Anda di halaman 1dari 6

AR GOSALI

krisis KEPEMIMPINAN
GEREJAWI masa kini
JOAS ADIPRASETYA
Pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta yang ditugaskan secara khusus menjadi
dosen penuh waktu di STT Jakarta untuk bidang Teologi Sistematika; kini Ketua STT
Jakarta (2011-2015). Makalah ini dipersiapkan untuk diskusi Ar Gosali, Sidang Raya XVI
PGI, 13 November 2014.

PENGANTAR
Position Paper yang saya terima untuk sesi Ar Gosali Kepemimpinan ini terasa sangat muram.
Bukan hanya ia menampilkan beragam masalah seputar kepemimpinan gerejawi dan oikoumenis,
namun juga bahwa masalah-masalah tersebut tampak sudah sangat laten dan nyaris melumpuhkan
gereja dan gerakan oikoumenis sepenuhnya. Terdapat enam masalah yang terdeteksi di dalam Position
Paper tersebut: SDM pendeta, SDM lembaga pendidikan Kristen, SDM jemaat, SDM perempuan, SDM
pemuda, dan SDM dalam partisipasi politik. Lantas, Position Paper memaparkan bahwa Bidang Koinonia
PGI telah merancang sebuah kerangka-kerja (framework) Pendidikan Kader Oikoumenis sebagai obat
bagi situasi malang kita tersebut.
Saya manut saja dengan kerangka-kerja PKO yang hendak diujicoba tersebut. Toh saya juga belum
pernah membacanya dan saya sangat percaya pada kapabilitas para perancangnya. Namun, tampaknya
saya perlu menandaskan bahwa kerangka-kerja sebenarnya harus dipandang sebagai middle-product
strategis dari sebuah model kepemimpinan yang sarat dengan model teologis dan spiritualitas
kepemimpinan yang baik, benar, dan tepat. Namun, repotnya, model teologis-spiritual tersebut harus
juga dikembangkan dengan melakukan kritik atas model teologis-spiritual yang secara aktual melandasi
kerangka-kerja yang tengah berjalan. Pada titik inilah saya memosisikan peran saya selama beberapa
menit ke depan. Tanpa seluruh proses ini, saya kuatir kita hanya mengganti body kendaraan tanpa
memperbaiki atau mengubah mesinnya. Misalnya saja, jangan-jangan pemakaian istilah SDM (sumber
daya manusia) yang secara sengaja dan melimpah dipakai dalam Position Paper sebenarnya
mencerminkan pemahaman dasariah tentang manusia Kristen yang sangat instrumental. Seolah,
manusia adalah aset institusidi samping sumber daya alam (SDA)bagi produksi yang terukur, dan
menguntungkan.

HIERARKI DENGAN TIGA (ATAU EMPAT) WAJAH


Sudah disepakati secara meluas bahwa kepemimpinan adalah sebuah fungsi dari komunitas.
Artinya, kepemimpinan dibutuhkan agar komunitas dapat berfungsi sesuai dengan visi yang
dihayatinya. Itu berarti, struktur kepemimpinan mencerminkan kultur kepemimpinan dan kultur
komunitas yang berlaku dan dihidupi secara aktual. Hanya saja, dalam sebuah komunitas, kita dapat
menengarai adanya beragam kultur yang aktual, yang belum tentu kompatibel satu dengan yang lain.
Maka, ketika ketidakpuasan berujung pada usaha mengganti struktur kepemimpinan, harusnya proses
tersebut juga berangkat dari kultur-tandingan yang sudah lahir dan bersemi dari dalam komunitas
tersebut.
Dari Position Paper yang saya terima saya melihat beberapa kategori SDMseberapa pun saya tidak
menyukai istilah iniyang bermasalah: pendeta, pendidik, politikus, warga jemaat, pemuda, dan
perempuan. Tiga yang pertama adalah pejabat dan fungsionaris, sedang tiga yang terakhir adalah subjek
dalam gereja: warga jemaat secara umum, dan secara khusus pemuda dan perempuan. Tiga subjek yang
terakhir ini pulalah yang menurut hemat saya telah menjadi korban dari struktur pemerintahan dan
penatalayanan gerejawi yang bermasalah.
Yang pertama adalah klerikarki (clericarchy) atau pemerintahan oleh klerus. Pejabat gerejawi
dipandang sebagai yang berwewenang menentukan nasib dan masa depan (serta masa kini) gereja.
Yang kedua adalah gerontarki (gerontarchy), yaitu pemerintahan oleh orang tua. Anak-anak muda
dianggap sekadar sebagai pemimpin masa depan dan bukan pemimpin masa kini. Yang ketiga adalah
patriarki (patriarchy) atau pemerintahan oleh bapa atau laki-laki. Perempuan dianggap tidak layak
untuk menjadi pemimpin. Ketiganya adalah manifestasi konkret dari hierarki (hierarchy) yang
menganggap bahwa Dia Yang Kudus (hieros) menubuh di dalam klerus, orang dewasa, dan laki-laki.
Dalam hierarki tiga-wajah ini, struktur yang dibangun berwatak vertikal, atas dan bawah.
Yesus pernah mengecam hierarki semacam ini dan mengusulkan sebagai struktur-tandingan,
dengan berkata pada para murid-Nya,
42

Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan
kuasanya dengan keras atas mereka. 43 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi
besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, 44 dan barangsiapa ingin menjadi yang
terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. (Mrk. 10:42-44)

Dengan menandaskan di awal ayat 43, Tidaklah demikian di antara kamu, Yesus ingin membenturkan
dua struktur yang secara frontal berlawanan, yaitu hierarki dan doularki (hierarchy dan doularchy). Yang
terakhir inidari kata doulos: hamba; arche: kepemimpinanberarti kepemimpinan-hamba (servantleadership). Jelas struktur tandingan ini memang berfungsi sebagai tandingan. Artinya, ia bertenaga jika
ada lawannya. Anehnya, ketika lawannya raib, maka hilang pulalah kekuatan dari struktur
kepemimpinan-hamba ini. Dan dengan segera ia dapat berubah mempraktikkan apa yang tadinya ia
lawan, yaitu hierarki. Maka kepemimpinan-hamba tidak boleh dilestarikan sebagai model ideal, karena
memang sifatnya ad-hoc. Sayangnya, itulah yang terjadi. pelayanan, pelayan, melayani dan
sebagainya sudah menjadi kosakata gerejawi yang dengan mudah berkurang makna, hilang makna, atau
lebih parah lagi sesat makna. Situasi sesat makna ini muncul ketika justru doularki menjadi sosok atau
topengnya dengan hierarki sebagai ruh atau wajah aslinya.
2

Hierarki

Doularki

Hierarki dikemas lewat Doularki

Percampuran aneh antara hierarki dan doularki ini sudah berjalan begitu lama sehingga makin
dianggap sebagai yang natural saja. Dan semakin lama ia bersimbiosis, semakin sukar pula ia ditengking
dan diatasi, sebab sekalipun dalam praktik hierarki yang operasional, dalam retorika doularki yang selalu
dikumandangkan. Lantas, para korban (warga jemaat, kaum muda, dan perempuan) semakin bisu atau
dibuat bisu. Sebab, para penguasa gereja beranggapan bahwa mereka berhak merepresentasi
pandangan dan suara mereka dan memutuskan segala sesuatu berdasarkan anggapan tersebut. Ketika
praktik semacam ini berlangsung lama, maka terjadilah internalisasi dalam diri korban, bahwa memang
sudah sewajarnya dan selayaknyalah situasi demikianlah yang terjadi dan patut dilestarikan. Apalagi jika
justifikasi spiritual diimbuhkan ke dalam retorika kepemimpinan semacam ini.
Dalam tradisi moralitas Kristen dikenal sebuah kebajikan luhur yang disebut kerendahhatian
(humility, humilitas) yang sebenarnya berseberangan secara frontal dengan salah satu dosa terbesar,
yaitu kesombongan (pride, hubris). Anehnya, sekalipun keduanya berlawanan, simbiosis bisa terjadi, yaitu
ketika kesombongan justru hidup secara nyaman di dalam lahan kerendahhatian. Sampai-sampai
Thomas Fuller mengatakan, Kesombongan memandang kerendahhatian sangat terhormat, hingga
kerap ia meminjamnya sebagai jubah. Hal yang samalah yang terjadi antara hierarki dan doularki.
Hierarki yang opresif bisa sangat nyaman beroperasi justru ketika ia berada di dalam doularki dan
meminjam retorika doularki untuk terus beroperasi.

PENGAMATAN: Perhatikan beberapa praktik bergereja yang menunjukkan hierarki berwajah doularki ini. Saya dapat
memberikan beberapa contoh:
1.
2.
3.
4.

Pola hierarki laki-laki atas perempuan dalam kehidupan domestik di rumah diberlakukan juga di gereja, sehingga
perempuan hanya diberi peran yang mirip dengan peran domestik.
Atas nama pelayanan, kaum muda dimarginalisasi ke ruang mereka sendiri, dengan diberi semua fasilitas yang ada,
namun terpisah dari komunitas orang-orang dewasa. Misalnya: ibadah kategorial khas kaum muda.
Tata-letak dalam acara-acara gerejawi menunjukkan si pelayan (entah pendeta atau penatua) justru menempati posisi
terhormat, kadang dengan jenis kursi yang berbeda.
Hierarki di dalam para pejabat juga mencerminkan hal ini, bahkan sampai pada sistem penggajian yang menjadi
jabatan tertentu menjadi rebutan banyak pejabat.

Jadi, hierarki muncul bukan hanya lewat wajah klerikarki (kepemimpinan pejabat atas awam),
gerontarki (kepemimpinan orang tua atas kaum muda), dan patriarki (kepemimpinan laki-laki atas
perempuan), namun juga lewat wajah keempatnya, yaitu doularki (kepemimpinan hamba yang menjadi
tuan). Keempat wajah hierarki ini telah merasuki kehidupan gereja dalam waktu yang sangat lama,
membudaya, dan membudaya secara kuat. Dan saya percaya keempat wajah kepemimpinan semacam
ini paling bertanggung jawab atas krisis kepemimpinan Kristiani pada masa kini. Atau, dengan memakai
3

retorika yang laris belakangan, ia tampil secara masif, terstruktur, dan sistematis! Ia merambah seluruh
gereja pada semua lini. Mulai dari komunitas kecil di rumah-rumah hingga kepemimpinan sinode, atau
malah sangat mungkin lembaga-lembaga oikoumenis. Dalam skema semacam itu, warga jemaat sekadar
dipandang sebagai sumber daya (resources) yang bermanfaat bagi kepentingan hierarki. Mereka tak
lagi menjadi sahabat, saudara, atau rekan sekerja.
Maka, saya sungguh kuatir mimpi PKO (Pendidikan Kader Oikoumenis) akan berakhir pilu, sebab
sangat mungkin ia didesain dalam skema hierarkis yang sama. Itu sebabnya, saya sungguh bercuriga
bahwa pemakaian istilah-istilah sumber daya dan kader yang dengan mudah diasosiasikan dengan
fungsi melayani top-down hierarchy yang saya tunjukkan di atas. Mendidik pegiat-pegiat oikoumenis
yang mumpuni bisa jadi justru mempergemuk hierarki dalam empat wajah tadi, jika tidak secara
sungguh-sungguh kita mengkritik teologi dan spiritualitas kepemimpinan tersebut.

DARI DOULARKI KE FILIARKI


Bagaimana kita mereparasi kultur dan struktur kepemimpinan yang sudah secara laten
menggembosi komunitas gerejawi kita itu? Pertama-tama harus ditegaskan bahwa doularki tidak
sepenuhnya buruk. Ia bahkan membawa kebaikan bagi gereja, sejauh memang memenuhi fungsinya
sebagai pendekatan ad-hoc dalam melawan hierarki. Yang buruk terjadi ketika apa yang sementara
dibuat langgeng dan ketika apa yang langgeng justru tidak dibangun. Doularki sebagai kritik Yesus atas
hierarki tidak boleh dilanggengkan, sebab apa yang terjadi kemudian adalah, ia mengambil-alih ruh
hierarki yang dilawannya menjadi identitasnya dan bersimbiosis untuk meneruskan hierarki tersebut.
Yesus sendiri, semasa hidupnya di dunia, sudah menegaskan hal ini. Di dalam Yohanes 15, Ia
menyatakan kepada para murid-Nya. Komunitas ideal yang diimpikannya adalah komunitas cintakasih
dengan semua anggota komunitas secara pribadi maupun komunal tinggal di dalam kasih Allah Trinitas.
Ia berkata:
9

Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam
kasih-Ku itu. 10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku
menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. 11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu,
supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. 12 Inilah perintah-Ku, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

Kita sudah sangat lama melakukan pemisahan dan hierarki yang keliru antara agape, filia, dan eros.
Pemisahan dan hierarki ini diusulkan semula oleh Anders T.S. Nygren, seorang teolog Swedia, melalui
buku yang berjudul Eros and Agape pada tahun 1930an. Menurut Nygren agape adalah cintakasih yang
terluhur, melebihi filia sebagai kasih-sahabat, dan eros di urutan terendah yang bahkan tidak memiliki
nilai sama sekali. Pandangan Nygren ini sudah banyak dikritik dan ditolak pada masa kini. Bahkan banyak
pemikir yang membuktikan bahwa ketiga jenis kasih ini sebenarnya menunjuk pada satu kasih yang
multidimensional. Bahkan, filia atau kasih-persahabatan sebenarnya merupakan jenis lain dari agape
yang justru lebih unggul daripada agape pada umumnya, sebab filia menuntun pada kesediaan untuk
berkurban bagi sang sahabat. Hal ini nyata benar dalam ayat-ayat berikutnya di dalam Yohanes 15:
13

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya. 14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. 15 Aku
tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku

menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah
Kudengar dari Bapa-Ku.

Saya percaya inilah impian Yesus! Setelah ia menyodorkan doularki sebagai kritik ad-hoc atas
hierarki, kini Yesus memproklamasikan sebuah pola tata-relasi yang ditandai bukan oleh kehambaan
namun persahabatan. Ia berseru, Aku tidak menyebut kamu lagi hamba tetapi Aku menyebut kami
sahabat. No longer servants, but friends! Maka, komunitas cintakasih yang disapa sahabat oleh Yesus
haruslah menata diri sebagai komunitas persahabatan pula. Pola kepemimpinan yang dikonstruksi
adalah kepemimpinan-sahabat (philiarchy, filiarki).

Hierarki

Doularki

Hierarki dikemas
lewat Doularki

Filiarki

Berbeda dari hierarki dan doularki yang bersifat vertikal, filiarki bersifat horisontal. Tidak ada yang
lebih tinggi dan lebih rendah. Tidak ada yang memaksa diri merendah dan menuntut diri ditinggikan.
Semua setara di hadapan Kristus, Sang Kasih dan Sang Sahabat, yang menjadi pusatnya. Kepemimpinansahabat memungkinkan sang pemimpin untuk berada di depan atau di belakang atau di samping,
namun ia tidak berada di atas atau di bawah. Seorang pemimpin-sahabat juga tidak boleh diimajikan
sebagai pusat komunitas, sebab Ia dapat menggantikan Kristus sebagai Pusat. Menjadikan pemimpin
sebagai pusat akan mengakibatkan marginalisasi baru, dengan anggota jemaat, perempuan, dan kaum
muda tetap sebagai korban yang terpinggirkan.
CATATAN: Bagi Anda yang tertarik mendalami lebih jauh konsep ini, sila membaca buku apik Edward Zaragoza, No Longer
Servants, but Friends: A Theology of Ordained Ministry (1999). Untuk membaca kritik feminis atas konsep pelayanan, baca
tulisan Susan Nelson Dunfee, Beyond Servanthood: Christianity and the Liberation of Women (1989).

APA YANG ANDA LIHAT ADALAH


APA YANG ANDA DAPATKAN
Di dalam dunia komputer dikenal istilah What You See is What You Get (WYSIWYG). Hal yang sama
berlangsung di dalam kepemimpinan Kristen. Imaji kepemimpinan semacam apa yang kita saksikan
adalah kultur dan struktur komunitas semacam apa yang akan kita dapatkan. Ketika kita memandang
kepemimpinan secara vertikal, maka kita akan mendapatkan sebuah komunitas yang hierarkis, entah itu
karena memang hierarki langsung atau lewat wajah doularki. Sebaliknya, jika kita memandang
kepemimpinan secara horisontal sebagai fungsi dalam komunitas yang berjuang menjadi persahabatan,
maka kita akan mendapatkan sebuah komunitas persahabatan egaliter yang melihat peminggiran
sebagai pengingkaran terhadap identitasnya.
Saya memahami bahwa pasti akan banyak orang mempertanyakan praktikalitas model
kepemimpinan-sahabat yang saya tawarkan. Dan saya memang tidak bersiap untuk menjawab dan
5

menawarkan rincian praktisnya, khususnya dengan waktu sesingkat ini. Namun, perkenankanlah saya
memaparkan beberapa pemikiran sporadis sebagai alat-bantu meneruskan diskusi ini:
1. Kita perlu memperkaya teologi persahabatan yang sebenarnya sangat mendalam muncul di dalam
Alkitab, yang berbasis pada konsep filia.
2. Salah satu tema masakini adalah hospitalitas (keramahtamahan, kesanggrahan) yang adalah
implikasi teologi sosial dari teologi persahabatan. Hospitalitas atau philoxenos adalah wajah sosial
gereja sebagai persahabatan yang terarah keluar dan menyahabati orang asing (philos + xenos).
3. Kita juga perlu membangun sebagai kepempinan-sahabat yang mengakar kuat dalam kultur kita
masing-masing. Saya percaya bahwa komunitas-komunitas lokal kita memiliki kearifan yang selaras
dengan imaji persahabatan. Misalnya, ar gosali di Nias yang sedang kita jalani sekarang.
4. Teologi dan kepempinan berbasis persahabatan perlu juga memanfaatkan beberapa tema relasi
horisontal lain, seperti: persaudaraan, rekan sekerja, keluarga, dan sebagainya.
5. Para teolog dan pegiat birokrasi gereja perlu melakukan kritik mendalam dan rekonstruksi struktur
gereja yang sangat hierakis di banyak tempat. Hal ini pada gilirannya berujung pada tata-kelola
kepemimpinan melalui Tata Gereja masing-masing.
6. Kita perlu meninjau ulang pola-pola pelayanan kaum muda dan perempuan yang seolah tampak
menghargai mereka, namun justru dengan mengkategorisasi mereka ke dalam kandang masingmasing. Eksperimentasi model kategorial yang sudah gagal ini harus diganti dengan model yang
lebih menekankan relasi antarusia dan antarwarga. Singkatnya: model antargenerasi.
7. Akhirnya gerakan oikoumene juga perlu mengkaji persahabatan sebagai model relasi hidupbersama antargereja, yang pada gilirannya, saya yakin, akan mengubah cara kita bersidangraya pula.
8. Lebih lanjut, Pendidikan Kader Oikoumenis harus dimaknai sebagai pendidikan persahabatan
oikoumenis, yang memberi ruang bagi para pegiat oikoumenis untuk menjadi sahabat Kristus di
tengah kemajemukan gerejawi di Indonesia.
9. Akhirnya, perlu ditemukan teologi politik-persahabatan sebagai ganti dari politik-kekuasaan dan
politik-institusional yang selama ini sudah menarik semua pegiat politik Kristen untuk mengikuti
langgam permainan politik kekuasaan dan institusional yang tak sehat.
Sekian dan terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai