Referat ECT
Referat ECT
Bab I Pendahuluan
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan
terapi
yang
termasuk
penatalaksanaan
dalam
gangguan
psikiatri.
Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang
psikiatri. Electro Convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu
intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan
gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik
singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons
ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam
beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini
sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna
melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan
kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.1
Bab II
Pembahasan
A. Definisi
ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan
psikiatrik dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang
berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi
ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan
gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya. 1
Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk
menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum.4 Electro Convulsive Therapy
(ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting
yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu
yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi
kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan
perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Prosedur biasanya
dapat diterima pasien dan dapat menggunakan profilaksis yang memungkinkan
penyembuhan parsial atau sempurna dari gejala. 5 Electro Convulsive Therapy
(ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien
diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak
pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang
dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak
sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan
pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.8 Terapi Elektro Konvulsif
merupakan suatu terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri.6
B. Sejarah
Walaupun kejang akibat champor pernah digunakan awal abad ke-16
sebagai terapi psikosis, sebagian besar sejarah ECT dimulai pada tahun 1934, saat
Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala
skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis. 1 Hal ini
berdasarkan keyakinan bahwa pasien epilepsi dengan psikosis memperlihatkan
perbaikan gejala psikotik setelah kejang spontan. Untuk menimbulkan kejang Von
Meduna menggunakan injeksi champora.5
Von Meduna mulai menggunakan
penyuntikan
champor
yang
hasil
yang
memuaskan.5
Kejang
yang
diinduksi
oleh
(Indokolon)
diperkenalkan
sebagai
cara
farmakologis
baru
C. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum diketahui
secara pasti. Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan psikodinamika, teori
molekular, biokimia, neuroendokrin, dan teori struktural.5 Suatu penelitian untuk
mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi
dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission Tomography)
mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan.
Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral,
pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun,
kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan
respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik
selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena
pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.1
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik- pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik
masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial.
Berbagai penelitian melaporkan telah menemukan suatu peningkatan
reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan
perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan
mempengaruhi sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada
sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein
G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi
masuknya kalsium ke dalam neuron.1
Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang
membangkitkan ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini diduga
bekerja pada sel yang menghubungkan bangkitan kejang pada SSP. Pada tingkat
dasar obat antikonvulsi mempunyai efek meningkatkan penghambatan dan
Penggunaan ECT sebagai terapi dapat diberikan pada gejala-gejala depresi yang
berkaitan dengan:6
Pencobaan bunuh diri dengan resiko melakukan bunuh diri.
Gejala-gejala psikotik
Penurunan keadaan fisik karena komplikasi depresi, seperti intake oral yang
menurun.
Respon yang minimal setelah pengobatan.
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik
Merupakan pilihan pasien
Katatonia
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar.
Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap
ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat
dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan
depresi nonpsikotik. Namun demikian, karena episode depresi berat dengan gejala
psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT
harus sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah
yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan
nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon
terhadap ECT.1
Terapi Elektrokonvulsi biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi
yang lebih ringan, seperti gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan
alam perasaan depresi.4
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan
lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa
pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan
unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode
manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk
gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling
besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi Sekunder ECT
1. Katatonia
Katatonia merupakan suatu gejala yang berkaitan dengan gangguan mood,
skizofrenia, dan gangguan medis dan neurologis yang efektif diberikan terapi
ECT.1,6
2. Penyakit Parkinson
6
a.
b.
c.
d.
yang
berpengalaman
dalam
penggunaan
anesthesia,
untuk
Tepat
sebelum
memulai
pengobatan
harus
dilakukan
10
ini harus dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik
sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi
pada saat pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung
kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali. Jika hal ini menghasilkan
suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus
diberikan stimulu ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang
adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah
kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum
mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.4
Efek samping yang paling menyulitkan adalah memori. Memori
tidak terletak pada lokasi tertentu pada otak. Saat ini dipercaya memori
bergantung pada banyak regio pada otak yang secara anatomis maupun fungsional
terhubung. Diketahui bahwa masalah memori yang berat terjadi ketika struktur
kedua belah otak rusak. Ini merupakan bukti yang mengindikasikan bahwa ECT
bilateral memiliki efek antidepresan yang lebih kuat daripada unilateral. Namun,
ECT bilateral juga dipercaya berkaitan dengan gangguan ingatan yang lebih besar
daripada ECT unilateral. Bukti menunjukkan bahwa memberikan energi listrik
unilateral dalam jumlah besar (selama dalam bentuk square wave singkat) dari
yang dibutuhkan hanya sekedar untuk memicu kejang (seizure threshold) dapat
membuat efek antidepresan serupa dengan ECT bilateral, namun dengan
gangguan memori yang lebih ringan. Teknik "ECT unilateral dosis tinggi" ini
sekarang merupakan bentuk yang paling sering dipilih. Bagaimanapun, saat efek
antidepresan maksimum dibutuhkan, ECT bilateral mungkin tetap penting untuk
dipilih.
Penentuan dosis
Efek antidepresan optimum dicapai dengan dosis elektrik yang jauh di atas
ambang kejang. Ada dua metode untuk menentukan dosis tinggi yang sesuai.
