliptus dikenal sebagai minyak
eukaliptus. Minyak ini diperoleh dari proses destilasi daun dan ranting pohon
eukaliptus. Minyak eukaliptus yang sering diproduksi secara besar hanya minyak
yang kaya akan sineol dan diperoleh melalui proses destilasi untuk memisahkan
komponennya melalui titik didih. Pada proses penyulingan minyak eukaliptus ini
akan mengapung di atas air karena memiliki berat jenis yang rendah sehingga
dapat dipisahkan dengan mudah. Hasil penyulingan dari daun ini menghasilkan
rendemen yang bervariasi tergantung jenis eukaliptus. Jenis kayu eukaliptus yang
telah banyak dikembangkan adalah E. radiata, E. globulus, E. polybractea, E.
kochii ssp., E. horistes, E. loxophleba. Namun minyak eukaliptus dengan banyak
kompenen dan rendemen diperoleh dari jenis E. polybractea.
Eukaliptus merupakan tanaman asli Australia yang mengandung minyak
dengan bahan kimia sehingga banyak dimanfaatkan dalam farmasi. Hasil sulingan
dari daun eukaliptus mengandung komponen sineol yang paling banyak dan paling
aktif. Sineol merupakan penentu mutu dari minyak eukaliptus dan minyak yang
dihasilkan dengan proses penyulingan uap memiliki karakteristik aroma dan
kandungan sineol tertentu.
Di daerah Australia hasil penyulingan minyak eukaliptus menghasilkan
kadar sineol yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Jenis E. aromaphloia, E.
badjensis, E. cephalocarpa,

E. cinerea, E. globulus, E. goniocalyx, E.

kartzoffiana, E. mannifera subsp. Maculosa, E. nicholii,

E. perriniana, E.

saxatilis, E. smithii.

III-8

Rendemen dan Kadar Sineol Minyak Eukaliptus


Rendemen adalah perbandingan volume bahan yang dihasilkan (output)
terhadap volume bahan bakunya (input) yang dinyatakan dalam persen. Tinggi
rendahnya rendemen dalam suatu proses produksi dapat dijadikan suatu kriteria
(ukuran) keberhasilan proses produksi tersebut.

Rendemen merupakan dasar

dalam perhitungan biaya produksi. Rendemen yang dihasilkan berbeda-beda


tergantung

jenis

tumbuhan,

varietas,

tempat

pembudidayaan

dan

cara

melaksanakan penyulingan.
Selama penyulingan berlangsung, jumlah dan mutu minyak yang tersuling
akan terus menurun. Penurunan jumlah minyak disebabkan oleh minyak yang
terkandung dalam daun makin lama makin berkurang. Penurunan mutu
disebabkan oleh kadar sineol yang sebagian besar sudah tersuling pada awal
penyulingan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang rendah. Bila
penyulingan minyak dilakukan tanpa pemisahan ke dalam fraksi menurut periode
waktu penyulingan. Dengan cara tersebut akan diperoleh minyak dengan tiga
mutu yaitu tinggi, sedang dan rendah. Mutu merupakan suatu tolak ukur yang
telah melekat dalam semua aspek kehidupan manusia modern. Untuk minyak
atsiri, mutu minyaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: jenis atau
varietas tanaman, umur tanaman sebelum
dipanen, perlakuan bahan mentah sebelum penyulingan, cara penyulingan, bahan
alat penyulingan, perlakuan terhadap minyak sesudah penyulingan dan
penyimpanan minyak.
Minyak eukaliptus tersusun atas sineol 70-88%, asam butirat, aldehida, dan
prenena. Minyak leda tidak larut dalam air, tidak berwarna sampai sedikit kuning,
larut dalam alkohol 70% sampai 90% dan pelarut-pelarut organik, indeks refraksi
1,4580-1,4700, berat jenis 0,905-0,925 (25 C), putaran optik -5 sampai +5,
berbau khas seperti kamper.
3.2.3. Pogostemon heyneanus Benth
Bagi tanaman nilam, minyak yang dikandungnya mampu menarik
kehadiran serangga penyerbuk sekaligus aromanya dapat mengusir serangga
perusak tanaman, yang pasti ia berfungsi sebagai cadangan makanan bagi tanaman

III-9

itu. Daun nilam yang kering mengandung 1,4%-4% minyak atsiri, minyak ini
mengandung sekitar 40% patchouli alcohol. Komponen penting penyusun minyak
nilam (Patchouli Oil) meliputi Patchouli alcohol, Patchouli camphor, Eugenol,
Benzaldehyde, Cinnamic aldehuyde dan Cadinene. Tetapi komponen penyusun
yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah Patchouli alcohol yang
kadarnya tidak kurang dari 30%.
Tanaman nilam merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang terdiri
dari berbagai jenis, dimana setiap jenis memiliki kadar dan kualitas minyak yang
berbeda, antara lain :
1.

Pogostemon cablin Benth


Nilam jenis ini terdapat di Filipina, Brazilia, Malaysia, Paraguay,
Madagaskar dan Indonesia. Di Indonesia nilam jenis ini lebih populer
dengan sebutan nilam Aceh. Daunnya agak membulat seperti jantung, di
bagian bawah daun terdapat bulu-bulu rambut sehingga warnanya nampak
pucat. Nilam jenis ini tidak atau jarang sekali berbunga

2.

Pogostemon heyneanus Benth


Nilam jenis ini sering tumbuh secara liar di pekarangan-pekarangan rumah
atau ditempat yang jarang dijamah oleh manusia. Oleh karena itu disebut
nilam hutan, juga disebut nilam jawa. Daunnya lebih tipis daripada daun
nilam jenis pogostemon cablin Benth dan ujungnya agak runcing.

3.

Pogostemon hortensis Backer


Nilam jenis ini dapat digunakan sebagai pengganti sabun, sehingga disebut
nilam sabun. Bentuknya hampir sama dengan Pogostemon heyneanus.
Daunnya tipis, ujung daun agak runcing dan tidak berbunga
Dari ketiga jenis nilam tersebut, nilam yang mempunyai kadar minyak atsiri

yang paling tinggi adalah nilam Aceh. Jika nilam sabun dan nilam hutan rata-rata
hanya mengandung rendemen minyak atsiri antara 0,5%-1,5%. Kadar minyak
atsiri nilam Aceh rendemennya mencapai 2,5%-5,0%. Oleh sebab itu pula, nilam
Aceh merupakan jenis yang sangat tepat dipilih guna dibudidayakan secara
komersial.

III-10

Sistematika dan Morfologi


Sistematika dari tanaman nilam jawa (Pogostemon heyneanus Benth)
adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Division

: Spermatophyta

Sub division

Angiospermae

Class

Dicotyledonae

Ordo

Tubiflorae

Family

Labiatae

Genus

Pogostemon

Species

Pogostemon heyneanus Benth

Tanaman nilam yang termasuk famili Labitae memiliki ciri-ciri yaitu akar
serabut, bentuk daun tunggal yang berbentuk bulat telur dan lonjong, melebar di
tengah, meruncing ke ujung dan tepinya bergerigi. Tulang daunnya bercabangcabang ke seluruh penjuru. Batang berkayu dengan diameter 10-20 mm, lunak dan
berbuku-buku, batangnya mengembang dan berair, berwarna hijau kecoklatan dan
percabangannya bertingkat mengelilingi batang antara 3-5 cabang bertingkat.
Setelah berumur enam bilan, tingginya mencapai 1 meter dengan radius cabang 60
cm.
Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Nilam yang lebih dikenal dengan nama ilmiah pogostemon sp., telah
dikenal sejak lama di Indonesia. Daerah asalnya tidak diketahui secara pasti. Ada
yang mendakwanya berasal dari India dan ada pula yang menduga dari Srilangka
bahkan Filipina. Yang jelas, semenjak tahun 1653 tanaman ini telah digunakan
orang untuk keperluan mandi karena aromanya yang khas dan harum.
Tahun 1895, seorang Belanda membawa tanaman nilam yang berasal dari
Filipina di Indonesia dan untuk pertama kalinya nilam ditanam sebagai tanaman
sela diperkebunan kopi di kaki gunung Pasaman, Sumatera Barat. Seusai perang
Aceh, tanaman ini mulai menyebar ke daerah sekitar Aceh serta ditanam sebagai
tanaman sela di perkebunan tembakau dan kelapa sawit. Kemudian pada tahun
1920, pemerintah Belanda mendirikan unit-unit usaha penyulingan minyak nilam

III-11

di daerah tersebut dan terbukti hasilnya tidak sia-sia sebab hingga kini proses
penyulingan minyak nilam tetap berlangsung.
Tanaman nilam dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur
dan banyak mengandung bahan organis. Jenis tanah yang dapat ditumbuhi adalah
regosol, latosol, dan alluvial. Tekstur tanahnya adalah lempung berpasir, atau
lempung berdebu dan keasaman tanah antara pH = 6-7, mempunyai daya resapan
tanah yang baik dan tidak menyebabkan genangan air pada musim hujan.
Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah maupun pada dataran tinggi yang
mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi nilam
akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada ketinggian tempat 10-400
meter di atas permukaan laut. Tanaman ini menghendaki suhu yang panas dan
lembab serta memerlukan curah hujan yang merata yaitu berkisar antara 23003500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun, sedangkan suhu yang baik untuk
tanaman ini adalah 240C-280C dengan kelembaban lebih dari 75%.

Pemanenan
Panen pertama dapat dilakukan 7-9 bulan setelah tanam dan panen
berikutnya dapat dilakukan setiap 3-4 bulan sekali, hingga umur produktif 3 tahun.
Setelah umur produktif terlampaui, tanaman harus diremajakan. Waktu
pemanenan nilam harus dilakukan pagi atau sore hari. Panen nilam tidak dapat
dilakukan pada siang hari ketika panas hari cukup menyengat. Hal ini disebabkan
karena pada siang hari, sel-sel pada daun masih menjalani proses metabolisme
sehingga dapat mengurangi laju pembentukan minyak. Selain itu akan
menyebabkan terjadinya proses transpirasi daun yang lebih cepat dan kondisi daun
menjadi kurang elastis serta mudah sobek. Kesemuanya akan mengakibatkan
jumlah minyak yang dihasilkan menurun.
Sebelum proses penyulingan biasanya dilakukan perlakuan pendahuluan
terhadap bahan yang akan disuling. Perlakuan tersebut yaitu pengeringan atau
pelayuan dan pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran

perlu dilakukan karena

minyak atsiri di dalam tanaman dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluhpembuluh, kantong minyak atau rambut glandular. Apabila bahan dibiarkan utuh,
kecepatan pengeluaran minyak hanya tergantung dari proses difusi yang

III-12

berlangsung sangat lambat. Pengeringan atau pelayuan bertujuan untuk


menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga penyulingan berlangsung lebih
mudah dan lebih singkat. Selain itu, juga bertujuan untuk menguraikan zat yang
tidak berbau wangi menjadi wangi. Pengeringan nilam biasa dilakukan dengan
dihamparkan di atas tikar dan dikeringkan dengan matahari langsung, dan dibalik
dari waktu ke waktu supaya keringnya merata dan terhindar dari proses
fermentasi. Lama pengeringan berkisar 3-4 hari, tergantung pada teriknya
matahari dan kelembaban udara. Pengeringan dihentikan apabila sudah tercium
bau yang lebih keras dan khas dibandingkan daun segar.
Panen dan pengolahan pasca panen (Nilam)
1. Pemanenan
Pemanenan pertama dapat dilakukan pada umur 6 9 bulan jika pertumbuhan
tanaman baik. Pemanenan berikutnya dapat dilakukan setiap 3 4 bulan
Pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Pemangkasan
Pemanenan dilakukan dengan cara memangkas seluruh tanaman dan hanya
menyisahkan satu cabang, tidak membedakan pemanenan cabang atau
daun muda.Pada panen pertama, bagian yang boleh dipangkas dari
tanaman nilam adalah cabang-cabang dari tingkat dua ke atas, sedangkan
cabang-cabang tingkat pertama ditinggalkan. Jarak panen setiap enam
bulan
b. Pemetikan cabang atau daun mudah
Pemanenan dilakukan dengan cabang atau daun muda (3 pasang daun
muda). Pemanenan bisa dilakukan empat kali setiap 6 bulan dan atau jarak
panen 3 4 bulan
c. Pelayuan/Pengeringan
Pelayuan dan pengeringan bahan bertujuan untuk menguapkan sebagian air
dalam bahan sehingga proses penyulingan berlangsung lebih singkat.
Pelayuan dan pengeringan dapat dilakukan secara :
a. sinar matahari langsung
Penjemuran dilakukan 5 8 jam atau sampai daun menjadi layu.
Sumber lain menganjurkan 4 jam (10.00 14.00) selama 3 4 hari

III-13

ada juga yang mengeringkan 3 5 hari dengan waktu empat jam


perhari.
b. secara tidak langsung.
secara tidak langsung adalah penurunan kadar air didalam ruangan
namun waktu yang dibutuhkan adalah sangat lama dan harus dijaga
supaya tidak terjadi fermentasi sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas.
c. kombinasi a dan b
kombinasi a dan b adalah pengeringan secara langsung kemudian
dilanjutkan dengan pengangin-anginan di dalam ruangan dalam
beberapa hari.
d. dengan cara pengovenan
cara ini belum ada sumber literatur yang menyebutkan tapi untuk
kedepan laboratorium Hasil Hutan Bukan Kayu akan mengkaji cara
pengeringan dengan menggunakan teknologi pengeringan.
Masalah yang akan dihadapi adalah jika kondisi cuaca yang tidak menentu
maka tempat pengeringan harus dirancang sedemikian rupa sehingga
proses pengeringan tidak menjadi masalah.
1. Indikator selesainya pengeringan
a. Berdasarkan waktu jika cuaca bagus
Jika pengeringan dilakukan dibawah sinar matahari langsung maka
waktu pengeringan 3 5 hari (sekitar empat jam perhari),
bergantung pada cuaca
b. Kondisi fisik bahan
Kondisi bahan jika digenggam atau diremukkan tidak kaku atau
masih elastis
c. Kadar air
Kadar air yang diharapkan adalah 12 15 %
d. Aroma minyak sudah mulai muncul

III-14

2. Penyimpanan
Jika proses penyimpanan setelah pengeringan harus dilakukan maka
dianjurkan tidak menyimpan daun nilam kering lebih dari satu minggu
karena dapat menurunkan produksi minyaknya.
3. Pengecilan ukuran
Pengecilan ukuran dilakukan sebaiknya sesudah pelayuan/pengeringan
untuk menghindari banyaknya kehilangan minyak akibat pengeringan,
tetapi ada juga yang melakukan setelah panen sebelum dikeringkan, hal
ini perlu dikaji pengaruh pengecilan sebelum pengeringan dan setelah
pengeringan yang langsung akan masuk ke ketel penyulingan.
Pengecilan ukuran meliputi :
a. diiris
b. dipotong
c. dirajang

Rendemen dan kualitas minyak


Minyak nilam atau patchouli alcohol (C15H26) karena didominasi oleh
persenyawaan tersebut.
Rendemen dan kualitas minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1.

Jenis dan varietas


Berdasarkan jenis maka nilam terdiri atas P. cablin Benth dengan kadar
minyak 2,5 5 %, P.heyneanus Benth dengan kadar minyak 0,5 1,5 %, dan
P. hortensis Backer dengan kadar minyak 0,5 1,5 %..
Balai penetian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah menghasilkan
sumber bibit berupa empat klon unggul nilam dengan kadar patchouli
alcohol-nya diatas mutu yang disyaratkan (30 %). Ke empat klon unggul
tersebut adalah Cisaroni (33,1 %), Lhokseumawe (30,5 %), Sidikalang (37,3
%), Tapak Tuan 35,0 % dan Standar > 30 %.

2. Tempat tumbuh
Komponen tempat tumbuh yang menjadi parameter untuk penanaman nilam
adalah ketinggian, pH tanah, Suhu, kelembaban, cahaya matahari dan curah
hujan.

III-15

Dari beberapa sumber didapatkan bahwa nilam merupakan tanaman tropis


dan dapat tumbuh pada kisaran ketinggian 0 1200 m dpl. Namun tinggi
ideal bervariasi, ada yang menyatakan ideal pada ketinggian 0 400 m ada
juga 100 400, bahkan ada yang menyatakan

10 700 dan 400 700 m

dpl.
Nilam yang ditanam pada dataran tinggi kadar patchouli alcohol-nya lebih
tinggi tapi kadar minyaknya rendah dan sebaliknya pada daerah dataran
rendah kadar patchouli alcohol-nya lebih rendah namun kadar minyaknya
lebih tinggi.
Nilam menghendaki tanah dengan pH mendekati netral yaitu 6 7.
Nilam merupakan tanaman yang tidak haus akan air tapi membutuhkan
ketersedian air yang mencukupi sehingga butuh curah hujan yang merata
sepanjang tahun jika kondisi hujan yang tidak merata sepanjang tahun maka
sistem pengairan dibutuhkan untuk menghadapai masa kemarau yang
panjang.
3.

Waktu panen , umur panen dan penanganan pasca panen


Waktu panen dianjurkan dilakukan pada pagi hari dan sore menjelang malam.
Panen pertama dapat dilakukan pada umu 6 9 bulan, jika pertumbuhannya
baik yaitu pada daur fisiologis yang optimum namun kadar minyaknya masih
rendah, kadar minyak tertinggi setelah pertumbuhan vegetatif berikutnya
sampai umur dua tahun. Jangka waktu pemanenan dapat dilakukan sampai
umur 3 tahun namun pada umur tiga tahun kadar minyak sudah menurun.
Panen dilakukan pada saat kandungan minyaknya tertinggi yaitu ketika
daunnya masih berwarna hijau tua dan belum berubah warna jadi coklat

4.

Teknik budidaya
Pertumbuhan vegetatif yang subur tidak menjamin kadar minyak dalam
tanaman menjadi tinggi, Nilam yang ditanam dibawah naungan opertunbuhan
vegetatifnya bagus, ukuran daun besar dan warna agak hijau memiliki
kandungan minyak yang rendah disbanding dengan yang ditanam pada
daerah terbuka dengan kondisi daun agak kuning dan kecil.
- Sumber bibit (stek, kultur jaringan
- Jarak tanam

III-16

- Sistem bedengan
- Monokultur
- Dengan Pohon penaung
- Penggunaan pupuk organic dan anorganik
5.

Bioteknologi
Peningkatan

produksi

minyak

dapat

dilakukan

dengan

penerapan

bioteknologi, mulai dari pengadaan bibit dengan kultur jaringan sampai pada
rekayasa genetik untuk mendapatkan gen-gen yang memacu pembentukan
minyak. Aplikasi enzim sebagai pupuk daun untuk meningkatkan kadar
minyak dalam tanaman.

3.3.

Karakteristik Bahan Baku Minyak Atsiri

3.3.1.

Komposisi Kimia Minyak Atsiri


Minyak atsiri mengandung campuran dari berbagai bahan hayati seperti

alkohol, aldehida, ester dan terpena. Bahan-bahan ini kemungkinan merupakan


sisa metabolisme tumbuhan yang digunakan untuk menarik serangga yang
membantu penyerbukan serta mengusir serangga perusak. Unsur yang
mengandung aroma diduga terbentuk dalam hijau daun (chloroplast). Unsur
unsur tersebut bersatu dengan glukosa, menciptakan glukosida yang disalurkan ke
seluruh tubuh tumbuhan.
Minyak atsiri secara umum terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen
(H) dan Oksigen (O), kadang-kadang juga terdiri atas nitrogen (N) dan belerang
(S). Minyak atsiri mengandung resin dan lilin dalam jumah kecil yang merupakan
komponen yang tidak dapat menguap. Berdasarkan komposisi kimia dan unsurunsurnya atsiri dibagi dua, yaitu : hydrocarbon dan oxygeneted hydrocarbon.
Minyak atsiri mengandung bermacam-macam komponen kimia yang berbeda,
komponen itu dapat digolongkan ke dalam empat kelompok besar yang
menentukan sifat minyak atsiri ; (1) terpen yang ada hubungannya dengan
isopentana (2) persenyawaan yang tidak mengandung rantai cabang (3) turunan
benzena dan (4) bermacam-macam persenyawaan lainnya seperti alil isotiosianat,
dialil sulfide.

III-17

Hydrocarbon/hidrokarbon memiliki unsur-unsur hidrogen (H) dan karbon


(C). Hidrokarbon terdiri atas senyawa terpene. Jenis hidrokarbon yang terdapat
dalam minyak sebagian besar terdiri atas : monoterpen (2 unit isoprene),
sesquiterpen (3 unit isoprene), diterpen (4 unit isoprene), politerpen, parafin,
olefin dan hidrokarbon aromatik. Komponen hidrokarbonyang dominan
menenttukan bau dan sifat khas dari setiap jenis minyak, sebagai contoh minyak
jeruk mengandung 90 % limonen. Oxygeneted Hydrocarbon mengandung unsurunsur karbon (C), hidrogen (H) dan Oksigen (O). Yang termasuk osygeneted
hydrocarbon adalah persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida ester dan eter.
Ikatan karbon dalam oxygeneted hydrocarbon ada yang jenuh dan ada yang tidak
jenuh.
3.3.2. Proses Terbentuknya Minyak Atsiri
Proses penciptaan minyak atsiri di dalam tumbuh tumbuhan masih
merupakan perdebatan para ahli. Namun yang pasti, minyak atsiri mengandung
campuran dari bahan - bahan hayati, ternasuk di dalamnya adalah aldehide,
alcohol, ester. ketone, dan terpene. Bahan bahan ini kemungkinan merupakan
sisa metabolisme tumbuh tumbuhan. Unsur yang mengandung aroma terbentuk
dalam hijau daun (chloroplast).

Di situ unsur

bersatu dengan glukosa,

menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Di tempat


tempat tertentu khususnya bunga, tumbuhan menghasilkan zat penawar (enzim)
yang menyerbu glukosida itu, yang mengakibatkan terciptanya minyak atsiri.
Daya tarik yang dapat diambil dari minyak atsiri ialah aroma yang beraneka
ragam. Bahkan satu jenis tumbuhan yang sama bila ditanam pada tempat yang
berlainan mampu manghasilkan aroma yang berbeda. Iklim, keadaan tanah, sinar
matahari, cara pengolahan, tidak hanya mempengaruhi rendemen minyak atsiri
tetapi juga berpengeruh terhadap aromanya.
Minyak atsiri merupakan hasil dari metabolisme sekunder, dimana
metabolisme sekunder menghasilkan senyawa-senyawa metabolite sekunder
(secondary metabolite) yang berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan
serangga, bakteri, jamur, dan jenis pathogen lainnya. Terbentuknya minyak atsiri
bukan diakibatkan oleh adanya metabolisme semata tetapi didukung oleh adanya

III-18

sel atau kelompok sel tanaman (jaringan sekretori) yang meproduksi (mensekresi)
minyak tersebut seperti idioblas sekretori, saluran resin, nektari, dan trikoma
glandular (kelenjar minyak). Substansi yang disekresi dapat terkumpul dalam
ruang interinsuler yang spesifik Ruang-ruang ini mempunyai bentuk dan asal yang
berbeda-beda.
Minyak atsiri sendiri merupakan salah satu hasil proses metabolisme
dalam tanaman, yang terbentuk karena reaksi berbagai persenyawaan kimia
dengan adanya air. Minyak tersebut disintesa dalam sel glandular (glandular cell)
pada jaringan tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembulu resin (resin
duct), misalnya minyak terpentin dari pohon pinus.
Metabolisme dalam tanaman terdiri atas :
a. Metabolisme primer (primary metabolite)
Senyawa organik yang dihasilkan dari metabolisme primer adalah karbohidrat,
protein, lemak, membrane lipids, nucleid acids, chlorophyl and hemes.
b. Metabolisme skunder (secondary metabolite or secondary plant product or
natural products )
Metabolisme sekunder menghasilkan alkaloids, terpene, (meliputi steroid dan
getah), tannin, flavonoids etc.
Metabolisme sekunder atau produk sekunder tanaman dapat dikelompokkan
atas tiga kelompok yaitu :
a. Isoprenoid compound or terpenes e.g., essensial oil, steroids, rubber etc.
b. Nitrogen containing secondary metabolites e.g., alkaloids non-protein,
amino acids etc.
c. Phenolic compounds or phenolics e.g., lignin, tannins, flavonoids etc.

III-19

Gambar 3.1. Mikrograf kilasan electron bahian-bagian daun 1. Eucalyptus


camaldulensis 135x. 2. Ficus elastic, yang memperlihatkan
litosista berisikan sistolit.
Sumber FAHN A.
(Anatomi
Tumbuhan)
3.4.

Kegunaan Minyak Atsiri


Minyak atsiri digunakan secara luas dalam berbagai bidang industri antara

lain animal food industry (makanan kucing), automobile industry (pengkilap,


pembersih dan sabun), baked good industry (biskuit dan crackers), canning
industry (pengalengan ikan), chewing gum indsutry (permen karet), obat
pembasmi dan insektisida (obat nyamuk dan racun tikus), industri farmasi (sirup
obat batuk, salep, tonik, obat gosok, hospital sprayer), industri minuman
beralkohol (rums, vermouths, whiskies dan wines), industri difersifikasi (lilin,
keramik, bahan pengawet mayat, lensa optik dan gas air mata).
Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak
gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri
dikenal sebagai bibit minyak wangi.

Minyak atsiri bersifat mudah menguap

karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat

III-20

mempengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali


memberikan efek psikologis tertentu (baunya kuat). Setiap senyawa penyusun
memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda.
Minyak atsitri digunakan sebagai bahan wewangian, penyedap masakan
dan obat-obatan. Produk-produk dari minyak atsiri seperti Champaca Oil,
Cananga Oil, Melaueca Oil, Clove Oil, Nutneg Oil dan Patchouli Oil. Minyak
atsiri dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan berupa

jamu dan juga

sebagai bahan penyedap makanan. Pemakaian luar (tropical/external use) seperti


pemijatan, lulur, obat luka, parfum. Pernapasan (inhalasi atau aromaterapi) dan
pestisida nabati seperti anti jamur, pengusir nyamuk dan pengendali hama lalat
buah.
Fungsi minyak atsiri yang paling luas dan paling umum diminati adalah
sebagai pengharum, baik itu sebagai parfum untuk tubuh, kosmetik, pengharum
ruangan, pengaharum sabun, pasta gigi, pemberi cita rasa pada makanan maupun
produk rumah tangga lainnya.

Hanya beberapa jenis minyak atsiri yang

digunakan sebagai bahan terapi terhadap suatu jenis penyakit atau lebih populer
disebut terapi aroma. Kebanyakan minyak atsiri memiliki bau yang spesifik, hal
ini terrjadi karena setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda.
Komposisi atau kandungan masing masing komponen kimia tersebut adalah hal
yang paling mendasar dalam menentukan aroma maupun kegunaannya (sebagai
bahan pengharum, kosmetik, obat dan lain lain). Jadi penentuan komponen
penyusun dari masing masing komponen tersebut di dalam minyak atsiri
merupakan hal yang sangat penting

dalam menentukan kegunaan dan mutu

minyak atsiri.
Minyak atsiri digunakan sebagai bahan wewangian, penyedap masakan,
obat-obatan dan penarik ataupun penolak serangga.

Minyak atsiri yang

disemprotkan ke udara dapat membantu membasmi bakteri dan jamur terutama


bakteri Eacherichia coli dan Staphycoccus aureus. Selain itu aroma alami minyak
atsiri juga dapat menenangkan emosi dan pikiran serta menciptakan suasana
tentram dan harmonis sehingga banyak digunakan sebagai aroma terapi.
Minyak atsiri murni adalah substansi yang amat kuat, 75 - 100 kali lebih
potensial dibandingkan dengan bahan asalnya. Karena itu dalam penggunaannya

III-21

harus hati-hati, misalnya dengan selalu melarutkannya dengan cairan pembawa.


Penelitian menunjukkan, minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu
menghilangkan bakteri, jamur, pengap dan bau yang tidak mengenakkan. Selain
menyegarkan udara, aroma alami minyak atsiri juga dapat mempengaruhi emosi
dan pikiran serta menciptakan suasana tenteram dan harmonis.
Penggunaan minyak atsiri di Indonesia bisa melalui beberapa cara :
1.

Melalui mulut atau dikomsumsi (oral), antara lain jamu yang mengandung
minyak atsiri atau bahan penyedap makanan (bumbu).

2.

Pemakaian luar (topical/external use), antara lain pemijatan lulur dan obat
luka atau memar.

3.

Pernapasan (inhalasi atau aromateraphy), antara lain wangi-wangian


(parfum) dan aromaterapi.

3.5.

Metode Ekstraksi Minyak Atsiri


Minyak atsiri dapat diekstrak dengann 4 macam cara, antara lain :

A.

Penyulingan (distillation).
Penyulingan adalah pemisahan komponen-komponen suatu campuran
dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari
masing-masing zat tersebut. Campuran cairan yang disuling dapat berupa
cairan yang tidak larut dan selanjutnya membentuk dua fasa atau cairan yang
saling melarutkan secara sempurna yang hanya membentuk satu fasa.
Minyak nilam merupakan minyak atsiri yang diperoleh dengan
menyuling atau mengekstraksi daun nilam kering. Penyulingan minyak atsiri
dapat dilakukan dengan tiga cara atau model, yakni penyulingan dengan air,
penyulingan dengan uap dan penyulingan dengan air dan uap. Dari ketiga
cara penyulingan minyak atsiri tersebut, cara yang paling sesuai untuk
minyak nilam adalah cara penyulingan dengan uap air (dikukus) dan dengan
uap. Cara penyulingan dengan air tidak sesuai untuk minyak nilam karena
bahan yang disuling sulit bisa bergerak menyebabkan rendemen dan mutu
minyak yang diperoleh rendah. Pada penyulingan dengan air dan uap bahan
tanaman yang bahan disuling diletakkan diatas rak-rak atau plat berlubanglubang, lalu ketel penyuling diisi dengan air hingga permukaannya tidak jauh

III-22

dari bagian bawah rak. Ciri khas model ini uap yang dihasilkan selalu dalam
keadaan basah, jenuh dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan
uap tidak dengan air panas. Kelemahan cara ini yaitu kecepatan penyulingan
rendah sehingga untuk memperoleh rendemen minyak yang tinggi perlu
waktu penyulingan yang panjang. Penyulingan minyak nilam sebaiknya
dilakukan dengan uap langsung dibanding dengan cara uap dan air
(dikukus), karena cara penyulingan dikukus merupakan penyulingan dengan
tekanan uap rendah, cara ini tidak menghasilkan uap dengan cepat sehingga
panjangnya waktu penyulingan cukup penting artrinya baik ditinjau dari
mutu maupun rendemen minyaknya.
Lamanya penyulingan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berat
daun nilam dan kecepatan penyulingan yang dilakukan. Waktu penyulingan
yang terlalu pendek akan menghasilkan rendemen yeng rendah karena masih
banyak senyawa minyak yang belum terbebaskan dari dalam daun.
Sebaliknya penyulingan yang terlalu lama dapat memboroskan biaya
produksi juga dapat mengakibatkan kegosongan minyak.
Pengolahan minyak atsiri dikenal 3 macam sistem penyulingan yaitu :
1.

Penyulingan dengan air (water distillation). Pada sistem ini bahan yang
akan disuling berhubungan langsung dengan air mendidih. Keuntungan
sistem penyulingan ini baik digunakan untuk menyuling bahan yang
berbentuk tepung dan bunga-bungaan yang mudah membentuk
gumpalan jika terkena panas. Kelemahan dari penyulingan ini yaitu
tidak baik digunakan untuk bahan yang larut dalam air dan bahan yang
sedang disuling dapat hangus jika tidak diawasi.

III-23

Gambar 3.2. Penyulingan dengan air


2.

Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation). Pada
sistem ini bahan tidak berhubungan langsung dengan air dalam ketel
penyuling. Keuntungan sistem ini uap berpenetrasi secara merata ke
dalam jaringan bahan, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih
baik dibandingkan dengan minyak hasil dari penyulingan dengan air

3.

Penyulingan dengan uap (Steam distillation). Pada sistem ini air


sebagai sumber uap panas terdapat dalam boiler yang letaknya terpisah
dari ketel penyuling dan bahan tidak berhubungan langsung dengan air.
Sistem penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi kayukayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik
didih tinggi seperti cengkeh, kayu manis, kayu putih, eukaliptus.
Sistem penyulingan ini tidak baik digunakan terhadap bahan yang
mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dan air.

B.

Pressing. Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya


dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah atau kulit buah. Karena
tekanan pengepresan naka sel-sel yang mengandung minyak akan pecah
dan minyak akan mengalir kepermukaan bahan. Cara ini dibagi atas 2 tipe,
yaitu :

III-24

1. Hydraulic pressing. Pada tipe ini minyak diperoleh dengan cara


memberikan tekanan pada bahan yang mengandung minyak yang
dibungkus dengan kain pengepres. Kelemahan cara ini terbatas
hanya pada bahan yang minyaknya dapat diekstrak dengan tekanan
rendah
2. Expeller pressing. Alat pengepres ini dilengkapi dengan poros
berbentuk spiral yang berputar secara kontinyu dalam wadah
berbentuk silinder. Kelebihan pressing ini yaitu pengepresan bahan
dapat dilakukan secara kontinyu dan tidak memerlukan kain
pengepres.
C.

1.

Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent Extraction). Prinsip dari


ekstrak ini adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut
organik

yang

mudah

menguap.

Umumnya

digunakan

untuk

mengekstrak minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dengan


uap dan air seperti bunga-bungaan (cempaka, melati, mawar, lily).
Bunga yang masih segar dimasukkan ke dalam extractor. Pelarut
organik akan berpenetrasi dalam jaringan bunga dan akan melarutkan
minyak serta bahan non volatile yang berupa resin, lilin, dan zat warna,
lalu dilakukan proses penyaringan.
2.

Ekstraksi dengan lemak padat. Proses ekstraksi ini digunakan khusus


untuk mengekstraksi minyak bunga-bungaan untuk mendapatkan mutu
dan rendemen minyak yang tinggi. Ekstraksi ini dapat dilakukan pada
suhu rendah.

D.

1.

Enflourasi. Absorbsi minyak atsiri oleh lemak dilakukan pada suhu


rendah sehingga minyak terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh
panas

2.

Maserasi. Absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan hangat.


Kebaikan cara ini daya absorbsi minyak atsiri oleh lemak terhadap bau
bertambah besar, dan kelemahannya komponen minyak mengalami
kerusakan oleh panas.

III-25

3.6.

Bahan Diskusi

1. Pada bagian ini, mahasiswa dibagi menjadi 6 (enam) kelompok dan secara
berkelompok melakukan proses ekstraksi berbagai sumber bahan baku
minyak atsiri yang berbeda satu dengan lainnya, misalnya : cendana
(Santalum album), kamper (Cinnamomum camphora), kenanga (Cananga
curassava), lawang (Cinnamomum cullilawan).
2. Tiap kelompok melaksanakan dan mengamati setiap tahapan-tahapan dalam
proses ekstraksi minyak atsiri
3. Membuat paper mengenai : proses ekstraksi serta potensi minyak atsiri
tersebut. Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar,
menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New
Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar
pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
4. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point
5. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di
depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.

3.7.

Bacaan/Rujukan Pengayaan

Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :


http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/

3.8.

Latihan Soal-Soal

1.

Tuliskan defenisi minyak atsiri.

2.

Tuliskan sifat kimia dan komponen penyusun minyak atsiri

3.

Tuliskan proses terbentuknya minyak atsiri.

4.

Tuliskan minyak atsiri yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan


masing-masing jenis minyak tersebut

III-26

BAB IV. MINYAK DAN LEMAK


Tujuan Umum
Menjelaskan tentang HHBK minyak/lemak; tanaman penghasil minyak/lemak;
karakteristik bahan baku minyak/lemak, dan metode ekstraksi minyak/lemak
dari beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara
pengujian beberapa produk minyak/lemak dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan jarak, kemiri, tengkawang, dan kalumpang sebagai produk hasil
hutan bukan kayu dari golongan minyak/lemak

4.1. Pengertian HHBK Minyak dan Lemak


Minyak dan lemak merupakan campuran ester gliserol dan asam lemak
yang sangat kompleks. Asam yang banyak terdapat dalam minyak dan lemak
adalah asam palmitat, asam oleat dan asam stearat. Proses mengeluarkan
minyak adalah dengan pelarut minyak dan secara pressing (pengempaan). Jenis
minyak/lemak yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak
No

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
1. Balam
Palaquium walsurifolium
2. Bintaro
Cerbera manghas

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Buah merah
Croton
Kelor
Kemiri
Kenari
Ketapang
Ketiau
Lena
Makadamia
Mimba
Nyamplung
Nyatoh

Pandanus conoideus
Croton argyratus
Moringa oleifera
Aleurites mollucana
Canarium odoratum
Terminalia catappa
Ganua motleyana
Sasanum orientale
Macadamia sp.
Azadirachta indica
Callophyllum inophyllum
Palaquium javense

Produk
Minyak balam
Minyak
cerbera/bintaro
Minyak buah merah
Minyak croton
Minyak kelor
Minyak kemiri
Minyak kenari
Minyak ketapang
Minyak ketiau
Minyak lena
Minyak makadamia
Minyak intaran
Minyak nyamplung
Minyak nyatoh

IV-1

Tabel 4.1. Lanjutan


No

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
15. Picung
Pangium edule
16. Saga pohon
Adenanthera povinina
17. Seminai
18. Suntai
19. Tengkawang

Maducha crassipes;
Palaquium ridleyi
Palaquium burekii
Shorea seminis; S.pinanga;
S. macrophylla; S.splendida;
S. mecistopteryx;S. lepidota;
S.martiniana; S.stenoptera;
S. beccariana; S.macrantha;
S.palembanica;S.acabrima;
S.compressa;S.gysbertsiana;
S. singkawang;
S.amplexicaulis

Produk
Minyak picung
Minyak saga
pohon
Minyak seminai
Minyak suntai
Minyak
tengkawang

4.2. Tanaman Penghasil Minyak dan Lemak


Beberapa tanaman penghasil minyak/lemak :
4.2.1. Minyak Jarak
Bangsa Jepang memperkenalkan tanaman jarak pagar kepada masyarakat
Indonesia pada tahun 1942-an. Minyak jarak pagar ini dimanfaatkan sebagai
bahan bakar kendaraan untuk perang pada masa itu. Nama lain dari minyak jarak
adalah castor oil, kastroli, ricinus oil.

Sistematika dan Morfologi


Minyak jarak diperoleh dari hasil pengempaan biji jarak (Jatropha curcas
Linn.) termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu.
Sistematika tanaman jarak adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub division

: Angiospermae

Class

: Dicotyledonae

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Jatropha

IV-2

Species

: Jatropha curcas Linn

Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak
teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah. Daun
tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5, daunya lebar berbentuk jantung atau bulat
telur melebar dengan panjang 5 15 cm. Bunga majemuk berbentuk malai,
berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu. Buah jarak
pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Buah
jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga
dalam setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna
cokelat kehitaman. Biji inilah yang mengandung minyak dan mengandung toksin
sehingga tidak dapat dimakan.

Proses Produksi minyak jarak


Buah jarak dibelah, kemudian diambil bijinya. Kemudian biji jarak
tersebut kemudian dipecahkan dengan cara ditumbuk, setelah itu kulit biji dengan
daging biji dipisahkan. Daging biji jarak kemudian dihancurkan dengan blender
setelah itu diekstrak dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging
biji jarak disaring dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang masih
terikut dengan ekstrak minyak jarak kasar. Minyak jarak kasar disentifusi selama
kurang lebih 30 menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan yaitu minyak di
bagian atas dan endapan gum di bagian bawah.

Kegunaan minyak jarak


Minyak jarak banyak digunakan sebagai bahan pembuat sabut, tekstil,
karet, bahan pelumas, pengawet kulit, isolasi-listrik, kosmetik, plastik dan obatobatan terutama sebagai obat pencahar dan cairan hidrolik. Saat ini minyak jarak
banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati yang disebut biodiesel.

4.2.2. Minyak Kemiri


Kemiri (Aleurites moluccana Willd) berasal dari kepulauan Maluku, dan
menurut Burkill (1935) berasal dari Malaysia. Tanaman ini menyebar dari sebelah
timur Asia hingga Fiji di kepulauan Pasifik. Di Indonesia kemiri tersebar luas

IV-3

dihampir seluruh wilayah Nusantara. Tanaman kemiri berkembang di Indonesia di


daerah-daerah seperti Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimanatan Timur, Bali,
Lombok, Sulawesi, Maluku, Kalimantan Barat, Bau-Bau dan sekitarnya. Di
Sumatera, kemiri disebut kereh, kemili, kembiri, tanoan, kemiling, atau buwa
kare; di Jawa, disebut midi, pidekan, miri, kemiri, atau muncang (Sunda);
sedangkan di Sulawesi, disebut wiau, lana, boyau, bontalo dudulaa atau saketa.
Minyak kemiri dihasilkan dari biji pohon Aleurites fordii, Aleurites
moluccana, dan Aleurites tripesma dari famili Euphorbiaceae Nama lain dari
minyak kemiri adalah tungya, muyu, kiranggu, Chinese hout olie, kemiri olie,
kamere, dan derekan. Adapun sistematika tanaman kemiri adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Ordo

: Malpighiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Aleurites

Species

: Aleurites moluccana Willd

Tanaman ini memiliki tinggi mencapai sekitar 15-25 meter. Daunnya


berwarna hijau pucat. Kacangnya memiliki diameter sekitar 46 cm; Biji yang
terdapat di dalamnya memiliki lapisan pelindung yang sangat keras dan
mengandung minyak yang cukup banyak.

Gambar 4.1. Biji kemiri yang sudah dikupas dari cangkangnya

IV-4

Proses Penyulingan kemiri


Biji kemiri diikeluarkan dari daging buahnya, kemudian dijemur sampai
kering. Biji yang telah kering kemudian dipecakan untuk diambil daging bijinya
atau menggunakan alat seperti pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Alat pemecah biji kemiri

Daging biji kemiri kemudian dihancurkan dengan blender setelah itu diekstrak
dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging biji kemiri disaring
dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang masih terikut dengan ekstrak
minyak kemiri kasar. Minyak kemiri kasar disentifusi selama kurang lebih 30
menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan yaitu minyak di bagian atas dan
endapan gum di bagian bawah.

Kegunaan minyak kemiri


Kemiri merupakan salah satu rempah-rempah di Indonesia, yang dapat
memberikan rasa pada makanan. Minyaknya digunakan dalam industri cat,
minyak cat, mempercepat pengeringan vernis, sabun, pengawet kayu, tetapi juga
sebagai bahan baku dalam minyak penerangan ataupun sebagai lilin, sebagai obat
pencahar, water proofing agent, dan minyak rambut. Karena itulah minyak kemiri
dapat menjadi bahan baku energi alternatif, walaupun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Selain itu minyak kemiri juga digunakan sebagai obat
tetapi minyak kemiri tidak digunakan untuk minyak masak. Minyak kemiri juga
digunakan dalan industri batik.

IV-5

4.2.3. Minyak Tengkawang


Biji tengkawang (Borneo Illipe nut) merupakan salah satu Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) yg penting sbg bahan baku lemak nabati. Karena sifatnya
yg khas, lemak tengkawang berharga lebih tinggi dibanding minyak nabati lain
seperti minyak kelapa & digunakan sebagai bahan pengganti minyak coklat,
bahan lipstik, minyak makan & bahan obat-obatan. Di Indonesia terdapat sekitar
13 jenis pohon penghasil yg tersebar terutama di Kalimantan & sebagian kecil di
Sumatera.
Nama lain : Borneo tallow, kawang kakowang, green butter. Minyak
tengkawang diperoleh dari biji buah pohon tengkawang (Shorea sp. dan Isoptera
sp.) antara lain tengkawang tungkul (Shorea stenoptera Burck), tengkawang
majau (Shorea lepidota BI), tengkawang Liyar (Shorea gysbertsiana Burck),
tengkawang terendak (Shorea seminis), termasuk dalam famili Dipterocapaceae.
Kingdom

: Plantae

(tidak termasuk)

: Eudicots

(tidak termasuk)

: Rosids

Ordo

: Malvales

Famili

: Dipterocarpaceae

Upafamili

: Dipterocarpoideae

Genus

: Shorea Roxb. ex C.F.Gaertn.

Seperti pada dipterocarpaceae lainnya, pohon tengkawang berbunga dan


berbuah tidak teratur dengan tenggang waktu antara dua sampai tujuh tahun.
Buah tengkawang berbiji tunggal berkecambah dalam waktu dua atau tiga hari
setelah jatuh. Pada waktu biji berkecambah, kandungan minyak pada biji menurun
dengan cepat. Oleh karena itu buah tengkawang harus dikumpulkan secepat
mungkin setelah jatuh.

IV-6

Gambar 4.3. Buah tengkawang

Buah tengkawang dikumpulkan dari hutan oleh suku Dayak, dibuang kulitnya
kemudian dijemur di bawah matahari dan selanjutnya dijual ke pedagangpedagang Cina.

Proses Penyulingan Tengkawang


Minyak tengkawang diperoleh dari biji tengkawang yang telah kering yang
diperas hingga keluar lemaknya. Sebelum diproses menghasilkan minyak
tengkawang. Biji tengkawang terlebih dahulu dikuliti dengan cara basah atau
kering. Pengupasan secara basah dilakukan dengan membuang bagian sayap biji,
kemudian bijinya dimasukkan ke dalam keranjang dan direndam dalam air
mengalir selama 30 hari sampai kulitnya mudah dibuang. Biji selanjutnya dijemur
selama satu minggu. Biji yang diolah dengan cara tersebut berwarna hitam, tahan
lama, dan mengandung kadar lemak tinggi ( 60%). Pengupasan secara kering
dilakukan dengan cara membuang sayap biji kemudian memasukkan biji ke dalam
keranjang selanjutnya diasapi 1,5 meter di atas api sampai kulitnya mudah
dikupas. Biji yang diolah seperti ini berwarna coklat, tidak tahan lama ( 2-3
bulan) dan mengandung lemak kurang 50%. Oleh karena, cara kering hanya
dilakukan jika persediaan air kurang.
Biji yang telah dikeringkan kemudian diperas sehingga keluar lemaknya
yang merupakan bebas kasar yang masih banyak mengandung lemak bebas. Cara
lain yaitu dengan rendering, di mana bii tengkawang ditumbuk kemudian dikukus

IV-7

selama dua jam. Lemak kemudian mencair dan mengapung di atas permukaan air.
Lapisan lemak tersebuk dipisahkan sebagai minyak tengkawang

Kegunaan minyak tengkawangi


Masyarakat menggunakan minyak tengkawang sebagai minyak goreng dan
obat-obat. Dalam industri banyak digunakan sebagai bahan pembuatan lilin,
kosmetik, farmasi, pengganti lemak coklat, sabun, margarin dan pelumas. Di
Eropa komodoti ini diperas dan menghasilkan apa yang disebut Borneo talk.

4.2.4. Minyak Kalumpang


Minyak dari inti biji buah pohon kalumpang tergolong minyak nabati yang
unik karena komponen utama asam lemaknya adalah asam sterkulat yang berumus
molekul C19H34O2 dengan rantai karbonnya mempunyai gugus cycloprpenoid.
Asam sterkulat dapat dikonversi menjadi asam lemak bercabang yaitu asam
10-metil oktadekanoat C19H38O2. Asam-asam lemak ini atau turunannya dapat
digunakan sebagai komponen racikan yang melahirkan karakteristik unggul pada
berbagai produk seperti kosmetik, pelumas, cat, dan plastik. Ester isopropilnya
diharapkan dapat digunakan sebagai bubuhan (additive), penurun titik tuang (pour
point depressant) pada pelumas dan biodiesel.
Sistematika (taksonomi) tanaman kalumpang sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Sub Kingdom : Viridaeplantae


Divisio

: Spermatophyta

Sub Divisio

: Angiospermae

Klas

: Dicotyledoneae

Sub Klas

: Dileniidae

Ordo

: Malvales

Famili

: Sterculiaceae

Genus

: Sterculia

Spesies

: Sterculia foetida Linn.


Tanaman kalumpang memiliki nama yang sangat beragam sesuai dengan

negaranya. Di Indonesia, kalumpang dikenal dengan nama kepoh (Jawa), kabu-

IV-8

kabu (Batak, Sumatra), dan kalupat (Sulawesi). Di negara lain kalumpang juga
dikenal dengan nama kalumpang sari (Peninsular, Malaysia), kalumpang
(General, Philipina), letpan-saw (Myanmar, Burma), samrong (Cambodia).
Kalumpang merupakan salah satu kekayaan flora yang tersebar di seluruh
nusantara. Biji kalumpang diketahui mempunyai komposisi lemak yang sangat
tinggi.

Gambar 4.4. Pohon Kalumpang (S. foetida Linn.) yang terdapat di Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Nama kalumpang berasal dari kata stercus yang berarti baja asli dan
foetida yang berarti busuk.

Penamaan ini didasarkan dari bau yang tidak

menyenangkan dari bunga kalumpang. Kalumpang merupakan pohon berkayu


dengan daun majemuk menjari, dengan panjang tangkai daun 9-45 cm, pucuk
daun 5-9 buah, daun berbentuk lanset dan memanjang meruncing, duduk daun
bersilang. Pohon tumbuh cepat dengan tinggi pohon mencapai 30-35 m dengan
besar atau keliling batang berkisar antara 100-120 cm atau lebih. Biji kalumpang
berbentuk bujur, berwarna kehitaman dengan panjang antara 1,5-1,8 cm. Jumlah
biji kalumpang dalam setiap buah berkisar antara 10-15. Bunga pada tanaman
kalumpang berkelompok, di ujung ranting, di ketiak atau pada batang atau cabang

IV-9

yang besar. Bunga dari sumbu utama perbungaan tidak bercabang, bentuk khusus
tidak ada. Bunga berkelamin dua, yaitu satu bunga dengan satu kelamin betina
dan bunga jantan pada pohon yang sama. Memiliki perhiasan bunga dan kelopak
daun. Buah berbentuk kapsul, tidak berdaging, tidak majemuk dan terpecah. Biji
buah sedang, berjumlah banyak pada setiap buah.

Gambar 4.5. Buah kalumpang muda (A), Buah kalumpang siap panen (B)
Pohon ini tersebar di seluruh nusantara, umumnya terdapat di Jawa pada
ketinggian 500 m di atas permukaan laut.

Di tempat-tempat lain seperti di

Ambon, pohon ini memiliki kayu teras yang bergaris-garis kuning.

Kayu

kalumpang banyak tersebar di Sulawesi Selatan. Pohon kalumpang ini tumbuh


cepat dan mencapai diameter maksimal sekitar 40 sampai 50 cm. Masyarakat di
Sulawesi Selatan pada umumnya telah lama menggunakan kayu dari pohon ini,
sebagai bahan bangunan, selain batangnya sebagai bahan konstruksi ringan, juga
buah, daun dan bunganya yang sangat bermanfaat.

Proses Penyulingan minyak kalumpang


Buah kalumpang dibelah dan diambil bijinya. Kemudian biji kalumpang
dipecah dengan cara menumbuk dengan palu, setelah itu kulit biji dengan daging
biji dipisahkan. Daging biji kalumpang kemudian dihancurkan dengan blender
setelah itu diekstrak dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging
biji kalumpang disaring dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang
masih terikut dengan ekstrak minyak kalumpang kasar. Minyak kalumpang kasar
IV-10

disentifusi selama kurang lebih 30 menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan


yaitu minyak di bagian atas dan endapan gum di bagian bawah.

Kegunaan minyak kalumpang


Sampai saat ini minyak kalumpang belum dimanfaatkan secara komersil.
Namun minyak ini memiliki prospek yang baik sebagai bahan pembuat sabun dan
biodiesel. Biji kalumpang dapat dikonsumsi karena memiliki rasa yang enak.
Daunnya mengandung 2,66% kalsium, sumber protein dan phospor yang baik.
Tepung bijinya mengandung 31% protein. Biji buahnya dimakan sebagai kacang,
dan sebagai sumber minyak yang digunakan untuk lampu dan di beberapa pulau
minyaknya digunakan sebagai campuran cat.

Bijinya juga cocok dicampur

dengan beberapa tumbuhan lain seperti kakao karena minyaknya manis, lembut
dan kuning. Di Ghana bijinya digunakan sebagai obat pencuci perut. Abu kulit
buah dan buah kalumpang (di daerah jawa Tengah dikenal dengan nama buah
jangkang) dan kembang pulu memberikan warna merah (Jawa Tengah). Buah
kalumpang, jeruk, kunyit dan kembang pulu menghasilkan warna jingga (Jawa
Tengah). Di daerah Jawa biji kalumpang dipakai sebagai bahan jamu. Kayunya
digunakan untuk membuat konstruksi sementara dan pekerjaan interior, pintu,
dayung perahu, peralatan perahu, gitar serta mainan. Pohonnya ditanam untuk
peneduh dan kadang digunakan bersama sirih.

4.3. Metode Ekstraksi Minyak dan Lemak


Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan
yang diduga mengandung minyak atau lemak.

Adapun cara ekstraksi

bermacam-macam, yaitu rendering, pengepresan mekanis dan ekstraksi dengan


pelarut.
Rendering
Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan
yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada
semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang
bertujuan untuk menggumpalkan protein pada dinding sel bahan dan untuk

IV-11

memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak atau
lemak yang terkandung di dalamnya.

Pengepresan Mekanis
Pengepresan mekanis merupakan suatu metode ekstraksi yang dipandang
ekonomis. Terdapat dua cara pengepresan mekanis yang umum dilakukan yaitu
pengepresan hidrolik (hydraulic press) dan pengepresan berulir (screw press).
Tabel 4.2. Perbedaan pengepresan hidrolik (Hydraulic Press) dengan pengepresan
berulir (Screw Press).
Keterangan
Hydraulic press
Screw press
Tekanan yang digunakan Sekitar 140,6 kg/m atau 136 Tidak menggunakan
atm
tekanan
Rendemen minyak
20%
27%
(dari biji berkulit)
Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak,
terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk
memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30%-70%). Dua
cara yang umum dalam pengepresan mekanis, yaitu :
a. Pengepresan Hidrolik
Pres hidrolik terdiri atas ruang pengepresan yang mempunyai perforasi,
pelat penekan, handle dan di bagian bawah terdapat wadah penampung cairan.
Pelat penekan dihubungkan dengan handle yang dapat diputar sehingga dapat
bergerak turun. Semakin turun pelatnya, tekanan semakin besar sehingga minyak
akan keluar melalui lubang perforasi. Pres hidrolik dapat menggunakan tenaga
tangan maupun motor.
Pada pengepresan hidrolik, tekanan yang digunakan sekitar 140,6 kg/cm
atau 136 atm dengan rendemen minyak sekitar 20% dari biji berkulit, sedangkan
pada pengepresan berulir tidak menggunakan tekanan dengan rendemen minyak
27% dari biji berkulit.

b. Pengepresan Ulir
Alat pres tipe berulir dikeluarkan pertama kali oleh Tim Biodiesel Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan kini telah banyak diperjualbelikan. Alat ini berupa

IV-12

mesin empat tak yang disertai perlengkapan liquid collection pan dan cake
collection pan. Mesin pres ini memiliki kapasitas 50-100 kg per jam dengan
kecepatan screw 30 rpm. Memiliki saringan jenis flange beralur. Penggeraknya
berupa mesin diesel dengan electric starter yang dihubungkan dengan aki,
sehingga ketika akan menyalakannya cukup memutar kunci kontaknya. Daya
mesin ini sekitar 12 HP (horse power). Bahan bakarnya berupa solar atau
biodiesel. Cara kerja alat ini menerapkan prinsip ulir, yakni bahan yang akan
dipres ditekan dengan daya dorong dari ulir yang diputar. Bahan baku yang
masuk ke dalam mesin ini akan terdorong dengan sendirinya ke arah depan, lalu
bahan akan mendapat tekanan setelah berada di ujung alat. Semakin menuju ke
bagian ujung alat, tekanan terhadap bahan akan semakin besar. Tekanan ini yang
membuat minyak bisa keluar dari bahan. Minyak yang keluar dari alat ini
disaring dengan menggunakan kain kasa. Alat pres tipe berulir bisa digunakan
secara kontinyu (tanpa henti) dan minyak yang keluar langsung terpisah dari
ampasnya (keluar melalui ujung ulir). Alat ini bisa menampung biji dalam jumlah
besar sekaligus memerasnya.
Kelebihan dari teknik pengempaan menggunakan alat pengepres tipe
berulir (screw) adalah kapasitas produksi menjadi lebih besar karena proses
pengepresan dapat dilakukan secara kontinyu, menghemat waktu proses produksi
dan rendemen yang dihasilkan lebih tinggi. Mesin ini mempunyai kapasitas 100
liter/jam, dengan tingkat rendemen 25 %.

Ekstraksi Dengan Pelarut


Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam
pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar air
yang rendah yaitu sekitar 1% atau lebih rendah dan mutu minyak kasar yang
dihasilkan cenderung menyerupai hasil dengan cara expeller press karena
sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Proses ekstraksi pelarut,
mampu mengambil minyak optimal, sehingga ampasnya hanya kurang dari 0,1%
dari berat keringnya. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut lebih efektif
untuk mengambil minyak.

IV-13

4.4. Bahan Diskusi


Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut :
1. Membuat paper dengan judul :
I.

Potensi Budidaya Balam (Palaquium walsurifolium) di Indonesia

II.

Potensi Budidaya Bintaro (Cerbera manghas) di Indonesia

III. Potensi Budidaya Kelor (Moringa oleifera) di Indonesia


IV. Potensi Budidaya Mimba (Azadirachta indica) di Indonesia
V.

Potensi Budidaya Picung (Pangium edule) di Indonesia

VI. Peluang dan Permasalahan Pengembangan Minyak/Lemak di Indonesia


Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar,
menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New
Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar
pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
2. Paper yang dibuat dipaparkan lagi oleh tiap kelompok dengan metode Fish
Bowl. Aturan metode ini adalah sebagai berikut :
a. Kelompok yang akan memaparkan papernya membuat lingkaran di
tengah kelas (Fish)
b. Kelompok lain berada diluar lingkaran dan tidak boleh mengeluarkan
pendapat atau pertanyaan (Man)
c. Jika salah satu man akan bertanya, maka harus masuk ke dalam
lingkaran dan langsung bertanya apa yang ingin diketahui kemudian
langsung keluar dari lingkaran tersebut
d. Fish mendiskusikan pertanyaan yang diajukan oleh man
e. Diperlukan satu orang notulen untuk tiap sesi

4.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/

IV-14

4.6. Latihan Soal-Soal


1.

Tuliskan minyak dan lemak yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan


masing-masing jenis minyak tersebut

IV-15

BAB V. TUMBUHAN PENGHASIL EKSTRAKTIF/EKSUDAT


Tujuan Umum
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan penghasil ekstraktif/eksudat, potensi dan
penyebarannya, bahan baku, teknologi pengolahannya, produk turunannya,
kualitas dan cara pengujian beberapa produk dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan resin (Kopal, damar, gondorukem, kemenyan dan jernang) dan tanin
(Bahan Penyamak/Pewarna alami) sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari
golongan ekstraktif/eksudat

5.1. Tumbuhan Penghasil Resin


Resin adalah campuran dari berbagai senyawa organik polimer (umumnya
aneka terpen tingkat tinggi) yang terbentuk padat atau semi padat dan tidak larut
dalam air namun larut dalam pelarut organik. Bahan ini merupakan suatu
kelompok bahan kimia yang diperoleh sebagai hasil sekresi tanaman. Susunan
kimianya sangat kompleks, sifat fisisnya hampir sama dan tak larut dalam air.
Resin alam (natural resin) adalah Hasil eksudasi tumbuhan yang terjadi
secara alamiah dan keluar secara alamiah atau buatn dengan ciri-ciri : padatan,
mengkilat dan bening-kusam, rapuh, serta meleleh bila terkena panas dan mudah
terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau khas. Bau khas dari resin alam
disebabkan oleh campuran resin dan minyak atsiri.
Resin, dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Berdasarkan cara pemanenan :
a)

Penyadapan (getah pinus, damar, kopal, kemenyan)

b)

Pemetikan (lak, jernang)

c)

Penebangan (gaharu)

d)

Pemungutan (damar, kopal)

2. Berdasarkan kondisi fisik saat dipanen :


a)

Hard resin : Damar, Kopal, lak, gaharu

b)

Soft resin (oleoresin) : Getah pinus

V-1

c)

Balsam : Kemenyan

Jenis tanaman penghasil resin yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti
pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok resin
No

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
1. Agathis/Damar
Agathis spp.

2. Bambu, awi jariyang, Hordium sp.


bambu
kapal, bambu sisik,
bambu
mipis, bulok numpo
3. Damar
Shorea javanica, Hopea sp.,
Anisoptera cortata
4. Damar
Araucaria beccarii
5. Damar
Shorea sp.
6. Damar
Agathis borneensis
7. Damar
Shorea spp
8. Embalau
Gardenia sp.
9. Gaharu
Aquilaria spp; Gyrinops
spp;
Gonystylus spp; Enkleia
spp;
Aetoxylon spp; Wikstroemia
spp; Dalbergia spp
10. Kapur barus
Canarium maluense
11. Kemenyan
Styrax benzoin
12. Kesambi
Schleichera oleosa
13. Rotan jernang
Daemonorops draco
14. Tusam
Pinus merkusii

Produk
Kopal loba, Kopal
melengket,
Kopal manila, Kopal
bua.
Biga

Damar mata kucing


Damar daging (kopal)
Damar rasak
Damar pilau
Damar batu
Embalau
Resin gaharu;
Resin kemedangan

Kapur barus
Resin kemenyan
Shellak
Resin jernang
Gondorukem

5.1.1. Damar
Damar adalah sekresi dari pohon Shorea, Vatica, Dryobalanops dan lainlain yang termasuk famili Dipterocarpaceae. Komposisinya adalah 23% asam
damar C54H77O3(COOH)2, 40% damar resin C11H17O (larut dalam alkohol), dan
23% damar resecesulfida, benzena dan sebagian larut dalam minyak terpentin.

