Anda di halaman 1dari 25

Good Corporate Governance

Mata Kuliah: Pemeriksaan Internal

DISUSUN OLEH :
NOVI KARMILASARI

041414253012

REFIVIA AUDIE CALCARINA

041414253013

MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Krisis keuangan yang melanda kawasan Asia di sekitar tahun 1997-1998, dimana
Indonesia termasuk di dalamnya telah dirasakan amat memberatkan kehidupan bagi semua
kalangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Baird (2000) bahwa salah satu akar penyebab
timbulnya krisis ekonomi di Indonesia dan juga di berbagai negara Asia lainnya adalah
buruknya pelaksanaan corporate governance (tata kelola perusahaan) dihampir semua
perusahaan yang ada, baik perusahaan yang dimiliki pemerintah (BUMN) maupun yang
dimiliki pihak swasta.
Perhatian terhadap corporate governance terutama juga dipicu oleh skandal spektakuler
seperti, Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lainlain. Keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi
maupun praktek curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam
waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate
boards (Kaihatu, 2006).
Dalam kasus-kasus yang terjadi kinerja perusahaan yang buruk disebabkan oleh
beberapa faktor di antaranya adalah kegagalan perusahaan dalam melakukan pemantauan dan
menentukan perencanaan strategis. Faktor lain yang menyebabkan buruknya kinerja
perusahaan adalah pelanggaran terhadap etika bisnis. Seperti diketahui, budaya sogokmenyogok, suap-menyuap, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang marak mewarnai
praktik bisnis di Indonesia maupun di negara lainnya.
Namun demikian, akibat dari krisis ekonomi yang melanda, membawa efek
meningkatnya perhatian dari pemerintah, kalangan pebisnis, serta masyarakat luas pada
umumnya terhadap pentingnya penerapan GCG. Penerapan GCG juga telah menjadi sebuah
isu sentral dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan perekonomian
yang stabil serta sustainable dimasa yang akan datang. Di era globalisasi ini, perusahaan
dituntut untuk memahami prinsip-prinsip GCG dan menerapkan good corporate governance
tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Menurut Syakhroza (2000) dalam
Indrayani & Nurkholis (2001), terdapat dua penyebab munculnya isu good corporate
governance yaitu pertama, perubahan lingkungan yang sangat cepat dan pada akhirnya
berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Yang kedua, semakin banyak dan

kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, seperti pemasok,


kreditur, investor dan pemerintah.
Perkembangan kondisi ekonomi yang pesat seiring dengan era globalisasi mendorong
setiap perusahaan untuk mengimbanginya. Untuk itu diperlukan adanya sistem pengolahan
dan pengendalian manajerial yang tepat dari masing-masing perusahaan. Dengan adanya
GCG diharapkan dapat memberikan kontribusi positif baik bagi pihak internal maupun
eksternal perusahaan.
Para pelaku usaha di Indonesia juga turut menyepakati bahwa penerapan good
corporate governance sebagai suatu sistem tata kelola perusahaan yang baik merupakan suatu
hal yang penting, hal ini dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian Letter of Intent
(LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan
tata kelola perusahaan di Indonesia (Sulistyanto, 2003). Hal ini kemudian melatarbelakangi
lahirnya Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) tahun 1999.
Pembentukan

komite

ini

berdasarkan

Keputusan

Menko

Ekuin

Nomor:

KEP/31/M.EKUIN/08/1999. Pedoman umum GCG telah beberapa kali disempurnakan,


terakhir pada tahun 2001. Pedoman tersebut dipublikasikan sebagai panduan bagi perusahaan
di Indonesia dalam mengimplementasikan prinsip GCG, termasuk rekomendasi mengenai
keharusan membuat pengungkapan praktek GCG.
Pada tahun 2004, berdasarkan Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor:
KEP/49/M.EKON/11/2004,

KNKCG

diubah

menjadi

Komite

Nasional

Kebijakan

Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dalam
pembentukan komite ini menghasilkan pedoman umum good corporate governance tahun
2006. Pedoman ini bukan merupakan peraturan perundangan sehingga tidak memiliki
ketentuan hukum yang mengikat.
BAPEPAM melalui keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi
emiten atau perusahaan publik menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat uraian
singkat mengenai penerapan corporat governance perusahaan yang telah dan akan
dilaksanakan oleh perusahaan dalam periode laporan keuangan tahunan terakhir. Peraturan
ini berlaku untuk penyusunan laporan tahunan untuk tahun buku yang berakhir pada atau
setelah tanggal 31 Desember 2006.
GCG merupakan serangkaian mekanisme yang merefleksikan suatu struktur
pengelolaan perusahaan yang menetapkan distribusi hak dan tanggung jawab diantara
berbagai partisipan di dalam perusahaan, termasuk para Pemegang Saham, Dewan Komisaris,

Dewan Direksi, Manajer, Karyawan dan pihak-pihak berkepentingan (stakeholders) lainnya.


GCG juga menegaskan filosofi bahwa pengelolaan perusahaan merupakan amanah dari
berdirinya perusahaan dan oleh karenanya semua pihak yang terlibat harus berpikir dan
bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan.
Menurut Zaki Baridwan, salah satu elemen penting dalam Corporate Governance
adalah tersedianya fungsi SPI (Satuan Pengawann Intern) yang dapat melaksanakan
fungsinya secara Independent dan mempunyai kemampuan cukup. Ratna Januarti dalam
seminar sehari Dinamika Komite Audit dan Audit Internal dalam Implementasi Good
Corporate

Governance

menyatakan

implementasi

Good

Corporate

Governance

membutuhkan Auditor Internal yang mampu berkolaborasi positif dan efesien, baik dengan
pihak-pihak yang mensuplai informasi maupun dengan pihak yang membutuhkan informasi.
Kerja sama ini hanya dapat dibangun apabila masing-masing pihak memahami tugasnya
maupun tugas rekan kerjanya. Internal auditor merupakan dukungan penting bagi komisaris,
Komite Audit, Direksi, dan Manajemen Senior dalam membentuk pondasi bagi
pengembangan Corporate Governance. (Zarkasyi (2008;14), Trimanto S. Wardoyo (2010)).

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan perumusan masalah sebagai
berikut:
1.

Bagaimana peran internal auditor dalam upaya mewujudkan Good Corporate


Governance (GCG)?

BAB 2
DASAR TEORI

2.1

Definisi Good Corporate Governance (GCG)


FCGI mendefinisikan corporate governanceyang disadur dari Cadbury Committee of

United Kingdom sebagai:


..Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara Pemegang Saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur
dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governanceialah untuk
menciptakan

nilai

tambah

bagi

semua

pihak

yang

berkepentingan

(stakeholders). (FCGI, 2006)


Sedangkan OECD mendefinisikan corporate governance sebagai:
..One key element in improving economic efficiency and growth as well as
enhancing investor confidence that involves a set of relationships between a
companys management, its board, its shareholders and other stakeholders and
also provides the structure through which the objectives of the company, the
means of attaining those objectives and monitoring performance. (OECD, 2004).
Definisi lain dari Cadbury Committee (2003) memandang corporate governance
sebagai: A set of rules that define the relationship between shareholders, managers,
creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders inrespect
to their rights and responsibilities. (Tjager, 2003).
Bank Dunia memberikan definisi GCG sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan
kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber
perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang
yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara
keseluruhan. (Effendi, 2008).
Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No.117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002
tentang Penerapan GCG pada BUMN menyatakan bahwa corporate governanceadalah suatu
proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya,
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.

Sesuai surat Nomor: S-359/MK.05/2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang Pengkajian


Sistem Manajemen BUMN dengan prinsip-prinsip good corporate governance, Menteri
Keuangan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk
melakukan kajian dan pengembangan sistem manajemen Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang mengacu pada prinsip good corporate governance(GCG), dimana GCG
memiliki definisi sebagai berikut: secara umum istilah good corporate governancemerupakan
sistem pengendalian dan pengaturan perusahaanyang dapat dilihat dari mekanisme hubungan
antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari
nilai-nilai yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition). Tim
GCG BPKP mendefinisikan GCG dari segi soft definition yang mudah dicerna, sekalipun
oleh orang awam, yaitu komitmen, aturan main, serta praktik penyelenggaraan bisnis secara
sehat dan beretika.
Sementara Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola
organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien,
efektif,

ekonomis ataupun produktif dengan prinsipprinsip terbuka, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi.


Selain itu Tricker (2003) memberikan definisi tersendiri tentang GCG yang merupakan
istilah yang muncul dari interaksi diantara manajemen, pemegang saham, dan dewan direksi
serta pihak terkait lainnya, akibat adanya ketidakkonsistenan antara apa dan apa yang
seharusnya. (Zarkasyi, 2008).

2.2

Tujuan Penerapan Good Corporate Governance (GCG)


Menurut Sutojo dan E. John Aldridge (2005), Good Corporate Governance mempunyai

5 (lima) macam tujuan utama. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,

2.

Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham,

3.

Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham,

4.

Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Director
dan manajemen perusahaan,

5.

Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior


perusahaan
Sedangkan dalam Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No.

117/M-MBU/2002 diutarakan bahwa penerapan Good Corporate Governance pada BUMN,


bertujuan untuk:

1.

Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,


akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki
daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional,

2.

Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan, dan efisien, serta


memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ,

3.

Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap
stakeholders maupun kelestarian lingkungan disekitar BUMN,

4.

Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional,

5.

Meningkatkan investasi nasional,

6.

Mensukseskan program privatisasi.

2.3

Bidang Utama Good Corporate Governance (GCG)


Sejak diperkenalkan pedoman oleh OECD (The Organization for Economic and

Development), mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan agar tercipta corporate governance,
pedoman tersebut dijadikan acuan oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Pedoman tersebut disusun seuniversal mungkin, sehingga dapat dijadikan acuan bagi semua
negara atau perusahaan dan dapat diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang
berlaku di negara masing-masing. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal prinsip-prinsip ini
dapat menjadi guidance atau pedoman dalam mengelaborasi best practicesbagi peningkatan
nilai (valuation) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan. Bidang-bidang Utama agar
tercipta corporate governance menurut OECD mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.

Perlindungan terhadap hak-hak Pemegang Saham (The rights of shareholders and key
ownership functions)
Adapun hak-hak Pemegang Saham yang dimaksudkan disini adalah hak untuk (1)
menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau
memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang
perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam
rapat umum pemegang saham, dan (5) memilih anggota Dewan Komisaris dan
Direksi,serta (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. Kerangka yang
dibangun dalam suatu negara mengenai corporate governanceharus mampu melindungi
hak-hak tersebut.

2.

Perlakuan yang setara terhadap seluruh Pemegang Saham (Equitable treatment of


shareholders)
Seluruh Pemegang Saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan penggantian
atau perbaikan (redress) atas pelanggaran dari hak-hak Pemegang Saham. Prinsip ini
juga mensyaratkanadanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam
satukelas, melarang praktek-praktek perdagangan orang dalam (insider trading) dan
mengharuskan anggota Direksi untuk melakukan keterbukaan apabila menemukan
transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).
Kerangka yang dibangun oleh suatu negara mengenai corporate governanceharus
mampu menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh Pemegang Saham,
termasuk Pemegang Saham minoritas dan asing.

3.

Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan (The role of stakeholders)


Kerangka yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholdersseperti yang ditentukan dalam
undang-undang, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan para
stakeholderstersebut dalam rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja, dan
kesinambungan usaha. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk mekanisme yang
mengakomodasi peran stakeholders dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Perusahaan juga diharuskan membuka akses informasi yang relevan bagi kalangan
stakeholders yang ikut berperan dalam proses corporate governance.

4.

Keterbukaan dan transparansi (Disclosure & transparency)


Kerangka yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
menjamin adanya pengungkapan informasi yang tepat waktu dan akurat untuk setiap
permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Dalam pengungkapan informasi ini
termasuk adalah informasi mengenai keadaan keuangan, kinerja perusahaan,
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Di samping itu informasi yang diungkapkan
harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitastinggi.
Manajemen perusahaan juga diharuskan meminta auditor eksternal melakukan audit
yang bersifat independen atas laporan keuangan perusahaan untuk memberikan jaminan
atas penyusunan dan penyajian informasi.

5.

Akuntabilitas Dewan Komisaris (The responsibility of the board)


Kerangka yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap
manajemen yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dan Direksi, serta akuntabilitas

Dewan Komisaris dan Direksi terhadap perusahaan dan Pemegang Saham. Prinsip ini
juga memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan
Direksi beserta kewajibankewajiban profesionalnya kepada Pemegang Saham dan
stakeholderslainnya.

2.4

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG)


Sedangkan menurut SK Menteri BUMN Nomor: Kep. 117/M-MBU/2002 tentang

penerapan praktek Good Corporate Governance diutarakan bahwa prinsip Good Corporate
Governance meliputi:
1.

Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan


dan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

2.

Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.

3.

Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ


sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

4.

Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan terhadap


peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5.

Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak


stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Prinsip-prinsip GCG merupakan titik rujukan bagi para regulator (pemerintah) dalam

mengembangkan framework bagi penerapan GCG. Menurut FCGI (Forum for Corporate
Governance in Indonesia), prinsip-prinsip dasar GCG terdiri dari:
1.

Kewajaran (Fairness)
Prinsip kewajaran diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para pemegang
saham, terutama kepada pemegang saham minoritas & pemegang saham asing, dengan
keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan
perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan dengan
membuat peraturan korporasi. Dengan konsep korporasi, maka terdapat pemisahan
antarapemegang saham atau pemilik & manajemen yang bertindak sebagai pengelola
perusahaan (dalam Agency Theory, pihak pertama disebut Principal, sedangkan pihak

kedua disebut Agent).Untuk dapat terlaksananya prinsip ini diperlukan ketersediaan


peraturan yang melindungi kepentingan para pemegang saham minoritas dan asing,
membuat pedoman perilaku perusahaan (corporate conduct) atau kebijakan yang
melindungi korporasi dari perlakuan buruk pihak dalam, menetapkan peran dan
tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan Komite, termasuk sistem remunerasi,
menyajikan informasi secara wajar.
2.

Transparansi (Transparency)
Keputusan Menteri Negara BUMN tahun 2002 mengartikan transparansi sebagai
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materil dan relevan tentang perusahaan. Dalam prinsip
ini, stakeholder harus diberi kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan
atas perubahan dalam perusahaan & memperoleh informasi yang benar, dan tepat
waktu, sehingga tidak ada pihak berkepentingan yang membuat keputusan yang salah.
Prinsip ini diwujudkan dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis
standard akuntansi dan best practices yang menjamin pengungkapan yang berkualitas,
mengembangkan Information Technology (IT) dan Management Information System
(MIS) untuk menjamin pengukuran kinerja, mengembangkan Enterprise Risk
Management untuk memastikan bahwa risiko signifikan telah diidentifikasi, diukur dan
dikelola pada tingkat toleransi yang jelas.

3.

Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas diartikan sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Prinsip ini
diwujudkan dengan menyiapkan laporan keuangan pada waktu dan cara yang tepat,
mendorong seluruh organ perusahaan untuk menyadari tanggung jawab, wewenang,
hak dan kewajiban mereka masing-masing, mengembangkan Komite Audit dan Risiko
untuk mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris.

4.

Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip tanggung jawab menekankan pada sistem yang jelas untuk mengatur
mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada shareholder dan stakeholder, yang
dimaksudkan agar tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance dapat
direalisasikan, yaitu mengakomodasikan kepentingan dari berbagai pihak yang
berkaitan dengan perusahaan. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa
tanggung jawab adalah wujud logis dari wewenang, menghindari penyalahgunaan
kekuasaan, memelihara lingkungan bisnis yang sehat.

2.5

Manfaat Good Corporate Governance (GCG)


Menurut Azhar Maksum, Guru Besar Ilmu Akuntansi Manajemen Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara (2005), manfaat dari penerapan Good Corporate Governance
adalah:
1.

Mempermudah proses pengambilan keputusan, sehingga berpengaruh positif terhadap


kinerja perusahaan. Penelitian membuktikan bahwa penerapan GCG mempengaruhi
kinerja secara positif (Sakai & Asaoka 2003; Jang Black & Kim 2003).

2.

Menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan


perusahaan. Chtourou, et al (2001) menyatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG
yang konsisten akan menghalangi kemungkinan dilakukannya rekayasa kinerja yang
mengakibatkan nilai fundamental perusahaan tidak tergambar dalam laporan
keuangannya.

3.

Meningkatkan nilai perusahaan di mata investor. Peningkatan kepercayaan investor


pada perusahaan akan dapat mengakses taambahan dana yang diperlukan untuk
berbagai keperluan perusahaan, terutama untukekspansi.

4.

Bagi para pemegang saham, dapat menaikkan nilai saham & meningkatkan perolehan
nilai deviden. Bagi negara, dapat menaikkan jumlah pajak yang dibayarkan oleh
perusahaan yang berarti terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak,
terkhusus bagi perusahaan berbentuk perusahaan BUMN, akan meningkatkan
penerimaan negara dari pembagian laba BUMN.

5.

Meningkatkan kepercayaan para stakeholders kepada perusahaan, sehingga citra positif


perusahaan akan naik. Hal ini dapat menekan biaya (cost) yang timbul sebagai akibat
tuntutan para stakeholderskepda perusahaan.

6.

Meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan. Penelitian Beasley, et al (1996)


& Abbott, et al (2000) menunjukkan bahwa penerapan Good Corporate Governance
(GCG) dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan.
Manfaat penerapan dari corporate governance juga dirumuskan oleh FGCI (Forum for

Corporate Governance in Indonesia). Menurut FGCI (Forum for Corporate Governance in


Indonesia), dengan keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan good corporate governance
akan memberikan manfaat antara lain:
1.

Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan


yang lebih baik sehingga pencapaian efisiensi operasional perusahaan tercapai dan
meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

2.

Mempermudah

diperolehnya

dana

pembiayaan

yang

lebih

murah

sehingga

meningkatkan corporate value


3.

Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia


sehingga membantu perusahaan untuk mengembangkan dan memperluas usahanya, dan

4.

Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena akan meningkatkan
shareholders value & deviden.

2.6

Struktur Good Corporate Governance (GCG)


Secara design, struktur governance harus mewujudkan dukungan berjalannya aktivitas

corporasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Disebutkan diatas bahwa setiap negara
berhak untuk menentukan sendiri implementasi dari prinsip-prinsip OECD yang disesuaikan
dengan kondisi ekonomi dan hukum di negara tersebut. Di Indonesia melalui KNKG telah
dibuat suatu pedoman yang dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam penerapan good
corporate governancebagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Berikut akan dikemukakan
secara ringkas pedoman struktur Good Corporate Governance (GCG) (KNKG, 2006):
1.

Pemegang Saham
Pemegang Saham sebagai pemilik modal, memiliki hak dan tanggung jawab atas
perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar
perusahaan. Dalam melaksanakan hak dan tanggung jawabnya, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Pemegang Saham harus menyadari bahwa dalam melaksanakan hak dan tanggung
jawabnya harus memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan.
b. Perusahaan harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab Pemegang
Saham atas dasar asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan.

2.

Organ Perusahaan
a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS merupakan wadah para Pemegang Saham untuk mengambil keputusan
penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan
memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha
perusahaan dalam jangka panjang. RUPS atau Pemegang Saham tidak dapat
melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris atau
Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya

sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk


melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau
Direksi.
b. Dewan Komisaris
Komisaris Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan pedoman
tentang Komisaris Independen yang ada di perusahaan publik. Bagian IV.C dari
pedoman tersebutmenyebutkan bahwa pada prinsipnya Komisaris bertanggung
jawab dan memiliki wewenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan Direksi,
serta memberikan nasihat kepada Direksi, jika diperlukan. Untuk membantu
Komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan prosedur yang telah
ditetapkan, maka seorang Komisaris dapat meminta nasihat daripihak ketiga
dan/atau membentuk komite khusus. Setiap anggota Komisaris harus berwatak
amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk
menjalankan tugasnya.
Komisaris dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:
Ketentuan mengenai Komisaris diatur melalui Undang-Undang No.40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Beberapa pasal yang mengatur mengenai Komisaris
adalah sebagai berikut:
1) Pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian
Komisaris dilakukan oleh RUPS. Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS,
pengangkatan dan pemberhentian Komisaris ditetapkan oleh Menteri.
2) Pasal 111 ayat (4) menyatakan bahwa dalam anggaran dasar dapat ditetapkan
pemberian wewenang kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan
kepada direksi dalam melaksanakan pembuatan hukum tertentu. Berdasarkan
anggaran dasar atau keputusan RUPS, Komisaris dapat melakukan tindakan
pengurusan persero dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
3) Pasal 120 ayat (1) menyebutkan bahwa anggaran dasar dapat mengatur adanya
1 (satu) orang atau lebih Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris
Utusan.
4) Pasal 121 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Komisaris dapat membentuk
komite yang anggotanya adalah anggota Dewan Komisaris.
Komite yang dibentuk Dewan Komisaris

Pada prinsipnya Dewan Komisaris wajib mempertimbangkan untuk membentuk


komite yang anggotanya berasal dari anggota Dewan Komisaris, guna
mendukung pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Komite yang dibentuk tersebut
harus melaporkan pelaksanaan tugasnya termasuk rekomendasi yang berkaitan
apabila ada, kepada Dewan Komisaris. Pembentukan komite tersebut, serta hasil
pelaksanaan tugasnya termasuk dalam laporan tahunan. Beberapa komite yang
dapat dibentuk oleh Dewan Komisaris sebagai penunjang Dewan Komisaris
adalah:
1) Komite Audit
Komite Audit memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan
GCG karena merupakan mata dan telinga Dewan Komisaris dalam rangka
mengawasi jalannya perusahaan. Keberadaan Komite Audit yang efektif
merupakan salah satu aspek penilaian dalam implementasi GCG. Untuk
mewujudkan prinsip GCG, maka prinsip-prinsip GCG harus menjadi landasan
utama bagi aktivitas Komite Audit.
2) Komite Nominasi dan Remunerasi
Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris
dalam menetapkan kriteria dan mempersiapkan calon anggota Dewan
Komisaris, Direksi, dan para eksekutiflainnya, membuat sistem penilaian dan
memberikan rekomendasi serta mengusulkan besaran remunerasi anggota
Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan.
3) Komite Kebijakan Risiko
Bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen
risiko yang disusun olehDireksi serta menilai toleransi risiko yang dapat
diambil oleh perusahaan.
4) Komite Kebijakan Corporate Governance
Bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara
menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya,
termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggungjawab sosial
perusahaan.
c. Direksi
Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial
dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan
tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya.

Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota Direksi tetap merupakan


tanggung jawab bersama. Tugas Direktur Utama adalah sebagai primus inter
paresadalah mengkoordinasikan kegiatan Direksi. Agar pelaksanaan tugas Direksi
dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:
Komposisi Direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan
keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta
kecakapan yang diperlukan dalam menjalankan tugasnya.
Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat
menghasilkan keuntungan dan memastikan kesinambungan usaha perusahaan.
Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.

Sekretaris Perusahaan
Sekretaris perusahaan (corporate secretary) memiliki peranan penting dalam
implementasi GCG. Hal tersebut disebabkan posisi dan tugas atau fungsi yang diemban
oleh sekretaris perusahaansangatlah strategis serta menentukan karena merupakan
ujung tombak perusahaan dalam berhadapan dengan pihak ketiga.

4.

Pihak yang Berkepentingan (Stakeholders)


Stakeholder adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan
mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan strategis dan operasional
perusahaan, yang antara lain terdiri dari karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat.
Struktur Corporate Governance diperlukan agar pelaksanaan Corporate Governance

mudah untuk dilaksanakan. Ada dua pola struktur Corporate Governance yang digunakan
dalam mengelola perusahaan, yaitu:
1.1

One Tier System.


One Tier System juga disebut sebagai sistem satu tingkat (Single Board System).
Sistem ini digunakan oleh negara Anglo-Saxon seperi Amerika dan Inggris. Dalam
sistem satu tingkat, peran dewan komisaris dan dewan direksi dijadikan dalam satu
wadah, yang disebut dengan Board of Director. Dewan direksi terdiri dari direktur
eksekutif dan direktur non-eksekutif.

2.1

Two Tiers System


Two Tiers System disebut juga Sistem Dua Tingkat yang berasal dari Sistem Hukum
Kontinental Eropa. Dalam sistem ini peran dewan komisaris dan dewan direksi dipisah
secara jelas. Dewan Direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di bawah

pengarahan dan pengawasan Dewan Komisaris. Sedangkan dewan komisaris bertugas


mengawasi tugas-tugas dewan direksi. Negara-negara yang menggunakan Two Tiers
System adalah Belanda, Jerman, dan Indonesia.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Akuntabilitas

Akuntabilitas
Dewan Komisaris
Pengawasan
Dewan Direksi

Gambar Struktur Perusahaan Perseroan Terbatas Indonesia (Two Tier System)


Sumber: Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI), 2009
Sesuai dengan gambar diatas, Rapat Umum Pemegang Saham merupakan pemilik dan
memiliki kewenangan tertinggi dalam sebuah perusahaan. Peranan Dewan Komisaris adalah
untuk mengawasi dan untuk memberikan saran mengenai aktivitas manajemen yang
dilakukan oleh Dewan Direksi. Dewan Direksi bertanggung jawab untuk mengelola
perusahaan sesuai dengan kepentingan terbaik RUPS. (Forum for Corporate Governance in
Indonesia, 2009)

2.7

Mekanisme Governance
Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu secara tersistem untuk memenuhi persyaratan

tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan
hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan baik yang melakukan
kontrol/ pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme corporate governance
diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah
organisasi (Walsd dan Seward, 1990 dalam Arifin, 2005). Untuk meminimalkan konflik
kepentingan antara principal dan agent akibat adanya pemisahan pengelolaan perusahaan,
diperlukan suatu cara efektif untuk mengatasi masalah ketidakselarasan kepentingan tersebut.
Menurut Boediono (2005), mekanisme corporate governance merupakan suatu sistem yang
mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta pihak-pihak

yang terlibat didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah
keagenan.
Dalam paper Bassel Committee on Banking Supervision-Federal Reserve, telah
menyoroti fakta bahwa strategi dan teknik yang didasarkan pada Prinsip-prinsip OECD
(Brigham dan Erhardt, 2005), yang merupakan dasar untuk melaksanakan tata kelola
perusahaan meliputi:
1.

Nilai-nilai perusahaan, kode etik dan perilaku lain yang sesuai standar dan sistem yang
digunakan untuk memastikan kepatuhan mereka

2.

Pembentukan mekanisme untuk interaksi dan kerjasama di antara dewan direksi,


manajemen senior, dan para auditor

3.

Sistem pengendalian internal yang kuat, termasuk fungsi-fungsi audit internal dan
eksternal, manajemen risiko fungsi independen dari lini bisnis, dan check and balance
lainnya.
Menurut Iskandar & Chamlao (2000) dalam Lastanti (2004), mekanisme dalam

pengawasan corporate governance dibagi dalam dua kelompok yaitu internal dan eksternal
mechanism. Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan
menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham, komposisi
dewan direksi, komposisi dewan komisaris dan pertemuan dengan board of director.
Sedangkan external mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan
menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian perusahaan dan mekanisme pasar.
Pelaksanaan Good Corporate Governance menghendaki adanya hubungan dan relasi
yang kontinyu sebagai suatu mekanisme untuk mengatur berfungsinya masing-masing pelaku
korporasi sesuai dengan kewenangan dan kewajiban masing-masing.
1.

Mekanisme RUPS

2.

Mekanisme Rapat Dewan Komisaris

3.

Mekanisme Rapat Dewan Komisaris dengan Dewan Direksi

4.

Mekanisme Pembahasan Hasil Audit Eksternal dan Internal

2.8

Peranan Audit Internal dalam Good Corporate Governance (GCG)


Peran Audit Internal dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance

diantaranya:
1.

Menjaga agar mekanisme (proses) GCG dapat dilaksanakan secara baik dan sehat,
dimana pandangan yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas juga harus dicatat
pendapatnya).

2.

Melakukan penilaian secara berkala atas pelaksanaan GCG dengan menyusun dan
melaksanakan program-program audit yang relevan, serta dituangkan dalam program
audit tahunan secara berkesinambungan.

3.

Standar kinerja 2130: harus menilai dan memberikan rekomendasi yang sesuai untuk
meningkatkan proses GCG.

BAB 3
PEMBAHASAN

Good Corporate Governance dapat terlaksana apabila terdapat beberapa karakteristik


yang sudah disebutkan di atas, dari beberapa karakteristik tersebut maka syarat yang utama
dalam upaya mewujudkan GCG adalah adanya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.
Dalam artian sederhana akuntabilitas merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan, sedang secara luas akuntabilitas berarti
perwujudan pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi dalam
mencapai tujuan. Transparansi diartikan sebagai keterbukaan, dengan demikian akuntabilitas
dan transparansi merupakan syarat utama dan saling berkaitan dalam upaya mewujudkan
GCG. Sedangkan partisipasi adalah dilibatkannya karyawan dalam perusahaan untuk ikut
dalam pengambilan keputusan.
Terdapat beberapa manfaat apabila perusahaan menerapkan GCG tersebut, yang jelas
karena perusahaan semakin tertata rapi maka kinerja perusahaan akan semakin meningkat,
akibatnya kemungkinan paling besar adalah perusahaan akan dapat memaksimumkan laba,
dan dengan menerapkan GCG maka diharapkan dapat dikurangi adanya penyalahgunaan
wewenang.
Masalahnya adalah adanya suatu perusahaan yang telah menerapkan GCG secara baik,
tetapi perusahaan tersebut masih mengalami pembobolan yang dilakukan oleh pihak luar
bekerjasama dengan pihak dalam perusahaan, hal inilah yang menjadi permasalahan dalam
artkel yang ditulis oleh Akhmad Syahroza (2009). Masalah tersebut menyangkut dua hal
yaitu masalah corporate governance dan pengendalian intern, hal ini dikarenakan masalah
GCG menekankan hubungan pada berbagai pihak terutama pada tingkatan strategik,
sedangkan kasus terjadinya pembobolan merupakan indikasi adanya pengendalian intern
yang lemah, pengendalian intern tersebut terjadi pada tingkatan operasional.
Dengan demikian corporate governance dan pengendalian internal adalah dua hal yang
berbeda tetapi keduanya mempunyai hubungan yang berkaitan dalam upaya mewujudkan
GCG. Selain itu pihak yang terlibat pun berbeda apabila pengendalian intern lebih berfokus
pada tugas dari auditor intern, sedangkan penerapan GCG lebih ke strategic yaitu tugas
komite audit, tetapi kedua pihak tersebut harus saling bekerjasama.
Audit merupakan suatu kegiatan pemeriksaan untuk mengumpulkan bahan bukti, tujuan
akhirnya adalah untuk menghasilkan laporan audit yang dapat digunakan untuk para pemakai
yang berkepentingan dengan hasil audit tersebut. Berdasar klasifikasi pelaksananya dapat

dibagi menjadi: auditor eksternal, auditor internal dan audit sektor publik (Abdul Halim,
2003: 7). Auditor eksternal merupakan auditor pada suatu kantor akuntan publik yang
memberikan jasa kepada klien. Auditor internal merupakan auditor yang bekerja dalam suatu
perusahaan, dengan tugasnya adalah membantu manajemen dalam melaksanakan
pekerjaannya, sehingga tugas-tugas dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Auditor
sektor publik merupakan auditor yang berada dalam organisasi pemerintahan. Artikel ini
lebih fokus kepada tugas dan fungsi dari auditor internal dalam upayanya mewujudkan
corporate governance.
Ditinjau dari perkembangannya profesi auditor internal ini sebenarnya bukan profesi baru, hal
ini didasarkan kebutuhan perusahaan selain dari peran auditor eksternal, karena suatu
perusahaan yang semakin berkembang maka perlu pihak-pihak yang mampu mengendalikan
kegiatan operasional perusahaannya, sehingga pelaksanaan transaksi perusahaan dapat
terkontrol, hal ini merupakan tugas dari seorang internal auditor yang selain membantu
manajemen dalam memberikan solusi juga harus dapat mengontrol dan mengendalikan
kegiatan operasional agar tetap sesuai dengan tujuan semula.
Sejarah perkembangan internal auditor itu sendiri dimulai pada 3500 sebelum Masehi, pada
abad permulaan dengan cara memberikan tanda di samping angka transaksi keuangan yang
sudah diverifikasi (Sawyer, 2003: 4), sehingga secara tidak langsung pengendalian intern
yang merupakan tugas dari internal auditor telah dilaksanakan pada masa itu. Kemudian
auditor internal semakin mengalami perkembangan pada masa revolusi industri di Inggris,
yang pada saat itu semakin banyak orang berkeinginan untuk melakukan investasi pada
perusahaan lain, hingga profesi auditor internal ini semakin berkembang sampai sekarang.
Di Indonesia perkembangan peran internal auditor juga semakin dirasakan pentingnya oleh
pihak manajemen perusahaan di samping peran dari auditor eksternal, tetapi dalam hal ini
pandangan bahwa auditor internal ibarat orang yang mencari-cari kesalahan semakin berubah
karena pihak manajemen semakin membutuhkan pihak yang dapat mengontrol dan
mengendalikan tugas manajemen dalam menjalankan perusahaan, karena perusahaan dengan
sistem pengendalian intern yang kuat maka setidaknya perusahaan tersebut dalam
menjalankan kegiatannya sudah berjalan secara efisien dan efektif, dan penyimpangan juga
dapat di minimumkan. Hal ini selaras dengan upaya perusahaan dalam mewujudkan good
corporate governance. Internal auditor bertugas menjamin agar pengendalian intern dalam
perusahaan dapat diterapkan, kemudian internal auditor bertanggung jawab menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada pihak manajemen perusahaan. Dalam pelaksanaan
tugasnya apabila dalam perusahaan terdapat auditor eksternal maka auditor internal dan

auditor eksternal harus dapat bekerja sama sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masingmasing dengan tidak menyimpang dari kode etik profesi masing-masing. Dengan demikian
semakin jelas bahwa auditor internal sangat berperan bagi perusahaan dalam upaya
mewujudkan good corporate governance.
Masalah kemudian muncul pada saat perusahaan sudah berkembang pesat dengan
pertanggungjawaban tidak hanya kepada pihak manajemen perusahaan saja tetapi sudah
berkembang kepada dewan direksi, komisaris dan pemegang saham. Pihak-pihak tersebut
juga membutuhkan informasi mengenai perkembangan usaha suatu perusahaan, bahkan pihak
tersebut mempunyai fungsi sebagai pengawas dalam suatu perusahaan. Pihak yang berperan
dalam hal ini adalah Komite Audit. Perusahaan yang sudah terdaftar dalam bursa saham
sebaiknya membentuk komite audit aturan tersebut berlaku juga bagi BUMN, hal ini
didukung oleh UU tentang BUMN yang menyatakan bahwa Komisaris dan Dewan Pengawas
BUMN wajib membentuk Komite Audit yang bekerja secara kolektif atau berfungsi
membantu Komisaris atau Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya (UU Nomor 19,
2003). Didukung pula dengan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan bahwa Emiten atau
Perusahaan Publik wajib memiliki Komite Audit, selambat-lambatnya pada tanggal 31
Desember 2004 (Bapepam, SK:KEP-41/PM/2003).
Terdapat beberapa penelitian yang membahas peranan komite audit, Lawrence (2003)
menguji hubungan antara karakteristik komite audit dengan fee audit, dengan menggunakan
data-data perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham, hasil penelitian menyatakan bahwa
komite audit berhubungan positif dengan fee audit. Penelitian ini juga membahas tentang
peran komite audit, yaitu dapat membantu manajer dalam memilih auditor yang mempunyai
kompetensi dan reputasi yang tinggi.
Abott, Parker dan Peters (2004 dalam Akhmad Syahroza, 2009) yang juga membahas tentang
peran komite audit mengemukakan bahwa komite audit berfungsi melakukan penunjukkan
kantor akuntan publik dan melakukan evaluasi atas kinerja kantor akuntan publik, komite
audit tersebut harus melakukan kerjasama dengan internal auditor maupun eksternal auditor
dalam menghasilkan laporan keuangan yang dapat mencerminkan kondisi good governance.
Penelitian Sidharta dan Leonardo (2006) tentang komposisi komite audit dan keefektivannya
juga menghubungkannya dengan praktik good governance di Indonesia. Hasil penelitian
menyatakan bahwa mayoritas pemegang saham merasa bahwa komite audit sebagai ancaman
kontrol mereka dalam perusahaan, kekuasaan mereka seperti direktur untuk membatasi
otoritas dan usaha dari komite audit. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah karena
sebagian besar perusahaan di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan keluarga.

Penelitian lain dari I Putu Sugiarta (2008) yang menghubungkan antara eksternal auditor,
komite audit dan praktik manajemen laba. Dengan menggunakan data dari 127 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di JSX, tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang
menyatakan adanya komite audit dapat mengurangi praktik manajemen laba, padahal
beberapa hasil penelitian banyak yang menyatakan bahwa adanya komite audit dapat
mengurangi praktik manajemen laba. Terdapat beberapa faktor mengenai hal ini, pertama,
ada sebagian perusahaan yang memiliki komite audit yang kurang berkualitas akibatnya
kinerjanya kurang efektif. Kedua, sebaiknya perusahaan dalam memilih anggota komite audit
salah satu dari anggota tersebut harus memiliki pendidikan akuntansi dan memiliki jenjang
S2 di program studi akuntansi, sehingga anggota komite audit memiliki isu-isu terkini tentang
akuntansi. Ketiga, sebaiknya anggota tim audit diangkat dari mantan karyawan dari kantor
akuntan big four. Terakhir, pemilihan anggota komite audit sebaiknya transparan.
Meninjau beberapa hasil penelitian di atas mengenai komite audit, maka dapat dijelaskan
tentang komite audit bahwa sebenarnya komite audit dapat mengurangi praktik manajemen
laba dalam suatu perusahaan, dengan demikian secara tidak langsung dapat menciptkan
kondisi good governance di Indonesia, good corporate governance ini dapat dilihat dari
adanya transaparansi dan akuntabilitas dalam perusahaan, hal ini dapat dilihat dari
pengendalian internal dalam perusahaan tersebut, semakin pengendalian intern ditegakkan
dalam perusahaan tersebut, maka penyimpangan dalam perusahaan dapat diminimumkan.
Pengendalian intern merupakan tugas utama dari auditor internal, dengan demikian jelaslah
bahwa perlu adanya kerjasama antara auditor internal dan komite audit dalam menegakkan
kondisi good corporate governance. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi good
corporate governance di Indonesia masih pada tingkat terendah. Ada banyak faktor dalam hal
ini, diantaranya karena masih banyak perusahaan di Indonesia yang merupakan perusahaan
keluarga. Dan hasil penilaian good governance di Indonesia masih berkisar pada angka + 2,5
(Akhmad Syahroza, 2009) yang artinya masih rendahnya capaian penilaian good governance
di Indonesia. Pada tahapan tersebut pelaksanaan good corporate governance di Indonesia
masih mengejar formalitas daripada substansi.

BAB 4
KESIMPULAN

Upaya mewujudkan Good Corporate Governance merupakan hal yang tidak mudah
dilaksanakan, terdapat beberapa kendala dalam hal ini, terutama dalam hal transparansi dan
akuntanbilitas yang belum sepenuhnya dipenuhi oleh beberapa perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Untuk dapat mewujudkan hal ini maka perlu ada pembenahan dalam perusahaan
tersebut, yaitu dengan menguatkan kontrol dalam perusahaan tersebut dengan cara
menegakkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam perusahaan tersebut, sehingga
penyimpangan-penyimpangan dapat diminimumkan, hal ini merupakan tugas dari profesi
internal auditor.
Internal auditor mempertanggungjawabkan tugasnya kepada pihak manajemen
perusahaan, sedangkan struktur perusahaan di Indonesia dengan komposisi komisaris dan
pemegang saham, maka terdapat peran yang menghubungkan kepentingan para komisaris dan
pemegang saham dengan kondisi perusahaan, yaitu peran dari komite audit, karena komite
audit ini mempertanggungjawabkan tugas dan tanggung jawabnya kepada pemegang saham
dan komisaris. Komite audit perlu menelaah hasil pekerjaan dari internal auditor, komite
audit juga dapat mempengaruhi dan membantu pihak manejemen dalam penunjukkan auditor
dari kantor akuntan publik.
Komite audit haruslah orang yang kompeten dan memiliki kinerja yang berkualitas.
Untuk itu anggota dari komite audit sekurang-kurangnya haruslah ada yang memiliki latar
belakang akuntansi dan memiliki pengalaman di bidang audit, sehingga memiliki pemahaman
tentang isu-isu terkini tentang permasalahan akuntansi. Dengan demikian perlu adanya
kerjasama yang baik antara komite audit dengan internal auditor dalam mewujudkan kondisi
yang Good Corporate Governance tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim. 2003. Auditing (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan). Yogyakarta: UPP
AMP YKPN.
Akhmad Syahroza. 2009. Tantangan Profesi Auditor Internal dalam Penerapan Good
Governance. Seminar Association Auditor Internal (AAI), 23 Agustus 2009.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2000. Akuntabilitas dan Good
Governance. Jakarta: Tim Studi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Dwi Novi Kusumawati. 2007. Profitability and Corporate Governance Disclosure: an
Indonesian Study. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 10. No.2, Mei, hal 131-146.
Effendi, M. Arief. 2005. Peranan Komite Audit dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan,
Jurnal Akuntansi Pemerintah, Volume 1, No. 1.
I Putu Sugiartha Sanjaya. 2008. Auditor Eksternal, Komite Audit dan Manajemen Laba.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 11, No. 1 Januari, hal 97-116.
Kaihatu, Thomas S. 2006. Good corporate governace dan penerapannya di Indonesia.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.8 No.1 Maret 2006.
Komite Cadbury. 1992. The Business Roundtable, Statement On Corporate Governance.
Washington DC., 1997.
Komite

Nasional

Kebijakan

Governance

(KNKG).

2006.Pedoman

Umum Good

Corporate Governance Indonesia.Jakarta.


Lawrence J. Abbott, Susan Parker, Gary F. Peters, and K Raghunandan. 2003. The
Association between Audit Committee Characteristics and Audit Fees. Auditing: A
Journal Of Practice & Theory, Vol. 22 No.2, p. 17-32.
OECD. 1999. The OECD Principles of Corporate Governance.
Pedoman Umum Good Corporate Government Indonesia, 2006.
Saptantinah, Dewi. 2010. Peran Internal Audit dan Komite Audit dalam Mewujudkan Good
Corporate Governance. Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi Vol. 8, No.
1, April 2010: halaman 1-9.

Sawyers. 2003. Internal Auditing. Edisi Terjemahan. Jakarta: Salemba Empat.


Sidharta Utama dan F. Leonardo Z. 2006. Audit Comit Composition, Control of Majority
Shareholders and Their Impact on Audit Comit Effectiveness: Indonesia Evidence.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 9, No. 1. Januari, hal 21-34.
SK Bapepam No.: KEP 41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003. UU Nomor 19 Tahun
2003 tanggal 19 Juni 2003 tentang BUMN
Menteri Badan Usaha Milik Negara. 2002. Keputusan Nomor: Kep-117/M-Mbu/2002 tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Isaha Milik Negara
BUMN)

Anda mungkin juga menyukai