Anda di halaman 1dari 15

BLOK SISTEM PENCERNAAN

LAPORAN PBL I

Kelompok PBL 13:


Jessica Wulansari

2013-060-002

Elisabeth Susianiwati

2013-060-018

Gregoriane Ermelynda Lake 2013-060-025


Edlyn Amadea

2013-060-038

Willy Saputra

2013-060-181

Felly Sachiarissa Herlim

2013-060-189

Adsel Kartadinata

2013-060-200

Michael Kurniawan Kayadi 2013-060-204


Levina Benita

2013-060-208

Yuliana

2013-060-213

Olivia Gianetta Muljadi

2013-060-216

Santika Henny

2013-060-219

Tutor:
dr. Sandy Vitria Kurniawan, M.Biomed
Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2015

BAB 2
ISI

A. Klasifikasi Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Brainstorming
D. Skema
E. Learning Object
F. Self Study
2.6.1.

Anatomi Abdomen dan Terjadinya Viceral Pain


Daerah abdomen dapat dibagi menjadi 4 kuadran dan 9 area. Gambar

berikut menunjukan pembagian daerah-daerah pada abdomen.

Tujuan pembagian abdomen menjadi 4 ataupun 9 regio adalah untuk


memudahkan

klinisi

dalam

menentukan

posisi

mana

yang

menjadi

permasalahan dari pasien. Masing-masing area ditempati oleh organ-organ


tubuh yang didominasi oleh organ-organ pencernaan. Tabel dibawah ini

menjelaskan organ-organ apa saja yang ada sesuai dengan penempatan regionya
masing-masing.

Right Hypochondriac
Lobus dextra hepar
Gallblader
Bagian duodenum
Flexura hepatika
kolon
Kelenjar suprarenal
dextra

Right Lumbar
Kolon ascenden
Bagian bawah ginjal
dextra
Bagian duodenum
dan jejunum

Right Iliac
Caecum
Apendix
Bagian bawah ileum
Ureter dextra
Ovarium dextra

Epigastic
Pilorik
Duodenum
Pankreas
Aorta
Bagian liver

Umbilical
Omentum
Mesenterika
Kolon
transversum
Bagian bawah
duodenum
Jejunum dan
ileum
Hypogastic
Ileum
Kandung kemih

Left Hypochondriac
Lambung
Limpa
Kauda Pankreas
Flexura hepatica
sinistra
Bagian ginjal kiri
Kelenjar Suprarenal
sinistra
Left Lumbar
Kolon ascenden
Bagian bawah ginjal
sinistra
Bagian jejunum dan
ileum

Left Iliac
Kolon sigmoid
Ureter kiri
Ovarium sinistra

Dalam kasus disebutkan bahwa pasien mengalami nyeri di daerah


epigastrik. Nyeri ini dapat dirasakan karena adanya rangsangan pada saraf-saraf
sensorik yang berada di daerah tersebut. Visceral pain pada daerah abdominal di
deteksi oleh beberapa nervus yaitu:
a. Nervus frenikus, yang merasakan sensasi iritasi, regangan, atau luka pada
bagian ventral dan dorsal, serta diafragma hingga fossa supraclavicular.
b. Nervus obturator, yang merasakan sensasi iritasi pada daerah retroperitoneal.
c. Nervus genitofemoral, yang merasakan sensasi nyeri pada daerah paha
sampai lutut.
Sistem saraf otonom atau SSO juga berperan dalam kasus. Peran SSO
yang pertama dapat dilihat dari keadaan fisiologis pasien, seperti takikardi dan
takipnu. Peran yang kedua yaitu dalam penjarasan rasa nyeri pada pasien. Untuk
rasa nyeri, sinyal dari sensorik akan dihantarkan lewat jaras spinotalamikus.

Untuk organ-organ yang kosong atau hollow, nyeri dapat disebabkan karena
terjadinya distensi pada organ tersebut. Sedangkan, pada organ yang padat, nyeri
dapat disebabkan karena adanya rangsangan pada kapsula organ tersebut. Dari
saraf sensorik, sinyal nyeri akan dihantarkan ke spinal bagian dorsal, kemudian
naik melalui jaras spinothalamicus yang pada akhirnya akan sampai pada
korteks cerebri untuk dipersepsikan sebagai nyeri.
2.6.2.

Metabolisme Bilirubin dan Mekanisme Terjadinya Jaundice


Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan

bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasireduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal
dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang
imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan
peroksidase.
Bilirubin dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Bilirubin terkonjugasi /direk
Bilirubin terkonjugasi /direk adalah bilirubin bebas yang bersifat larut
dalam air sehingga dalam pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin
terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin ) masuk ke saluran
empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan
mengubahnya menjadi urobilinogen. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat
dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobilirubin.
Peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi dapat
disebabkan oleh gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik antara lain
Sindroma Dubin Johson dan Rotor, Recurrent (benign) intrahepatic
cholestasis, Nekrosis hepatoseluler, Obstruksi saluran empedu. Diagnosis
tersebut diperkuat dengan pemeriksaan urobilin dalam tinja dan urin dengan
hasil negatif.
b. Bilirubin tak terkonjugasi/ indirek

Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas


yang terikat albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk
memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih dulu dicampur dengan
alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu
dinamakan bilirubin indirek.

Metabolisme bilirubin terjadi di hati yang dibagi menjadi 5 fase utama,


yaitu:
1. Pembentukan bilirubin
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal
bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan
kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada
albumin bersifat nontoksik.
2. Transportasi bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian
bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin
(protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi
akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.
3. Konjugasi bilirubin
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin
konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan
enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPGT). Bilirubin ini
kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
4. Sekresi Bilirubin

Sekresi bilirubin diglukuronida ke dalam empedu melalui transportasi


aktif. Sistem transpor ini juga dapat dipicu oleh obat yang menginduksi
konjugasi bilirubin. Normalnya, bilirubin diglukuronida saja yg disekresikan
ke dalam empedu.
5. Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan disekresikan ke
dalam kandung

empedu,

kemudian

memasuki

saluran cerna dan

diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang
terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali
menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang
terdapat dalam usus.
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin
terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang
spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya
dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan
diekskresikan

kembali

lewat

hati,

mengalami

siklus

urobilinogen

enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon


menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan
melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika
dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi
urobilin.

Jaundice pada umumnya terjadi karena adanya gangguan pada salah satu
fase diatas. Mekanisme terjadinya jaundice dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu
secara hepatobilier dan secara hematologi. Secara hepatobilier, jaundice dapat
disebabkan karena adanya obstruksi baik intrahepatic maupun ekstrahepatik.
Obstruksi intrahepatic disebabkan karena adanya kerusakan di sel hepar
hepatosit atau di saluran kanalikuli. Obstruksi intrahepatic menyebabkan
penurunan fungsi hepar dalam mensekresikan empedu. Hal ini menyebabkan
terjadinya penumpukan total bilirubin dalam tubuh. Obstruksi ekstrahepatik

umumnya disebabkan oleh penyumbatan di ductus biliaris pada saluran empedu.


Akibatnya bilirubin direk akan menumpuk di liver karena tidak bisa
dikeluarkan. Lama-kelamaan bilirubin ini dapat memasuki darah sehingga
terjadi conjugated hyperbilirubinemia. Salah satu gejalanya adalah feses pasien
yang seperti kapur.
Secara hematologi, jaundice disebabkan karena adanya kelainan hemolitik.
Keadaan seperti ini disebut dengan hemolitik jaundice. Pada hemolitik jaundice,
bilirubin yang meningkat adalah bilirubin indirek. Selain kelainan hemolitik,
terdapat

beberapa

faktor

yang

menyebabkan

peningkatan

bilirubin

indirek.seperti peningkatan produksi bilirubin oleh karena inefektif eritropoesis


ataupun suatu keadaan hematoma, penurunan bersihan bilirubin oleh kelainan
ligandin, terganggunya proses konjugasi, dan kelainan genetic seperti Gilbert
Syndrome dan Crigler-Najjan Syndrome.

2.6.3.

Macam-Macam Jaundice
Secara umum, jaundice dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

1. Hemolitik jaundice didominasi oleh peningkatan bilirubin indirek.


2. Kelainan obstruksi atau cholestasis didominasi oleh peningkatan
bilirubin direk.
3. Hepatoseluler jaundice peningkatan bilirubin total.

Secara etiologi, ketiga jaundice ini disebabkan oleh berbagai macam


kondisi. Hemolitik jaundice disebabkan oleh destruksi sel darah merah yang
berlebihan seperti keadaan anemia hemolitik. Kelainan obstruksi disebabkan
oleh adanya gangguan seperti batu sehingga menyumbat saluran empedu untuk
mensekresikan bilirubin. Hepatoselular jaundice umumnya disebabka karena sel
hepatosit mengalami gangguan dalam proses konjugasi bilirubin.

Beberapa sumber membagi jaundice menjadi pre-hepatic jaundice,


hepatocellular jaundice, dan post hepatic jaundice. Tabel berikut menjelaskan
mengenai perbedaan ketiga jaundice tersebut.

Alkaline
Fosfatase
SGOT
SGPT
Warna feses
Warna urin

Pre-Hepatic
Normal

Hepatocellular
Normal/Meningkat

Post-Hepatic
Meningkat

Normal
Normal
Normal
Normal

Meningkat
Meningkat
Setengah Pucat
Kuning Kecokelatan

Meningkat
Meningkat
Pucat
Hitam

Penyakit terkait tiap klasifikasi jaundice:


1. Pre-Hepatic : Anemia Hemolitik
2. Hepatocellular : Hepatitis, Sirosis hati, Neonatal jaundice
3. Post Hepatic Jaundice : Obstruksi Saluran Hepatobilliari, Pankreatitis

2.6.4.

Pembahasan Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan sklera ikterik, nyeri pada daerah

epigastrik, dan demam subfebril. Dalam pemeriksaan penunjang, terdapat


beberapa poin penting yang perlu dibahas, diantaranya:

Pemeriksaan fungsi hati.


Dalam Pemeriksaan fungsi hati dapat dibagi menjadi 3 kriteria yaitu :

a.

Pemeriksaan fungsi sel-sel hati : SGOT, SGPT

b.

Keadaaan patologis yang mempengaruhi sistem empedu baik intra maupun


ekstrahepatik : ALP dan GGT

c.

Fungsi sintesis hati : albumin, urea, faktor pembekuan

Rasio perbandingan SGPT:SGOT jika lebih dari 2, maka dapat menandakan


adanya kerusakan sel hati seperti pada alcoholic liver disease.

Pmeriksaan GGT memiliki spesifisitas yang tinggi namun memerlukan


waktu yang lama.

Serum bilirubin, bilirubin direk, dan bilirubin indirek juga merupakan


indikator penting pada pasien jaundice.

2.6.5.

Algoritma Jaundice dan Viceral Pain


Berikut adalah grafik algoritma pada pasien yang dicurigai dengan

jaundice.

Terdapat beberapa penyakit yang berkaitan dengan nyeri pada daerah epigastric.
Berikut adalah skema diferensial diagnosis pada pasien dengan nyeri epigastric.

BAB 3
PENUTUP
Setelah diskusi PBL kali ini, kami menyimpulkan bahwa pasien mengalami gejala
jaundice. Kemungkinan terjadinya jaundice pada pasien dapat disebabkan oleh berbagai hal.
Dilihat dari adanya nyeri daerah epigasatrik, maka kemungkinan organ yang mengalami
gangguan adalah gaster (bagian pilorik), duodenum, pankreas pembuluh aorta, dan bagian
dari hepar. Nyeri ini dapat dirasakan oleh pasien karena adanya sel saraf yang mempersarafi
organ-organ tersebut, seperti nervus frenikus, nervus obturator, dan nervus genitofemoral.
Timbulnya jaundice pada pasien dapat dipengaruhi karena adanya gangguan dalam
metabolisme bilirubin. Metabolisme bilirubin dapat dibagi menjadi 5 fase yaitu fase
pembentukan, transport, konjugasi, sekresi dan eksresi bilier. Terganggunya salah satu fase
ini akan berdampak pada peningkatan bilirubin itu sendiri, yangmana bisa peningkatan
bilirubin direk, indirek maupun bilirubin total.
Adapun klasifikasi dari jaundice itu sendiri yaitu, pre-hepatik jaundice yang disebabkan
oleh anemia hemolitik, hepatocellular jaundice oleh hepatitis, sirosis hati, ataupun neonatal
jaundice, dan post-hepatic jaundice yang disebabkan oleh obstruksi saluran hepatobilliari atau
pankreatitis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien jaundice adalah pemeriksaan
fungsi hati (SGOT, SGPT, ALP), serum total bilirubin, bilirubin direk, bilirubin indirek,
serum albumin, -glutamil transferase/GGT, 1-tripsin, dan faktor pembekuan.

Daftar Pustaka
(1) Barrs The Human Nervous System-An Anatomical Viewpoint 10th.
(2) John S, Pratt DS. Jaundice. In: Harrisons Textbook of Internal Medicine 18 th eds. EDs
Kauser DL, Hauser SL, Jameson JL, et al. Mc Graw Hill 2015. P. 279-284.
(3) Jaundice Obstructive Syndrom by TIRZIU C.
(4) Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 2014; Edisi VI, Jilid II:1935-40.

Anda mungkin juga menyukai