V-2

Gambar 5.1. Bubuk damar

Dalam perdagangan dikenal klasifikasi berdasarkan lokasi. Misalnya damar


Jakarta, damar Padang, dan damar Pontianak. Selain itu, dikenal pula damar mata
kucing dengan kelas A sampai F, dan kelas abu. Klasifikasi didasarkan pada
ukuran butir, A paling kasar dan F paling halus. Damar, dalam perdagangan
internasional memiliki nama : gum damar, damar batu, damar mata kucing.
Berdasarkan warna, dikenal 5 jenis damar : damar mata kucing, damar rasak,
damar putih, damar merah, damar hitam. Damar mata kucing merupakan damar
dengan kualitas terbaik dan harga tinggi, dammar mata kucing memiliki
karakteritik mengkilap dan bening seperti kaca

Penyebaran
Salah satu jenis pohon penghasil damar adalah meranti (Shorea spp.).
tanaman ini menyebar di Malaysia, Filipina, Indonesia (Lampung, Bengkulu,
Aceh, Riau, Sumatera Utara, Kalimantar Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Maluku). Secara alam terdapat dalam hutan dataran rendah pada
ketinggian 0-500 m dari permukaan laut. Pada umumnya pohon ini dijumpai di
daerah dengan tipe iklim A dan B, pada tanah-tanah latosol, podsolik merah
kuning dan podsolik kuning.

Sistematika dan Morfologi Kayu meranti


Sistematika pohon meranti adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

V-3

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Guttiferales

Famili

: Dipterocarpaceae

Genus

: Shorea

Spesies

: Shorea sp.
Pohon ini dapat mencapai tinggi 20-60 m dengan panjang batang bebas

cabang sekitar 10-45 m. Diameter batang dapat mencapai 150 cm. Bentuk batang
lurus dan silindris. Batang berbanir dan biasa mencapai tinggi 3-6,5 m.

Proses Produksi Damar


Damar diperoleh dari proses penyadapan getah (hasil eksudasi) pohon dari
Hasil eksudasi pohon
1. Family Dipterocarpaceae :
a) Shorea spp. (S. javanica; S. lamellata; S. virescens; S. retinoldes; S. guiso;
S. robusta; S. lativolia)
b) Hopea spp. (H. dryobalanoides; H. celebica; H. sangal; H. mengarawan)
c) Vatica spp. (V. rassak)
d) Vateria spp.; Balanocarpus spp.
2. Family Burseraceae : Canarium spp.
Pengolahan dammar banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional di kawasan
hutan lindung/hutan produksi terbatas di KRUI, Lampung barat.
Cara pengambilan hasil dammar adalah sebagai berikut :
1.

Pohon disadap berumur diatas 16-20 thn (25-30 cm) selama 30-50 tahun
secara teratur

2.

Melukai bagian batang dalam bentuk takik segitiga sama sisi 7.5 12 cm
kedalaman 2-4 cm atau segiempat

3.

Pembaharuan luka sadap : pembesaran takik

4.

Produksi per takik 0.20 kg (15 hari); 0.50 kg (30 hari)

V-4

Ada dua proses pengolahan pasca panen dammar (primery processing)


yaitu
1. Pengolahan Sederhana di pengumpul : bongkohan dipecah lalu diseleksi
menurut warna dan besar butiran menggunakan saringan bertingkat
2. Pengolahan di Industri : Pelarutan damar yang dilanjutkan dengan pemutihan
dan pemurnian
Di Indonesia masih menggunakan cara sederhana, damar hasil seleksi
dikelompokkan dalam berbagai tingkat mutu
Hasil pemantauan di lapangan, kualitas damar mata kucing dapat
dibedakan :
1) Kualitas A : warna kuning bening dan merupakan bongkahan besar (berukuran
3 cm x 3 cm atau lebih)
2) Kualitas B : warna kuning bening dan merupakan bongkahan yang agak kecil
(berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih)
3) Kualitas C : warna kuning bening, bongkahan berukuran 1 cm x 1 cm atau
lebih
4) Kualitas AB : warna kuning agak kehitaman, merupakan bongkahan
berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih
5) Kualitas AC : warna kehitam-hitaman dan berupa butiran kecil
a. Kualitas Debu : damar berwujud debu

Kegunaan Damar
Pada awalnya dammar banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk
menyalakan obor, membuat pewarna batik, dupa, dan sebagai bahan pelapis
bagian-bagian sambungan kapal agar tahan air. Namun sejak abad ke-18, damar
mulai dimanfaatkan dalam industry korek api, kembang api, plastik, plester,
vernis, lak, cat, tinta, vernis, bahan tambahan dalam soda dan sebagaianya.
Larutannya dalam kloroform atau xilena dapat dipakai untuk mengawetkan hewan
dan tumbuhan guna pemeriksaan secara mikroskopis.

V-5

5.1.2. Gondorukem
Gandorukem atau rosin adalah campuran asam-asam resin antara lain
berbagai isomer dari anhidrida asam abietat C19H29COOH, abietat anhidrida
C40H58O3, dan hidrokarbon (zat tak tersabun) yang diperoleh dari hasil pengolahan
getah pinus yang berupa padatan. Selain dari penyadapan, oleoresin juga dapat
diperoleh dari kayu pinus yang diolah dengan proses kraft. Terpentin terutama
tersusun dari monoterpena dan seskuiterpena. Sumber gondorukem di Indonesia
adalah pohon Pinus merkusii.

Gambar 5.2. Gondorukem

Penyebaran dan tempat tumbuh Pinus


Selain di indonesia, jenis ini banyak terdapat di wilayah myanmar,
thailand, kamboja, laos, vietnam dan philipina. Di indonesia secara alami banyak
tersebar di sumetera utara dan aceh. Saat ini, tanaman ini banyak dikembangkan
sebagai hutan di berbagai daerah di Indonesia.
Tanaman ini tumbuh pada daerah dengan ketinggian 200-2.000 meter dari
permukaan laut. Tanaman ini tidak memerlukan persyaratan yang di ideal dalam
pertumbuhan bahkan dapat tumbuh pada daerah kritis. Oleh karena itu, pohon
pinus banyak digunaan sebagai tumbuhan pioneer. Walaupun demikian,
pertumbuhan yang baik untuk tanaman ini adalah daerah dengan ketinggian di
atas 400 m dari permukaan laut dengan curah hujan 1.500-4.000 mm per tahun.

V-6

Sistematika dan Morfologi


Sistematika pohon pinus adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Gymnospermae

Kelas

: Coniferae

Ordo

: Pinales

Famili

: Pinaceae

Genus

: Pinus

Spesies

: Pinus sp.
Pohon ini dapat mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter 100 cm. Kulit

batang berwarna kelabu tua, berjalur agak dalam, memanjang bersepih dalam
lempeng, batang bulat panjang lurus dan kadang-kadang juga bengkok. Tajuk
pohon ini tidak begitu lebar, pada waktu muda berbentuk kerucut panjang dan
agak rapat dan selalu hujau. Daunnya berbentuk jarum dengan panjang 15-20 cm
dan buahnya berbentuk kerucut.

Proses Produksi Gandorukem


Gandorukem diperoleh dari pengolahan getah pinus yang berasala dari
proses penyadapan. Getah atau oleoresin ini dikumpulkan, dan selanjutnya diolah
untuk dipisahkan komponennya. Komponen yang atsiri adalah terpentin, dan
komponen padatannyadisebut gandorukem atau rosin. Selain dari penyadapan,
oleoresin juga dapat diperoleh dari kayu pinus yang diolah dengan proses kraft.
Terpentin terutama tersusun dari monoterpena dan seskuiterpena. Sumber
gondorukem di Indonesia adalah pohon Pinus merkusii.

V-7

Gambar 5.3. Pabrik Gondorukem Perum Perhutani

Kegunaan Gandorukem
Gondorukem banyak digunakan untuk pembuatan minyak resin, juga
digunakan dalam industri linoleum dan vernis. Selain itu, gandorukem banyak
juga digunakan sebagai pelapis, bahan penggosok senar alat gesek, bahan
pencampur dalam proses penyorderan, dalam pembuatan cat, tinta cetak, bahan
pelitur kayu, plastik dan bahan penolak air untuk karton.

5.1.3. Kemenyan
Nama lain dari kemenyan adalah benzoin, benzoe, benzoin gum, benzoin
sumatera, benyamin gum, dan labah jawi. Kemenyan adalah getah yang diperoleh
dari penyadapan pohon Styrax benzoin Dyran atau Styrax tonkinensis. Komposisi
utama dari kemenyan siam adalah ester benzoate dari alcohol lutanol (C17H16O4),
yang bernbentuk kristal, dan juga mengandung benzoate dari alcohol lain seperti
siaresinol dan asam siaresinolat. Di samping itu juga terdapat vanillin. Jumlah
asam bennzoat sekitar 30-38% dan asam sinamat 3-4%. Kemenyan siam
mengandung 90% bahan yang larut dalam alcohol dan kurang dari 3% bahan
mineral. Kemenyan sumatera mengandung lubanol dalam bentuk ester, sebagian
besar asam sinamat dengan sedikit benzoate

dan suatu alcohol yang mirip

siaresinol. Selain itu, kemenyan sumatera mengandung benzaldehida, vanillin,


phenilpropan, sinamat, dan sterol. Asam sinamat bebas sekitar 7%. Kemenyan
sumetera mengandung 75-85% bagian yang larut dalam alcohol dan abu sekitar
5%.

V-8

Sistematika dan Morfologi Kayu Styrax


Sistematika kayu styrax adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Ebenales

Famili

: Styracaceae

Genus

: Styrax

Spesies

: Styrax tonkinensis
Tanaman ini tumbuh subur pada daerah dengan curah hujan 1.500-2.200

mm/tahun. Suhu 15-16. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur. Tanaman
ini dapat mencapai tinggi 25 m dengan diameter 30 cm. Kulitnya berwarna keabuabuan ketika masih muda dan pada saat tua menjadi coklat. Daunnya sederhana,
alternate, dan berbentuk bulat telur. Bunganya berwarna putih berbau harum
dengan 12-15 mm. Buahnya agak bulat telur, panjangnya 10-12 mm dengan
diameter sekitar 5-7 mm.

Proses Produksi kemenyan


Kemenyan diproduksi melalui penyadapan pohon Styrax spp. Bagian
pohon ini yang disadap adalah kulit dan bagian kayunya bagian luar. Warna resin
ini adalah kuning orange, atau kuning kecoklatan dengan bercak-bercak putih.
Resin ini mengandung asam benzoate 10-12%, dengan kandungan utama benzyl
benzoate (65-705).

Kegunaan Gandorukem
Kemenyan merupakan bahan baku asam benzoate dan asam sinamat.
Sebagai perangsang ekseptoransia, obat dan sebagai bahan incluster dalam
industry vernis dan kosmetik.

V-9

5.1.4. Kopal
Kopal adalah hasil olahan getah (resin) yang disadap dari batang damar
(Agathis alba dan beberapa Agathis lainnya) serta batang dari pohon anggota suku
Burseraceae (Bursera, Protium). Kopal merupakan bahan dasar bagi cairan
pelapis kertas supaya tinta tidak menyebar. Bahan ini juga dipakai sebagai
campuran lak dan vernis.
Nama lain dari kopal adalah rosin copal, gum copal, anime (soft copal),
kauri copal, covarie, dammar daging, pepeda (bopan penampi), manila copal,
dammar minyak, dammar sewa, bua loba, melengket, masihu, dammar penggal,
dammar ancur, dammar madalu, dammar cukur dan dammar mature. Jenis getah
ini diperoleh hasil penyadapan pohon agathis.

Komponen utamanya adalah

pinena dan alkohol yang bersifat atsiri, serta sebagian kecil resin. Daerah
penghasil kopal : Amerika Serikat, Australia, Filipina, Kongo, Indonesia
(Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya)

Gambar 5.4. Kopal dari Madagaskar

Sistematika dan Morfologi Kayu Agathis


Sistematika kayu agathis adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Gymnospermae

Kelas

: Coniferae

Ordo

: Araucariales

Famili

: Araucariaceae

Genus

: Agathis

Spesies

: Agathis sp.

V-10

Kayu agathis memiliki pertumbuhan optimum pada lereng-lereng gunung


yang drainasenya baik dengan ketinggian tempat antara 300 - 1200 m dari
permukaan laut. Iklim tempat tumbuh tanaman ini adalah iklim basah sepanjang
tahun dengan curah hujan optimum berkisar antara 3.000 - 4.000 mm/tahun.
Curah hujan yang lebih kecil dari 60 mm/bulan selama 3 bulan terus-menerus
dapat mengakibatkan kematian tanaman tersebut.. Tinggi pohon tersebut dapat
mencapai 60 m dan diameter batang lebih dari 200 cm. Batangnya tidak berbanir,
dengan warna kulit coklat-kelabu, bulat memanjang. Tajuk kurang melebar,
berbentuk kerucut tajam dan sangat rapat. Bagian pangkal batang terdapat
benjolan-benjolan besar yang mengeluarkan getah yang menyerupai lilin yang
meleleh (Heyne, 1985a). Ketebalan kulit berkisar antara 1 - 1,5 cm, mengandung
banyak damar, tanpa alur memanjang, sedikit mengelupas, kelupasankelupasannya berbentuk kepingan-kepingan bulat tebal. Rantingnya bulat, pada
bagian ujung menjadi pipih, kuncup ujung tidak lancip. Daunnya berhadapan,
helaian daun sedikit sedikit demi sedikit menyempit menjadi tangkai daun yang
pendek dan membujur. Kerucut buah berbentuk bola, sampai diameter 8 cm. Sisik
buahnya berbentuk kerucut pendek seperti baji. Biji buah berbentuk telur panjang.

Proses Produksi Kopal


Jenis getah ini diperoleh hasil penyadapan pohon agathis. Cara dan bagian
pohon tempat pengambilan kopal akan memberikan nama dari jenis kopal. Kopal
yang diambil langsung dari pohon disebut kopal bua, jika diambil dari batang
disebut buah putih, getah yang diambil dari getah yang menetes di tanah disebut
buah coklat. Kopal di panen dengan cara melukai bagian kulit (inner bark),
caranya :
a. Primitif : memukul kulit pohon dengan batu
b. Tradisional : membacok sekeliling pohon dengan parang
c. Koakan/Sayatan
Perbaharuan luka dilakukan 3-4 hari, dank opal dipungut 2-3 minggu, dengan
produksi 1,2 kg/pohon. Pohon disadap berumur diatas 16-20 tahun (25-30 cm).
Penentuan kualitas kopal berdasarkan warna, kekerasan, ukuran butiran,
dikenal jenis kopal :

V-11

a. Kopal lunak/melengket dipungut 2-3 minggu, warna putih jernih, lembek


dan lengket (mutu PWS/bebas kulit, warna terang; melengket A/sedikit
kulit , warna terang; melengket B/sedikit kulit, warna gelap)
b. Kopal setengah keras/loba dipungut beberapa bulan, keras, warna putih
kekuningn sampai coklat (mutu berdasarkan besar pecahan dan warna
A,B, C, D)
c. Kopal keras/bua akibat perlukaan alami, penumpukan getah dalam waktu
lama, tertimbun dalam tanah (bua coklat), diambil dari batang (bua putih)

Kegunaan Kopal
Kegunaannya adalah untuk cat, vernis, bahan pelapis untuk tekstil, tinta, bahan
sizing,

perekat, dan minyak pengering. Kandungan kopal adalah asam-asam

resinol, resin, dan minyak atsiri. Penggunaannya adalah sebagai bahan perekat
pada penambal gigi dan plester, campuran lak dan vernis. Minyak kopal diperoleh
dari penyulingan dan digunakan sebagai campuran parfum. Kopal sering dianggap
sebagai atau dijadikan pengganti batu damar, dan dijadikan mata cincin.

5.1.5. Jernang
Nama lain dari jernang adalah Dragons blood, jernang mundai, jernang
beruang, jernang kuku, getah badak, dan getih warak. Jernang diperoleh dari getah
pohon Daemonorops draco, famili Palmae. Selain itu jernang juga diperoleh dari
Daemonorops crinitis, Daemonorops angustifolius, Daemonorops dtrichiernus.
Komponen utamnya berupa resin drako, C20H44O2. Jernang larut dalam alcohol,
eter, minyak lemak dan minyak atsiri. Tidak larut dalam air, sebagian larut dalam
chloroform, etil asetat, petroleum spritus dan karbonadisulfidan
Sistematika dan Morfologi
Sistematika tanaman Daemonorops adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Monocotiledonae

Ordo

: Arecales

V-12

Famili

: Arecaceae (Palmae)

Genus

: Daemonorops

Spesies

: Daemonorops draco
Tanaman ini merupakan tumbuhan liana dari famili arecaceae. Merupakan

kelompok rotan. Memiliki batang yang membulat (silindris) tetapi ada juga yang
berbentuk persegi dan beruas-ruas

Proses Produksi Jernang


Jernang diperoleh dari getah dari buah pohon Daemonorops spp. famili
Palmae (Arecaceae). Warna resin yang dihasilkan tanaman ini biasanya berwarna
merah.

Kegunaan jernang
Kegunaannya adalah sebagai bahan pewarna keramik, marmer, alat-alat
dari batu/kayu, industri cat, farmasi (pembuatan gigi) dan ekstrak tannin.

5.2. Tumbuhan Penghasil Tanin (Bahan Penyamak/Pewarna Alami)


5.2.1. Bahan Penyamak Tanin
Bahan penyamak tanin diperoleh dari kulit pohon bakau dan akasia dengan
cara ekstraksi dengan pelarut air. Tanin mempunyai sifat memberi warna biru
kehitaman dengan garam ferro karena itu tanin digunakan sebagai bahan pembuat
tinta. Jenis tanaman penghasil tanin yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu
seperti pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok tanin
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
Akasia
Acacia decurrens;
A.mangium
Bruguiera
Bruguiera sp.
Gambir
Uncaria gambir
Nyiri
Xylocarpus granatum
Kesambi
Schleichera oleosa
Ketapang
Terminalia cattapa
Pilang
Acacia leucophloea
Pinang
Arreca catechu
Rizopora
Rhizopora sp.

Produk
Tannin akasia, kuren
Tannin bruguiera
Tannin gambir
Tannin nyiri
Tannin kesambi
Tannin ketapang
Tannin pilang
Tannin pinang
Tannin rizopora

V-13

Tabel 5.2. Lanjutan


No

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
10. Segawe
Adenantera microsperma

Tannin segawe

11. Tengar
12. Tingi

Tannin tengar
Tannin tingi

Ceriops tagal
Ceriops roxburghiana

Produk

Salah satu tanaman penghasil bahan penyamak (tannin) yang sangat


terkenal adalah gambir. Dalam perdagangan, gambir merupakan istilah untuk
ekstrak kering daun tanaman gambir. Ekstrak ini mengandung catechin
(memberikan pasca rasa manis enak) asam catechu tanat (memberikan rasa pahit)
dan juercetine (pewarna kuning). Nama lain dari bahan penyamak dari gambir
adalah terra japonica, pale catechu, cutch, jellow cutch, cubinal cutch, dan cube
gambir. Gambir merupakan salah satu bahan penyamak yang diperoleh dari daun
dan cabang pohon Uncaria dan Anodendrom molucanum, famili Rubiaceae, buah
pohon areca catechu, dan dari kulit Ceriops candeelcana.
1. Tanaman Gambir
Sistematika dan morfologi
Sistematika tanaman gambir adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantarum

Devisio

: Spermatophyta

Sud Devisio

: Angiospermae

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rubiales

Famili

: Rubiaceae

Genus

: Uncaria

Species

: Uncaria gambir

Proses Produksi Gambir


Bagian pohon gambir yang dipanen adalah daun beserta ranting tanaman.
Jaringan tanaman tersebut banyak mengandung cathecin. Panen dilakukan dengan
memotong cabang dan ranting-ranting tanaman. Setiap tahun, panen dapat
dilakukan 2-4 kali tergantung kepada pertumbuhan tanaman. Tanaman gambir
dapat dipanen terus menerus selama 15 tahun semenjak pemanenan pertama.
Bahan penyamak tanin diperoleh dari kulit, daun dan cabang tanaman gambir

V-14

dengan cara ekstraksi dengan pelarut air. Komponen utamanya adalah catechin
hidrat yang mempunyai titik leleh 930 oC dan bentuk anhidridanya mempunyai
titik leleh lebih tinggi, yaitu 174-1750 oC. Catechin tersebut larut dalam air
mendidih dan alkohol dingin.

Kegunaan Gambir
Gambir telah lama digunakan sebagai salah satu ramuan makan sirih.
Selain itu gambir digunakan sebagai astrigen, antiseptik, obat sakit perut,
pencampur kosmetika, bahan untuk memperkuat jala ikan, digunakan dalam
industri tekstil, kapas dan wol, dan perjernih air baku pabrik bir, pemberi rasa
pahit pada bir dan bahan penyamak kulit. Untuk bahan obat, importir Jerman
Barat mensyaratkan kadar catechine gambir 40-60% dan perusahaan Ciba Geigy
mensyaratkan catechin minimal 60,5%. Untuk menyamak kulit, perusahaan
pengolah kulit Cuirplastek R. Bisset dan Cie mensyaratkan kandungan tanin 40 %.

2. Tanaman Akasia
Sistematika dan Morfologi
Sistematika tanaman gambir adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantarum

Devisio

: Spermatophyta

Sud Devisio

: Angiospermae

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rosales

Famili

: Mimosaceae

Genus

: Acacia

Species

: Acacia catechu

Tinggi pohon akasia sekitar 15 meter dengan diameter batang sekitar 50


cm. bentuk batang tidak teratur, bercabang banyak dan bertajuk lebar dan tidak
rapat.

Proses Produksi Tanin Akasia


Bagian pohon akasia sebagai penghasil bahan penyamak adalah kulit

V-15

batangnya. Kulit kemudian diekstrak untuk menghasilkan tannin.

Kegunaan Tanin
Tanin juga mempunyai daya anti septis yang disebabkan oleh adanya
gukosida sehingga banyak digunakan sebagai antidotum pada keracunan alkaloid,
penyamakan kulit dan pengobatan luka bakar. Katekol (tanin terkondensasi).
digunakan untuk obat (astrigen), antiseptik, obat sakit perut dan bahan, pencampur
kosmetika memperkuat jala ikan, dan bahan penyamak kulit serta digunakan
dalam industri tekstil, kapas dan wol.

5.2.2. Bahan Pewarna


Bahan pewarna banyak digunakan dalam industri batik tradisional. Jenis
tanaman penghasil bahan pewarna yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu
seperti pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok bahan pewarna
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Jenis Komoditi
Nama Indonesia
Nama Latin
Angsana
Pterocarpus indicus
Apokat
Persea gratisima
Bulian
Eusideroxylon zwageri
Jambal
Peltophorum pterocarpus
Jati
Tectona grandis
Jernang
Daemonorops draco
Kayu kuning
Cudrania javanensis
Kesumba
Mahoni
Marelang
Mengkudu
Nila
Pinang
Potromenggala
Saninten
Secang
Senduduk
Soga jambal
Soga tengeran
Soga tinggi
Suren

Bixa orellana
Swietenia mahagoni
Pterospermum acerifolium
Morinda citrifolia
Indigofera tinctoria
Areca catechu
Caesalpinia pulchherrima
Castanopsis sp.
Caesalpinia sappan
Melastoma affine
Peltophorum pterocarpum
Cudrania javanensis
Ceriops candelleana
Toona sinensis

Produk
Pewarna angsana
Pewarna hijau coklat
Pewarna coklat kemerahan
Pewarna beige
Pewarna merah
Pewarna jernang merah
Pewarna kuning
C. pubescens
Pewarna oranye
Pewarna coklat
Pewarna coklat
Pewarna coklat
Pewarna biru
Pewarna kuning emas
Pewarna hijau
Pewarna saninten
Pewarna merah
Pewarna coklat muda
Pewarna merah sawo
Pewarna kuning
Pewarna merah
Pewarna coklat

V-16

Beberapa

pewarna

batik

yang

biasa

digunakan

adalah:

soga

jambal

(Peltotophorum pterocarpum Backker). Bahan pewarna diperoleh dari kulit yang


telah ditumbuk dan berwarna merah sawo. Soga tinggi diperoleh dari kulit kayu
Ceriops candolleana dengan yang memberikan warna merah. Soga tegeran
diambil dari kayu Cundranis javonenses yang memberikan warna kuning. Salah
satu bahan pewarna alami sangat potensial dikembangankan adalah kayu secang
(Caesalpinia sappan).
Sistematika kayu secanga adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rosales

Famili

: Caesalpiniaceae

Genus

: Caesalpinia

Spesies

: Caesalpinia sappan
Tanaman ini menyenangi tempat terbuka sampai ketinggian 1.000 m dari

permukaan laut seperti di daerah pegunungan yang berbatu tetapi tidak terlalu
dingin. Secang tumbuh liar dan kadang ditanam sebagai tanaman pagar atau
pembatas kebun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 5-10 m, batang dan
percabangannya berduri tempel yang bentuknya bengkok dan letaknya tersebar,
batang bulat, warnanya hijau kecoklatan. Daun majemuk menyirip ganda, panjang
25-40 cm, jumlah anak daun 10-20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun
tidak bertangkai, bentuknya lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi rata dan
hampir sejajar, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, warnanya hijau. Bunganya
bunga majemuk berbentuk malai, keluar dari ujung tangkai dengan panjang 10-40
cm, mahkota bentuk tabung, warnanya kuning. Buahnya buah polong, panjang 810 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh berisi 3-4 biji, bila masak warnanya
hitam. Biji bulat memanjang, panjang 15-18 mm, lebar 8-1 1 mm, tebal 5-7 mm,
warnanya kuning kecoklatan. Panenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2
tahun. Kayunya bila digodok memberi warna merah gading muda, dapat

V-17

digunakan untuk pengecatan, memberi warna pada bahan anyaman, kue, minuman
atau sebagai tinta. Perbanyakan dengan biji atau stek batang.
Selain sebagai pewarna alami, kayu secang juga digunakan sebagai obat untuk
berbagai jenis penyakit sepertin Diare, disentri, batu darah (TBC), luka dalam,
sifilis, darah kotor,; Muntah darah, berak darah, luka berdarah, memar berdarah;
Malaria, tetanus, tumor, radang selaput lendir mata.

5.3. Bahan Diskusi


Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut :
1. Membuat paper dengan judul :
I.

Potensi Embalau (Gardenia sp.) sebagai bahan baku penghasil resin

II.

Potensi

Kapur barus (Canarium maluense) sebagai bahan baku

penghasil resin
III. Potensi Nyiri (Xylocarpus granatum) sebagai bahan baku penghasil
tanin
IV. Potensi Kesambi (Schleichera oleosa) sebagai bahan baku penghasil
tanin
V.

Potensi Angsana (Pterocarpus indicus) sebagai bahan baku penghasil


bahan pewarna

VI. Potensi Jati (Tectona grandis) sebagai bahan baku penghasil bahan
pewarna
Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar,
menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New
Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar
pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point
3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di
depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.

V-18

5.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/

5.5. Latihan Soal-Soal


1. Tuliskan potensi HHBK penghasil ekstraktif/eksudat di Indonesia

V-19

BAB VI. GAHARU


Tujuan Umum
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan penghasil gaharu, potensi dan penyebarannya,
teknologi produksi dan pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan
pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan gaharu sebagai produk hasil hutan bukan kayu

Gaharu sebagai produk hasil hutan bukan kayu dikenal sebagai komoditi
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Komoditi ini dihasilkan oleh tanaman
hutan yang mengalami pelapukan sebagai akibat terinfeksi jamur, sehingga
mnghasilkan gubal yang

mengandung dammar wangi (aromatic resin) yang

diperdagangkan sebagai bahan industri parfum, kosmetika, hio, setanggi dan obatobatan .
Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk yang diiringi dengan
meningkatnya kesejahtreaan hidup dan terjadinya pergeseran gaya hidup (life
style) serta didukung oleh kemajuan iptek telah mendorong peningkatan
permintaan akan gubal gaharu dunia. Bersamaan dengan itu, ekspor gaharu
Indonesia juga mengalami peningkatan yang pesat. Menurut data BPS yang di
analisis oleh Asgarin (2001) dalam Parman (2004) ekspor gaharu Indonesia dalam
lima tahun terakhir meningkat rata-rata 51 %.
Selama ini gaharu yang di ekspor pada umumnya berasal dari hutan
seluruh Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Papua. Sebagai akibat permintaan gaharu yang terus menerus meningkat, maka
keberadaan tanaman sebagai penghasil gubal gaharu di dalam kawasan hutan
semakin menurun dan terancam punah, karena dieksploitasi secara berlebihan dan
kurang memperhatikan kaidah kelestarian. Karena itu dalam konperensi CITES
IX di Florida AS tahun 1994, tanaman gaharu disepakati untuk dimasukkan dalam
Apendix II CITES. Dengan masuknya gaharu dalam Appendix II CITES, berarti

VI-1

dalam kegiatan ekspor gaharu harus mengikiuti ketentuan-ketentuan yang diatur


dalam CITES sesuai dengan keputusan Presiden No.43 tahun 1987.

6.1. Jenis-jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu dan Penyebarannya


Tanaman Gaharu yang menghasilkan gubal gaharu terdiri dari berbagai
jenis, dan umumnya termasuk suku Thymeleaceae. Jenis-jenis pohon penghasil
gaharu yang telah diketahui antara lain: Aquilaria hirta Ridl., terdapat
disemenanjung Malaya, Sumatera dan Bangka: A. crassna Pierr ex H. Lee,
tersebar di Indo China dan Thailand; A. malaccensis Lamk. Banyak tersebar di
India, Burma, Malaysia, Jawa Barat ,Kalimantan

dan Philipina. Jenis-jenis

lainnya seperti A. beccariana van Tiegh. Tersebar di Malasyia, Sumatera dan


Kalimantan; Wikstroemia tenuiramis Miq. Terdapat di Malaysia dan Kalimantan
sedangkan W. polyantha Merr. dijumpai di Malaysia, Jawa barat dan Kalimantan.
Untuk jenis Enkleia malaccensis Griff, dapat ditemukan di India, Burma,
Semenangjung Malaya, Sumatra, Kalimantan serta Philipina; Gonystylus
bancanus Griff (Miq.) Kurz., G. macropyllus (Miq.)Airy Show, Aetoxylon
sympetalum (Steen & Domke) Airy Show, serta serta pohon gaharu yang
ditemukan di Lombok yakni Girinops verstegii (Gilg) Domke juga dijumpai di
Malaya, sumbawa, NTT, Sulawesi, dan Irian.

6.2. Manfaat Gaharu


Gaharu ternyata memiliki berbagai khasiat sebagai obat-obatan antara lain:
sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Dari
segi etnobotani di China digunakan sebagai, obat sakit perut, Aphrodisiac
(perangsang nafsu birahi), anodyne (penghilang rasa sakit), kanker, diare,
tersedak, ginjal, tumor paru paru dan lain-lain, demikian juaga di Eropa gaharu
digunakan sebagai obat kanker. Selain itu di India gaharu juga dikenal sebagai
obat tumor usus. Khasiat gaharu untuk berbagai macam obat tersebut di atas,
disebabkan karena gaharu diketahui mengandung tidak kurang dari 17 macam
senyawa antara lain; 3,4-dihydroxydihydroagarufuran, agaros-pirol, p-methoxybenzylacetone, aquillochin dan noroxoagarufuran.

VI-2

Pohon Gaharu yang kayunya bewarna putih dan lunak dilihat dari produk
kayunya sendiri termasuk bermutu rendah., karena itu tidak memenuhi syarat
untuk bahan bangunan atau bahan perabot rumah tangga. Namun gaharu termasuk
komoditi yang bernilai tinggi karena produk gubalnya yang mengandung dammar
wangi (aromatic resin). Oleh karena kandungan resin tersebut maka global gaharu
sudah lama diperdagangkan sebagai komoditif ekspor untuk keperluan industri
parfum, kosmetik, hio, setanggi dan obat-obatan. Negara-negara pengimpor utama
antara lain: Singapura, Saudi Arabia, Taiwan, Uni emirat Arab dan Jepang.
Selain produk gubal yang dihasilkan, bagian lain dari pohon gaharu seperti
daun dan buahnya, diyakini oleh sebagian masyarakat sasak berkhasiat sebagai
obat malaria. Selain itu, kulit kayunya yang memiliki serat yang sangat ulet dapat
dibuat talitemali atau produk kerajinan lainnya yang cukup berharga.
Meskipun pengkajian tentang pembudidayaan tanaman gaharu telah lama
dilakukan tapi teknologi budidaya gaharu termasuk teknologi yang relatif baru
dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, dalam rangka pemberdayaan masyarakat
perlu memperhatikan persyaratan-persyaratan dalam penerapannya, yaitu : (1)
teknis bisa dilaksanakan; (2) ekonomis menguntungkan; (3) sosial tidak
bertentangan bahkan menumbuhkan /mendorong motivasi petani atau pengusaha;
(4) tidak mencemari lingkungan bahkan mengkonversi lingkungan yang serasi dan
sehat; dan (5) dapat mendorong pertumbuhan wilayah yang bersangkutan secara
berkelanjutan.
Dengan demikian berarti, dalam pengembangan agroforestry gaharu harus
layak bukan hanya dari aspek ekonomi, tapi juga dari aspek teknis, sosial budaya,
lingkungan dan juga dari aspek pembangunan wilayah. Untuk memenuhi
persyaratan tersebut berarti system dan jenis tanaman yang diusahakan haruslah
dipilih sedemikian rupah agar sesuai dengan kondisi sosio-kultural dan ekonomi
masyarakat setempat, lingkungan tempat pengembangan, dan mempunyai potensi
pasar yang jelas.

VI-3

6.3. Teknologi Pengolahan Gaharu


Teknologi produksi gubal gaharu
Gubal gaharu (Aromatic resin) berasal dari bagian pohon penghasil gaharu
yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang
terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut dan pada umumnya
terjadi pada jenis pohon dari suku

Thymeliceae. Pohon gaharu yang tidak

terifeksi oleh suatu mikrobia yang sesuai tidak akan menghasilkan gubal gaharu.
Di belantara sering dijumpai pohon gaharu yang sudah sangat tua, diameter
sampai mencapai 40 150 m tetapi belum dapat menghasilkan gubal gaharu. Hal
ini menggambarkan bahwa untuk terbentuknya gubal gaharu, perlu adanya
mikrobia yang masuk melalui luka sehingga dapat memacu pembentukan gubal
gaharu.
Mikrobia yang menyebabkan terjadinya pembentukan gaharu pada setiap
jenis pohon gaharu biasanya berlainan, bahkan ada yang menyebutkan bahwa
bagian batang dan akar mikrobianya berlainan. Keberadaan jamur Cytosphaera
mangifera sebagai hasil isolasi dari gubal yang terbentuk pada batang gaharu A.
malaccensis Lamk.

Jamur parasit dari jenis

Phialophora parasitica. Jamur

tersebut, kecuali dapat menginfeksi batang pohon yang masih hidup juga dapat
menginfeksi potongan-potongan batang yang sudah mati.
Parman, et al (1996) menemukan mikrobia penyebab terbentuknya gubal
gaharu pada pohon ketimunan yakni cendawan Fusarium lateritium dan
Popollaria sp. Kemudian menemukan teknik inokulasi yang paling efektif dalam
memacu terbentuknya gubal, yakni dengan menggunakan gergaji.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan produksi gaharu secara artificial
dengan meliputi tiga hal yang perlu dipahami yaitu :
1. Metode inokulasi
2. Evaluasi pasca inokulasi
3. Pemanenan

VI-4

Teknologi inokulasi gaharu


Penyuntikan (inokulasi) yang dimaksudkan disini adalah memasukkan
bibit gubal gaharu untuk memacu pembentukan gubal gaharu. Bibit gubal gaharu
berupa jamur ditumbuhkan pada medium khusus.
Untuk mendukung keberhasilan penyuntikan perlu dilakukan pemilihan
pohon yang sesuai. Pohon yang memenuhi syarat-syarat untuk disuntik adalah :

Pohon yang sudah berbuah, yaitu pohon yang berumur sekitar 5 - 6 tahun.

Pertumbuhan pesat dan subur, diameter telah mencapai lebih dari 10 cm.

Keadaan sekitarnya cukup teduh agar kelembaban tanah dan udara tetap
terpelihara.

Bibit gubal gaharu tidak terkontaminasi oleh jamur lain.

Pertumbuhan jamur yang telah optimal, memenuhi semua media


inokulum.

Bahan dan alat


1. Bahan
Bibit gubal gaharu, berupa serbuk yang telah ditumbuhi jamur, spritus atau
alkohol 70 %, paku reng, kawat, dan lilin lunak.
2. Alat
Gergaji, bor, parang, batang besi sepanjang 35 cm, pisau tajam (cutter),
corong seng, serok, hand sprayer, meteran, kuas, palu, dan tang
3. Prosedur

Pengukuran dan pembuatan tanda pada pohon yang akan disuntik

Pembuatan lubang inokulasi

Inokulasi bibit gaharu

Penutupan lubang inokulasi

6.4. Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen Gaharu


1. Tanda-tanda morfologi pohon gaharu yang telah di inokulasi dan siap panen

Kulit batang disekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman, rapuh,


apabila ditarik mudah putus.

VI-5

Jaringan disekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman atau hitam,


jika bagian batang berwarna hitam diambil dan dibakar akan
mengeluarkan bau harum.

Batang yang sudah diinokulasi ditumbuhi tunas adventif dalam jumlah


yang cukup banyak

Kanopi pohon yang mempunyai tanda-tanda seperti merana, atau daunnya


banyak menguning dan mengalami kerontokan, sehingga menyebabkan
beberapa ranting tidan berdaun.

2. Pemanenan dengan cara bertahap

Pemangkasan tunas adventif

Pencuplikan jaringan kayu yang mengandung gaharu

Pengupasan dan pengerokan gubal gaharu

Pemilahan gaharu menurut kelasnya

Pengeringan gaharu hasil pemilahan

3. Pemanenan dengan cara tebang habis

Penebangan dan pemotongan batang

Pembelahan, pengupasan dan pengerokan gaharu

Pembongkaran akar

Sistem dan jadwal panen


Sistem dan jadwal panen akan menentukan arus penerimaan dan periode
waktu investasi. Periode investasi ditentukan oleh jadwal panen tanaman gaharu
sebagai pokok. Jadwal panen ditentukan oleh system panen yang dipilih. Ada dua
kemungkinan system panen gaharu yang dapat dipilih, yaitu :
1. Sistem panen habis, artinya semua tanaman gaharu yang ditanam pada
tahun pertama akan dipanen habis pada akhir tahun kedelapan. Berarti
penyuntikan inokulan dilakukan pada tahun keenam, karena sejak
penyuntikan sampai panen membutuhkan waktu selama 2 tahun (Dephut,
2002; Parman, 2003). Dengan demikian berarti periode investasi
dipandang berakhir pada akhir tahun kedelapan. Tanaman-tanaman lain
yang belum habis masa panennya pada waktu itu diperhitungkan sebagai

VI-6

sisa investasi yang dimasukkan dalam arus penerimaan bersama-sama


dengan hasil gaharu.
2. Sistem panen pilih, artinya tanaman gaharu yang ditanam pada tahun
pertama dipanen secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan tanaman
atau pertimbangan-pertimbangan lain yang telah menguntungkan. Kalau
panen misalnya dijadwalkan rata-rata 25 % sejak tahun kedelapan, berarti
jadwal panen dan periode investasi akan berakhir pada ahun kesebelas.
Pada akhir tahun kesebelas, kemungkinan besar tanaman-tanaman lain
seperti kopi dan coklat umur ekonomisnya belum berakhir. Karena itu sisa
dari tanaman-tanaman yang ada juga tetap diperthitungkan sebagai nilai
sisa yang dimasukkan dalam arus penerimaan.

6.5. Arti Ekonomi Tanaman Gaharu


Pohon Gaharu yang kayunya bewarna putih dan lunak dilihat dari produk
kayunya sendiri termasuk bermutu rendah., karena itu tidak memenuhi syarat
untuk bahan bangunan atau bahan perabot rumah tangga. Namun gaharu termasuk
komoditif yang bernilai tinggi karena produk gubalnya yang mengandung dammar
wangi. Oleh karena kandungan resin tersebut maka global gaharu sudah lama
diperdagangkan sebagai komoditif ekspor untuk keperluan industri parfum,
kosmetik, hio, setangi dan obat-obatan. Negara-negara pengimpor utama antara
lain: Singapura, Saudi Arabia, Taiwan, Uni emirat Arab dan Jepang.
Nilai ekonomi glubal gaharu bervariasi tergantung kelasnya. Penentuan
kelas glubal gaharu tersebut didasarkan atas kandungan atau kadar resin yang
dimiliki glubal gaharu tersebut. Ada beberapa kelas glubal gaharu yang dikenal
dalam bisnis/perdagangan glubal gaharu seperti: kelas super, AB, BC, C1, dan C2.
harga glubal gaharu yang berlaku untuk masing masing kelas pada saat ini dapat
dilihat pada table 1 berikut ini.
Tabel 6.1. Harga glubal gaharu menurut kelas
No.

Klasifikasi
1
2
3
4
5

Super
AB
BC
C1
C2 (kemedangan)

Harga per Kg (Rp.)


4.000.000 5.000.000
2.000.000 3.000.000
1.000.000 1.500.000
500.000 750.00
100.000 250.00

VI-7

6.6. Bahan Diskusi


1. Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok membuat poster dengan judul : Peluang dan
Permasalahan Pengembangan Gaharu di Indonesia
2. Tiap kelompok akan mengomentari atau bertanya mengenai poster yang
dibuat oleh kelompok lain
3. Wakil dari tiap kelompok akan memaparkan dan menjawab pertanyaan atau
komentar dari kelompok lain

6.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/

6.8. Latihan Soal-Soal


1. Tuliskan potensi dan penyebaran jenis-jenis inang terbentuknya kayu gubal
gaharu baik di dunia dan khususnya di Indonesia
2. Tuliskan budidaya dan inokulasi gaharu
3. Tuliskan cara pemanenan dan pengolahan gaharu

VI-8

BAB VII. SERANGGA BERGUNA


Tujuan Umum
Menjelaskan jenis-jenis serangga hutan, potensi dan budidaya, teknologi
pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa
produk serangga hutan dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan lebah madu, ulat sutera dan kutu lak sebagai serangga berguna
penghasil produk hasil hutan bukan kayu

7.1. Serangga Berguna


Serangga memiliki nilai yang sangat bagi kehidupan manusia. Peran
serangga sebagai penyerbuk, dekomposer, bahan makanan, nilai estetika dan lain
sebagainya sangat berarti bagi kehidupan manusia. Pada bab ini akan dibahas
beberapa serangga yang berguna bagi kehidupan manusia.

7.2. Jenis-jenis Serangga Hutan Berguna


7.2.1. Lebah Madu
Lebah dan Perlebahan
Lebah adalah serangga dari ordo hymenoptera yang dapat menghasilkan
madu sedangkan perlebahan adalah suatu rangkaian kegiatan pemanfaatan lebah
dan produk-produknya serta vegetasi penunjangnya untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat

dengan memeperhatikan

aspek kelestariaannya.
Manfaat perlebahan antara lain:
1. Dapat menghasilkan produk-produk berupa madu, tepung sari, royal jelly, lilin
lebah, propolis, bias lebah, larva lebah, koloni lebah dan ratu lebah.
2. Dapat membantu meningkatkan produksi tanaman pertanian terutama buahbuahan, dan sayuran oleh adanya penyerbukan tanaman oleh lebah.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan
pelestarian hutan dan vegetasi lainnya.

VII-1

4. Meningkatkan gizi keluarga


5. Perlebahan dapat memanfaatkan tanaman pakan lebah yang telah biasanya
berupa hutan, perkebunan, tanaman pakan dan holtikultura sehingga dapat
meningkatkan nilai hutan.

Jenis-jenis lebah madu


Jenis-jenis lebah yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perlebahan
untuk menghasilkan madu dan produk lainnya adalah sebagai berikut:
1. Apis florea
Apis florae memiliki sosok tubuh yang sangat kecil. Lebah ini membangun
sarang dengan cara menggantungnya pada pohon yang kecil. Diemeter sarangnya
berkisar 8-10 cm. Produksi madu dari lebah Apis florae ini sangat sedikit yaitu
kurang dari 1 ons per bulan.
2. Apis trigona
Lebah trigona memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari Apis florae.
Lebah ini bersarang pada lubang-lubang bamboo atau kayu. Lebah ini
menghasilkan banyak lilin sehingg kadang juga disebut lebah lilin. Lebah ini
menghasilkan madu kurang dari 2 ons per bulan.
3. Apis cerana
Lebah ini disebut juga lebah lalat karena ukurannya menyerupai lalat. Di
jawa disebut tawon undhuhan. Lebah ini jinak sehingga banyak dibudidayakan
secara tradisional di Indonesia. Kegiatan budidaya lebah ini sering disebut dengan
perlebahan lokal.
4. Apis mellifera
Lebah Apis mellifera sangat beragam dan terdiri atas beberapa ras yaitu
ras Asia, Afrika dan Eropa sehingga banyak yang mengelompokkan lebah ini ke
dalam tiga kelompok besar berdasarkan rasnya:
a) Apis mellifera indica (ras Asia)
Lebah ini mendiami daratan tropis Asia, seperti: India, Pakistan, Cina,
Srilangka, Filipina, dan Indonesia. Hasil madu tidak terlalu tinggi.

VII-2

b) Apis mellifera indica (ras Afrika)


Lebah ini banyak tersebar di Afrika yang meliputi: Mesir (Apis
mellifera fasciata), Malta (Apis mellifera intermissa), Madagaskar (Apis
mellifera unicolor). Produksi madunya realatif tinggi namun, lebahnya sulit
disingkirkan ketika di panen madunya.
c) Apis mellifera (ras Eropa)
Jenis ini disebut juga dengan nama lebah eropa karena berasal dari
eropa. Lebah ini banyak dikembangkan di Eropa yang meliputi: Belanda (Apis
mellifera mellifera), Negara-negara Skandinavia (Apis mellifera lehzeni), dan
Italia (Apis mellifera ligustica), dan lain-lain.
Berbeda dengan lebah lokal, lebah eropa memiliki jenis pilihan
tanaman yang terbatas. Tanaman penghasil madu yang telah dikenal sebagai
pakan lebah eropa di Indonesia antara lain: kapuk randu, rambutan, lengkeng,
durian, karet, dan tanaman jagung, pada musim paceklik untuk diambil tepung
sarinya.
Teknik budidaya lebah eropa lebih rumit dibandingkan lebah lokal.
Oleh karena bukan merupakan lebah asli Indonesia, maka lebah ini sangat
rentan terhadap serangan hama dan penyakit terutama kutu Varroa jacobsoni
dan Tropilaelaps clarae sehingga dalam pemeliharaannya harus dilakukan
secara hati-hati dan memerlukan perhatian khusus.
5. Apis dorsata
Lebah Apis dorsata memiliki ukuran tubuh yang besar dibandingkan lebah
madu lainnya. Lebah ini membuat sarang di pepohonan, gua, gua atau balok-balok
kayu yang sengaja dipasang oleh pemburu lebah. Bentuk dan ukuran sarangnya
bervariasi. Lebar sarangnya dapat mencapai dua meter. Jumlah lebah dalam satu
koloni dapat mencapai ratusan ribu ekor. Lebah ini sangat ganas dan liar sehingga
kadang juga disebut lebah liar. Satu sarang lebah ini dapat dihasilkan sekitar
20 kg.
Perlebahan lebah hutan dilakukan dengan cara pemburuan madu lebah
hutan (Apis dorsata). Teknik budidaya lebah ini dalam kotak sampai saat ini
masih belum dapat dilakukan. Teknik perlebahan lebah hutan biasanya dilakukan
dengan menggunakan gelodok yang ditempatkan ke dalam hutan kemudian

VII-3

memancing lebah hutan tersebut untuk membuat koloninya ke dalam gelodok


tersebut. Selain itu, teknik perlebahan lebah hutan ini dapat juga dilakukan dengan
menggunakan sanggau yaitu teknik memancing lebah dengan memberikan habitat
buatan bagi lebah hutan dengan memasang batang kayu yang dipasang mendatar
agak miringpada dua buah tiang atau pohon yang cukup kokoh menopang batang
kayu tersebut. Sedangkan pemburuan lebah dilakukan dengan cara memburu
sarang lebah hutan yang hidup msecara alami di hutan untuk mendapatkan madu
dan lilinnya.
Di Indonesia perlebahan lebah hutan masih banyak di lakukan di berbagai
daerah. Daerah-daerah yang dikenal sebagai penghasil lebah hutan adalah Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, dan hamper seluruh daerah Sumatera.
Ada beberapa jenis pohon yang dikenal sebagai tempat yang sering
dimanfaatkan oleh lebah untuk membangun koloninya. Jenis-jenis pohon tersebut
antara lain: pohon sialang, kempas, rengas, cempedak, dan kayu ara. Pada
umumnya satu pohon dapat dihuni puluhan koloni lebah hutan bahkan dapat
mencapai seratus koloni.

Kehidupan Lebah
Lebah adalah serangga social yang hidup bergerombol membentuk koloni.
Setiap koloni lebah terdiri atas tiga jenis lebah yaitu: lebah ratu, lebah jantan dan
lebah pekerja.
1. Lebah ratu
Lebah ratu dalam koloni lebah berjumlah hanya satu ekor. Cirri-ciri lebah
ratu ini adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai ukuran tubuh yang lebih panjang dan besar dibandingkan lebah
jantan dan lebah pekerja.
b. Berkelamin betina sempurna.
c. Di dalam tubuh terdapat organ tubuh yang penting yaitu spermatheca
(kantong sperma) dan ovariol. Spermatheca berfungsi untuk menampung

VII-4

sperma lebih jantan setelah selesai perkawinan sedangkan ovariol berfungsi


untuk memproduksi telur.
d. Bertugas mengembangkan keturunannya dengan bertelur sampai akhir
hayatnya. Kemampuan bertelur Apis cerana sebanyak 500-900 butir per hari
sedangkan ratu Apis mellifera sebesar 1.000-1.500 butir per hari.
e. Umurnya dapat mencapai lima tahun namun produktifitas tertinggi umunya
hanya sampai du tahun.
f. Mempunyai sengat tetapi hanya dipergunakan bila terjadi peperangan antara
ratu dan dapat digunakan untuk menyengat berkali-kali.
2. Lebah jantan
Dalam satu koloni, lebah jantan berjumlah puluhan. Ciri-ciri lebah jantan
adalah sebagai berikut:
a. Tubuh pendek gemuk, sayap panjang dan lebar hamper menutupi seluruh
tubuhnya, mata besar.
b. Memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari lebah pekerja tetapi lebih kecil
dari lebah ratu
c. Berkelamin jantan dan tidak mempunyai sengat.
d. Berfungsi mengawini ratu pada musim kawin. Lebah jantan ini akan mati
setelah mengawini ratu.
3. Lebah pekerja
Lebah pekerja merupakan jenis lebah yang paling banyak terdapat dalam
koloni lebah. Jumlah lebah pekerja ini dapat mencapai ribuan. Ciri-ciri lebah
pekerja adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil lebah ratu dan lebah jantan
b. Berkelamin betina tidak sempurna sehingga tidak dapat melaksanakan
perkawinan.
c. Mempunyai sengat sebagai senjata untuk mempertahankan diri dan koloninya
tetapi hanya dapat dipergunakan sekali.
d. Pada bagian mulut dilengkapi dengan lidah penghisap (proboscis) yang
panjang sehingga mampu menghisap cairan nectar/ madu dan air.
e. Pada kedua pasang kaki belakang memiliki corbicula (alat pengangkut tepung
sari).

VII-5

f. Tugas lebah pekerja ini adalah membersihkan sarang; memberi makan larva,
ratu dan jantan; membangun sarang; menjaga keamanan sarang; mencari,
mengangkut nectar, tepung sari dan air dan meprosesnya menjadi makanan
dan menyimpannya ke dalam sarang; memilihara suhu sarang agar tetap
hangat untuk perkembangan hidup telur, larva, pupa dan lebah.
Dalam hidupnya, bentuk sarang antara lebah apis cerana dan apis mellifera
memiliki perbedaan dengan lebah apis dorsata. Apis cerana dan apis melllifera
membangun sarangnya bersisir-sisir secara parallel sedangkan lebah apis dorsata
hanya membangun sarang selembar dengan berukuran sangat besar.

Teknik Budidaya Lebah


Jenis lebah yang umum dibudidayakan saat ini adalah lebah lokal (Apis
cerana) dan lebah eropa (Apis mellifera). Kedua jenis lebah ini biasanya
dikembangkan dalam kotak lebah. Teknik budidaya ini sangatlah sederhana yang
penting lokasi perlebahannya mendukung perkembangan lebah tersebut peternak
tahu biologi lebah.
1. Persyaratan lokasi
Beberapa persyaratan lokasi bagi kegiatan budidaya lebah adalah:
a. Di sekitar tempat pemeliharaan lebah harus cukup tersedia tanaman pakan
lebah. Pakan lebah adalah nectar yaitu cairan manis yang dihasilkan oleh
tanaman, umumnya dikeluarkan dari bunga atau kuncup daun muda, kemudian
oleh lebah diproses untuk menghasilkan madu. Pakan lebah lain di samping
nectar adalah tepung sari yang dihasilkan oleh bunga tanaman. Jenis-jenis
tanaman pakan lebah adalah kelapa, kaliandra, akasia, kapuk randu, aren,
durian, rambutan, lengkeng, jambu mete, magga, alpukat, asam jawa, jagung,
mentimun, bunga matahari, jambu air, karet, kopi, lamtoro, eucalyptus dan
lain-lain.
b. Suhu udara yang baik sekitar 20-32 oC dengan kelembaban 70-80 %.
c. Tersedia cukup air bersih
d. Jauh dari sumber kebisingan, polusi udara, asap dan bau-bauan yang
menyengat.

VII-6

2. Peralatan Budidaya Lebah


Dalam kegiatan budidaya lebah diperlukan peralatan sebagai berikut:
a. Kotak lebah yang di dalamnya terdapat bingkai sarang, tutup kotak dan alas
kotak serta tiang penyangga kotak.
b. Pengasap untuk mengasapi lebah agar lebih jinak pada saat pemeriksaan
koloni dan pemanenan.
c. Pisau untuk mengiris sisiran sarang yang menempel satu dengan yang lain.
d. Sikat lebah
e. Alat pemanen madu: ekstraktor, penyaring madu dan drum plastic.
Selain itu juga diperlukan pakaian kerja denga lengan yang panjang
dilengkapi dengan masker dan sarung tangan untuk mencegah serangan sengatan
lebah mengenai bagian tubuh.
3. Pengadaan koloni lebah
Untuk budidaya lebah Apis cerana, pada umumnya koloni lebah diperleh
dari penangkaran lebah yang hidup secara alami atau mendapatkan dari hasil
penangkaran para peternaka baik yang dipelihara dalam gelodok maupun kotak
lebah. Pada budi daya lebah Apis mellifera bibit/koloni lebah diperoleh dari lebah
paket atau dari peternak/penjual koloni lebah.
Pemindahan lebah yang berasal dari alam (lubang, pohon, wuwungan
rumah, gelodok) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Persiapkanlah terlebih dahulu peralatan budidaya yaitu kotak lebah kosong,
kotak pemindah lebah, kurungan ratu, pengasap, pisau, tali rafiah, dan pakaian
pemelihara lebah.
b. Asapilah keluarga lebah yang akan dipindahkan
c. Carilah dengan teliti ratu lebah, setelah diperoleh masukkan ke dalam
kurungan ratu kemudian tempatkan ke dalam kotak lebah yang telah
disiapkan.
d. Pilihlah tiga atau lebih sisiran sarang yang banyak mengandung telur, larva,
pupa, tepung sari dan madu.
e. Mengiris sisiran-sisiran sarang tersebut dengan pisau pada pangkal di mana
sisiran sarang menempel pada tempat sebelumnya.

VII-7

f. Satu-persatu sisiran sarang kemudian diikat dengan tali rafiah pada bingkai
sisiran dan ditempatkan ke dalam kotak lebah yang sebelumnya telah terdapat
ratunya.
g. Memasukkan seluruh lebah ke dalam kotak lebah, bila terdapat lebah yang
masih tersisa akan masuk ke dalam kotak lebah denga sendirinya. Biarkan
beberapa saat, setelah seluruhnya masuk maka tutuplah kotak lebah.
h. Angkut kotak lebah dan tempatkan di atas tiang penyangga pada lokasi yang
direncanakan.
i. Kurungan ratu dibuka setelah koloni lebah dalam keadaan tertib dan tenang.
Koloni lebah jangan diusik setelah lebah kerasan betul.
4. Pemeriksaan Pengadaan koloni lebah
Pemeriksaan koloni lebah dilakukan untuk mengetahui perkembangan
koloni lebah. Pemeriksaan koloni lebah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Setelah berpakaian kerja lengkap posisi peternak berdiri di samping atau di
belakang kotak lebah untuk menghindari terhalangnya lalu lintas lebah yang
keluar masuk kotak
b. Membuka kotak lebah perlahan-lahan dan hembuskan sedikit asap ke dalam
kotak ke dalam kotak lebah sehingga lebahnya tenang.
c. Memeriksa satu-persatu sisiran sarang dimulai dari bagian pinggir dengan
cepat dan teliti. Pemeriksaan sisiran tepat di atas kotak lebah. Hal ini
dimaksudkan agar ketika lebah ratu terjatuh akan tetap ke dalam kotak. Halhal yang perlu diperiksa adalah keberadaan ratu, terdapatnya makanan lebah
(madu dan tepung sari), telur larva dan pupa.
d. Memeriksa jumlah telur, apabila dalam sarang banyak terdapat telur dapat
dipastikan bahwa ratunya masih terdapat dalam koloni tersebut dan dalam
keadaan produktif.
e. Apabila pada sarang bagian bawah banyak terdapat tabung calon ratu (sel
calon ratu), maka kondisi ratu sudah tidak baik/tua atau mungkin juga ratu
sudah tidak terdapat dalam koloni tersebut. Namun apabila ratu masih ada dan
keberadaanya masih diinginkan, maka sebaiknya seluruh tabung calon ratu
dibuang, tetapi bila ratu keberadaannya sudah tidak kita kehendaki atau di

VII-8

dalam koloni sudah tidak terdapat ratu maka pilihlah satu tabung calon ratu
yang terbaik dan biarkan sampai menetas menjadi ratu baru.
5. Menggabungkan koloni lebah
Apabila terdapat satu koloni lebah yang lemah atau tidak mempunyai ratu
atau sedangkan terdapat koloni lebah yang lebih kuat. Maka kedua koloni ini
dapat digabung. Cara adalah dengan menempatkan koloni lebah yang lebih lemah
di atas koloni lebah yang lebih kuat, di antara koloni tersebut dilapisi dengan
kertas Koran yang diberi beberapa lubang, dengan masing-masing diameter
lubang sekitar 0,6 cm atau sebesar pensil. Koran tersebut diolesi dengan sirup gula
sehingga menarik lebah untuk berkerumun pada koran dan akhirnya terjadi kontak
antara lebah-lebah yang berasal dari dua koloni yang berbeda. Pada akhirnya
lebah-lebah tersebut akan bergabung menjadi satu koloni.
6. Pemecahan Koloni Lebah
Jika kita ingin memperbanyak jumlah koloni lebah, maka kita dapat
membagi koloni lebah menjadi dua koloni. Caranya adalah dengan membagi
koloni kuat menjadi dua koloni. Koloni kuat adalah koloni yang mempunyai
sisiran sekurang-kurangnya 8 sisiran yang dikerumuni secara padat oleh lebah
pekerja. Di dalam sel-sel sarang penuh dengan telur-telur, larva dan pupa sertaserta sel-sel kosong lainnya berisi madu dan dan tepung sari pekerja.
Setelah kedua koloni pecah maka salah satu ratu ini memiliki lebah ratu
sedangkan koloni yang lain tidak memiliki ratu. Untuk menjamin kelangsungan
hidup koloni ini maka koloni yang tidak mempunyai ratu ini harus diberikan ratu
baru yang berasal dari penangkaran ratu (beternak ratu0 atau membeli dari
penangkar ratu lebah.
7. Beternak Lebah Ratu
Koloni lebah yang digunakan sebagai koloni induk harus kuat, sehat,
produktif dan jinak. Pelaksanaan beternak ratu dilaksanakan pada musim
berbunga tanaman agar koloni lebah cukup tersedia makanan baik berupa madu
maupun tepung sari guna mendukung pertumbuhan sel-sel ratu baru.

VII-9

8. Perawatan koloni Lebah


Perawatan koloni lemah adalah suatu kegiatan memberikan perlakuan
tertentu pada koloni lebah agar terhindar gangguan akibat serangan hama dan
penyakit, selain itu juga menyangkut pemberian makanan tambahan pada koloni
lebah jika dalam koloni kekurangan makanan pada musim paceklik.
Koloni lebah seringkali diserang oleh hama penyakit dan hewan pemangsa
(predator). Beberapa hama dan predator yang sering menyerang koloni lebah
adalah: kutu lebah, semut, katak, cicak, kecoak, dan burung pemangsa lebah.
Untuk memberantas kutu lebah dapat dilakukan dengan menggunakan campuran
kapur barus dan belerang.
Pada musim paceklik, di mana sumber makanan lebah berupa nectar dan
tepung sari sangat kurang maka koloni perlu ditambahkan makan tambahan untuk
menjamin kelangsungan hidup koloni lebah tersebut. Makanan tambahan yang
dapat diberikan pada koloni lebah adalah sirup gula. Apabila tidak terdapat cukup
persediaan tepung sari di dalam sarang maka perlu diberikan tepung sari segar
atau tepung sari tiruan. Keadaan paceklik ini dapat diatasi pula dengan
memindahkan pada tempat lain yang memiliki pakan lebah yang cukup.

Pemanenan Koloni Lebah Budidaya


Hasil produksi yang dapat dipanen pada koloni terdiri atas beberapa jenis
antara lain: pemanenan lebah madu, tepung sari, royal jelly, dan lilin.
1. Pemanenan Madu
Sisiran madu yang siap panen umumnya pada permukaannya telah dilapisi
lilin oleh lebah-lebah pekerja. Cara pemanenan lebah madu ini adalah sebagai
berikut:
a. Mengambil sisiran madu mulai dari bagian pinggir kemudian dikumpulkan
menjadi satu denga sisiran-sisiran yang lain yang telah siap panen.
b. Kupas lapisan lilin yang menutupinya dengan pisau dan masukkan ke dalam
ekstraktor untuk diputar.
c. Cairan madu disimpan dalam bejana plastic (drum) selanjutnya disaring untuk
siap dikemas dalam botol atau bentuk kemasan lain.