Metode pertama adalah dengan menentukan ambang kejang. Pada metode ini
12
13
meningkatkan
resiko
komplikasi
kardiovaskular,
dan
14
diinduksi dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk
abnormalitas EKG postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya
methohexital, thiopental dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis
pada lokasi injeksi. Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.
3. Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate
subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Dibanding methihexital, ketamin memiliki onset yang lebih lambat, pemulihan
yang lebih lambat, dan meningkatan insidensi nausea, hipersalivasi, 'bad trips',
dan ataksia selama pemulihan. Direkomandasikan bagi pasien dengan peningkatan
ambang kejang sehingga pemunculan kejang menjadi sulit, dan dosisnya adalah
0,5-2 mg/kg.
4. Propofol memiliki onset cepat, durasi yang singkat, dan sering dikaitkan
dengan nyeri lokasi injeksi. Propofol memiliki properti poten antikonvulsan.
Dosis propofol 0,75-1,5mng/kg menghasilkan:
1. Penurunan intensitas dan durasi kejang.
2. Kebutuhan akan peningkatan jumlah terapi.
3. Pemanjangan hipertensi dan takikardi karena ECTs
4. Penurunan pelepasan prolaktin dan ACTH karena kejang
5. Penggunaan yang sukses pada penanganan status epileptikus
Namun begitu, RCT antara propofol dengan methihexital maupun thiopental tidak
menunjukkan adanya perbedaan dalam hasil terapeutik ataupun kecepatan
pemulihan postiktal. Efek samping lainnya termasuk hipotensi, apneu, bradikardi.
5. Etomidate, berkaitan dengan nyeri pada lokasi injeksi seperti halnya
methohexital, dan menyebabkan aktivitas mioklonik menonjol selama induksi.
Etomidate memberika keuntungan akan efek kontraktibilitas dan kardiak output
yang
minimal.
Etomidate
direkomendasikan
pada
pasien
dengan
15
16
17
2. Usaha awal harus diarahka untuk mendapatkan control tekanan darah dan
denyut jantung dengan administrasi harian agen oral sebelum memulai
ECT
3. Pada pasien yang beresiko untuk komplikasi kardiovaskular, seperti
aneurisma tak stabil, pencegahan total akan perubahan hemodinamik
karena ECT direkomendasikan.
4. Hipertensi yang bertahan atau aritmia yang signifikan setelah kejang
diterapi
secara
akut,
dan
profilaksis
dipertimbangkan
untuk
penatalaksanaan berikutnya
Agen yang biasa digunakan
Beberapa antihipertensi memiliki potensi untuk membatasi efek hemodinamik
ECT. Mereka memiliki perbedaan dalam onset dan durasi, dampak terhadap
tekanan darah versus denyut jantung, efek terhadap kerja miokard, dan durasi
kejang.
1. Beta blocker. Literature untuk beta blocker sangat luas. Efek samping
mayornya adalah adanya property antikonvulsa. Labetalol merupakan
beta-blocker yang paling banyak digunakan sekarang ini. Obat ini secara
selektif memblok alfa-1 dan secara tidak selektif memblok reseptor
adrenergic beta-1 dan beta-2. Dosis awalnya adalah 5-10 mg iv. Onsetnya
adalah sekitar 2-5 menit dan durasinya sekitar 4-6 jam. Esmelol memiliki
onset yang lebih cepat (30-90 detik) dan durasinya jauh lebih singkat
(sekitar 10 menit), lebih memiliki efek pada tekanan darah daripada pada
denyut jantung, dan lebih menurunkan loading kerja jantung, disbanding
dengan abetalol.
2. Nitrogliserin. Mendilatasi sistem vena dengan sedikit efek pada
kontraktibilitas miokard. Ada banyak sdiaaan, seperti spray, injeksi, dan
salep. Pada prakteknya, nitrogliserin diberikan secara spray sublingual (0,4
mg/spray) beberpa menit sebelum ECT mulai menurunkan hipertansi.
3. Trimethaphan, merupakan agen bloking ganglionik, merupakan salah satu
entihipertensi intravena yang direkomandasikan untuk ECT. Agen ini
menginhibisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sekaligus dengan efek
pada arteriol, dan meningkatkan vasodilatasi tanpe menginduksi refleks
takikardi. Hanya tersdia dalam bentuk parenteral dan memiliki onset
dalam beberapa menit,. Bolus trimethaphan menurunkan tekanan darah
18
19
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien
dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius
lainnya.1 Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum. Bila melihat
sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934,
dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari
katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara
farmakologis. Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif
untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan
mental serius lainnya. Indikasi Primer ECT yaitu gangguan depresi mayor, mania,
skizofrenia,sedangkan indikasi sekunder ECT yaitu katatonia, penyakit parkinson,
sindrom neuroleptik maligna dan delirium. Electro Convulsive Therapy (ECT)
merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan
anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien
distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang
di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2
menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak
ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.8 Terapi Elektro Konvulsif merupakan
suatu terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri Agen
anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari adanya sensasi
yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan oto dan perasaan tercekik dan
gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa
menghambat kejang.
20
Daftar Pustaka
21
OLEH :
MUHAMAD AZRUL 0810314158
CHARAN PAL SINGH 0810314156
PRECEPTOR:
23