DISUSUN OLEH :
NOVI KARMILASARI
041414253012
041414253013
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis keuangan yang melanda kawasan Asia di sekitar tahun 1997-1998, dimana
Indonesia termasuk di dalamnya telah dirasakan amat memberatkan kehidupan bagi semua
kalangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Baird (2000) bahwa salah satu akar penyebab
timbulnya krisis ekonomi di Indonesia dan juga di berbagai negara Asia lainnya adalah
buruknya pelaksanaan corporate governance (tata kelola perusahaan) dihampir semua
perusahaan yang ada, baik perusahaan yang dimiliki pemerintah (BUMN) maupun yang
dimiliki pihak swasta.
Perhatian terhadap corporate governance terutama juga dipicu oleh skandal spektakuler
seperti, Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lainlain. Keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi
maupun praktek curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam
waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate
boards (Kaihatu, 2006).
Dalam kasus-kasus yang terjadi kinerja perusahaan yang buruk disebabkan oleh
beberapa faktor di antaranya adalah kegagalan perusahaan dalam melakukan pemantauan dan
menentukan perencanaan strategis. Faktor lain yang menyebabkan buruknya kinerja
perusahaan adalah pelanggaran terhadap etika bisnis. Seperti diketahui, budaya sogokmenyogok, suap-menyuap, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang marak mewarnai
praktik bisnis di Indonesia maupun di negara lainnya.
Namun demikian, akibat dari krisis ekonomi yang melanda, membawa efek
meningkatnya perhatian dari pemerintah, kalangan pebisnis, serta masyarakat luas pada
umumnya terhadap pentingnya penerapan GCG. Penerapan GCG juga telah menjadi sebuah
isu sentral dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan perekonomian
yang stabil serta sustainable dimasa yang akan datang. Di era globalisasi ini, perusahaan
dituntut untuk memahami prinsip-prinsip GCG dan menerapkan good corporate governance
tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Menurut Syakhroza (2000) dalam
Indrayani & Nurkholis (2001), terdapat dua penyebab munculnya isu good corporate
governance yaitu pertama, perubahan lingkungan yang sangat cepat dan pada akhirnya
berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Yang kedua, semakin banyak dan
komite
ini
berdasarkan
Keputusan
Menko
Ekuin
Nomor:
KNKCG
diubah
menjadi
Komite
Nasional
Kebijakan
Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dalam
pembentukan komite ini menghasilkan pedoman umum good corporate governance tahun
2006. Pedoman ini bukan merupakan peraturan perundangan sehingga tidak memiliki
ketentuan hukum yang mengikat.
BAPEPAM melalui keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi
emiten atau perusahaan publik menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat uraian
singkat mengenai penerapan corporat governance perusahaan yang telah dan akan
dilaksanakan oleh perusahaan dalam periode laporan keuangan tahunan terakhir. Peraturan
ini berlaku untuk penyusunan laporan tahunan untuk tahun buku yang berakhir pada atau
setelah tanggal 31 Desember 2006.
GCG merupakan serangkaian mekanisme yang merefleksikan suatu struktur
pengelolaan perusahaan yang menetapkan distribusi hak dan tanggung jawab diantara
berbagai partisipan di dalam perusahaan, termasuk para Pemegang Saham, Dewan Komisaris,
Governance
menyatakan
implementasi
Good
Corporate
Governance
membutuhkan Auditor Internal yang mampu berkolaborasi positif dan efesien, baik dengan
pihak-pihak yang mensuplai informasi maupun dengan pihak yang membutuhkan informasi.
Kerja sama ini hanya dapat dibangun apabila masing-masing pihak memahami tugasnya
maupun tugas rekan kerjanya. Internal auditor merupakan dukungan penting bagi komisaris,
Komite Audit, Direksi, dan Manajemen Senior dalam membentuk pondasi bagi
pengembangan Corporate Governance. (Zarkasyi (2008;14), Trimanto S. Wardoyo (2010)).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan perumusan masalah sebagai
berikut:
1.
BAB 2
DASAR TEORI
2.1
nilai
tambah
bagi
semua
pihak
yang
berkepentingan
2.2
5 (lima) macam tujuan utama. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
2.
Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham,
3.
4.
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Director
dan manajemen perusahaan,
5.
1.
2.
3.
Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap
stakeholders maupun kelestarian lingkungan disekitar BUMN,
4.
5.
6.
2.3
Development), mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan agar tercipta corporate governance,
pedoman tersebut dijadikan acuan oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Pedoman tersebut disusun seuniversal mungkin, sehingga dapat dijadikan acuan bagi semua
negara atau perusahaan dan dapat diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang
berlaku di negara masing-masing. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal prinsip-prinsip ini
dapat menjadi guidance atau pedoman dalam mengelaborasi best practicesbagi peningkatan
nilai (valuation) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan. Bidang-bidang Utama agar
tercipta corporate governance menurut OECD mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Perlindungan terhadap hak-hak Pemegang Saham (The rights of shareholders and key
ownership functions)
Adapun hak-hak Pemegang Saham yang dimaksudkan disini adalah hak untuk (1)
menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau
memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang
perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam
rapat umum pemegang saham, dan (5) memilih anggota Dewan Komisaris dan
Direksi,serta (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. Kerangka yang
dibangun dalam suatu negara mengenai corporate governanceharus mampu melindungi
hak-hak tersebut.
2.
3.
4.
5.
Dewan Komisaris dan Direksi terhadap perusahaan dan Pemegang Saham. Prinsip ini
juga memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan
Direksi beserta kewajibankewajiban profesionalnya kepada Pemegang Saham dan
stakeholderslainnya.
2.4
penerapan praktek Good Corporate Governance diutarakan bahwa prinsip Good Corporate
Governance meliputi:
1.
2.
Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
3.
4.
5.
mengembangkan framework bagi penerapan GCG. Menurut FCGI (Forum for Corporate
Governance in Indonesia), prinsip-prinsip dasar GCG terdiri dari:
1.
Kewajaran (Fairness)
Prinsip kewajaran diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para pemegang
saham, terutama kepada pemegang saham minoritas & pemegang saham asing, dengan
keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan
perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan dengan
membuat peraturan korporasi. Dengan konsep korporasi, maka terdapat pemisahan
antarapemegang saham atau pemilik & manajemen yang bertindak sebagai pengelola
perusahaan (dalam Agency Theory, pihak pertama disebut Principal, sedangkan pihak
Transparansi (Transparency)
Keputusan Menteri Negara BUMN tahun 2002 mengartikan transparansi sebagai
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materil dan relevan tentang perusahaan. Dalam prinsip
ini, stakeholder harus diberi kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan
atas perubahan dalam perusahaan & memperoleh informasi yang benar, dan tepat
waktu, sehingga tidak ada pihak berkepentingan yang membuat keputusan yang salah.
Prinsip ini diwujudkan dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis
standard akuntansi dan best practices yang menjamin pengungkapan yang berkualitas,
mengembangkan Information Technology (IT) dan Management Information System
(MIS) untuk menjamin pengukuran kinerja, mengembangkan Enterprise Risk
Management untuk memastikan bahwa risiko signifikan telah diidentifikasi, diukur dan
dikelola pada tingkat toleransi yang jelas.
3.
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas diartikan sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Prinsip ini
diwujudkan dengan menyiapkan laporan keuangan pada waktu dan cara yang tepat,
mendorong seluruh organ perusahaan untuk menyadari tanggung jawab, wewenang,
hak dan kewajiban mereka masing-masing, mengembangkan Komite Audit dan Risiko
untuk mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris.
4.
Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip tanggung jawab menekankan pada sistem yang jelas untuk mengatur
mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada shareholder dan stakeholder, yang
dimaksudkan agar tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance dapat
direalisasikan, yaitu mengakomodasikan kepentingan dari berbagai pihak yang
berkaitan dengan perusahaan. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa
tanggung jawab adalah wujud logis dari wewenang, menghindari penyalahgunaan
kekuasaan, memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
2.5
Universitas Sumatera Utara (2005), manfaat dari penerapan Good Corporate Governance
adalah:
1.
2.
3.
4.
Bagi para pemegang saham, dapat menaikkan nilai saham & meningkatkan perolehan
nilai deviden. Bagi negara, dapat menaikkan jumlah pajak yang dibayarkan oleh
perusahaan yang berarti terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak,
terkhusus bagi perusahaan berbentuk perusahaan BUMN, akan meningkatkan
penerimaan negara dari pembagian laba BUMN.
5.
6.
2.
Mempermudah
diperolehnya
dana
pembiayaan
yang
lebih
murah
sehingga
4.
Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena akan meningkatkan
shareholders value & deviden.
2.6
corporasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Disebutkan diatas bahwa setiap negara
berhak untuk menentukan sendiri implementasi dari prinsip-prinsip OECD yang disesuaikan
dengan kondisi ekonomi dan hukum di negara tersebut. Di Indonesia melalui KNKG telah
dibuat suatu pedoman yang dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam penerapan good
corporate governancebagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Berikut akan dikemukakan
secara ringkas pedoman struktur Good Corporate Governance (GCG) (KNKG, 2006):
1.
Pemegang Saham
Pemegang Saham sebagai pemilik modal, memiliki hak dan tanggung jawab atas
perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar
perusahaan. Dalam melaksanakan hak dan tanggung jawabnya, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Pemegang Saham harus menyadari bahwa dalam melaksanakan hak dan tanggung
jawabnya harus memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan.
b. Perusahaan harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab Pemegang
Saham atas dasar asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan.
2.
Organ Perusahaan
a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS merupakan wadah para Pemegang Saham untuk mengambil keputusan
penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan
memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha
perusahaan dalam jangka panjang. RUPS atau Pemegang Saham tidak dapat
melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris atau
Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya
Sekretaris Perusahaan
Sekretaris perusahaan (corporate secretary) memiliki peranan penting dalam
implementasi GCG. Hal tersebut disebabkan posisi dan tugas atau fungsi yang diemban
oleh sekretaris perusahaansangatlah strategis serta menentukan karena merupakan
ujung tombak perusahaan dalam berhadapan dengan pihak ketiga.
4.
mudah untuk dilaksanakan. Ada dua pola struktur Corporate Governance yang digunakan
dalam mengelola perusahaan, yaitu:
1.1
2.1
Akuntabilitas
Dewan Komisaris
Pengawasan
Dewan Direksi
2.7
Mekanisme Governance
Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu secara tersistem untuk memenuhi persyaratan
tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan
hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan baik yang melakukan
kontrol/ pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme corporate governance
diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah
organisasi (Walsd dan Seward, 1990 dalam Arifin, 2005). Untuk meminimalkan konflik
kepentingan antara principal dan agent akibat adanya pemisahan pengelolaan perusahaan,
diperlukan suatu cara efektif untuk mengatasi masalah ketidakselarasan kepentingan tersebut.
Menurut Boediono (2005), mekanisme corporate governance merupakan suatu sistem yang
mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta pihak-pihak
yang terlibat didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah
keagenan.
Dalam paper Bassel Committee on Banking Supervision-Federal Reserve, telah
menyoroti fakta bahwa strategi dan teknik yang didasarkan pada Prinsip-prinsip OECD
(Brigham dan Erhardt, 2005), yang merupakan dasar untuk melaksanakan tata kelola
perusahaan meliputi:
1.
Nilai-nilai perusahaan, kode etik dan perilaku lain yang sesuai standar dan sistem yang
digunakan untuk memastikan kepatuhan mereka
2.
3.
Sistem pengendalian internal yang kuat, termasuk fungsi-fungsi audit internal dan
eksternal, manajemen risiko fungsi independen dari lini bisnis, dan check and balance
lainnya.
Menurut Iskandar & Chamlao (2000) dalam Lastanti (2004), mekanisme dalam
pengawasan corporate governance dibagi dalam dua kelompok yaitu internal dan eksternal
mechanism. Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan
menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham, komposisi
dewan direksi, komposisi dewan komisaris dan pertemuan dengan board of director.
Sedangkan external mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan
menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian perusahaan dan mekanisme pasar.
Pelaksanaan Good Corporate Governance menghendaki adanya hubungan dan relasi
yang kontinyu sebagai suatu mekanisme untuk mengatur berfungsinya masing-masing pelaku
korporasi sesuai dengan kewenangan dan kewajiban masing-masing.
1.
Mekanisme RUPS
2.
3.
4.
2.8
diantaranya:
1.
Menjaga agar mekanisme (proses) GCG dapat dilaksanakan secara baik dan sehat,
dimana pandangan yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas juga harus dicatat
pendapatnya).
2.
Melakukan penilaian secara berkala atas pelaksanaan GCG dengan menyusun dan
melaksanakan program-program audit yang relevan, serta dituangkan dalam program
audit tahunan secara berkesinambungan.
3.
Standar kinerja 2130: harus menilai dan memberikan rekomendasi yang sesuai untuk
meningkatkan proses GCG.
BAB 3
PEMBAHASAN
dibagi menjadi: auditor eksternal, auditor internal dan audit sektor publik (Abdul Halim,
2003: 7). Auditor eksternal merupakan auditor pada suatu kantor akuntan publik yang
memberikan jasa kepada klien. Auditor internal merupakan auditor yang bekerja dalam suatu
perusahaan, dengan tugasnya adalah membantu manajemen dalam melaksanakan
pekerjaannya, sehingga tugas-tugas dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Auditor
sektor publik merupakan auditor yang berada dalam organisasi pemerintahan. Artikel ini
lebih fokus kepada tugas dan fungsi dari auditor internal dalam upayanya mewujudkan
corporate governance.
Ditinjau dari perkembangannya profesi auditor internal ini sebenarnya bukan profesi baru, hal
ini didasarkan kebutuhan perusahaan selain dari peran auditor eksternal, karena suatu
perusahaan yang semakin berkembang maka perlu pihak-pihak yang mampu mengendalikan
kegiatan operasional perusahaannya, sehingga pelaksanaan transaksi perusahaan dapat
terkontrol, hal ini merupakan tugas dari seorang internal auditor yang selain membantu
manajemen dalam memberikan solusi juga harus dapat mengontrol dan mengendalikan
kegiatan operasional agar tetap sesuai dengan tujuan semula.
Sejarah perkembangan internal auditor itu sendiri dimulai pada 3500 sebelum Masehi, pada
abad permulaan dengan cara memberikan tanda di samping angka transaksi keuangan yang
sudah diverifikasi (Sawyer, 2003: 4), sehingga secara tidak langsung pengendalian intern
yang merupakan tugas dari internal auditor telah dilaksanakan pada masa itu. Kemudian
auditor internal semakin mengalami perkembangan pada masa revolusi industri di Inggris,
yang pada saat itu semakin banyak orang berkeinginan untuk melakukan investasi pada
perusahaan lain, hingga profesi auditor internal ini semakin berkembang sampai sekarang.
Di Indonesia perkembangan peran internal auditor juga semakin dirasakan pentingnya oleh
pihak manajemen perusahaan di samping peran dari auditor eksternal, tetapi dalam hal ini
pandangan bahwa auditor internal ibarat orang yang mencari-cari kesalahan semakin berubah
karena pihak manajemen semakin membutuhkan pihak yang dapat mengontrol dan
mengendalikan tugas manajemen dalam menjalankan perusahaan, karena perusahaan dengan
sistem pengendalian intern yang kuat maka setidaknya perusahaan tersebut dalam
menjalankan kegiatannya sudah berjalan secara efisien dan efektif, dan penyimpangan juga
dapat di minimumkan. Hal ini selaras dengan upaya perusahaan dalam mewujudkan good
corporate governance. Internal auditor bertugas menjamin agar pengendalian intern dalam
perusahaan dapat diterapkan, kemudian internal auditor bertanggung jawab menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada pihak manajemen perusahaan. Dalam pelaksanaan
tugasnya apabila dalam perusahaan terdapat auditor eksternal maka auditor internal dan
auditor eksternal harus dapat bekerja sama sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masingmasing dengan tidak menyimpang dari kode etik profesi masing-masing. Dengan demikian
semakin jelas bahwa auditor internal sangat berperan bagi perusahaan dalam upaya
mewujudkan good corporate governance.
Masalah kemudian muncul pada saat perusahaan sudah berkembang pesat dengan
pertanggungjawaban tidak hanya kepada pihak manajemen perusahaan saja tetapi sudah
berkembang kepada dewan direksi, komisaris dan pemegang saham. Pihak-pihak tersebut
juga membutuhkan informasi mengenai perkembangan usaha suatu perusahaan, bahkan pihak
tersebut mempunyai fungsi sebagai pengawas dalam suatu perusahaan. Pihak yang berperan
dalam hal ini adalah Komite Audit. Perusahaan yang sudah terdaftar dalam bursa saham
sebaiknya membentuk komite audit aturan tersebut berlaku juga bagi BUMN, hal ini
didukung oleh UU tentang BUMN yang menyatakan bahwa Komisaris dan Dewan Pengawas
BUMN wajib membentuk Komite Audit yang bekerja secara kolektif atau berfungsi
membantu Komisaris atau Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya (UU Nomor 19,
2003). Didukung pula dengan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan bahwa Emiten atau
Perusahaan Publik wajib memiliki Komite Audit, selambat-lambatnya pada tanggal 31
Desember 2004 (Bapepam, SK:KEP-41/PM/2003).
Terdapat beberapa penelitian yang membahas peranan komite audit, Lawrence (2003)
menguji hubungan antara karakteristik komite audit dengan fee audit, dengan menggunakan
data-data perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham, hasil penelitian menyatakan bahwa
komite audit berhubungan positif dengan fee audit. Penelitian ini juga membahas tentang
peran komite audit, yaitu dapat membantu manajer dalam memilih auditor yang mempunyai
kompetensi dan reputasi yang tinggi.
Abott, Parker dan Peters (2004 dalam Akhmad Syahroza, 2009) yang juga membahas tentang
peran komite audit mengemukakan bahwa komite audit berfungsi melakukan penunjukkan
kantor akuntan publik dan melakukan evaluasi atas kinerja kantor akuntan publik, komite
audit tersebut harus melakukan kerjasama dengan internal auditor maupun eksternal auditor
dalam menghasilkan laporan keuangan yang dapat mencerminkan kondisi good governance.
Penelitian Sidharta dan Leonardo (2006) tentang komposisi komite audit dan keefektivannya
juga menghubungkannya dengan praktik good governance di Indonesia. Hasil penelitian
menyatakan bahwa mayoritas pemegang saham merasa bahwa komite audit sebagai ancaman
kontrol mereka dalam perusahaan, kekuasaan mereka seperti direktur untuk membatasi
otoritas dan usaha dari komite audit. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah karena
sebagian besar perusahaan di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan keluarga.
Penelitian lain dari I Putu Sugiarta (2008) yang menghubungkan antara eksternal auditor,
komite audit dan praktik manajemen laba. Dengan menggunakan data dari 127 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di JSX, tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang
menyatakan adanya komite audit dapat mengurangi praktik manajemen laba, padahal
beberapa hasil penelitian banyak yang menyatakan bahwa adanya komite audit dapat
mengurangi praktik manajemen laba. Terdapat beberapa faktor mengenai hal ini, pertama,
ada sebagian perusahaan yang memiliki komite audit yang kurang berkualitas akibatnya
kinerjanya kurang efektif. Kedua, sebaiknya perusahaan dalam memilih anggota komite audit
salah satu dari anggota tersebut harus memiliki pendidikan akuntansi dan memiliki jenjang
S2 di program studi akuntansi, sehingga anggota komite audit memiliki isu-isu terkini tentang
akuntansi. Ketiga, sebaiknya anggota tim audit diangkat dari mantan karyawan dari kantor
akuntan big four. Terakhir, pemilihan anggota komite audit sebaiknya transparan.
Meninjau beberapa hasil penelitian di atas mengenai komite audit, maka dapat dijelaskan
tentang komite audit bahwa sebenarnya komite audit dapat mengurangi praktik manajemen
laba dalam suatu perusahaan, dengan demikian secara tidak langsung dapat menciptkan
kondisi good governance di Indonesia, good corporate governance ini dapat dilihat dari
adanya transaparansi dan akuntabilitas dalam perusahaan, hal ini dapat dilihat dari
pengendalian internal dalam perusahaan tersebut, semakin pengendalian intern ditegakkan
dalam perusahaan tersebut, maka penyimpangan dalam perusahaan dapat diminimumkan.
Pengendalian intern merupakan tugas utama dari auditor internal, dengan demikian jelaslah
bahwa perlu adanya kerjasama antara auditor internal dan komite audit dalam menegakkan
kondisi good corporate governance. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi good
corporate governance di Indonesia masih pada tingkat terendah. Ada banyak faktor dalam hal
ini, diantaranya karena masih banyak perusahaan di Indonesia yang merupakan perusahaan
keluarga. Dan hasil penilaian good governance di Indonesia masih berkisar pada angka + 2,5
(Akhmad Syahroza, 2009) yang artinya masih rendahnya capaian penilaian good governance
di Indonesia. Pada tahapan tersebut pelaksanaan good corporate governance di Indonesia
masih mengejar formalitas daripada substansi.
BAB 4
KESIMPULAN
Upaya mewujudkan Good Corporate Governance merupakan hal yang tidak mudah
dilaksanakan, terdapat beberapa kendala dalam hal ini, terutama dalam hal transparansi dan
akuntanbilitas yang belum sepenuhnya dipenuhi oleh beberapa perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Untuk dapat mewujudkan hal ini maka perlu ada pembenahan dalam perusahaan
tersebut, yaitu dengan menguatkan kontrol dalam perusahaan tersebut dengan cara
menegakkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam perusahaan tersebut, sehingga
penyimpangan-penyimpangan dapat diminimumkan, hal ini merupakan tugas dari profesi
internal auditor.
Internal auditor mempertanggungjawabkan tugasnya kepada pihak manajemen
perusahaan, sedangkan struktur perusahaan di Indonesia dengan komposisi komisaris dan
pemegang saham, maka terdapat peran yang menghubungkan kepentingan para komisaris dan
pemegang saham dengan kondisi perusahaan, yaitu peran dari komite audit, karena komite
audit ini mempertanggungjawabkan tugas dan tanggung jawabnya kepada pemegang saham
dan komisaris. Komite audit perlu menelaah hasil pekerjaan dari internal auditor, komite
audit juga dapat mempengaruhi dan membantu pihak manejemen dalam penunjukkan auditor
dari kantor akuntan publik.
Komite audit haruslah orang yang kompeten dan memiliki kinerja yang berkualitas.
Untuk itu anggota dari komite audit sekurang-kurangnya haruslah ada yang memiliki latar
belakang akuntansi dan memiliki pengalaman di bidang audit, sehingga memiliki pemahaman
tentang isu-isu terkini tentang permasalahan akuntansi. Dengan demikian perlu adanya
kerjasama yang baik antara komite audit dengan internal auditor dalam mewujudkan kondisi
yang Good Corporate Governance tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2003. Auditing (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan). Yogyakarta: UPP
AMP YKPN.
Akhmad Syahroza. 2009. Tantangan Profesi Auditor Internal dalam Penerapan Good
Governance. Seminar Association Auditor Internal (AAI), 23 Agustus 2009.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2000. Akuntabilitas dan Good
Governance. Jakarta: Tim Studi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Dwi Novi Kusumawati. 2007. Profitability and Corporate Governance Disclosure: an
Indonesian Study. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 10. No.2, Mei, hal 131-146.
Effendi, M. Arief. 2005. Peranan Komite Audit dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan,
Jurnal Akuntansi Pemerintah, Volume 1, No. 1.
I Putu Sugiartha Sanjaya. 2008. Auditor Eksternal, Komite Audit dan Manajemen Laba.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 11, No. 1 Januari, hal 97-116.
Kaihatu, Thomas S. 2006. Good corporate governace dan penerapannya di Indonesia.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.8 No.1 Maret 2006.
Komite Cadbury. 1992. The Business Roundtable, Statement On Corporate Governance.
Washington DC., 1997.
Komite
Nasional
Kebijakan
Governance
(KNKG).
2006.Pedoman
Umum Good