VII-10

2. Pemanenan Tepung sari


Pemanenan tepung sari (bee pollen) dilakukan dengan cara memasang
perangkap tepung sari (pollen trap) pada pintu masuk kotak lebah. Perangkap
tepung sari berlubang-lubang dengan diameter setiap lubang sekitar 5 mm yang
hanya pas untuk seekor lebah pekerja. Lebah pekerja yang baru kembali dari
lapangan dan membawa tepung sari akan melewati lubang tersebut. Oleh karena
kakai belakangnya penuh dengan tepung sari maka lebah pekerja akan
merontokkan tepung sari. Ronntokan tepung sari tersebut akan tertampung dalam
kotak kecil pada pollen trap.
3. Pemanenan Royal Jelly
Pemanenan royal jelly biasa dilakukan pada koloni lebah eropa (Apis
mellifera). Cara pemanenan royal jelly dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Mempersiapkan bingkai sisiran kosong pada bingkai yang memiliki tiga
bagian batang bingkai membujur. Pada batang bingkai tersebut diletakkan
tabung-tabung calon ratu yang terbuka dari plastic sebanyak 50 buah.
b. Ke dalam masing-masing mangkuk (tabung calon ratu) diisi dengan larva
berumur kurang dari tiga hari. Pemindahan larva harud dilakukan secara hatihati agar larva tetap dalam keadaan hidup.
c. Tempatkan bingkai sarang tersebut ke dalam koloni yang kuat. Pada umumnya
2-3 hari kemudian tabung-tabung calon ratu telah diisi makanan oleh lebah
pekerja berupa royal jelly.
d. Royal jelly diambil dari tabung-tabung calon ratu dengan terlebih dahulu
membuang larvanya dan royal jelly ditampung dalam gelas. Selanjutnya calon
ratu yang kosong diisi lagi dengan larva untuk memproduksi royal jelly lebih
lanjut.
e. Setelah royal jelly disaring dengan kain khusus maka segera disimpan ke
dalam freezer agar tidak membusuk.
4. Pemanenan Lilin
Lilin lebah yang dapat dipanen berasal dari kupasan penutup sel-sel madu.
Untuk mendapatkan lilin yang lebih banyak dapat pula dipasang bingkai sisiran

VII-11

kosong pada saat dibangun sarangnya oleh lebah pekerja maka lilin dapat dikerok
atau diiris. Lilin yang dihasilkan dengan cara seperti ini memiliki kualitas yang
baik. Sisiran sarang tua dapat pula diambil lilinnya namun kualitas hasilnya
kurang baik.

Pemanenan Lebah Hutan


Sampai saat ini, lebah hutan (Apis dorsata) belum bisa dibudidayakan
dalam kotak lebah. Walaupun demikian, ada beberapa teknik memancing lebah
yang biasa dilakukan oleh beberapa pemburu lebah huta. Di Belitung teknik
pemancing lebah disebut system sanggau yaitu pemberian habitat buatan bagi
lebah hutan dengan memasang batang kayu yang dipasang mendatar agak miring
pada 2 buah tiang atau pohon yang cukup kokoh menopang batang kayu tersebut.
Tiang yang satu pendek dengan ukuran 120 cm sedangkan yang panjang
berukuran 2 m, sedangkan batang kayu tempat menempelnya sarang lebah
berukuran panjang 2-3 m dengan diameter 15-20 cm. penempatan sanggau pada
lokasi yang bebas dari rumput, ilalang, atau ranting-ranting semak yang dapat
mengganggu kehidupan lebahnya.
Di propinsi Kalimantan barat system ini dikenal dengan nama tikung yang
telah dilaksanakan pada suaka margasatwa danau sentarum. Berbeda dengan
sanggau yang menggunakan kayu utuh, tikung

terbuat dari papan. Tikung

dipasang pada daerah asang surut ketinggian 6 m untuk menghindari


tergenangngya air pada saat pasang.
Teknik lain yang sejenis dengan kedua teknik ini adalah system rafter yang
telah berhasil diterapkan di hutan pasang surut Vietnam dengan tingkat
penghunian sebesar 60%. Periode pemanenan dilaksanakan setiap 2 bulan sekali
dengan hasil sebesar 5-10 kg madu per koloni setiap kali panen.
Kelebihan dari 3 sistem tersebut bila dibandingkan dengan cara
pemanenan secara tradisonal adalah:
a. Resiko kecelakaan pada saat pemanenan dapat dihindari karena pemungut
tidak harus memanjat pohon yang tinggi.
b. Hasil madu dapat ditingkatkan dengan memasang sebanyak mungkin
sunggau/tikung atau rafter.

VII-12

c. Kelestarian lebah hutan dapat lebih terjamin.


Teknik pemanenan pada lebah hutan ini dilakukan dengan memburu
sarangnya untuk diperoleh madu, larva dan lilinnya. Teknik pemanenan lebah
hutan dilakukan sebagai berikut:
a. Pemanenan lebah hutan sekurang-kurangnya dilakukan dua orang. Seorang
sebagai pemanjat pohon dan lainnya sebagai sebagai pembantu yang
ditempatkan di bawah pohon untuk membantu jika madu yang telah dipanen
diturunkan ke bawah melalui tali oleh pemanjat.
b. Peralatan yang digunakan dalam pemanenan berupa pisau atau belahan kayu
yang diraut pipih untuk mengiris sarang, ember bertali dan pengasap yang
terbuat dari ikatan rumput atau batang semak-semak kering.
c. Setelah diasapi maka lebah-lebah akan meninggalkan sarangnya selanjutnya
sarang yang berisi madu tersebut kemudian diiris dengan pisau dan
dimasukkan ke dalam ember bertali.
d. Untuk menjamin kelestarian lebahnya maka pemanenan harus dilakukan
menyisahkan beberapa sisiran sarang yang berisi telur, larva dan larva. Lebih
baik kagi jika pemanenan dilakukan terhadap sisiran sarang berisi madu saja.
Dengan cara seperti ini pemanenan dapat dilakukan dua bulan kemudian.
Rata-rata perolehan madu setiap kali panen adalah sekitar 10 kg.
e. Menghindari terjadinya pembakaran sarang pada saat pengasapan.

Pemanfaatan Produk Lebah


Beberapa produk yang dihasilkan oleh lebah madu dan manfaatnya yaitu
: Madu, Royal Jelly, Serbuk Sari (Bee Pollen), Roti lebah (Bee bread), Lem/Zat
Perekat (Propolis), Lilin Lebah (Beeswax), dan Racun Lebah (BeeVenon).

7.2.2. Ulat Sutera


Ulat Sutera dan Persuteraan Alam
Ulat sutera adalah jenis serangga yang dapat menghasilkan serat sutera
yang merupakan bahan baku sutera. Sutera alam merupakan salah satu komoditi
untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun untuk pengembangan
ekspor, baik berupa kokon maupun bahan jadi.

VII-13

Persuteraan merupakan suatu rangkaian kegiatan berupa budidaya tanaman


murbei (Morus spp), pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, usaha
kerajinan dan penenunan yang menggunakan bahan benang sutera.

Untuk

memperoleh hasil yang cukup maksimal kegiatan tersebut perlu ditunjang oleh
pengadaan sarana yang cukup, teknik yang memadai dan pemasaran yang
terjamin. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu upaya konservasi lahan
melalui upaya rehabilitasi lahan dengan meningkatkan daya dukung alam melalui
budidaya tanaman murbei yang dikombinasikan dengan pemeliharaan ukat sutera
dan penanganan pasca panennya.
Hasil produksi kegiatan persuteraan alam dapat berupa kokon,
benang/serat sutera. serat sutera yang merupakan bahan baku sutera di bidang
pertekstilan, benang bedah dan parasut dengan mutu yang tinggi. Serat sutera
dibandingkan dengan serat alam lainnya seperti kapas, ramin dan bulu domba
mempunyai banyak kelebihan antara lain lemah lembut, elastisitas, diameter
benang kecil, ringan tetapi kuat dan awet, mempunyai daya tahan panas dan
meresap air yang menyebabkan ia menghangatkan pada waktu dingin dan
menyejukkan pada waktu panas, memiliki kemampuan menahan warna yang kuat,
sehingga tidak mudah pudar serta memiliki kemilau dengan daya pantul yang
sangat baik.
Mutu serat sutera terkait dengan banyak faktor antara lain teknik
pemeliharaan ulat sutera, jenis atau ras ulat sutera, jumlah dan mutu daun murbei
yang diberikan selama pemeliharaan serta penanganan pasca panen. Perlakuan
yang tepat dalam pengelolahaan kokon pasca panen sangat dibutuhkan dalam
meningkatkan mutu serat yang dihasilkan. Secara teknis mutu benang dapat
ditingkatkan dengan memperbaiki cara seleksi kokon, perlakuan terhadap kokon
seperti pengeringan dan penyimpanan serta pemintalan. Salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu dari produktivitas kokon dan meningkatkan harga jual dari
kokon adalah dengan pengeringan kokon. Pengeringan kokon mempunyai tujuan
untuk mencegah berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu dan keluar menembus
kulit kokon yang dapat menyebabkan rusaknya kokon. Pengeringan kokon dapat
memungkinkan untuk menyimpan kokon dalam jangka waktu yang lama pada
kondisi dan kelembaban lingkungan yang normal. Di samping itu pengeringan

VII-14

kokon juga dapat mengurangi kandungan air sehingga menghasilkan benang


sutera yang diinginkan.
Manfaat dari kegiatan persuteraan alam adalah sebagai berikut:
a) Meningkatkan pendapatan petani dalam waktu yang relative singkat.
b) Menyediakan lapangan pekerjaan dan lapangan usahan bagi masyarakat di
sekitar hutan.
c) Optomalisasi lahan dan mendorong pertumbuhan ulat sutera.

Gambar 7.1. Ulatsutera

Pengenalan Ulat Sutera


1. Sistematika dan Jenis Ulat Sutera
Sistematika ulat sutera (Bombyx mori) adalah sebagai berikut:
Phyllum

: Artrhropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Sub Ordo

: Ditrysia

Super famili : Bombycoidea


Famili

: Bomycidae

Genus

: Bombyx

Species

: Bombyx mori L.

2. Biologi Ulat Sutera


Ulat sutera (B.mori L) termasuk serangga yang metamorfosisnya
holometabola yaitu serangga yang perubahan bentuk/metamorfosa pada saat fasefase yang sempurna, di mana pertumbuhannya dari telur yang menetas menjadi
ulat, ulat kemudian berubah bentuk menjadi pupa dalam kokon kemudian barulah

VII-15

menjadi kupu-kupu. Tahap awal dari serangga adalah bentuk telur yang berbentuk
pipih (agak oval), dengan lebar sekitar 1 mm, panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm dan
berat 0,5 mg. Ukuran dan beratnya bervariasi berdasarkan ras dan lingkungan di
mana induk dipelihara.

Warna awal abu kehijauan.

berwarna abu muda dan pinggirannya jernih.

Pada tahap akhir akan

Telur berkumpul dalam satu

kumpulan berkisar ratusan. Masa inkubasi 9-12 hari dalam kisaran suhu 250 -300
C.
3. Ekologi Ulat Sutera
Suhu optimal untuk pertumbuhan ulat sutera dalam semua instar adalah
sekitar 20-300C dan bahkan dapat bertahan pada suhu sekitar 33-350C. Secara
alami, suhu badan ulat sutera dipengaruhi oleh suhu tempat pemeliharaannya.
Suhu badan ulat akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan atau
kelembaban. Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim suhu,
kelembaban,

kualitas

udara,

aliran

udara

dan

pencahayaan

di

lokasi

pemeliharaannya. Oleh karena itu, penyesuaian iklim mikro di tempat


pemeliharaannya sangat penting sehingga pertumbuhan masing-masing instar ulat
sutera berlangsung

optimal, sehingga dapat memproduksi kokon sebanyak

mungkin.
Tempat budidaya ulat sutera yang ideal berkisar pada ketinggian 400 - 800
m di atas permukaan laut, kelembaban udara sekitar 70-90 % dengan curah hujan
tinggi berkisar 3000-4000 mm per tahun. Curah hujan seperti ini berhubungan
dengan kelangsungan hidup dan produktivitas tanaman murbei.

Penyediaan Pakan Ulat Sutera


Pakan ulat sutera yang yang biasa dibudidayakan adalah murbe (Morus
spp.). tanaman murbei ini mempunyai banyak jenis, namun yang dikembangkan di
Indonesi adalah Morus kanva II, Morus alba, Morus chatayana, Morus
multicaulis, Morus BNK 3 dan Morus khunpai.
1. Persyaratan Tempat Tumbuh
Tanaman murbei paling baik tumbuh pada tanah yang bertekstur baik,
subur, tersedia air yang cukup, mempunyai drainase yang baik, tidak terlalu

VII-16

miring dengan curah hujan tope A atau B berdasarkan iklim Schmidt dan
Ferguson.
2. Pengolahan Tanah
Untuk mendapatkan pertumbuhan murbei yang maksimal maka tanah
harus diolah untuk menggerburkan tanahnya. Tujuan utama dari pengelolaan
tanah adalah agar akar tanaman murbei yang baru tumbuh mudah menembus
lapisan tanah untuk mendukung pertumbuhan selanjutnya.
Pengelolaan tanah dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Membuat lubang tanam dan tanah hanya diolah pada bagian yang akan
ditanaman saja, kedalaman lubang anatar 30-40 cm dengan lebar 30 cm.
b. Tanpa pembuatan lubang tanam dan membuat guludan-guludan sesuai jarak
baris tanaman.
3. Pengadaan Stek Tanaman
Setelah tanah tempat budidaya telah disiapkan, maka kegiatan selanjutnya
adalah pengadaan stek tanaman. Beberapa hal-hal penting yang harus
diperhatikan pada kegiatan pengadaan stek tanaman ini antara lain:
a. Pemilihan stek sebaiknya diambil dari tanaman murbei jenis unggul yang
berumur di atas satu tahun.
b. Pengangkutan sebaiknya diangkut pada pagi atau sore agar tidak kering
dalam penrjalanan.
c. Penyimpanan stek sebaiknya di tempat yang dingin atau lembab serta tidak
kena sinar matahari langsung.
d. Stek dipotong sepanjang sekitar 20 cm ( 4 -5 calon tunas) dengan alat
yang tajam agar batang stek tidak pecah.
4. Penanaman
Ada beberapa hal-hal penting yang harus diperhatikan pada penanaman
murbei antara lain:
a. Waktu tanam yang tepat pada awal atau pertengahanmusim hujan.
b. Jarak tanam monokultur 0,4 m x 1,2 m.
c. Jarak tanam untuk tumpang sari 1 m x 0,7 m atau 2 m x 0,6 m (tergantung
jenis tumpangsarinya).

VII-17

d. Penanaman dilakukan dengan membenangkan dua mata tunas ke dalam


tanah dan 2-3 mata tunas di atas tanah.
5. Pemeliharaan Tanaman
Kegetiatan

pemeliharaan

tanaman

meliputi

kegiatan

penyiangan,

pendangiran dan pemupukan.


a. Penyiangan adalah suatu kegiatan membuang tanaman pengganggu dan
betujuan untuk mencegah persaingan dengan tanaman dalam pengambilan
unsure hara.
b. Pendangiran adalah kegiatan menggemburkan tanah disekitar tanaman
murbei. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan Sembilan bulan sekali.
c. Pemupukan adalah kegiatan pemberian unsur hara pada tanaman baik
organic maupun anorganik. Kegiatan ini sangat penting bagi tanaman
dalam rangka meningkatkan produksi daun. Pemberian pupuk dilakukan
pada akhir musim penghujan dan waktu antara musim hujan dan musim
kemarau. Pupuk yang baik diberikan adalah NPK dengan perbandingan
200 kg N, 100 kg P dan 130 kg K per hektar per tahun. Sedangkan
pemupukan dengan pupuk organic dilakukan dengan pemberian pupuk
kandang setahun sekali sebanyak 10-15 ton/ha.
6. Pengendalian Hama dan penyakit
Hama yang sering mengganggu tanaman murbei adalah hama pucuk,
kutu daun, penggerek batang, dan kutu batang. Sedangkan penyakit yang
sering menyerang tanaman murbei adalah bintik daun, bercak daun, penyakit
karat dan bakteri.
Hama dan penyakit

yang menyerang tanaman murbei dapat

dibeberantas dengan beberapa cara yaitu dengan pemberian bahan kimia


beracun berupa insektisida dan fungisida yang mempunyai residual efek yang
sangat pendek. Pengendalian hama dan penyakit ini dapat juga dilakukan
dengan cara mekanis yaitu pemangkasan cabang yang terkena serangan.
7. Pemangkasan Tanaman
Pemangkasan tanaman murbei dilakukan pertama kali pada umur
tanaman 9-12 bulan setelah tanam, pemangkasan selanjutnya dilakukan
dilakukan setelah pemanenan daun. Cara pemangkasan dilakukan dengan

VII-18

memotong cabang dengan kemiringan 45o. Jika tanaman terserang


hama/penyakit maka sebaiknya dilakukan pemangkasan pada tanaman murbei.
Pemangkasan terakhir dilakukan pada saat saat pemanenan untuk produksi
daun
Ada tiga cara pemagkasan yaitu:
a. Pemangkasan Rendah
Pemangkasan rendah dilakukan dengan cara memangkas tanaman
murbei setinggi 10-30 cm dari permukaan tanah. Jenis pemangkasan ini
menghasilkan jumlah daun yang cukup banyak, daun tidak cepat mengeras
(tua), pemungutan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan
dengan lebih mudah.
b. Pemangkasan Sedang
Pemangkasan sedang dilakukan dengan cara memangkas tanaman
murbei setinggi 50-100 cm dari permukaan tanah. Jenis pemangkasan
seperti ini memungkinkan untuk perakaran yang lebih dalam sehingga
tanaman akan lebih tahan dalam menghadapi musim kemarau.
c. Pemangkasan tinggi
Pemangkasan tinggi dilakukan dengan cara memangkas tanaman
murbei pada ketinggian lebih dari 100 cm dari permukaan tanah. Jenis
pemangkasn ini dilakukan pada tanaman yang sering mengalami luapan
air/terkena banjir.
8. Pemanenan Daun
Pemanenan daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari
untuk mencegah kelayuan daun. Setelah daun dipanen sebaiknya disimpan
pada ruang khusus agar kebersihan dan kegaran daun terjaga.

Pemeliharaan Ulat Sutera


Jenis ulat sutera yang paling banyak dipelihara untuk memproduksi kokon
sutera alam adalah adalah Bombyx mori. Ketinggian tempat yang ideal untuk
pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon yang optimal adalah berkisar antara
400-650 darii permukaan laut. Suhu yang diperlukan berkisar antara 22-28 oC
tergantung pada perkembangan pertumbuhan ulat sutera(instar 1-5). Kelembaban

VII-19

optimal 75-85%. Apabila kelembaban yang terlalu tinggi akan meningkatkan


pertumbuhan jamur yang akan mengganggu kehidupan ulat sutera.
1. Persiapan pemeliharaan
Dalam budidaya ulat sutera, persyaratan bangunan harus mencukupi
untuk menampung jumlah boks ulat sutera yang harus dipelihara, dan harus
disesuaikan pula dengan luas tanaman murbei. Tempat di sekitar bangunan
o

harus bersih, suhu optimal 26-28

C, kelembaban optimal 75-85% serta

cahaya dan sirkulasi udara yang baik.


2. Pemeliharaan Ulat Kecil
Pemeliharaan ulat kecil dilakukan di unit pemeliharaan ulat kecil.
Ruangan dibagi menjadi empat bagian yaitu ruang alat, ruang daun, ruang
kerja dan ruang pemeliharaan ulat. Tempat pemeliharaan ulat kecil dipisahkan
dengan tempat pemeliharaan ulat besar.
a. Desinfeksi
Desinfeksi

dilakukan

untuk

mensterilkan

ruengan

tempat

pemeliharaan ulat kecil. Desinfeksi ini dilakukan sebelum kegiatan


pemaliharaan ulat kecil dengan menggunakan larutan 5 gram kaporit
dalam satu liter air atau formalin 2-3%.
b. Pemberian pakan pada ulat kecil
Pemberian pakan pada ulat kecil dilakukan dengan memberikan
daun murbei yang masih muda dengan umur pangasan 1 bulan. Untuk ulat
instar 1 diberikan daun murbei yang diambil dari pucuk sampai lembaran
daun keempat dari pucuk, instar 2 dan instar 3 diambil sampai lembaran
daun kesepuluh dari pucuk. Pemberian pakan ulat dilakukan tiga kali
sehari. Daun yang yang diberikan adalah daun murbei yang masih segar
yang telah dirajang.
c. Perlakuan ulat tidur
Tanda-tanda ulat yang tidur adalah ulat tidak bergerak, tidak mau
makan dan kepala tegak ke atas. Pada waktu ulat tidur agar ditaburi
dengan kapur, kemudian tempat ulat diperluas, jendela unit pemeliharaan
ulat dibuka.

VII-20

d. Pembersihan dan Pencegahan Hama


Pembersihan tempat pemeliharaan ulat dilakukan jika kotoran ulat
sudah banyak. Untuk mencegah serangan hama (semut, cecak, kadal dan
tikus) pada ulat maka sebaiknya tempat pemeliharaan ulat tidak terlalu
dekat dengan dinding dan kaki tempat pemeliharaan ulat diberi kaleng
yang berisi air atau oli bekas.
e. Waktu pemeliharaan ulat
Waktu yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ulat kecil berkisar 1112 hari. Pada daerah yang mempunyai suhu yang rendah umur ulat lebih
lama.
f. Penyaluran ulat
Penyaluran ulat dilakukan pada saat ulat tidur pada instar 3.
Penyaluran dilakukan pada waktu pagi, sore atau malam hari. Setelah ulat
bangun tidur (ganti kulit) desinfeksi tubuh ulat menggunakan 5 gram
kaporit dan 95 gram kapur.
3. Pemeliharaan Ulat Besar
Pemeliharaan ulat besar dilaksanakan di unit pemeliharaan ulat besar.
Ruangang pemeliharaan ulat besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruang
daun, ruang alat dan ruang pemeliharaan.
a. Desinfeksi
Desinfeksi dilakukan dengan mencampur kaporit 5 gram setiap 1
liter air, kemudian diaduk merata. Selanjutnya disemprotkan secara merata
keseluruh ruangan dengan dosis 1 liter/ m2. Bila lantai tempat
pemeliharaan ulat besar agak lembab maka perlu ditaburi dengan kapur.
b. Luas tempat ulat dan peralatan
Luas tempat pemeliharaan ulat besar yang diperlukan untuk satu
boks ulat, maksimal sekitar 16-18 m2. Pemeliharaan ulat besar dapat
dilakukan di lantai tapi sebaiknya dilakukan dengan menggunakan rak
pemeliharaan ulat dengan 2 atau 3 tingkat.

VII-21

c. Pemberian Pakan ulat besar


Pemberian pakan ulat besar dilakukan 3 kali sehari dengan daun
segar. Daun murbei untuk ulat besar adalah umur pangkasan 2-2,5 bulan
dan disertai dengan cabangnya.
d. Pembersihan dan Pencegahan Hama
Pembersihan tempat pemeliharaan ulat dilakukan jika kotoran ulat
sudah banyak. Untuk mencegah serangan hama (semut, cecak, kadal dan
tikus) pada ulat maka sebaiknya tempat pemeliharaan ulat tidak terlalu
dekat dengan dinding dan kaki tempat pemeliharaan ulat diberi kaleng
yang berisi air atau oli bekas.
e. Perlakuan dan waktu pemeliharaan ulat
Pada saat ulat besar tidur, dilakukan penaburan kapur pada ulat
besar tersebut. Waktu yang diperlukan untuk pemeliharaan ulat besar
adalah sekitar 12-14 hari. Setelah ulat berganti kulit, ulat diinfeksi
menggunakan campuran 10 gram kaporit dengan 90 gram kapur.
4. Pengokonan ulat
a. Fase pengokonan ulat
Fase mengokon adalah fase dimana ulat menjadi pupa sebelum
berubah bentuk menjadi ngengat. Selama fase ini, ulat akan mengeluarkan
serat sutera berbentuk kokon, suatu bahan yang berfungsi untuk
membungkus dirinya agar terhindar dari gangguan musuh.

Kokon

sebenarnya adalah air liur yang keluar dari mulut ulat sutera yang setelah
kering akan menjadi serat.
Bila pengokonan dilakukan sebelum, atau lewat matang maka daya
pintal (yaitu mudahnya filament kokon terurai pada saat pemintalan)
menjadi kurang dan filament yang didapat akan berkurang juga. Selain itu
ulat sutera yang lewat matang, cenderung membuat kokon yang rangkap,
kokon yang dibuat oleh dua ulat.
b. Tanda-tanda ulat yang akan mengokon
Larva membuat kokon pada umumnya 2 hari.

Ulat mulai

mengokon pada hari ke 6 atau ke 7 (instar V) dengan tanda-tanda


1)

Nafsu makan berkurang sampai berhenti makan sama sekali

VII-22

2)

Mengeluarkan serat sutera dari mulutnya

3)

Tubuh ulat menjadi kekuning-kuningan dan tembus cahaya

4)

Ulat cenderung menepi dari sarang dan mencari tempat yang tinggi.

5)

Kotorannya menjadi lembek.


Ulat sutera mula-mula berputar-putar mencari tempat mengokon

yang baik, kemudian menetap di tempat yang telah dipilihnya pada waktu
mengokon di tempat pengokonan. Beberapa waktu kemudian ulat akan
membuat serat penyanggah kokon tipis-tipis. Selanjutnya ulat akan
menurunkan

bagian

abdomennya

untuk

membuang

kotoran

dan

membuang air untuk terakhir kalinya. Sesudah itu akan memasuki tingkat
pengokonan utama.

Pada saat ulat mengokon gerakan berputar-putar

biasanya berlanjut tanpa berhenti, akan tetapi bila ulat sutera terganggu
karena perubahan lingkungan yang tiba-tiba, akan berhenti berputar-putar,
mengakibatkan daya pintal kokon menjadi rendah.
Tubuh ulat sutera terdapat sepasang kelenjar yang bentuknya
seperti pipa yang melingkar-lingkar disebut kelenjar sutera. Bagian
belakang kelenjar menghasilkan protein yang disebuat fibroin, sedangkan
bagian tengah menghasilkan protein pasta yang disebut serisin, berfungsi
sebagai pembungkus yang merupakan bahan perekat diantara lembaranlembaran serat-serat. Kedua bagian kelenjar tersebut akan bergabung
menjadi satu dan keluar dari tubuh ulat sutera melalui bagian bawah mulut
yang disebut spiniret .
c. Cara mengokonkan ulat sutera
Cara mengokonkan ulat sutera adalah sebagai berikut:
1) Ulat sutera yang terlalu cepat mengokon diambil dan langsung diletakkan
pada tempat pengokonan yang sudah disiapkan sedangkan sisanya
dikokonkan secara serentak.
2) Apabila terdapat ulat yang sakit maka pengokonan sebaiknya dilakukan
secara satu per satu.
3) Pengokonan dilakukan dengan menggunakan alat pengokonan putar,
bambu atau plastik.

VII-23

4) Setelah ulat dimasukkan ke dalam alat pengokonan, alat pengokonan


kemudian digantung.
d. Perlakuan Ulat Sutera yang baru mengokon
Ulat sutera yang baru mengokon sebaiknya perlu diperlakukan sebagai
berikut:
1) Kotoran ulat ditampung dengan menggunakan kertas Koran atau jerami,
kemudian dibakar di tempat pembuangan atau di tanam ke dalam tanah.
2) Sirkulasi udara dalam ruangan pengokonan harus baik
3) Ruangan tempat pengokonan jangan terlalu gelap.
5. Pemanenan Kokon
Setelah kokon berumur 5 - 6 hari setelah ulat sutera mengokon,
biasanya kokon sudah dapat dipanen. Waktu pemanenan harus tepat, tidak
boleh terlalu cepat atau terlambat. Bila waktu pemanenan terlalu awal, pupa
masih muda sehingga mudah pecah dan mengakibatkan pupa mati dan kokon
menjadi kotor. Sebaliknya, jika pemanenan terlambat pupa yang ada dalam
kokon akan berubah menjadi kupu-kupu dan keluar merusak kulit kokon.
Untuk mengetahui bahwa kokon siap panen adalah kokon berbunyi apabila
digoyangkan dan bila dikupas pupa telah berwarna coklat.
Cara pemanenan dilakukan dengan memungut kokon-kokon dari
tempat pengokonan dengan hati-hati dan dikumpulkan pada wadah sambil
dibersihkan dan kotoran yang menempel.

Pada saat panen, sekaligus

dilakukan seleksi untuk memisahkan antara kokon yang baik, kembar, cacat
(kotor, kempes, busuk,), kemudian dikumpulkan dalam wadah yang berbedabeda.

Seleksi kokon ini sangat penting sebab tingkat mutu kokon akan

menentukan mutu benang sutera yang akan dihasilkan.


6. Pengeringan Kokon
Kokon yang akan dipintal di kemudian hari harus diawetkan terlebih
dahulu dengan cara dikeringkan. Pengeringan kokon dimaksudkan untuk
mematikan pupa serta mengurangi kandungan airnya, agar kokon dapat
disimpan dalam jangka waktu tertentu (lebih lama). Pengeringan kokon dapat
dilakukan dengan cara dijemur atau dioven. Apabila kokon tersebut tidak

VII-24

dikeringkan harus segera dipintal agar ngengat tidak keluar. Lama


penyimpanan untuk kokon yang dikeringkan dengan cara dijemur di bawah
sinar matahari biasanya sekitar 7 hari sedangkan untuk kokon yang
dikeringkan dengan oven dapat disimpan sampai satu bulan.
Tujuan dari pengeringan adalah sebagai berikut :
a) Mematikan pupa yang ada di dalam kokon supaya tidak menjadi kupukupu dan merusak kulit kokon pada waktu keluar dari kokon.
b) Mengeringkan kokon sehingga beratnya berkurang menjadi 40 % dari
berat kokon basah (fresh cocoon) dan tidak mudah rusak dalam
penyimpanan sebelum dipintal.
Tanda-tanda kokon yang telah mencapai kering standar yaitu : berat
kokon lebih ringan, apabila kokon digoyang bunyinya gemerincing atau
suaranya nyaring, apabila pupa dikeluarkan dan ditekan, pupa akan hancur.
Penentuan tingkat kering standar dicapai apabila presentase kering sekitar 38 40 %.
Cara-cara pengeringan kokon dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu
sebagai berikut :
a) Penjemuran dengan sinar matahari
b) Dengan uap air
c) Dengan suhu panas
Kondisi pengeringan dan mutu kokon dipengaruhi beberapa faktor
yaitu :
a) Suhu pengeringan
Suhu pengeringan mempunyai pengaruh besar pada lapisan sutera. Jika
suhu

melampaui batas tertinggi maka serisin akan ruasak dalam proses

reeling, efesiensi daya reeling (reebility) menurun.


b) Suhu akhir pengeringan
Suhu pengeringan akhir yang tinggi akan meningkatkan efisiensi
pengeringan, namun daya larut serisin di lapisan sutera akan menurun, jika
derajat pengeringan melampaui batas.

VII-25

c) Pengaruh kelembaban udara


Mutu kokon sedikit dipengaruhi oleh kelembaban udara di dalam mesin
pengering. Ventilasi yang tidak memadai akan menyebakan suhu dan
kelembaban menjadi tinggi dan dapat merusak daya urai kokon
d) Pengaruh kecepatan angin
Kecepatan angin mempunyai pengaruh pada mutu kokon. Jika tekanan
angin merata dibagian mesin pengering maka akan menyebabkan
pengeringan yang tidak merata.
e) Derajat pengeringan
Derajat pengeringan dinyatakan oleh ratio berat kokon segar terhadap
kokon kering.
f) Waktu pengeringan
Waktu pengeringan bervariasi, tergantung dari mutu kokon, ketebalan
tumpukan kokon yang dikeringkan dan kondisi udara di ruangan
pengeringan.
g) Ketebalan lapisan pengeringan
Ketebalan lapisan pengeringan kokon pada sasag pengeringan dengan
oven berkisar antara 2 - 3 butir kokon.
7.

Presentase Kandungan Air Kokon


Presentase kandungan air bervariasi menurut variates ulat sutera, musim
pemeliharaan, jantan atau betina,. Kondisi persentase/kandungan air pada
masing-masing kokon ditunjukkan pada table . Persentase kandungan air
terdapat pada pupa sehingga pada saat pengeringan kokon segar sangat
dipengaruhi oleh kadar air di tubuh pupa. Jika kokon segar dimasukkan ke
dalam mesin pengering, maka mula-mula air akan menguap dari lapisan sutera
kemudian panas dipindahkan ke tubuh pupa melalui lapisan sutera. Setelah
pupa mati penguapan air dari pupa dipercepat.

Tabel 7.1. Persen kandungan air kokon


Bagian
Lapisan sutera
Pupa
Kokon seluruhnya

Kokon Segar (%)


11-12
75-79
61-64

Kokon Kering (%)


6-7
7-13
6-12

VII-26

8. Mutu Kokon
Mutu kokon hasil pemeliharaan ulat sutera ditentukan oleh sifat
keturunan jenis ulat sutera, teknik pemeliharaan dan kondisi agroklimat
tempat pemeliharaan ulat sutera. Perbedaan kondisi tersebut menghasilkan
kokon yang mutunya berbeda. Kriteria kokon bermutu baik adalah berwarna
putih bersih, bentuk bulat telur (normal), permukaan kulit kokon tidak cacat,
bagian dalam pupa tidak rusak atau hancur (bila dikocok akan berbunyi), berat
kokon normal 1-2 gr dan persentase kulit kokon 14-26 %.
Kokon akan dinilai sebagai kokon di bawah standar pada waktu
pemeriksaan jika kokon yang bermutu rendah tercampur dalam sekumpulan
kokon pada waktu pengiriman. Untuk mencegah kerugian ini, kokon harus
diseleksi dengan sangat seksama. Kokon berkualitas rendah yang yang harus
disingkirkan termasuk kokon ganda, kokon berlubang, kokon yang kotor di
luar, atau di dalam, kokon yang ujungnya tipis, kokon berkulit tipis, kokon
berbekas.
Kokon merupakan hasil terakhir pada pemelihara ulat sutera dan
kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat dan keadaan luar
seperti keadaan selama dalam pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain-lain.
Syarat syarat kokon yang berkualitas baik adalah sebagai berikut :
a) Kokon yang dalam keadaan normal dan sehat (tidak cacat)
b) Kokon dalam keadaan bersih dan berwarna putih
c) Bagian dalam kokon (pupanya) tidak rusak dan hancur
d) Bagian kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras jika ditekan
e) Kokon memenuhi syarat pemintalan sehingga pada saat dipintal tidak
mengalami kesulitan.
Dalam menentukan kelas kokon dilakukan pengujian secara visual
(fisik) dan cara laboratorium. Parameter yang diuji untuk menentukan
klasifikasi mutu kokon secara visual (fisik) meliputi presentase kokon cacat,
berat kokon, dan presentase kulit kokon. Penentuan kelas mutu kokon secara
visual/fisik dapat dilihat pada tabel: Pengujian secara visual ini lebih
memudahkan petani dalam hal transaksi kokon karena pelaksanaannya lebih

VII-27

mudah dan peralatan yang digunakan sederhana dan cepat diketahui hasilnya.
Sedangkan uji laboratorium dilakukan apabila diperlukan kualitas kokon
secara rinci termasuk mutu serat sutera. Pengujian ini memerlukan peralatan
dan keahlian khusus serta memerlukan waktu yang relative lebih lama.
Tabel 7.2. Penentuan kelas mutu kokon secara visual/fisik
No.

Kokon Cacat

Berat Kokon

Kulit Kokon

Kelas

25

1,1 4

1,5-1,9

20 24,9

4,1 8

1 1,4

15 19,9

8,1

0,9

14,9

7.2.3. Kutu Lak


Lak merupakan suatu jenis damar alam yang bersifat resin dihasilkan oleh
sekresi insekta yang disebut L. lacca Kerr, yang mana sekresi ini digunakan oleh
serangga untuk membuat rumah dan melindungi dari serangan musuhnya
Lak atau laksa (dalam bahasa India) berasal dari bahasa Sangsekerta yang
artinya seratus ribu.

Hal ini diartikan bahwa bahan tersebut dihasilkan oleh

ratusan ribu kutu lak yang membentuk koloni yang mempunyai ribuan anggota
yang hidup disuatu cabang pohon tertentu.

Dalam lak cabang yang diolah

menjadi lak butiran terdapat 17 000 sampai 19 000 kutu lak.


Kutu lak (L. lacca Kerr) pertama kali didatangkan dari India pada tahun
1963 oleh Dr. P. Van der Groot, Direktur Institut voor Plant Ziekten. Percobaan
dilakukan di daerah hutan Bogor, Kedungjati, Wilangan, Pare dan Besuki.
Sebagai percobaan telah ditularkan pada tanaman kesambi (S. oleosa) dan
berhasil.

Percobaan budidaya kutu lak oleh Perum Perhutani pertama kali

dilakukan di SKPH Banyukerto, KPH Madiun (wilayah Sampung). Selain itu


percobaan juga dilakukan diwilyah kerja Dinas Kehutanan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Secara umum di Indonesia, lak digunakan sebagai bahan pelitur untuk
barang meubel. Di luar negeri, lak digunakan sebagai bahan pelapis makanan
(coklat dan permen) serta untuk industri farmasi.

Disamping itu lak banyak

VII-28

digunakan sebagai bahan isolasi listrik, bahan piringan hitam, bahan tinta cetak,
bahan perekat, bahan campuran dalam industri semir sepatu, dan bahan penyamak
kulit.
a

Gambar 7.2. Beberapa produk hasil olahan lak : a. lak putih, b. Mica, c. kayu
yang telah dipernis, d. keripik lak, e. permen yang menggunakan lak
sebagai pelapis
Budidaya kutu lak terdiri dari enam tahapan kegiatan, yaitu :
1). Persiapan tularan
Persiapan tularan meliputi kegiatan penentuan lokasi, babat tumbuhan bawah,
wiwilan pada calon-calon pohon inang untuk membuang ranting-ranting yang
kering dan kurang baik.
a. Persiapan awal, yaitu persiapan yang dilakukan pada lokasi yang belum
pernah ditulari.
- Tujuan

menyiapkan lokasi tularan agar diperoleh ranting


yang baik dan cocok untuk ditulari kutu lak.

- Waktu

: 1.5 tahun sebelum pelaksanaan tularan

- Pelaksanaan

: dengan pemangkasan seluruh ranting pohon inang


yang direncanakan untuk ditulari

b. Persiapan akhir (menjelang tularan).


Persiapan ini dilakukan dengan kegiatan :
- Babat tumbuhan bawah pada lokasi yang direncanakan untuk tularan

VII-29

- Rempelan/wiwilan untuk membuang ranting-ranting kering dan tidak


baik agar tidak dirambati kutu lak, sehingga kutu lak tidak terlalu jauh
dalam mencari ranting yang dikehendakinya.
- Membuat sekat bakar, untuk tularan pada musim kemarau.
2) Penularan bibit lak
Tularan yaitu menempelkan lak bibit yang telah diseleksi, dimasukkan
dalam kantong dan dalam kroso kemudian diletakkan pada ranting-ranting
sasaran tularan dengan cara mengkaitkan kroso berisi bibit lak pada rantingranting tertentu yang memenuhi syarat.
Ranting tanaman kesambi dapat ditulari lak bibit apabila telah berumur
1.5 sampai 2 tahun. Pada umur ranting muda tersebut sangat cocok untuk
kehidupan baru kutu lak.

Jumlah lak bibit yang ditularkan banyak

berpengaruh terhadap kualitas produksi lak. Penularan bibit yang terlampau


banyak ternyata dapat mengakibatkan kualitas tularan menjadi sangat jelek,
lapisan lak menjadi tipistipis. Selain itu pada musim kemarau tanaman
inangnya menjadi menderita karena terlalu banyak lak yang menghisap cairan
yang ada di ranting dan akhirnya kering sehingga kutu lak banyak yang ikut
mati. Tanaman inang mampu menghidupi kutu lak walaupun di musim
kemarau bila jumlah lak bibit yang ditularkan optimal tergantung besar
kecilnya pohon kesambi. Lak yang dihasilkan menjadi tebal-tebal sehingga
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi lak.
Kutu lak selama hidupnya menghisap cairan pada jaringan kulit dan
jaringan kayu dari tanaman tertentu sebagai inangnya. Setelah periode
swarming larva kutu lak akan menyebar, alat mulutnya menembus kulit
batang hinggga mencapai jaringan pholem dan jaringan xylem dan mulai
menghisap cairan pohon inang.
2.1. Metode tularan terdiri dari :
a. Tularan Pas/Tetap
Yaitu sistem tularan dimana jumlah bibit yang ditularkan pada semua
pohon sudah tepat dengan kemampuan pohon, sehingga diperlukan
perhitungan yang sangat cermat dalam menentukan jumlah bibit yang

VII-30

ditularkan pada semua pohon. Dengan perhitungan tiap hektar


memerlukan bibit 250 kg yang terdiri dari 2500 kroso.
Tularan pas cocok dilaksanakan pada keadaan :
- Jumlah bibit yang tersedia sangat banyak
- Jumlah tenaga tularan terbatas
- Pohon inang tersedia dalam jumlah yang cukup
Ketentuan tularan pas :
- Seleksi bibit ketat
- Jumlah bibit yang ditularkan pada setiap pohon inang harus benar-benar
sesuai dengan kemampuan pohon
- Lama tularan kurang lebih 20 hari atau sampai kutu lak di dalam lak
cabang habis tertular
Keuntungan tularan pas :
- Tidak ada kutu terbuang karena jatuh saat pindahan
- Tidak ada biaya pindahan
- Tidak akan terjadi over injektion
Kerugian Tularan Pas :
- Apabila seleksi bibit lemah dapat terjadi salah hitungan jumlah bibit
yang ditular, sehingga volume penempelan kutu lak kurang, akibatnya
sekresi yang terbentuk tidak merata
- Memerlukan tenaga kerja terlatih dan perhitungan cermat
b. Tularan Pindahan
Tularan pindahan dilakukan apabila keadaan bibit terbatas, tenaga kerja
tularan tersedia cukup, tumbuhan inang dalam jumlah cukup. Pemindahan
dilakukan apabila penempelan kutu pada setiap ranting sudah cukup
merata. Tularan dilaksanakan dengan memindahkan lak bibit dari satu
tumbuhan inang ke tumbuhan inang lainnya.

Pemindahan dilakukan

sampai dua kali, berarti satu kali ditularkan 2 kali dipindahkan sampai 3
pohon dengan imbangan waktu : tularan : pindahan pertama : pindahan
kedua = 5 : 3 : 7 hari. Dan pada tularan pindahan harus selalu dikontrol
keadaan penempelan kutu pada ranting.

Dengan tularan pindah,

VII-31

diharapkan tujuan penularan merata dapat dicapai dalam waktu sesingkatsingkatnya dengan memerlukan tenaga yang berpengalaman.
Tularan pindahan cocok dilaksanakan pada keadaan :
- Bibit yang tersedia sedikit/terbatas
- Tenaga kerja tularan tersedia dalam jumlah yang cukup
- Pohon inang yang tersedia dalam jumlah yang cukup.
Ketentuan tularan pindahan :
- Pemindahan bibit baru dapat dilaksanakan apabila volume penempelan
kutu pada setiap ranting sudah cukup merata ( 0,5 panjang cabang)
- Volume penempelan kutu pada ranting, maksimal :
Pada musim penghujan = 2/3 panjang ranting tertular
Pada musim kemarau

= 1/3 panjang ranting tertular

Keuntungan tularan pindahan :


- Penyebaran bibit lebih merata
- Pemanfaatan bibit lebih optimum
Kerugian tularan pindahan :
- Banyak kutu lak yang hilang karena jatuh dari lak cabang bibit pada
waktu pemindahan bibit
- Memerlukan pemantauan yang relatif lebih ketat terhadap penempelan
kutu
- Memerlukan biaya pemindahan
2.2. Cara Penularan :
Setelah bibit lak dimasukkan ke dalam kantong dan kroso, bibit
tersebut dibawa ke lokasi tularan, bibit diikatkan pada ranting-ranting
pohon inang dengan arah sejajar arah ranting dan diupayakan sedekat
mungkin dengan ranting muda sasaran penularan agar kutu lak dapat
dengan mudah mencapai ranting-ranting yang disukai.
Banyaknya kroso (bibit lak yang dibalut) tiap pohon tidak sama
tergantung banyaknya jumlah cabang yang dimiliki pohon itu. Pohon
inang dibagi kedalam klas pohon (KP) yaitu berdasarkan jumlah bibit
yang dapat ditampung tiap pohon :

Klas Pohon I : terdiri dari 1 sampai 10 kroso.

VII-32

Klas Pohon II : terdiri dari 11 sampai 20 kroso.

Klas Pohon III

: terdiri dari 21 sampai 30 kroso.

Klas Pohon IV

: terdiri lebih dari 31 kroso.

Baik tularan pas maupun tularan pindahan setiap hari harus


diperiksa untuk mengetahui keadaan penyebaran kutu lak pada setiap
pohon yang ditulari.
Pada waktu swarming, larva akan keluar dan mencari tempat pada
ranting untuk kemudian memasukkan mulutnya pada ranting dan
menghisap zat makanan berupa getah (Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur 2004). Swarming terjadi pada temperatur 24 sampai 280 C antara
jam 8.00 sampai 11.00 pagi, sore hari berkisar jam 16.00 dan lama
periode ini 2 minggu. Siklus hidup kutu lak (L. lacca Kerr) 5 sampai 6
bulan dan tumbuh lebih baik pada tempat yang dingin atau lembab
dibanding pada tempat yang kering. Setelah umur 5 sampai 6 bulan
tersebut kutu lak sudah tidak memproduksi lak cabang lagi yang dicirikan
warna lak cabang kuning jernih, benangbenang lilin sudah banyak
berkurang dan terdapatnya sel-sel anakan.

Gambar 7.3. Proses penularan kutu lak : a. Seleksi bibit, b-c. Memasukkan bibit
lak dalam kantong, d. Bibit lak di bawa ke lapangan, e. Persiapan
penularan lak, f-g. Peletakan bibit lak pada tanaman kesambi, h.
Bibit lak yang telah diletakkan di pohon.

VII-33

Gambar 7.4.

Kutu lak yang swarming dan mulai mencari tempat pada ranting
(beberapa hari setelah peletakan bibit)

Gambar 7. 5. Kutu lak setelah 1 bulan penularan.

Gambar 7.6. Kutu lak yang menulari ranting tanaman kesambi.


3) Pemeliharaan tularan
Pemeliharaan tularan adalah kegiatan pemeliharaan tularan yang
meliputi pengasapan (untuk mengatasi serangan parasit dan predator, terutama
pada musim kemarau), pemberantasan hama dan penyakit, babat tumbuhan
bawah serta wiwilan.

VII-34

Kegiatan pemeliharaan tularan terdiri dari :


a. Pemeliharaan Rutin, meliputi :
- Babat tumbuhan bawah/tumbuhan liar yang mengganggu kultur
terutama tumbuhan liar yang merambat.
- Wiwilan pada ranting-ranting yang tidak ada tularannya untuk memberi
sinar matahari yang cukup pada ranting-ranting yang tertular, untuk
menghindari serangan jamur.
- Membuat ilaran untuk sekat bakar, pada musim kemarau.
b. Pemeliharaan Preventif
- Mengadakan pengasapan terutama pada musim penghujan untuk
menaikkan temperatur dan mengusir parasit dari lokasi tularan.
Pelaksanaan dilakukan pada pagi hari sebelum jam 07.00 dan pada sore
hari setelah jam 16.00.
- Penjagaan tularan dari bahaya kebakaran hutan.
c. Pemeliharaan Represif
-

Memotong ranting-ranting tularan yang terserang hama dan penyakit.

Pemberantasan parasit dan predator dengan pengasapan.

Segera mengambil tindakan apabila terjadi bahaya kebakaran hutan,


pencurian lak dan gangguan lainnya.

4) Pungutan bekas bibit.


Pungutan yaitu pengambilan kembali lak bibit yang ditularkan, setelah
21 hari atau setelah seluruh kutu yang ada didalam lak bibit keluar dan
menulari pohon inang.
Waktu pelaksanaan pungutan adalah setelah 21 hari bibit lak ditularkan.
Pengambilan pungutan bekas bibit harus dilaksanakan tepat waktu.

Bila

terlalu lama akan mengakibatkan kantong rusak dan parsit akan semakin
banyak keluar. Pungutan bekas bibit harus dilakukan dengan cermat, jangan
sampai ada bibit yang tertinggal pada areal tularan. Pengambilan dimulai dari
cabang paling atas terus turun ke bawah. Hasil pengutan diangkut ke gudang
untuk dikeluarkan lak cabangnya dari kroso dan kantongan yang
membungkusnya pada saat ditular, kemudian siap untuk diangkut ke pabrik.

VII-35

Gambar 7.7. Pungutan bekas bibit lak dikeluarkan dari kantong untuk dikirim ke
pabrik.
5) Pengunduhan/pemanenan
Unduhan yaitu kegiatan pemanenan lak cabang dengan pemotongan
ranting/cabang pada pohon-pohon yang ditulari dan lak cabang yang
dihasilkan telah cukup masak (berumur sekitar 155 hari) dan kutu didalamnya
sudah siap keluar (swarming). Gunanya untuk mempertahankan keutuhan
jumlah kutu di dalam selnya. Apabila terlambat dilakukan unduhan, kutu
akan banyak yang sudah keluar sebelum diunduh dan menjadi tularan secara
alami (liar), sehingga kandungan bibit di dalam lak cabang yang akan
digunakan untuk bibit menjadi berkurang.

Namun, apabila pengunduhan

dilakukan lebih awal maka bibit yang berada di dalam sel pada cabang
dikhawatirkan akan mati di dalam sel karena masih memerlukan makanan,
sedangkan apabila diunduh kutu di dalam sel tidak mendapatkan makanannya
lagi.
Keluarnya kutu lak (swarming) dapat bervariasi pada setiap tularan, hal
tersebut dipengaruhi oleh kelembaban udara dan temperatur, sehingga ketuaan
lak tidak dapat hanya dilihat dari umurnya yang 155 hari saja, tetapi
diperlukan pengamatan terhadap tanda-tanda fisik dari tularan tersebut.
Tanda-tanda utama lak tua (siap unduh) :
- Embun madu yang menetes dari tularan sudah berhenti
- Benang lilin berwarna putih sudah berkurang
- Warna stok lak kecoklatan
- Permukaan sel/tonjolan-tonjolan induk sudah merata.
- Bila perlu diadakan pengamatan isi sel dengan membuka sel tersebut.

VII-36

Gambar 7.8. Lak siap unduh


Tiap unduhan yang dapat dijadikan lak bibit 50 sampai 60% dari berat
lak cabang hasil unduhan semuanya. Alat yang digunakan untuk mengunduh
antara lain : sabit/arit, gunting lak/gunting cabang, dan keranjang untuk
meletakkan lak hasil unduhan.
Cara-cara pelaksanaan unduhan :
- Pemotongan cabang dan ranting dilakukan terhadap seluruh cabang dan
ranting pada pohon inang yang ditulari
- Pemangkasan dilaksanakan sejauh 15 cm dari pangkasan sebelumnya
(yaitu pada ranting berdiameter maksimal 2 cm)
- Pengguntingan jangan sampai merusak lak cabang, yaitu pada sela-sela
sekresi (pada bagian ranting yang tidak ada sekresi laknya) dan diusahakan
panjangnya potongan antara 10 sampai 20 cm.
- Hasil potongan diangkut ke gudang.
Umur unduhan lak dibagi menjadi 3 :

Umur prematur : 110 sampai 140 hari

Umur normal : 155 hari

Umur panjang : 160 sampai 175 hari (biasanya dipengaruhi oleh cuaca)

VII-37

Gambar 7.9. Proses pengunduhan lak batang : a-b. Pemotongan cabang dan
ranting yang akan diunduh, c. Ranting hasil pemangkasan, d-f.
Pemotongan dan pengguntingan lak cabang.

Gambar 7.10. Perlakuan unduhan prematur

Gambar 7.11. Tanaman inang setelah dilakukan pengunduhan

VII-38

6) Seleksi bibit
Seleksi lak cabang dilakukan setelah kegiatan penerimaan lak cabang
hasil unduhan, dengan pemisahan lak cabang bibit dan lak cabang bukan bibit.
Seleksi lak cabang bertujuan untuk :
a. Memisahkan lak cabang dengan potongan kayu tanpa lak yang terbawa
dari hutan.
b. Memisahkan lak cabang bibit (AI) dan bukan bibit (AII dan AIII).
c. Memisahkan kualitas bibit lak menurut klas bibit yaitu I, II, dan III,
pengantongan bibit termasuk memasukkan ke dalam kroso dan menata
bibit sampai siap di bawa ke tularan, serta menimbang hasil penerimaan.

Gambar 7.12. Lak dari hutan yang dikumpulkan di gudang untuk diseleksi : a.
lak batang yang belum diseleksi, b. lak batang yang akan
dijadikan bibit, c. lak batang afkir.
Dari hasil seleksi lak cabang (stocklak) didapatkan hasil berupa :
a . Lak bibit
Yaitu lak cabang yang sekresinya baik, mengandung bibit/larva kutu lak.
Penentuan klas bibit secara umum berdasarkan pada :
- Panjangnya sekresi dan ketebalan sekresi.
- Kesehatan sekresi (tingkat kandungan parasit yang ditandai adanya
lubang- lubang parasit).
- Warna sekresi kuning kecoklatan.
- Permukaan sekresi rata dan sehat, nampak basah, bulat dan tidak
terputus-putus.
Setelah proses seleksi, dilakukan pengantongan bibit lak yaitu dengan
memasukkan lak bibit dalam kantong kain, satu kantong berisi 100 gram.
Pengantongan adalah kegiatan memasukkan bibit lak ke dalam kantongan,
terutama pada bibit klas II dan IV. Bibit dimasukkan ke dalam kantong
kain kasa dengan mata lubang kain kurang dari 0,5 mm, panjang 25 cm dan
VII-39

lebar 5 cm, tujuannya adalah untuk mencegah menjalarnya perkembangan


parasit dan predator. Pengisian kantong dijaga jangan sampai terlalu penuh
karena akan mengakibatkan sobeknya kantong atau rusaknya jahitan
kantong sehingga terdapat lubang untuk keluarnya parsit dari dalam
kantong.

Apabila pengisian kantong terlalu penuh, lak bibit di dalam

kantong saling berdesakan, sehingga dapat menimbulkan tertutupnya


lubang sel pada lak bibit yang akan menghambat keluarnya kutu lak dari
selnya. Mulut kantong ditutup dengan cara diikat dengan menggunakan
karet gelang.

Gambar 7.13. Proses pengantongan bibit lak


Selesai pengantongan dengan menggunakan kain kasa, lak bibit juga
dimasukkan ke dalam kroso. Kroso adalah kantong yang terbuat dari
anyaman bambu. Kroso untuk setiap klas bibit diberi tanda warna tertentu
pada bagian bawahnya untuk memudahkan pengenalan terhadap klas bibit
yang ada di dalam kroso. Warna yang digunakan untuk membedakan klas
bibit :
- Kroso warna merah untuk klas I dan II
- Kroso warna putih untuk klas III
- Kroso warna biru untuk klas IV
Setelah itu bibit lak siap untuk ditularkan. Kebutuhan bibit per hektar 300
kg dan kebutuhan per tahun normalnya 500 ton.
b. Lak non bibit
Yaitu lak cabang yang sekresinya jelek dan tidak mengandung bibit atau
larva kutu lak. Setelah diadakan klasifikasi bibit, ada dua kemungkinan

VII-40

yaitu : apabila bibit banyak, bibit yang digunakan hanya klas I dan II.
Sedangkan apabila bibit terbatas, semua klas bibit digunakan.

Lak cabang AII dan A III (produksi)


Lak cabang AII adalah lak cabang yang sebenarnya masuk dalam
klasifikasi lak bibit (AI). Hanya saja, keterlambatan dalam pengunduhan
membuat kutu lak telah terlebih dahulu meninggalkan selnya sehingga lak
bibit menjadi kosong. Sedangkan yang dimaksud dengan lak cabang AIII
adalah lak cabang yang telah diseleksi dan tidak termasuk dalam klasifikasi
lak cabang untuk bibit (afkir dari bibit).

AII

AIII

Gambar 7.14. Lak cabang AII dan AIII.


Perlakuan lak cabang AII yaitu dikumpulkan pada suatu tempat dan
secepatnya dimasukkan dalam karung goni dan ditimbang beratnya. Karung
goni berisi lak cabang AIII ini ditempatkan tersendiri terpisah dari tempat
penyimpanan bibit yang akan ditulari agar parsit yang keluar dari lak cabang
AIII tidak terbawa pada bibit yang akan ditularkan. Lak cabang AIII setelah
terkumpul siap diangkut ke pabrik.

Gambar 7.15. Lak cabang yang siap diangkut ke pabrik untuk diprooses menjadi
lak butiran

VII-41

7.3. Bahan Diskusi


Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut :
1. Membuat paper dengan judul :
I.

Peluang dan potensi pemanfaatan serangga berguna pada masyarakat


sekitar hutan

II.

Potensi kupu-kupu sebagai salah satu serangga berguna

III. Potensi jangkrik sebagai salah satu serangga berguna


IV. Potensi belalang sebagai salah satu serangga berguna
V.

Potensi ulat sagu sebagai salah satu serangga berguna

VI. Potensi kroto sebagai salah satu serangga berguna


Format paper sebagai berikut : Format paper sebagai berikut : halaman paper
maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks
adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan
rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point
3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di
depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.

7.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/
http://www.wormspit.com/

7.5. Latihan Soal-Soal


1. Tuliskan apa yang di maksud dengan serangga berguna
2. Tuliskan contoh-contoh serangga berguna yang sudah dibudidayakan
3. Tuliskan budidaya serangga berguna yang anda ketahui

VII-42

BAB VIII. JENIS-JENIS HASIL HUTAN BUKAN


KAYU LAINNYA

Tujuan Umum
Menjelaskan, jenis-jenis hasil hutan bukan kayu lainnya, potensi dan budidaya,
teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian
beberapa produk dan pemasarannya.

Tujuan Khusus
Menjelaskan HHBK turunan kayu, tumbuhan obat dan tumbuhan penghasil pati
sebagai HHBK.

8.1. Jenis-jenis Hasil Hutan Kayu Lainnya


Pada Bab I telah dijelaskan bahwa HHBK memiliki beberapa
pengklasifikasian dan HHBK sendiri memiliki banyak macam jenis dan masih
banyak lagi produk HHBK yang belum di bahas, misalnya HHBK dari kelompok
tanaman obat, tanaman hias, pati, buah-buahan, getah dan kelompok hewan (baik
hewan buru maupun hewan hasil tangkaran), Pada bab ini akan dibahas jenis lain
dari HHBK yang saat ini juga telah dikembangkan yaitu burung walet dan jamur.

8.1.1. Burung Walet


Nama walet memang sudah tidak asing di telinga setiap orang karena
harga jual sarangnya yang tinggi. Satu kilogram sarang walet bisa dihargai 15-20
juta rupiah. Selain mengandung nutrisi dan gizi yang tinggi, sarang walet juga
berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, kini sarang walet juga dijadikan
simbol lambang kesejahteraan bagi penikmatnya. Sarang walet dapat dijadikan
salah satu komoditas ekspor yang bisa diandalkan. Ekspor sarang walet dari
Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Vietnam,
Kamboja, dan Filipina. Cina dan Hongkong merupakan konsumen tetap sarang
burung walet dari Indonesia. Dari Hongkong, komoditas ini kemudian disebarkan
ke Asia Tengah, Eropa, Afrika, hingga Amerika.

VIII-1

Awalnya sarang walet diperoleh dari hasil tangkapan alam, yakni berasal
dari gua-gua yang berada di dekat pantai. Perburuan sarang walet gua di Indonesia
diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 1700-an. Dimulai dari gua
Karangbolong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, lalu menyebar ke daerah lain
seperti Gresik dan Tuban di Jawa Timur, serta Rembang, Tegal, Semarang, dan
Lasem di Jawa Tengah. Perburuan paling intensif terjadi di sekitar pantai utara
Pulau Jawa yang populasi penduduknya padat dan lokasi gua walet yang mudah
dicapai. Akibatnya, ketersediaan sarang walet di alam semakin menipis. Selain
karena perburuan liar, habitat walet juga terancam oleh adanya aktivitas
penambangan yang dilakukan secara serampangan.
Banyaknya habitat yang rusak memaksa walet mencari tempat baru untuk
berkembang biak. Salah satu tempat yang diincarnya adalah bangunan atau
gedung-gedung kosong yang berlokasi di dataran rendah. Hal inilah yang
kemudian mengilhami para pebisnis walet untuk membangun gedung kosong,
dengan harapan ada kawanan walet yang menempati gedung tersebut.

Gambar 8.1. Budidaya walet pada gedung/bangunan

Namun, untuk memancing walet masuk ke gedung bukan perkara mudah. Perlu
perlakuan khusus agar walet tergoda dan mau hinggap ke dalam gedung. Jika
merasa nyaman, walet akan mengajak kelompoknya untuk berkembang biak di
habitat buatan tersebut.

Empat keuntungan membudidayakan Walet :


1.

Lokasi budi daya lebih "aman" karena milik pribadi.


VIII-2

2.

Banyaknya sarang lebih bisa diperkirakan.

3.

Proses pemanenan lebih mudah dilakukan. Risikonya jauh lebih kecil


dibandingkan dengan mengambil sarang langsung dari alam.

4.

Kualitas panen yang dihasilkan jauh lebih baik daripada kualitas sarang hasil
berburu di gua.

Taksonomi Walet
Bedasarkan taksonominya walet digolongkan sebagai berikut.
Kingdom

Animalia

Fillum

Chordata

Subfillum

Vertebrata

Kelas

Aves

Ordo

Apodiformes

Familia

Apodidae

Genus

Collocalia

Spesies

Collocalia sp.

Sementara itu, beberapa name spesies walet dan kerabatnya yang sudah dikenal di
Indonesia sebagai berikut.

a. Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus)


Kata A. fuciphagus berasal dari bahasa latin. Fuci berarti lumut (fuci
kata jamak dari fucus) dan phagus yang berarti makan. Burung ini membuat
sarang dengan memanfaatkan lumut dari dinding gua, lalu direkatkan dengan
air liurnya. Walet putih paling sering diburu untuk diambil sarangnya. Walet
jenis ini sering disebut juga white-nest swiftlet karena memiliki sarang yang
berwarna putih.
Ukuran tubuhnya relatif kecil, sekitar 12 cm. Tubuh bagian atas
berwarna cokelat kehitaman, dan bagian bawahnya berwarna cokelat. Daerah
penyebarannya meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Kalimantan,
Palawan, hingga Filipina. A. fuciphagus yang ditemukan di Jawa umumnya
memiliki tunggir (bulu pantat) berwarna cokelat keabu-abuan. Sementara A.

VIII-3

fuciphagus yang hidup di Sumatera dan Kalimantan dari ras vestita tunggirnya
berwarna cokelat tua.
A. fuciphagus memiliki kemampuan terbang yang lebih kuat
dibandingkan dengan spesies lainnya. Gaya terbang walet putih ketika mencari
mangsa tampak kaku, mirip dengan spesies Aerodramus vanikorensis dan C.
esculenta. Spesies ini memiliki lengking suara "tsyiir" yang sangat khas.
Umumnya, A. fuciphagus mendiami tempat-tempat seperti gua kapur dan celah
pada batu karang pantai.

b. Walet Sarang Hitam (Aerodramus maximus)


Sepintas, penampilan fisik A. maximus mirip dengan A. fuciphagus.
Namun, jika diperhatikan dengan seksama, ada titik perbedaan pada kedua
burung ini, yakni terletak pada warna tunggir atau bulu di bagian pantatnya. A.
maximus memiliki bulu tunggir yang berdegradasi, dari keabu-abuan hingga
cokelat kehitaman. Panjang tubuhnya 15 cm, belahan ekor tidak dalam, dan
memiliki postur badan agak gemuk. Selain itu, burung ini juga mempunyai
bulu-bulu halus di sekitar kakinya. Bulu-bulu inilah yang membedakannya
dengan spesies walet yang lain.
A. maximus sering disebut juga black-nest swiftlet atau walet sarang
hitam. Pasalnya, sarang yang dihasilkan burung ini cenderung berwarna lebih
gelap atau tidak seputih sarang A. fuciphagus. Hal in] disebabkan sarang walet
hitam lebih banyak mengandung bulu daripada air liurnya. Karena itu, nilai
jualnya tidak setinggi harga sarang walet putih.
Walet sarang hitam banyak dijumpai di daerah pantai berkarang dan
perkotaan. Umumnya menempati bangunan kosong atau kolong jalan layang.
Daerah penyebarannya meliputi bagian timur Pegunungan Himalaya, Filipina,
Palawan, Kalimantan, Sumatera, dan jawa.

c. Walet Sarang Lumut (Aerodramus vanikorensis)


Walet in[ memiliki bentuk dan susunan sarang yang sedikit berbeda
dengan sarang walet pada umumnya. Walet sarang lumut membangun
sarangnya dengan liur yang bercampur lumut (lichens).

VIII-4

d. Walet Besar (Hydrochous gigas)


Penampilan walet besar mirip A. fuciphagus, termasuk gerakan
terbangnya. Namun, walet ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, yakni
mencapai 16 cm. Tubuh bagian atas berwarna hitam dan bagian bawahnya
berwarna cokelat kehitaman. Sarangnya terbuat dari rerumputan kering yang
dilapisi dengan liur. Ciri khas walet ini adalah pada suaranya yang terdengar
melengking. Walet besar biasanya hidup di daerah pegunungan tinggi atau di
sekitar air terjun.

e. Sriti (Collocalia esculenta)


Sriti memiliki bentuk fisik yang hampir serupa dengan walet. Namun,
ukuran tubuhnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan walet putih, yakni
hanya sekitar 10 cm. Tubuh bagian atas bewarna hitam kehijauan, sedangkan
bagian bawah berwarna abu-abu gelap. Bagian perut sriti berwarna agak putih.
Tanda inilah yang membedakan sriti dengan walet. Selain itu, sriti juga bisa
ditandai dari lengkingan suaranya yang tinggi, berbunyi ciir-ciir.
Di habitatnya, sriti tinggal di tempat yang terang dan membuat sarang
dari bahan-bahan kering seperti rerumputan, bunga padi, daun cemara, lumut
kering, dan ijuk. Bahan- bahan tersebut kemudian dirajut dan ditempelkan di
satu bidang vertikal. Burung ini biasanya lebih senang hidup berkoloni dan
sering dijumpai terbang secara bergerombol.
Penyebaran burung ini hampir di seluruh wilayah nusantara. Umumnya
dijumpai di Pulau Jawa, dari Merak hingga Banyuwangi. Sriti sering ditemukan
bertengger di sepanjang jalur perlintasan kereta api, di kabel telepon, di bawah
jembatan, dan di jalan layang.
Dalam praktiknya di lapangan, C. esculenta banyak digunakan
pembudidaya untuk memancing kehadiran walet dalam sebuah gedung atau
rumah kosong. Burung ini mengemban dua tugas pokok, yaitu sebagai burung
pemanggil walet sekaligus sebagai induk angkat bagi bayi walet.

VIII-5

Spesies Walet
Berikut ini data 22 spesies burung walet yang diperkirakan berada di Indonesia.
1.

Aerodramus brevirostris
Peneliti

Horsfield, 1840.

Nama umum

Himalayan swiftlet.

Penyebaran

Kepulauan Riau dan sebagian Bali.

Tempat hidup (ekologi)

Pegunungan dan open rocky (daerah


bebatuan terbuka). Berkembang biak di
gua dengan ketinggian 0-4.000 m di atas
permukaan laut (dpl).

2.

Aerodramus fuciphagus
Peneliti

Thunberg, 1812.

Nama umum

Edible-nest swiftlet.

Nama daerah

Walet putih.

Penyebaran

: Nias, Batu, Pulau Banyak dan Mentawai,Sumatera,

Belitung,

Kalimantan,

Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Pulau


Komodo, Flores, Sumba, Timor, dan
Sulawesi.
Tempat hidup (ekologi)

Areal terbuka, pesisir pantai, dan daerah


perkotaan.

Berkembang

biak

di

gua

dengan ketinggian 0-2.800 m dpl.


Status
3.

Asli Indonesia

Aerodramus hirundinacea
Peneliti

: Stersemann, 1914.

Nama umum

: Mountain swiftlet.

Penyebaran

: Papua.

Tempat hidup (ekologi)

: Di hutan dan areal terbuka. Berkembang


biak di gua dengan ketinggian 0-4.000 m
dpl.

Status

: Asli Indonesia.

VIII-6

4.

Aerodramus infuscata
Peneliti

: Salvadori, 1880.

Nama umum

: Moluccan swiftlet.

Penyebaran

: Sulawesi, Pulau Sangihe dan Talaud,


Ternate, Halmahera, Ambon, Pulau Seram,
dan Pulau Buru.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka. Berkembang biak


di gua dengan ketinggian 0-3.000 m dpl.

Status
5.

: Asli Indonesia.

Aerodramus maximus
Peneliti

: Hume, 1878.

Nama umum

: Black-nest swiftle.

Nama daerah

: Walet sarang hitam.

Penyebaran

: Nias,

Pulau

Banyak

dan

Mentawai,

Sumatera, Kalimantan, Tinjil, Jawa, dan


sebagian Bali.
Tempat hidup (ekologi)

: Areal terbuka, pesisir pantai, daerah


perkotaan. Berkembang biak di gua
dengan ketinggian jelajah 0-3.900 m dpl.

Status
6.

: Asli Indonesia.

Aerodramus nuditarsus
Peneliti

: Salomonsen, 1963.

Nama umum

: Bare-legged swiftlet.

Penyebaran

: Papua.

Tempat hidup (ekologi)

: Daerah pegunungan atau di hutan.


Berkembang biak di gua dengan
ketinggian jelajah 1.600-2.300 m dpl.

Status

: Asli Indonesia. Walet ini merupakan


spesies endemik di Papua.

7.

Aerodramus papuensis
Peneliti

: Rand, 1941.

Nama umum

: Papuan swiftlet.

VIII-7

Penyebaran

: Papua.

Tempat hidup (ekologi)

: Areal terbuka, delkataliran sungai, dan


hutan. Ketinggian jelajah 0-1.800 m dpl.

Status

: Asli Indonesia dan merupakan spesies


endemik Papua.

8.

Aerodramus salanganus
Peneliti

: Streubel, 1848.

Nama umum

: Mossy-nest swiftlet.

Nama daerah

: Walet sarang lumut.

Penyebaran

: Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali

Tempat hidup (ekologi)

: Lahan terbuka dan hutan. Berkembang


biak di gua dengan ketinggian 0-1.000 m
dpl.

9.

Aerodramus vanikorensis
Peneliti

: Quoy dan Gaimar, 1830.

Nama umum

: Uniform swiftlet.

Penyebaran

: Sulawesi, Muna, Halmahera, Ambon,


Banda, Papua, Buton, Morotai, Gorong,
Tayandu, Pulau Aru, Waigeo, Talaud, dan
sebagian Tanimbar.

Tempat hidup (ekologi)

: Daerah

lembah

terbuka

dan

hutan.

Berkembang biak di gua.


Status

: Asli Indonesia.

10. Aerodramus vulcanorum


Peneliti

: Stersemann, 1926.

Nama umum

: Volcano swiftlet.

Penyebaran

: jawa.

Tempat hidup (ekologi)

: Daerah pegunungan. Berkembang biak di


gua.

Status

: Asli Indonesia.

VIII-8

11. Apus nipalensis


Peneliti
Nama umum
Penyebaran

: Hodgson, 1837.
House swift.
: Sumatera, Kepulauan Riau, Belitung,
Kalimantan, Jawa, Bali, Panaitan, Nusa
Penida, Flores, Sumba, Selayar, dan
Sulawesi.

Tempat hidup (ekologi)

: Areal terbuka dan daerah perkotaan.


Berkembang

biak

di

gedung-gedung

kosong.
Status

: Asli Indonesia.

12. Apus pacificus


Peneliti

: Latham, 1802.

Nama umum

: Fork-tailed swift.

Penyebaran

: Pulau Batu dan Mentawai, Enggano,


Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan,
Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Sumba,
Sulawesi, Pulau Sangihe dan Talaud,
Halmahera, Pulau Buru, Papua, serta
sebagian Palu.

Tempat hidup (ekologi)

:Hutan, bebatuan, dan pantai laut.

Status

:Asli Indonesia.

13. Collocalia esculents


Peneliti

: Linnaeus, 1758.

Nama umum

: Glossy swiftlet.

Nama daerah

: Walet sapi.

Penyebaran

: Nias, Batu dan Kepulauan Mentawai,


Enggano, Sumatera, Pulau Lingga,

Belitung, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Seribu, Bali, Lombok, Sumba,


Sumbawa, Timor, Selayar, Sulawesi,
Riau, Tidore, Halmahera, Ambon, dan
Papua.

VIII-9

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka. Berkembang


biak di gua dengan ketinggian 0-3.000
m dpl.

Status

: Asli Indonesia.

14. Collocalia linchi


Peneliti

: Horsfield dan Moore, 1854.

Nama umum

: Cave swiftlet.

Nama daerah

: Walet gua.

Penyebaran

: Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan


sebagian Kalimantan.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka. Berkembang


biak di gua dengan ketinggian 0-3.000
m dpl.

Status

: Asli Indonesia.

15. Cypsiurus balasiensis


Peneliti

: Gray, 1829.

Nama umum

: Asian palm-swift.

Penyebaran

: Sumatera, Kepulauan Riau dan


Lingga, Kalimantan, Bali, Belitung,
Pulau Tambelan, Panitan, Jawa,
Sulawesi,

Pulau

Talaud,

Pulau

Komodo, Flores, serta Sumbawa.


Tempat hidup (ekologi)

: Pohon palem, semak belukar, dan


perkotaan. Ketinggian jelajah 01.500 m dpl.

Status

: Asli Indonesia.

16. Hirundapus caudacutus


Peneliti

: Latham, 1802.

Nama umum

: White-throated needletail.

Penyebaran

: Jawa,

Bali,

Lombok,

Timor,

Sulawesi, Pulau Sangihe, Pulau


Buru, dan Papua.

VIII-10

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka.

Status

: Asli Indonesia.

17. Hirundapus celebensis


Peneliti

: Sclater, 1865.

Nama umum

: Purple needletail.

Penyebaran

: Sulawesi.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka.

Status

: Asli Indonesia dan merupakan endemik


Sulawesi dan Filipina.

18. Hirundapus cochinchinensis


Peneliti

: Sclater, 1865.

Nama umum

: Purple needletail.

Penyebaran

: Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa,


dan Bali.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan dan areal terbuka.

Status

: Asli Indonesia. Walet ini merupakan


endemik Sulawesi dan Filipina.

19. Hirundapus giganteus


Peneliti

: Temminck, 1825.

Nama umum

: Brown-back needletail

Penyebaran

: Sumatera, Kepulauan Riau dan Lingga,


Kalimantan, jawa, dan Bali.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan.

Status

: Asli Indonesia.

20. Hydrochous gigas


Peneliti

: Hartert dan Butler, 1901.

Nama umum

: Waterfall swift.

Nama daerah

: Walet besar.

Penyebaran

: Sumatera,

Jawa,

dan

sebagian

Kalimantan.
Tempat hidup (ekologi)

: Hutan. Berkembang biak di sekitar air


terjun.

VIII-11

Status

: Asli Indonesia dan merupakan spesies


endemik yang hanya ditemukan di
Sumatera,

Jawa,

dan

Peninsular

Malaysia.
21. Mearnsia novaeguineae
Peneliti

: Albertis dan Salvadori, 1879.

Nama umum

: Papuan needletail.

Penyebaran

: Papua.

Tempat hidup (ekologi)

: Lembah pegunungan dan pesisir pantai.

Status

: Asli Indonesia dan merupakan spesies


endemik Papua.

22. Rhaphidura leucopygialis


Peneliti

: Blyth, 1849.

Nama umum

: Silver-rumped spinetail.

Penyebaran

: Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka,


Kalimantan, dan Jawa.

Tempat hidup (ekologi)

: Hutan, terutama di dekat aliran sungai


dengan ketinggian 0-1.200 m dpl.

Status

: Asli Indonesia.

Karakteristik dan Kebiasaan Hidup


Walet merupakan burung pemangsa serangga yang bersifat aerial dan
suka meluncur. Sayapnya yang berbentuk sabit, sempit, dan runcing mendukung
burung ini untuk terbang lebih cepat. Namun, walet termasuk burung yang tidak
pernah hinggap di pohon. Kakinya yang pendek dan lemah menyebabkan burung
ini tidak dapat bertengger di dahan atau batang pohon. Hidupnya lebih banyak
dihabiskan di dalam gua-gua atau rumah-rumah yang lembap, remang-remang,
sampai gelap. Walet hanya keluar saat mencari makan dan tidak pernah menetap
di tempat terbuka. Karenanya, burung ini juga sering mendapat julukan swifts
atau burung layang-layang.

VIII-12

Jika sedang istirahat, walet akan bergantung di sarang dengan cara


mencengkramkan kuku kakinya yang tajam ke sarangnya. Namun, jika sampai
jatuh ke tanah atau lantai, walet tidak dapat mengentakkan kakinya sebagai
tumpuan sehingga lama-kelamaan burung ini mati kehabisan tenaga karena terus
berusaha untuk terbang.
a. Perkembangbiakan
Walet berkembang biak sepanjang tahun. Musim berbiak ditandai
dengan banyaknya kawanan walet yang saling berkejaran dan mengeluarkan
nyanyian untuk menarik hati lawan jenisnya. Namun walet memilih musim
kawin dan berkembang biak menjelang musim hujan. Hal ini disebabkan
populasi serangga sebagai sumber makanan walet sangat melimpah pada
musim ini.

Gambar 8.2. Burung walet dan sarangnya

Kebanyakan walet berkembang biak dua kali dalam setahun, yakni


pada musim kemarau dan musim hujan. Proses perkawinan biasanya
berlangsung pada malam hari ketika walet telah kembali ke dalam gua atau
rumah burung walet. Namun, ada kalanya walet melakukan perkawinan di
udara. Setelah 5-8 hari masa perkawinan, walet betina akan bertelur. Dalam
satu kali masa bertelur, walet mampu menghasilkan dua butir telur. Interval
keluarnya telur pertama dan kedua berselang 2-3 hari. Selanjutnya, telur-telur
ini akan dierami selama 1 5-1 7 hari.

VIII-13

Setelah menetas, anak walet akan diasuh induknya sekitar 40 hari


hingga siap terbang. Selanjutnya, anak walet mencari serangga makanannya
bersama-sama dengan induk dan koloninya.

Tabel 8.1. Fase perkembangbiakan wallet


Periode
1

Bulan
Awal Februari
Awal - Akhir Maret
Awal April
Mei - Juli
Desember - Februari

Awal September
Awal Akhir Oktober
Desember Februari
Juli Agustus

Perkembangbiakan
Walet mulai bertelur
Sebagian besar walet sedang dan masih
bertelur
Sebagian kecil walet masih bertelur
Walet-walet muda mulai terbang
Walet-walet muda memasuki fase
produksi
Walet muda bertelur
Sebagian besar walet sedang dan masih
bertelur
Walet-walet mulai terbang
Walet-walet muda memasuki fase
reproduksi

b. Ekolokasi
Seperti halnya kelelawar, walet juga mampu melakukan ekolokasi,
yakni kemampuan mengeluarkan suara berfrekuensi tertentu secara terputusputus dan kemudian menangkap, kembali pantulan suara tersebut untuk
menentukan jarak dan letak sebuah benda yang memantulkannya. Kemampuan
ini memungkinkan walet untuk terbang di tempat yang gelap.
Namun, ekolokasi yang dimiliki walet berbeda dengan ekolokasi
yang dimiliki kelelawar. Ekolokasi pada walet biasanya disertai dengan suara
"lengkingan" yang mampu didengar oleh telinga manusia, sedangkan kelelawar
hanya mengeluarkan suara infrasonic berfrekuensi rendah yang tidak mampu
didengar manusia. Suara lengkingan pada walet dihasilkan oleh organ yang
terletak di belakang tenggorokan yang disebut cyrinx.
Selain untuk mendeteksi keberadaan benda dan untuk menemukan
sarang, ekolokasi pada walet juga digunakan untuk berkomunikasi dan
memberikan peringatan kepada walet lain agar tidak mendekati sarangnya.
Namun, tidak semua jenis walet memiliki kemampuan ini. Beberapa spesies

VIII-14

yang memiliki kemampuan ekolokasi adalah walet sarang putih (A.


fuciphagus), walet sarang hitam (A. maximus), dan walet papua (A. Papuensis).

Habitat Asli
Tempat tinggal setiap walet umumnya berbeda-beda. Beberapa spesies
walet memanfaatkan lubang di dinding batu karang, tembok-tembok gedung, atau
gua-gua sebagai tempat berkembang biak. Bahkan, ada spesies walet yang sengaja
bersarang di gua-gua yang letaknya tepat di belakang air terjun. Untuk masuk dan
keluar dari gua tersebut, walet harus terbang menerobos air terjun.
Walet putih (A. fuciphagus) merupakan burung penghuni daerah gelap
(darkzone). Karena itu, habitat yang diinginkan adalah lokasilokasi yang tidak
terjangkau paparan sinar matahari dengan kisaran suhu yang relatif stabil. Tidak
mengherankan jika gua-gua menjadi tempat tinggal utama pilihan burung ini.
Umumnya, walet putih banyak dijumpai di dalam gua-gua alam yang dikelilingi
hutan lebat.
Dalam membuat sarang, walet hanya memanfaatkan bagian dinding gua
yang bertekstur khusus berupa tonjolan-tonjolan dan lekukanlekukan dangkal,
serta memiliki kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar air
di bagian dinding lainnya. Iklim mikro di sekitar gua yang menjadi habitat walet
suhunya 24-27 C dengan kelembapan 85-95%. Berikut ini beberapa bagian gua
yang sering dihuni walet.
1.

Area berputar-putar (roving area), yakni lapangan tempat walet berputarputar sebelum memasuki gua.

2.

Ruang berputar (roving room), yakni tempat walet berputar-putar sebelum


keluar dari gua.

3.

Ruang ini terletak di dekat mulut gua bagian dalam. Ruang istirahat (rest
room), yakni ruang tempat walet beristirahat, membangun sarang, dan
berkembangbiak. Letaknya berada di dalam gua.

VIII-15

Jenis-jenis Sarang Walet dan Mutunya


Sarang walet dihasilkan dari air liur walet. Air liur tersebut diproduksi
oleh kelenjar saliva yang berada di bawah lidah. Sebelum melakukan perkawinan,
walet betina dan jantan membuat sarang secara bersama-sama. Umumnya, walet
jantan menghasilkan rajutan air liur lebih panjang dibandingkan dengan walet
betina. Selanjutnya, rajutan air liur itu dibentuk mirip mangkuk kecil dan
direkatkan di dinding-dinding gua.
Tidak seluruh spesies walet dapat menghasilkan kualitas sarang yang balk.
Tingginya kualitas sarang walet biasanya ditentukan oleh kandungan kemurnian
liurnya. Berdasarkan nilai jualnya, sarang walet merah merupakan sarang
termahal, kemudian disusul oleh sarang putih, sarang kuning, sarang biru, dan
sarang hitam.

a. Sarang Merah (Sarang Darah)


Ukuran sarang jenis ini cukup besar, diameternya 9 cm dengan bobot
mencapai 9-10 gram. jika ditimbang, dalam satu kilogram berisi 110-115
sarang. Umumnya, terdapat dua jenis sarang merah yang dikenal masyarakat,
yakni sarang merah bersifat permanen dan tidak permanen. Sarang berwarna
merah bening permanen dianggap paling baik kualitasnya dan dipercaya
berkhasiat obat, sedangkan sarang merah tidak permanen dianggap kurang
baik kualitas karena warna sarang akan berubah setelah 2-3 bulan dipanen.
Selain berkhasiat obat, penyebab lain mahalnya sarang walet merah
adalah waktu panennya yang jauh lebih lama dibandingkan dengan sarang
walet jenis lain. Proses sarang putih menjadi sarang merah alami
membutuhkan waktu yang relatif lama, yakni sekitar 6 bulan. jauh lebih lama
dibandingkan dengan sarang jenis lain seperti sarang putih yang bisa dipanen
setelah 1-2 bulan.

Gambar 8.3. Sarang walet merah

VIII-16

b. Sarang Putih (Sarang Perak atau Sarang Kristal)


Sarang putih biasanya didapat dari gedung walet yang pengelolaannya dilakukan dengan baik. Biasanya diperoleh melalui metode panen
rampasan dan panen buang telur. Harga sarang putih dibedakan berdasarkan
ukuran dan kebersihannya. Nilai jualnya relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan sarang kuning atau sarang hitam.

Gambar 8.4. Sarang walet putih

c. Sarang Kuning
Sarang kuning berasal dari sarang putih yang dalam proses
pembentukannya mengalami perubahan warna akibat proses kimiawi.
Perubahan warna kuning biasanya disebabkan oleh reaksi warna antara
dinding gua tempat menempelnya sarang, kelembapan udara yang terlalu
tinggi, atau pengaruh tetesan air yang jatuh ke sarang.
Kadang-kadang, sarangyang berasal dari gedung walet juga bisa
berwarna kuning. Beberapa faktor penyebabnya antara lain pemanenan yang
terlambat dilakukan, kelembapan udara yang terlalu tinggi, pencemaran dari
tempat menempelnya sarang, serta tahap pemrosesan dan penyimpanan yang
tidak baik. jika dilihat dari nilai jualnya, harga sarang kuning cukup rendah.
Untuk meningkatkan kualitasnya, sarang kuning harus dicuci hingga sarang
berwarna putih kembali.

VIII-17

Gambar 8.5. Sarang walet kuning

d. Sarang Biru
Sarang jenis ini biasanya dihasilkan dari air liur walet yang bermutu
rendah. Hal ini disebabkan pakan yang dikonsumsi walet kualitasnya kurang
baik, misalnya serangga yang diburu walet sudah terkontaminasi limbah
pabrik, atau bisa juga air yang diminum sudah tercemar polusi. Selain itu,
sarang biru juga dihasilkan dari sarang putih yang mengalami perubahan
warna akibat sering terkena air atau kelembapan udara yang terlalu tinggi di
dalam gua atau rumah walet.

e. Sarang Hitam
Sarang walet hitam sering ditemukan di dalam gua. Terbuat dari
campuran air liur dengan bulu walet. Sarang ini dihasilkan oleh spesies A.
maximus. Dibandingkan dengan sarang walet lain, mutu sarang walet hitam
dianggap paling rendah.

Gambar 8.6. Sarang walet hitam

VIII-18

Khasiat dan Manfaat Sarang Burung Walet


Salah satu hal yang menyebabkan orang tergiur untuk mengonsumsi
makanan yang terbuat dari sarang burung walet adalah khasiatnya yang bisa
menjaga vitalitas dan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk penyakit
berat seperti kanker.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan
diketahui bahwa sarang walet mengandung 17 asam amino, baik asam amino
esensial, semi-esensial, maupun non-esensial. Sementara itu, Mardiastuti et al
(1996) dalam laporannya menyebutkan, di dalam sarang walet terkandung 8,1%
N; 0,02% P; 1,7% K; 1,6% Ca; 13,8% karbohidrat; 0,9% lemak; 0,29% serat
kasar; 50,8% protein; 1Ij% abu; 19,9% air; 2,3 mg/g vitamin C; 9,1 IU/g vitamin
A; dan 2,5 mg/g Niacin.
Sementara menurut dr Cheng Ce, spesialis kanker dari Sekolah
Kedokteran Tradisional di Provinsi Henan, Cina, mengatakan liur dari kelenjar
glandula sub-lingualis walet terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh (food
supplement), tetapi tidak mengobati penyakit. Dengan mengonsumsi sarang
walet secara rutin dapat menstimulus kinerja organ-organ tubuh menjadi lebih
baik.
Beberapa manfaat lain sarang burung walet adalah mencegah serangan
bakteri, memelihara kecantikan tubuh, anti-aging, menghilangkan pengaruh
alkohol, dan meningkatkan konsentrasi. Kandungan kalsium yang terkandung
dalam sarang burung walet juga berguna untuk mencegah pengeroposan tulang.
Tabel 8.2. Kandungan asam amino esensial, semi-esensial, dan nonesensial yang
terdapat pada sarang walet
No.
Kandungan Zat
Jumlah (%)
Asam Amino Esensial
1
Leusin
5,9748
2
Valin
4,2705
3
Treonine
4,1686
4
Fenilalanine
3,9778
5
Lysin
2,2213
6
Isoleusin
2,0331
7
Methionine
0,161
Asam Amino Semi-Esensial
1
Tirosin
5,243
2
Serin
4,6602

VIII-19

Tabel 8.2. Lanjutan


No.
Kandungan Zat
3
Arginin
4
Glisin
5
Histidin
6
Sistin
Asam Amino Non-Esensial
1
Asam Aspartat
2
Asam Glutamat
3
Prolin
4
Alanin

Jumlah (%)
4,1251
2,4528
2,0536
0,4609
5,5546
5,5079
4,0430
1,7730

Tabel 8.3. Analisis zat gizi dari hasil uji coba 100 gram sarang burung walet
dengan beberapa perlakuan
Hasil
Rebusan
Kandungan Gizi
Sebelum
(Zat Gizi Makro dan Mikro)
Direbus*) Rebusan Rebusan Rebusan
I**)
II***)
III****)
Energi (kkal)
315,96
Air (gram)
15,83
Protein
51,25
2,84
1,52
0,99
Lemak (gram)
0,40
Karbohidrat (gram)
25,41
Serat Kasar (gram)
Kadar Abu (gram)
4,46
Kalsium (mg)
39,14
2,91
1,19
Fosfor (mg)
8,29
5,94
0,32
0,31
Besi
17,00
0,61
0,46
Nitrogen
8,37
0,71
0,24
0,16
Natrium
24,41
0,77
2,62
1,92
Kalsium
4,04
0,46
0,97
0,50
Seng
0,83
2,84
0,07
0,05
Vitamin A (mg)
8,46
1,72
0,07
0f04
Vitamin C (mg)
1,25
0,11
0,22
0,23
Keterangan: *) pH air = 6,60
**) pH air 7,00
***)pH air 7,10
****) pH air 7,20
Dari tabel di atas diketahui jika walet juga mengandung protein yang cukup
tinggi. Kandungan protein yang berasal dari sarang walet dapat berfungsi sebagai
zat pembangun yang bertugas membentuk sel-sel dan jaringan baru yang berperan
aktif selama proses metabolisme di dalam tubuh. Protein yang berasal dari sarang
walet juga memiliki ikatan senyawa yang lebih kompleks daripada protein nabati.

VIII-20

Bahkan, salah satu senyawa turunannya, yakni azitothymidine, telah diteliti


mampu melawan virus HIV.

8.1.2. Jamur
Jamur merupakan tanaman yang tidak memiliki klorofil sehingga tidak
bisa melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Jamur
hidup dengan cara mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin,
protein, dan senyawa pati dari organisme lain. Dengan bantuan enzim yang
diproduksi oleh hifa (bagian jamur yang bentuknya seperti benang halus,
panjang, dan kadang bercabang), bahan makanan tersebut diuraikan menjadi
senyawa yang dapat diserap untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, jamur digoIongkan sebagai tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya
tergantung pada organisme lain.

Gambar 8.7. Jamur pada batang pohon

VIII-21

Di seluruh dunia ada ribuan spesies jamur yang tersebar dari wilayah
subtropis yang cenderung dingin sampai kawasan tropis yang hangat. Dari ribuan
jenis tersebut ada jamur yang merugikan dan ada pula yang menguntungkan.
jamur merugikan adalah berbagai jenis jamur (fungi) penyebab penyakit pada
manusia dan tanaman, misalnya menyebabkan keracunan saat dikonsumsi;
menjadi sumber penyakit kulit seperti panu, kadas, dan kurap; atau jamur yang
menyebabkan kayu cepat lapuk. Jamur menguntungkan adalah berbagai jenis
jamur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, misalnya untuk menghancurkan
sampah organik, menghasilkan antibiotik untuk obat; atau jamur yang bermanfaat
dalam

pembuatan

tempe,

oncom

dan

alkohol.

Termasuk

jenis

yang

menguntungkan adalah jamur konsumsi, yaitu jamur yang dapat dimakan tanpa
menimbulkan efek racun. Jenisnya antara lain jamur kuping, tiram, merang,
shiitake, champignon, dan jamur barat.
Saat ini jamur merang, kuping, shiitake, tiram, dan jamur champignon
sudah dibudidayakan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan yang semakin
hari semakin meningkat. Sementara itu, jamur barat belum bisa dibudidayakan
dan kebutuhannya masih sangat tergantung dari alam. Jika musimnya tiba, jamur
ini banyak dijual di sepanjang jalan raya BandungSurnedang, tepatnya di kawasan
Cadas Pangeran

Gambar 8.8. Jamur champignon, salah satu jamur konsumsi yang sudah
dibudidayakan

VIII-22

Nilai Gizi Jamur


Walaupun rasanya hampir menyamai kelezatan daging, kandungan lemak
jamur lebih rendah sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi. Jamur mengubah
selulosa menjadi polisakrida yang bebas kolesterol sehingga orang yang
mengosumsinya terhindar dari risiko terkena serangan stroke. Selain itu,
kandungan protein jamur juga lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan
lain yang juga berasal dari tanaman.
Gizi lain yang terkandung dalam jamur antara lain karbohidrat; berbagai
mineral seperti kalsium, kalium, fosfor, dan besi; serta vitamin B, B12, dan C.
Berikut ini tabel yang menunjukkan besarnya kandungan gizi beberapa jenis
jamur konsumsi dibandingkan dengan bahan makanan lain.
Tabel 8. 4. Perbandingan kandungan gizi jamur dan bahan makanan lain (dalam
%)
Bahan Makanan
Protein
Lemak
Karbohidrat
Jamur merang
1,8
0,3
4
Jamur tiram

27

1,6

58

Jamur kuping

8,4

0,5

82,8

Daging sapi

21

5,5

0,5

Bayam

2,2

1,7

Kentang

20,9

1,5

0,1

4,2

Seledri

1,3

0,2

Buncis

2,4

0,2

Kubis

Jenis-Jenis Jamur Konsumsi


Hanya beberapa jamur yang bisa dikonsumsi dari ribuan jenis jamur yang
tumbuh di bumi ini. Dari sedikit jumlah tersebut, ada lima jenis yang memiliki
nilai ekonomi untuk dibudidayakan, yaitu jamur kuping, tiram, merang,
champignon, dan shiitake. Tiga yang pertama, yaitu jamur kuping, tiram, dan
jamur merang dapat dibudidayakan di sebagian besar wilayah Indonesia yang
bersuhu hangat. Sedangkan jamur champignon dan shiitake hanya dapat
dibudidayakan di tempat tempat tertentu, yaitu dataran tinggi yang bersuhu

VIII-23

dingin.
Selain itu, secara ekonomi membudidayakan jamur champignon dan
shiitake juga kurang menguntungkan karena pasar jamur dunia,termasuk
Indonesia, sudah dibanjiri kedua jenis jamur ini dengan harga murah sehingga
sulit bagi petani jamur Indonesia untuk ikut bersaing, bahkan di dalam negeri
sekalipun. Oleh karena itu, hanya jamur kuping, tiram, dan jamur merang yang
cocok dibudidayakan di Indonesia, baik dari segi lingkungan tumbuh maupun
nilai ekonominya.
A. Jamur Kuping
a. Taksonomi
Super Kingdom

Eukaryota

Kingdom

Myceteae (fungi)

Divisio

Amastigomycota

Sub Divisio

Basidiomycotae

Kelas

Basidiomycetes

Ordo

Auriculariales

Familia

Auriculariae

Genus

Auricularia

Spesies

Auricularia sp

b. Morfologi
Jamur ini disebut dengan jamur kuping karena memang
bentuknya mirip telinga (kuping) dengan warna cokelat muda hingga
kemerah-merahan. Tubuh buah (basidiocarp) jamur yang di Cina
disebut dengan be munk o atau telinga pohon ini berlekuk-lekuk
selebar 3-8 cm. Permukaan atas jamur kuping agak mengilap,
berurat, dan berbulu halus mirip beludru di bagian bawahnya.

Gambar 8.9. Jamur kuping

VIII-24

Tangkai buahnya pen dek, men empel di media tumbuh (subtrat)


dengan cara membuat lubang di permukaannya.Tubuh buah jamur
kuping dalam keadaan basah bersifat kenyal (galatinous), licin, dan
lentur, tetapi dalam keadaan kering akan berubah melengkung dan kaku.
Jamur kuping memiliki inti plasma dan spora yang berupa sel-sel
lepas atau bersambungan membentuk benang yang tidak bersekat atau
bersekat. Dalam bentuk tunggal benang tersebut disebut

hifa, dan

kumpulannya disebut dengan miselium. Miselium ini bercabang-cabang


dan pada titik-titik pertemuannya membentuk bintik kecil yang disebut
dengan sporangium. Sporangium inilah yang akan tumbuh menjadi calon
tubuh buah (pin head) dan berkembang terus menjadi tubuh buah.
c.Lingkungan Tumbuh
Sebagai salah satu jenis jamur kayu, jamur kuping secara alami
dapat tumbuh di berbagai jenis kayu di berbagai lokasi. Namun, lokasi
tumbuh yang paling baik adalah di kayu-kayu lapuk yang ada di dataran
rendah bersuhu hangat sampai pegunungan berhawa sejuk. Besaran suhu
yang dapat ditoleransi oleh jamur kuping adalah 16-36 C, tetapi
idealnya 26-28 C.
Pada fase pembentukan miselium, jamur kuping memerlukan
kadar air sekitar 62%, kelembapan udara 60-75%, dan kadar oksigen
yang tidak terlalu tinggi. Saat memasuki pertumbuhan tubuh buah, jamur
ini memerlukan suhu I6-22 C dengan kelembapan udara 80--90%
dengan kadar oksigen tinggi.

B. Jamur Tiram
a. Taksonomi
Super Kingdom

: Eukaryota

Kingdom

: Myceteae (fungi)

Divisio

: Amastigomycota

Sub Divisio

: Basidiomycotae

Kelas

: Basidiomycetes

VIII-25

Ordo

: Agaricales

Familia

: Agaricaeae

Genus

: Pleurotus

Spesies

: Pleurotus sp

b. Morfologi
Nama jamur tiram (Pleurotus sp.) diberikan karena bentuk tudung
jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang
tiram. Permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembap,
dan tepiannya bergelombang. Diameternya mencapai mencapai 3-15 cm.
Batang atau tangkai jamur tiram tidak tepat berada di tengah
tudung, tetapi agak ke pinggir. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang
memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media. Jika sudah
tua, daging buahnya akan menjadi liat dan keras. Warna jamur yang sering
di sebut dengan oyster mushroom ini bermacam-macam, ada yang putih,
abu-abu, cokelat, dan merah. Di Indonesia, jenis yang paling banyak
dibudidayakan adalah jamur tiram putih.

Gambar 8.10. Jamur tiram


Sama dengan jamur kuping yang merupakan kerabat dekatnya,
jamur tiram juga memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-sel
lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium. Pada titik-titik
pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik kecil yang disebut
dengan pin head atau calon tubuh buah jamur yang akan berkembang
menjadi tubuh buah jamur.
c. Lingkungan Tumbuh
Jamur tiram dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian
sekitar 600 meter dari permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air

VIII-26

sekitar 60% dan derajat keasaman atau pH 6-7. Jika tempat tumbuhnya
terlalu kering atau kadar airnya kurang dari 60%, miselium jamur ini tidak
bisa menyerap sari makanan dengan baik sehingga tumbuh kurus.
Sebaliknya, jika kadar air di lokasi tumbuhnya terlalu tinggi,jamur ini
akan terserang penyakit busuk akar.
Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batangbatang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar, kapuk,
atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembap dan terlindung
dari cahaya matahari. Pada fase pembentukan miselium, jamur tiram
memerlukan suhu 22-28 C dan kelembapan 60-80%. Pada fase
pembentukan tubuh buah memerlukan suhu 16-22 C dan kelembapan 8090% dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10%.

C. Jamur Merang
a. Taksonomi
Super Kingdom

: Eukaryota

Kingdom

: Myceteae (fungi)

Divisio

: Amastigomycota

Sub Divisio

: Basidiomycotae

Kelas

: Basidiomycetes

Ordo

: Agaricales

Familia

: Plutaceae

Genus

: Volvariella

Spesies

: Volvariella volvocea

b. Morfologi
Jamur ini sudah telanjur mendapat sebutan jamur merang
walaupun tidak selalu tumbuh di media merang (tangkai padi).
Sebenarnya jamur ini juga bisa tumbuh di media atau sisa-sisa
Tanaman yang memiliki sumber selulosa, seperti limbah pabrik
kertas, limbah biji kopi, ampas batang aren, limbah kelapa sawit, ampas
sagu, sisa kapas, dan kulit buah pala.

VIII-27

Gambar 8.11. Jamur merang


Sesuai dengan nama ilmiahnya, Volvariella volvacea, jamur ini
memiliki volva atau cawan berwarna cokelat muda yang awalnya
merupakan selubung pembungkus tubuh buah saat masih stadia telur.
Dalam perkembangannya, tangkai dan tudung buah membesar
sehingga selubung tersebut tercabik dan terangkat ke atas dan sisanya
yang tertinggal di bawah akan menjadi cawan. Jika cawan ini telah terbuka
akan terbentuk bilah yang saat matang memproduksi basidia dan
basidiospora berwarna merah atau merah muda.
Selanjutnya basidiospora akan berkecambah dan membentuk hifa.
Setelah itu, kumpulan hifa membentuk gumpalan kecil (pin head) atau
primordial yang akan membesar membentuk tubuh buah stadia kancing
kecil (small button), kemudian tumbuh menjadi stadia kancing (button),
dan akhirnya berkembang menjadi stadia telur (egg). Dalam budi daya
jamur merang, pada stadia telur inilah jamur dipanen.
c. Lingkungan tumbuh
Jamur merang tumbuh di lokasi yang mempunyai suhu 32-38 C
dan kelembapan 80-90% dengan oksigen yang cukup. Jamur ini tidak
tahan terhadap cahaya matahari langsung, tetapi tetap membutuhkannya
dalam bentuk pancaran tidak langsung. Derajat keasaman (pH) yang
cocok untuk jamur merang adalah 6,8-7.

Panen dan Pascapanen


A. Panen
Panen jamur dilakukan secara manual menggunakan tangan atau
menggunakan pisau tajam. Jamur yang dipanen harus dipotong beserta

VIII-28

akarnya karena akar yang tetinggal di dalam media akan membusuk dan
menganggu pertumbuhan calon jamur di sekitar lokasi tersebut. Oleh karena
itu, jika ada akar yang tertinggal di dalam media harus dicabut secara paksa
menggunakan penjepit.
Saat terbaik untuk memanen jamur adalah pada pagi hari sebelum
pukul 10.00 atau sore hari sebelum pukul 17.00. Jika dipanen siang hari,
berat jamur akan menyusut karena kepanasan.
1. Jamur kuping dipanen setelah berumur 3-4 minggu dari waktu terbentuknya calon tubuh buah (pin head). Saat itu pertumbuhan tubuh buah
telah berukuran maksimal dengan berat mencapai sekitar 65 gram. Masa
panen berlangsung sampai dua bulan berikutnya

dengan

interval

pemanenan 1-2 minggu sekali.


2. Jamur tiram dipanen 4-5 hari sejak pembentukan tubuh buah (pin head).
Saat itu beratnya telah mencapai 50-75 gram. Masa panen mencapai empat
bulan dengan interval pemanenan lima hari sekali.
3. Namur merang dipanen sebelum tubuh buah berukuran maksimal, yaitu
saat pertumbuhan tubuh buah baru mencapai stadia kancing (button stage)
atau sepuluh hari setelah bibit ditebarkan. Periode panen berlangsung
sekitar satu bulan dengan interval pemanenan 5-7 hari sekali.

B. Pascapanen
Langkah

pertama

yang

dilakukan

setelah

panen

adalah

membersihkan jamur dari berbagai kotoran yang menempel. Caranya,


permukaan tubuh buah dibasahi dengan air bersih, kemudian digosok dengan
tangan secara pelan-pelan sampai seluruh kotoran yang menempel hilang.
Mengingat tubuh buah jamur gampang sobek, pekerjaan ini harus dilakukan
dengan hati-hati. Setelah itu, barulah jamur siap dipasarkan sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki. Untuk skala petani (bukan perusahaan besar) produk
yang dipasarkan biasanya hanya berupa jamur segar dan jamur kering.
a. Jamur Segar
Produksi jamur segar biasanya dijual ke rumah makan, restoran,
supermarket, atau hotel. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk

VIII-29

mempertahankan kesegaran jamur yang akan dijual dalam bentuk segar,


yaitu menyimpannya pada suhu dinging atau menambahkan bahan kimia.
1. Penyimpanan pada Suhu Dingin
Buah jamur yang telah dicuci bersih kemudian ditiriskan
sampaj tidak ada lagi air yang menetes. Pastikan jamur benarbenar
tiris karena air cucian yang masih menempel di jamur akan
mengakibatkan munculnya bintik-bintik berwarna. jika hal ini terjadi
kualitas jamur akan menurun dan harga jualnya menjadi rendah.
Setelah itu, jamur dikemas dalam kantong plastik atau styrofoam chest
dengan ukuran kemasan tergantung pada selera dan dimasukkan ke
dalam refrigerator bersuhu 15 C. Dengan cara ini, umur kesegaran
jamur dapat diperpanjang sampai lima hari.
2. Penambahan Bahan Kimia
Bahan kimia yang dapat digunakan untuk memperpanjang
kesegaran jamur adalah Na-bisulfit 0,2% (2.000 ppm), larutan asam
sitrat 0,5%, garam dapur 15%, S02 0,1% dan K-bikarbonat 0,1%.
Dosis di atas masih di bawah nilai yang diperbolehkan Ditjen POM
Depkes sehingga masih aman jika dikonsumsi manusia. Penambahan
bahan kimia dilakukan dengan cara menyemprotkannya ke jamur atau
bisa juga dengan merendamnya selama 10 menit. Dengan
penambahan bahan kimia ini pertumbuhan mikroba pembusuk bisa
terhambat sehingga jamur akan tetap segar sampai satu bulan.
b. Jamur Kering
Pengeringan bertujuan mengurangi kandungan air yang ada di
dalam tubuh buah jamur sehingga mikroba pembusuk tidak dapat hidup.
Walaupun akan mengubah bentuk dan rasanya, pengeringan merupakan
cara terbaik untuk memperpanjang daya simpan jamur sehingga waktu
pemasarannya lebih lama.
Pengeringan jamur bisa dilakukan dengan cara menjemur atau
menggunakan ruang pengering khusus yang sumber panasnya berasal dari
listrik atau minyak tanah. Jika pengeringan dilakukan dalam ruang khusus,
jamur yang telah ditiriskan disusun di atas rak, lalu dimasukkan ke dalam

VIII-30

pengering. Awalnya suhu panas yang dialirkan sebesar 40C dan


perlahan-lahan dinaikkan sampai 45C. Pengeringan dilakukan 3-4 jam
jika dijemur langsung dan delapan jam jika dilakukan di dalam ruang
pengering.
Jamur kuping dan jamur tiram yang telah dicuci dan ditiriskan bisa
langsung dikeringkan sambil dibolak-balik agar keringnya merata.
Sementara itu, jamur merang stadia kancing sebelum dijemur harus
dibelah dulu secara memanjang agar cepat kering.
Jamur yang sudah kering lalu dimasukkan ke dalam kantung
plastik tebal. Setelah penuh, tekan sedikit sehingga udara di dalamnya
keluar. Dalam keadaan hampa udara, mulut kantong plastik dilipat dan
diikat menggunakan karet atau tali rafia. jamur kering ini biasanya dijual
ke supermarket atau diekspor.

8.2. Bahan Diskusi


Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok
besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut :
1. Membuat paper dengan judul :
I.

Potensi suweg (Amorphophallus campanulatus) sebagai bahan baku


penghasil pati

II.

Potensi ketapang (Terminalia cattapa) sebagai bahan baku penghasil


tanin

III. Potensi mahoni (Swietenia mahagoni) sebagai bahan baku penghasil


bahan pewarna
IV. Potensi pulai (Alstonia spp.) sebagai bahan baku penghasil getah
V.

Potensi

bintangur (Calophyllum soulatri) sebagai bahan baku

penghasil tumbuhan obat


VI. Potensi

saga (Abrus precatorius) sebagai bahan baku penghasil

tanaman obat
Format paper sebagai berikut : Format paper sebagai berikut : halaman paper
maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks

VIII-31

adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan
rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point
3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di
depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.

8.3. Bacaan/Rujukan Pengayaan


Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya :
http://www.fao.org/corp/publications/en/
www.prosea.lipi.go.id/

8.4. Latihan Soal-Soal


1. Tuliskan jenis-jenis sarang wallet
2. Tuliskan keuntungan budidaya wallet
3. Tuliskan jenis-jenis jamur yang sekarang sudah dibudidayakan
4. Tuliskan salah satu budidaya jamur yang anda ketahui

VIII-32

DAFTAR PUSTAKA
Adjidarna. 1990. Pengusahaan Lak Perhutani di Banyukerto. Jakarta : Duta
Rimba No. 125-126/XVI : 38-42.
Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung.
A site about silkworms, silkmoths, and silk. Wormspit.com.
Astawan, M. 1989. Teknologi Sederhana Pembuatan Gula Pasir. Teknologi No.
2, th III/Juni 1989, hal 32 dan 33. PT. Dharma Yasamas Teknindo,
Jakarta.
Atjung. 1990. Tanaman yang Menghasilkan Minyak, Tepung dan Gula. CV
Yasaguna, Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Lak Butiran (seed lak). SNI 015009.2-2000. Jakarta.
Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat. 1997. Jahe. CV Riza Graha Jaya,
Bogor.
Bandini, Y. 1996. Nipah Pemanis Alami Baru. Penebar Swadaya. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 2002. Jakarta.
Bolin, H.R dan Jackson, R. 1986. Journal of Food Processing and Preservation.
Vol. IX, No. 1. Food and Nutrition, Inc. Westport, Connecticut.
Borror DJ, C A Triplehorn, dan N F Johson. 1996. Pengenalan Serangga. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Buckle, K.A., R.A. Edwards G.H. Fleet, M.Wootton. 1987.
(terjemahan). Universitas Hasanuddin Press. Jakarta.

Ilmu Pangan

Budiman, A. 2008. Menentukan Lokasi Budi Daya Walet. Penebar Swadaya.


Jakarta.
Citrosupomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.BioPengolahan Rotan Lepas Panen. Prosea
Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia.
Daud, M. 2008. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :

P.35/Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Daftar Komoditi hasil


Hutan Bukan Kayu yang Menjadi Urusan Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990.
Departemen Kehutanan. Jakarta

Pengembangam Budidaya Bambu.

[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan


Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
Jakarta.
Departemen
Kehutanan
dan
Perkebunan.
Tengkawang.
http://www.dephut.go.id/informasi/propinsi/SUMSEL/hhnk.html
[10
Agustus 2009]
Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statitistik . 2004. Potensi Hutan Rakyat
Indonesi. Jakarta
Departemen Pertanian. 2002. Berita Standarisasi dan Mutu Kegunaan Pangan.
Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Jakarta.
Dirjen Perkebunan. 2008. Budidaya Kemiri. Direktorat Budidaya Tanaman
Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Dransfield S., and E. A. Widjaya. 1996. Plant Resources of South-East
Rattan. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia

Asia 6.

Dransfield, S. and E. A. Widjaya. 1995. Prosea. Plant Resources of South-East


Asia. No. 7. Bogor Indonesia.
Elisabetta Ghermandi. 2003. Lasifer Laka Laccifer Lacca Cocus Lacca
Laksha. http://www.easygrowing.org/documents/EG-LasiferLaka.doc [27
Januari 2005]
Elsppat, T. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Puspa Swara. Jakarta
Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
_______. 1982. Anatomi Tumbuhan (Terjemahan). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Fardiaz S, Winarno F.G, dan Dedi F. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT
Gramedia. Jakarta.
Food-Info net Gula. 2007. Jenis-jenis Gula dan berbagai Produk Terkait. An
iniatiave
of
Wageningen
University,
The
Netherlands.
Http://www.produk.makanan.com [18 Oktober 2007]

Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian (terjemahan).


Edisi Kedua. UI-Press. Jakarta.
Guinther, E. 1987. Minyak Atsiri, Jilid I. Terjemahan S. Ketaren. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Hadi, S. 2009. Kelangkaan dan Nilai Ekonomi Buah Tengkawang.
Halim, N. A. dan Suharno. 2001. Teknik Mencangkok Royal Jelly Lebah Madu
Apis mellifera lingustica. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hambali E, A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M.
Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja, T.
Prawitasari, T. Prakoso, dan W. Purnama. 2007. Jarak Pagar Tanaman
Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung.
Harris, R. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Harsanto, P.B. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
Hasil Hutan Bukan Kayu dan Pengelolaan Hutan Lestari di Hulu Tabalong. 2001.
EUROPEAN COMMISSION INDONESIA FOREST PROGRAMME
Deskripsi Laporan No : 92
Heyne, K. 1979. Tumbuhan Berguna Indonesia I.
Kehutanan. Jakarta.

Litbang Departemen

Hutabarat, BSM. 1998. Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional.


Gula Indonesia. Vol XXIII/4 ISSN 0216/2954. Hal 27
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/Hasil/buletin/2001/2-1h.HTM
http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Nonseperti yang diterima pada 11 Mei 2006 06:20:55 GMT.

Timber.html

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/Hasil/buletin/2001/2-1-h.HTM
Info Hutan No. 139. 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria
malacensis Lamk). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor-Indonesia.

Intari SE.
1980. Laccifer lacca Kerr.
Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.

Serangga Penghasil Bahan Lak.

Intisari. 2001. Jangan Asal Semprot, Bahaya...!. Indomedia, Jakarta.


http://www.indomedia.com/intisari/2001/Okt/khas_airud.htm. (4 Februari
2007).
Isnaini, Y. 2003. Respon Tunas Gaharu (Aquilaria crassana dan A. filarial)
terhadap Inokulasi Acremonium pada Tiga Kosentrasi Medium Kultur.
SEAMEO BIOTROP. Bogor
_______. 2002. Metabolit Sekunder dari Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) yang
Berasosiasi dengan Cendawan. Paper Mata Kuliah Metabolisme Sekunder
Tumbuhan. IPB. Bogor
Isnaini, Y dan J. Situmorang. 2004. Aplikasi Bioteknologi untuk Pengembangan
Tanaman Gaharu (Aquilaria spp.) di Indonesia. SEAMEO BIOTROP.
Bogor
Jain V.K. 2004. Fundamentals Of Plant Physiology. S. CHAND & COMPANY
LTD. RAM NAGAR, NEW DELHI -110055.
Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Johnson, D. V. 1997. Non-wood Forest Products:Tropical Plams. Food and
Agriculture Organization of United Nations. Bangkok, Thailand.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.
Kardinan A. dan L. Mauludi. 2004. Nilam Tanaman Beraroma Wangi Untuk
Industri Parfum & Kosmetika. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kardinan, A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri Komoditas Wangi
Penuh Potensi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Karyadi, M. Hatibu dan M.T Andarias. 1975. Penelitian Mutu Gula Merah di
Sulawesi Selatan. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian Kimia,
Makassar
Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas
Indonesia, Jakarta.
_______. 1985. Minyak Atsiri. Teknologi Industri Pertanian. IPB, Bogor.
Khayrunnisa, S. dan G . Rahayu, 1999. Senyawa Gaharu Hasil Induksi Acremium
sp. Pada Kalus A. crassana. Prosiding Kongres Nasional dan Seminar
Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi, Purwokerto, 16-18 September 1999.

Lakitan B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.
Litbang Kehutanan. 2000. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu.
Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Indonesia
Lutony T. L. dan Y. Rahmayanti. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak
Atsiri. Penebar Swadaya Jakarta.
Lutony, T.L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mandang Y.I. dan B. Wiyono. 2002. Anatomi Kayu Gaharu (Aquilaria
malaccensis Lamk) dan Beberapa Jenis Sekerabat, Bulletin Penelitian
Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. BogorIndonesia.
Margunadi. 1994. Materi Kursus Kilat Kader Mandor Teknik Kultur Lak.
BKPH Taman KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Probolinggo.
Mark. JL. 1991. Revolusi bioteknologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Matanubun H, dan L. Maturbongs. 2005. Sago Palm Potential, Biodiversity and
Socio-Cultural Considerations for Industrial Sago Development in Papua,
Indonesia. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium.
Universitas Negeri Papua, Manokwari.
Moctar, H.M. 1996. Penafsiran Produk dan Masakan Rafinasi. Gula Indonesia,
Vol XX1/2-3.
Moerdjono. 1968. Prasyarat Kultur Lak. Rapat Kerja Lak Perhutani Jawa Timur.
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Surabaya.
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula
di Indonesia. Institut Teknologi Bandung
Mulyana AD, dan Intari SE. 1995. Jenis Pohon Inang Alternatif Kutu Lak di
BKPH Taman dan Sukapura KPH Probolinggo Jawa Timur. Duta Rimba.
Jakarta No. 185-186/XX/1995:15-18.
Neumann R. P., and E. Hirsch. Commercialisation of Non-Timber Forest
Products: Review and Analysis of Research. Bogor Indonesia.
Parjimo, H dan A. Andoko. 2008. Budi Daya Jamur : Jamur Kuping, Jamur
Tiram dan Jamur Merang. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Parman dan T. Mulyaningsih. 2004. Makalah Teknologi Inokulasi Mikroba pada


Tanaman Gaharu dan Penanganan Pascapanen Gubal. Universitas
Mataram. Lombok
Patulak, J. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Pengovenan terhadap Rendemen
Minyak Biji Kalumpang (Sterculia foetida Linn.) dengan Metode
Pengepresan Hidrolik.
Skripsi.
Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin. Makassar. [Tidak diterbitkan].
Partosoedjono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. Bogor.
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 1994. Laporan Hasil Pelaksanaan Studi
Banding Pengusahaan Lak di Pulau Alor. KPH Probolinggo Perum
Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo.
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 2004. Buku Saku : Pengelolaan Tanaman
Inang Kesambi dan Kultur Lak dan Pengelolaan Lak Cabang Menjadi
Seedlak. KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Probolinggo.
Perum Perhutani. Raw silk. http://perhutaniproducts.com/?page_id=35
des 2008]

[15

Polunin N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.


(terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prihandana, R., E. Hambali, S. Mujdalipah, dan R. Hendroko. 2007. Meraup
Untung dari Jarak Pagar. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Profounds webpage www.ntfp.org (2001)
Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan. 1996. Jakarta
Rachman, A.K, dan Y. Sudarto. 1992. Nipah Sumber Pemanis Baru. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Rahman, A. 2008. Studi Rendemen Berbagai Jenis Produk Lebah Hutan (Apis
dorsata binghamii F.) Oleh Pemburu Lebah di Desa Puosu Kecamatan
Mowewe Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar (Tidak Diterbitkan).
Rampengan, V, J. Pontoh dan D.T Sembel. 1985. Dasar-Dasar Pengawasan
Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia
Bagian Timur. Makassar.
Redaksi AgroMedia. 2009. Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Walet. PT.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Retna, A. 2008. Pemanfaatan Minyak Biji Kalumpang (Sterculia foetida Linn.)


Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Opaque. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar. [Tidak diterbitkan].
Sari, R. K., W. Syafii, K. Sofyan, dan M. Hanafi. 2004. Sifat Antirayap Resin
Damar Mata Kucing dari Shorea javanica K.et V. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis. 2 (1): 8-15.
Sardjono, E.A. Basrah, dan S. Oyok. 1987. Penelitian Pengemasan Gula Merah
Cetak. Warta Info Hasil Hutan Vol 4, No. 1.
Setiadi, D. dan TE. Komar. 2001. Prospek Pengembangan Kutu Lak di Alor,
Nusa tenggara Timur. Duta Rimba. Jakarta. No. 258/XXV:29-31.
Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Aditya Media.
Siddiq, M. 2004. Makalah Analisis Ekonomi Agroforestry Gaharu. Universitas
Mataram Lombok.
Siemonsma, J.S. Aleurites moluccana Miq.
http://www.proseanet.org/florakita/printer.php?photoid=529
2009]

[14

April

Soepardi, R. 1955. Pinus merkusii di Tanah Gayo. Rimba, Indonesia. 4 (6):


265-279
Soesono, S. 1992. Bertanam Aren. Penebar Swadaya. Jakarta
Somaatmadja, D. 1980. Ketela sebagai Bahan Pembuatan Gula.
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia edisi 5.

Buletin

Sriwahyuni. 1990. Pengaruh Pengabutan dengan Melathion 96 EC pada Tanaman


Inang Schleichera oleosa Merr terhadap Produksi Lak. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Sudarnadi H. 1995. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudaryani T. dan E. Sugiharti. 2004 Budiaya dan Peyulingan Nilam. Edisi Revisi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudradjat, R. 2008. Memproduksi Biodisel Jarak Pagar. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sumantri, I. 1992.
Perbaikan Sistem Pemungutan Lak Dalam Rangka
Peningkatan Produksi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10 No.
2/1992:63 68.

Sumiasri, N. 1995. Pemanfaatan Nipah (Nypah fruticans Wurmb) oleh Beberapa


Suku Bangsa di Indonesia. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional
Etnobotani II, Ikatan Pustakawan Indonesia, Jakarta.

Sumoprastowo, R. M. dan R. A. Suprapto. 1980. Beternak Lebah Madu Modern.


Penerbit Bhratara Karya Akasara. Jakarta.
Susilo. A.K. 2003. Sudah Gaharu Super Pula. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Sutiyono dkk. 1996. Paket Modul Partisipatif: Budidaya Bambu Guna
Meningkatkan Produktivitas Lahan. Prosea Indonesia. Yayasan Prosea.
Bogor Indonesia.
Suwarno. 2004. Materi Diklat Teknik Kultur Lak. KPH Probolinggo Perum
Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo.
Tan, L.C., M.R. Prez and M. Ibach. Non-Timber Forest Product Databases.
Bogor Indonesia.
Thomas M. G. dan D. R. Schurman. 1993. Income Opportunities in Special Forest
Products Self-Help Suggestions for Rural Entrepreneurs. Midwest
Research Institute State and Private Forestry 425 Volker Boulevard USDA
Forest Service Kansas City, MO 64110 One Gifford Pinchot Drive
Madison, WI 537052398 Agriculture Information Bulletin AIB666 U.S.
Department of Agriculture Washington, DC.
Umboh MIJ. 2000. Upaya Peningkatan Produksi Gubal Gaharu: mikropropagasi
Aquilaria sp dan Upaya Peningkatan Bioproses Gubal Gaharunya laporan
akhir penelitian RUT V. Jakarta: Menristek-DRN
Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium
Bogoriense. Bogor Indonesia.
_______. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI Balai Penelitian Botani,
Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia.
Wikipedia

Indonesia. 2007. Gula. Wikipedia Indonesia,


Http://id.wikimedia.org/wiki/Gula. [27 Juli 2007].

Jakarta.

_______. 1999. Minyak Atsiri. Wikipedia Indonesia Ensiklopedia Bebas


Berbahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_atsiri.
[11
Februari 2007].
_______. Kopal. http://id.wikipedia.org/wiki/Kopal [21 Juni 2008]

_______. Damar. http://id.wikipedia.org/wiki/Damar [21 Juni 2008]


_______. Kemiri. http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiri [8 April 2009]
Wollenberg E. and A. Ingles. Income from the Forest. CIFOR, IUCN. Bogor
Indonesia.
Wong , J.L.G., K. Thornber, and N. Baker. 2001. Non Wood Forest Products
Resource Assessment Of Non-Wood Forest Products. Experience and
biometric principles FAO.
Wuryaningsih, 2008. Proses Ekstraksi dan Pemurnian Minyak Atsiri. Pusat
Penelitian Kimia-LIPI, Jakarta.
Yuan. 1995. Biotechnology in Agricultural and Forestry 33, Medicinal and
Aromatic Plants VIII. Springer.
Zulnely. 2002. Beberapa sifat Buah Nipah (Nypah fruticans). Info Hasil Hutan
Vol. 9 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai