Anda di halaman 1dari 2

John Franklin Bobbitt sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama.

Ia
perintis pengembangan praktis kurikulum, yang mengadakan analisis kecakapan atau
pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum, dan
menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan
orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum.
John Franklin Bobbitt menyatakan bahwa inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu
kehidupan manusia. Meskipun kehidupan manusia berbeda-beda namun pada dasarnya sama
terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan.Pendidikan berupaya mempersiapkan
kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus
dikuasai untuk dapat terjun dalam kehiduapan sangat bermacam-macam, tergantung pada
tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut
penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu
merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada sederetan pengalaman yang
harus dikuasai anak. Seluruh tujuan dan pengalaman-pengalaman tersebut itulah yang
menjadi bahan kajian teori kurikulum.
Pada hakekatnya Bobbitt mengadaptasi teknik perusahaan untuk sekolah dengan
menggunakan scientific management, efisiensi maksimal, spesialisasi kerja, pencegahan
penghamburan waktu. Anak menjadi objek dan bahan mentah atau input bagi mekanisme
pendidikan untuk menghasilkan produk atau output menurut spesifikasi sesuai analisis
kebutuhan manusia dalam masyarakat. Hasil analisis itulah menjadi tujuan pendidikan. Ia
juga menerapkan prinsip penghitungan biaya sehingga dapat diperkirakan berapa pengeluaran
untuk tiap mata pelajaran dalam jangka waktu tertentu.[7]
Tujuan pendidikan harus diuraikan menjadi tujuan-tujuan khusus yang spesifik,
karena standarisasi produk dicapai dengan spesifikasi kegiatan belajar yang memiliki tujuantujuan khusus. Demikian tujuan pendidikan dapat ditemukan secara tepat dan cermat. Tujuan
itu dapat distandarisasikan dan dapat ditentukan lebih dulu. Dengan tujuan yang jelas dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat dapatlah dihindarkan penghamburan waktu dan
tenaga.
Pendapat Bobbitt disetujui oleh Werrett W. Charlters dan David Snedden dalam
bidang pendidikan vokasional. Mereka melakukan analisis berbagai jabatan menjadi tujuantujuan spesifik yang harus dicapai dalam pendidikan. Gerakan ini terkenal dengan nama
gerakan efisiensi sosial atau social efficiency movement.[8]
Berdasarkan analisis terhadap kecakapan/ pekerjaan tersebut mereka melakukan
penyusunan dan pengembangan kurikulum.
Ada dua hal yang sama dari teori krikulum, antara teori Bobbitt dan Charterls, yakni:
a. Keduanya menggunakan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah kurikulum.
Hal ini dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L.
Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain.

b. Keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi
kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang
tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetahuan, sikap,
nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang
dewasa. Karena itu mereka menyusun kurikulum secara lengkap dan sistematis.
Pada tahun 1920, teori kurikulum (teori Bobbitt dan Charterls) yang menekankan pada
organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan orang dewasa berubah kepada kehidupan
psikologis anak. Perubahan ini dipengaruhi gerakan pendidikan aliran progressif. Aliran
progresif menekankan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered) atau anak
menjadi pusat perhatian. Karena itu, isi kurikulum harus didasarkan pada minat dan
kebutuhan peserta didik, melibatkan aktivitas peserta didik melalui pengalaman-pengalaman
belajar.
Perkembangan teori kurikulum dari Bobbitt dan Charterls, semakin mengalami kemunduran
pada era 1930 an. Karena banyak yang tidak menerima pandangan bahwa anak menjadi
bahan untuk dibentuk atau ditempa tanpa memperhatikan berbagai aspek potensialitas
individualnya. Masyarakat tidak setuju akan standarisasi, fragmentasi dan predeterminasi
kurikulum. Pendidikan mekanistis itu merupakan dehumanisasi, mematikan kegiatan dan
kreativitas intelektual, otonomi manusia, kepuasan belajar. Manusia yang dihasilkan melalui
proses conditioning dengan reaksi stimulus-respon tidak akan menjadi manusia yang
mampu mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri. Konsep pendidikan yang
mekanistis, yang menggunakan pendekatan sistem analisis teknologis, yang memanipulasi
atau mengolah anak sebagai input menjadi output (produk) yang lebih dahulu ditentukan
melalui programming tiada lain men-dehumanisasi pendidikan dan melenyapkan otonomi
manusia. Tujuan pendidikan yang dipecahkan menjadi tujuantujuan khusus dan spesifik
menjadikan tujuan pendidikan itu kerdil. Walaupun banyak kritik dilontarkan, namun
pendidikan mekanistis ini timbul kembali dengan dukungan dari aliran behaviorisme dan
sistem analisis di bawah naungan teknologi pendidikan. [9]

Ralph W. Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian
kurikulum:
a. Tujuan pendidikan yang mana yang ingin dicapai oleh sekolah?
b. Pengalaman pendidikan yang bagaimana yang harus disediakan untuk mencapai tujuan
tersebut?
c. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
d. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?[12]

Anda mungkin juga menyukai