Landasan Pedagogik
2014
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya akhirnya buku kumpulan
makalah tugas mata kuliah Landasan Pedagogik yang diampu oleh Dosen Pembina Bapak Prof. Dr. H.
Syamsu Yusuf LN., M.Pd dapat diselesaikan. Buku kumpulan makalah ini merupakan hasil studi literatur
yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika secara berkelompok pada setiap
bagiannya, yang sebelum disusunnya buku ini para kelompok mahasiswa tersebut telah mendiseminasikan
makalahnya di depan kelas pada saat perkuliahan Landasan Pedagogik.
Kumpulan makalah ini terdiri dari sembilan bagian, yaitu: (1) Sejarah perkembangan pendidikan; (2)
Perspektif perkembangan peserta didik terhadap tujuan pendidikan, (3) Landasan religi dan nilai-nilai tujuan
pendidikan; (4) Situasi pendidikan dalam ranah lingkungan pendidikan; (5) Pendidikan dalam latar budaya
dan organisasi; (6) Azas-azas pendidikan; (7) Perspektif pedagogik tentang landasan manajemen pendidikan;
(8) Perspektif pedagogik terhadap evaluasi pendidikan; (9) Implikasi hasil-hasil penelitian pendidikan
terhadap teori dan praktek pendidikan.
Setiap bagian pada kumpulan makalah ini, diawali dengan pengantar atau latar belakang yang diakhiri
dengan kesimpulan singkat yang berdasarkan studi literatur yang didapatkan. Buku kumpulan makalah ini
masih belum sempurna sehingga bukan mustahil bila dalam perjalanan waktu teridentifikasi adanya
kesalahan-kesalahan mendasar yang diharapkan dapat segera diperbaiki. Untuk itu, kami terbuka kepada
berbagai pihak yang akan memberi masukan bagi penyempurnaan buku kumpulan makalah ini.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi khususnya
kepada Bapak Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Landasan
Pedagogik yang telah membimbing para penyusun sehingga buku kumpulan makalah ini dapat disusun
dengan baik. Semoga buku kumpulan makalah ini dapat memberikan manfaat kepada praktisi pendidikan
baik Dosen, Mahasiswa, maupun yang membaca buku kumpulan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam penyelenggaraan
seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta
seminar untuk memaafkan kami.
Landasan Pedagogik
2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................................
Daftar Isi .............................................................................................................................................
i
ii
1
1
4
8
12
16
19
26
47
49
49
50
67
69
71
71
75
89
91
93
93
93
93
94
98
102
109
111
111
111
112
113
ii
117
119
123
124
125
126
127
128
131
2014
Landasan Pedagogik
133
133
133
134
136
137
138
141
143
143
146
151
153
155
155
155
167
169
171
171
171
172
172
176
176
176
177
179
iii
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN I
SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
Ida Nuraida (1402053)
Mega Nur Prabawati (1402240)
Landasan Pedagogik
2014
BAB I
PENDAHULUAN
2014
Landasan Pedagogik
dan negara. Jadi menurut amanat UU No. 20 Tahun 2003 ini, peserta didik harus didorong untuk aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri,
memiliki kepribadian yang kuat, akhlak yang mulia serta ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan yang
implikasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Landasan Pedagogik
2014
lingkungan tidak akan berhasil manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya. Menurut
Stren, pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju ke
satu titik temu (convergen:menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada umumnya dapat diterima secara
luas, walaupun masih ada juga beberapa kritik terhadapnya.
Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya
baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena
masih ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.
5. Tut Wuri Handayani
Konsep ini berasal dari Ki Hadjar Dewantara, seorang pakar pendidikan Indonesia, sekaligus pendiri
Perguruan Taman Siswa. Tut Wuri Handayani berasal dari bahasa Jawa, Tut Wuri berarti mengikuti dari
belakang, dan handayani berarti mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa aliran ini mengakui adanya pembawaan, bakat, maupun
potensi-potensi yang ada pada anak sejak lahir. Dengan kata tut wuri berarti pendidik diharapkan dapat
melihat, menemukan, dan memahami bakat atau potensi-potensi apa yang timbul dan terlihat pada anak
didik, untuk selanjutnya dapat dikembangkan dengan memberikan motivasi atau dorongan ke arah
pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Tut wuri handayani merupakan bagian dari konsep kependidikan Ki Hadjar Dewantara yang secara
keseluruhan berbunyi Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Ing ngarso
sung tulodo artinya jika pendidik sedang berada didepan maka hendaklah memberikan contoh teladan yang
baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso: di depan, sung: asung = memberi, tulodo: contoh/teladan yang
baik. Ing madyo mangun karso berarti jika pendidik sedang berada di tengah-tengah anak didiknya,
hendaknya ia dapat mendorong kemauan atau kehendak mereka untuk berinisiatif dan bertindak. Ing madyo:
di tengah; mangun: membangun, menimbulkan dorongan; karso: kehendak atau kemauan. Ditambah dengan
tut wuri handayani yang telah diuraikan sebelumnya, maka ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh.
2014
Landasan Pedagogik
BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN EROPA MASA KLASIK
Landasan Pedagogik
2014
meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan
muzis akan dipelajari artes liberales atau seni bebas, yang terdiri dari:
a. trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu mengenai cara
berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
b. quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu bintang);
geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan pada batu tulis
yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976). Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di
Sparta. Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam
perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka
berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris:
pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat
relatif (tergantung kapan dan siapa yang melihat). Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilainilai kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga
dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk mencapai kebendaan
semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan.
Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan kesusilaan.
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
sekolah: sekolah untuk mendidik calon rahib, dan sekolah luar untuk kepentingan kehidupan masyarakat,
namun demikian gurunya sama. Mata pelajarannya meliputi: bahasa latin (bahasa pengantar); agama;
membaca; menulis; dan menyanyi. Bagi kelas-kelas tinggi: agama; sejarah; dan the seven liberal arts.
Kepala sekolah gereja disebut scholarum, yang kemudian berubah menjadi scholasticus. Metode
mengajar yang dipakai adalah mekanis, yaitu murid-murid menyebut apa-apa yang disebutkan oleh guru.
Sesudah itu semuanya harus dihafal di luar kepala. Hukuman bagi setiap kesalahan dengan pukulan;
2. sekolah kathedral. Didirikan pada setiap kathedral (gereja pusat), ditempatkan di bawah pemilikan uskup.
Pengajarannya hampir sama dengan sekolah biara, kepala sekolahnya disebut magister;
3. sekolah istana. Didirikan di istana sebagai pusat pengetahuan oleh Karel Agung (768-814) yang banyak
menaruh minat terhadap pendidikan dan kemajuan rakyat. Sekolah itu dinamakan Schola Palatina, yang
menjadi teladan bagi seluruh kerajaan. Di sini dididik anak-anak raja dan kaum bangsawan dan juga
pemuda-pemuda yang hendak menjadi pegawai. Pemimpinnya yang terkenal adalah: Aicinus. Banyak
pelajar yang datang dari negeri-negeri lain. Oleh sebab itu sekolah istana Karel Agung memperoleh nama
internasional;
Akibat perang salib terjadi bermacam perubahan, seperti:
1. munculnya golongan ketiga; kemajuan perniagaan dan industri; terjadinya cita-cita pendidikan yang lain;
2. munculnya golongan bangsawan yang mempunyai cita-cita pendidikan tertentu, yaitu pendidikan ksatria;
3. munculnya bermacam-macam gilde yang merupakan lembaga pendidikan yang baik.
Berkembanganya perdagangan dan perindustrian memperkuat kedudukan kota-kota yang mendirikan
bermacam-macam sekolah. sekolah kota dikepalai oleh seorang rektor. Bentuk pengajarannya masih bersifat
formalistis, menghafal seperti buku. Sedangkan pendidikan ksatria tujuannya tidak menari kepandaian dan
pengetahuan, melainkan ketangkasan naik kuda, dan membuat syair. Abad ke-13 dinamai abad universitas.
Di sini lama kelamaan terjadi kebutuhan untuk memperoleh pengajaran tinggi. Beberapa sekolah biara
terbaik diperluas dan dipertinggi mutu pelajarannya. Sehingga berdirilah universitas-universitas yang
pertama:
1. universitas di Salerno: untuk ketabiban;
2. universitas di Bologna: untuk ilmu hukum;
3. universitas di Paris: untuk theologi.
Perguruan tersebut hanya mempunyai satu fakultas, yaitu: sekolah tinggi. Metode yang dipakai adalah
metode scholastik: maha guru mempergunakan buku tertentu, misalnya: Corpus Juris, kemudian pelajar
membuat diktat. Setelah itu diadakan penjelasan dan pembicaraan. Atas inisiatif raja, paus, dan orang-orang
terkemuka jumlah universitas semakin lama semakin bertambah banyak.
Kelemahan-kelemahan abad pertengahan:
1. semua sekolah diperintah oleh gereja dan paderi;
2. semua pelajaran dan pendidikan hanya untuk kepentingan gereja dan paderi;
3. kehidupan sehari-hari tidak mendapt perhatian sebagaimana mestinya;
4. yang diselenggarakan adalah pengetahuan yang telah ada, yang berasal dari ahli-ahli Yunani dan
Romawi, sehingga tidak ada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan;
5. metode mengajar formalistis: menghafal tepat seperti yang terdapat dalam buku secara mekanis. Oleh
sebab itu seringkali bersifat verbalistis.
2014
Landasan Pedagogik
BAB III
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI ASIA PADA MASA KLASIK
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan masih ada,
pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari
zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
1. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan;
2. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat universal;
3. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan (ke-khasan)
berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Landasan Pedagogik
2014
1. pendidikan agama diutamakan. Dasar pendidikannya adalah kitab veda (kitab suci orang India);
2. kasta brahmana menjadi penyelenggara dari pendidikan. Mereka menguasai hidup dan hanya kasta ini
yang mempunyai pengetahuan;
3. tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan mistik dengan ilmu
pengetahuan sebagai alatnya;
4. pendidikan untuk kaum perempuan tidak diperhatikan, kecuali untuk calon-calon penari kuil.
Pelaksanaan pendidikan diawali dengan pemberian munya (kalung suci), yaitu: seutas tali yang digantungkan
dari bahu kiri ke pinggang kanan. Munya sebagai tanda penerimaan dalam lingkungan keagamaan. Upacara
ini disebut upacara upanayana (udayana). Pemberian munya pada anak brahmana saat berumur 8 tahun,
sedang untuk anak ksatria pada usia 11 tahun, dan bagi anak waisya saat berusia 12 tahun. Selama
penyelenggaraan pendidikan, murid-murid tinggal bersama dengan gurunya, hidup sederhana dan bekerja
keras membantu keluarga gurunya. Sistem ini disebut sistem guru-kula (kula:murid), atau pendidikan
asrama. Guru dan istrinya dianggap sebagai orangtua oleh para murid. Sistem guru kula masih tetap
dipertahankan sampai masa India modern di samping sistem pendidikan yang lain (klasikal), terutama sekali
karena pengaruh Rabindranath Tagore. Ia adalah seorang tokoh pendidikan di India yang terkenal. Tokoh
lain yang besar pengaruhnya bagi pendidikan agama Islam di India adalah Sayyid Ahmad Khan.
1. Rabindranath Tagore
Lahir di Calcutta tanggal 7 Mei 1861. Dikirim untuk belajar di Inggris pada tahun 1877 untuk belajar ilmu
kehakiman. Tahun 1886 ia menikah dan gemar menjalani hidup secara pendeta. Pada tahun 1900 mendirikan
Shanti Niketan (panti perdamaian). Tahun 1913 ia mulai mengadakan perjalanan mengelilingi dunia. Tagore
adalah seorang pembaharu sosial, pendidik, pujangga, ahli musik dan ahli filsafat yang berusaha
memperjuangkan kemajuan bangsanya dan memperjuangkan tercapainya perdamaian dunia.
Hasil karyanya di bidang kesusastraan yang terkenal adalah Gitanjali (1913), dan merebut hadiah nobel bagi
kesusastraan. Tahun 1915 mendapat gelar Doktor honoris causa dalam bidang kesusastraan dari universitas
Calcutta dan tahun 1941 dari universitas Oxford. Pada tahun 1927 ia mengunjungi Jawa dan Bali, juga
mengunjungi Taman Siswa. Tagore meninggal pada usia 80 tahun di Santi Nikethan pada tahun 1941.
Bukunya yang terkenal adalah the Hope and Despair of Bengalie (1878), isinya adalah bahwa antara Timur
dan Barat harus ada kerjasama.
Cita-cita hidupnya adalah:
a. pembaharuan kebudayaan India lama dengan menggabungkan antara idealisme Timur dan realisme Barat.
Tapi tetap dengan pedoman bahwa India harus tetap memiliki sifat-sifatnya yang asli;
b. persaudaraan sedunia tanpa mengenal perbedaan kasta, kulit, bangsa, dan agama;
c. pembaharuan di lapangan sosial, memajukan rakyat dengan pendidikan rakyat, sehingga setiap desa
menjadi suatu Sriniketan (panti kemakmuran).
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran:
a. murid belajar dengan melakukan (mencoba sendiri), dengan kegiatan musik dan tari, dengan hidup dan
bekerja di alam bebas;
b. agama menjadi dasar sistem pendidikan asrama (sistem guru-kula);
c. kehidupan di sekolah harus otonom, yang berhak mengatur dan memerintah sendiri (self government).
Lembaga pendidikan yang berhasil ia dirikan: Shantiniketan (panti perdamaian), tahun 1901 di Bolpur (159
km dari Calcutta); Sriniketan (panti kemakmuran), sekolah pertanian dan perkebunan, tahun 1913;
Universitas Visva Bharati (Visva: dunia, Bharati: India), tahun 1921, merupakan penjelmaan perdamaian
2014
Landasan Pedagogik
dunia. Semboyannya jatra visvan bharati ekanidan: seluruh dunia berkumpul pada satu tempat, ia
menghendaki universitasnya menjadi pusat kebudayaan dunia. Fakultas-fakultasnya meliputi:
a. fakultas kala bhavana (fakultas kesenian);
b. fakultas sangit bhavana (fakultas musik);
c. fakultas hindi bhavana (fakultas sastra dan kebudayaan Hindu).
Pengaruh Tagore cukup besar di tingkat dunia atas usahanya memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan
Timur. Moh. Syafei dan Ki Hadjar Dewantara termasuk di antaranya yang terpengaruh juga prinsip
pendidikan dari Tagore.
2. Sayyid Ahmad Khan (1817-1896)
Lahir di Delhi pada tahun 1817. Ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran termasuk membaca Al Quran di
rumahnya sendiri. Ia adalah tokoh pendidikan yang besar di India, pendiri Universitas Islam di India
(Aligarch College, 1875). Pada tahun 1889 mendapat gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari
Universitas Edenburgh, dan meninggal dunia pada tahun 1899. Cita-citanya adalah mewujudkan masyarakat
Islam yang modern dengan mengambil Turki sebagai contoh. Semboyannya adalah tolonglah dirimu
sendiri, hanya dengan demikian engkau dapat maju. Beberapa usahanya di bidang pendidikan antara lain:
a. Mendirikan Alifarch College (universitas Islam), yang bertujuan: menciptakan pemimpin-pemimpin dan
sarjana-sarjana muslim yang sanggup mewujudkan masyarakat Islam yang modern. Universitas dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu: bagian Inggris dan Timur. Seluruh mahasiswa diwajibkan mempelajari agama
Islam. Orang Hidu dan Kristen juga diterima menjadi mahasiswa;
b. Pada tahun 1875 mendirikan Mohammadan Educational Conference, konferensi ini diadakan setiap tahun
sekali;
c. Tahun 1888 mendirikan organisasi Patriotic Association, yang bertujuan mengimbangi usaha-usaha
kongres India yang makin mengutamakan kepentingan-kepentingan golongan Hindu saja.
10
Landasan Pedagogik
2014
3. pendidikan untuk pegawai: setiap orang mempunyai kemungkinan menduduki jabatan tinggi. Untuk
menjadi pegawai harus menempuh ujian dulu. Para pegawai setiap 3 tahun sekali wajib menempuh ujian
ulangan, juga untuk kenaikan pangkat ujian ulangan harus ditempuh terlebih dahulu.
Lao Tse
Lao Tse lahir pada tahun 604 SM, ketika di Cina timbul kekacauan politik. Ia adalah seorang ahli mistik.
Ajarannya disebut Tao (jalan Tuhan atau sabda Tuhan). Manusia harus hidup selaras dengan Tao. Manusia
yang dapat berpadu hidupnya dengan Tao harus hidup selaras dengan Tao, dapat menahan hawa nafsunya,
dapat melenyapkan nafsu serakah, dan dapat mendengar duara Tao dalam kalbunya sendiri. Menurut ajaran
Tao, perang hanya akan memusnahkan manusia, dan kebahagiaan hidup tidak akan tercapai dengan kekuatan
senjata.
Konfusius (Kong Fu Tse), 551-479 SM
Konfusius adalah seorang ahli etika (etik: filsafat/kesusilaan, ilmu kesusilaan, ilmu tentang baik-buruk),
mengajarkan hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ajarannya dapat dipahami semua orang dan
tidak sulit. Menurutnya manusia harus bertindak sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Masingmasing harus mengenal tempat dalam lingkungannya dan dengan penuh kesadaran menjalankan tugasnya
masing-masing sebaik-baiknya (baik sebagai raja, tentara, pegawai, guru, dan sebagainya). Orang yang lebih
tinggi derajatnya harus memegang teguh Yen (dapat meraba hati orang yang derajatnya lebih rendah dengan
rasa kemanusiaan dan kasih sayang.
Rasa hormat dan memuliakan (Hiao) adalah kebajikan hidup yang tertinggi nilainya. Hiao juga mengatur
hubungan kekeluargaan antara anak dan orang tua, pegawai dengan raja, seorang sahabat kepada teman, adik
terhadap kakak dan sebagainya. Dengan jalan demikian maka negara akan aman dan damai, terhidar dari
bencana, karena setiap orang memahami tugasnya masing-masing.
Konfusius juga mengajarkan bahwa dalam segala hal manusia harus berpedoman pada peraturan yang telah
disusun oleh nenek moyang. Leluhurlah yang dijadikan teladan. Tradisi menguasai pandangan hidup mereka.
Itulah sebabnya maka penganut-penganut ajaran Konfusius bersifat ststia, tidak memandang ke depan akan
tetapi menoleh ke belakang ke alam yang telah lampau.
Konfusius berhasil mengumpulkan beberapa kesusastraan Cina yang disusun menjadi 4 jilid:
1. Buku tentang sejarah;
2. Buku yang berisis tentang syair-syair;
3. Buku tentang upacara-upacara, yang merupakan cermin kesusilaan;
4. Buku tentang metamorfosa.
Bukunya yang kelima adalah hasil karyanya sendiri tentang sejarah Lu, daerah kelahirannya. Kelima buku
tersebut dipandang sebagai buku suci dan menjadi dasar pendidikan di Cina secara keseluruhan.
11
2014
Landasan Pedagogik
BAB IV
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABAD PERTENGAHAN
A. Masa Renaissance
Renaissance adalah gerakan maknawiyah, yang merupakan reaksi terhadap sikap hidup abad pertengahan.
Renaissance (kelahiran kembali) kebudayaan klasik. Orang kembali mempelajari bahasa latin dan Yunani
serta filsafatnya. Ciri dari masa ini adalah manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha
mencari pedoman baru dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta mulai ditinggalkan, mengarah
pada masa kejayaan Republik Romawi. Cita-cita tersebut mendorong dipelajarinya berbagai pengetahuan.
Berbagai aliran muncul pada masa ini, seperti: humanisme, reformasi, dan kontra reformasi.
1. Humanisme
Lahir di Italia, pelopornya Petrarca dan Bocaccio. Dalam aliran humanisme, Tuhan sebagai pusat norma
tertinggi ditinggalkan, cita-cita manusia dicari pada diri manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan,
keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia. Dampak bagi pendidikan dan pengajaran: alat pendidikan
yang terpenting adalah mempelajari peradaban klasik. Tujuan utama pengajaran mempelajari peradaban
klasik, bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pendidikan jasmani juga mendapat tempat terhormat. Akibatnya,
pendidikan intelek mempunyai tempat yang terhormat dan menjadi maju, sedangkan pendidikan agama
menjadi terbelakang. Dasar pendidikan etika tidak lagi agama, tetapi etika alam.
Tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan gembira. Berani diartikan
sebagai percaya kepada diri sendiri, bukan taat kepada kekuasaan Tuhan seperti jaman pertengahan. Berani
pula untuk memperoleh kemashuran yang telah dicita-citakan oleh ahli filsafat pada jaman Yunani dan
Romawi. Bebas diartikan lepas dari ikatan gereja dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan
manusia kolektifistis seperti pada abad pertengahan. Gembira berarti menunjukkan dirinya kepada
kenikmatan duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti abad pertengahan. Pengaruh humanisme dalam
organisasi sekolah: orang berpendapat bahwa negara harus turut campur dalam pengelolaannya. Pengaruh
dalam penetapan bahan pelajaran: terdiri dari artes liberalis yang 7, dengan ditambah ilmu alam,
menggambar, dan puisi.
2. Reformasi
Awalnya muncul di Jerman, dipelopori oleh Luther dan Calvijn. Reformasi merupakan reaksi terhadap
tindakan gereja yang pada masa itu membebani rakyat dengan bermacam pajak. Penagnut aliran ini ingin
kembali pada ajaran nasrani, dan hanya mengakui injil sebagai satu-satunya sumber kepercayaan. Mereka
menyangkal kekuasaan Paus dan konsili-konsili (permusyawaratan gereja), karena pertentangan itulah
mereka disebut kaum protestan. Berbeda dengan humanisme yang bersifat aristokratis (tertuju hanya kepada
lapisan atas), dan membentuk sarjana; reformasi bersifat lebih demokratis, tertuju kepada seluruh lapisan
masyarakat. Dalam hal kepentingan, humanisme lebih tertuju pada kepentingan ilmu pengetahuan, estetika
dan filsafat, sedangkan dalam reformasi mengutamakan kepentingan agama dan tidak setuju dengan filsafat
Yunani. Bagi reformasi, bahasa latin dan Yunani hanya untuk memahami injil. Beberapa tokoh reformasi:
1). Luther
Merupakan seorang reformator dari Jerman. Pemikirannya dalam pendidikan:
a. semua anak harus mengunjungi sekolah;
b. anak-anak belajar hanya beberapa jam sehari, selebihnya waktu digunakan untuk mempelajari pekerjaan
tangan;
c. anak perempuan belajar satu jam dalam sehari, selebihnya mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga;
12
Landasan Pedagogik
2014
13
2014
Landasan Pedagogik
alam diselidiki dan diamati. Maka muncullah penemuan-penemuan hebat, seperti penemuan Copernicus
yang menyatakan bahwa dunia ini berputar mengelilingi matahari (bertentangan dengan pendapat
sebelumnya, yaitu Ptolomaeus bahwa bumilah yang menjadi pusat semesta alam). Banyak musafir yang
menjelajah ke segala jurusan untuk menemukan benua-benua baru. ketidaksanggupan ilmu-ilmu klasik
dalam menerangkan kenyataan-kenyataan itulah, maka dicari jalan baru.
Tokoh yang berperan pada masa ini adalah:
1. Francis Bacon (1561-1626)
Idenya dalam pendidikan adalah:
a. usaha-usaha untuk mencari metode baru;
b. penggunaan metode induksi;
c. penghargaan besar terhadap matapelajaran-matapelajaran realita: ilmu bumi, ilmu ayat, ilmu alam;
d. penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, nukan bahasa latin lagi.
2. Johan Amos Comenius (1592-1671)
Hasil karyanya yang terkenal adalah DIDACTICA MAGNA, yang menjelaskan tentang:
a. tujuan pendidikan: pendidikan hendaknya diarahkan pada kehidupan di alam baka, dicapai dengan
pembentukan ilmiah dan pendidikan budi pekerti serta kesalehan;
b. metode: pendidikan harus disesuaikan dengan alam;
c. hukum didaktik: kepastian; urutan yang tepat; kelancaran belajar; dan kecepatan belajar;
d. pendidikan kesusilaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, bertujuan mencapai 4 kebajikan dari Plato
(budi, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan).
14
Landasan Pedagogik
2014
2. Rationalisme
Aliran ini lahir di Prancis dan Descartes (1596-1650), berpendapat bahwa sesuatu itu dianggap benar jika
sesuai dengan akal fikiran. Fikiran manusia akan sanggup memecahkan segala persoalan. Untuk menuju ke
arah kemajuan dan kesempurnaan, ditempuh jalan fikiran yang sehat. Rationalisme merupakan kelanjutan
dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis dan tradisi, yang mulai tampak pada abad ke15 dan ke-16. menurut rationalisme, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pengamatan alat dria (induksi)
masih diragukan kebenarannya. Yang jelas dapat dipercaya adalah kenyataan, bahwa manusia itu berpikir. Ia
berpikir dengan akalnya, maka akal budinya itulah yang berkuasa dalam hidupnya.
Penyebab manusia berpikir tidak terletak pada manusia sendiri, tetapi pada Tuhan. Yang mengatakan hal itu
adalah budi atau akal kita. Budi itulah yang menetapkan norma-norma hidup. Rationalisme menempatkan
budi itu di atas wahyu Ilahi. Budi menetapkan apa yang dapat kita terima dan apa yang tidak, juga di
lapangan agama.
Beberapa ahli pendidikan besar yang menguasai paedagogik (ilmu mendidik) pada abad ke-18 di antaranya
adalah:
1. John Locke
Sistem pendidikannya sesuai dengan teori tabula-rasa, percaya bahwa pendidikan itu maha kuasa. Jiwa
seorang anak sama dengan sehelai kertas putih yang kosong, yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh
pendidik, sehingga semua pengetahuan datang dari luar karena pengaruh faktor-faktor lingkungan. Locke
tidak mempermasalahkan sama sekali pengaruh pembawaan si anak. Dalam paedagogik, aliran ini disebut
Paedagogis optimisme, sebagai lawan dari paedagogis pessimisme (nativisme) yang menganggap bahwa
perkembangan jiwa itu adalah hasil daripada faktor pembawaan belaka. Bagi Locke bentuk pengajaran yang
terbaik adalah belajar sambil bermain. Nilai formil lebih penting daripada nilai materiil, oleh karena itu
Locke lebih mengutamakan pembentukan kesusilaan daripada pembentukan akal.
Dalam pendidikan kesusilaan, manusia itu harus selalu dapat menguasai diri sendiri dan memiliki rasa harga
diri. Sejak kecil anak harus dibiasakan berbuat baik, untuk itu pendidik hendaknya memegang teguh
kewibawaannya. Ia tidak setuju dengan hukuman jasmani dan pemeberian hukuman.
Dalam pendidikan agama, Locke memperingatkan agar pelaksanaan pendidikan keagamaan tidak berlebihlebihan. Ia menganggap injil tidak tepat bagi anak-anak, kecuali beberapa ceritera sebagai bahan bacaan
anak-anak. Pengaruh Locke di Inggris tampak di sekolah-sekolah bagi anak-anak bangsawan (public school).
Ajaran dan cita-citanya sebagian kita jumpai lagi pada Rousseau dan kaum Philanthropijn.
2. J.J. Rousseau (1712-1778)
Cita-cita pendidikan Rousseau kita jumpai dalam bukunya Emile, yang ditulisnya bagi golongan
bangsawan dan kaum terpelajar. Ketika itu anak-anak golongan tersebut mendapat pendidikan dari gubernurgubernur, yang tidak mengenal perkembangan anak yang sewajarnya dan tidak memberikan kebebasan.
Tujuan pendidikan menurutnya adalah membentuk manusia yang bebas dan merdeka. Sifat pendidikan yang
dijalankan individualistis, anak harus dijauhkan dari pengaruh masyarakat, bahkan dari pengaruh orang
tuanya.
Dasar pendidikannya adalah pembawaan anak yang baik. Ia percaya bahwa anak sejak lahir berpembawaan
baik. Jika kelak anak itu berkelakuan buruk, hal itu disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh jahat dari
dunia sekitar/lingkungannya.
15
2014
Landasan Pedagogik
BAB V
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA ABAD KE-19
Pada abad ini, pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Beberapa penyebab terjadinya kemajuan
tersebut adalah:
1. Revolusi Prancis
Revolusi prancis yang terjadi sejak tahun 1789, berupa kebangkitan kasta ketiga menimbulkan gelombang
demokrasi hampir di seluruh Eropa. Kasta ini menuntut hak-haknya di lapangan politik, diikuti pula adanya
perlawanan terhadap kaum bangsawan dan agama. Perlawanan ini muncul akibat meluasnya cita-cita
pencerahan, yang mengemukakan teori tentang manusia yang mempunyai derajat sama, tidak terpengaruh
oleh kelahiran, kasta, atau kepercayaan. Semboyan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan bergema di
sluruh dunia Barat.
Pengaruhnya dalam bidang pendidikan, rakyat umum menuntut pula hak-haknya di lapangan pendidikan dan
pengajaran. Bahwa pengajaran jangan hanya dinikmati oleh kaum bangsawan dan hartawan saja. Orang
mulai menganggap bahwa sekolah sebagai suatu lembaga penting yang dapat memelihara dan memajukan
negara dan masyarakat. Oleh karena itu pengajaran harus diperluas dan harus diselenggarakan oleh negara
(bukan gereja). Revolusi di bidang pendidikan mencapai puncaknya ketika Konvensi Nasional berhasil
memberikan pendidikan gratis kepada semua warga negara (1791).
2. Revolusi Industri
Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu alam menyebabkan perubahan besar di sektor
industri. Perkembangan teknik menghasilkan penemuan-penemuan baru dan memungkinkan munculnya
berbagai industri, yang sebelumnya dikerjakan dengan tangan, mulai dikerjakan dengan mesin. Pabrik-pabrik
tumbuh di mana-mana. Revolusi industri ini dimulai di Inggris, kemudian tersebarluas hingga pada abad ke19 pengaruhnya tampak di hampir seluruh dunia.
Pengaruh revolusi industri di bidang pendidikan dan pengajaran cukup besar. Sejak itu pengajaran harus
diberikan pada jumlah murid yang besar (pengajaran massa). Sistem pengajaran sekepala diganti dengan
sistem pengajaran klasikal.
Di bawah ini beberapa tokoh pendidikan yang besar pengaruhnya pada abad ke-19, yaitu:
1. Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
Dilahirkan di Zurich (Swiss). Pestalozzi memulai usahanya di bidang pendidikan dengan mendirikan sebuah
rumah yang diberi nama Neuhof, yang dijadikannya rumah pendidikan untuk 50 orang anak-anak terlantar.
Anak-anak itu bekerja disitu, seperti bercocok tanam, bertenun, dan beternak. Sesudah itu baru diajarkannya
membaca, menulis, dan berhitung. Walaupun usahanya ini pernah gagal karena kurangnya dana, namun
akhirnya mengalami jaman keemasannya juga. Muridnya banyak dan memiliki staf guru-guru yang kuat. Ia
banyak mendapat kunjungan dari berbagai negara yang bermaksud untuk mempelajari metode mengajarnya.
Cita-cita pendidikannya, Pestalozzi menghendaki pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa
anak. Bakat yang dibawa anak sejak lahir harus dikembangkan, sehingga anak dapat mencapai kepribadian
yang sejati. Tugas pendidik adalah menolong anak dalam pembentukan diri sendiri. Pestalozzi menghendaki
perbaikan masyarakat melalui pendidikan individu dengan pertolongan keluarga, terutama oleh ibu. Dalam
didaktiknya, semua pengajaran harus berpangkal pada pengamatan benda-benda yang sebenarnya. Pestalozzi
membedakan tiga unsur yang harus dikembangkan oleh pengajaran, yaitu: Bunyi (kata); Bentuk; dan
Bilangan.
16
Landasan Pedagogik
2014
17
2014
Landasan Pedagogik
Frobel mencoba memberikan dasar filsafat pada sistim pendidikannya. Pokok ajarannya adalah sebagai
berikut: segala sesuatu merupakan satu kesatuan yang dikuasai oleh satu hukum yang sama dan sumber
yang sama, yaitu Tuhan. Tuhan ada pada segenap isi alam semesta. Tuhan menciptakan manusia menurut
contohnya. Oleh karena itu, manusia harus bekerja dan berkarya menurut contoh Tuhan. Dorongan untuk
mencipta ini ada pada setiap manusia, juga pada anak. Dorongan mencipta pada anak harus dikembangkan
dengan seksama, karena anak harus dibentuk menjadi manusia yang berbudi baik dan dapat menciptakan
serta memajukan kebudayaan.
Frobel menghendaki agar pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan alam anak-anak. Anak-anak harus
dibawa ke arah ketertiban, penguasaan diri, dan keaktifan. Hal itu dapat dicapai dengan jalan pekerjaan,
karena pada setiap anak selalu ada dorongan untuk bekerja. usaha Frobel untuk memuaskan dorongan ini
pada anak adalah dengan jalan menyuruhnya bekerja di kebun dan mengikuti kegiatan permainan yang
dipimpinnya sendiri. suruhlah anak itu bermain, tidak ada yang lain selain bermain, sampai ia berumur 7
tahun. Setiap anak mempunyai kebunnya sendiri di sekolah. dengan demikian dapat terlatih daya kerja anak
dan mereka belajar bergaul dengan teman-temannya.
Pada permainan Frobel banyak mempergunakan imajinasi anak, dengan jalan menyuruh anak sambil
bermain membuat dan menyusun bermacam-macam benda. Ia berpedoman pada suatu prinsip, bahwa saat
memberikan alat-alat permainan hendaknya diperhatikan urutan yang teratur, mulai dari benda-benda yang
sederhana, meningkat sampai pada benda yang paling rumit.
Karya Frobel yang terkenal dengan nama Spielgaben, terdiri dari 5 jenis alat permainan, yaitu:
a. terdiri dari sebuah kotak berisi 6 bola dari wol. Warnanya bermacam-macam seperti warna pelangi.
Anak-anak harus bermain dengan bola itu. Dengan itu mereka mendapatkan pengertian seperti: ke kiri- ke
kanan, ke muka ke belakang, dan sebagainya;
b. terdiri dari sebuah bola kayu, sebuah kubus kayu, dan sebuah silinder kayu. Bola dan kubus merupakan
suatu pertentangan, yakni dari gerak dan istirahat. Silinder adalah bentuk peralihan;
c. terdiri dari sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 kubus kecil. Anak-anak harus menyusun kubuskubus tersebut sampai timbul bentuk kehidupan (misal, 2 kubus disusun ke atas menjadi meja), dan
bentuk keindahan (misal, 4 kubus merupakan sebuah bujur sangkar);
d. sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 prisma;
e. sebuah kubus yang dibagi atas 27 kubus-kubus kecil.
Dengan alat permainan yang keempat dan kelima anak-anak harus menyusun bentuk-bentuk yang lebih
pelik. Disamping bahan-bahan tersebut, ia juga memberikan alat-alat lain seperti: bilah-bilah untuk disusun,
kertas-kertas anyaman, manik-manik. Semua alat tersebut berfungsi sama , yaitu mengembangkan kegiatan
sendiri. Selain itu anak-anak diberi pula kesempatan untuk mempelajari pelajaran seperti: menggambar,
bercerita, syair, mengamati binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pada prinsipnya, dengan permainan yang dapat
mengembangkan imajinasi anak, maka berkembanglah dorongan mencipta pada anak. Dengan demikian
Frobel mengubah prinsip sekolah, dari sekolah dengar menjadi sekolah kerja.
Tujuan pendidikan bagi Frobel adalah memperkuat daya mencipta pada manusia dengan mempergunakan
semua alat, dan dimulai sejak kecil.
18
Landasan Pedagogik
2014
BAB VI
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABAD KE-20
A. Pendahuluan
Pada abad ke-20 banyak muncul temuan-temuan baru baik di bidang kesenian, politik, pandangan hidup,
maupun yang berhubungan dengan hidup kejiwaan. Hal ini berpengaruh pada perkembangan paedagogik,
sehingga muncul bermacam aliran dalam paedagogik. Di bawah ini akan diuraikan beberapa aliran terbaru
dalam paedagogik beserta tokoh-tokohnya yang terkenal.
B. Paedagogik Kepribadian
Sebelum abad ke-19, sistim pengajaran yang digunakan adalah sistem pengajaran sekepala, murid secara
bergiliran seorang demi seorang datang kepada guru untuk memperdengarkan hafalannya. Mulai abad ke-19
muncul cita-cita memajukan rakyat umum, yang mengakibatkan lahirnya pengajaran klasikal (ingat:
Pestalozzi). Sistem klasikal lahir dari dorongan untuk menyebarkan pengajaran di kalangan rakyat umum
secara luas, sehingga setiap guru pada waktu yang sama harus memberikan pengajaran pada seluruh kelas.
Sistem ini masih berjalan sampai sekarang. Adanya cita-cita baru abad 20 menyebabkan guncangnya sendisendi sistem pengajaran klasikal tersebut. Muncul suatu sistim yang ingin menonjolkan ke depan
perkembangan individu. Sistem ini ingin mendidik manusia sebagai makhluk individu, menjadi orang yang
sadar akan dirinya sendiri dan bertanggungjawab, menjadi orang yang berpribadi. Sistim inilah yang
dinamakan sistem individuil.
Sistem tersebut didukung oleh dua aliran, yang erat sekali hubungannya satu sama lain, yaitu: paedagogik
individuil dan paedagogik kepribadian. Yang pertama menganggap individu sebagai objek pendidikan.
individu mewakili dirinya yang berdiri sendiri, memiliki nilai-nilai hidup dan pembawaan yang tertentu.
Individu inilah yang harus dikembangkan dan dididik karena individulah yang bertanggungjawab atas segala
tindakannya. Sedangkan yang kedua berpendapat bahwa hasil pendidikan itu hanya tergantung pada
kepribadian si pendidik. Yang menentukan apa yang harus dicapai dalam pendidikan bukanlah metodemetode, bukan buku-buku bacaan, organisasi sekolah, melainkan pada kepribadian yang mendidik dan
mengajar. Pendidik ibaratnya harus menjadi seorang seniman yang sanggup membentuk kepribadian anak.
Hal ini hanya dapat terjadi bila pendidik sendiri seorang yang berpribadi.
Dapat disimpulkan, bahwa pada paedagogik individuil tekanan diberikan pada kepribadian siswa, sedangkan
pada paedagogik kepribadian ditekankan pada kepribadian pendidik (guru). Kedua aliran ini sedikit sekali
perbedannya. Kesamaan keduanya adalah sama-sama ingin mendidik anak menjadi pribadi yang kuat.
Tokoh-tokohnya yang terkenal adalah:
1. Dr. Maria Montessori (1870-1952)
Ia adalah seorang dokter wanita yang pertama di Italia. Ia mendapat gelar doktor dalam ilmu ketabiban pada
1896. Dewasa ini, hampir di setiap negara mempunyai sekolah Montessori. Montessori menyusun
metodenya berdasarkan 3 prinsip pokok, yaitu:
a. prinsip ilmiah, segala sesuatu harus dikerjakan berdasarkan penelitian ilmiah. Itulah sebabnya metodenya
didasarkan pada pengamatan jiwa anak dengan teliti;
b. prinsip kebebasan, anak-anak tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan kehendak pendidik. Anak harus
bebas, dapat mencurahkan hatinya dengan spontan, karena mereka memiliki daya untuk mendidik diri
sendiri. Pada setiap masa perkembangan, anak mempunyai kebutuhan rohaniah yang berbeda. Menurut
ilmu hayat, suatu pembawaan berkembang dengan sempurna pada usia tertentu dan dapat pula menjadi
Sejarah Perkembangan Pendidikan
19
2014
Landasan Pedagogik
tumpul, bila saat untuk mengembangkan pembawaan itu tidak dipergunakan. Saat itu dinamakan masa
peka.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, masa peka ini berarti suatu masa dalam kehidupan yang
sangat baik bagi perkembangan sifat-sifat dan daya-daya tertentu. Itulah sebabnya maka tugas pemimpin
(guru di sekolah Montessori disebut pemimpin) ialah mempelajari anak-anak untuk dapat mengetahui,
bilamana pada mereka timbul masa peka bagi perkembangan sifat-sifat tertentu. Pemimpin harus
mempergunakan masa itu sebaik-baiknya untuk mengajarkan pengetahuan tertentu atau ketangkasan
dengan memilih alat pelajaran yang tepat.
Masa peka timbul secara spontan, untuk itu Montessori menghendaki agar anak dapat bekerja dalam
kebebasan. Sebab itulah ia sangat menentang pengajaran klasikal, yang memaksa anak-anak pada saat
yang sama mengerjakan hal-hal yang sama. Menurut metode Montessori, setiap anak harus berada di
bawah observasi pemimpin. Pada prakteknya, sekelompok anak di bawah pimpinan seorang pemimpin,
dan setiap anak diperhatikan secara individuil apa yang mereka perlukan pada saat tertentu.
c. Prinsip kegiatan sendiri. Secara alamiah, anak selalu melatih diri utnuk belajar mempergunakan fungsifungsi tertentu dengan baik. Untuk itu seorang pendidik tidak boleh menghalanginya, karena dengan jalan
itulah anak dapat berkembang. Pendidik harus membiarkan anak mencoba sendiri dan menemukan
sendiri. Itulah sebabnya maka di sekolah Montesori segala sesuatu disesuaikan dengan besar badan anakanak.
Untuk melaksanakan cita-citanya itu, Montessori mendirikan rumah kanak-kanaknya yang pertama dan
diberinya nama casa dei bambini. Ini adalah sebuah lembaga bagi kanak-kanak usia 3-7 tahun. Mereka
berada di sana sehari penuh dan tidak saja menerima pemeliharaan rohani, tapi juga jasmaninya.k usia 3-7
tahun. Mereka berada di sana sehari penuh dan tidak saja menerima pemeliharaan rohani, tapi juga
jasmaninya.Rumah kanak-kanak ini disusun sedemikian rupa, sehingga tidak menyerupai sekolah: tidak ada
bangku-bangku melainkan kursi-kursi dan meja-meja yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh kanakkanak; lemari-lemari dan perkakas dapur bagi kanak-kanak; mereka mendapat kesempatan untuk mencuci
dan tidur; banyak udara dan cahaya. Perkembangan jasmani anak diikuti dan dipimpin dengan seksama.
Latihan-latihan bercakap, latihan-latihan alat dria dan latihan-latihan yang berhubungan dengan hidup seharihari merupakan dasar dari yang diajarkan. Pengajaran diberikan dengan berperaga dan mempergunakan
sejumlah alat-alat pelajaran yang beraneka warna. Juga disediakan sebidang tanah untuk kebun sekolah.
Alat-alat pelajaran pada sekolah Montessori disusun disesuaikan dengan fase-fase perkembangan anak dan
dipergunakan pada:
a. Latihan susunan otot, seperti berjalan, berdiri, berlari, memakai dan membuka pakaian, memelihara
pekerjaan rumah tangga (misal: menata makanan di meja, mencuci piring, dan sebagainya), berkebun,
pekerjaan tangan, dan bersenam.
b. Latihan alat-alat indra
1) Alat peraba. Dengan meraba anak-anak harus dapat membedakan berbagai benda. Untuk membedakan
pengertian halus dan kasar anak-anak meraba papan yang halus dan yang dibubuhi ampelas;
2) Alat pencium. Anak-anak disuruh mencium roti, daging, bunga, dan sebagainya. Kemudian dengan
mata tertutup mereka mencium benda-benda itu dan dapat menyebut namanya.
3) Alat pengecap dan perasa temperatur. Anak disuruh mencecap berbagai zat, seperti garam, gula, cuka,
dsb untuk menanamkan pengertian manis, asin, asam, dsb. Perasa temperatur dilatih dengan menyuruh
anak meraba kantung-kantung karet yang diisi dengan air panas, hangat, dingin. Latihan-latihan
tersebut dilakukan dengan mata tertutup;
4) Alat daya ingat. Beberapa di antaranya seperti: balok kayu yang mempunyai 10 lubang. Kedalam
lubang dapat dimasukkan silinder-silinder dari berbagai ukuran (tidak sama besarnya). Anak harus
20
Landasan Pedagogik
2014
memasukkan silinder-silinder itu ke dalam lubang-lubang. Bila memasukkan silinder ke dalam lubang
yang tidak pas ia dapat melihat sendiri adanya kesalahan.
5) Alat pendengar.
- dua pasang kotak, yang kalau diguncang menimbulkan suara yang berbeda. Anak harus mencari
pasangan kotak-kotak yang sama bunyinya;
- dua pasang genta, masing-masing merupakan nada yang berurutan tingginya. Anak harus mencari
nada-nada yang sama dari kedua pasangan genta tersebut;
- permainan ketenangan. Kelas digelapkan, anak-anak harus mendengarkan perkataan pemimpin
yang diucapkan dengan berbisik, kemudian mereka menjalankan perintah-perintah yang diberikan
dengan berbisik pula.
c. Latihan akal
Latihan dan alat-alat di atas adalah bagi anak-anak yang berusia 5 tahun ke bawah. Setelah anak memiliki
suatu kecekatan dalam mempergunakan bermacam benda dan jiwanya telah diperkaya dengan bermacam
tanggapan dan pengertian, mata dan tangannya telah terlatih, maka anak telah siap untuk belajar menulis,
membaca, dan berhitung.
1) Menulis. Pelajaran menulis diberikan bila masa peka nya telah tiba. Mula-mula anak belajar mengikuti
bentuk huruf-huruf yang dibuat dari ampelas dengan jarinya. Kemudian ia harus dapat melukiskan bentuk
huruf-huruf itu tanpa contoh. Setelah itu ia mempelajari bunyi huruf-huruf itu. Tanpa disadari anak
belajar membuat huruf-huruf dan pada suatu saat tiba-tiba ia sampai pada penemuan: bahwa ia dapat
menulis;
2) Membaca. Latihan membaca yang pertama dilakukan dengan jalan menempatkan di muka anak beberapa
benda dengan namanya. Awalnya anak membacanya dengan perlahan, lalu datang komando capat, dan
lebih cepat lagi. Latihan lain dengan memperlihatkan mainan dengan namanya yang telah ditulis pada
potongan kertas. Latihan yang agak sulit dengan memberikan potongan- potongan kertas yang telah
ditulis dengan pertanyaan-pertanyaan dan tugas. Anak harus membacanya dan melaksanakan tugas itu.
3) Berhitung. Awalnya dengan mempergunakan alat pelajaran yang terdiri dari 10 buah bilah yang
panjangnya 1-10 dm, masing-masing bilah bergantian diberi warna merah dan biru. Untuk
menghubungkan angka dan bilangannya, maka pada bilah-bilah itu dituliskan angka-angkanya.
Mempelajari bilangan-bilangan 1-10 berlangsung menurut 3 tingkatan belajar.
21
2014
Landasan Pedagogik
difahaminya. Metode tersebut adalah untuk anak-anak usia 6-9 tahun, yang belum dapat diberi tugas-tugas
bulanan secara tertulis diadakan kelas-kelas Sub Dalton, yang biasanya dipimpin oleh seorang guru.
Ruang kelas dibagi atas 4 sudut kelas, yakni untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung, dan
menggambar. Setiap sudut mempunyai sebuah meja besar yang cukup dipergubakan untuk 12 orang anak.
Kebebasan anak-anak lebih dibatasi lagi, karena bila seorang anak sudah luai dengan satu pelajarannya pada
sebuah sudut, maka ia harus tetap bekerja di sana minimal 20 menit. Anak-anak diberti bantuan secara
individuil dan sebanyak mungkin disuruh bekerja sendiri. Tetapi mereka diperbolehkan juga untuk bekerja
bersama-sama.
C. Paedagogik Sosial
Paedagogik sosial modern lahir pada abad ke-20, mengemukakan bahwa individu itu baru berarti bila ia
menjadi bagian organis dari masyarakat. Tokoh-tokohnya yang terkenal di antaranya adalah: John Dewey
dan Kerschensteiner, yang menjadi pelopor Arbeitsschule (sekolah kerja). Dewey berpendapat bahwa
sekolah mempunyai tujuan sosial. Segala tujuannya harus tunduk pada tujuan itu. Sekolah harus merupakan
pencerminan kembali dari masyarakat yang bercita-citakan demokrasi.
Pendapat Kerschensteiner senada dengan Dewey, tugas sekolah adalah membentuk warga negara, yang
harus melaksanakan pekerjaannya dengan penuh perasaan tanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat. Baginya bentuk masyarakat yang tertinggi adalah negara. Pemupukan semangat bekerja adalah
yang terpenting, bukan hanya banyak mengetahui. Itulah sebabnya sekolah kerja benar-benar bertentangan
dengan sekolah dengar. Menurut Dewey pula, sekolah itu harus merupakan masyarakat dalam bentuk kecil
(embryonic community life), karena sekolah harus berguna bagi pembentukan sosial.
1. John Dewey (1859-1952)
Dilahirkan di Vermont (Amerika) pada tahun 1859. menjadi mahaguru dalam ilmu filsafat dan paedagogik
pada universitas di Chicago tahun 1895, dan di New York (1904). Buku berharga yang pernah ditulisnya
adalah School and Society dan How we Think.
Dewey mendirikan sebuah sekolah untuk mencoba metode pengajarannya dan untuk menghubungkan hasilhasil studi teoritisnya dengan kegiatan-kegiatan sosial. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu harus dicoba
dengan praktek.
22
Landasan Pedagogik
2014
23
2014
Landasan Pedagogik
anak-anak dan apabila waktunya telah tiba, itulah yang disebut dengan masa peka ana telah datang. Dan
semuanya telah diatur oleh alam.
Dalam prinsip kemerdekaan, kemerdekaan adalah milik semua makhluk, bahwa setiap makhluk ingin
memiliki kemerdekaan (kebebasan), dalam hal anak dapat dibedakan kemerdekaan lahir atau kemerdekaan
batin. Montessori juga mendirikan casa de bambini, casa de bambini bukan merupaka kelas namun suasane
kekeluargaan yang diciptakan, anak mendapatkan kebebasan sebesar-besaernya. Peralatan-peralatan yang
serba kecil yang dapat mempermudah anak-anak untuk mengoprasikannya, serta kamar-kamar yang dihias
dengan gambar-gambar yang indah. Pendidik tidak disebut guru namun dia disebut pemimpin. Pekerjaan
diberikan secara individual sesuai dengan amsa peka mereka. Pelajaran yang diajarkan juga merupakan
latihan di dalam kehidupan sehari-hari. Tentang kebersihan gigi memotong kuku dan sebagainya. Casa de
bambini sendiri juga memiliki arti pendidikan anak-anak kecil.
4. Dr Ovide Decoly.
Decoly dalam prinsipnya memposisikan pendidikan di dalam membentuk manusia yang berperasaan sosial
dan bercita-cita sosial. Hal seperti ini dapat dicapai dengan cara:
1. Bergaul dengan anak-anak lain dan juga bergaul dengan binatang.
2. Mengerjakan tugas tertentu sebagai alat untuk melatih perasaan tanggung jawab.
Sekolah menuturut Decoly adalah untuk hidup dan oleh hidup. Anak harus dapat di didik untuk dapat
bertahan hidup dala masayarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat anak. Anak dipersiapkan untuk
pembentukan individu dan anggota masyarakat. Oelh karena itu anak-anak harus mempunyai pengetahuan
tentang dirinya sendiri, tentang hasrat dan cita-citanya dan pengetahuan tentang dunianya, pengetahuan anak
harus bersifat subjektif dan objektif.
Decoly berjasa di dalam lapangan psikologi anak dan didaktik. Dia memiliki dua cara di dalam menbgenal
anak yaitu:
a. Observasi (pengamatan dengan seksama)
b. Tes (pemeriksaan)
Kedua cara ini sangat berkaitan sekali sebab cara yang kedau lahir dari cara yang pertama, dia meneliti anak
perempuannya sendiri dalam perkembangan pengertian tentang angka. Dia juga menyumbangkan dua
pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yang merupakan hal yang khas dari Decoly
yaitu:
a. Globalisasi (keseluruhan) dari penelitiannya dia menetapkan bahwa anak-anak mengamati secara global
(keseluruhan), keseluruhan terlebih dahulu daripada bagian-bagian, dan ini berdasar kepada psikologi
totalitas. Bagi dia mengajarkan kalimat lebih mudah daripada mengajarkan kata-kata lepas. Metode ini
bersifat ideo visual.
b. Cetre dinterest : yaitu penyeldikan di dalam psikologi yang menetapkan bahwa anak-anak memiliki
minat-minat yang spontan. Eplajran disesuaikan dengan minat-minat yang spontan tersebut.
5. Dr Helen Parkhust (1889- )
Parkhust terkenal dengan rencana daltonnya, pengaruh rencana dalton ini menyebar luas ke berbagai negara
eropa terutaama Inggris, jepang dan Tiongkok. Dalton Plan sebagai suatu pengajaran yang berlaku di
amerika. Prinsip pembelajran dalton adalah sebagai berikut :
a. Efisiensi : yang dimaksud dengan prinsip efisiensi adalah latihan hidup anak dicapai dengan tugas-tugas
pekerjaan dalam pengajaran, tugas dirancang sedemikian hingga sungguh praktis dan bermanfaat bagi
kehidupan anak.
24
Landasan Pedagogik
2014
b. Prinsip Kebebasan : prinsip kebebbasan disini dimaksu anak dapat dengan bebas memilih tugas-tugas
yang ingin diselesaikantanpa paksaan dan tekanan dari manapun, namun kebebabsan disini masih terikat
kepada norma-norma dasar yang berlaku.
c. Prinsip kerjasama : dalam prinsip kerjasama adalah interaksi terpimpin, hubungan antara guru dan murid
dan antar murid sendiri. Semua pihak akan dapat saling menerima dan saling memberi seta saling
mendapat keuntungan.
d. Prinsip kerja sendiri: di dalam prinsip dalton kerja sendiri ialajh anak diharapkan dapat berfikir sendiri
tanpa bantuan orang lain, anak berkerja dengan kemampuan sendiri, dan tidak terlalu dinilai dari hasil
kerjanya.
6. Dr, Rabindranath Tagore (1861-1941)
Ia tokoh humanis dari india, prinsip pendidikannya didasari dari kondisi sosioantropologis di india saat itu
yang masih menganut sistem kasta. Pendidikan mendahulukan golongan atasan karena golongan ini lah yang
memiliki pengaruh kepada rakyat jelata dan diharapkan golonagn atasan dapat memberikan (meneteskan)
pendidikan dan pengajaran ke pada rakyat jelata. Pendidikan baginya adalah untu seluruh rakyat dan
dilakuakn oleh rakyat, pandangan ini mempengaruhi proses pendidikan di Indonesia seperti sekolah kerja
kayutanam dan taman siswa.
Dia juga menekankan kepada pendidikan ketuhanan untuk pembentukan kata hati, dia tidak membedakan
agama yang satu dengan agama yang lain. Dan pendidikan sebaiknya diselenggarkan oleh asrama agar dapat
dilakukan pembinaan yang intensif.
25
2014
Landasan Pedagogik
BAB VII
SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
A. Pendidikan Pada Zaman Purba Hingga Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda
1. Zaman Purba.
Latar Belakang Sosial Budaya. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, kebudayaan yang
berkembang dalam masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman Purba disebut kebudayaan
paleolitik. Adapun kebudayaan pada kurang lebih 1500 tahun SM yang lalu disebut kebudayaan neolitik..
Kebudayaan masyarakat pada zaman purba tergolong kebudayaan maritim. Kepercayaan yang dianut
masyarakat antara lain animisme dan dinamisme. Masyarakat dipimpin oleh oleh ketua adat. Namun
demikian ketua adat dan para empu (pandai besidan dukun yang merupakan orang-orang pandai) tidak
dipandang sebagai anggota masyarakat lapisan tinggi, kecuali ketika mereka melaksanakan peranannya
dalam upacara adat atau upacara ritual, dll. Sebab itu, mereka tidak memiliki stratifikasi sosial
yang tegas, tata masyarakatnya bersifat egaliter. Adapun karakteristik lainnya yakni bahwa mereka hidup
bergotong-royong.
Pendidikan. Tujuan pendidikan pada zaman ini adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela
diri, hidup bermasyarakat, taat terhadap adapt dan terhadap nilai-nilai religi (kepercayaan) yang mereka
yakini. Karena kebudayaan masyarakat masih bersahaja, pada zaman ini belum ada lembaga pendidikan
formal (sekolah). Pendidikan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga dan dalam kehidupan keseharian
masyarakat yang alamiah. Kurikulum pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap dan nilai mengenai
kepercayaan melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah nenek moyang, pendidikan
keterampilan mencari nafkah (khususnya bagi anak laki-laki) dan pendidikan hidup bermasyarakat serta
bergotong royong melalui kehidupan riil dalam masyarakatnya. Pendidiknya terutama adalah para orangtua
(ayah dan ibu), dan secara tidak langsung adalah para orang dewasa di dalam masyarakatnya. Sekalipun ada
yang belajar kepada empu, apakah kepada pandai besi atau kepada dukun jumlahnya sangat terbatas,
utamanya adalah anak-anak mereka sendiri.
2. Zaman Kerajaan Hindu-Budha.
Latar Belakang Sosial Budaya. Nenek moyang kita pada zaman ini umumnya tinggal di daerah subur dekat
pesisir pantai. Mereka melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang dari India yang singgah dalam
perjalanannya. Hubungan dagang semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan itu ke dalam masyarakat
kita masuklah kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang India. Antara lain berupa bahasa, tulisan, agama,
termasuk juga sistem pemerintahan yang berlaku di India. Masuknya pengaruh kebudayaan tersebut di atas
telah menimbulkan perubahan keadaan sosial-budaya masyarakat setempat. Para ketua adat di negeri kita
zaman itu lambat laun berusaha menyamai raja di India. Diantara para ketua adat ada yang dinobatkan atau
menobatkan diri menjadi raja-raja lokal. Struktur sosial yang padaawalnya bersifat egaliter (tidak mengenal
stratifikasi sosial yang tegas) juga turut berubah. Maka timbullah dua golongan manusia, yaitu: golongan
yang dijamin dan golongan yang menjamin. Raja dengan para pegawainya berstatus sebagai yang dijamin,
sedangkan rakyat jelata berstatus sebagai yang menjamin. Sebagaimana di India, terdapat stratifikasi sosial
berdasarkan kasta, yakni: kasta Brahmana, Ksatria, Waisa, Syudra, dan Paria. Sekalipun stratifikasi sosial
semacam itu tidak berlaku secara menyeluruh dan tegas di dalam masyarakat kita (misal: bagi penganut
animisme, dinamisme dan Budha yang juga telah ada saat itu), namun batas pemisah kelas sosial antara yang
dijamin dan yang menjamin tampak jelas. Menurut para ahli, paling lambat pada abad ke 5 Masehi telah
dimulailah zaman sejarah di negeri kita. Hal ini ditandai dengan ditemukannya tulisan tertua (tulisan huruf
Palawa bahasa Sansekerta) oleh para ilmuwan sejarah di dekat Bogor dan Kutai.
26
Landasan Pedagogik
2014
Pendidikan. Pendidikan pada zaman ini, selain diselenggarakan di dalam keluarga dan didalam kehidupan
keseharian masyarakat, juga diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan
(Paguron) atau Pesantren. Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada
awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para
empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana. Terdapat tingkatan guru: pertama, guru
(perguruan) keraton, di sini yang menjadi murid-muridnya adalah para anak raja dan bangsawan; kedua
adalah guru (perguruan) pertapa, di sini yang menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata.
Namun demikian para guru pertapa juga biasanya selektif dalam menerima seseorang untuk menjadi
muridnya. Ini antara lain merupakan implikasi dari feodalisme yang berkembang saat itu. Pendidikan
bersifat aristokratis, artinya masih terbatas hanya untuk minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan
Ksatria, belum menjangkau masyarakat mayoritas, yaitu anak-anak kasta Waisya dan Syudra, apalagi bagi
anak-anak dari kasta Paria. Pada zaman ini pengelolaan pendidikan bersifat otonom, artinya para pemimpin
pemerintahan (para raja) tidak turut campur mengenai pengelolaan pendidikan, pengelolaan pendidikan
bersifat otonom di tangan para guru atau pandita. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta
dididik menjadi penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang
berlaku saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama,
bahasa sansekerta termasuk membaca dan menulis (huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat
atau membuat candi, dan bela diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya
(perguruan), maka metode atau cara-cara pendidikannya pun adalah Sistem Guru Kula. Dalam sistem ini
murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
Pada zaman berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan Sriwijaya (di Palembang), telah
terdapat Perguruan Tinggi Budha. Selain dari dalam negeri sendiri, murid-muridnya juga berasal dari
Tiongkok, Jepang, dan Indocina. Darmapala sangat terkenal sebagai maha guru Budha. Perguruan-perguruan
Budha menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya. Mungkin sekali candi Borobudur, Mendut, dan
Kalasan merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha. Perhatikan hasil sastra yang ditulis para empu
(pujangga) yang bermutu tinggi. Contoh: Pararaton, Negara Kertagama,Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda.
Para pujangga yang terkenal antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Panuluh, dan Empu Prapanca
(Idit suhendi, dkk, 1991).
3. Zaman Kerajaan Islam
Latar Belakang Sosial Budaya. Nusantara memiliki letak yang strategis dalam rangka pelayaran dan
perdagangan. Ke negeri kita berdatangan pula para saudagar beragama Islam. Melalui mereka para raja dan
masyarakat pesisir memeluk agama Islam. Pada pertengahan abad ke-14, kota Bandar Malaka ramai
dikunjungi para saudagar dari Asia Barat dan Jawa (Majapahit). Melalui para saudagar dari Jawa yang
masuk memeluk agama Islam, maka tersebarlah Islam ke pulau Jawa. Dalam penyebaran agama Islam di
pulau Jawa Anda juga mungkin masih ingat akan jasa para wali yang dikenal sebagai Wali Sanga. Akhirnya
berdirilah kerajan-kerajaan Islam.
Pemerintahan pada zaman ini dipimpin oleh raja. Di dalam wilayah kerajaankerajaan Islam umumnya
masyarakat tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Sesuai ajaran Islam, masyarakat tidak
membedakan manusia berdasarkan keturunan atau kasta. Sekalipun zaman ini masih tetap terdapat kelompok
raja dan para bangsawan/para pegawai di satu pihak, dan terdapat kelompok rakyat jelata di pihak lain,
namun feodalisme di kalangan masyarakat pada umumnya mulai ditinggalkan.
Pendidikan. Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan Islam diarahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah
S.W.T., sehingga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui iman, ilmu dan amal. Selain
berlangsung di dalam keluarga, pendidikan berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti: di
langgar-langgar, mesjid, dan pesantren. Lembaga perguruan atau pesantren yang sudah ada sejak zaman
Hindu- Budha dilanjutkan oleh para wali, ustadz, dan atau ulama Islam. Kurikulum pendidikannya tidak
Sejarah Perkembangan Pendidikan
27
2014
Landasan Pedagogik
tertulis (tidak ada kurikulum formal). Pendidikan berisi tentang tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah
S.W.T.), Al-Quran, hadist, fikih, bahasaArab termasuk membaca dan menulis huruf Arab.
Pendidikan adalah hak semua orang, bahkan semua orang wajib mencari ilmu, mendidik diri atau belajar.
Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan dikelola oleh para
ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan
pendidikanbersifat otonom).
Metode atau cara-cara pendidikan. Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi, tergantung dengan
sifat materi pendidikan, tujuan, dan peserta didiknya. Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah
atau tabligh (wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) biasanya
dilakukan di mesjid; mengaji Al-Quran dan sorogan (cara-cara belajar individual). Dalam metode sorogan
walaupun para santri bersama-sama dalam satu ruangan, tetapi mereka belajar dan diajar oleh ustadz secara
individual. Cara-cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu dilakukan pula
melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para pandita Hindu-Budha, hanya saja isi ajarannya
diganti dengan ajaran yang Islami. Demikian pula dalam sistem pesantren atau pondok asrama. Dilanggar
atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al-Quran dan materi
pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di
pesantren.
4. Zaman Pengaruh Portugis dan Spanyol.
Latar Belakang Sosial-Budaya. Pada awal abad ke 16 ke negeri kita datanglah bangsa Portugis, kemudian
disusul oleh bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang kedatangan mereka juga disertai oleh missionaris yang
bertugas menyebarkan agama Katholik. Pada akhir abad ke-16 mereka meninggalkan negeri ini karena
sering mendapat pemberontakan terutama dari Sultan Ternate, karena perdagangan rempah-rempah sudah
tidak menguntungkan lagi, dan karena kalah dalam peperangan melawan Belanda.
Pendidikan. Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran
agama Katholik. Demi kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di Ternate,
selain itu didirikan pula di Solor. Kurikulum pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik, ditambah
pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka.
Pendidikan yang lebih tinggi diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda
yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Pada tahun 1546, di Ambon telah ada tujuh kampung yang
penduduknya memeluk agama Nasrani Katolik.
5. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Latar Belakang Sosial Budaya. Pada tahun 1596 bangsa Belanda telah datang ke negeri kita. Tujuan
kedatangan mereka adalah untuk berdagang. Pada tahun 1602 mereka mendirikan VOC. Karena VOC
merupakan badan perdagangan milik orang-orang Belanda yang beragama Protestan, maka selain berupaya
menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Kekuasaan VOC akhirnya
diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda, karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan
Pemerintah Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain: (1)
berlangsungnya kolonialisme, (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian
yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia, (3) terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa
dengan urutan dari lapisan tertingi s.d. terbawah sebagai berikut: bangsa Belanda, golongan orang Timur
Asing, golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi. Sejak berkuasanya
bangsa Belanda, bangsa kita ditindas dan diadu domba, kekuasaan para raja dirampasnya, dan kekayaan alam
Indonesia diangkutnya.
28
Landasan Pedagogik
2014
Sesungguhnya bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan ini, perlawanan dan pemberontakan
dilakukan oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan yang telah
berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan
kemelaratan serta kebodohan. Seiring perjuangan bangsa yang tak pernah padam, pada awal abad ke-20
muncul tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas kekeliruan politik
penjajahan pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung
dalam jalur politik maupun pendidikan. Coba Anda urai kembali sejarah berbagai perkumpulan atau
organisasi pergerakan nasional beserta usaha-usahanya yang timbul sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908
sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Pendidikan. Implikasi dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia pada zaman ini, secara
umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda; Kedua, pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat dan
Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan demi merebut kembali
kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional. Berikut ini mari kita kaji kondisi
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Adapun pendidikan yang
diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan Nasional akan kita kaji pada kegiatan pembelajaran 2.
a. Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan
oleh VOC. VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk
misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di
pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk
Katholik yang telah disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun
1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya
sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan
belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Muridmuridnya berasal dari anakanak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk
sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk
pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat
sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai
utara Jawa 327 orang, Makasar 50 orang, Timor, 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang,
Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
b. Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai kelanjutan dari zaman VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda pun
mengecewakan bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1) Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa menyebarkan
pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini tidak terwujud.
2) Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi
rakyat juga diabaikan.
Sejarah Perkembangan Pendidikan
29
2014
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Landasan Pedagogik
Tahun 1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-undang Pengajaran yang
dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang menyertainya yang
dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia,
melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi
penganut Protestan.
Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan Culturstelsel (Tanam
Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda. Karena untuk hal ini
dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur
Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana anggaran belanja negara sebesar f 25.000 tiap tahunnya
untuk mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau
pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah (di tiap keresidenan). Namun sekolah ini
hanya diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan anak-anak rakyat
jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang dicanangkan
sejak 1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka
pada tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama disurakarta, dan menyusul di kotakota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anak-anak golongan priyayi.
Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima bekerja untuk
pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan syarat dapat lulus ujian. Syaratsyarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada tanggal 10 September 1864. Demi kepentingan itu di
Batavia didirikanlah semacam sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger
School).
Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
Tahun 1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir untuk
melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini
berimplikasi pada perluasan sekolah.
Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah
Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata.
Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz
mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama, mendirikan Sekolah Desa yang
diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah
desa; kedua, memberi corak sifat ke-Belanda-an pada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah Kelas
I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan)
dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka
anak-anak pribumi mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan. Surat Menteri
Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa
perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan bagi kalangan
Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan yang
bersekolah hanya 3,32%.
Ciri-ciri pendidikan. Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi pendidikan
bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak
bumi putera dari golongan priyayi; kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau
pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:1)
Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan
untuk kalangan Bumi Putera; 2) Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan
dipolakan menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek
menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek
30
Landasan Pedagogik
2014
merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera yang asing dengan budaya dan bangsanya
sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda; 4) Menghambat
gerakan nasional; dan 5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional
(kemerdekaan).
B.
31
2014
Landasan Pedagogik
1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara
(Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Moch. Sjafei (INS
Kayutanam) dsb.
2) Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh: Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Sumatera Tawalib di Padangpanjang.
Selain itu, sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini
(di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (diSumatera). Kebijakan dan praktek
pendidikan yang diselenggarakan rakyat dan kaum pergerakan antara lain sebagaimana diuraikan berikut
ini:
a. R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus.
Sekalipun tinggal di daerah yang berjauhan, R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus
menghadapi masalah yang relatif sama. Mereka melihat kepincangan dalam masyarakat dan ketidak adilan
terhadap wanita, sehingga menghambat kemajuan kaum wanita karena adat kebiasaan yang berlaku pada saat
itu. Sebab itu, baik R.A. Kartini, Dewi Sartika, maupun Rohana Kudus memiliki cita-cita yang relatif sama
pula, yaitu keinginan untuk bebas, berdiri sendiri, serta membebaskan kaum wanita (gadisgadis) Indonesia
lainnya dari ketertinggalan dan ikatan adat kebiasaan. Mereka masingmasing berupaya memperjuangkan
emansipasi kaum wanita demi perbaikan kedudukan dan derajat kaum wanita untuk mengejar kemajuan
melalui upaya pendidikan. Upayaupaya pendidikan yang dilakukan mereka adalah:
1) R.A. Kartini (1879-1904): Pada tahun 1903 Ia membuka Sekolah Gadis di Jepara, dan setelah
menikah ia membukanya lagi di Rembang. Karena usianya yang relatif pendek usaha Kartini di bidang
pendidikan tidak terlalu banyak, namun ia telah memberikan petunjuk jalan, melakukan rintisan
pendidikan bagi kaum wanita. Citacitanya memberikan gambaran perjuangan dan cita-cita kaum wanita
Indonesia.
2) Rd. Dewi Sartika (1884-1947): Pada tahun 1904 Ia mendirikan Sakola Isteri (Sekolah Isteri). Murid
pertamanya berjumlah 20 orang, makin lama muridnya bertambah. Pada tahun 1909 sekolah ini melepas
lulusannya yang pertama dengan mendapat ijazah. Pada tahun 1912 di 9 kabupaten seluruh Pasundan
telah dijumpai sekolah semacam Sekolah Isteri Dewi Sartika. Pada tahun 1914 Sekolah Isteri diganti
namanya menjadi Sakola Kautamaan Isteri (Sekolah Keutamaan Isteri), dan pada tahun 1920 tiap-tiap
kabupaten di seluruh Pasundan mempunyai Sakola Kautamaan Isteri. Adapun untuk melestarikan
sekolah-sekolahnya itu dibentuk Yayasan Dewi Sartika.
3) Rohana Kuddus (1884- 1969): Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada agamanya
dan sebagaimana kedua tokoh di atas ia giat sekali mempelopori emansipasi wanita. Selain sebagai
pendidik, ia pun adalah wartawan wanita pertama Indonesia. Sebagaimana dikemukakan I. Djumhur dan
H. Danasuparta (1976), pada tahun 1896 (pada usia 12 tahun) Rohana telah mengajarkan membaca dan
menulis (huruf Arab dab Latin) kepada teman-teman gadis sekampungnya. Pada tahun 1905 ia
mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang. Pada tgl. 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan
Wanita Minagkabau yang diberi nama Kerajinan Amai Setia yang kemudian dijadikan nama
sekolahnya. Rohana juga berjuang menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita. Pada tgl 10 Juli 1912
Rohana menjadi pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang yang diberi nama Soenting
Melajoe. Kurikulum pendidikan mereka memiliki kesamaan pula, yaitu berkenaan dengan membaca,
menulis, berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan kewanitaan agar mereka dapat berkarya.
b. Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budi Utomo dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908) menegaskan bahwa
tujuan perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa Indonesia, terutama
dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang, teknik industri, dan kebudayaan. Untuk itu
Budi Utomo pada tahun 1913 mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan mendirikan tiga Sekolah Netral di
32
Landasan Pedagogik
2014
Solo dan dua di Yogyakarta. Pada tahun 1918 mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian Sekolah
Guru Kepandaian Putri untuk Sekolah Kartini, enam Normaal School, dan sepuluh Kursus Guru Desa, dsb.
Pada tahun itu sekolah-sekolah Budi Utomo telah berkembang hingga jumlahnya kurang lebih mencapai 480
(H.A.R. Tilaar, 1995).
c. Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912 K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah
di Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai sekolahnya, didirikan dalam rangka memberikan
pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, untuk mengatasi
kristenisasi, dan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang melaksanakan ajaran al-Quran dan Hadits
sesuai yang diajarkan Rosululloh (Nabi Muhammad S.A.W).
Dasar/asas dan Tujuan Pendidikan. Pendidikan Muhammadiyah berasaskan Islam dan berpedoman kepada
Al-Quran dan Hadits. Tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah membentuk manusia muslim berakhlak
mulia, cakap, percaya diri dan bergunabagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: berjiwa tauhid yang murni; beribadah kepada Allah; berbakti kepada orang tua dan baik
kepada kerabatnya; memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya; berilmu pengetahuan dan
mempunyai kecakapan; dan cakap memimpin keluarga dan masyarakat (Abu Ahmadi, 1975).
Penyelenggaraan Pendidikan. Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan Majelis Pengajaran. Sekolah-sekolah itu di
samping memberikan pendidikan agama Islam, memberikan juga berbagai mata pelajaran seperti di sekolahsekolah Pemerintah. Usaha-usaha lain berupa perluasan pengajian-pengajian (di bawah bimbingan Majelis
Tabligh), menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan mesjidmesjid, madrasah-madrasah, pesantrenpesantren, dan sebagainya. Pada zaman Belanda, Muhammadiyah mempunyai bagian-bagian sekolah:
Taman Kanak-kanak (Busthanul Atfal)
Sekolah kelas II
Sekolah Schakel
HIS
MULO
Inheemse Mulo
Normaalschool
Kweekschool
HIK
AMS
Sekolah-sekolah agamanya:
Ibtidaiyah (SD dengan dasar Islam)
Tsanawiyah (Sekolah Lanjutan dengan dasar Islam)
Diniyah, yang hanya meberikan pelajaran agama saja
Muallimin/Muallimat (SGB Islam)
Kulliyatul Mubaligin (SPG Islam)
Pada masa Pendudukan Jepang hingga kini organisasi Muhammadiyah dengan sekolah-sekolahnya berjalan
terus. Pada tahun 70-an sekolah-sekolahnya berjumlah 6000 buah, tersebar di seluruh Indonesia; telah
memiliki 17 Universitas dan 43 Akademi (I. Djumhur dan Danasuparta, 1976). Sampai kini Muhammadiyah
terus berjuang dan berkembang dalam rangka mencapai cita-citanya.
d.
Perkumpulan Putri Mardika didirikan tahun 1912. Bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan
(Odang Muchtar, 1976).
33
2014
Landasan Pedagogik
e. Trikoro Dharmo.
Pada tahun 1915 didirikan Trikoro Dharmo, dan selanjutnya berdiri berbagai perkumpulan pemuda dan
pelajar di berbagai tempat di tanah air hingga terwujudnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Berbagai
organisasi pemuda dan pelajar ini bersamasama gerakan lainnya menyumbangkan jasa-jasa yang besar demi
pendidikan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Mereka bersepakat untuk memperbanyak kesempatan
memperoleh pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah sehingga dapat menampung semakin banyak
anak Indonesia, mempermudah untuk dapat mengikuti pelajaran bagi semua lapisan masyarakat, dan agar
para anak didik mempunyai perasaan peka sebagai putra Indonesia (H.A.R. Tilaar, 1995).
f. Perguruan Taman Siswa
Pada mulanya Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama rekan-rekannya berjuang di jalur politik praktis,
selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangannya difokuskan di jalur pendidikan. Hal ini Beliau lakukan
mengingat Departemen Pengajaran Pemerintah Belanda bersikap diskriminatif mengenai hak dan
penyelenggaraan pendidikan bagi bagsa kita. Pendidikan Kolonial tidak berdasarkan kebutuhan bangsa kita,
melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan kolonial. Isi pendidikannya tidak sesuai dengan kemajuan
jiwa-raga bangsa. Pendidikan kolonial tidak dapat mengadakan perikehidupan bersama, sehingga kita selalu
bergantung kepada kaum penjajah. Pendidikan kolonial tidak dapat menjadikan kita menjadi manusia
merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara keadaan ini (penjajahan) tidak akan lenyap jika hanya dilawan
dengan pergerakan politik saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di kalangan
rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (I.Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
Sehubungan dengan hal di atas pada tgl. 3 Juli 1922 di Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara mendirikan
"National Onderwijs Institut Taman Siswa" yang kemudian menjadi "Perguruan Nasional Taman Siswa".
Dasar atau Azas Pendidikan. Pada pembukaan lembaga pengajaran Taman Siswa (3 Juli 1922), Ki Hadjar
Dewantara mengemukakan tujuh azas pendidikannya yang kemudian dikenal dengan Azas Taman Siswa
1922. Ketujuh Azas tersebut adalah:
1) Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan wajib mengingat tertibnya kehidupan umum.
Hendaknya tiap anak dapat berkembang menurut kodrat atau bakatnya. Dalam mendidik, perintah dan
hukuman yang kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak hendaknya ditiadakan. Mereka hendaknya
dididik melalui Among methode.
2) Pengajaran berarti mendidik untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka
fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja,
melainkan harus juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan mengamalkannya
demi kepentingan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat bagi kepentingan lahir
dan batin dalam hidup bersama.
3) Pendidikan hendaknya berasaskan kebudayaan kita sendiri sebagai penunjuk jalan, untuk mencari
penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita.
Dengan keadaban bangas kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan bangsa asing.
4) Pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat umum daripada mempertinggi pengajaran kalau usaha
mempertinggi ini mengurangi tersebarnya pengajaran.
5) Agar bebas, merdeka lahir batin, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
6) Agar hidup tetap dengan berdiri sendiri, maka segala belanja mengenai usaha kita harus dipikul sendiri
dengan uang pendapatan sendiri.
7) Dengan tidak terikat lahir batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita
tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang Anak.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asas Taman Siswa 1922, pada tahun 1947 diubah
menjadi "Panca Dharma" Taman Siswa, yaitu: 1) Kebebasan atau Kemerdekaan, 2) Kebudayaan, 3) Kodrat
Alam, 4) Kebangsaan, dan 5) Kemanusiaan.
34
Landasan Pedagogik
2014
Tujuan Pendidikan. Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anakanak. Maka .... Maksudnya
pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya. Tujuan pendidikan itu ialah kesempurnaan hidup lahir batin sebagai satu-satunya untuk mencapai
hidup selamat dan bahagia manusia, baik sebagai satu-satunya orang (individual), maupun sebagai anggota
masyarakat (social)". (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977).
Penyelenggaraan Pendidikan. Berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (1922) dimulai dengan
dibukanya sekolah untuk anak-anak di bawah umur 7 tahun yang diberi nama Taman Lare atau Taman Anak
kadang diberi nama penjelasan "Sekolab Froebel Nasional atau Kindertuin". Sebutan Taman Lare atau
Taman Anak untuk anak di bawah umur 7 tahun kemudian diganti namanya menjadi Taman Indria.
Alasannya karena anak-anak di bawah umur 7 tahun itu semata-mata berada pada periode perkembangan
pancainderanya. Pada tahun-tahun berikutnya dibuka Taman Anak untuk anak-anak umur 7-9 tahun (kelas IIII); Taman Muda untuk anak-anak umur 10-13 tahun (kelas IV-VI), dan kelas VII sebagai kelas masyarakat;
Taman Dewasa (setingakt SMP); Taman Madya (setingkat SMA); Taman Guru; dan Taman Ilmu (setingkat
Sekolah Tinggi). Taman Guru meliputi: Taman Guru BI, yaitu sekolah guru untuk calon guru Taman Anak
dan Taman Muda (satu tahun setelah Taman Dewasa); Taman Guru BII (satu tahun setelah Taman Guru BI);
Taman Guru BIII (satu tahun setelah Taman Guru BII) yang menyiapkan calon guru Taman Dewasa. Taman
Guru BIII terdiri atas dua bagian: Bagian A (Alam/Pasti), yaitu bagi para calon guru mata pelajaran
alam/pasti; dan Bagian B (Budaya), yaitu bagi para calon guru mata pelajaran Bahasa, Sejarah, dsb. Pada
Taman Guru, selain diselenggarakan Taman Gurtu BI s.d. BIII, juga diselenggarakan Taman Guru Indriya,
yaitu sekolah gurtu yang menyiapkan para calon guru untuk TamanIndriya.
Metode Pendidikan.Cara atau metode pendidikannya adalah among-methode atau among system, yaitu
menyokong kodrat alamnya anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidupnya lahir dan batin
menurut kodratnya sendiri-sendiri". Dasar sistem among ini adalah kodrat alam dan kemerdekaan. (Majelis
Luhur PersatuanTaman Siswa, 1977). Pendidikan dengan sistem among memakai cara pondok asrama,
karena dengan cara itu dapatlah ketiga lingkungan pendidikan bekerja bersama-sama (keluarga, perguruan
dan perkumpulan pemuda). Persatuan ketiga corak lingkungan tersebut penting sekali untuk sempurnanya
pendidikan (sistem tri-pusat pendidikan). Pelaksanaan pendidikan tersebut berpedoman pula pada berbagai
semboyan, adapun semboyan yang paling terkenal adalah Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun
karso, Tutwuri handayani. Artinya: Kalau pendidik berada di muka, dia memberi teladan kepada peserta
didik. Kalau berada di tengah, membangun semangat, berswakarya, dan berkreasi pada peserta didik. Kalau
berada di belakang, pendidik mengikuti dan mengarahkan peserta didik agar berani berjalan di depan dan
sanggup bertanggung jawab. Dengan kata lain, seorang pendidik atau pemimpin harus bersikap sebagai
pengasuh yang mendorong, menuntut, dan membimbing peserta didik/orang yang dipimpinnya. Coba Anda
berikan contoh perbuatan guru yang nyata sebagai bentuk pelaksanaan ketiga semboyan tersebut. Perjuangan
Taman Siswa terus berlanjut, sampai saat ini lembaga pendidikan Taman Siswa terus berkembang. Lembaga
pendidikan Taman Siswa tersebar di seluruh pelosok tanah air.
g. Ksatrian Institut
Ksatrian Institut didirikan di Bandung oleh Ernest Francoist Eugene Douwes Dekker (Multatuli atau
Setyabudhi). Ia memimpin lembaga ini sejak 1922-1940. Dasar pendidikannya adalah kebangsaan Indonesia,
terutama melalui sejarah kebangsaan. Tujuan pendidikannya yakni menghasilkan ksatria (ridderschap) bagi
Indonesia Merdeka di masa datang. Sekolah kejuruan merupakan organisasi dalam sistem pendidikan
Ksatreian Institut, yang diharapkan agar lulusannya menjadi nasionalis yang berguna dan dapat berdiri
sendiri derta mencari lapangan kerja yang praktis. Lulusannya umumnya mendapat tempat di perusahaan-
35
2014
Landasan Pedagogik
perusahaan swasta atau berdiri sendiri. Sampai dengan tahun 1937 perkembangan sekolahnya telah mencapai
9 sekolah yang tersebar di Bandung, Ciwidey, dan Ciajur (Odang Muchtar, 1976).
h. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tgl 31 Januari 1926. Salah seorang ulama yang membangun
perkumpulan NU adalah K.H. Hasyim Asyari, yang pernah menjadi Raisul Akbar perkumpulan ini. Sejak
1899 Beliau telahmembuka pesantren Tebuireng di Jombang. Sebelum menjadi partai politik NU bertujuan:
memegang teguh salah satu mazhab dari mazhab Imam yang ber-empat, yaitu: 1. SyafiI, 2. Maliki, 3.
Hanafi, 4. Hambali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diselenggarakan berbagai usaha seperti: memajukan dan memperbanyak pesantren
dan madrasah serta mengadakan tabligh-tabligh dan pengajianpengajian, disamping usaha lainnya. Pada
akhir tahun 1938 Komisi Perguruan NU telah menetapkan susunan madrasah-madrasahnya sebagai berikut:
Madrasah Awaliyah (2tahun); Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun); Madrasah Tsanawiyah (3 tahun); Madrasah
Mualimin Wusytha (2 tahun); dan Madrasah Mualimin Ulya (3 tahun). Selanjutnya setelah menjadi partai
politik (Mei 1952) hingga sekarang NU terus berjuang melakukan inovasi dan menyelenggarakan pendidikan
(I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976)..
i. INS Kayutanam
Indonesisch Nederland School (INS) didirikan oleh Mohammad Sjafei (1895-1969) pada tanggal 31 Oktober
1926 di Kayutanam, Sumatera Barat. Pada tahun 1950 kepanjangan INS diubah menjadi Indonesian
Nasional School, dan selanjutnya menjadi Institut Nasional Sjafei. Perjuangan INS juga diarahkan demi
kemerdekaan melalui pendidikan yang menekankan lulusannya agar dapat berdiri sendiri tidak tergantung
pada orang lain atau jabatan yang diberikan oleh kaum penjajah. Dasar Pendidikan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ag. Soejono (1979) pada awal didirikannya INS mempunyai dasar pendidikan sebagai
berikut:
1) Berfikir secara logis atau rasional. INS mementingkan berfikir logis sebab menurut
kenyataan, dalam masyarakat Indonesia saat itu masih banyak orang yang berfikir secara mistik.
2) Keaktifan atau kegiatan. INS menggunakan banyak keaktifan anak dalam pengajaran,
latihan skill dan pendidikan agar anak bekerja beraturan dan intensif. Lagi pula Moh. Sjafei menyadari,
bahwa besar sekali pengaruh keaktifan bagi pengalaman, fikir dan watak. Inilah sebabnya mata
pengajaran ekspresi dinomorsatukan di INS dengan tidak mengabaikan pengetahuan lain. Keaktifan itu
dipakainya pula untuk menjalankan pekerjaan yang praktis: membuat sendiri alat bercocok tanam,
beternak, membuat gedung dan berbagai lapangan olah raga dengan mempergunakan bahan yang
terdapat di Indonesia. Begitulah anak di sekolah tidak hanya duduk, melihat mendengarkan, dan percaya
saja.
3) Pendidikan kemasyarakatan. Sesuai dengan sifat Indonesia, maka di INS diberikan
banyak kesempatan bekerja sama. Contoh: Majalah Rantai Mas dikerjakan bersama dan merupakan
tempat untuk mengadakan ekspresi dengan bahasa; bersama menjalankan pertunjukan dan koperasi.
Perkumpulan koperasi bukan saja untuk memenuhi keperluan murid sehari-hari, melainkan juga sebagai
latihan bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, yang menanti mereka, apabila mereka kelak terjun ke
dalam masyarakat. Bergotong royong adalah ciri khas Indonesia.
4) Memperhatikan bakat anak. Anak yang ternyata pandai dan mempunyai banyak kesanggupan dalam
sesuatu mata pengajaran, setelah mengikuti semua mata pengajaran, mendapat pendidikan lebih lanjut
dan mendalam untuk menyempurnakan bakat, hingga ia dapat menjadi ahli dalam vak itu.
5) Menentang intelektualisme. Hal tersebut di atas adalah beberapa usaha untuk menjauhkan
intelektualisme dari INS. Sejalan dengan hal di atas, usaha-usaha yang lainnya adalah:
a. pendidikan keindahan diperhatikan sungguh-sungguh. Ini terbukti dengan dipentingkannya vak
ekspresi; kerap diadakan pertunjukan; bersama-sama murid mengatur gedung dan halamannya, dsb.
36
Landasan Pedagogik
2014
b. Rasa tanggung jawab dikembangkan melalui berbagai keaktifan, agar anak didik berani berdiri
sendiri. Penyelenggaraan dan perkembangan INS sendiri memberi contoh dalam hal ini. Atas usaha
sendiri Moh. Sjafei menyelenggarakan INS yang megah itu. Tidak diterimanya bantuan dari pihak
mana pun seperti dari pemerinta Belanda yang dapat mengikat hidup INS.
c. Perasaan keagamaan diberi kesempatan berkembang luas dan bersih jauh dari kepicikan dan
kekolotan.
Tujuan Pendidikan INS. Tujuan pendidikan INS Kayutanam sebagaimana dikemukakan Umar Tirtarahardja
.dan La Sulo (1995) adalah sebagai berikut:
1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Penyelenggaraan Pendidikan. Beberapa usaha yang dilakukan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam yang
dalam bidang pendidikan antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti Ruang Rendah
(7 tahun, setara sekolah dasar), Ruang Dewasa (4 tahun sesudah Ruang Rendah, setara sekolah menengah),
dan sebagainya. Di samping itu, INS Kayu Tanam juga menyelenggarakan usaha lain sebagai bagian
mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan Sendi (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka
pemberantasan buta huruf/aksara dan angka dengan judul Kunci 13, mencetak buku-buku pelajaran, dan lainlain (Soejono, 1958:46). Seperti diketahui, upaya-upaya dari Ruang Pendidik INS tersebut dilakukan sebagai
usaha mandiri, dan menolak bantuanyang mungkin akan membatasi kebebasannya.
Pada bulan Juli Tahun 1927 dalam pidato pembelaannya Bung Hatta di pengadilan Den Haag mengusulkan
supaya ada perbaikan dalam berbagai bidang sosial, antar lain adalah bidang pembinaan pendidikan nasional.
Kongres Pasundan pada tahun 1930 juga menempatkan pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu sarana
utama perjuangannya. Pada bulan November 1937 dalam kongres ke-26 Persatuan Guru Indonesia (PGI) di
Bandung dirumuskan supaya diadakan wajib belajar. Pada Kongresnya tahun 1938 di Malang PGI menuntut
agar pendidikan dan pengajaran diserahkan ke daerah tetapi didahului dengan perbaikan keuangan daerah.
Tentu saja masih banyak lagi usaha-usaha rakyat, partai dan organisasi yang berjuang dalam bidang
pendidikan, seperti: Syarikat Islam (SI), perjuangan PNI, berbagai pesantren, dsb. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan dan praktek-praktek di bidang politik ekonomi, maupun pendidikan yang
diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda sangat tidak adil.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda tidak memungkinkan bangsa kita menjadi
cerdas, bebas, bersatu dan merdeka. Selain itu kita dapat melihat bahwa Kebangkitan Nasional melahirkan
kesadaran mengenai pentingnya peranan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dan dalam memperjuangkan kemerdekaan demi lahirnya negara nasional. Dalam periode ini berbagai
pergerakan nasional mencantumkan program pendidikan bagi semua kalangan rakyat Indonesia. Selain itu,
pada masa ini lahir pula konsepsi dan perintisan sistem pendidikan nasional Indonesia, maksudnya suatu
sistem pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan kolonial Belanda (Odang Muchtar, 1976).
Terdapat tiga ciri pendidikan nasional (pendidikan kaum pergerakan) pada masa ini, yaitu: (1) bersifat
nasionalistik dan sangat anti kolonialis, (2) berdiri sendiri atau percaya kepada kemampuan sendiri, dan (3)
pengakuan kepada eksistensi perguruan swasta sebagai perwujudan harga diri yang tingi dan kebhinekaan
masyarakat Indonesia serta pentingnya pengembangan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dan bangsa
Indonesia (H.A.R. Tilaar, 1995).
37
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu
ditekankan pada penanaman semangat patriotisme, karena pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang
mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba untuk
menjajah kembali negara Indonesia.
Kurikulum pasca kemerdekaan kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa Belanda artinya
Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di
Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan
yang pernah digunakan sebelumnya. Rencana Pelajaran 1947 dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan
kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan
bertujuan untuk pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan
bangsa lain di muka bumi. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan
jasmani.
Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga
tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada
umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku
pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia
yang sudah dirintis sejak jaman Jepang. Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak
tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut:
a) Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR)
lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan
pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak
bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946
NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa
berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa
Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah
24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia. Ada dua jenis pendidikan
Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
1) Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana
pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka
diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian
A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan
praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
2) Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa
terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya
dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya
perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat
melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah
rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan
keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya
memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat
dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah
selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
39
2014
Landasan Pedagogik
b) Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
1) Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat.
Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran
yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keuruan baru diberikan di
kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang
kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena
memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua
yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
2) Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan
sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah
guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat
kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.
3) Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin
pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga
tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata
pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang diberikan di SGb hanya
penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.
c) Pendidikan Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:
1) Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang
lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut
dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
2) Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP)
dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah
SMP atau SKP.
d) Pendidikan Teknik
Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping pelajarnya sering terlibat
dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah
Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya.
Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
1) Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun lamanya dan merupakan
pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu,
besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
2) Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai
dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan:
kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah
dan cor.
3) Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua
tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan
jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
4) Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik
menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan:
bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik,
bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
40
Landasan Pedagogik
2014
5) Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik,
dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
- Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan:
bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
- Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam
jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
- Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan
sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.
e) Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi
warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya
di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan. Lembaga
pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah
kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati
mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal
kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi
kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah
Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir
in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi
waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan
Belanda.
2. Masa Orde Lama
Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat terasa sangat
terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam
UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. Kita dapat
membangun system pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya
dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
Dari keterbatasan itu, dapat memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba
seperti rongrongan terhadap NKRI. Sayangnya pada era ini, pendidikan kemudian dimasuki oleh politik
praktis untuk mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu, dimulai pendidikan Indoktrinasi, yaitu
menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan orde lama. Pada orde lama sudah
mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan system kolonial yang serba ketat, tetapi jujur dan
mempertahankan kualitas.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali
kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan
sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan
dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan
memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas
sosial.
Tujuan dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan manusia yang diinginkan oleh
konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki kepeloporan dalam
membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Untuk itu perubahan kurikulum di lakukan. Mata pelajaran
Civics menjadi mata pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam pelajaran itu dimasukkan ideologi
Sejarah Perkembangan Pendidikan
41
2014
Landasan Pedagogik
yang sedang dikembangkan presiden Soekarno. Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari
kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana
Pelajaran Terurai1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,
kataDjauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk
kelas Masyarakat. Yaitu sekolah khusus bagi lulusan SekolahRendah 6 tahun yang tidak melanjutkan ke
SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya
agar anak tak mampu sekolah kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.
Perubahan Sekolah-sekolah
Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI, jawatanm inspeksi pengajaran kementerian PP dan K di
Yogyakarta pada tanggal 25 Agustur 1950 mengeluarkan keputusan mengenai perubahan sekoah-sekolah
yang dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950. Sekolah-sekolah dibagi-bagi atas
enam kelompok: model-model sekoah yang berasal dari masa sebelum kembali kenegara keatuan di bekasbekas daerah-daerah ferdeal atau pendudukan Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah
dan disesuaikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.
3. Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan
nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang
sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan
adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan
perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyakbanyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde
baru mengusung ideologi keseragaman sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan.
EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga
diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status
quopenguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon
tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan
submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban
materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan
faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang
tercipta pada masa ini adalah:
- Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya
eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
- Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran
positivistik
- Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk
pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia pekerja yang kelak
akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan
42
Landasan Pedagogik
2014
untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat
kepentingan penguasa.
Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulu. Yang pertama, kurikulum 1968. Kurikulum 1968 bersifat
politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu
pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang
ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada
kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi
intelektualnya saja.
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO
(management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada
kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang
ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan
pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active
Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi
ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar
mengajar. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama
kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya
beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan
kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya
beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak
terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
4. Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan
baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula
bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini
pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun
1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah
memperkenalkan model Manajemen Berbasis Sekolah. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan
sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Sejarah Perkembangan Pendidikan
43
2014
Landasan Pedagogik
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: Usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Pada masa reformasi ini terjadi perubahan. Yang pertama yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pada
pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan
dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif
dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu
informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual
maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi,
guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan
subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:
- Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
- Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi
tinggi).
- Berpusat pada siswa.
- Orientasi pada proses dan hasil.
- Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
- Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
- Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
- Belajar sepanjang hayat;
- Belajar mengetahui (learning how to know),
- Belajar melakukan (learning how to do),
- Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
- Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
44
Landasan Pedagogik
2014
Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus
pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada
lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan
oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan
praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap
kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis
mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu
memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara
menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke
lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan
di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka
dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Yang terakhir adalah Kurikulum 2013. Kurikulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi
dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013
yang paling mendasar ialah menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu
pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan
bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk
memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki
kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif.
Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan
memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus
dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
- Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran,
yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
- Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada
siswa.
- Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asosial kepada siswa dan teman sejawat
lainnya.
- Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru
siswa.
45
2014
Landasan Pedagogik
Daftar Pustaka
Beeby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Jakarta: LemLit
Pendidikan&Penerangan Eko&Sos
Djumhur, I dan Danasuparta, (1976), Sejarah Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung.
Dyah Kumalasari. (2007). Dinamika Pendidikan Indonesia Pada Masa Kolonial. Jurnal Istoria. Yogyakarta:
Pendidikan Sejarah FISE UNY
Ibrahim, Thalib (Penyadur), (1978), Pendidikan Mohd. Sjafei INS Kayu Tanam,
Mahabudi, Jakarta.
I. Djumhur. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Majelis Luhur Persatuan Taman siswa, (1977),
Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, Majelis Luhur Taman Si swa,
Yogyakarta.
Muchtar, O., (1976), Pendidikan Nasional Indonesia, Pengertian dan sejarah
Perkembangan, Balai Penelitian Pendidikan IKIP Bandung.
M. Ngalim Purwanto. (2002). Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Mansur, Dahlan, dan M.Said. (1989). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jakarta: PT.Rajawali Press
Poerbakawatja, S., (1970), Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Gunung Agung,Jakarta.
Palmer.A.Joy. (2003). 50 Pemikir Pendidikan: Dari Piaget Sampai Masa Sekarang. Yogyakarta: Jendela
Soejono, Ag., (1979), Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan; Bagian ke-2, CV. Ilmu,Bandung.
Suhendi, Idit, (1997), Dasar-Dasar Historis dan Sosiologis Pendidikan, dalam Dasar-Dasar Kependidikan,
IKIP Bandung.
Tilaar, HAR., (1995), 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, Suatu Analisis Kebijakan,
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Tirtarahardja, U. dan La Sula (1995), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Soegiono. (1993). Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia. Jakarta: CV. Ilmu
Zuhairini, dkk. (1997). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
46
Landasan Pedagogik
2014
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Alamat
Email
:
:
:
:
Riwayat Pendidikan:
1. SDN Bojonggaok Jamanis Tasikmalaya, lulus tahun 1993.
2. SMPN Condong, lulus tahun 1996.
3. SMA PGRI Ciawi, lulus tahun 1999.
4. Program Studi Pendidikan Matematika UNSIL, lulus tahun 2003.
5. Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Magister UPI, lulus tahun 2013.
6. Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Doktor UPI tahun 2014
Riwayat Pekerjaan:
1. Guru Matematika SMA Suryalaya Tasikmalaya, Tahun 2005-2010
2. Guru Matematika SMA Darussalam Tasikmalaya, Tahun 2007-2010
3. Guru Matematika dan Biologi MA Attaqwa Rajapolah Tasikmalaya, Tahun 2003-2013
4. Guru Matematika SMK Bhakti Kencana Ciawi Tasikmalaya, Tahun 2007-2010
5. Guru Matematika, Fisika dan Kimia MTs Sindangraja Jamanis Tasikmalaya, Tahun 2003-2008
6. Dosen Matematika Dasar dan Statistika STIKES BTH Tasikmalaya, Tahun 2011-2014
7. Dosen Kalkulus I, Kalkulus 3, Analisis Vektor, Strategi Belajar Mengajar UNIGAL Ciamis,
Tahun 2013 sampai sekarang.
47
2014
Landasan Pedagogik
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan
: Indonesia
Status Perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Pendidikan Terakhir
Alamat
Nomor Handpone
: Sambong Nyalindung RT 02 RW 05
Mangkubumi Tasikmalaya 46181
: 081 221 80 1414
: megarafaadzani@gmail.com
PENDIDIKAN FORMAL
PENGALAMAN KERJA
STIKes Bhakti Tunas Husada
Dosen Tamu S1 Farmasi 2010-sekarang
48
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN II
PERSPEKTIF PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
TERHADAP TUJUAN PENDIDIKAN
Luvy Sylviana Zanthy (1402714)
Julita (1402130 )
Landasan Pedagogik
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sebagai seorang pendidik, perlu mengetahui perspektif perkembangan peserta didik agar dapat membimbing
serta mengoptimalkan proses perkembangan yang akan dialami peserta didiknya. Pengetahuan tentang
perkembangan peserta didik akan membantu pendidik menggunakan cara-cara yang tepat dalam menghadapi
tantangan pada saat mendidik.
Pendidik perlu mengetahui dan memahami kondisi alamiah dan sifat-sifat dasar peserta didik karena
pendidik akan mengambil kebijakan yang berhubungan dengan masa depan dan kesejahteraan peserta didik.
Pengetahuan tentang perkembangan peserta didik memberikan informasi dan acuan bagi pendidik dalam
mengambil kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan peserta didik. Perkembangan peserta didik harus
mendapatkan perhatian yang serius, karena peserta didik akan mengalami masa pertumbuhan secara jasmani
maupun rohani.
Perkembangan peserta didik sangat erat kaitannya dengan tujuan pendidikan yang dilakukan. Oleh sebab itu,
kami memandang perlu untuk menyusun makalah tentang perspektif perkembangan peserta didik terhadap
tujuan pendidikan. Selain itu, makalah ini juga disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Landasan Pedagogik.
1.2.
Tujuan
Manfaat
Manfaat bagi pendidik dengan memahami perkembangan peserta didik terhadap tujuan pendidikan dari
berbagai perspektif antara lain:
1. Dapat memberikan respons yang tepat terhadap perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran, agar
tercapai tujuan pendidikan.
2. Dapat membantu pendidik dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi perubahan yang terjadi
pada tubuh, perhatian, dan perilakunya.
3. Dapat membantu pendidik dalam memberikan bimbingan belajar yang tepat kepada peserta didik.
49
2014
Landasan Pedagogik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
2.1.1.
Perkembangan
Definisi Perkembangan
Setiap makhluk hidup termasuk manusia pasti mengalami proses perkembangan, baik secara psikologis
maupun biologis. Terkait dengan konsep perkembangan, berikut definisi perkembangan dari berbagai
sumber:
Perkembangan (development) menurut McLeod dalam Syah (2003) adalah proses atau tahapan pertumbuhan
ke arah yanglebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatau dalam hal
jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan perkembangan (a stage
of development).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2008), perkembangan adalah perihal berkembang. Selanjutnya,
kata berkembang menurut kamus Besar Bahasa Indonesiaini berarti terbuka atau membentang; menjadi
besar,luas,danbanyak,serta menjadi bertambahsempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan
sebagainya. Dengan demikian,kata berkembang tidak saja meliputi aspek yang bersifat abstrak seperti
pikiran danpengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret.
Perkembangan menurut Syah (2009) ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi
organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri. Dengan kata lain, penekanan arti
perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik.
Perkembangan akan berlanjut terus hingga manusia mengakhiri hayatnya.
Dari beberapa definisi di atas, kata-kata kunci yang mengacu pada konsep perkembangan sebagai berikut:
1. Tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju.
2. Bersifat progresif kualitatif karena mengacu pada mutu.
3. Terjadi pada hal-hal yang bersifat abstrak (pikiran, pengetahuan, kepribadian) dan bersifat konkret (usia,
fisik).
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa perkembangan adalah tahapan pertumbuhan bersifat progresif
kualitatif ke arah yang lebih maju, baik pada hal-hal yang bersifat abstrak (pikiran, pengetahuan,
kepribadian) maupun yang bersifat konkret (usia, fisik). Perkembangan individu dapat ditujukan dengan
munculnya atau hilangnya, bertambah atau berkurangnya bagian-bagian, fungsi-fungsi atau sifat-sifat
psikofisis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang sampai batas tertentu dapat diamati dan diukur
dengan mempergunakan teknik dan instrument yang sesuai, contohnya: perkembangan proses berpikir,
kemampuan berbahasa dan lain-lain.
2.1.2.
50
Landasan Pedagogik
2014
Kematangan merupakan faktor internal (dari dalam) yang dibawa setiap individu sejak lahir, seperti ciri
khas, sifat, potensi dan bakat. Pengalaman merupakan intervensi faktor eksternal terutama lingkungan sosial
budaya di sekitar individu.
Kedua faktor ini secara simultan mempengaruhi perkembangan seseorang. Seorang anak yang memiliki
bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam lingkungan keluarga yang mendukung pengembangan
bakatnya seperti menyediakan dan memberi les musik, akan berkembang menjadi seorang pemusik yang
handal. Perubahan progresif yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat memungkinkan manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia terhadap perubahan berbedabeda tergantung beberapa faktor, diantaranya pengalaman pribadi, nilai-nilai budaya, perubahan peran, serta
penampilan dan perilaku seseorang.
2.1.2.2. Latihan (exercises)
Dalam situasi belajar, menurut Chaplin dalam Desmita (2012) latihan merupakan praktek atau pengulangan
suatu perbuatan atau satu keterampilan verbal untuk dapat di kuasai. Selain itu, latihan juga dapat dikatakan
sebagai kegiatan jasmaniah bagi latihan otot-otot.
2.1.2.3. Belajar (learning)
Secara sederhana, belajar dapat dikatakan sebagai suatu proses dari tidak tahu menjadi tahu atau dari tidak
bisa menjadi bisa. MenurutWhittaker (Djamarah,2008) Belajar adalah Proses dimana tingkah laku
ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Cronchbach (Djamarah, 2008), Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan menurut Slameto (Djamarah, 2008) merumuskan belajar sebagai
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
UNESCO dalam Suparno (2001) telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat pilar
dalam kegiatan belajar :
1. Learning to know.
Pada Learning to know ini terkandung makna bagaimana belajar, dalam hal ini ada tiga aspek : apa yang
dipelajari, bagaimana caranya dan siapa yang belajar.
2. Learning to do.
Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu seseorang mampu mempersiapkan diri untuk bekerja
atau mencari nafkah. Jadi dalam hal ini menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang
berhubungan dengan dunia kerja.
3. Learning to live together.
Belajar ini ditekankan seseorang/pihak yang belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang
lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis.
4. Learning to be.
Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi insani secara maksimal. Setiap individu didorong
untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan dan kelemahanya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun
pribadi secara utuh.
2.1.3.
Karakteristik Perkembangan
Terjadinya perkembangan pada individu dapat diketahui berdasarkan karakteristik tertentu yang dialaminya.
Karakteristik-karakteristik dimaksud mudah dikenali, yaitu sebagai berikut:
Perspektif Perkembangan Peserta Didik Terhadap Tujuan Pendidikan
51
2014
Landasan Pedagogik
Beberapa individu yang usianya sama terryata perkembangan mereka baik secara vertikal maupun horizontal
tidak selalu sama. Bahkan beberapa individu berasal dari orang tua yang sama dalam perkembannya, mereka
juga menunjukkan adanya perbedaan- perbedaan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia secara umum antara lain: proses
pematangan, proses belajar, proses pembawaan atau bakat. Sedangkan secara khusus, faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan manusia sebagai berikut:
1. Aliran nativisme
Menurut pandangan nativisme, perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaan atau bakatnya,
sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berkontribusi apa-apa. Misalnya seorang anak yang terlahir
dari keluarga seniman, maka nantinya ia akan menjadi seniman. Tokoh aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (17881860) dari Jerman. Teori nativisme dikenal dengan nama pesimisme pedagogis.
2. Aliran empirisisme
Tokoh aliran ini adalah John Locke (16321704) dari Inggris. Menurut aliran ini, pengalaman,
lingkungan, dan pendidikan berpengaruh penting terhadap perkembangan manusia. Artinya, seorang anak
ketika lahir seperti kertas kosong, tidak mempunyai kemampuan dan bakat apa pun. Nantinya anak
tersebut akan menjadi apa tergantung pada pengalaman, lingkungan, dan pendidikannya. Misalnya
seorang anak yang terlahir di keluarga seniman, karena ia mempelajari ilmu politik, kelak ia bisa menjadi
politikus, tidak harus menjadi seniman. Teori empirisisme dikenal dengan nama tabula rasa.
3. Aliran konvergensi
Teori konvergensi disebut juga teori interaksionisme. Teori ini dikemukakan oleh William Stern (1871
1939). Menurut Stern, perkembangan individu merupakan hasil perpaduan atau interaksi antara faktor
pembawaan dengan faktor lingkungan. Pembawaan sudah ada pada masing- masing individu sejak
kelahirannya. Dan pembawaan ini tidak dapat berkembang menjadi kecakapan nyata bila tidak mendapat
pengaruh dari lingkungan.
Dari ketiga teori tersebut yang dapat diterima kebenarannya adalah teori konvergensi. Namun perlu
ditambahkan bahwa masih ada satu faktor lagi yaitu usaha atau motivasi dari diri sendiri untuk berkembang.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perkembangan individu merupakan hasil perpaduan antara faktor
52
Landasan Pedagogik
2014
internal (pembawaan atau bakat dan potensi psikologis) dan faktor eksternal (lingkungan, pengalaman,
pendidikan).
2.1.5.
Proses perkembangan yaitu proses perubahan pada seseorang, baik secara biologis maupun psikologis yang
berlangsung seiring dengan kegiatan belajar. Seiring dengan proses perkembangan tersebut, seseorang
mengemban tugas-tugas perkembangan tertentu yang dipicu oleh adanya kematangan fisik, dorongan citacita psikologis, dan tuntutan kultural dari masyarakat sekitar.
Teori-teori tentang Proses Perkembangan menurut Kuntjojo (2010) adalah sebagai berikut:
1. Teori Asosiasi (tokoh : John Locke)
Menurut teori asosiasi perkembangan merupakan proses asosiasi, yaitu proses penyatuan dari bagian bagian menjadi keseluruhan. Dalam proses ini bagian bersifat primer sedangkan keseluruhan bersifat
sekunder. Contoh: pengetahuan yang dimiliki oleh individu diperoleh sedikit demi sedikit sehingga
terbentuk sebagai suatu kesatuan.
2. Teori Gestalt (tokoh :Wertheimer)
Menurut teori Gestalt, perkembangan adalah proses diferensiasi, yaitu proses penguraian dari keseluruhan
menjadi bagian-bagian. Ini berarti bahwa keseluruhan bersifat primer, sedangkan bagian-bagian bersifat
sekunder. Contoh: pertumbuhan pada masa pranatal dan perkembangan individu sebelum dan sesudah
masa pubertas.
3. Teori Neo Gestalt (tokoh : Kurt Lewin)
Lewin menyatakan bahwa perkembangan merupakan proses diferensiasi dan stratifikasi. Yang dimaksud
dengan proses stratifikasi adalah proses pembentukan lapisan-lapisan kepribadian. Pada awal
perkembangan, lapisan kepribadian anak sangat terbatas, apa yang terwujud dalam gerak-gerik dan
ucapannya sama dengan apa yang ada dalam isi jiwanya. Semakin bertambah usia, semakin bertambah
pula jumlah lapisan kepribadian, sehingga semakin sulit untuk mengetahui isi jiwa seseorang,karena apa
yang terlihat sebagai tingkah laku belum tentu sama dengan isi jiwanya.
4. Teori Sosiologis (tokoh : J.M. Baldwin dan Sigmund Freud )
Menurut Baldwin, perkembangan merupakan proses sosialisasi yang berlangsung secara imitasi, yaitu
proses peniruan terhadap sikap maupun tingkah laku orang lain. Sedangkan menurut Sigmund Freud,
perkembangan adalah proses sosialisasi yang berlangsung melalui identifikasi, yaitu proses menyamai
orang lain.
5. Teori Bio Sosial (tokoh : Havighurst)
Menurut teori ini, perkembangan adalah proses belajar. Havighurst menyatakan living is learning and
growing is learning, artinya hidup itu adalah belajar, dan berkembang juga belajar. Maksudnya adalah
bahwa manusia itu untuk mempertahankan hidupnya harus belajar, dan karena belajar maka dia dapat
berkembang. Untuk belajar, menurut Havighurst, diperlukan kemasakan biologis dan kemasakan sosial
(latihan-latihan).
Sedangkan prinsip perkembangan menurut Kuntjojo (2010) adalah sebagai berikut:
a. Perkembangan merupakan perubahan progresif. Melalui perkembangan segala-sesuatu yang masih
bersifat kemungkinan dapat berubah menjadi kenyataan. Hal demikian dapat digambarkan sebagai
berikut:
53
2014
Landasan Pedagogik
54
Landasan Pedagogik
2014
c. Keinginan atau dorongan dari individu yang bersangkutan, misalnya keinginan untuk berhasil dalam
belajar, memiliki pekerjaan tetap, pasangan hidup, dst.
Tugas-tugas perkembangan perlu diketahui dan dipahami, baik oleh individu yang bersangkutan maupun
oleh pihak yang berhubungan dengan perkembangan individu tersebut, yaitu para pendidik, termasuk orang
tua.
a. Bagi Individu yang bersangkutan. Setiap individu, khususnya untuk masa kanak-kanak akhir dan
seterusnya, hendaknya memahami tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai pada fase
perkembangan tertentu. Dengan mengetahui tugas-tugas perkembangan berarti dirinya telah mengetahui
keterampilan apa saja yang harus dikuasai, bagaimana ia harus bersikap, bertindak, dst. Dengan demikian
motivasi intrinsik untuk belajar menguasai hal-hal tersebut dapat berkembang pada dirinya.
b. Bagi Pendidik. Setiap pendidik, termasuk orang tua, hendaknya mengetahui tugas-tugas perkembangan
yang harus dikuasai oleh peserta didiknya. Sebab bagi para pendidik, pengetahuan mengenai tugas-tugas
perkembangan merupakan pedoman tentang apa saja yang harus dilakukan untuk membantu
perkembangan peserta didiknya pada fase perkembangan tertentu serta untuk menghadapi fase
perkembangan berikutnya.
Tugas-tugas perkembangan pada fase perkembangan tertentu hendaknya dikuasai oleh setiap individu sebab
tugas-tugas perkembangan pada satu sisi merupakan harapan atau tekanan sosial. Selain itu pada fase
berikutnya akan ada tugas-tugas perkembangan yang lain, yang umumnya lebih berat. Namun demikian tidak
setiap individu berhasil dalam menguasai tugas-tugas perkembangannya, karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhi hal ini, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi penguasaan tugas perkembangan adalah : normal tidaknya
pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, motivasi untuk berkembang, dan kelancaran dalam
menguasai tugas-tugas perkembangan sebelumnya.
b. Faktor Eksternal
Penguasaan tugas-tugas perkembangan individu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor ekternal, yaitu pola
asuh orang tua, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, dst.
2.2.
2.2.1.
Peserta Didik
Definisi Peserta Didik
Secara umum peserta didik dapat diartikan orang yang sedang memperoleh pendidikan dari pendidiknya.
Peserta didik merupakan objek dari mereka, dalam lingkungan keluarga peserta didik adalah orang yang
memperoleh bimbingan, asuhan dan pelajaran dari orang tuanya atau kakaknya, dilingkungan sekolah
peserta didik merupakan orang yang mendapat didikan dan pelajaran dari gurunya, dilingkungan masyarakat,
peserta didik merupakan orang yang memperoleh pengetahuan dan teladan dari pemimpinnya atau pemuka
masyarakat.
Secara definitif, Danim (2014) menuliskan Peserta didik merupakan sumber daya utama dan terpenting
dalam proses pendidikan formal. Sedangkan di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal,
pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Samsul Nizar, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis (2004) mengklasifikasikan peserta didik sebagai
berikut :
Perspektif Perkembangan Peserta Didik Terhadap Tujuan Pendidikan
55
2014
a.
b.
c.
d.
e.
Landasan Pedagogik
Peserta didik bukanlah miniature orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan.
Peserta didik adalah makhluk allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh factor
bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik merupakan dua unsure utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik dan
unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
Peserta didik dalam pendidikan merupakan individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik
maupun mental. Dalam perkembangannya, peserta didik digolongkan sebagai individu yang belum dewasa
dan sedang dalam masa perkembangan menuju kedewasaan. Dengan demikian, peserta didik dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: sebagai orang yang belum dewasa dan sebagai orang yang
menjadi tanggung jawab pendidik.
2.2.2.
Hal-hal yang esensial mengenai hakikat peserta didik menurut Danim (2014) adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi potensi dasar kognitif atau intelektual,
afektif dan psikomotorik.
b. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi proodesasi perkembangan dan
pertumbuhan, meski memiliki pola yang relatuf sama.
c. Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniatur orang dewasa.
d. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik
jasmani maupun rohani, meski dalam hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
e. Peserta didik merupakan manusia bertanggungjawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi pembelajar
sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.
f. Peserta didik memiliki daya adaptabilitas di dalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi
individualitasnya sebagai insan yang unik.
g. Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta
mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa, termasuk gurunya.
h. Peserta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadapi lingkungannya.
i. Peserta didik sejatinya berprilaku baik dan lingkunganlah yang paling dominan untuk membuatnya lebih
baik lagi atau lebih buruk.
j. Peserta didik merupakan mahluk Tuhan yang meski memiliki aneka keungulan, namun tidak akan
mungkin bisa berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu yang melebihi kapasitasnya.
2.2.3.
Peserta didik merupakan insan yang memiliki aneka kebutuhan. Kebutuhan itu trerus tumbuh dan
berkembang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya sebagai manusia. Asosiasi Nasional Sekolah Menengah
(National Association of High School) Amerika Serikat dalam Danim (2014) mengidentifikasi kebutuhankebutuhan peserta didik dilihat dari dimensi pengembangannya adalah: kebutuhan intelektual, kebutuhan
sosial, kebutuhan fisik, kebutuhan emosional dan psikologis, kebutuhan moral dan kebutuhan homodivinous.
Empat hal dominan dari karakteristik peserta didik menurut Danim (2014), yaitu:
1. Kemampuan dasar, misalnya : kemampuan kognitif atau intelektual, afektif dan psikomotor.
2. Latar belakang kultural lokal, status sosial, status ekonomi, agama dan sebagainya
3. Perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.
4. Cita-cita, pandangan ke depan, keyakinan diri, daya tahan dan lain-lain.
56
Landasan Pedagogik
2.2.4.
2014
Agar pelaksanaan proses pendidikan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya
senantiasa menyadari tugas dan kewajibanya.
2.2.4.1. Hak Peserta Didik
Hak peserta didik menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas adalah sebagai berikut:
1. Mendapat pendidikan agama sesuai agamanya.
2. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat& kemampuan.
3. Mendapat beasiswa bagi yang berprestasi dan orang tuanya tidak mampu membiayai.
4. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan yang setara.
5. Menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang
batas waktu yang ditetapkan.
2.2.4.2. Kewajiban Peserta didik
Sejalan dengan itu, setiap peserta didik harus memenuhi kewajiban tertentu. Kewajiban peserta didik
menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas:
1. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan.
2. Ikut menanggung biaya penyelenggara pendidikan kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajiban tersebut
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. WNA dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
Menurut Asma Hasan Fahmi, sebagai mana yang dikutip oleh Nizar (2002), menuliskan beberapa kewajiban
peserta didik antara lain :
a. Peserta didik hendaknya membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, hal ini disebabkan karena
menuntut ilmu adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan.
c. Memiliki kemampuan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu diberbagai tempat.
d. Setiap peserta didik wajib mengormati pendidiknya.
e. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
2.2.5.
Perkembangan peserta didik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.lingkungan sendiri sering diartikan
sebagai situasi di sekitar kita, yaitu segala sesuatu di alam semesta ini yang berada di luar diri peserta didik.
Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh timbal balik, artinya lingkungan mempengaruhi manusia, dan
sebaliknya, manusia juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Lingkungan tempat anak mendapat
pendidikan disebut lingkungan pendidikan. Ki Hajar Dewantara membedakan lingkungan pendidikan
menjadi 3, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang dkenal sebagai Tri Pusat Pendidikan.
Keluarga dikataan sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan paling utama, dimana anak untuk
pertama kalinya mendapatkan pelajaran-pelajaran dari orang tuanya. Keluarga merupakan pihak yang paling
awal memberikan banyak perlakuan kepada anak, selain itu sebagian besar waktu anak lazimnya dihabiskan
di lingkungan keluarga. Besarnya peluang dan kesempatan interaksi ini akan sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan anak. Hubungan orangtua dengan anak juga berbeda dari hubungan anak dengan
pihak yang lainnya, seperti guru, teman ataupun masyarakat sekitar.
57
2014
Landasan Pedagogik
Selain kebutuhan materi, kebutuhan spiritual juga sangat diperlukan oleh anak terhadap orang tuanya. Orang
tua menanamkan berbagai pelajaran dengan nasihat-nasihat yang mereka berikan kepada anak-anak mereka.
Lingkungan keluarga bisa memberikan pengaruh yang sangat dominan dan sifatnya langsung terhadap
pembentukan perilaku, sikap, dan kebiasaan, penanaman nilai, dan perilaku-perilaku sejenisnya.
Selain keluarga, sekolah juga tak kalah penting dalam perkembangan anak. Sejak lama, sekolah telah
menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Selama kurang lebih lima sampai enam jam pada hampir setiap
hari, umumnya anak-anak berada di sekolah. Keterbatasan keluarga dalam menyediakan faslitas untuk
belajar dan pengetahuan orang tua akan ilmu-ilmu yang harus dipelajari anak merupakan faktor yang
mempengaruhi petingnya peran sekolah bagi anak.
Di sekolah anak diajari berbagai ilmu pendidikan dan berbagi pengetahuan serta ketrampilan-keramilan,
keberadaan anak di sekolah mempengaruhi perilaku anak. Struktur dan iklim kelas juga merupakan salah
satu unsur pokok yang akan turut mewarnai perilaku anak. Guru yang berperan sangat dominan dalam
merancang, mengatur, dan mengisi aktivitas kelas. Sedangkan anak lebih cenderung mengikuti apa yang
dikehendaki atau ditugaskan oleh guru. Pola kegiatan seperti itu diprediksikan akan sangat membosankan
dan menyiksa anak-anak, karena kegiatan mereka lebih terbatas pada memperhatikan dan mencatat
pembicaraan dan tulisan guru.Karena sekolah itu sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat
pendidikan, maka tak heran jika kita golongkan sekolah sebagai tempat atau lembaga pendidikan kedua
sesudah keluarga, lebih-lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan kelurga dengan guru sebagai ganti
orang yang harus ditaati.
Lingkungan pendikan ketiga yaitu masyarakat, selain di rumah dan di sekolah, anak juga bergaul dengan
masyarakat sekitar. Masyarakat yang baik biasanya memunculkan sikap yang baik pula bagi anak. Sikap
anak biasanya cenderung sama dengan teman-teman bermainnya. Ia akan melakukan apa yang temantemannya biasa lakukan.
Masyarakat merupakan tempat anak-anak hidup dan bergaul dengan anak-anak dan orang dewasa lainnya
memiliki peranan dan pengaruh tertentu dalam pembentukkan kepribadian dan perilaku anak. Pengalamanpengalaman interaksional anak pada masyarakat ini akan memberi kontribusi tersendiri dalam pembentukkan
perilaku dan perkembangan pribadi anak.
Landasan Pedagogik
2014
Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak, maka sekolah dalam hal ini guru, seyogyanya
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau
pendapat tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan oleh guru.
Pada saat duduk di sekolah dasar, dalam perkembangan kognitif menurut Piaget dalam Danim (2014) masa
ini berada pada tahap operasi konkret, yang ditandai dengan kemampuan, yaitu:
1. Mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan ciri-ciri yang sama.
2. Menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka angka atau bilangan.
3. Memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber
dari panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh
mata denga kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, khusunya dikelas-kelas tinggi, kelas 4, kelas 5, dan
kelas 6, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu:
1. Negasi (negation), yaitu pada masa kongkrit operasional, anak memahami hubungan-hubungan antara
benda atau keadaan yang satu dengan benda atau keadaan yang lain.
2. Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu
keadaan.
3. Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda yang ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat
bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang
memungkinkannya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
Pada usia 5-7 tahun, kemampuan bicara anak-anak menjadi sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka
berbicara dalam kalimat yang lebih panjang dan lebih rumit. Mereka menggunakan lebih banyak kata
hubung, kata depan, dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan susunan, dan dapat menangani
semua bagian pembicaraan. Masih lagi, saat anak-anak pada usia ini berbicara secara lancar, dapat
dimengerti dan benar menurut tata bahasa, mereka harus menguasai beberapa poin bahasa.
Ada dua proses yang memungkinkan perubahan ini,yaitu Asimilasi dan Akomodasi. Asimilasi merupakan
proses kognitif yang menggabungkan informasi dari lingkungan kedalam skemata yang ada. Sebaliknya,
Akomodasi adalah proses kognitif yang mengubah skemata yang ada atau membuat skemata yang baru
untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Melalui Asimilasi, ana-anak menambahkan informasi baru ke
dalam gambaran mereka tentang dunia, dan melalui Akomodasi, mereka mengubah gambaran mereka
tentang dunia berdasarkan informasi baru.
2.3.1.2. Perkembangan dan Sikap Emosional
Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses
peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh pada anak. Pada
usia sekolah (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, kelas 5, dan kelas 6), anak mulai menyadari bahwa
pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, dia
mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi
diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah
berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka
perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam
mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah, mudah mengeluh,
Perspektif Perkembangan Peserta Didik Terhadap Tujuan Pendidikan
59
2014
Landasan Pedagogik
kecewa, dan pesimis dalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil
atau tidak sehat.
Gambaran tentang karateristik emosi anak itu dapat dilihat pada tabel2.1. di bawah ini:
Tabel 2.1. Karakteristik Emosi Anak
Karateristik Emosi yang Stabil (Sehat)
Karateristik Emosi yang Tidak Stabil
(Tidak Sehat)
Menunjukkan wajah yang ceria
Menunjukkan wajah yang murung.
Mau bergaul dengan teman secara baik
Mudah tersinggung
Bergairah dalam belajar
Tidak mau bergaul dengan orang lain.
Dapat berkonsentrasi dalam belajar
Suka marah-marah
Bersikap respek (menghargai) terhadap diri Suka mengganggu teman
sendiri dan orang lain
2.3.2.
60
Landasan Pedagogik
2014
Meskipun pada usia remaja kemampuan kognitifnya telah berkembang dengan baik, yang
memungkinkannya untuk dapat mengatasi stres atau fluktuasi emosi secara efektif, tetrapi ternyata masih
banyak remaja yang belum mampu mengelola emosinya, sehingga mereka banyak mengalami depresi,
marah-marah, dan kurang mampu meregulasi emosi. Kondisi ini dapat memicu masalah, seperti kesulitan
belajar, penyalahgunaan obat, dan perilaku menyimpang. Dalam suatu penelitian dikemukakan bahwa
regulasi emosi sangat penting bagi keberhasilan akademik. Remaja yang sering mengalami emosi yang
negarif cenderung memiliki prestasi belajar yang rendah.
2.3.3.
61
2014
Landasan Pedagogik
2.4.
Tujuan pendidikan
Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pembinaan dan bimbingan yang dilakukan seseorang secara terus
menerus kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan (Basri, 2013). Proses pendidikan ini
berlangsung sampai peserta didik mencapai kepribadian mandiri dan bertanggung jawab atau mencapai
kedewasaan. Hal ini menjadi batas akhir dari proses pendidikan secara normatif. Kedewasaan dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk menetapkan pilihan/keputusan serta mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara mandiri telah tercapai.
Dalam Basri (2013) terdapat beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli diantaranya:
1. Menurut W.J.S. Poerwadarminta, secara bahasa pengertian pendidikan adalah kata benda yang berarti
proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam upaya mendewasakan
manusia melalui pembelajaran dan latihan.
2. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani untuk membentuk
kepribadian dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan peserta didik dimasyarakat.
3. Menurut Omar Muhammad Toumy As-Syaibany, pendidikan merupakan perubahan tingkah laku yang
diinginkan dan diusahakan sebagai dampak dari pendidikan atau dikonotasikan sebagai pendidikan
62
Landasan Pedagogik
2014
etika. Selain itu, pendidikan juga menekankan pada aspek produktivitas dan kreativitas manusia
sehingga dapat berperan dan berprofesi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan dalam prakteknya haruslah secara lengkap mencakup membimbing, mendidik, mengajar, dan
pengajaran. Dalam fenomena kehidupan manusia, pendidikan meliputi beberapa aspek, yaitu: aspek lahiriah,
psikologis, dan rohaniah.
1. Pendidikan dari aspek lahiriah, yaitu pendidikan yang dapat memberikan pengertian dan pengetahuan
bagaimana cara mengangkat harkat dan martabat sebagai manusia yang merdeka secara lahiriah maupun
batiniah dengan menggunakan akal dan fikiran.
2. Pendidikan dari aspek psikologis adalah pendidikan yang berkaitan dengan pribadi manusia pada setiap
tahap perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia
perkembangannya.
3. Pendidikan dari aspek rohaniah adalah pendidikan sebagai bentuk kegiatan yang mengembangkan
kemampuan dan sikap rohaniah yang meliputi mental, intelektual dan spiritual.
Pendidikan sebagai upaya mengembangkan kualitas diri manusia harus mencakup semua aspeknya. Hal ini
disebabkan, pendidikan dalam aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu akan melibatkan semua aspek yang
berkaitan satu dengan lainnya.
Tujuan pendidikan merupakan sasaran yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Ruang lingkup sasaran
pendidikan yang ingin dicapai misalnya dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, pembaharuan,
pembangunan, dan lain sebagainya. Pendidikan harus memiliki tujuan, karena inti dari pendidikan adalah
perbuatan mendidik. Di mana perbuatan mendidik tidak boleh dilakukan sembarangan, karena pendidikan
menyangkut kehidupan dan nasib peserta didik untuk kehidupan selanjutnya.
Menurut Langeveld (Rasyidin, 2014), tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tujuan umum (total atau akhir), yaitu tujuan yang paling akhir dicapai atau merupakan keseluruhan
tujuan yang ingin dicapai, seperti membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dan lain-lain.
2. Tujuan khusus, yaitu pengkhususan tujuan dari tujuan umum atau pengkhususan tujuan pendidikan
kepada peserta didik berdasarkan usia, jenis kelamin, intelegensi (super normal, normal, dan di bawah
normal), bakat atau minat, dan lain sebagainya.
3. Tujuan tak lengkap, yaitu tujuan yang hanya meliputi salah satu aspek saja, misalnya aspek psikologis,
sosiologis, dan lain sebagainya.
4. Tujuan sementara, yaitu tujuan yang dicapai pada tiap tingkat perjalanan menuju tujuan akhir dan hanya
berlaku sementara. Apabila tujuan yang diinginkan sudah tercapai, maka tujuan sementara tersebut
ditinggalkan. Misalnya menyelesaikan belajar di SD merupakan tujuan sementara untuk selanjutnya
menuju ke SMP, SMA, dan seterusnya.
5. Tujuan intermedier, yaitu tujuan perantara untuk mencapai tujuan pokok. Misalnya memasukkan anak
dalam lembaga kursus Bahasa Inggris, agar anak mampu menguasai Bahasa Inggris.
6. Tujuan insidental, yaitu tujuan yang ingin dicapai pada saat-saat tertentu. Misalnya memberitahu caracara makan yang sopan pada saat makan bersama.
Tujuan pendidikan ini berbeda dengan tujuan pada proses pembelajaran. Dalam pendidikan tidak terdapat
tujuan jangka pendek, melainkan hanya tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Di mana tujuan umum,
tujuan esensial, tujuan lengkap, dan tujuan akhir dari pendidikan adalah kedewasaan (adulthood).
Secara hirarki, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi:
1. Tujuan nasional
Tujuan nasional adalah tujuan terakhir (tertinggi) yang menjadi tujuan semua lembaga yang bergerak di
bidang pendidikan. Tujuan nasional ini merupakan tujuan pendidikan yang terdapat dalam UndangPerspektif Perkembangan Peserta Didik Terhadap Tujuan Pendidikan
63
2014
Landasan Pedagogik
Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu: pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis, serta bertanggungjawab.
Tujuan umum pendidikan nasional mengandung rumusan kualifikasi umum yang diharapkan akan
dimiliki oleh setiap warga negara setelah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan nasional
tertentu (Suwarno, 1992).
2.
Tujuan institusional
Tujuan institusional adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dari lembaga
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Setiap lembaga pendidikan memiliki tujuan yang berbeda
sesuai dengan karakteristik lembaganya (Suardi, 2010).
3.
Tujuan kurikuler
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap mata pelajaran atau bidang studi yang
disusun berdasarkan tujuan institusional. Misalnya tujuan mata pelajaran matematika, mata pelajaran
bahasa inggris, dan sebagainya. Perumusan tujuan kurikuler berpedoman pada kategorisasi tujuan
pendidikan atau taksonomi tujuan yang dikaitkan dengan setiap mata pelajaran atau bidang studi
(Suardi, 2010).
4.
Tujuan instruksional
Tujuan instruksional adalah tujuan yang harus dicapai pada saat pelaksanaan proses pembelajaran.
Tujuan instruksional dibedakan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
Tujuan instruksional umum merupakan kualifikasi hasil belajar yang diharapkan dimiliki oleh peserta
didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Sedangkan tujuan instruksional khusus merupakan
penjabaran dari tujuan instruksional umum, sehingga tujuan tersebut lebih mudah untuk dinilai dan
tidak menimbulkan salah penafsiran (Suwarno, 1992).
Dalam tujuan pendidikan nasional, jelas dinyatakan bahwa pendidikan harus mampu membentuk atau
menciptakan tenaga-tenaga yang dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam proses perkembangan
pembangunan. Proses perkembangan pembangunan membutuhkan manusia yang berjiwa membangun, yaitu
manusia yang dapat menunjang pembangunan bangsa dari segi material, spiritual, maupun sosial budaya.
Tujuan pendidikanharus mengarah pada kreativitas peserta didik, yaitu pendidikan harus dapat membuat
peserta didik menjadi manusia kreatif yang bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada. Selain itu, tujuan
pendidikanharus berorientasi pada keterlibatan sosial, yaitu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk mampu hidup dan berinteraksi masyarakat secara bertanggung jawab. Selanjutnya, tujuan pendidikan
juga harus mampu membentuk peserta didik menjadi makhluk yang sempurna, yaitu mengembangkan
potensi-potensi peserta didik semaksimal mungkin sehingga menjadi pandai, terampil, jujur, yang sadar akan
kemampuan, serta kehormatan dirinya.
2.5.
Peserta didik merupakan salah satu komponen pendidikan yang sangat penting kedudukannya, baik sebagai
subyek maupun obyek pendidikan. Peserta didik dalam pendidikanmerupakan individu yang sedang tumbuh
dan berkembang secara fisik dan mental menuju kedewasaan.
64
Landasan Pedagogik
2014
Kedewasaan peserta didik menurut Langeveld dalam Rasyidin(2014) merupakan tujuan umum, tujuan
esensial, tujuan lengkap, dan tujuan akhir dari pendidikan. Peserta didik yang sudah mencapai kedewasaan
berarti sudah mampu memilih sikap hidup, pandangan hidup, dan jalan hidupnya sendiri. Proses
perkembangan peserta didik menuju kedewasaan tidak terjadi secara langsung sebagai akibat dari suatu
tindakan, tetapi perubahan secara perlahan yang lahir dari dalam diri peserta didik.
Kedewasaan sebagai tujuan pendidikan yang esensial dan berlaku umum pada semua peradaban, lintas
budaya dan negara menurut Langeveld dalam Rasyidin (2014)memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Kedewasaan lebih bersifat statis, stabil, padu, dan tertutup walaupun usia atau pengalaman bertambah.
Bersifat statis maksudnya mantap atau tak mudah berubah terhadap pilihan/putusan yang sudah
ditetapkan.
2. Kedewasaan merupakan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terintegrasi dengan rasa hormat,
menghargai, dan peduli terhadap lingkungan dan sesama.
3. Kedewasaan berarti bersedia diuji/diadili dalam pergaulan hidup eksternal yang berkaitan dengan
komitmennya untuk menilai perilaku sendiri secara internal yang relevan dengan nilai-nilai pilihan dan
kepedulian terhadap masyarakat umum, sehingga lebih mengutamakan penyelesaian permasalahan
tanpa kekerasan atau konflik.
4. Kedewasaan merupakan turut serta secara konstruktif memadukan kepentingan individu dengan
tanggung jawab sosial, serta tidak hanya berpatisipasi aktif tetapi juga secara sadar tidak hanyut dalam
pergaulan hidup.
5. Kedewasaan itu mencapai norma-norma kehidupan secara pribadi. Di mana norma-norma dari luar
diolah secara internal dan direnungkan sebagai pilihan moral untuk memperkaya proses belajarnya.
6. Kedewasaan itu memiliki perasaan dan apresiasi humor.
Tentu saja tidak ada kedewasaan yang sempurna, walaupun semua situasi pendidikan sudah tertuju pada
norma kedewasaan secara universal. Akan tetapi, peserta didik dituntut untuk mencapai kedewasaan yang
sempurna tersebut sebagai tujuan dari pendidikan.
Menurut Basri (2013), perkembangan peserta didik terhadap tujuan pendidikan dapat dilihat dari berbagai
perspektif, yaitu: perspektif psikologis, pendagogis, religius, dan historis.
1. Perspektif Psikologis
Menurut perspektif ini, peserta didik adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang menurut
potensi dirinya. Agar proses perkembangannya optimal, peserta didik membutuhkan bimbingan dan
arahan. Peserta didik yang sedang berkembang akan mengalami perubahan secara kualitatif dan
kuantitatif. Perubahan secara kualitatif,contohnya bertambah matang dalam bersikap dan dewasa dalam
berpikir.Perubahan secara kuantitatif, contohnya mengalami pertumbuhan seperti tinggi badan, berat
badan, dan sebagainya.
Tujuan pendidikan berdasarkan perspektif psikologis perkembangan peserta didik menurut Rasyidin
(2014), yaitu:
Pertama, supaya peserta didik menerima dan menguasai kekelaminannya dan tidak memperalatnya,
apalagi sampai menolaknya. Apabila peserta didik tersebut berjenis kelamin laki-laki, maka dia harus
menghargai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, supaya peserta didik mencapai tujuan-tujuan pendidikan sementara sesuai dengan usia
kronologisnya.
Ketiga, supaya peserta didik menyadari bahwa dirinya memiliki kemungkinan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
65
2014
2.
Landasan Pedagogik
Perspektif Pedagogis
Dalam perspektif pedagogis, peserta didik diartikan sebagai sejenis makhluk hidup homo educandum,
yaitu makhluk yang memerlukan pendidikan. Di mana peserta didik dipandang sebagai manusia yang
memiliki potensi yang bersifat laten, sehingga dibutuhkan binaan dan bimbingan untuk
mengaktualisasikannya agar ia dapat menjadi manusia yang cakap. Setiap peserta didikdapat dididik
seperti yang diinginkan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Apabila potensi ini dididik dan
dikembangkan secara optimal, maka peserta didik akan menjadi manusia yang secara fisik maupun
mental mampu menghadapi tantangan masa depan.
Tujuan pendidikan dalam perspektif pedagogis adalah membangun kesadaran peserta didik akan potensi
dirinya dan mengembangkan potensi ini untuk dapat hidup mandiri di masa yang akan datang. Selain
itu, tujuan pendidikan dalam perspektif ini juga menjadikan peserta didik memiliki kemampuan berpikir
kritis, kreatif, cerdas, dan terampil dalam menghadapi segala permasalahan hidup.
3.
Perspektif Religius
Perspektif ini memandang peserta didik sebagai makhluk berketuhanan memiliki potensi untuk
mengembangkan dirinya, sehingga menjadi manusia yang bertakwa, taat, dan tunduk kepada Allah
SWT. Pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan utama pendidikan. Pembentukan akhlak dilakukan
setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik mengikuti proses
alami.
Tujuan pendidikan dalam perspektif religius adalah melaksanakan proses pendidikan yang selalu
menanamkan nilai-nilai religius pada peserta didik. Pendidikan harus menginternalisasikan dan
memanifestasikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam pribadi peserta didik.
4.
Perspektif Historis
Menurut perspektif historis, peserta didik sebagai makhluk belajar yang memiliki kemampuan dalam
mengerti makna peristiwa historis sebagai fenomena kebudayaan umat manusia sepanjang zaman.
Dalam pribadi peserta didik ditanamkan sikap dan pandangan positif terhadap berbagai peristiwa
historis masa lampau agar mendapatkan berbagai alternatif pemecahan masalah kehidupan, baik
masalah pribadi, kemasyarakatan, maupun masalah negara dan bangsa.
Historis secara umum sangat penting bagi pendidikan dalam membentuk karakter bangsa, yaitu watak,
tabiat, akhlak atau budi pekerti bangsa.Dengan memahami historis, akan membentuk berbagai karakter
pada peserta didik. Misalnya jiwa patriotisme, nasionalisme, dan cinta tanah air. Nilai-nilai karakter
yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik dengan memahami historis adalah peserta didik menyadari
akan jati dirinya dan tetap memegang teguh nilai-nilai karakter tersebut dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik sebagai tujuan
pendidikan adalah (a) religius, (b) jujur, (c) toleransi,(d) disiplin, (e) kerja keras, (f) kreatif, (g) mandiri,
(h) demokratis, (i) rasa ingin tahu, (j) semangat kebangsaan, (k) cinta tanah air, (l) menghargai prestasi,
(m) bersahabat/komunikatif, (n) cinta damai, (o) gemar membaca, (p) peduli lingkungan, (q) peduli
sosial, (r) tanggung jawab peran masyarakat.
Pendidikan tentang nilai-nilai karakter bangsa ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didikdalam memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
66
Landasan Pedagogik
2014
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
67
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
Bahasa, Pusat. (2008).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Basri, H. (2013). Landasan Pendidikan. Pengantar: Prof. Dr. H. Afifudin, MM. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Danim, S. (2014). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.
Desmita.(2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosda Karya.
Djamarah, S.B. (2008).Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hurlock, E.B. (1980).Psikologi Perkembanag: Suatu Pendekatan sepanjang rentang kehidupan; Terj.
Istiwidayanti dan Sudjarwo, Jakarta: Erlangga.
Kuntjojo.(2010).Ringkasan
Mata
Kuliah:
Perkembangan
Peserta
Didik.
http://ebekunt.files.wordpress.com/2011/02/ppd.pdf. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Monks, F.J. dan Knoers, A.M.P. (2004).Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Terj. Siti Rahayu Aditono. Yogyakarta: Gajah mada University Press.
Mukhtar. (2003). Konsep Diri Remaja Menuju Remaja Pribadi. Jakarta: PT. Rakasta Samasta.
Nizar, S. (2002). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat Pers.
Poerwadarminta, W.J.S. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Rasyidin, W. (2014). Pedagogik Teoretis dan Praktis. Pengantar: Prof. Sunaryo Kartadinata. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Edisi ke-2. Jakarta: Kencana Media Group.
Suardi, M. 2010. Pengantar pendidikan teori dan aplikasi. Jakarta : PT Indeks.
Sumanto. (2013). Psikologi Perkembangan. Fungsi dan Teori. Yogyakarta: CAPS).
Suparno, S. (2001). Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Suwarno. (1992). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Syah, M.(2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Syah, M. (2009).Psikologi Belajar. Ed. Revisi. 8.Jakarta: Rajawali Pers.
Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
68
Landasan Pedagogik
2014
69
2014
Landasan Pedagogik
RIWAYAT HIDUP
NAMA
: Julita
NIM
: 1402130
PRODI
: S3 Pendidikan Matematika
TEMPAT/TGL LAHIR
: Bangka, 24 Juli 1970
INSTANSI
: SMA Negeri 10 Kota Bogor
MASA KERJA
: 22 tahun
PENGALAMAN KERJA
:
- Guru Matematika dan Waka. Kurikulum SMP Muhammadiyah Kota
Bogor (1992 2003)
- Guru Matematika SMAN 10 Kota Bogor (2002 sekarang)
- Waka. Kurikulum SMAN 10 Kota Bogor (2011 2013)
- Tim Pengembang Kurikulum SMAN 10 Kota Bogor (2010 sekarang)
- Dosen Universitas Pakuan Kota Bogor ( 2014 sekarang)
70
Landasan Pedagogik
BAGIAN III
LANDASAN RELIGI DAN NILAI-NILAI
TUJUAN PENDIDIKAN
Nitta Puspitasari (1402017)
H. Beni Yuspa GP. (1402322)
2014
Landasan Pedagogik
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini Indonesia sedang gencar menerapkan sistem pendidikan karakter guna mendidik para generasi
penerus bangsa menjadi manusia yang berkarakter. Pendidikan karakter dilaksanakan dengan menanamkan
nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran maupun mata kuliah yang diajarkan oleh semua instansi
pendidikan kepada para siswa maupun mahasiswa. Indonesia dihadapkan pada perubahan, perkembangan
dan kemajuan di segala bidang, baik teknologi maupun dalam bidang pendidikan. Mau tidak mau, sistem
pendidikan di Indonesia harus diubah dan segera diimplementasikan, serta melakukan inovasi-inovasi sistem
dan pembelajaran agar generasi muda Indonesia tidak tersaingi dan kalah oleh pendidikan Asia (Cina,
Jepang, Malaysia, Brunei, Singapore, Taiwan, Korea). Organisasi dunia UNESCO (United Nations,
Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa
sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4)
learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ
dan SQ. Di indonesia, tujuan pendidikan termuat dalam naskah UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan Pendidikan Nasional dalam UUD 1945 Pasal 31, ayat 3
menyebutkan,
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang.Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Bab II pasal 3 berbunyi
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Terlihat jelas, amanah undang-undang itu bahwa tujuan dilaksanakannya penyelenggaraan pendidikan adalah
selalu tidak lepas dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME agar masyarakat Indosesia
berakhlak mulia. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan itu tidak hanya untuk mencerdaskan anak
bangsa pada sisi kognitifnya saja, melainkan afektif dan psikomotornya. Pemerintah melalui kementrian
pendidikan berupaya terus untuk mengembangkan pendidikan yang berkarakter pada setiap jenjang
pendidikan.
Agustin (Rukiyati, 2013) mengemukakan bahwa berdasarkan analisis ESQ ditenggarai ada tujuh krisis moral
di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yakni: krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke
depan, krisis disiplin, krisis keadilan, dan krisis kepedulian. Sebenarnya masalah-masalah tersebut bukan
hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Amerika Serikat misalnya, telah
menyadari bahwa terjadi kemerosotan nilai-nilai moral sejak tiga dekade yang lalu dan hal tersebut
membangkitkan kesadaran dan aksi untuk membenahi warganya melalui pendidikan karakter di sekolahsekolah. Sejalan dengan itu, kurikulm 2013 yang berbasis karakter diterapkan untuk mewujudkan hal
tersebut.
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (2010) terdapat 18 nilai karakter pada kurikulum 2013 yang
ditanamkan dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan dan tanggung
jawab. Lebih lanjut dapat dilihat secara lengkap deskripsi dari masing-masing nilai karakter yang
diharapakan sesuai dengan yang dikemukakan Kementrin Pendidikan Nasional (2010) adalah sebagai
berikut:
Landasan Religi dan Nilai-Nilai Tujuan Pendidikan
71
2014
Landasan Pedagogik
Tabel 1.
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Kaarakter Bangsa
NILAI
1. Religius
2.Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja Keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokrasi
9. Rasa Ingin Tahu
10.Semangat Kebangsaan
13.Bersahabat/ Komunikatif
15.Gemar Membaca
72
DESKRIPSI
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan
orang lain yang berbeda dari dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya.
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
Landasan Religi dan Nilai-Nilai Tujuan Pendidikan
Landasan Pedagogik
NILAI
2014
DESKRIPSI
lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.
Sejalan dengan nilai karakter yang dikembangkan, cakupan kompetensi lulusan kurikulum 2013 berdasarkan
elemen-elemen yang harus dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.
Kompetensi Lulusan Berdasarkan Elemen-Elemen yang Harus Dicapai
DOMAIN
Elemen
Proses
Individu
SIKAP
Sosial
Alam
Proses
KETERAMPILAN
PENGETAHUAN
Abstrak
Konkret
Proses
Objek
Subyek
SD
SMP
SMA-SMK
Seperti halnya pendidikan nilai dan karakter bangsa, dikembangkan mulai dari nilai religius. Begitu juga
dengan kompetensi lulusan yang harus dicapai dalam kurikulum 2013. Domain sikap ditempatkan pertama
kali yang berisi diantaranya adalah bahwa individu harus beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi internal. Nilai religius selalu
ditempatkan di awal, ini menandakan betapa pentingnya nilai-nilai agama dalam mengembangkan
pendidikan karakter anak bangsa. Agama menjadi fondasi utama, agar siswa sebagai anak bangsa tumbuh
dan berkembang sesuai dengan norma-norma.
Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu nilai karakter dan cakupan kompetensi lulusan adalah religius,
merupakan hal utama yang akan dikaji dalam makalah ini. Religius, adalah sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Menurut Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Suyanto (Suparlan, 2010)
karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan
yang dibuat. Lebih lanjut, Suparlan (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha
sengaja atau sadar untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusian yang baik secara objektif, bukan
hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Dengan
demikian, proses pendidikan karakter, ataupun pendidikan akhlak dan karakter bangsa sudah tentu harus
dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan
berpartisipasi dan berperan serta, termasuk orang tua dari siswa itu sendiri (E-learning Pendidikan, 2011).
Menurut Rukiyati (2013) pendidikan karakter harus bersifat holistik, terlebih lagi di Indonesia yang
berpandangan hidup Pancasila. Pendidikan karakter holistik dapat diartikan sebagai upaya memperkenalkan
dan menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan yang menjadikan peserta didik menjadi manusia yang utuh (a
whole human being). Nilai nilai kehidupan yang dimaksud merupakan kesatuan sistem nilai yang bertitik
Landasan Religi dan Nilai-Nilai Tujuan Pendidikan
73
2014
Landasan Pedagogik
tolak dari filsafat manusia yang memandang bahwa manusia adalah mahluk individual-sosial, jasmaniahrohaniah, mahluk otonom sekaligus makhluk Tuhan.
Ali (Rukiyati, 2013) menyatakan bahwa dalam Laporan The Club of Roma (Lingkaran Roma) yang berjudul:
The First Global Revolution digambarkan situasi dunia kontemporer sebagai sesuatu yang mengerikan
sekaligus sebagai kompleksitas yang penuh harapan. Awal abad XXI adalah tahap permulaan pembentukkan
masyarakat dunia baru yang berbeda dengan masa lalu, yaitu suatu revolusi kehidupan pasca industri dari
milenium sebelumnya. Revolusi global ini tidak dibangun dengan ideologi tunggal, melainkan dengan faktor
sosial, ekonomi, teknologi, budaya dan etnik. Lebih lanjut Ali (Rukiyati, 2013) menegaskan pentingnya
kembali menampilkan dimensi spiritual serta etika yang telah dikembangkan oleh agama-agama sepanjang
sejarah yang selama ini dipandang tidak begitu berhasil karena berbagai sebab. Pembangunan dimensi
spiritual dan etika hendaknya lebih dipahami sebagai keniscayaan humanisme baru. Hal ini dapat diartikan
sebagai seruan pentimg untuk mengeksplorasi kekuatan-kekuatan agama dan spiritualitas dalam membangun
dunia.
Selain itu, Ali (Rukiyati, 2013) juga menyatakan sebagai berikut. Bagi orang-orang yang memiliki
wawasan mendalam, pentingnya transformasi dunia bagian luar tidak mungkin terjadi tanpa transformasi
bagian dalam yang sebenarnya. Bagaimana kita dapat menciptakan keseluruhan (wholeness) dan harmonitas
dalam dunia yang hancur? Untuk mengubah petunjuk pikiran dan tindakan manusia, kita dapat
menentukannya dalam warisan agama-agama dunia, melalui cara perenungan sebagaimana mestinya. Kita
sering melupakan bahwa jika penduduk dunia kurang lebih 5.000 juta jiwa, hanya 1.000 juta yang menganut
paham sekuler, 4000 juta jiwa lainnya mempunyai pandangan agama-agama...
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat baik dari
lembaga formal maupun informal dalam membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas
yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses pembentukan pribadi manusia
yang berkualitas, dengan tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses
penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti agar tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang
menjadikan moral sebagai dasar yang sangat penting dalam setiap peradaban bangsa.
Masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan adalah masalah pendidikan dan yang perlu mendapat
perhatian khusus adalah tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sebagai arah pelaksanaan pendidikan.
Sehingga dasar pendidikan itu akan menentukan corak dan isi pendidikan, dan akan menentukan ke arah
mana anak didik itu dibawa.
74
Landasan Pedagogik
2014
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Religius , Agama dan Diin.
1. Pengertian religi
Religi berasal dari Bahasa Latin, asalnya relegere, artinya mengupulkan, membaca. Kata religi atau reliji
juga berasal dari kata religie (Bahasa Belanda), atau religious ( Bahasa Inggris). Agama memang kumpulan
cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan harus dibaca. Pendapat lain mengatakan asal kata itu berasal dari kata
religare, artinya mengikat. Maksudnya adalah mengikat dari pada kekuatan gaib yang suci, yakni Tuhan.
Kekuatan gaib yang suci tersebut diyakini sebagai kekuatan yang menentukan jalan hidup dan yang
mempengaruhi kehidupan manusia.
Menurut Cicero (Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan,
yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab, agama dikenal
dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk
(kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan
(kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan
pemerintahan), al-tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-thaat (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan
dan mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002). Dengan demikian, kata religi pada dasarnya mempunyai
pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, yang menentukan jalan hidup dan
mempengaruhi kehidupan manusia.
Definisi lain mengatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran
yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral (Chatters dalam Thontowi). Menurut Majid (Thontowi)
religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau
alam gaib, yaitu kenyataan -kenyataan supra-empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana
layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya
dibawah supra-empiris.
Ananto (Thontowi) menerangkan religius seseorang terwujud dalam berbagai bentuk dan dimensi, yaitu:
a. Seseorang boleh jadi menempuh religiusitas dalam bentuk penerimaan ajaran-ajaran agama yang
bersangkutan tanpa merasa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi penganut agama tersebut.
Boleh jadi individu bergabung dan menjadi anggota suatu kelompok keagamaan, tetapi sesungguhnya
dirinya tidak menghayati ajaran agama tersebut.
b. Pada aspek tujuan, religiusitas yang dimilki seseorang baik berupa pengamatan ajaran- ajaran maupun
penggabungan diri ke dalam kelompok keagamaan adalah semata-mata karena kegunaan atau manfaat
intrinsik religiusitas tersebut. Boleh jadi bukan karena kegunaan atau manfaaat intrinsik itu, melainkan
kegunaan manfaat yang justruk tujuannya lebih bersifat ekstrinsik yang akhirnya dapat ditarik
kesimpulan ada empat dimensi religius, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik, serta sosial intrinsik
dan sosial ekstinsik.
Aspek religiusitas menurut kementrian dan lingkungan hidup RI 1987 (Caroline, 1999) dalam Thontowi,
religiusitas (agama Islam) terdiri dalam lima aspek:
a. Aspek iman menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi dan
sebagainya.
b. Aspek Islam menyangkut freluensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang
telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa dan zakat.
c. Aspek ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran
Tuhan, takut melnggar larangan dan lain-lain.
d. Aspek ilmu yang menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agama.
75
2014
Landasan Pedagogik
e. Aspek amal menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain,
membela orang lemah, bekerja dan sebagainya.
Menurut Glock (Thontowi) bahwa ada lima aspek atau dimensi religiusitas yaitu:
a. Dimensi Ideologi atau keyakinan, yaitu dimensi dari keberagamaan yang erkaitan dengan apa yang harus
dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau doktrin agama
adalah dimensi yang paling mendasar.
b. Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi keberagaman yang berkaitan dengan sejumlah perilaku, dimana
perilaku tersebut sudah ditetapakan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa,
berpuasa, shalat atau menjalankan ritual -ritual khusus pada hari-hari suci.
c. Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh
penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang
dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika mela
kukan sholat.
d. Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap ajaranajaran agama yang dianutnya.
e. Dimensi Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang
diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Moeis (2008), Koentjaraningrat (1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di
Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan; dalam banyak hal yang
membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih menghindari istilah agama, dan lebih menggunakan
istilah yang lebih netral, yaitu religi. Ada juga yang berpendirian bahwa suatu sistem religi merupakan
suatu agama, tetapi itu hanya berlaku bagi penganutnya saja; sistem religi Islam merupakan agama bagi
anggota umat Islam, sistem religi Hindu Dharma merupakan suatu agama bagi orang Bali; ada juga pendirian
lain yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara.
Lebih lanjut Mois (2008) menyatakan bahwa sebenarnya pendapat Koentjaraningrat di atas yang mengatakan
bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen,
yaitu :
1. Emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat
Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa atau
Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.
Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang
terintegrasi secara bulat; emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.
Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang terjadi apabila manusia terhinggap oleh getaran jiwa
tadi, agaknya belum banyak diteliti oleh orang-orang yang berkepentingan tentangnya, namun demikianlah
kira-kiranya keadaan jiwa manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.
Sedangkan Tylor (1873), dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori tentang jiwa;
dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau soul, kesadaran mana yang
pada dasarnya disebabkan oleh dua hal:
a. Perbedaan yang tampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati; suatu mahluk
pada satu saat dapat bergerak-gerak, berbicara, makan, menangis, berlari-lari dan sebagainya, artinya
mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada saat yang lain mahluk itu seolah-olah tidak melakukan
aktifitas apa-apa, tidak ada tanda-tanda gerak pada mahluk itu, artinya makhluk itu telah mati. Demikian
76
Landasan Pedagogik
2014
lambat laun manusia mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh sesuatu hal
yang ada di samping tubuh-jasmani, dan kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagai jiwa.
b. Peristiwa mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat
tidurnya. Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan
suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain; bagian lain itulah yang disebut sebagai
jiwa(Moeis, 2008).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religius merupakan suatu bentuk hubungan
manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang dan
tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
2. Pengertian Agama
Agama berasal dari kata Sansakerta, yang berasal dari dua suku kata, yaitu a artinya tidak 77gama artinya
pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun (Harun Nasution, 1979: 9).
Sedangkan, Sidi Gazalba (1978: 95), memberikan penjelasan tentang pengertian agama, yang berasal dari
kata gam, mendapatkan awalan dan akhiran a, sehingga menjadi agama,artinya jalan. Dalam arti bahwa
agama adalah jalan hidup, atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia sepanjang kehidupannya, atau jalan
yang menghubungkan antara sumber dan tujuan hidup manusia, dan jalan yang menunjukan dari mana,
bagaimana, dan hendak kemana hidup manusia di dunia ni. Sedangkan dalam Tadjab,dkk., (1994: 37)
menyatakan bahwa agama berasal dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Berarti agama artinya
tidak kacau, tidak kocar-kacir dan teratur. Maka istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi manusia. Jadi, agama adalah jalan yang harus
ditempuh oleh manusia dalam kehidupannya didunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan
kesejahteraan serta keselamatan
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama,
namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama.
Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban;
religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya,
1982). Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa
jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam
penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa
jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Fuad Nashori dan Rachmy
Diana Mucharam, 2002).
Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman
kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci.
Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),
tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan
itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman
dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya.
Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat
dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar
dirinya yaitu Tuhan.
Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga,
pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang
remaja yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya,
lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama
baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan
Landasan Religi dan Nilai-Nilai Tujuan Pendidikan
77
2014
Landasan Pedagogik
agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam
hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat,
maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan
ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa religiusitas adalah kedalaman penghayatan keagamaan
seseorang dan keyakinannya terhadap adanya Tuhan yang diwujudkan dengan mematuhi perintah dan
menjauhi larangan dengan keiklasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga.
3. Pengertian Ad-diin
Kata Ad-diin berasal dari Bahasa Arab, dari kata dasar Daana (), artinya hutang atau sesuatu yang harus
dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa semit, (Induk Bahasa Arab), kata Diin ( )berarti undang-undang.
Dengan demikian, bahwa kata daana dan diin menunjukkan pengertian sebagai undang-undang yang harus
ditunaikan oleh manusia dan mengabaikannya berarti hutang yang akan dituntut untuk ditunaikan, serta akan
mendapatkan hukuman jika tidak menunaikannya.
Dari ketiga hal di atas (religious, agama, Ad-diin) dapat diambil suatu pengertian, yaitu: pengakuan adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib dan suci yang harus dipenuhi atau ditunaikan supaya hidupnya
lebih teratur dan mendatangkan kesejahteraan serta keselamatan.
Sedangkan menurut Tadjab, dkk., (1994: 39), dari ketiga kata Religious, Agama, Al-Diin dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa: 1) kekafahan dan penyerahan diri kepada pihak yang lebih berkuasa, 2) ketaatan dan
penghambaan kepada pihak yang gagah perkasa atau berkuasa, 3) Undang-undang atau Hukum dan
peraturan yang berlaku dan harus ditaati, 4) peradilan, perhitungan, atau pertanggungjawaban atas
pembalasan, vonis dsb.
B.
Pendidikan merupakan usaha membuat manusia menjadi lebih dewasa dengan berbagai cara. Dengan
pendidikan manusia akan menjadi mengerti tugas-tugas yang harus ia kerjakan, dan ia juga akan lebih dapat
menyempurnakan dirinya sebagai manusia.
Dengan pendidikan manusia dapat berubah dari bodoh menjadi pandai dan dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Disamping itu tujuan pendidikan ialah untuk memperbaiki sikap dan akhlak seseorang, terlebih
lagi hal itu adalah pendidikan islam. Peran pendidikan dalam mempengaruhi sikap dan kepribadian
seseorang sangat besar. Hal itu ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang tampak riil. Karena pada
dasarnya seorang manusia itu dilahirkan dengan membawa potensi dasar, dan selanjutnya potensi tersebut
dikembangkan dengan pendidikan.
Lingkungan pendidikan tidak hanya lingkungan pendidikan formal atau lebih spesifik dapat dikatakan
dengan sebutan sekolah. Karena pada dasarnya pendidikan itu berlangsung dimanapun, dan kapanpun, yang
hal itu sesuai dengan sabda Nabi yang menyatakan bahwa pendidikan itu berlangsung sejak dari bayi yang
belum bisa apa-apa sampai ia kembali bertemu dengan Tuhannya. Pentingnya pendidikan dalam
mempengaruhi diri seseorang dapat diibaratkan seseorang yang tanpa pendidikan akan sama seperti binatang
bahkan akan lebih jelek akhlaknya dari pada binatang.
Lingkungan juga merupakan pendidikan demikian juga masyarakat, karena semua itu mempengaruhi sikap
dan kepribadian. Kedua hal tersebut dapat digabungkan dengan sebutan jiwa. Terlebih lagi agama
mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan yang timbul pada seseorang. Karena jiwa keagamaan yang
dimiliki seseorang paling besar dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan lingkungannya.
78
Landasan Pedagogik
2014
Pengaruh agama terhadap dunia pendidikan, secara garis besar dapat diklasifikasikan pada dua lembaga
pendidikan;
a. Pendidikan Sekolah
Lembaga pendidikan secara khusus tidak ada (masyarakat primitif). Anakanak umumnya dididik di
lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Jika anak dilahirkan dilingkungan tani, maka dapat
dipastikan dia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungannya. Runtuwene (2013)
menyatakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia
seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral,
spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga
pendidikan dan pelatihan serta nonformal dalam keluarga.
Lebih lanjut Runtuwene (2013) mengatakan bahwa pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya
pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak
sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai mahluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain
pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan
hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia. Dengan demikian maka
betapa pentingnya pendidikan agama di sekolah yang harus masuk dalam setiap proses pembelajaran yang
mencerminkan insan beriman dan bertakwa. Sehingga dalam setiap gerak langkah selalu ada dalam koridor
nilai-nilai yang merupakan cerminan dari agama yang dianutnya.
Menurut Runtuwene (2013) pelajaran agama di sekolah dalam implementasinya menimbulkan problematika
konsepsional dan (sekaligus) operasional. Persoalan pertama secara konsepsional yakni, iman merupakan
suatu yang personal, hak asasi manusia. Hidup beragama dan beriman merupakan suatu yang personal,
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Dimensi persoanal iman merupakan misteri, menuntut
keyakinan iman dan kebebasan penghayatannya yang tidak boleh dipaksakan dari luar. Beragama dan
menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia.
Persoalan kedua, iman berkembang dalam dinamika hidup manusia dan sulit diukur secara kuantitatif berupa
nilai angka. Pada tatanan operasional, apabila guru memberikan nilai 8 (delapan) pada nilai pelajaran agama,
nilai tersebut tidak menjadi ukuran untuk menilai keseluruhan iman siswa. Jika ada nilai siswa yang sama;
apakah memiliki nilai yang sama: pengetahuan, penghayatan, dan implementasi iman mereka?
Persoalan ketiga, Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar iman
untuk internalisasi (pembatinan) nilai-nilai ajaran agama yang disampaikan. Kenyataan di sekolah (terutama
sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah negeri) banyak pelajaran agama tertentu
diberikan kepada siswa dengan perbedaan agama.
Persoalan keempat, penyajian pelajaran agama masih formalistik ritual. Oleh banyak ahli pelajaran agama
di Indonesia meragukan efek positifnya. Pelajaran agama masih sering disajikan secara formalistri-ritual
belaka, tanpa usaha membangun sikap-sikap keterbukaan dan tanggung jawab etis. Lebih memprihatinkan
lagi, adanya keluhan bahwa banyak guru agama yang memiliki paradigma ekslusip, berpikiran sempit dan
tertutup.
Kelima, fasilitas pelajaran agama yang kurang/tidak refresentatif. Kenyataan di lapangan pelajaran agama
yang tidak ada sekolah-sekolah negeri, khususnya siswa yang jumlahnya sedikit sering tidak mendapatkan
tempat/ruang dan jadwal yang representatif untuk pelajaran agama.
Persoalan-persoalan di atas menjadi bagian penting yang harus mendapatkan perhatian semua pihak, baik
pemerintah, sekolah, guru, komite, dan masyarakat luas, sehingga persoalan tersebut dapat diminimalisir atau
79
2014
Landasan Pedagogik
bahan diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya setiap siswa dapat menerima pendidikan agama di
sekolah sesuai yang diharapkan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISIDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan:
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal 55, ayat (5)
menegaskan: Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Selanjutnya masyarakat berhak untuk menyelenggarakan sekolah umum dengan ciri keagamaan. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan
pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, pasal 3 menegaskan: Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
Dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan suatu
keniscayaan sebagai pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik
anak anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolahsekolah. Sebagai contoh, misalnya, anak anak
yang disekolahkan di lembaga pendidikan keagamaan khusus, seperti ; pesantren, seminar, vihara dll. Namun
demikian, meskipun setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan agama di sekolah yang sesuai dengan
agama yang dianutnya, tetapi sekolah khususnya sekolah swasta tidak berkewajiban membangun rumah
ibadah lain selain yang sesuai dengan ciri khasnya dari sekolah tersebut. PP. No. 55 Tahun 2007, pasal 4,
ayat (7) menegaskan: Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun
rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Fungsi sekolah dalam kaitannya, dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai
pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang
tidak menerima pendidikan agama di keluarganya.
b.
1) Pendidikan Keluarga
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran serta keluarga dalam pendidikan. Anakanak sejak balita hingga
usia dewasa memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Maka, tak mengherankan jika Gilbert Higaest
(1961), menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan
keluarga. Dalam konsepsi Islam sangat jelas, bahwa anak yang baru atau bayi yang lahir dalam keadaan
tidak mengetahui apapun, tapi dia diberikan dan dibekali oleh Tuhan berbagai potensi, seperti pendengaran,
penglihatan, dll. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Al-Nahl:
78). Pendidikan menjadi sangat penting dalam menumbuhkembangkan anak. Bahkan beberapa pendapat
mengatakan, pendidikan anak sebenarnya dimulai sejak masa pra-konsepsi, yakni sebelum seorang laki-laki
memilih seorang perempuan untuk dijadikan sebagai istrinya. Beberapa syarat dalam hadis nabi misalnya:
Seorang perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya. Tetapi
agama diisyaratkan untuk dipilih menjadi pertimbangan pertama karena hanya kepada agama, bangunan
keluarga didasarkan. Idealnya adalah semua unsur dimaksud dalam hadist tersebut terpenuhi, yakni aspek
ekonomi, performa fisik, geneologi dan moralitasnya. Namun kenyataannya di dunia ini tidak ada manusia
yang sempurna, sehingga pertimbangan agama yang harus menjadi pilihan pertama yang dianjurkan oleh
Islam kendati disebut terakhir menemukan relevansinya. (Purnomo).
80
Landasan Pedagogik
2014
Ayah dan Ibu sebagai orang tua berkewajiban secara bersama-sama mendidik anak. Kewajiban mendidik
anak, mengajari mereka tentang akidah, ibadah dan moralitas juga merupakan tanggung jawab seorang
bapak. Hal ini seperti tercantum dalam al-Quran Surat Luqman ayat 13 yang artinya:
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya;
Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah
adalah benar-benar kedzaliman yang besar.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam proses pendidikan. Di antara
fungsi keluarga bagi tumbuh kembang anak adalah fungsi protektif, religius, dan edukatif. Keluarga adalah
tempat yang paling aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarganya. Nabi Muhammad SAW bersabda
bahwa: rumahku Surgaku (bayti jannati). Dan kedua orang tua merupakan pendidik yang pertama dan
utama dalam proses tersebut.Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI dalam Supriyatin menyatakan
Tujuan pendidikan keluarga ialah anak dan anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi seseorang yang mandiri dalam masyarakat dan dapat
menjadi insan produktif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya itu. Kemudian setiap anggota keluarga
berkembang menjadi orang dewasa yang mengerti tindak budaya bangsanya dan menjadi seorang yang
bertaqwa sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Pendidikan keluarga sangat penting dalam perkembangan pribadi anak, baik terkait dengan sikap dan mental
anak. Kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak dapat mengakibatkan anak dalam
perkembangannya tidak mampu mandiri dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jelas dalam hal ini
orang tua menjadi tumpuan awal dalam pendidikan anak. Orang tua merupakan bagian yang sangat vital
dalam pendidikan anak dalam keluarga.
Purnomo mengatakan bahwa terdapat dua aspek penting yang harus ditanamkan kepada anak-anak dini usia,
baik laki-laki maupun perempuan, yakni aspek iman dan akhlak. Oleh karena itu, beberapa isyarat dan
petunjuk tentang pendidikan anak sebagaimana yang dikisahkan dalam alQuran (QS. 31:13), bahwa yang
pertama kali diajarkan adalah tauhid (mengenal Tuhan) disusul kemudian dengan pendidikan akhlaq (QS.
31:14-17) menemukan relevansinya dengan potensi yang dimiliki anak. Demikian juga Nabi Muhammad
SAW sendiri ketika pertama kali mendidik umatnya juga menekankan aspek akidah baru disusul akhlak.
Menurut Ihsan dalam Supriyatin (http://digilib.ump.ac.id/files/ disk 1/17/jhptump-a-supriyatin- 830-2babii.pdf), beberapa fungsi lembaga pendidikan keluarga yaitu:
a) Merupakan pengalaman pertama bagi masa anak-anak, pengalaman ini merupakan faktor yang sangat
penting bagi perkembangan berikutnya, khususnya dalam pengetahuan pribadinya.
b) Pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan
berkembang. Kehidupan emosional ini sangat penting dalam pembentukkan pribadi anak.
c) Di dalam keluarga akan terbentuk pendidikan moral. Keteladanan orang tua di dalam bertutur kata dan
berprilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak di dalam keluarga tersebut,
guna membentuk manusia susila.
d) Di dalam keluarga akan tumbuh sikap tolong-menolong/tenggang rasa sehingga tumbuhlah keluarga
yang damai dan sejahtera.
e) Keluarga merupakan lembaga yang memang berperan dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan agama.
f) Di dalam konteks membangun anak sebagai mahluk individu diarahkan agar anak dapat
mengembangkan dan menolong dirinya sendiri. Dalam konteks ini keluarga cenderung untuk
menciptakan kondisi yang dapat menumbuhkan perkembangan inisiatif, kreativitas, kehendak, emosi,
tanggung jawab, keterampilan, dan kegiatan lain sesuai dengan yang ada dalam keluarga.
2) Pendidikan Masyarakat
Pendidikan masyarakat termasuk kedalam lembaga pendidikan yang dapat mempengaruhi terhadap
perkembangan keberagamaan seorang peserta didik. Hubungan masyarakat akan sangat memberi dampak
Landasan Religi dan Nilai-Nilai Tujuan Pendidikan
81
2014
Landasan Pedagogik
dalam pembentukkan pertumbuhan anak. Asuhan masyarakat bersipat seumur hidup (tidak terbatas usia),
tedapat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama.
Dari ketiga lembaga pendidikan di atas dapat di simpulkan bahwa tanggung jawab pendidikan, terutama
pendidikan agama menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Maka dari itu
rasul memerintahkan untuk mendidik seorang anak sebaik mungkin, bahkan ia mengatakan orang tua
mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan masa depan dan jiwa keagamaan seorang anak,
seperti yang tercantum pada hadits tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka
orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majus. Walaupun pada dasarnya manusia
sudah mempunyai fitrah (potensi dasar) yang ada pada dirinya, namun bentuk keyakinan yang akan ia anut
selanjutnya bergantung kepada peran dan pemeliharaan kedua orang tuanya.
C. Tujuan Pendidikan.
Menurut sejarah bangsa Yunani, tujuan pendidikannya ialah ketentraman. Sedangkan menurut Islam, tujuan
pendidikan ialah membentuk manusia supaya sehat, cerdas, patuh, dan tunduk kepada perintah Tuhan serta
menjauhi larangan-larangan-Nya (Ahmadi,1991:99). Muhammad Saw bersabda : Tidak dosa hasud kepada
dua orang, pertama kepada laki-laki yang Allah telah berikan harta kepadanya, maka ia habiskan dalam
kebenaran, kedua laki-laki yang Allah berikan kepadanya Ilmu hikmah, maka ia memutuskan perkara
dengannya dan mengajarkannya.( HR. Bukhori).
Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah
diselenggarakan kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran atau latihan,
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan itu. Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen
dari pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral. Itu sebabnya setiap tenaga pendidikan perlu
memahami dengan baik tujuan pendidikan (Suardi, 2010:7).
Dalam Suwarno (1992) terdapat beberapa pengertian tujuan pendidikan menurut beberapa tokoh, diantaranya
:
1. Ki Hadjar Dewantoro
Tujuan pendidikan adalah mendidik anak agar menjadi manusia yang sempurna hidupnya, yaitu
kehidupan dan penghidupan manusia yang selaras dengan alamnya (kodratnya) dan masyarakatnya.
2. Johan Amos Comenius (Austria, 15921670, tokoh aliran realism pendidikan)
Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang mempunyai pengetahuan kesusilaan dan kasalehan
sebagai persiapan untuk kehidupan di akherat.
3. J.J. Rousseau (Perancis, 17121778, tokoh aliran Naturalisme)
Tujuan pendidikan adalah mempertahankan kebaikan yang ada pada manusia membentuk anak menjadi
anggota masyarakat yang natural.
4. John Heinrich Pestalozzi ( Swiss, 17461827, tokoh pendidikan 82olist)
Tujuan pendidikan adalah mempertinggi derajat rakyat (social regeneration) dengan mengembangkan
potensi jiwa anak secara wajar.
5. Friedrich Frobel (Jerman, 17821852, tokoh pendidikan anak-anak)
Tujuan pendidikan adalah membentuk anak menjadi makhluk aktif dan kreatif.
6. Herbert Spencer (Inggris, 18201903, tokoh gerakan ilmiah dalam pendidikan)
Tujuan pendidikan adalah mengilmiahkan usaha-usaha pendidikan, serta membentuk manusia ilmiah.
82
Landasan Pedagogik
2014
83
2014
Landasan Pedagogik
1.
Tujuan nasional
Tujuan nasional ialah tujuan umum pendidikan nasional yang mengandung rumusan kualifikasi umum
yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap warga setelah mengikuti dan menyelesaikan program
pendidikan nasional tertentu (Suwarno, 1992:52).
2.
Tujuan institusional
Tujuan institusional adalah tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga pendidikan atau satuan pendidikan
tertentu. Tiap lembaga pendidikan memiliki tujuannya masing-masing yang berbeda satu dengan yang
lainnya dan yang sesuai dengan karakteristik lembaga tersebut (Suardi, 2010:7).
3.
Tujuan kurikulum
Tujuan kurikulum adalah tujuan yang hendak dicapai oleh program studi, bidang studi, dan mata
pelajaran tertentu yang disusun berdasarkan tujuan institusional. Perumusan tujuan kurikulum
berpedoman pada kategorisasi tujuan pendidikan atau taksonomi tujuan, yang dikaitkan dengan bidang
studi bersangkutan (Suardi, 2010:7).
4.
Tujuan instruksional
Tujuan ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
Tujuan instruksional umum berisi kualifikasi yang merupakan pernyataan hasil belajar yang diharapkan
dimiliki oleh si terdidik setelah mengikuti pelajaran dalam pokok bahasan tertentu. Tujuan instruksional
khusus merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan instruksional umum, dinyatakan dalam rumusan
sekhusus-khususnya, sehingga tujuan tersebut mudah dinilai dan tidak menimbulkan salah tafsir
(Suwarno, 1992:53).
84
Landasan Pedagogik
2014
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah komponen dari pendidikan
yang berisi seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan
pendidikan.Tujuan pendidikan nasional Indonesia tertera dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional.
E.
Pendekatan religi terhadap pendidikan, berarti bahwa suatu ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk
menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan
pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan
sumber dalam menentukan tujuan pendidikan , materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis
pendidikan.
Metode yang dipergunakan dalam menyusun teori/konsep pendidikan adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis,
karena bertolak dari dalil-dalil atau aksioma-aksioma agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya.
Dikatakan deduktif, karena teori pendidikan disusun dari prinsip-prinsip yang berlaku umum, diterapkan
85
2014
Landasan Pedagogik
untuk memikirkan masalah-masalah khusus, ajaran agama yang berlaku umum dijadikan sebagai pangkal;
untuk memikirkan prinsip-prinsippendidikan yang khusus.
Sebagai contoh, teori pendidikan islam akan berangkat dari Al-Quran, sehingga ayat-ayat Al-Quran akan
dijadikan landasan dalam keseluruhan 86 pendidikan. Abdur Rahman Shalih Abdullah (1991)
membandingkan teori pendidikan Islam dengan teori sains. Ia mengatakan bahwa teori sains bersifat
deskriptif dapat membantu pendidik tidak dipungkiri. Tetapi tidak mungkin dapat menjadi paradigma bagi
teori pendidikan, karena dalam pendidikan, teori tidak sekedar menerangkan bagaimana atau mengapa
sesuatu peristiwa terjadi. Fungsi teori dalam pendidikan adalah menjadi petunjuk perilaku peserta didik,
dalam pendidikan Islam, nilai-nilai Qurani merupakan pembentukan elemen dasar kurikulum, dan sekolah
berkepentingan membawa siswa-siswanya agar sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Praktik perilaku harus
dinilai para pendidik, dan pemberian nilai tidak dibatasi pada penemuan-penemuan ilmiah.
Teori pendidikan Islam merupakan teori yang terintegratif yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Qurani.
Teori pendidikan Islam tidak akan bertentangan dengan hasil-hasil sains, bahkan dapat menerima dan
memanfaatkan bagian-bagian dari sains bagi pelaksanaan operasional pendidikan. Dalam hubungan ini
Shalih Abdullah mengemukakan jika prinsip-prinsip yang diderivasi dari bidang-bidang ilmu lain diadopsi
ke dalam pandangan Qurani, maka tiada bakal muncul kontradiksi antara apa yang diajarkan mengenai
penciptaan manusia pertama dimuka bumi dengan apa yang diajarkan biologi. Karena keseluruh prinsip
terkait erat, teori pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai teori yang terintegrasi, dimana prinsip-prinsip
Quran membentuk intinya. Disebabkan Al-Quran mengandung satu kesatuan pandangan tentang manusia
dan alam, teori pendidikan yang berdasar kepadanya harus pula begitu.
Al-Quran memberikan landasan pemikiran yang berkaitan dengan manusia, siapa manusia, dari mana
manusia, dan mau kemana manusia, serta harus bagaimana manusia berbuat dalam kehidupan di dunia ini.
Dalam hal ini, Al-Quran menyediakan lapangan yang komprehensif universal tentang landasan dan tujuan
hidup manusia, yang sangat bermanfaat bagi para ahli pendidikan untuk menyusun dasar dan tujuan
pendidikan yang luas dan umum sifatnya. Untuk mengklasifikasikan tujuan tersebut kepada tujuan-tujuan
yang lebih khusus, dan materi apa yang cocok pada tiap tingkat tujuan tadi. Para ahli pendidikan dapat
memanfaatkan temuan-temuan sains, seperti hasil temuan dalam psikologi, sosiologi, sains-sains fisik, dan
cabang-cabang sains lainnya.
Teori pendidikan dengan pendekatan religi, hanya akan diikuti oleh kelompoknya, atau para penganutnya
yang sudah meyakini dan mengimani kebenaran ajaran religi tersebut. Manusia memperoleh pengetahuan
dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan
pengetahuan dan kebenaran kepada manusia pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam
kehidupannya. Wahyu merupakan firman Tuhan, kebenarannya adalah mutlak dan abadi. Pengetahuan
wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia.
Didalam pendidikan, epistimologi sangat penting untuk dipelajari karena alasan yang mendasar dari
pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan pendidikan. Ketiganya berpangkal pada
pentingnya pengetahuan pada kehidupan manusia. Berdasarkan pertimbangan srategis, epistimologi perlu
karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara srategis perlu bagi perkembangan manusia,
berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan
merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari segi petimbangan kebudayaan mempelajari epistimologi
diperlukan untuk mengungkap pandangan epestimologis yang seharusnya ada dan terkandung dalam setiap
kebudayaan. Sedangkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistimologi perlu dipelajari karena
manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual. Kegunaan memahami 86epistimologi bagi pendidikan
dikemukakan oleh Barnadib (1976:12) sebagai berikut:
Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar kurikulum.
Kurikulum yang lazimnya diartikan sebangai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat
diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik atau murid dalam usahanya
86
Landasan Pedagogik
2014
untuk mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan perlu
diperkenalkan sedikit demi sedikit hakikat dari pengetahuan.
Epistemologi sangat berguna bagi teori pendidikan (filsafat pendidikan) dalam menentukan kurikulum,
pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak, diajarkan di sekolah, bagaimana cara untuk memperoleh
pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Di dalamnya
berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk
menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan. Cara kerja pendekatan religi
berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada
akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan). Pendekatan religi
menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian
mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, Tafsir (1992) dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif
Islam mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadist dan Akal. Al-Quran diletakkan
sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk
membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Quran dan
Hadist), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk
pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam, lebih lanjut Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum
pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri :
1. Memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan;
2. Memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu
menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan
mengembangkan filsafat dan
3. Memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan
menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan
lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan
sebagainya. (selengkapnya lihat pemikiran Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam).
Al-Gazl (Kosim, 2008) menyebut beberapa sifat yang harus dipenuhi guru, yaitu: (a) kasih sayang dan
lemah lembut; (b) tidak mengharap upah, pujian, ucapan terima kasih atau balas jasa ; (c) jujur dan
terpercaya bagi murid-muridnya; (d) membimbing dengan kasih sayang, tidak dengan marah; (e) luhur budi
dan toleransi; (f) tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya; (g) memperhatikan perbedaan individu;
dan (h) konsisten.
Abd al-Raman al-Nalw (Kosim, 2008) menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki para pendidik,
yaitu; (a) bersifat rabbni, yaitu semua aktifitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, sejalan dengan nilainilai Islam; (b) ikhlas; (c) penyabar; (d) jujur, terutama adanya kesamaan antara yang disampaikan (kepada
murid) dengan yang dilakukan; (e) selalu berusaha meningkatkan ilmu dan terus mengkajinya; (f) menguasai
berbagai metode mengajar dan mampu memilih metode yang sesuai; (g) mampu mengelola murid, tegas
dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara proporsional; (h) memahami perkembangan psikis
anak; (i) tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan
dan pola berpikir angkatan muda; dan (j) bersikap adil dalam menghadapi murid.
Menurut Fahmi (Kosim, 2008), sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah; (a) tidak boleh mengharapkan
upah dan imbalan materi dari pekerjaan mengajar, karena tujuan mengajar tidak lain untuk mengharap ridla
Allah; (b) guru harus lebih dahulu membersihkan anggota badan dari dosa-dosa; (c) harus sesuai antara
perkataan dan perbuatan; (d) rendah hati dan tidak perlu malu dengan ucapan tidak tahu; (e) harus pandai
87
2014
Landasan Pedagogik
menyembunyikan kemarahan, dan menampakkan kesabaran, hormat, lemah lembut, kasih sayang dan tabah
unuk mencapai sesuatu keinginan.
Al-Qalqasyand (Kosim, 2008) menyebut sifat-sifat yang harus dimiliki guru adalah ; (a) sehat akalnya, (b)
memiliki pemahaman yang tajam, (c) beradab, (d) adil, (e) bersifat perwira, (f) lurus dada, (g) bila berbicara
artinya lebih dahulu terbayang dalam hatinya, (h) perkatannya jelas, dan mudah dipahami dan berhubungan
satu dengan yang lain, (i) memilih perkataan-perkataan yang mulia dan baik, (j) menjauhi sesuatu yang
membawa kepada perkataan yang tak jelas. Sedangkan Ikhwnal-af menyebut sifat-sifat yang harus
dimiliki guru adalah; (a) cerdas, (b) dewasa, (c) lurus moralnya, (d) tulus hatinya, (e) jernih pikirannya, (f)
memiliki etos keilmuan, dan (g) tidak fanatik buta. Sementara Athyah al-Abrsy mensyaratkan sifat-sifat
guru: (a) bertanggung jawab, (b) percaya diri, (c) disiplin dan rajin, (d) memberikan contoh yang baik, dan
(e) menguasai berbagai metode atau strategi pembelajaran.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang sikap guru, maka sejalan dengan nilai karakter yang
dikembangkan untuk peserta didik (siswa). Bahwa nilai karakter tersebut, terlebih dahulu harus dimiliki oleh
seorang guru sebagai pendidik. Guru harus memiliki sifat-sifat terpuji yang akan menjadi panutan dan
teladan bagi siswa.
Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan, guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, maka untuk menjadi guru profesional, seseorang harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru profesional, yaitu; kompetensi
pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang
mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik), kompetensi profesional
(kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam), dan kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif
dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar).
Menurut Kosim (2008) sifat-sifat guru rumusan para ahli pendidikan Islam (sebagaimana disebut
sebelumnya) dapat dikelompokkan ke dalam empat kompetensi di atas. Dan karena keempat kompetensi
tersebut masih bersifat umum, maka untuk guru agama Islam, empat kompetensi tersebut perlu
diformulasikan menjadi; kompetensi pedagogik-religius, kompetensi kepribadian-religius, kompetensi sosialreligius, dan kompetensi profesional-religius. Kata religius perlu melandasi setiap kompetensi untuk
menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai ruhnya, sehingga segala masalah
pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam.
Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang
lengkap dan menyeluruh kiranya tidak hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan 88holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan
memiliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan semacam
ini biasa disebut pendekatan multidisipliner
88
Landasan Pedagogik
2014
BAB III
KESIMPULAN
1. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat baik dari
lembaga formal maupun informal dalam membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas
yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses pembentukan pribadi
manusia yang berkualitas, dengan tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan.
Dalam proses penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti
agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan
pendidikan yang menjadikan moral sebagai dasar yang sangat penting dalam setiap peradaban bangsa.
2. Pengaruh agama terhadap dunia pendidikan, secara garis besar dapat diklasifikasikan pada dua lembaga
pendidikan yaitu Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah.
3. Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga,
pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-kanak.
Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang
tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat
pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa
pentingnya agama dalam hidupnya. .Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di
sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan
agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama
4. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam proses pendidikan. Di antara
fungsi keluarga bagi tumbuh kembang anak adalah fungsi protektif, religius, dan edukatif. Keluarga
adalah tempat yang paling aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarganya. Nabi Muhammad SAW
bersabda bahwa: rumahku Surgaku (bayti jannati). Dan kedua orang tua merupakan pendidik yang
pertama dan utama dalam proses tersebut.Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI dalam Supriyatin
menyatakan Tujuan pendidikan keluarga ialah anak dan anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi seseorang yang mandiri dalam
masyarakat dan dapat menjadi insan produktif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya itu. Kemudian
setiap anggota keluarga berkembang menjadi orang dewasa yang mengerti tindak budaya bangsanya dan
menjadi seorang yang bertaqwa sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
5. Pendekatan religi terhadap pendidikan, berarti bahwa suatu ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk
menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan
pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan
sumber dalam menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis
pendidikan.
89
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (1991). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ancok dan Suroso. (2001). Pengertian Religiusitas. Jalur Ilmu. Blogspot.com/2011/10/religiusitas. Diakses
tanggal 18 Oktober 2014.
Barnadib, I. (1976). Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan _FIP
IKIP Yogyakarta.
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam. (2002). Pengertian Religiusitas. Jalur Ilmu.
Blogspot.com/2011/10/religiusitas. Diakses tanggal 18 Oktober 2014.
Hawari. (1996). Pengertian Religiusitas. Jalur Ilmu. Blogspot.com/2011/10/religiusitas. Diakses tanggal 18
Oktober 2014.
Kosim, M. (2008). Guru dalam Perspektif Islam. http://Tadris.stainpamekasan. ac.id/index.
php/jtd/article/viewFile/64/128. Diakses tanggal 25 Oktober 2014.
Angunwijaya, (1982). Pengertian Religiusitas. Jalur Ilmu. Blogspot.com/2011/10/religiusitas. Diakses
tanggal 18 Oktober 2014
Moeis,
S.
(2008).
Religi
Sebagai
Salah
Satu
Identitas
Budaya.
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf. Diakses tanggal 25 Oktober 2014.
Purnomo, A.(2011). Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) dalam Islam: Sebuah Analisis Gender.
http://download.portalgaruda.org/article.php? article=115342&val=5284. Diakses 18 Oktober 2014.
Runtuwene,
L.
(2013).
Menerobos
Implementasi
Pelajaran
Agama
di
Sekolah.
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/fnpc1365033142.pdf. Diakses 20 Oktober 2014.
Suardi, M. (2010). Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT Indeks.
Suparlan. (2010). Pendidikan Karakter Sebegitu Pentingkah? Dan apa yang Harus kita lakukan?.
Suparlan.com/18/2010/10/17. Diakses tanggal 18 Oktober 2014.
Suwarno. (1992). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Syahridlo. (2004). Pengaruh Prestasi Pelajaran Agama terhadap Sikap Keagamaan Siswa Madrasah Aliyah
Negeri Bantul.Tesis. Magister Psikologi UNY.
Tadjab.(1994). Filsafat Ilmu dan Studi Islam. www.academia.edu/5093887. diakses tanggal 18 oktober 2014.
Tafsir,A.(1992). Ilmu Pendidikan dalam Persfekif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Thontowi,
A.
(2014).
Hakekat
Relegiusitas.
http://sumsel.kemenag.
go.id/file/dokumen/
hakekatreligiusitas.pdf. Diakses 21 Oktober 2014.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
90
Landasan Pedagogik
2014
BIODATA
Nama
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Alamat Rumah
Instansi Asal
Alamat Kantor
No Telepon/HP
: 08121471236,
: beni.yusepa35@gmail.com ,
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
91
2014
Landasan Pedagogik
RIWAYAT HIDUP
Nitta Puspitasari, lahir di Garut pada tanggal 6 Agustus 1981, sebagai anak pertama
dari tiga bersaudara pasangan suami istri Bapak Karna Saputra dan Ibu Nunung
Nuryani.
Alamat:
Jl. Cimanuk Gg. Ikhlas No.143/300 RT/RW 02/04 Kelurahan Paminggir Kecamatan Garut Kota Garut
44118.
Telepon:
081321453331 085659169991
E-mail:
nitta.pusitasari@yahoo.co.id
Pendidikan:
1. TK Aisiyah II pada tahun 1986.
2. SD Negeri Leuwidaun 1 Garut lulus tahun 1993.
3. SMP Negeri 1 Garut lulus tahun 1996.
4. SMA Negeri 1 Tarogong lulus Tahun 1999.
5. S-1 Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Garut lulus tahun 2004.
6. S-2 Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI Bandung tahun 2010.
7. S-3 Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI Bandung tahun 2014.
Pekerjaan:
1. Staf Pengajar STKIP Garut dari tahun 2004 hingga sekarang.
2. Guru SDIT Musadaddiyah Garut tahun 2006 2007.
3. Guru SMA Negeri 1 Garut tahun 2013 sekarang.
92
Landasan Pedagogik
BAGIAN IV
SITUASI PENDIDIKAN DALAM RANAH
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Wahyu Hidayat (1402057)
Sri Tirto Madawistama (1402242)
2014
Landasan Pedagogik
2014
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan ini, manusia sebagai makhluk sosial kerap kali dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Adapun lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat luas yang sering disebut
dengan tripusat pendidikan. Dan pemahaman peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan sangat penting dalam upaya membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Pemahaman
tersebut berkaitan dengan keterkaitan atau hubungan timbal balik antara ketiganya dalam perkembangan
peserta didik.
C. Tripusat Pendidikan
Manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikannya, baik itu lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Ketiga lingkungan ini saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan.
1. Pendidikan dalam Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan pengelompokkan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan
sedarah. Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak, dan dapat diperluas lagi dari nenek, kakek, dst.
Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan nilai keterampilan. Dan
lingkungan keluarga adalah pusat pendidikan yang amat penting dan menentukan. Biasanya anak-anak yang
terbiasa turut serta mengerjakan segala pekerjaan di dalam keluarganya dengan sendirinya mengalami dan
mempraktekkan bermacam-macam kegiatan yang berfaedah bagi pendidikan watak dan budi pekerti seperti
kejujuran, keberanian, ketenngan dsb. Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan social anak
seperti hidup hemat, menghargai kebenaran, tenggang rasa, tolong menolong, hidup damai, dsb.Jelas
bahwasanya lingkungan keluarga bukan pusat penanaman dasar pendidikan watak pribadi saja, tetapi juga
pendidikan social yang mengantarkan si anak menemukan jati dirinya.
93
2014
2.
Landasan Pedagogik
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Dan peranan
sekolah semakin penting seiring dengan kemajuan zaman untuk mempersiapkan generasi muda dalam proses
pembangunan bangsa. Adapun cara-cara yang dilakukan oleh sekolah dalam pendidikan yaitu sebagai
berikut :
a.
Yaitu pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin kepada siswa untuk berperan di dalam
kegiatan belajar mengajar yang bermanfaat bukan hanya dalam pencapaian siswa di sekolah, tetapi juga
bermanfaat untuk membentuk dan memperkuat kebiasaan belajar terus menerus sesuai dengan asas
pendidikan seumur hidup.
b. Peningkatan dan pemantapan pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan (BP) di sekolah.
Yaitu sebagai sarana dalam pengembangan kepribadian ke arah penyadaran jati diri melalui pendekatan
perseorangan dan kelompok.
c.
Yaitu berperan lebih aktif dalam program pengajaran dan dapat berperan sebagai mitra kelas dalam upaya
menjawab tantangan perkembangan iptek yang semakin cepat dan mengglobalisasi.
d.
Yaitu meliputi peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung untuk mencetak peserta didik yang
berintelektualitas.
3.
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan sangat tergantung pada taraf perkembangan dari masyarakat itu
beserta sumber-sumber belajar yang tersedia di dalamnya. Di dalam masyarakat banyak sekali wadah yang
menyediakan untuk kita mengembangkan skill peserta didik dan mengenyam pendidikan nonformal yang
mencakup ilmu kehidupan yang lebih luas. Seperti organisasi masyarakat yang memberikan pendidikan
sosialisasi, keagamaan, dan banyak hal lainnya. Dalam hal ini peserta didik akan lebih mampu berinteraksi
social secara luas, tidak lagi dalam lingkup kecil seperti di keluarrga maupun di sekolah saja. Karena
lingkungan masyarakat adalah lingkungan yang mencakup banyak hal secara luas dan mengglobal. Di dalam
masyrakat, factor media masa adalah factor yang sangat mempengaruhi seseorang dan perkembangan suatu
bangsa. Dengan media masa pendidikan akan semakin maju karena adanya informasi-informasi pengajaran
yang luas tidak hanya pendidikan formal saja.
94
Landasan Pedagogik
2014
Melalui pendidikan, manusia diharapkan menjadi individu yang mempunyai kemampuan dan keterampilan
untuk secara mandiri meningkatkan taraf hidupnya baik lahir maupun bathin serta meningkatkan peranannya
sebagai individu/pribadi, warga masyarakat, warga Negara dan sebagai khalifah-Nya.
1. Masyarakat Tradisional
Sikap berpikir subjektif yang menyatukan dirinya dalam memahami gejala yang timbul merupakan salah satu
ciri masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sederhana. Masyarakat tradisional (tradisional) masih
bersikap untuk berpikir secara pasif (pola pikir yang tidak objektif dan rasional) untuk menganalisis, menilai
dan menghubungkan suatu gejala dengan gejala yang lain.
Manusia yang hidup tradisional (sederhana) biasanya masih ditandai dengan sikap berpikir analogis dengan
mengadakan generalisasi, penggunaan waktu secara subjektif serta kurang mengenal waktu secara fisik.
Masyarakat tradisional menurut Robert Redfield dalam Imran Manan (1983 : 52) mengistilahkannya dengan
Folk Sociaty yaitu masyarakat yang kecil, homogen, sangat terintegrasi, terasing, solidaritas kelompok
yang tinggi, pembagian kerja yang sederhana, sebagian anggota masyarakat memiliki pengetahuan dan
perhatian yang sama dan biasa dengan pemikiran, sikap-sikap dan aktivitas dari seluruh anggota masyarakat.
Komunitas masyarakat tradisional menimbang segala-galanya dengan prinsip- prinsip yang telah baku,
mereka cendrung untuk berubah sangat lambat.
2. Masyarakat Tradisional dan Sistem Pengetahuannya
Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu unsur kebudayaan muncul dari pengalaman-pengalaman
individu yang disebabkan oleh adanya interaksi diantara mereka dalam menanggapi lingkungannya.
Pengalaman itu diabstraksikan menjadi konsep-konsep, pendirian-pendirian, dan pedoman-pedoman tingkah
laku bermasyarakat (Adimihardja 1996).
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil
pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramal atau sebagai dasar pertimbangan
dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Istilah traditional knowledge atau pengetahuan tradisional
mencakup pengetahuan, inovasi, praktek masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kehidupan mereka.
Pengetahuan tradisional telah berkembang sejak berabad-abad, diwariskan dari generasi selanjutnya secara
lisan dan beradaptasi dengan budaya setempat dalam bentuk cerita, lagu, dongeng, nilai budaya,
kepercayaan, ritual, adat, bahasa, dan praktek pertanian (Plotkin 1991; Adimihardja 1996).
Secara bahasa, tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan
masyarakat atau adat yang telah lama dijalankan dan dipengaruhi oleh hukum yang tidak tertulis. Sedangkan
tradisional berarti bersifat adat kebiasaaan yang turun temurun. Pengetahuan ini merupakan hasil kreativitas
dan uji coba secara terus menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha
menyesuaikan dengan kondisi baru (Adimihardja 1996).
Wiratno (2004) menyatakan bahwa karekteristik yang agak jelas dari masyarakat tradisional adalah bahwa
mereka masih menjaga tradisi peninggalan nenek moyangnya, baik dalam hal aturan hubungan antar
manusia maupun dengan alam sekitarnya yang mengutamakan keselarasan dan keharmonisan. Ciri lain yang
menonjol dari masyarakat ini adalah tingginya adaptasi sosial budaya serta releginya dengan mekanisme
alam dan sekitarnya. Karenanya, mereka juga bukan manusia yang statis, karena sistem pengetahuan mereka
juga berkembang selaras dengan dinamika permasalahan serta faktor-faktor eksternal lain yang mereka
hadapi.
Masyarakat tradisonal adalah komonitas yang dinamis yang berubah dari waktu ke waktu sebagai suatu
proses adaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan lokalnya. Sumber perubahan ini
Situasi Pendidikan dalam Ranah Lingkungan Pendidikan
95
2014
Landasan Pedagogik
biasanya berupa masuknya pengaruh dari luar, tetapi juga bisa muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.
Persoalannya adalah apabila pengaruh unsur-unsur luar (lebih tepat disebut: gelombang intervensi) menjadi
sedemikan besar sehingga nilai-nilai dan pranata-pranata sosial (adat) tidak mampu lagi mengakomodasikan
nilai-nilai dan pranata sosial yang baru yang datang dari luar dalam suatu proses transformasi yang sehat
(Nababan 1995).
Pengetahuan masyarakat lokal tentang lingkungannya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Dari sistem
pengetahuan ini kebudayaan mereka terus beradapatasi dan berkembang agar mampu menjawab persoalanpersoalan yang muncul. Berbagai tradisi, upacara adat, dan tindakan sehari-hari mereka mengandung makna
yang dalam atas hubungan mereka dengan lingkungannya. Konservasi tradisional, yang didasari nilai-nilai
dan kearifan lingkungan, terbukti mampu mempertahankan kehidupan mereka selama berabad-abad di
lingkungan lokal mereka hidup. Hal ini menjadi sangat relevan dan penting diungkapkan di- tengah
pergulatan kita mencari pemecahan atas persoalan-persoalan lingkungan, khususnya kerusakan sumber daya
alam, yang muncul sebagai dampak pembangunan yang beorientasi pada pertumbuhan ekonomi (Nababan
1995).
Prinsip-prinsip konservasi yang telah mengkristal dalam berbagai bentuk kearifan tradisional, telah
mengakar dan berkembang pada berbagai bentuk praktek yang diterapkan masyarakat tersebut. Kaidahkaidah konservasi alam diadaptasi dari pengalaman mereka menyelaraskan diri dengan alam. Pengalamanpengalaman tersebut kemudian dihimpun dan disebarluaskan kepada seluruh anggota masyarakat untuk
dijadikan pedoman dan bagi pelanggarnya diberlakukan sanksi, sehingga lama kelamaan menjadi tradisi dan
tata nilai kehidupan mereka (Wiratno 2004).
Menurut Nababan (1995) kebudayaan-kebudayaan tradisional, khususnya dalam hal pengelolaan
sumberdaya alam secara tradisional telah memiliki prinsip-prinsip konservasi diantaranya:
a. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam
hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagaian dari alam itu sendiri.
b. Rasa memiliki yang esklusif bagi komonitas atas suatu kawasan atau sumberdaya alam tertentu sebagai
hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga
untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
c. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang memberikan kemampuan
kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang terbatas.
d. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (include) energi sesuai
dengan kondisi alam setempat.
e. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama
dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun masyarakat luar (pendatang). Dalam
hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek
kehidupan bermasyarakat dalam suatu kesatuan sosial tertentu
f. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atas sumberdaya milik bersama yang dapat mencegah
munculnya kesenjangan berlebih di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau
kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang
berlaku.
3. Pendidikan dalam Masyarakat Tradisional
Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut
konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati
Machmud, 1979 : 3). Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar
dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas satu sistem
96
Landasan Pedagogik
2014
terbaik. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam
wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya
dibedabedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka
pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anakanak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung
jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan
oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat
pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks
(Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 164-165).
Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya
diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1) ada suatu kumpulan
pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2) tempat terbaik bagi
sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3) cara terbaik supaya
anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia
mereka (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 165).
Anak-anak pada masyarakat tradisional turut serta secara aktif dalam kehidupan masyarakat. Dari umur
muda mereka diharapkan mempunyai tanggung jawab sesuai dengan kekuatan dan pengalamannya.
Masyarakat tradisional mempunyai pengetahuan yang kurang terspesialisasi dan sedikit keterampilan yang
diajarkan membuat mereka tiada keperluan rasanya untuk menciptakan institusi yang terpisah bagi
pendidikan sepeti sekolah. Sebagai gantinya anak-anak memperoleh warisan budaya dengan mengamati dan
meniru orang dewasa dalam berbagai kegiatan seperti upacara, berburu, pertanian dan panen.
Dalam kebudayaan masyarakat tradisional agen pendidikan yang formal termasuk di dalamnya kelauarga
dan kerabat. Sedangkan sekolah muncul relative terlambat dalam lingkungan masyarakat tradisional. Adapun
beberapa kondisi menurut Imran Manan (1989 : 57) yang mendorong timbulnya lembaga pendidikan
(sekolah) dalam masyarakat tradisional adalah:
a. Perkembangan agama dan kebutuhan untuk mendidik para calon ulama, pendeta, dll.
b. Pertumbuhan dari dalam (lingkungan masyarakat itu sendiri) atau pengaruh dari luar.
c. Pembagian kerja dalam masyarakat yang menuntut keterampilan dan dan teknik khusus.
d. Konflik dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai tradisional dan akhirnya menuntut pendidikan
untuk menguatkan penerimaan nilai-nilai warisan budaya.
Untuk mempelajari sesuatu biasanya anak-anak dalam masyarakat tradisional akan pergi kepada orang yang
mereka anggap ahlinya. Mereka mempelajarinya tidak hanya hal tersebut secara universal disetujui bahwa
ada hal-hal tertentu yang harus diketahui untuk perkembangan mereka dan hubungannya dengan kehidupan
mereka masa sekarang dan akan dating. Artinya mereka belajar untuk kelangsungan hidupnya.
Dalam mempelajari keterampilan anak-anak masyarakat tradisional selalu memiliki hubungan yang intim
dengan visi orang dewasa, sehingga menimbulkan nilai-nilai kekeluargaan yang erat di antara mereka.
Begitu juga dengan guru-guru, sangat terikat tidak hanya dengan murid-muridnya, yang mungkin anggota
kerabatnya, tetapi juga kepada hasil dari apa yang diajarkannya. Jika ia gagal mengkomunikasikan
keterampilannya secara efektif, dia akan dapat merasakan langsung akibatnya dengan segera.
Dalam suatu masyarakat tradisional tidak mempunyai orang yang khusus berfungsi mengajar. Anggotaanggota masyarakat yang lebih tua mengajar kelaurga yang muda, walaupun untuk tujuan-tujuan tertentu,
seperti untuk menjadi guru mengaji, sebagai penceramah, dll. Sebagai hasilnya mereka yang mengajar turut
serta secara penuh dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena guru-guru dalam masyarakat langsung
mempraktekkan apa yang mereka ajarkan, seperti seorang guru mengaji langsung mempraktekkan apa yang
Situasi Pendidikan dalam Ranah Lingkungan Pendidikan
97
2014
Landasan Pedagogik
mereka ajarkan, seorang ahli bertani langsung mempraktekkan apa yang akan mereka wariskan (ajarkan)
kepada pewarisnya, dan lain-lain.
Dalam masyarakat tradisional pembelajaran menjadi lebih mudah sebab objek pembelajaran selalu dapat
diperoleh. Walaupun begitu di sejumlah masyarakat tradisional ada juga sejumlah pengetahuan khusus yang
mesti diajarkan dengan jelas, karena pengetahuan ini dipercayai menjamin kelangsungan dan kesuburan
masyarakat.
98
Landasan Pedagogik
2014
adalah mereka terasing secara kehidupan social yang disebabkan oleh pertumbuhan urbanisme yang
mendorong mobilitas dan melemahkan ikatan-ikatan kekeluargaan.
Berdasarkan uraian di atas, masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya
mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua
masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa
kini, misalnya gelandangan.
2. Karakteristik Masyarakat Modern
Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia,
yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan
oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan
informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang
mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Salah satu ciri utama
kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan
individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan
zaman (Djamaluddin Ancok, 1998: 5). Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif,
individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri [postindustrial society] seprti
dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi [information society} sebagai tahapan ketiga dari
perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan
manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai
banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald
Michael, juga terjadi ironi besara. Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya
makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin
banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu
dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988], menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan
rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya
kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi
swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya (Malik Fajar, 1995 : 3).
Keprihatinan Toynbee melihat perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual
dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat
layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi
yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan "ancaman terhadap kehidupan sekarang" tulis
Erich Fromm, "bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi merupakan ancaman terhadap
semua" (Erich Fromm, dikutip : A. Syafi'i Ma'arif, 1997 : 7). Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem
pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang
kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim
pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum
mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam
peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang
berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini (A.Syafi'i Ma'arif, 1997 : 7-8).
99
2014
Landasan Pedagogik
Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat
ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk
menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat.
3. Pendidikan dalam Masyarakat Modern
Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu ; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta
didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisikondisi
dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan
minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar (Dimyati
Machmud, 1979 : 3). Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah
modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara
anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.
Shipman (1972 : 33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat
modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan
(3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi
anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling)
mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu,
pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi
yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosialekonomis dalam masyarakat. Ketiga,
pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan
sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan" (Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, 1996:
3)
Dalam masyarakat modern pendidikan memisahkan anak dari orang tuanya untuk memperoleh keterampilan
(ilmu pengetahuan dan teknologi) serta akan membutuhkan waktu yang lebih panjang dari pada masyarakat
tradisional. Dengan didirikannya lembaga-lembaga formal (sekolah) membuat mereka lebih banyak terpisah
dengan lingkungan masyarakat mereka sendniri. Hal ini mengakibatkan anak-anak dalam masyarakat
meodern akan terasing dengan lingkungan masyarakatnya yang pada akhirnya akan mengurangi kepedulian
diantara mereka.
Dalam masyarakat modern pengetahuan yang akan diajarkan akan membutuhkan seorang tenaga pengajar
yang professional. Hal ini berimplikasi dengan cara pandang mereka bawah mereka akan dapat memetik
keuntungan ataupun kerugian dari spesialisasi, pengetahuan dan keahlian yang telah mereka kuasai.
Dengan adanya tenaga-tenega professional, lembaga formal, serta sarana-dan parsaran yang memadai akan
melahirkan masyarakat modern yang juga akan memiliki kaulifikasi atau kompetensi sesuai dengan apa yang
telah digariskan dalam perencanaan pembelajaran. Akan tetapi kebanyakan tenaga pengejar (guru) dalam
masyarakat modern cenderung mangajarkan sesuatu kepada muridnya jauh dengan realita yang ada. Sebagai
contoh seorang guru bidang ekonomi yang mengajarkan cara menjadi manager keuangan, tidak akan terlibat
langsung menjadi manager keuangan. Hal ini berimplikasi kepada jauhnya sesuatu apa yang mereka pelajari
dari diri dan lingkungan mereka sendiri.
Anak-anak dalam masyarakat modern cenderung berada dibawah tekanan yang besar dari orang tua dan
guru-gurunya untuk menguasai pelajaran yang ditentukan dan dalam waktu yang telah ditentukan. Gejala ini
akan berpotensi menimbulkan gejala kelainan mental jika hasil yang akan dicapai terlalu berat dibandingkan
dengan kemampuan anak.
100
Landasan Pedagogik
2014
101
2014
Landasan Pedagogik
Inilah persepsi, harapan, dan tuntutan masyarakat modern terhadap pendidikan yang menjadi agent of
change. Oleh sebab itu, pendidikan dalam masyarakat, mau tidak mau, bergerak searah dengan pandangan
masyarakat tersebut. Memang, hal ini menjadi sangat dilematis, menimbang keberadaan pendidikan agent of
transformation, yang semestinya mengendalikan perubahan masyarakat tapi eksistensinya ditentukan oleh
pandangan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hal terpenting bagi pendidikan adalah
memformulasikan pandangan-pandangan tersebut agar pendidikan dapat menjadi wahana bagi masyarakat
untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.
102
Landasan Pedagogik
2014
103
2014
Landasan Pedagogik
dan keterampilan yang dimaksud berarti luas, baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup;
kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill),
kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), maupun kecakapan vokasional
(vocational skill). Kegiatan pendidikan pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep pengembangan
kemampuan motorik peserta didik. Terkait dengan proses melatih ini, perlu dilakukan pembiasaan dan
pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam proses pembelajaran. Peserta
dilatih memahami, merumuskan, memilih cara pemecahan dan memahami proses pemecahan masalah.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan
harus ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalm sistem pembelajaran.
Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu
membentuk kepribadian dan ketrampilan peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya, disiplin, bertanggung
jawab dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul perlu diberikan
landsan pendidikan yang kokoh. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki pilar pendidikan yang sangat
fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun
Karso, Tut Wuri Handayani, namun implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Konsep ini tidak
saya bahas dalam analisis ini, namun pada tataran ini dipaparkan hasil konferensi tahunan UNESCO di
Melbourne Australia tahun 1998. Dalam konferensi tersebut dicanangkan empat pilar pendidikan yang
dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar
internasional. Keempat pilar tersebut adalah :
Learning to Know (belajar untuk tahu)
Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan
menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam
lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan
lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk
mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini,
diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa yang perlu diketahui, bagaimana mendapatkan Ilmu
pengetahuan, mengapa ilmu pengetahuan perlu diketahui, untuk apa dan siapa yang akan menggunaka
ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan
fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai.
Learning to Do (Belajar untuk melakukan)
Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan
sesuatu yang bermakna Active Learning. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih
untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses
pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring),
mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta
memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Menurut Dewey bahwa pembelajaran
yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3).
Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan
kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ;
Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang
akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel,
melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan
panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum
belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik
104
Landasan Pedagogik
2014
maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di
sintesis dari materi yang telah dipelajari.
Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)
Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik dengan sikap mandiri. Kemandirian
belajar merupakan kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang secara
mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan diri secara tepat. Belajar mandiri
harus didorong melalui penumbuhan motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik, problem soving, keterampilan
proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan
keterlibatan peserta didik secara efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses
sosial, peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi. Meskipun
guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam
penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa dan berusaha menemukan sendiri hal-hal
yang dipelajari. Para peserta didik mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masingmasing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran keterampilan proses lebih
menekankan pada kegiatan-kegiatan yang berpusat pada pengembangan kreativitas belajar peserta didik.
Penerapan strategi pembelajaran keterampilan proses dapat membantu guru dalam menyampaikan materi
pembelajaran dengan menciptakan kondisi pembelajaran yang bervariasi dalam menumbuhkan motivasi
peserta didik untuk belajar lebih dalam, mendorong rasa ingin tahu lebih lanjut dan memotivasi untuk
berpikir kreatif.
Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif
dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan
kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi
hubungan antar manusia.
Pendekatan pembelajaran tidak semata-mata bersifat hafalan melainkan dengan pendekatan pembelajaran
yang memungkinkan terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama
proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan pendekatan
kooperatif-integrated.. Pembelajaran mempunyai jangkauan tidak hanya membantu peserta didik belajar isi
akademik dan ketrampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan
sosial dan kemanusiaan. Model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas yang bersifat
kontekstual, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (reward).
Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran tersebut diperlukan proses pembelajaran
yang efektif. Keefektifan proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran
tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan proses pembelajaran
berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran
secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk
memelihara nilai-nilai masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik dan secara
kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus mengadakan usaha pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara lain kemampuan guru dalam
menggunakan strategi. Penerapan strategi pembelajaran dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik,
situasi, fasilitas dan pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses pembelajaran
akan berlangsung lebih efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu startegi
Situasi Pendidikan dalam Ranah Lingkungan Pendidikan
105
2014
Landasan Pedagogik
pembelajaran yang memberikan perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah strategi keterampilan
proses (proses pemecahan masalah).
Upaya mengembangkan disiplin intelektual dan ketrampilan yang dibutuhkan peserta didik untuk membantu
memecahkan masalah dalam kehidupannya dengan memberikan pertanyaan dan kasus yang memperoleh
jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Keterlibatan aktif peserta didik secara mental dalam kegiatan
pembelajaran akan membawa dirinya kepada kegiatan belajar yang bermakna. Secara kooperatif akan
memperkaya cara berpikir peserta didik dan menolong mereka belajar tentang hakekat timbulnya
pengetahuan yang tentatif dan berusaha menghargai penjelasan.
2. Pergeseran Paradigma Pendidikan di Era Globalisasi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sangat menuntut hadirnya perubahan paradigma
pendidikan yang berorientasi pada pasar dan kebutuhan hidup masyarakat. Sayling Wen dalam bukunya
future of education menyebutkan beberapa pergeseran paradigma pendidikan, antara lain:
a. Pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi yang
seimbang.
Pada pendidikan orientasi pendidikan lebih menekankan pada pemindahan informasi yang dimiliki
kepada peserta didik (bersifat kognitif). Proses pembelajaran yang berkembang di negara kita dapat
deskripsikan sebagai berikut: peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran, kesan yang muncul
adalah guru mengajar peserta didik diajar, guru aktif peserta didik pasif, guru pinter peserta didik
minder, guru berkuasa, peserta didik dikuasai. Dalam kegiatannya pendidik berusaha memola anak didik
sesuai dengan kehendaknya. Program pembelajaran, materi, media, metode dan evaluasi yang diterapkan
sepenuhnya disiapkan oleh pendidik. Mulai tahun pelajaran 2013 Kurikulum 2013 mulai diterapkan,
pada sekolah-sekolah yang merupakan pilot project. Mengingat Kurikulum 2013 mengandung prinsip
pembelajaran yang menerapkan pendekatan, antara lain: 1) student centered, 2) Integrated learning, 3)
individual learning, 4) mastery learning, 5) problem solving, 6) Experince based learning, dan 7) peran
guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan sekaligus mitra belajar. Meskipun dalam
pelaksanaannya, KBK masih ditemukan banyak kelemahan-kelemahan.
b. Dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang terdesentralisasi
dan terindividulisasikan.
Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dimana informasi dapat diakses secara
mudah melalui brbagai macam media pembelajaran secara mandiri, misalnya; internet, multimedia
pembelajaran, dsb.
c. Pembelajaran dengan model penjenjangan yang terbatas menjadi pembelajaran seumur hidup.
Belajar tidak hanya terbatas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, namun belajar dapat
dilakukan sepanjang hayat, yang tidak terbatas pada tempat, usia, waktu, dan fasilitas.
Landasan Pedagogik
2014
golongan, posisi dan tunjangan. Di antara pendidik ada yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (S1, S2 dan S3), bukan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi,
namun demi gengsi, posisi dan gaji, kesempatan kuliah yang seharusnya digunakan untuk
meningkatkan kualitas diri dan profesi secara mandiri mulai menghilang. Kondisi demikian sungguh
memprihatinkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan persaingan global,
kompetensi dan profesionalisme akan menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang dalam memenang
persaingan hidup. Prestasi kerja menempatkan seseorang pada posisi kerja yang sesungguhnya (saat ini
muncul image posisi kerja adalah uang)
e. Pembelajaran yang berbasis pada pencapaian target kurikulum bergeser menjadi pembelajaran yang
berbasis pada kompetensi dan produksi.
Pencapaian target kurikulum bukan satu-satunya indikator keberhasilan proses pendidikan, keberhasil
pendidikan hendaknya di lihat dari konteks, input, proses, output dan outcomes, sehingga keberhasilan
pendidikan dapat dimaknai secara komprehensif. Masih banyak lembaga pendidikan kita yang masih
menekankan pada pencapaian target kurikulum, contoh dilapangan: kita lihat kurikulum pendidikan
dasar, pada jenjang pendidikan dasar (masa kanak-kanak dan SD) merupakan jenjang pendidikan yang
menyenangkan (masa bermain), coba kita lihat setelah anak mulai masuk di TK atau di SD kesempatan
bermain bagi anak sangat dibatasi. Sistem pembelajaran yang diterapkan membatasi gerak anak dengan
dinding dan keangkuhan guru yang sangat kokoh di depan kelas. Anak-anak mulai dipola sekehendak
gurunya yang dengan dalih agar sesuai dengan kurikulum yang telah dirumuskan oleh pejabat
pendidikan, meskipun dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). peserta didik SD
yang seharusnya masih menggunakan konsep pendidikan bermain sambil belajar. Dengan, namun mulai
menghilang, yang muncul belajar sambil bermain. Sehingga anak-anak SD kurang mengenal nama-nama
benda, tumbuhan, binatang yang ada disekitarnya.
Kondisi ini wajar, karena beban pelajaran yang dipersyaratkan dalam kurikulum yang harus ditanggung
peserta didik di SD begitu berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyaknya pekerjaan rumah (PR)
yang sebagian besar bersifat menghafal (mengkhayal) hal-hal yang terpisah dari kemampuan dan
tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sejak masa kanak-kanak para peserta didik telah dikondisikan
dengan pencapaian target kuantitif yang sangat berat. Untuk mengurangi jumlah pengkhayal dalam
pendidikan, sebaiknya pada jenjang pendidikan dasar mulai dipikirkan menerapkan kurikulum dasar
yang berbasis pada mata pelajaran Matematika, bahasa, sains, jasmani dengan memperhatikan
pemberdayaan sistem nilai yang berkembang di daerahnya. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan
pendekatan kontektual. Pendidikan sebagai investasi manusia dengan hight cost, yang dapat dinikmati
oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, khususnya pendidikan tinggi.
3. Strategi Pengembangan Pendidikan Di Era Global
Untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas
sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:
a. Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need assessment
dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan
yang harus dipenuhi.
b. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah
hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan pemberdaya masyarakat.
c. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat,
kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing.
d. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang
ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan
lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan.
Situasi Pendidikan dalam Ranah Lingkungan Pendidikan
107
2014
Landasan Pedagogik
e. Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah
mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri.
f. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar, sebagai masyarakat
belajar seumur hidup.
g. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal,
informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi
dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media
pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb)
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, K. 1996. Kebudayaan dan Lingkungan. Studi Bibliografi. Bandung: Ilham Jaya.
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi). Jakarta:
Buku Kompas
Depdiknas, 2002. Pedoman Pengembangan Pembekalan Kecakapan Hidup di SMU. Jakarta: Depdiknas
Drost, J.I.G.M.S.J. 2001. Sekolah Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius
Machmud, Dimyati. 1990. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: BPFE.
Manan, Imran. 1989. Anthropologi Pendidikan (Suatu pengantar). Jakarta: Departemen P & K, PP-LPTK.
_____. 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Departemen P & K, PP- LPTK.
Muslimin, et al. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya:Unesa-University Press.
Nana Sudjana. 1996. Model-Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru
Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco.
Silberman, M. 1996. Active Learning : 101 Strategi to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon
Tillar. R. 1979. Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan &
Kebudayaan.
Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan
Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Fondation Indonesia, Jakarta: PILI-Ngo
Movement.
108
Landasan Pedagogik
2014
BIODATA
Nama
Tempat, Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Alamat Rumah
Instansi Asal
Alamat Kantor
No Telp/HP
Email
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
109
2014
Landasan Pedagogik
CURRICULUM VITAE
Nama
Tempat dan Tanggal lahir
Jenis Kelamin
Alamat Rumah
Instansi
Alamat
Riwayat Pekerjaan
Status Perkawinan
Agama
Telp
Alamat e-mail
Tahun Lulus
2003
2011
110
:
:
:
:
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN V
PENDIDIKAN DALAM LATAR BUDAYA DAN
ORGANISASI
Nenden Mutiara Sari (14020170)
In In Supiyati (1402086)
Landasan Pedagogik
I.
2014
Pengertian Pendidikan
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan
berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis,
psikologis, paedagogis, dan sosiologis. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh
seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau kehidupan yang
lebih tinggi dalam arti mental.Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta
didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya.Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.Pendidikan
bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan.organis, harmonis, dinamis. guna mencapai
tujuan hidup kemanusiaan.
Menurut UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata
pendidikan berasal dari kata didik dan mendapat imbuhan pe dan akhiran an, maka kata ini mempunyai
arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya
pengajaran dan pelatihan.Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan
tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
II.
Pengertian Budaya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat.
Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola
pikir manusia.Sedangkan pengertian budaya menurut Koentjaraningrat, budaya adalah suatu sistem gagasan
dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan
miliknya dengan belajar. Budaya Menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya
yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.Menurut Linton budaya adalah keseluruhan dari
pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota
suatu masyarakat tertentu.Dan menurut Kluckhohn dan Kelly, budaya adalah Semua rancangan hidup yang
tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu,
sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Jadi, budaya bangsa adalah suatu suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh suatu bangsa dan diwariskan dari generasi ke generasi.Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian
kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia.
111
2014
Landasan Pedagogik
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup
organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbolsimbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan
tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbolsimbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :
1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut
3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam
bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Adapun nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah:
1. Nilai Kejujuran
2. Nilai Patriotisme
3. Nilai Persaingan
4. Nilai Harmonis dan Kerjasama
III.
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan mewariskan kebudayaan
bangsa sendiri, media transfer yang paling efektif adalah dengan pendidikan. Antara Pendidikan dan
Kebudayaan keduanya sangat erat hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung antara satu sama
lain.Untuk itu pendidikan memiliki peran yang sangat besar dalam proses pewarisan kebudayaan. Pendidikan
sebagi pilar kebudayaan dan dari kebudayaan yang terbentuk itulah nanti akan mengembangkan pendidikan
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam konteks ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya serta kepribadian suatu
masyarakat betapapun sederhananya masyarakat tersebut.Hal ini dapat dilihat bahwa tradisi sebagai muatan
budaya senantiasa terlestarikan dalam setiap masyarakat, dari generasi ke generasi. Hubungan ini tentunya
hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat menuliskannya kepada generasi
mudanya sebagai generasi penerus.
Seperti dikemukakan Hasan Langgulung bahwa pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu
pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Maka sudah jelas sekali bahwa kedua hal
tersebut pendidikan dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa
itu masing-masing, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara satu sama
lainnya.Manusia sebagai mahluk berbudaya, pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri.Budaya itu
kemudian meningkatkan sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.
Dengan demikian, Pendidikan adalah merupakan gejala kebudayaan, Pandangan bahwa pendidikan
merupakan gejala kebudayaan didasarkan pada hal-hal berikut:
1. Manusia Adalah Makhluk Budaya; Pendidikan hanya dapat dilakukan oleh makhluk yang berbudaya dan
yang menghasilkan nilai kebudayaan yaitu manusia.Hal ini juga yang merupakan perbedaan antara
manusia dan hewan dengan adanya budaya dan pendidikan.Sifat dunia hewan statis, dimana instink dan
dan reflek sebagai pembatas (misalnya lingkungan air, udara dan tanah).Kehidupan tersendiri bagi
hewan tersebut.Sifat dunia manusia terbuka, dimana manusia memberi arti bagi dunianya (secara
kongkrit).
112
Landasan Pedagogik
2014
2. Perkembangan Pendidikan Sejajar Dengan Perkembangan Budaya; Pendidikan selalu berubah sesuai
perkembangan kebudayaan, karena pendidikan merupakan proses transfer kebudayaan dan sebagai
cermin nilai-nilai kebudayaan (pendidikan bersifat reflektif). Pendidikan juga bersifat progresif, yaitu
selalu mengalami perubahan perkembangan sesuai tuntutan perkembangan kebudayaan.Kedua sifat
tersebut berkaitan erat dan terintegrasi.Untuk itu perlu pendidikan formal dan informal (sengaja diadakan
atau tidak). Perbedaan kebudayaan menjadi cermin bagi bangsa lain, membuat perbedaan sistem, isi dan
pendidikan pengajaran sekaligus menjadi cermin tingkat pendidikan dan kebudayaan.
3. Pendidikan Informal dan Pendidikan Formal Sama Derajatnya dan Harus Ada Kesejajaran Tujuan;
Pendidikan informal lebih dahulu ada dari pada pendidikan formal (education dan schooling),
pendidikan informal merupakan unsur mutlak kebudayaan untuk semua tingkat kebudayaan yang
muncul karena adanya pembagian kerja.Pada dasarnya keduanya disengaja dan gejala kebudayaan,
pemisahan keduanya tidak berguna.Tugas kebudayaan bukan memonopoli lembaga pendidikan formal,
tetapi kebersamaan warga dan negara karena segala unsur kebudayaan bernilai pendidikan baik
direncanakan atau tidak.
Dengan demikian pendidikan merupakan ikhtiyar pembudayaan demi peradaban manusia. Tiap ikhtiyar
pendidikan bermakna sebagai proses pembudayaan dan seiring bersama itu berkembanglah sejarah
peradaban manusia. Seluruh sprektum kebudayaan hanya bisa dialihkan dari satu generasi ke generasi lain
melalui pendidikan. Kalau demikian halnya, maka pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa bagi
terjadinya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga melalui pengalihan nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial.
Nilai-nilai budaya yang diwariskan merupakan unsur luar yang masuk ke dalam diri manusia, sementara
dalam diri manusia ada unsur yang menonjol keluar seperti perkembangan potensi yang dimiliki
manusia.Tugas utama pendidikan adalah berusaha mewariskan nilai-nilai budaya tersebut, sesuai dengan
potensi dan "lingkungan" pada individu dan masyarakat.Sulit dibayangkan bahwa seseorang tanpa
lingkungan yang memberi corak kepada watak dan kepribadian, sebab "lingkungan" inilah yang berusaha
mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya
tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban bisa juga mati, apabila nilai-nilai, norma-norma dan
berbagai unsur lainnya yang dimiliki berhenti dan tidak berfungsi, artinya tidak atau belum sempat
mewariskan nilai-nilai tersebut pada generasi penerus untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Peran pendidikan adalah sebagai transfer nilai-nilai budaya atau sebagai cara yang paling efektif dalam
mentrasnfer nilai-nilai budaya adalah dengan cara proses pendidikan, karena keduanya sangat erat
hubungannya. Kebudayaan dengan pendidikan sangat erat sekali keduanya saling berkesinambungan dan
tidak dapat dipisahkan karena saling dan membutuhkan antara satu sama lainnya. pendidikan adalah upaya
membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan modern, maju dan harmoni yang didasari
oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.
IV.
Ketika kita mengagumi karya agung kemanusiaan Candi Borobudur dan Prambanan, tersirat pemikiran
bahwa di belakang karya ini tentu ada pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang telah tersistem dengan
baik.Namun data tentang sistem pendidikan saat itu belum ditemukan orang selain prasasti dan buah hasil
pemahatan.Pendidikan pelatihan tenaga pematung pasti diikuti disiplin tertentu hingga dapat membuat batu
tersusun rapi geometris.Patung-patung dari ujung atas hingga bawah di Borobudur seragam bentuk dan
tekniknya, padahal masa pembuatannya memakan waktu 3 generasi dan tetap tidak ada deviasi interpretasi
seni pemahatan.
113
2014
Landasan Pedagogik
Teknologi pembuatan candi kala itu pasti merupakan teknologi garda depan di dunia. Bahkan hingga saat
inipun orang masih menobatkan sebagai keajaiban di dunia.Andai candi-candi dibangun pada era
sekarangpun tidak mudah direalisasikan dan dengan biaya sangat besar.Pantaslah Bung Karno selalu
mengagung-agungkan betapa perkasanya bangsa di Nusantara kala itu.
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi, maka pendidikan selain diberikan secara tertulis ada juga secara
lisan. Pendidikan lisan baik Hindu maupun Budha bisa berupa dakwah pengajian pimpinan agama atau
melalui dongeng, mythos, cerita, legenda secara turun temurun.Indonesia pada tahun 1825 sudah dikenal
prajurit putri yang terdidik dan terlatih bernama Nyai Ageng Serang yang gagah berani memimpin pasukan
Pangeran Diponegoro. Materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan
bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan,
pertanian, titi mongso, pananggalan, adat-istiadat, tata krama, perbintangan (misal gubug penceng, panjer
sore). Siswa diharuskan mondok/ngenger dalam padepokan, sedang cara pemberian pelajaran kebanyakan
dengan bahasa tutur dimana 1 siswa diasuh 1 guru.
Padepokan, perguruan, pawiyatan, pesantren secara kontinyu telah melaksanakan pendidikan dan
menghasilkan putra terbaik.Sebut saja misalnya Ken Arok, Trunojoyo, Untung Suropati, Sutowijoyo
(Panembahan Senopati). Dalam Kerajaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya juga terdapat
pendidikan yang secara sistematis diselenggarakan khusus kerabat sentana kraton. Tingkatan pendidikan di
keraton misalnya sasono sunu, sasono putra, sasono putri. Dari kancah inilah lahir alumni bangsawannegarawan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin,
Sultan Ternate, Pangeran Mangkubumi.
Berkat pendidikan tradisi beliau-beliau terbuka mata batinnya, merdeka pikirannya, merdeka jiwanya dan
merdeka tenaganya. Demikian pula apa yang dialami Ki Hajar Dewantara sejak pendidikan keluarga, sekolah
di Puro Pakualaman, Pondok Pesantren Kalasan dan interaksi dengan elite pemuda Nusantara. Literatur
pendidikan tradisi menghasilkan karya agung berupa serat Pararaton, Negara Kertagama, Sastra gending,
Wulang Reh, Wedotomo.
Pendidikan sebagai Sosialisasi Kebudayaan
Telah kita ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir seiring dengan keberadaan manusia, bahkan dalam
proses pembentukan masyarakat pendidikan ikut andil untuk menyumbangkan proses-proses perwujudan
pilar-pilar penyangga masyarakat. Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan
mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan
dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan
sebagainya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed,
tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan
ajal menjemputnya.
Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari system pengetahuan
yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di
sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari
berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada
setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai
masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan
tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat untuk mengembangkan suatu
sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman.Abad globalisasi
telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian-pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang
lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga.Sehingga dunia pendidikan
114
Landasan Pedagogik
2014
merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman
sesuai dengan atmosfir tuntutan global.
Sebagai salah satu perangkat kebudayaan, pendidikan akan melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai
dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan
hubungan dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosial faktual yang saat ini tengah
menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia.
Pergulatan Manusia dalam Keanekaragaman Budaya
Semenjak awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat asal usul dari manusia. Seperti mengungkap
kotak hitam misteri yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya, pemecahan seluk beluk sejarah manusia
telah menyita waktu dan pemikiran yang menimbulkan penafsiran bermacam-macam.Masing-masing
pemikir atau asumsi umum silih berganti mengajak masyarakat menjadi penganut perspektif
tersebut.Diantaranya adalah tiga asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam sebelum jamanpencerahan.
Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang diciptakan beraneka macam
atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang berkulit putih merupakan makhluk
manusia yang paling baik dan kuat.Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan
paling tinggi.Cara berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya
pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu makhluk induk dan bahwa semua makhluk
manusia di dunia ini merupakan keturunan Adam.
Sebagian dari mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk manusia dan
kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa
abadi yang pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa sebenarnya
makhluk manusia dan kebudayaan tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada masa kini
terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk
manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi.Beraneka macam kajian anatomi komparatif
yang dilakukan, lebih ditekan-kan atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia.Selain itu, ada sebagai
para ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah
laku makhluk manusia.Berbagai gejala dan tingkah laku manusia, dicoba untuk dipahami dengan
mendasarkan pada kaidah-kaidah alam.
Selama perjalanan waktu yang lama, dengan akal yang dimilikinya, makhluk manusia semakin memiliki
kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya.Setiap kali mereka berupaya menyempurnakan
dirinya, maka akan menyebabkan perubahan kebudayaannya. Suatu perubahan kebudayaan dapat berasal
dari luar lingkungan pendukung kebudayaan tersebut.Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan perubahan
dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan; sementara itu tidak tertutup
kemungkinan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat ditemukannya unsur-unsur kebudayaan
baru.Sehingga keberadaan pendidikan sangat penting sebagai mediator dalam dialektika kebudayaan lama
dengan kebudayaan baru yang melahirkan system kebudayaan yang memang berguna untuk masyarakat.
Pendidikan sebagai Dasar Pengembangan Masyarakat Baru
Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh semua negara, baik negara berkembang maupun
negara maju, dijadikan sebagai pondasi untuk menghadapi perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan
masyarakat dalam millennium ketiga.Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari negaranegara tersebut.Pendidikan telah dijadikan prioritas utama dan pertama dari banyak negara untuk dijadikan
sebagai pondasi membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka bagi perubahan-perubahan global
dan menghadapi masyarakat digital. Boleh dikatakan semua negara memberikan prioritas utama kepada
pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah. Sejalan dengan arah baru
Pendidikan Dalam Latar Budaya dan Organisasi
115
2014
Landasan Pedagogik
mengenai pendidikan di dalam pengembangan suatu masyarakat, maka ilmu pendidikan juga mempunyai
orientasi baru.
a. Arah Baru Pedagogik
Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-masalah mikro pendidikan, seperti
perkembangan anak, proses belajar dan pembelajaran, fasilitas pendidikan, biaya pendidikan, manajemen
pendidikan dan sebagainya. Di dalam perkembangannya dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari
perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi.Telah kita lihat, betapa perubahan pola-pola kehidupan
masyarakat manusia dewasa ini yang semakin terbuka.Kehidupan politik yang semakin didominasi oleh
gerakan demokratisasi.Hak-hak asasi manusia semakin menonjol di dalam setiap pemerintahan dan di dalam
organisasi-organisasi dunia.Semuanya mengakui betapa besar peranan pendidikan di dalam membangun
masyarakatdunia baru.
Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang positif memprioritaskan pendidikan di dalam proses
pembangunan masyarakat Indonesia baru di dalam APBN dan APBD yang akan datang. Perubahanperubahan sosial tersebut di atas telah membawa kepada suatu keperluan untuk memberikan orientasi baru
terhadap pedagogik. Pedagogik bukan sekadar mencermati perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa,
atau mengenai proses pendidikan orang dewasa, atau menyimak mengenai proses belajar dan pembelajaran,
tetapi lebih luas daripada itu, yaitu menempatkan perkembangan dan kehidupan manusia di dalam tetanan
kehidupan global.
Dengan demikian, pedagogik bukan hanya terbatas kepada ilmu mendidik dalam arti sempit, atau sekadar
aplikasi ilmu jiwa pendidikan, tetapi juga membahas mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan
hidup yang mengglobal bagi umat manusia.Pedagogik merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari
perubahan sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan hanya perubahan ekonomi bagi negaranegara maju, tetapi juga ekonomi yang dihadapi oleh kebanyakan negara berkembang yakni pemberantasan
kemiskinan.Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila investasi di dalam pendidikan dan pelatihan
merupakan agenda paling urgen di dunia dewasa ini. Masalah-masalah pemberdayaan, partisipasi
masyarakat, perencanaan dari bawah, perbaikan gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap
toleransi antarbangsa, antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi, antaretnis, multicultural
education, merupakan topik-topik hangat di dalam pedagogik arah baru.
b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan yang erat antara pedagogik dengan
pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan politik.Demikian selanjutnya, pedagogik tidak dapat dilepaskan
dari kebudayaan di mana pendidikan itu merupakan bagian dari padanya.Kebudayaan merupakan sarana,
bahkan jiwa dari kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpa kohesi sosial tidak mungkin lahirnya proses
pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Mengisolasikan pendidikan dari kebudayaan berarti melihat proses pendidikan di dalam ruang hampa.
Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik melihat betapa pendidikan merupakan aspek
yang sangat strategis di dalam menyiapkan suatu tata kehidupan manusia yang baru.Demikianlah kita
melihat bagaimana peranan pendidikan di dalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang
berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan. Tidak berlebihan kiranya
apabila pendidikan dewasa ini, seluruh dunia dianggap sebagai pondasi dari membangun masyarakat dunia
baru.
116
Landasan Pedagogik
V.
2014
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang tidak semua sadar akan pentingnya pendidikan membuat
persepsi yang beragam diantara keadaan sosial yang ada. Perubahan sosial, modernisasi, globalisasi,
mendukung proses tergesernya budaya bangsa. Bangsa Indonesia sangat kaya akan budaya yang memiliki
unsur-unsur nilai, moral, norma, etika kepribadian bangsa Indonesia. Umumnya hal yang tidak
menguntungkan tersebut didukung oleh sikap yang kurang baik, baik dalam hal : ramah (senyum, salam,
sapa), bahasa (Ejaan yang Disempurnakan semakin terkikis oleh bahasa gaul remaja masa kini), kedisiplinan
yang semakin memudar, sikap hipokrit yang semakin merajalela, meremehkan mutu dan kurang bertanggung
jawab. Secara spesifik perubahan sosial budaya, modernisasi, globalisasi mendukung perubahan sosial
budaya secara 180 derajat yang diakibatkan oleh adanya sikap permisif. Permisif ialah budaya yang
diizinkan, hal yang melanggar norma menjadi diperbolehkan, serta hal yang dianggap tabu menjadi tidak
tabu lagi, misalnya : menyontek. Hal tersebut merupakan salah satu contoh penyakit sosial yang bisa terus
berkembang ke arah yang lebih serius. Begitu pula dalam gaya hidup masyarakat zaman modern dan
globalisasi ini. Pola makan, pakaian, hobby, maupun aktivitas manusia sudah berbanding terbalik dengan
pola hidup masyarakat tradisional.Budaya bangsa sudah semakin larut hilang.Maka dari itu diperlukan kiatkiat untuk mendukung terwujudnya aktivitas masyarakat yang baik tanpa mengecualikan dan menghilangkan
unsur asli budaya bangsa. Salah satu cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan pendidikan berbasis
budaya.
Belajar berbasis budaya merupakan langkah yang tepat untuk mewujudkan pendidikan berbasis budaya.
Pembelajaran berbasis budaya memuat 3 unsur yaitu :belajar tentang budaya (menempatkan budaya sebagai
bidang ilmu), belajar dengan budaya (metode pemanfaatan budaya), belajar melalui budaya (pemahaman
makna yang diciptakan baik melalui kreativitas maupun imajinasi dalam ragam perwujudan budaya). Belajar
berbasis budaya harus dilakukan secara berkelanjutan demi tercapainya sisi kulminasi serta mewujudkan
situasi indigasi.Dimana mempertujukkan kebudayaan asli setelah kita belajar melalui pendidikan berbasis
budaya.Kebudayaan menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ialah hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.Adapun menurut William Ogburn, budaya materi lebih cepat berkembang daripada budaya
immateri.Karena kebudayaan yang sulit diterima oleh masyarakat ialah unsur yang menyangkut sistem
kepercayaan serta unsur yang dipelajari pada taraf pertama sosialisasi. Budaya immateri yang mudah
diterima oleh masyarakat sangat mendukung proses perubahan sosial. Maka dari itu setiap individu perlu
mempelajari, memahami, menginternalisasi serta mensosialisasikan esensi yang ada pada pembelajaran
berbasis budaya.Dengan pembelajaran berbasis budaya kita bisa menempatkan segala ilmu pengetahuan
yang kita pahami dan aktivitas kehidupan yang kita lakukan tanpa mengabaikan dan menghilangkan unsur
kebudayaan asli bangsa Indonesia.
Internalisasi pendidikan berbasis budaya dapat dilakukan oleh setiap individu baik dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Keluarga sebagai tempat pertama individu bersosialisasi perlu
mengajarkan dan mendidik setiap individu untuk memahami apa manfaat yang dapat dirasakan dan kepuasan
jika memaknai arti dari kebudayaan. Dimulai dari tindakan kecil yang terus berkelanjutan sehingga
menghasilkan individu yang mencintai kebudayaan tradisional maupun nasional yang ada di Indonesia.
Kebudayaan bukan diturunkan (herediter) tetapi melalui proses sosial yang dinamakan sosialisasi.
Percontohan dari orang tua, dimana orang tua perlu memperkenalkan dan menginternalisasikan kebudayaan
kepada anggota keluarganya (anak-anaknya).Begitu pula dalam lingkungan sekolah.Sekolah merupakan
tempat yang paling efektif dan efisien untuk mewujudkan pendidikan berbasis budaya. Guru sebagai
pendidik perlu mendidik siswanya dalam memahami ilmu pengetahuan dan etika dalam menggunakan ilmu
pengetahuan tersebut yang didalamnya selalu menempatkan dan memuat unsur-unsur pembelajaran berbasis
budaya. Pembelajaran berbasis budaya perlu diterapkan pada semua mata pelajaran di sekolah yang
dilaksanakan secara terintergrasi. Misalnya: mengadakan pentas seni budaya daerah, pembiasaaan 3S (
senyum, salam, sapa, budaya ramah kepribadian masyarakat Indonesia), cerdas cermat budaya Indonesia,
adanya ekstrakulikuler seni (baik tari, rupa, musik, drama, dan lain sebagainya), fasilitas yang memadai
untuk mendukung proses pembelajaran berbasis budaya, dan manajemen sekolah. Peran pendidik sangat
Pendidikan Dalam Latar Budaya dan Organisasi
117
2014
Landasan Pedagogik
diperlukan untuk tercapainya keberhasilan pendidikan berbasis budaya. Guru harus memunculkan ide-ide
kreatif, inovatif dan konstruktif untuk memacu siswanya untuk mengetahui lebih dalam pemahaman terhadap
budaya. Guru dianggap sebagai motivator, fasilitator, mediator, dan evaluator terhadap siswanya. Selain itu
siswa pun perlu aktif dan tanggap dalam mengaplikasikan kebudayaan baik dalam memperhatikan gurunya,
bertanya, berpendapat, maupun mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru baik di kelas maupun di luar
kelas.
Selain keluarga dan sekolah masyarakat dan pemerintah pun perlu mendukung pembelajaran berbasis
budaya. Pendidikan dan kebudayaan merupakan hal yang berkaitan erat satu sama lain. Karena keduanya
sangat penting untuk setiap individu agar dapat hidup dinamis tanpa mengabaikan nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat. Pemerintah pun perlu memfasilitasi, mewadahi, membuat rancangan yang tepat untuk
terselenggaranya pendidikan berbasis budaya yang komprehensif dan integral. Misalnya: dalam media cetak
dan elektronik disiarkan acara-acara yang memuat budaya bangsa. Lagu-lagu daerah, tarian daerah, lagu
nasional dan kebudayaan asli Indonesia sering dipertunjukkan dan ditontonkan kepada masyarakat.Karena
kebudayaan tersebut merupakan kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan.Jangan sampai semakin hilang oleh
munculnya budaya luar.Filterisasi perlu dijunjung tinggi oleh masyarakat.Budaya negatif perlu dihilangkan
demi terciptanya masyarakat Indonesia yang beretika baik dan bermartabat tinggi.
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh semua anggota warga
sekolah dan menerapkannya ke dalam kurikulum melalui hal-hal sebagai berikut.Perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan dengan mengintegrasikan melalui kegiatan
rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan dan pengkondisian.
1. Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan siswa secara konsisten dan terus menerus setiap saat
seperti mengucapkan salam, selamat pagi dan memberi hormat bila bertemu dengan orang yang lebih tua
pada waktu pagi, demikian pula waktu siang atau sore.
2. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara reflek ( tanpa direncanakan) pada saat menjumpai
suatu kejadian atau peristiwa. Kegiatan spontan yang perlu dicontoh antara lain: memberikan teguran secara
langsung kepada teman dari perilaku yang tidak baik, dan memberikan contoh yang baik dari perilaku yang
tidak baik, memberikan pujian kepada teman atas keberhasilannya, membantu menyeberangkan orangtua di
jalan.
3. Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku, sikap maupun pelayanan pendidik dan tenaga kependidikan lain yang dapat
dijadikan sebagai contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari atau menjadi panutan bagi siswa agar
mencontohnya, antara lain: berpakaian rapi, bertutur kata sopan dan santun, datang tepat pada waktunya,
bekerja keras, selalu ramah dan sejenisnya.
4. Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus
dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu.Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa yang diinginkan seperti toilet yang selalu bersih, adanya bak sampah di berbagai
tempat dan selalu dibersihkan, dan sejenisnya.
Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap materi pokok
atau sub materi pokok dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP
secara eksplisit berupa kegiatan-kegiatan yang direncanakan dengan cara sebagai berikut.
118
Landasan Pedagogik
2014
1. Mengkaji SK dan KD yang terdapat pada SI untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;
2. Melihat keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan
dikembangkan;
3. Mencantumkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam silabus yang disusun;
4. Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP dengan beberapa kegiatan;
5. Mengembangkan proses pembelajaran siswa secara aktif yang memungkinkan siswa memiliki
kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan
6. Memberikan bantuan kepada siswa, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai
maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan proses belajar
yang sekarang dikembangkan yaitu pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa dan dilakukan melalui
berbagai kegiatan di kelas, sekolah,dan masyarakat.
a. Kegiatan di kelas, dilakukan dengan cara merancang setiap kegiatan belajar dengan mengembangkan
kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dan sekaligus mengaitkan nilai-nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa yang secara implisit berada dalam mengembangkan kemampuan
kognitif. Pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, kejujuran, toleransi,kedisiplinan,
kemandirian, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui kegiatan belajar
yang biasa dilakukan pendidik, sedangkan kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa ingin tahu, dan
kreatif memerlukan upaya menciptakan kondisi sehingga siswa dapat memiliki kesempatan untuk
memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai tersebut.
b. Kegiatan di sekolah, dilakukan melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh siswa, pendidik,
kepala sekolah, dan tenaga kependidikan yang lain. Perencanaan dilakukan sejak awal tahun pelajaran
dan tersirat di kalender akademik dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian wujud nyata
kegiatan sekolah untuk menumbuhkan budaya dan karakter.
c. Kegiatan luar sekolah dapat dilakukan melalui semua kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang
diikuti oleh seluruh atau sebagian siswa, dirancang sekolah sejak awal tahun pelajaran. Kegiatan tersebut
melalui perencanaan yang terdokumen dalam kalender akademik.
VI.
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan
merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik
maupun non fisik.Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Proses
hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran
secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam.Alam telah
mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan
menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan
dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justru pendidikan memainkan
peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung
adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.Oleh karena
itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah
laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian
119
2014
Landasan Pedagogik
anggota-anggotanya.4 Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan diterangkan dalam urutan
pembahasan dibawah ini.
1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan kepribadian
manusia.Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar jumlah
kepribadian-kepribadian.Para pakar antropologi, menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai
bidak-bidak di dalam papan catur kebudayaan.Individu adalah creator dan sekaligus manipulator
kebudayaannya.5 Di dalam hal ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian sebab-akibat sirkuler yang
berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di
dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat
berkembang melalui kepribadiankepribadian tersebut. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan
bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang
kreatif.Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang
kreatif tersebut.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa dipelajari.Dengan demikian
tingkah laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi yang harus dipelajari kembali
berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi.Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan
pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.Para pakar yang menaruh perhatian terhadap
pendidikan dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan psikoanalisis Para ahli
psikologi behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis
menganggap perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini
ditentukan antara lain oleh kebudayaan dimana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999)
menyatukan pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai
berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain
kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk
terbentuknya perilaku-perilakutertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem reward and punishment terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap
kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam kebudayaan
tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau
mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar.
Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan kebudayaan dalam pembentukan
kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian juga akan
tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan
kebudayaan terhadap pengembangan kepribadian manusia.Pada dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap
pembentukan kepribadian tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan sebagai berikut.
a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat kebudayaan juga merupakan suatu proses.
Hal ini berarti antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya dinamika tersebut
bukanlah suatu dinamika yang otomatis tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari interaksi
tersebut ialah manusia.
b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk mencapai suatu misi tertentu.
Keterarahan perkembangan tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong tetapi dalam suatu
masyarakat manusia yang berbudaya.
120
Landasan Pedagogik
2014
c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan
dapat diperolehnya secara langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia tanpa imajinasi tidak
mungkin mengembangkan kepribadiannya. Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing seorang diri
dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya. Bayangkan bagaimana kehidupan kebudayaan manusia
apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam masyarakat agar ia dapat hidup dan
berkembang. Tentunya manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada di dalam
masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang akan melawan arus di dalam perkembangan
hidupnya. Yang paling efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan antara tujuan hidupnya
dengan tujuan hidup dalam masyarakatnya.
e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan
dalam waktu yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang. Baik waktu yang dekat maupun
tujuan dalam jangka waktu yang panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam suatu
masyarakat.
f. Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan kepribadian manusia, dapatlah
disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan. Learning is
agoal teaching behavior.
g. Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan super-ego dalam perkembangan kepribadian.
Super-ego tersebut tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti yang telah diuraikan,
dunia masa depan yang ideal merupakan kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan oleh
nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
h. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia. Bersama-sama dengan ego, beserta ide,
keduanya merupakan energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energitersebut perlu dicarikan
keseimbangan dengan kondisi yang ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.
Dengan kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan super-ego dari kepribadian seseorang berarti
mencari keseimbangan antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola kebudayaan yang ada.
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah transmisi kebudayaan. Proses tersebut
menunjukkan bahwa kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan
banyak ahli pendidikan yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
Mengenai masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena seperti yang telah dijelaskan, kepribadian
bukanlah semata-mata hasil tempaan dari kebudayaan.Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus
manipulator kebudayaannya.Dengan demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang statis tetapi sesuatu
yang terus-menerus berubah. Untuk membuktikan hal tersebut marilah kita lihat variabel-variabel transmisi
kebudayaan yang dikemukakan oleh Fortes dalam Koentjoroningrat (1991).8 Di dalam transmisi tersebut
kita lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses transmisi, dan (3) cara
transmisi. Unsur-unsur kebudayaan manakah yang ditransmisi?Pertama-tama tentunya unsur-unsur tesebut
ialah nilai-nilai budaya, adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai konsep hidup
lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam
interaksi atau pergaulan para anggota di dalam masyarakat tersebut.
Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya.Seperti telah dikemukakan manusia adalah
aktor dan manipulator dalam kebudayaannya.Oleh sebab itu, unsur-unsur tersebut harus diidentifikasi. Proses
identifikasi itu berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Nilai-nilai
yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan pengakuan lingkungan sekitarnya.Artinya perilaku-perilaku
tersebut harus mendapatkan pengakuan sosial yang berarti bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut
adalah yang sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungannya.
Rangkaian transmisi berangkat dari imitasi, identifikasi, dan sosialisasi, berkaitan dengan bagaimana cara.
Pada saatnya proses transmisi kebudayaan di dalam masyarakat modern akan menghadapi tantanganPendidikan Dalam Latar Budaya dan Organisasi
121
2014
Landasan Pedagogik
tantangan yang berat. Di sinilah letak peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif
dan dapat memilih nilai-nilai dari berbagai lingkungan. Dalam hal ini kita berbicara mengenai keberadaan
kebudayaan dunia yang meminta suatu proses pendidikan yang lain yaitu kepribadian yang kokoh yang tetap
berakar kepada budaya lokal. Hanya dengan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya lokal akan dapat
memberikan sumbangan bagi terwujudnya nilai-nilai global.
3. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan
Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan, nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya
sekadar dipindahkan dari satu bejana ke bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses
interaksi antara pribadi dengan kebudayaan betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di
dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi,
asimilasi, inovasi, fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi lainnya. Beberapa
proses tersebut dapat dijelaskan sebagaiberikut:
a. Penemuan atau Invensi,
Dua konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam pertumbuhan dan kebudayaan. Hal itu mengingat
tanpa penemuan-penemuan yang baru dan tanpa invensi suatu budaya akan mati. Biasanya pengertian kedua
terminologi ini dibedakan.Suatu penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum dikenal
tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta ini.Misalnya di dalam sejarah perkembangan umat
manusia terjadi penemuan-penemuan dunia baru sehingga pemukiman manusia menjadi lebih luas dan
berarti pula semakin luasnya penyebaran kebudayaan. Selain itu, di dalam penemuan dunia baru akan terjadi
difusi atau proses lainnya mengenai pertemuan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Istilah invensi lebih
terkenal di dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dengan invensi maka umat manusia dapat menemukan hal-hal yang dapat mengubah kebudayaan.Dengan
penemuan-penemuan melalui ilmu pengetahuan maka lahirlah kebudayaan industri yang telah menyebabkan
suatu revolusi kebudayaan terutama di negara-negara barat.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
begitu pesat telah membuka horizon baru di dalam kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan berkembang
begitu cepat secara eksponensial sehingga apa yang ditemukan hari ini mungkin besok telah usang.
Memanusia berarti membudaya. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya proses memanusia dalam
kebudayaan global. Hal ini berarti manusia akan kehilangan identitasnya dan kepribadiannya akan berbentuk
kepribadian kodian.
Sudah tentu penemuan-penemuan baru dan invensi-invensi melalui ilmu pengetahuan akan semakin intens
kerana interaksi dengan bermacam-macam budaya akan bermacam-macam manusia yang dimiliki oleh
seluruh umat manusia. Dengan demikian, penemuan-penemuan dan invensi baru tidak lagi merupakan
monopoli dari suatu bangsa atau suatu kebudayaan tetapi lebih menjadi milik dunia. Kebudayan dunia yang
akan muncul pada milenium ketiga dengan demikian perlu diarahkan dengan nilai-nilai moral yang telah
terpelihara di dalam kebudayaan umat manusia karena kalau tidak dapat saja manusia itu menuju kepada
kehancurannya sendiri dengan alat-alat pemusnah massal yang diciptakannya.
b. Difusi
Difusi kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran budaya-budaya tertentu antara masyarakat yang
lebih maju kepada masyarakat yang lebih tradisional.Pada dasarnya setiap masyarakat setiap jaman selalu
mengalami difusi. Hanya saja proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat perlahan-lahan. Namun hal
itu berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi mampu menyajikan beragam informasi yang serba
cepat dan intens, maka difusi kebudayaan akan berjalan dengan sangat cepat.
Bagaimanapun juga didalam masyarakat sederhana sekalipun proses difusi kebudayaan dari barat tetap
menyebar. Hal itu dapat dibuktikan melalui pengamatan Margaret Mead dalam Tilaar (1999) yang meneliti
122
Landasan Pedagogik
2014
masyarakat di kepulauan pasifik.10 Beberapa waktu setelah pengamatan Mead terhadap masyarakat tersebut
telah terjadi perubahan masyarakat yang cukup berarti.Apa yang ditemukan oleh Margaret Mead dari suatu
masyarakat yang tertutup dan statis ketika beliau kembali telah menemukan suatu masyarakat yang terbuka
yang telah mengadopsi usnur-unsur budaya Barat.
Lihat saja misalnya apa yang terjadi di negara kita, bagaimana pengaruh Kebangkitan Nasional terhadap
kehidupan suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah melahirkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa kesatuan dan/atau bahasa nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu, dari puak
Melayu yang hidup di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa Indonesia terhadap kebudayaan di Nusantara
sangat besar sampai-sampai banyak anak-anak sekarang terutama di kota-kota besar yang tidak lagi
mengenal bahasa lokalnya atau bahasa ibu.11 Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk
memelihara bahasa ibu dari anak-anak kita.
c. Inovasi
Inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif.Dalam setiap kebudayaan terdapat pribadi-pribadi yang
inovatif.Dalam masyarakat yang sederhana yang relatif masih tertutup dari pengaruh kebudayaan luar,
inovasi berjalan dengan lambat.Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi menjadi terbuka
karena didorong oleh kondisi budaya yang memungkinkan.Oleh sebab itu, di dalam masyarakat modern
pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi perkembangan kebudayaan.Inovasi merupakan dasar
dari lahirnya suatu masyarakat dan budaya modern di dalam dunia yang terbuka dewasa ini.
Inovasi kebudayaan di dalam bidang teknologi dewasa ini begitu cepat dan begitu tersebar luas sehingga
merupakan motor dari lahirnya suatu masyarakat dunia yang bersatu. Di dalam kebudayaan modern pada
abad teknologi dan informasi dalam millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi merupakan cirri dari
manusia yang dapat survive dan dapat bersaing. Persaingan di dalam dunia modern telah merupakan suatu
tuntutan oleh karena kita tidak mengenal lagi batas-batas negara.Perdagangan bebas, dunia yang terbuka
tanpa-batas, teknologi komunikasi yang menyatukan, kehidupan cyber yang menisbikan waktu dan ruang,
menuntut manusia-manusia inovatif. Dengan sendirinya wajah kebudayaan dunia masa depan akan lain
sifatnya.
Betapa besar peranan inovasi di dalam dunia modern, menuntut peran dan fungsi pendidikan yang luar biasa
untuk melahirkan manusia-manusia yang inovatif. Dengan kata lain, pendidikan yang tidak inovatif, yang
mematikan kreativitas generasi muda, berarti tidak memungkinkan suatu bangsa untuk bersaing dan hidup di
dalam masyarakat modern yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan akan menempati peranan sentral
di dalam lahirnya suatu kebudayaan dunia yang baru.
d. Visi Masa Depan
Suatu hal yang baru dalam proses pembudayaan dewasa ini ialah peranan visi masa depan. Terutama dalam
dunia global tanpa-batas dewasa ini diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat dan bangsa kita akan
menuju. Tanpa visi yang jelas yaitu visi yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan
bangsa (Indonesia), akan sulit untuk menentukan arah perkembangan masyarakat dan bangsa kita ke masa
depan, atau pilihan lain ialah tinggal mengadopsi saja apa yang disebut budaya global. Mengadopsi budaya
global tanpa dasar kehilangan identitasnya. Di sinilah letak peranan pendidikan nasional untuk meletakkan
dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang akan dijadikan
pondasi untuk membentuk budaya masa depan yang lebih jelas dan terarah.
VII.
Kita bisa mengambil contoh konkret kebudayaan yang ada di masyarakat, misalnya budaya Sunda.
Kebudayaan Sunda kaya akan kearifan lokal masyarakatnya. Meskipun zaman sudah semakin modern
123
2014
Landasan Pedagogik
namun budaya Sunda masih tetap eksis di kalangan masyarakat.Hal ini diakibatkan karena masyarakatnya
sering menggunakan, melestarikan kebudayaan Sunda tersebut. Dalam pakaian budaya Sunda semakin
memunculkan ide-ide kreatif, misalnya: kebaya. Kebaya dimodifikasi semenarik mungkin dengan rancangan
dan hasil yang sangat diminati konsumen masa kini.Makanan tradisional orang Sunda pun begitu nikmat,
nasi liwet tersedia di berbagai daerah.Karena rasanya yang khas, dilengkapi dengan lalap-lapan, lauk, dan
sambal yang menggugah selera makan.Selain itu dari keseniannya pun budaya Sunda tak kalah menarik.
Angklung, gamelan, lagu-lagu tradisional, tari-tari tradisional seperti tari jaipongan, tari rampak gendang,
tari merak, dan lain sebagainya sudah sangat diminati masyarakat baik masyrakat Sunda maupun luar Sunda.
Hal ini didukung dan digemari masyarakat karena seringnya dilakukan pagelaran dan pameran budaya
Sunda.Sehingga masyarakat semakin tertarik dengan kekayaan budaya Sunda.Acara pementasan ini pun
tidak hanya dilakukan di dalam negeri tapi sudah mendunia. Sehingga bangsa luar pun mengenal dan
menyukai kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam bahasa, Sunda memiliki 3 penggunaan,yaitu bahasa
loma (dengan sesama), sedeng (sedang), dan lemes (halus). Bahasa tersebut dipergunakan dengan siapa
lawan bicara kita lebih tua, lebih muda, atau sesama dengan kita.Bahasa Sunda pun unik, enak didengar dan
menarik sekali jika bukan orang Sunda asli yang mengucapkannya.Bahasa Sunda sering digunakan dalam
acara-acara di media elektronik sehingga banyak masyarakat yang ingin mempelajari bahasa Sunda.Selain
itu dalam budaya Sunda dikenal bahwa orang Sunda ramah tamah dan tidak suka dengan kekerasan.Sehingga
masyarakat semakin banyak yang menyukai kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda tersebut bisa memiliki kekayaan kearifan lokal yang sangat tinggi sehingga menjadi
langkah dalam rangka terwujudnya tujuan pendidikan nasional.Menempatkan pendidikan berbasis budaya
mewujudkan masyarakat Indonesia yang semakin terinernalisasi pendidikan berbasis budaya dalam setiap
aktivitas hidupnya.Tujuan pendidikan pengajaran nasional untuk mencapai peningkatan nasional,
pembangunan nasional, pendidikan nasional (tanpa mengabaikan keimanan dan ketakwaan), institusional,
kulikuler, maupun instruksional dapat terwujud jika seluruh lapisan masyarakat ikut membangun pendidikan
berbasis budaya demi terciptanya manusia Indonesia yang seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang
seluruhnya.
Pola hidup dan pola pikir yang dijalani oleh masyarakat suku sunda itu memiliki sifat yang seimbang,
contohnya saja dalam hal beradaptasi. Mereka harus bisa beradaptasi dengan baik apalagi bila mereka sudah
tinggal di dalam lingkungan yang berbeda-beda suku secara otomatis mereka akan berpola pikir bahwa
mereka harus bersifat ramah-tamah dan saling menghargai antara sesama. Pola pikir yang telah mengalami
perkembangan pada suku sunda ini sangat amat berdampak positif terhadap pola hidup mereka. Dengan
pengetahuan dan juga pendidikan yang sudah cukup banyak didapat oleh masyarakat suku sunda tersebut
dan juga dengan teknologi yang semakin berkembang menyebabkan pola hidup yang begitu baik bagi
mereka, misalnya saja jika mereka bersekolah tinggi dan mendapat nilai yang baik dan bagus secara otomatis
mereka akan bekerja dan di tempatkan pada posisi yang tinggi dan mendapatkan gaji cukup pula dan itu
menyebabkan pola hidup mereka akan jauh lebih baik. Tetapi jika mereka hanyalah mengenyam pendidikan
yang kurang baik maka pola hidup mereka pun akan serta-merta tidak baik pula. Jadi pada intinya pola hidup
dan pola pikir itu sangatlah berpengaruh bagi kehidupan mereka.
Landasan Pedagogik
2014
b. Firdaus menyebutkan bahwa organisasi adalah kegiatan menyusun struktur dan membentuk hubunganhubungan agar diperoleh kesesuaian dalam usaha mencapai tujuan bersama atau suatu kerjasama yang
dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama
c. Gibson, Ivancevich, dan Donnelly mendefinisikan organisasi sebagai wadah yang memungkinkan
masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri.
Lebih lanjut ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya
dua orang berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan
pada upaya peningkatan pencapaian tujuan bersama secara lebih efektif dan efesien melalui koordinasi
antar unit organisasi.
d. Stephen P. mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar,
dengan sebuah batasan yang relatif dapat didefinisikan, yang bekerja atas dasar yang relatif menerus
mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Definisi dari Robbins tersebut, menekankan
bahwa organisasi adalah suatu sistem sosial yang perlu dikoordinasi dalam arti perlu manjemen. Batasan
organisasi menurut Robbins tersebut akan berubah sebagaimana tuntutan lingkungan organisasi,
sehingga dikatakan relatif.
e. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menelusuri kajian organisasi dalam tiga pandangan, yaitu rational,
natural, dan open sistem. A rational-sistem perspective views organization as formal instrument
designed to achieve organizational goals; structure is the most important feature. Telaahan ini
menunjukkan bahwa dalam pandangan sistem rational (logika) organisasi merupakan instrument formal
yang dibuat untuk mencapai tujuan organisasi dan struktur aspek yang paling penting.
f. Edgar Schein mendefinisikan An organization is the rational coordination of the activity of the number
of people for the achievement of some common explicit of labor and function, and through a hierarchy of
outhority and responsibility. (Suatu organisasi adalah koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang
untuk mencapai beberapa tujuan umum dari tenaga kerja dan fungsi, serta dengan tingkatan hirarki dan
tanggungjawab.)
g. Ananda W.P Guruge mendefinisikan Organization is difened as arranging a complex of tasks into
manageable units and defining the formal relationship among the people who are assigned the various
tasks. (Organisasi didefinisikan sebagai tatanan tugas yang kompleks yang dikelola oleh suatu unit dan
mendeskripsikan hubungan formal antara orang-orang yang ditugaskan berbagai macam tugas).
h. SB Hri Lubis menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan pengertian dari keseluruhan definisi organisasi
yaitu pada dasarnya organisasi sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling
berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya
masing-masing, yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas
yang jelas, sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkunagnnya.
i. Sutarto mendefiniskan bahwa organisasi adalah sistem saling berpengaruh antar orang dalam kelompok
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi itu adalah Suatu sistem interaksi antar
orang yang ditujukan untuk mencapai tujuan organisasi, dimana sistem tersebut memeberikan arahan
perilaku bagi anggota organisasi. Definisi ini menekan pada keharusannya sebuah organisasi didasarkan
kepada interaksi sosial diantara anggotanya dan anggota dengan lingkungannya supaya tujuan organisasi
dapat dicapai secara efektif dan efesien.
IX.
Aspek-aspek Organisasi
Aspek-aspek organisasi adalah komponen-komponen yang harus ada dalam suatu organisasi. Keberadaan
komponen ini sebagai pilar dari suatu organisasi. Artinya jika salah satu komponen organisasi tidak
berfungsi, maka organisasi tidak akan berjalan. Dalam pandangan sistem organisasi mengalami entrophy,
yaitu kondisi dimana organisasi dikategorikan hancur (dalam tanaman digambarkan sebagai kondisi layu).
125
2014
Landasan Pedagogik
OConnor,T. Mengungkapkan bahwa organisasi setidaknya harus memiliki empat komponen utama, yaitu:
mission (misi), goals (tujuan), objectives (sasaran-sasaran), dan behavior (perilaku).
a. Mission adalah alasan utama keberadaan suatu organisasi.
b. Goals adalah tujuan-tujuan umum atau tujuan divisi-divisi fungsional organisasi yang dihubungkan
dengan stakeholder organisasi.
c. Objektives adalah hasil/sasaran yang spesifik, terukur dan terkait dengan tujuan. Seperti peningkatan
nilai Ujian Nasional (UN) sebesar 0,5 dalam waktu satu tahun kedepan. Sasaran ini biasanya
mencantumkan batasan waktu dan siapa yang bertanggungjawab atas sasaran tersebut.
d. Behavior mengacu kepada produktifitas dari tugas-tugas rutin pegawai. Pertanggungjawaban perilaku
dalam pencapaian tujuan merupakan fungsi personalia. Dalam kebanyakan desain organisasi formal,
komunikasi berada diantara perilaku dan tujuan.
Keberadaan suatu organisasi tidak akan lepas dari empat komponen tersebut di atas. Jika suatu organisasi
tidak memiliki sasaran yang harus dicapai oleh setiap orang dalam organisasi, maka mereka akan
kebingungan mengenai apa dan bagaimana perilaku yang harus dimunculkan oleh anggota. Jika suatu
organisasi tidak memiliki misi yang harus dilakukan, maka orang-orang dalam organisasi akan kebingungan
mengenai apa yang harus dicapai oleh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa empat komponen organisasi
tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga tidak akan berfungsi suatu organisasi jika salah satu
komponennya hilang.
X.
Jenis-jenis Organisasi
Perkembangan kajian organisasi diawali dari kajian organisasi sebagai organisasi formal, yaitu organisasi
yang didesain untuk mencapai tujuan bersama. Perkembangan ini terus berlansung dan berbagai studi
keorganisasian terus dilakukan. Perkembangan inilah pada akhirnya memunculkan organisasi informal
sebagai implikasi dari adanya organisasi formal.
a. Organisasi Formal
Organisasi formal adalah organisasi yang dicirikan oleh struktur organisasi. Keberadaan struktur organisasi
menjadi pembeda utama antara organisasi formal dan informal. Struktur dalam organisasi formal
dimaksudkan untuk menyediakan penugasan kewajiban dan tanggungjawab kepada personil dan untuk
membangun hubungan tertentu diantara orang-orang pada berbagai kedudukan. Sekolah dasar merupakan
contoh sebuah organisasi formal.
Struktur dalam organisasi formal memperlihatkan unsur administratif berikut:
1. Kedudukan, struktur menggambarkan letak/posisi setiap orang dalam organisasi tanpa terkecuali.
Kedudukan sekarang dalam struktur organisasi mencerminkan sejumlah kewajban sebagai bagian dari
upaya pencapaian tujuan dan hak-hak yang dimiliki secara formal dalam posisi yang didudukinya.
Sebagai contoh, kepala sekolah adalah salah satu contoh kedudukan dalam struktur organisasi sekolah.
Kedudukan sebagai kepala sekolah ini mencerminkan adanya sejumlah kewajiban yang harus dilakukan
pemangku jabatan sebagai pimpinan dan manajer sekolah, juga memperlihatkan adanya hak-hak yang
diterima secara formal manakala seorang menjabat sebagai kepala sekolah.
2. Hierarki Kekuasaan, struktur digambarkan suatu rangkaian hubungan antara satu orang dengan orang
lainnya dalam suatu organisasi. Rangkaian hubungan ini mencerminkan suatu hirarki kekuasaan yang
inheren dalam setiap kedudukan. Tanggungjawab merupakan suatu istilah yang melekat dalam setiap
kedudukan dan hirarki kekuasaan di dalam organisasi. Adanya hirarki kekuasaan menunjukkan bahwa
pencapaian tujuan organisasi dibagi kepada berbagai komponen organisasi dan diimplementasikan secara
sinergi melalui hirarki kekuasaan masing-masing yang dikoordinasikan dan dipimpin oleh manajer
puncak. Dalam organisasi persekolahan, hirarki kekuasaan tertinggi adalah kepala sekolah.
126
Landasan Pedagogik
2014
3. Kedudukan garis dan staf, organisasi garis menegaskan struktur pengambilan keputusan, jalan
permohonan dan saluran komunikasi resmi untuk melaporkan informasi dan mengeluarkan instruksi,
perintah, dan petunjuk pelaksanaan. Kedudukan garis adalah ialah kedudukan yang diserahi kekuasaan
administrative umum dalam arus lansung dari tempat paling atas ketempat yang paling bawah.
Kedudukan staf mewakili keahlian-keahlian khusus yang diperlukan bagi berfungsinya kedudukan garis
tertentu dengan pasti.
b. Organisasi Informal
Interaksi antara orang dalam organisasi formal pasti menghasilkan sebuah perkembangan hubungan yang
tidak saja hubungan struktual, terlebih pada organisasi persekolahan, dimana kekeluargaan menjadi salah
satu landasan perilakunya. Perkembangan hubungan dari interaksi orang dalam organisasi ini akan
meningkat secara kuat sentimen-sentimen dan komitmen setiap orang, sehingga muncul empati atau simpati
satu sama lain. Hubungan inilah yang terus tumbuh selama organisasi formal itu ada yang dinamakan
organisasi informal. Hubungan interaksi ini tidak berstruktur sebagaimana struktur organisasi formal.
Walaupun sulit mengidentifikasi keberadaannya secara kasat mata, namun keberadaan organisasi informal
ini dapat dilihat dari tiga karakteristik, yaitu norma perilaku, tekanan untuk menyesuaikan diri, dan
kepemimpinan informal
Norma perilaku adalah standar perilaku yang diharapkan menjadi perilaku bersama yang ditetapkan oleh
kelompok (orang-orang dalam organisasi) dalam sebuah kesepakatan sosial, sehingga sangsinya pun sangsi
sosial. Norma perilaku dalam organisasi informal tidak tertulis sebagaimana organisasi formal, tetapi
menjadi kesepakatan bersama diantara orang-orang didalam organisasi.
Tekanan untuk menyesuaikan diri akan muncul apabila seseorang akan bergabung dengan suatu kelompok
informal. Menggabungkan diri dengan suatu kelompok tidak sekedar bergabung secara fisik dalam suatu
organisasi informal tersebut. Karena itu organisasi informal sering muncul dalam bentuk kelompokkelompok yang tidak terlalu besar, karena syarat keberterimaan sebagai bagian dari organisasi informal ini
tidak hanya keanggotaan dalam organisasi formalnya, tetapi lebih spesifik pada kesamaan antar individu,
apakah kesamaan asal daerah, agama, nilai yang dianut, hobi, dan lain sebagainya.
Kepemimpinan informal dalam organisasi informal menjadi salah satu komponen yang kuat mempengaruhi
orang-orang dalam organisasi, bahkan memungkinkan melebihi pengaruh pemimpin organisasi formal.
Pemimpin informal muncul dari kelompok dan membimbing serta mengarahkan melalui persuasi dan
pengaruh. Kepemimpinan dalam organisasi informal sangat kuat mempengaruhi perilaku orang-orang karena
inilah kepemimpinan yang sesungguhnya, dimana seseorang dipatuhi bukan karena memiliki jabatan,tetapi
ada kelebihan yang secara alamiah mampu mempengaruhi orang lain tanpa paksaan.
XI.
Desain Organisasi
Desain organisasi didasarkan pada elemen-elemen umum dalam organisasi. Mintzberg menyebutkan lima
elemen umum dalam suatu organisasi, yaitu:
1. The operating core. Para pegawai yang melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan
produksi dari produk dan jasa. Dalam organisasi sekolah pegawai in adalah guru. Guru dikatakan sebagai
ujung tombak pendidikan yang berinteraksi lansung dengan layanan jasa pembelajaran kepada peserta
didik.
2. The strategic apex. Manajer tingkat puncak yang diberi tanggungjawab keseluruhan untuk organisasi.
Pada organisasi sekolah, orang ini adalah kepala sekolah.
3. The middle line. Para manajer yang menjadi penghubung operating core dengan strtegi apex. Dalam
konteks perguruan tinggi orang-orang ini adalah para dekan yang bertugas memfasilitasi strategic apex
untuk terimplementasi pada level jurusan. Di organisasi sekolah, posisi ini dapat diidentifikasi sebagai
127
2014
Landasan Pedagogik
wakil kepala sekolah yang bertugas menjembatani kebijakan strategis sekolah supaya dapat
terimplementasi pada level guru-guru dan staf.
4. The techno structure. Para analisis yang mempunyai tanggungjawab untuk melaksanakan bentuk
standarisasi tertentu dalam organisasi. Dalam konteks organisasi pendidikan di Indonesia, masih jarang
sekolah yang memiliki tenaga ini. Namun demikian tidak menutup kemungkinan pada sekolah-sekolah
tertentu yang memiliki elemen organisasi ini.
5. The support staff. Orang-orang yang mengisi unit staf, yang memberi jasa pendukung tidak lansung
kepada organisasi. Di persekolahan staf ini dikenal dengan tenaga administratif sekolah (TAS).
Berdasarkan lima elemen yang dikemukakan oleh Mintzberg inilah Robbins menganalisis desain organisasi
yang berbeda. Perbedaan desain organisasi tersebut dikarenakan organisasi memiliki system dan aturan yang
berbeda dalam kelima elemen tersebut. Lima konfigurasi umum tersebut ialah :
1. Struktur sederhana, disarankan untuk organisasi yang kecil dengan karakteristik organisasi yang masih
dalam tahap awal dibentuk, lingkungan organisasi sederhana dan dinamis, menghadapi krisis, atau jika
mempunyai kekuasaan dalam organisasi ingin agar kekuasaan tersebut disentralisasi
2. Birokrasi mesin didesain untuk organisasi yang secara efektif dapat menangani ukuran besar, lngkungan
sederhana dan stabil, dan lain sebagainya yang distandarisasikan.
3. Birokrasi professional didesain supaya operasional keseharian yang kompleks dapat berjalan secara
efektif.
4. Struktur divisional didesain untuk menanggapi strategi yang menekankan kepada keanekaragaman
pasar/produk, dimana organisasi tersebut besarm teknologinya dapat dibagi-bagi dan stabil.
5. Adhocracy meminta agar manajemen puncak melepaskan kebanyakn pengawasan. Konfigurasi ini cocok
untuk organisasi yang memiliki strategi variatif, beresiko tinggi, teknologi rutin, teknologi tidak rutin,
atau lingkungannya mungkin dinamis atau kompleks.
XII.
Manusia adalah makhluk sosial, karenanya, setiap manusia akan saling memerlukan dalam memenuhi
kebutuhannya. Antara sesama manusia juga dituntut untuk saling bekerja sama, saling menghargai dan
menghormati untuk mempertahankan hidupnya di muka bumi ini.
Adanya alasan sosial di atas menjadi salah satu pendorong bagi manusia untuk membentuk suatu
perkumpulan yang biasa disebut "organisasi". Organisasi ini amat dibutuhkan untuk mewujudkan setiap citacita yang disepakati oleh anggota organisasi secara bersama. Oleh karena itu, organisasi tumbuh dan
berkembang begitu pesat di tengah-tengah masyarakat. Organisasi itu juga dibentuk dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti pemerintahan, perusahaan, politik, hukum, ekonomi, dan termasuk bidang pendidikan
Organisasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia hidup dalam
sebuah organisasi. Organisasi merupakan sebuah wadah di mana orang berinteraksi untuk mencapai suatu
tujuan bersama. Pemahaman organisasi ini menunjukkan bahwa di mana pun dan kapan pun manusia berada
atau berinteraksi maka disitu muncul organisasi tidak lagi sebagai suatu wadah organic dari orang-orang
yang berkumpul untuk suatu tujuan, tetapi berkembang pada interaksi orang untuk maksud tertentu.
Keberadaan manusia di dunia ini tidak luput dari keanggotaan suatu organisasi. Organisasi merupakan
sebuah wadah dimana orang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pemahaman organisasi ini
menunjukkan bahwa dimana pun dan kapan pun manusia berada (berinteraksi) maka disitu muncul
organisasi. Pemahaman organisasi tidak lagi sebagai suatu wadah organik dari orang-orang yang berkumpul
untuk suatu tujuan, tetapi berkembang pada interaksi orang untuk maksud tertentu. Kemestian manusia saat
ini berada dalam suatu organisasi ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan lebih efektif dan efesien,
bukan semata-mata suatu kondisi kebetulan. Efektifitas dan efesiensi ini dapat digambarkan sebagai 100
128
Landasan Pedagogik
2014
sapu lidi yang diikat secara bersamaan akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membersihkan satu
halaman dibandingkan dengan sejumlah 100 sapu lidi digunakan secara terpisah untuk membersihkan
halaman.
Pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan upaya yang
dilakukan dalam konteks organisasi, apakah keluarga, masyarakat, sekolah atau jenis organisasi lainnya.
Pendidikan memiliki tujuan yang harus dicapai yang disebut tujuan pendidikan. Pada level Negara, tujuan ini
disebut tujuan pendidikan nasional , pada level propinsi disebut tujuan pendidikan provinsi, pada level
kabupaten/kota dikenal dengan tujuan pendidikan kab./kota, dan pada sekolah dikenal dengan pendidikan
dengan tujuan pendidikan sekolah. Pencapaian tujuan ini akan lebih efektif dan efesien jika dilakukan
dengan menggunakan pendekatan organisasi. Dalam perkembangan zaman saat ini, dimana para orang tua
disibukkan dengan berbagai pendidikan, proses pendidikan bagi anak-anak lebih banyak dipercayakan pada
organisasi pendidikan formal ( sekolah/madrasah )
Sekolah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu tempat terjadinya proses pendidikan dan organisasi pendidikan
formal. Kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yang dinamakan tujuan pendidikan sekolah. Misal tujuan
pendidikan SMP Lab. School UPI. Pertanyaannya, apakah tujuan tersebut tujuan pendidikan atau organisasi
sekolah? Penyelenggaraan pendidikan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa keberadaan organisasi
pendidikan tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efesien. Tujuan
pendidikan dan tujuan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah. Pendidikan ditujukan
bagi orang-orang yang mengikuti proses pendidikan. Dan proses pendidikan ini berada dalam organisasi.
Dengan demikian, keberlangsungan proses pendidikan ini menjadi dasar bagi penetapan tujuan sekolah
(sebagai suatu organisasi).
Apakah mungkin penyelenggaraan pendidikan dilakukan di luar organisasi? Jawabnya pasti tidak
mungkin. Mengapa demikian? Diawal telah diungkapkan bahwa keberadaan manusia saat ini tidak
memungkinkan untuk berada di luar sebuah organisasi. Dalam konteks dari suatu Negara. Dan suatu Negara
memiliki sistem pendidikan tersendiri. Artinya setiap orang yang menjadi warga suatu Negara dan tinggal di
Negara tersebut akan menjadi bagian dari pendidikan Negara tersebut. Setiap sekolah atau lembaga
pendidikan dimanapun saat ini harus mengikuti sistem penyelengaraan pendidikan sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan Negara tersebut. Di Indonesia, setiap lembaga pendidikan harus mengikuti Undangundang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sekolah sebagai Organisasi Sosial
Sekolah sebagai organisasi sosial memandang organisasi dalam konteks sistem sosial yang memiliki tujuan
tertentu dan merupakan tujuan bersama. Organisasi sosial adalah organisasi yang dicirikan dengan saling
ketergantungannya antara satu bagian dengan bagian lainnya, kejelasan anggota, perbedaan dengan
lingkungannya, hubungan sosial yang kompleks, dan budaya organisasi yang khas.
Sekolah sebagai organisasi sosial merupakan pandangan sekolah sebagai organisasi formal dimana
pandangan tersebut akan berimplikasi pada bagaimana memperlakukan/mengelola sekolah. Setiap organisasi
akan memiliki aktivitas untuk mencapai tujuannya. Pencapaian tujuan organisasi akan meminta sejumlah
aktivitas individu yang harus dikoordinasikan supaya terarah pada pencapaian tujuan. Disinilah interaksi
berlangsung yang dipengaruhi oleh struktur organisasi, individu-individu yang mengisi struktur, budaya,
politik, teknik produksi dan lingkungan organisasi (lingkungan strategis).
Sekolah Sebagai Organisasi Pembelajar (learning organization)
Kemampuan suatu organisasi bertahan hidup ditentukan oleh sumber daya manusia organisasi atau dikenal
dengan man (manusia). Organisasi dibuat, digerakkan, diorientasikan untuk mencapai tujuan manusia.
Manusia adalah unsur yang paling pokok dalam suatu organisasi. Manusiamanusia unggullah yang
membawa organisasi pada suatu kondisi bertahan dan berkembang.
129
2014
Landasan Pedagogik
Pandangan organisasi sebagai sistem sosial menunjukkan bahwa organisasi merupakan sistem yang terbuka
dan berinteraksi dengan lingkungan secara dinamis. Interaksi ini berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Implikasinya tuntutan terhadap produk
(barang maupun jasa) yang dihasilkan organisasi terus berkembang bahkan dalam kurun waktu yang cepat.
Fasilitasi organisasi supaya kemampuan sumber daya manusia organisasi dapat terus belajar inilah yang
berkembang saat ini dan dikenal dengan learning organization atau LO. LO diperkenalkan oleh Peter
Senge sekitar tahun 1990 yang kemudian berkembang pesat dan menghasilkan berbagai aplikasi dalam
berbagai bidang keilmuan, salah satunya dalam bidang manajemen.
Learning organization adalah satu cara dimana seseorang dengan komitmen bersama menilai secara rutin
tujuan-tujuan mereka, memodifikasi tujuan-tujuan tersebut manakala sesuai dan secara terus menerus
mengembagkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Implikasi yang harus dicermati dari keberadaan sekolah pada interaksinya dengan lingkungan sekolah yang
dinamis adalah menjadikan sekolah sebagai tempat belajar untuk semua orang. Tidak saja peserta didik yang
harus belajar, tetapi guru-guru, kepala sekolah, staf tata usaha, pegurus komite sekolah dan semua pihak
yang terkait dengan pengelolaan sekolah juga orang-oran yang harus belajar di sekolah.
Cara-cara yang harus dipikirkan oleh kepala sekolah dan personil sekolah untuk menjadikan sekolah sebagai
tempat LO adalah :
1. Menemukan cara agar struktur organisasi sekolah dapat terus mendukung layanan pembelajaran dan
memperluas kemampuan adaptasi organisasi.
2. Mengembangkan iklim dan budaya organisasi yang memiliki karakteristik terbuka, kerjasam dan mampu
mengatur diri sendiri.
3. Mengidentifikasi individu-individu yang prograsif, sukses dan terbuka untuk perubahan.
4. Mencegah kekerasan, penyelewengan dan politik yang tidak benar dalam layanan pembelajaran.
5. Memimpin dengan model kepemimpinan transformasional.
6. Berkomunikasi secara terbuka dan keberlanjutan.
7. Membuat keputusan partisipasif.
8. Mengembangkan kapasitas sekolah untuk merespon berbagai masalah secara efektif dan menyeluruh
bukan secara sporadis.
DAFTAR PUSTAKA
http://coretanseadanya.blogspot.com/2012/10/apa-sih-pendidikan-itu.html
http://fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/
http://fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/
http://www.slideshare.net/wurdiyantiyulia/pembahasan-nilai-nilai-pendidikan-dan-budaya-bangsadalam-pembelajaran
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/04/internalisasi-pendidikan-berbasis-budaya-597695.html
http://ditaramayant.blogspot.com/p/pendidikan-dalam-kebudayaan.html
http://pendidikandankebudayaan.wordpress.com/
http://mariyusriyuz1992.blogspot.com/2013/04/makalah-organisasi-pendidikan_10.html
https://www.facebook.com/note.php?note_id=332346413503762
http://zulfikar-ali-buto.com/landasan-teori-visi-dan-misi-lembaga-pendidikan-islam/
http://yopitubagus.wordpress.com/2012/10/24/organisasi-sekolah/
130
Landasan Pedagogik
2014
CURRICULUM VITAE
A. IDENTITAS PRIBADI
Nama
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum menikah
Kewarganegaraan
: Indonesia
: Islam
Pendidikan Terakhir
Alamat
Asal Instansi
: Universitas Pasundan
Alamat Instansi
No. Tlp/ Hp
: 085222366633
: nenden.mutiara@yahoo.co.id
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
No.
Tahun
2011-2013
2006-2010
SMAN 3 Cimahi
2003-2006
SMPN 6 Cimahi
2000-2003
SDN Cimareme 4
1997-2000
SDN Sukamanah 1
1994-1997
TK PGRI 1 Cimahi
1993-1994
C. RIWAYAT PEKERJAAN
No.
Instansi
SMKN 3 Cimahi
Universitas Pasundan
Tahun
2013
2013 - sekarang
131
2014
Landasan Pedagogik
CURRICULUM VITAE
A. IDENTITAS PRIBADI
Nama
Jenis Kelamin
: Perempuan
No. Tlp/ Hp
: 085861500332, 082122957774
: invimath@yahoo.co.id
supianti@unpas.ac.id
Instansi
Alamat
B. PENDIDIKAN
Pendidikan Formal
No.
Tahun
2014-sekarang
2011-2013
2006-2010
132
SMAN 7 Bandung
2003-2006
2000-2003
1997-2000
1994-1997
Landasan Pedagogik
BAGIAN VI
AZAS-AZAS PENDIDIKAN
Hartatiana
Refi Elfira Yuliani
2014
Landasan Pedagogik
I.
2014
Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peranan yang penting bagi suatu negara sebagai dasar pembangunan yang harus
diutamakan dalam upaya pembangunan sektor-sektor lain. Indonesia merupakan salah satu Negara yang
dalam undang-undang dasarnya mencantumkan pendidikan sebagai hak azasi manusia serta dalam hal
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia termasuk didalamnya adalah kesehatan dan
pendidikan. Kedua hal tersebut merupakan hak-hak azasi manusia dan merupakan syarat bagi kemajuan
suatu masyarakat atau negara.
Azas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berfikir, baik pada tahap
perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Berbagai azas manusia dengan pengkajian berbagai dimensi
hakikat manusia (keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan). Dengan kata lain Azas-azas
pendidikan
adalah
azas-azas
yang
menjadi
dasar
pelaksanaan
pendidikan secara
praktis/teknis (operasional). Azas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau
tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanan ). Pandangan tentang hakikat manusia
merupakan tumpuan berfikir utama yang sangat penting dalam pendidikan. Salah satu dasar utama
pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik diri sendiri. Seperti diketahui,
manusia yang dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain, namun memiliki potensi
yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan.
Khusus untuk pendidikan di Indonesia, terdapat sejumlah azas yang memberi arah dalam merancang dan
melaksanakan pendidikan itu. Azas-azas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di
dunia
maupun
yang
bersumber dari pemikiran dan pengalaman
sepanjang sejarah
upaya pendidikan di Indonesia. Azas ini adalah azas tut wuri handayani, azas belajar sepanjang hayat, dan
azas kemandirian dalam belajar. Ketiga azas itu dipandang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik
masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, setiap tenaga pendidikan harus memahami dengan tepat
ketiga azas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyelenggaraan pendidikan
sehari-hari.
Azas-Azas Pendidikan
133
2014
Landasan Pedagogik
b. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat
memerdekakan diri.
c. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
e. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun bathin hendakalah
diusahakan dengan kesatuan sendiri, dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa pun yang mengikat,
baik berupa ikatan lahir maupun ikatan bathin.
f. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri
segala usaha yang dilakukan.
g. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan bathin untuk mengorbankan
segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.
Azas tut wuri handayani merupakan inti dari azas pertama (butir a) yang menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dalam perikehidupan umum. Dari azasnya yang pertama ini jelas
bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Kehidupan
yang tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi
kekuasaan Tuhan. Azas ini pulalah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara
lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang
didasarkan pada perkembangan kodrati.
Dari azas ini pulalah lahir Sistem Among, di mana guru memperoleh sebutan pamong,yaitu sebagai
pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan tut wuri handayani, yaitu tetap mempengaruhi
dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri,
diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak
serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak
menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan. Jadi, sistem among adalah cara
pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala
keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya bertolak
dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidaka ada
campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari
sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarsa sung
tulada (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan
guru. Ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan kehendak) diterpakan dalam situasi kurang
bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk
memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan azas (ing ngarsa sung tulada, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi azas penting dalam pendidikan di Indonesia.
134
Azas-Azas Pendidikan
Landasan Pedagogik
2014
Azas-Azas Pendidikan
135
2014
Landasan Pedagogik
mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain terbentuk manusia dan
masyarakat yang mampu dan mau terus menerus belajar.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi
dengan memperhatikan dua dimensi berikut:
- Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Disamping keterkaitan dan kesinambungan antar
tingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk
dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
a. Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran
dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum.
b. Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: Kurikulum seyogianya memungkinkan antisipasi
terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik justru akan hidup dalam sosialkebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
c. The forescasting curuculum yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis,
baik tentang prilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam
sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa
depan.
d. Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan
struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh
keterpaduan ide bidang studi itu.
e. Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang
sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun
masyarakatnya.
f. Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga
untuk pendidikan dasar, dan demikian seterusnya.
g. Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat
kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu.
-
Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan pengalaman di luar sekolah antara lain :
a. Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek
refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalanpersoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
b. Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah; kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian
empiris, sehingga kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah.
c. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber
dalam kegiatan belajar di sekolah maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan
peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan
menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang
hayat. Dan masyarakat yang gemar belajar akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar. Dengan
katalain, akan terwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin didalam sistem
pendidikan nasional Indonesia.
Azas-Azas Pendidikan
Landasan Pedagogik
2014
kembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap
untuk ulur tangan apabila diperlukan.Selanjutnya, azas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan
apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah
tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selau tergantung dari bantuan guru ataupun
orang lain.
Perwujudan azas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga fasilitator
dan motivator, di samping peran-peran lain: Informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator,
guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan
peserta didik berinterkasi dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, guru mengupayakan
timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar itu. Pengembangan kemandirian dalam
belajar ini seyogianya dimulai dalam kegiatan intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan
selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler. Atau,untuk latar perguruan tinggi: Dimulai
dalam kegiatan tatap muka, dan dikembangkan dan dimantapkan dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan
mandiri.
Kegiatan tatap muka atau intrakurikuler terutama berfungsi membentuk konsep-konsep dasar dan cara-cara
pemanfaatan berbagai sumber belajar, yang akan menjadi dasar pengembangan kemandirian dalam belajar di
dalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri, atau kegiatan ko- dan ekstrakurikuler itu.Terdapat
berbagai strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi peluang
pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu
pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambil prakarsa dan atau memikul
tanggung jawab tertentu dalam belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja.
Disamping itu, beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan
kemandirian dalam belajar seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram dan
sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiaplembaga
pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Dengan
dukungan PSB itu azas-azas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.
Azas-Azas Pendidikan
137
2014
Landasan Pedagogik
4. Usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat: ruang belajar,
perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan
jasmani.
5. Pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat yang bertujuan
untuk: (a) meningkatkan sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat secara
berbudaya melalui berbagai cara belajar, (b) menunjang tercapainya tujuan pendidikan manusia
seutuhnya.
6. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan keterampilan,
kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara,
kepribadian dan budi luhur.
7. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatanolahraga untuk
meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di bidang olahraga.
8. Usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan kesempatan seluasluasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan
dan teknologi, keterampilan serta ketahanan mental.
Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah secara lintas sektoral telah mengupayakan
usaha-usaha untuk menjawab tantangan azas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan sarana dan
prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang menunjang.
Dalam kaitan penerapan azas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui
sekarang, yakni :
1. peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan yang diminatinya di sema
jenis, jalur, dan jenjang pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan profesinya dalam
masyarakat. Peserta didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri.
2. Peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan kejuruan yang diminatinya agar dapat
mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu yang diinginkannya.
3. Peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan kesempatan untuk memasuki program
pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan gaya dan irama belajarnya.
4. Peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental memperoleh kesempatan untuk
memilih pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi
manusia yang mandiri.
5. Peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan
agar dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai sebagai
manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah standar sampai mencapai standar yang
diharapkan.
VI. Penutup
Pada prinsipnya pendidikan tidak dapat terlepas dari budaya, azas pendidikan yang merupakan suatu
kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berfikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan
pendidikan. Maka sudah sewajarnya apabila perancangan kurikulum dan sampai kepada pelaksanaannya
mengacu pada ketiga azas yakni tut wuri handayani, belajar sepanjang hayat, dan kemandirian dalam belajar.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan yang dilakukan secara
intensional, yakni secara sadar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma
dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik,
peserta didik dan pengelola pendidikan. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni
manusia mempunyai potensi untuk berkembang. Oleh sebab itu pendidikan itu adalah usaha untuk
mengembangkan potensi unggul tersebut, hal ini sangat terkait dengan tiga azas pendidikan. Dimana dalam
138
Azas-Azas Pendidikan
Landasan Pedagogik
2014
perkembangannnya peserta didik butuh teladan, motivator, fasilitator, pembimbing serta kesadaran untuk
belajar secara mandiri. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi dimana terjadi dialog antara
peserta didik dengan pendidik yang memungkinkan peserta didik tumbuh kearah yang dikehendaki oleh
pendidik agar selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
Azas-Azas Pendidikan
139
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
http://fitriacimutz.blogspot.com/ diakses tanggal 15 Oktober 2014
http://amarstain.blogspot.com/ diakses tanggal 15 Oktober 2014
http://blogthowi.blogspot.com/ diakses tanggal 16 Oktober 2014
140
Azas-Azas Pendidikan
Landasan Pedagogik
2014
CURRICULUM VITAE
Nama
: Hartatiana
TTL
Alamat Asal
Alamat Sekarang
Instansi
Status
: Menikah
Suami
Anak
:-
Azas-Azas Pendidikan
141
2014
142
Landasan Pedagogik
Azas-Azas Pendidikan
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN VII
PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG LANDASAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN
Muhammad Prayito (1402044)
Damianus Dao Samo (1402172)
Landasan Pedagogik
2014
A. Pedagogik
Kompetensi Pedagogik merupakan salah satu jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru. Kompetensi
Pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi
Pedagogikmerupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya dan akan
menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya.
Kompetensi ini tidak diperoleh secara tiba-tiba tetapi melalui upaya belajar secara terus menerus dan
sistematis, baik pada masa pra jabatan (pendidikan calon guru) maupun selama dalam jabatan, yang
didukung oleh bakat, minat dan potensi keguruan lainnya dari masing-masing individu yang bersangkutan.
Berkaitan dengan kegiatan Penilaian Kinerja Guru terdapat 7 (tujuh) aspek dan 45 (empat puluh lima)
indikator yang berkenaan penguasaan kompetensi pedagogik. Berikut ini disajikan ketujuh
aspek kompetensi pedagogik beserta indikatornya:
1. Menguasai karakteristik peserta didik. Guru mampu mencatat dan menggunakan informasi
tentang karakteristik peserta didik untuk membantu proses pembelajaran. Karakteristik ini terkait dengan
aspek fisik, intelektual, sosial, emosional, moral, dan latar belakang sosial budaya:
a) Guru dapat mengidentifikasi karakteristik belajar setiap peserta didik di kelasnya,
b) Guru memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran,
c) Guru dapat mengatur kelas untuk memberikan kesempatan belajar yang sama pada semua peserta
didik dengan kelainan fisik dan kemampuan belajar yang berbeda,
d) Guru mencoba mengetahui penyebab penyimpangan perilaku peserta didik untuk mencegah agar
perilaku tersebut tidak merugikan peserta didik lainnya,
e) Guru membantu mengembangkan potensi dan mengatasi kekurangan peserta didik,
f) Guru memperhatikan peserta didik dengan kelemahan fisik tertentu agar dapat mengikuti aktivitas
pembelajaran, sehingga peserta didik tersebut tidak termarjinalkan (tersisihkan, diolokolok, minder,
dsb).
2. Menguasasi teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik.Guru mampu menetapkan
berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif sesuai
dengan standar kompetensi guru. Guru mampu menyesuaikan metode pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan memotivasi mereka untuk belajar:
a) Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai materi pembelajaran sesuai usia
dan kemampuan belajarnya melalui pengaturan proses pembelajaran dan aktivitas yang bervariasi,
b) Guru selalu memastikan tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran tertentu dan
menyesuaikan aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan tingkat pemahaman tersebut,
c) Guru dapat menjelaskan alasan pelaksanaan kegiatan/aktivitas yang dilakukannya, baik yang sesuai
maupun yang berbeda dengan rencana, terkait keberhasilan pembelajaran,
d) Guru menggunakan berbagai teknik untuk memotiviasi kemauan belajar peserta didik,
e) Guru merencanakan kegiatan pembelajaran yang saling terkait satu sama lain, dengan
memperhatikan tujuan pembelajaran maupun proses belajar peserta didik,
f) Guru memperhatikan respon peserta didik yang belum/kurang memahami materi pembelajaran yang
diajarkan dan menggunakannya untuk memperbaiki rancangan pembelajaran berikutnya.
3. Pengembangan kurikulum. Guru mampu menyusun silabus sesuai dengan tujuan terpenting kurikulum
dan menggunakan RPP sesuai dengan tujuan dan lingkungan pembelajaran. Guru mampu memilih,
menyusun, dan menata materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik:
a) Guru dapat menyusun silabus yang sesuai dengan kurikulum,
143
2014
Landasan Pedagogik
b) Guru merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan silabus untuk membahas materi ajar
tertentu agar peserta didik dapat mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan,
c) Guru mengikuti urutan materi pembelajaran dengan memperhatikan tujuan pembelajaran,
d) Guru memilih materi pembelajaran yang: (1) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) tepat dan
mutakhir, (3) sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar peserta didik, (4) dapat
dilaksanakan di kelas dan (5) sesuai dengan konteks kehidupan seharihari peserta didik.
4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik. Guru mampu menyusun dan melaksanakan rancangan
pembelajaran yang mendidik secara lengkap. Guru mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru mampu menyusun dan menggunakan berbagai materi
pembelajaran dan sumber belajar sesuai dengan karakteristik peserta didik. Jika relevan, guru
memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK) untuk kepentingan pembelajaran:
a) Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah disusun secara
lengkap dan pelaksanaan aktivitas tersebut mengindikasikan bahwa guru mengerti tentang tujuannya,
b) Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta
didik, bukan untuk menguji sehingga membuat peserta didik merasa tertekan,
c) Guru mengkomunikasikan informasi baru (misalnya materi tambahan) sesuai dengan usia dan
tingkat kemampuan belajar peserta didik,
d) Guru menyikapi kesalahan yang dilakukan peserta didik sebagai tahapan proses pembelajaran, bukan
sematamata kesalahan yang harus dikoreksi. Misalnya: dengan mengetahui terlebih dahulu peserta
didik lain yang setuju/tidak setuju dengan jawaban tersebut, sebelum memberikan penjelasan tentang
jawaban yamg benar,
e) Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai isi kurikulum dan mengkaitkannya dengan
konteks kehidupan seharihari peserta didik,
f) Guru melakukan aktivitas pembelajaran secara bervariasi dengan waktu yang cukup untuk kegiatan
pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar dan mempertahankan
perhatian peserta didik,
g) Guru mengelola kelas dengan efektif tanpa mendominasi atau sibuk dengan kegiatannya sendiri agar
semua waktu peserta dapat termanfaatkan secara produktif,
h) Guru mampu audiovisual (termasuk tik) untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Menyesuaikan aktivitas pembelajaran yang dirancang dengan
kondisi kelas,
i) Guru memberikan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, mempraktekkan dan
berinteraksi dengan peserta didik lain,
j) Guru mengatur pelaksanaan aktivitas pembelajaran secara sistematis untuk membantu proses belajar
peserta didik. Sebagai contoh: guru menambah informasi baru setelah mengevaluasi pemahaman
peserta didik terhadap materi sebelumnya, dan
k) Guru menggunakan alat bantu mengajar, dan/atau audiovisual (termasuk tik) untuk meningkatkan
motivasi belajar pesertadidik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
5. Guru mampu menganalisis potensi pembelajaran setiap peserta didik dan mengidentifikasi
pengembangan potensi peserta didik melalui program embelajaran yang mendukung siswa
mengaktualisasikan potensi akademik, kepribadian, dan kreativitasnya sampai ada bukti jelas bahwa
peserta didik mengaktualisasikan potensi mereka:
a) Guru menganalisis hasil belajar berdasarkan segala bentuk penilaian terhadap setiap peserta didik
untuk mengetahui tingkat kemajuan masingmasing.
b) Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk
belajar sesuai dengan kecakapan dan pola belajar masingmasing.
144
Landasan Pedagogik
2014
c) Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran untuk memunculkan daya kreativitas dan
kemampuan berfikir kritis peserta didik.
d) Guru secara aktif membantu peserta didik dalam proses pembelajaran dengan memberikan perhatian
kepada setiap individu.
e) Guru dapat mengidentifikasi dengan benar tentang bakat, minat, potensi, dan kesulitan belajar
masing-masing peserta didik.
f) Guru memberikan kesempatan belajar kepada peserta didik sesuai dengan cara belajarnya masingmasing.
g) Guru memusatkan perhatian pada interaksi dengan peserta didik dan mendorongnya untuk
memahami dan menggunakan informasi yang disampaikan.
6. Komunikasi dengan peserta didik. Guru mampu berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun
dengan peserta didik dan bersikap antusias dan positif. Guru mampu memberikan respon yang lengkap
dan relevan kepada komentar atau pertanyaan peserta didik:
a) Guru menggunakan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman dan menjaga partisipasi peserta didik,
termasuk memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut peserta didik untuk menjawab dengan ide
dan pengetahuan mereka.
b) Guru memberikan perhatian dan mendengarkan semua pertanyaan dan tanggapan peserta didik,
tanpamenginterupsi, kecuali jika diperlukan untuk membantu atau mengklarifikasi
pertanyaan/tanggapan tersebut.
c) Guru menanggapi pertanyaan peserta didik secara tepat, benar, dan mutakhir, sesuai tujuan
pembelajaran dan isi kurikulum, tanpa mempermalukannya.
d) Guru menyajikan kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kerja sama yang baik
antarpeserta didik.
e) Guru mendengarkan dan memberikan perhatian terhadap semua jawaban peserta didik baik yang
benar maupun yang dianggap salah untuk mengukur tingkat pemahaman peserta didik.
f) Guru memberikan perhatian terhadap pertanyaan peserta didik dan meresponnya secara lengkap dan
relevan untuk menghilangkan kebingungan pada peserta didik.
7. Penilaian dan Evaluasi. Guru mampu menyelenggarakan penilaian proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi atas efektivitas proses dan hasil belajar dan menggunakan
informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan. Guru mampu
menggunakan hasil analisis penilaian dalam proses pembelajarannya:
a) Guru menyusun alat penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk mencapai kompetensi
tertentu seperti yang tertulis dalam RPP.
b) Guru melaksanakan penilaian dengan berbagai teknik dan jenis penilaian, selain penilaian formal
yang dilaksanakan sekolah, dan mengumumkan hasil serta implikasinya kepada peserta didik,
tentang tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran yang telah dan akan dipelajari.
c) Guru menganalisis hasil penilaian untuk mengidentifikasi topik/kompetensi dasar yang sulit
sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan masingmasing peserta didik untuk keperluan remedial
dan pengayaan.
d) Guru memanfaatkan masukan dari peserta didik dan merefleksikannya untuk meningkatkan
pembelajaran selanjutnya, dan dapat membuktikannya melalui catatan, jurnal pembelajaran,
rancangan pembelajaran, materi tambahan, dan sebagainya.
e) Guru memanfatkan hasil penilaian sebagai bahan penyusunan rancangan pembelajaran yang akan
dilakukan selanjutnya.
145
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
c) Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science)
Manajemen adalah seni (Art) atau suatu ilmu pengetahuan. Mengenai inipun sesungguhnya belum ada
keseragaman pendapat, segolongan mengatakan bahwa manajemen adalah seni dan segolongan yang lain
mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu. Sesungguhnya kedua pendapat itu sama mengandung
kebenarannya. Manajemen juga adalah suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni adalah suatu pengetahuan
bagaimana mencapai hasil yang diinginkan atau dalm kata lain seni adalah kecakapan yang diperoleh dari
pengalaman, pengamatan dan pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.
Teori ini dikemukakan oleh :
- Mary Parker Follet, Manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang
lain. Definisi dari Mary ini mengandung perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu
tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa saja yang pelu dalam
pekerjaan itu, bukan dengan cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri.
- Dalton, Manajemen adalah kemampuan mengorganisasi segala sumber daya dan mengkoordinasikan
pelaksanaan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (in a timely and
cost effective manner) Inti manajemen dari pendapat para ahli tersebut diatas adalah : Sebuah proses /
seni dalam mngelola manusia dan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu dengan langkah-langkah
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan ( actuating), dan pengawasan
(controling).
2. Pengertian Pendidikan
Menurut Driyarkara (1980), Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda, pengangkatan manusia muda
ke taraf pendidik. Dalam Dictionary of Education dinyatakan bahwa pendidikan adalah: (a) proses seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup,
(b) proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan sosial
dan kemampuan individu yang optimum. Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas
individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku,
pikiran, dan sikapnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan, antara lain, yaitu:
- Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk
kepentingan hidup.
- Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi),
strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
- Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Formal dan non
formal)
Manajemen pendidikan adalah suatu proses atau sistem pengelolaan/organisasi dan peningkatan
kemanusiaan (human enginering) dalam kaitannya dengan suatu sistem pendidikan. Kegiatan-kegiatan
pengelolaan pada suatu sistem pendidikan bertujuan untuk keterlaksanaan proses belajar mengajar yang
relevan, efektif, dan efesien dapat terjadi bila di lengkapi dengan sarana yang terbentuk satu wadah
organisasi dan ditunjang oleh:
- Kelompok pemimpinan dan pelaksanaan
- Fasilitas dan alat pendidikan
- Program pendidikan dengan sistem pengelolaan yang baik
Manajemen pada hakekatnya adalah fungsi untuk melakukan penataan semua kegiatan dalam pendidikan
agar tujuan pendidikan tercapai dalam batas-batas kebijakan yang telah ditentukan. Sebagai penyelenggara
Perspektif Pedagogik Tentang Landasan Manajemen Pendidikan
147
2014
Landasan Pedagogik
148
Landasan Pedagogik
2014
b) Manajemen operatif:
Bidang kegiatan ini disebut juga managemen of operative function, yakni kegiatan-kegiatan yang
bertujuan mengarahkan dan membina agar semua orang yang melaksanakan pekerjaannya yang menjadi
tugas masing-masing dapat dengan tepat dan benar.
Adapun ruang lingkup menajemen pendidikan ini secara lebih rinci dapat di jelaskan sebagai berikut:
a) Manajemen kurikulum, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kegiatan tentang
pendataan mata pelajaran/mata kuliah yang diajarkan/dipasarkan, waktu jam yang tesedia, jumlah guru
beserta pembagian jam pelajaran, jumlah kelas, penjadwalan, kegiatan belajar-mengajar, buku-buku
yang dibutuhkan, program semester, evaluasi, program tahunan, kelender pendidikan, perubahan
kurikulum maupun inovasi-inovasi dalam pengembangan kurikulum.
b) Manajemen ketenagaan pendidikan (kepegawaian), meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kegiatan penerimaan pegawai baru, mutasi, surat keputusan, surat
tugas, berkas-berkas tenaga kependidikan, daftar umum kepegawaian, upaya peningkatan SDM serta
kinerja pegawai, dan sebagainya.
c) Manajemen peserta didik, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi kegiatan penggalangan penerimaan siswa baru, pelaksanaan tes penerimaan siswa baru,
penempatan dan pembagian kelas, kegiatan-kegiatan kesiswaan, motivasi dan upaya peningkatan
kualitas lulusan dan sebagainya.
d) Manajemen perlengkapan sekolah,Manajemen perlengkapan sekolah dapat didefinisikan sebagai proses
kerja sama pendayagunaan semua perlengkapan pendidikan secara efektif dan efisien. Perlengkapan
sekolah atau juga sering disebut dengan fasilitas sekolah, dapat dikelompokkan menjadi: (1) sarana
pendidikan; dan (2) prasarana pendidikan.[10] Sarana dan prasarana pendidikan meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kegiatan pengadaan barang pembagian dan
penggunaan barang (inventaris), perbaikan barang, dan tukar tambah maupun penghapusan barang.
e) Manajemen keuangan/ pembiayaan pendidikan, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi kegiatan masuk dan keluarnya dana, usaha-usaha menggali sumber pendanaan
sekolah seperti kegiatan koperasi serta penggunaan dana secara efisien.
f) Manajemen/administrasi perkantoran, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi kegiatan kantor agar memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua orang
yang membutuhkan serta berhubungan dengan kegiatan lembaga.
g) Manajemen unit-unit penunjang pendidikan, melipiti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan ddan evaluasi kegiatan unit-unit penunjang, misalnya bimbingan dan penyuluhan (BP),
perpustakaan, UKS, pramuka, olahraga, kesenian, dan sebagainya.
h) Manejemen layanan khusus pendidikan, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi kegiatan pelayanan khusus, misalnya menu makanan/konsumsi, layanan antar
jemput , bimbingan khusus di rumah, dan sebagainya.
i) Manajemen tata lingkungan dan keamanan sekolah meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi tata ruang pertamanan sekolah, kebersihan dan ketertiban
sekolah, serta keamanan dan kenyamanan lingkungan sekolah.
j) Manejemen hubungan dengan masyarakat, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi kegiatan hubungan masyarakat, misalnya pendataan alamat kantor/orang yang
dianggap perlu, hasil kerjasama, program-progran humas, dan sebagainya.
Secara umum, semakin besar dan maju suatu lembaga pendidikan, semakin banyak ruang lingkup
manajemen yang harus ditangani sekolah. Demikian juga ssebaliknya, semakin rendah dan kecil sekolah
semakin ssedikit ruang lingkup manajemen yang harus ditanganinya. Missalnya manajemen sekolah yang
tergolong kecil dan bermutu rendah lebih sederhana pengelolaannya seperti sekolah-sekolah dasar yang ada
di pelosok desa dibanding dengan manajemen sekolah yang tergolong besar dan maju.
149
2014
Landasan Pedagogik
5. Fungsi ManajemenPendidikan
Dalam proses mengelola pendidikan,fungsi manajemen pendidikan sangat diperlukan,supaya proses
pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Fungsi pokok manajemen pendidikan,yaitu:
a) Perencanaan (planning)
Perencanaan merupakan hal terpenting dalam suatu tindakan. Gagal merencanakan sam dengan
merncanakan kegagalan. Begitu juga dengan pendidikan yang harus ada perncanaan supaya tercapai
tujuan dari pendidikan terssebut. perencaan Merupakan fungsi pertama yang sangat penting dalam
manajemen. Perencanaan akan menentukan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Dapat dikatakan bahwa
fungsi perencanaan merupakan fungsi pengarah bagi fungsi manajemen yang lainnya.Hasibuan (
2007:93 ) menjelaskan tentang pentingnya perencanaan yaitu:
- Tanpa perencanaan dan rencana berarti tidak ada tujuan yang akan di capai.
- Tanpa perencanaan dan rencana berarti tidak ada pedoman pelaksana sehingga banyak pemborosan.
- Rencana adalah dasar pengendalian,tanpa ada rencana perencanaan tidak dapat di lakukan.
Tanpa perencanaan dan rencana berarti tidak ada keputusan dan proses manajemenpun tidak ada.
Philip H.Combs mengemukakan lima ciri perencanaan pendidikan:
- Perencanaan pendidikan harus berpandangan jangka panjang.
- Perencanaan pendidikan harus terinci.
- Perencanaan pendidikan harus diintegrasikan dengan rencana ekonomi yang lebih luas dan
perkembangan masyarakat.
- Perencanaan pendidikan harus merupakan suatu bagian integral pengelolaan pendidikan.
- Perencanaan pendidikan harus memperhitungkan bagian kualitatif,karena perkembangan pendidikan
bukan perluasan secara kuantitatif saja.
b) Pengorganisasian (Organizing)
Organizing berasal dari kata organize yang berarti menciptakan struktur dengan bagian-bagian yang
diintegrasikan, sehingga hubungan yang satu dengan yang lainnya saling terkait.Pengorganisasian
merupakan pengaturan seluruh sumber daya pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan.
c) Pelaksanaan (Actuating)
Fungsi manajemen yang terpenting dan paling dominan dalam proses manajemen,dalam pelaksanaannya
tidak dapat di lepaskan dari fungsi manajer sebagai pemimpin,maka diperlukan sebuah
kepemimpinan.Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam upaya menyusun
dan mencapai tujuan, (Koswara, 2002:76)
d) Koordinasi (coordinating)
Koordinasi adalah salah satu fungsi manajemen. Dalam organisasi keberadaan pengorganisasian sangat
penting bagi terintegrasinya seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan.stoner (1991 :238) yang
dikutip oleh syafrudin (2005 : 79) proses pengordinasian dibagi kedalam lima tahapan yaitu :perincian
pekerjaan, pembagian pekerjaan, pemisahan pekerjaan,koordinasi pekerjaan, monitoring dan
reorganisasi. Dengan demikian koordinasi merupakan bagian integral dalam manajemen.
e) Pengawasan (controlling)
Merupakan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan .Tujuannya adalah untuk menentukan harapanharapan yang nyata dicapai dan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap segala penyimpangan yang
terjadi.
150
Landasan Pedagogik
2014
Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan
luasnya suatu organisasi. Menurut Nanang fattah (2004:101), proses dasar pengawasan terdiri dari tiga
tahap,diantaranya:
- Menetapkan standar pelaksanaan
- Pengukuran pelaksanaan dibandingkan dengan standar
- Menentukan kesenjangan antara pelaksanaan dan standar
Manajemen pendidikan merupakan aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam
usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya (Made Pidarta, 1998:4). Sumbersumber
yang
dimaksud
adalah
kepala
sekolah,
gedung
tempat
belajar,
alat-alat
pengajaran,media,materi,metode dan lainnya.
151
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
Bafadal, I. (2008).Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT.Bumi Aksara
Hadari, N. (1989). Administrasi Pendidikan. Jakarta : CV Haji Masagung
Hamalik, O. (2007). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT. Rosdakarya
Kementerian Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. (2010). Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru (PK Guru).
Mulyasa, E. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi). Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Nanang, F. (2001).Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : PT. RosdaKarya
Pidarta, M.(1990). Cara Belajar Mengajar Di Universitas Negara Maju. Jakarta : Bumi Aksara
Ruswandi, U., dkk. (2009). Landasan Pendidikan. Bandung : CV. Insan Mandiri.
Sugiono, B.,dkk. (2010) .Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya : Bintang
Tunggal, A. W. (1993). Manajemen Suatu Pengantar. Jakarta : Rineka Cipta.
152
Landasan Pedagogik
2014
BIODATA
Nama Lengkap
Muhammad Prayito
Alamat Rumah
085724991414
Instansi
Alamat Kantor
Jl Lontar No 1 Semarang
024 8448217
Alamat e-mail
mprayito@gmail.com
prayito@matematikawan.com
Pendidikan S1
Pendidikan S2
Motto
153
2014
Landasan Pedagogik
BIODATA
Nama
: Damianus D. Samo
TTL
No Hp
: 085239272877
Alamat Rumah
Instansi
Alamat
Pendidikan
154
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN VIII
PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG EVALUASI
PENDIDIKAN
Hestu Wilujeng (1402278)
Yani Supriani (1402179)
Landasan Pedagogik
I.
2014
Pendahuluan
Pendidikan secara formal diselenggarakan di sekolah-sekolah melibatkan banyak faktor. Faktor yang
mempengaruhi yaitu guru, siswa, pengajaran guru, kurikulum, lingkungan, bahan ajar dan lainnya. Akhir
dari suatu proses pendidikan adalah evaluasi. Evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat
keberhasilan guru dalam menyampaikan materi, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan
berkaitan dengan materi, metode, bahan ajar, sarana dan prasarana dll. Selain itu evaluasi juga bertujuan
untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam kurun waktu tertentu. Berhasil atau
gagalnya suatu pendidikan dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap
lulusan yang dihasilkannya. Jika hasil suatu pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah diprogramkan, maka
usaha pendidikan dinilai berhasil.
Pentingnya evaluasi, maka kita harus memahami definisi dari evaluasi, menurut Ralph Tyler (1950) evaluasi
merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana
tujuan pendidikan sudah tercapai, jika belum bagaimana yang belum dan apa sebabnya. Menurut Cronbach
dan Stufflebeam, proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan
untuk membuat keputusan. (Arikunto,2003:3).
Pembelajaran di sekolah adalah sebuah interaksi antara peserta didik dalam mempelajari suatu materi
pelajaran yang telah tersusun dalam suatu kurikulum yang telah dibuat oleh pemerintah. Dalam
melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran peserta didik harus menguasai materi yang akan diajarkan supaya
calon peserta didiknya benar-benar paham dan mengerti yang akan diajarkan oleh peseta didik.
Belajar dan pembelajaran dapat membantu ha-hal yang berkaitan dengan problematika belajar dan mengajar
karena penyampaian naskah sebagai pengantar dalam diskusi untuk dapat menelusuri lebih mendalam
mengenai belajar.
Berdasarkan pendahuluan tersebut maka pembahasan perspektif pedagogik tentang evaluasi pendidikan
meliputi Konsep Dasar Pendidikan Nasional Standar Nasional Pendidikan, Landasan Yuridis Formal
Sistem Evaluasi dan Standar Penilaian, Standar Penilaian Berdasarkan Kurikulum 2013, Standar Penilaian
oleh Pendidik, Standar Penilaian oleh Satuan Pendidikan, Teknik Penilaian menurut Kurikulum 2013, Ujian
Nasional: Perkembangan dan Permasalahannya.
II. Pembahasan
A. Konsep Dasar Pendidikan Nasional
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah pengukuran (meaasurement), penilaian
(assessment) dan evaluasi (evaluation), terlebih lagi bagi orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan.
Namun, pada praktiknya sering kali terjadi kerancauan atau tumpang tindih (overlap) dalam menggunakan
ketiga istilah tersebut. Hal tersebut mungkin dapat dipahami mengingat ketiga istilah tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain.
1. Pengertian Pengukuran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengukuran adalah proses, cara, perbuatan
mengukur. Adapun pengertian pengukuran menurut beberapa ahli, yaitu:
a. Menurut Cangelosi (1991), pengukuran adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris
(Djaali dan Muljono, 2008: 3).
b. Menurut Guilford (1982), pengukuran merupakan proses penetapan angka terhadap suatu gejala menurut
aturan tertentu (Sumarno, 2011).
Perspektif Pedagogik Terhadap Evaluasi Pendidikan
155
2014
Landasan Pedagogik
c. Menurut Wiersma dan Jurs (1990), pengukuran adalah penilaian numerik terhadap fakta-fakta dari objek
yang hendak diukur menurut kriteria atau satuan-satuan tertentu (Djaali dan Muljono, 2008: 3).
Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu.
Misalnya, mengukur waktu dengan jam, mengukur suhu dengan termometer, mengukur massa dengan
timbangan,mengukur kecepatan dengan spidometer, mengukur kuat arus listrik dengan ampere meter,
mengukur kemampuan siswa dengan tes, dan lain sebagainya, dimana pengukuran bersifat kuantitatif yaitu
berupa angka atau bilangan. Pengukuran yang bersifat kuantitatif dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Pengukuran yang dapat dilakukan bukan untuk menguji sesuatu. Contohnya; Pengukuran yang
dilakukan oleh tukang kayu dalam pembuatan meja, kursi, dan lain sebagainya.
b. Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu. Contohnya; pengukuran untuk menguji daya tahan
baterai, pengukuran untuk menguji kekuatan aspal terhadap tekanan berat, dan lain sebagainya.
c. Pengukuran yang digunakan untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan menguji sesuatu. Contohnya;
mengukur kemampuan belajar siswa yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes.
2. Pengertian Penilaian
Penilaian berarti menilai sesuatu. Penilaian menurut Griffin dan Nix dalam Sumarno (2011) adalah suatu
pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu. Menilai pada
hakikatnya adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk, sehat atau
sakit, panjang atau pendek, pandai atau bodoh, dan lain sebagainya, dimana keputusan itu diambil
berdasarkan apakah sesuai atau tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
Penilaian itu sendiri bersifat kualitatif. Contohnya; seorang siswa yang mampu menjawab tes hasil belajar
sebanyak 90% atau lebih dari semua soal yang diberikan, dapat dinilai bahwa siswa tersebut tergolong
pandai. Berarti, perlu diadakan pengukuran terlebih dahulu untuk bisa melakukan penilaian.
Penilaian berhubungan dengan setiap bagian dari proses pendidikan, bukan hanya keberhasilan belajar saja,
tetapi mencakup semua proses belajar mengajar. Oleh karena itu, penilaian tidak terbatas pada karakteristik
siswa, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah.
3. Pengertian Evaluasi
Evaluasi mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi memiliki pengertian yang berbeda-menurut para
ahli, yaitu :
a. Menurut Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977), evaluation refer to the act or process to
determining the value of something. Dari definisi tersebut, maka istilah evaluasi ini menunjuk kepada
atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu
(Sudijono, 2011: 1).
b. Menurut Stufflebeam dkk (1971), evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan
menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan (Daryanto, 2008: 2).
c.
Menurut Ralph Tailor (1950), evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan
sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai (Arikunto, 2010: 3).
d. Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1), evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternative yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah
menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan
kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Berdasarkan kesimpulan para ahli maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses yang
dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan suatu program telah tercapai yang
156
Landasan Pedagogik
2014
157
2014
Landasan Pedagogik
Standar Nasional Pendidikan disusun agar dapat dijadikan Kriteria Minimal tentang sistem pendidikan
diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar nasional Pendidikan berfungsi
sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu.
Dalam Pasal 1 ayat (17) undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yungto
Pasal 1 Ayat (1) PP No. 19 Tahun 2005 dinyatakan bahwa lingkup dari Standar Nasional Pendidikan
meliputi 8 standar yaitu:
a. Standar isi : adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang
kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didk paa jenjang dan jenis pendidkan terntentu.
b. Standar proses : adalah standar berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan
untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
c. Standar kompetensi lulusan : adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan : adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik
maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
e. Standar sarana dan prasarana : adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria
minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboraturium,
bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, dan berekreasi, serta sumber belajar lain.
f. Standar pengelolaan : adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabuaten/kota,
provinsi atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
g. Standar pembiayaan : adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan
pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
h. Standar penilaian pendidikan : adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme,
prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik.
C. Landasan Yuridis Formal Sistem Evaluasi dan Standar Penilaian
Ketentuan dan pelaksanaan Standar Penilaian Pendidikan, menurut BSNP harus memiliki landasan yang kuat
baik secara landasan filosofis maupun landasan Yuridis. Sebagaimana yang tertuang dalam naskah akademik
Panduan Penilaian yang dikeluarkan oleh BSNP, uraian tentang dua landasan tersebut dapat diuraikan sebgai
berikut.
a.
Landasan Filosofis
Yang menjadi landasan filosofisnya adalah proses pendidikan untuk mengembangkan potensi siswa menjadi
kemampuan dan keterampilan tertentu, tetapi tidaklah mudah untuk dapat mengakomodasikan kebutuhan
setiap siswa secara tepat dalam proses pendidikan. Namun, setiap siswa harus tetap diperlakukan secara adil,
termasuk di dalamnya proses penilaian. Untuk itu, proses penilaian yang dilakukan harus memiliki asas
keadilan, kesetatraan serta obyektifitas yang tinggi. Sehingga setiap siswa harus diperlakukan sama dan
meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
atau sekelompok siswa dan tidak membedakan latar belakang social, ekonomi, budaya, bahasa, dan gender.
b.
Landasan Yuridis
158
Landasan Pedagogik
2014
3) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Pasal 63, Ayat (1) yang menyatakan bahwa penilaian
pendidikan khususnya penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
terdiri atas: (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan,
dan (3) penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
D. Standar Penilaian Berdasarkan BNSP
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 35 Ayat (3) dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005,
pada Pasal 73 sampai Pasal 77, badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan
tersebut, disebut dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen
yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan.
BSNP berkedudukan di ibu kota wilayah Negara Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri. Dijelaskan lebih jauh bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya BSNP bersifat
mandiri dan profesional.
Keanggotaan BSNP berjumlah gasal, paling sedikit 11 orang dan paling banyak 15 orang, terdiri atas ahliahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan yang memiliki
wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. Keanggotaan BSNP diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa bakti 4 (empat) tahun. Dalam menjalankan fungsinya BSNP
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris yang dipilih oleh dan dari anggota atas dasar suara
terbanyak, sedang untuk membantu kelancaran tugasnya BSNP didukung oleh sebuah secretariat yang secara
ex-officio diketuai oleh pejabat departemen yang ditunjuk oleh menteri, di samping itu BSNP dapat
menunjuk tim ahli yang bersifat ad-hoc sesuai kebutuhan.
Pasal 76, PP No.19 Tahun 2005 dinyatakan bahwa tugas utama BSNP adalah membantu Menteri dalam
mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar nasional pendidikan. Ketentuan tentang tugas dan
wewenang BSNP tertuang pada ayat (3) yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugasnya BSNP
mempunyai wewenang untuk:
a. mengembangkan Standar Nasional Pendidikan
b menyelenggarakan ujian nasional
c. memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan
d. merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Standar Penilaian Pendidikan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan
Untuk mengatur pelaksanaan Standar Penilaian Pendidikan,BSNP menyusun panduan penilaian yang terdiri
atas:
1. Naskah Akademik
2. Panduan Umum
3. Panduan khusus
Menurut BSNP penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi
atau kinerja peserta didik, hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi yaitu pengambilan keputusan
terhadap ketuntasan belajar siswa dan efektivitas proses pembelajaran. Informasi tersebut dapat digunakan
oleh pendidik untuk berbagai keperluan pembelajaran diantaranya adalah: (1) Menilai kompetensi peserta
didik, (2) Bahan penyusunan laporan hasil belajar, dan (3) Landasan memperbaiki proses pembelajaran.
159
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
161
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
mempromosikan siswa ketingkat pendidikan lebih tinggi, yaitu : Sistem kredit atau beban belajar, yaitu
tidak mengenal kelas, dimana siswa menyelesaikan program belajar sesuai dengan kemampuan
individual.
Sistem kenaiakn kelas (grade) yaitu program belajar siswa terstruktur dalam paket kelas, system ini ada
dua tradisi kenaikan kelas dikembangkan yaitu : 1) tradisi kenaikan kelas secara otomatis dan 2) sistem
kenaikan kelas.
c. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Dalam Ayat 1 Pasal 66 PP No. 19 Tahun 2005, dijelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan dalam bentuk Ujian
Nasional. Hal ini sejalan dengan Pasal 68, Ayat 2 dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
dan diwujudkan dalam Pasal 67, Ayat 1 PP No. 19, Tahun 2005.
G. Teknik Penilaian menurut BNSP
Menurut Pedoman umum BSNP, teknik penilaian yang dapat digunakan sesuai dengan kompetensi yang
akan dinilai antara lain:
a. Tes Kinerja
Tes Kinerja dalam hal ini adalah berbagai jenis tes yang dapat berbentuk tes keterampilan tertulis, tes
identifikasi, tes simulasi, uji petik kerja, dan sebagainya. Melalui tes kinerja ini peserta didik
mendemonstrasikan unjuk kerja sebagai perwujudan kompetensi yang telah dikuasainya.
b. Demonstrasi
Teknik demonstrasi dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif sesuai
kompetensi yang dinilai.
c. Observasi
Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu
observasi dengan menggunakan instrument yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan
kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa
menggunakan instrumen.
d. Penugasan
Penugasan adalah bentuk evaluasi yang dapat dilakukan dengan model proyek yang berupa sejumlah
kegiatan yang dirancang, dilakukan dan diselesaikan oleh peserta didik di luar kegiatan kelas dan harus
dilaporkan baik secara tertulis maupun lisan. Penugasan ini dapat pula berbentuk tugas rumah yang
harus diselesaikan peserta didik.
e. Portofolio
Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang
diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa.
f. Tes tertulis
Tes tertulis merupakan teknik penilaian yang paling banyak digunakan oleh pendidik, adalah tes yang
bisa berupa tes dengan jawaban pilihan atau isian, baik pilihan ganda benar salah ataupun menjodohkan,
serta tes yang jawabannya berupa isian ataupun uraian.
g. Tes Lisan
Tes dapat pula berupa tes lisan, yaitu tes yang dilaksanakan melalui komunikasi langsung tatap muka
antara peserta didik dengan satu atau beberapa penguji. Pertanyaan ataupun jawabannya disampaikan
secara langsung atau spontan. Tes jenis ini memerlukan daftar pertanyaan dan pedoman penskoran.
163
2014
Landasan Pedagogik
h. Jurnal
Jurnal pada dasarnya merupakan catatan siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran, sehingga
jurnal berisi deskripsi proses pembelajaran dengan kekuatan dan kelemahan siswa terkait dengan kinerja
ataupun sikap.
i. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan
spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik.
j. Inventori
Inventori adalah skala psikologis yang digunakan untuk mengungkap sikap, minat dan persepsi peserta
didik terhadap obyek psikologis, ataupun fenomena yang terjadi.
k. Penilaian diri
Penilaian diri merupakan teknik penilaian yang digunakan agar peserta didik dapat mengemukakan
kelebihan dan kekurangan diri dalam berbagai hal.
l. Penilaian antar Teman (penilaian sejawat)
Penilaian antar teman ini dilakukan dengan meminta siswa mengemukakan kelebihan dan kekurangan
teman dalam berbagai hal. Penilaian ini dapat pula berupa sosiometri untuk mendapat informasi anakanak yang favorit dan anak-anak yang terisolasi dalam kelompoknya.
H. Standar Penilaian Berdasarkan Kurikulum 2013
Perlu kita ketahui bahwa dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 perlu diperhatikan prinsip-prinsip,
pendekatan-pendekatan, dan karakteristik-karakteristik penilaian yang diamanahkan oleh Kurikulum 2013.
Adapun prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru pada saat melaksanakan penilaian untuk
implementasi Kurikulum 2013 baik pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) maupun pada jenjang
pendidikan menengah (SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK) adalah:
a. Sahih
Penilaian yang dilakukan haruslah sahih, maksudnya penilaian didasarkan pada data yang memang
mencerminkan kemampuan yang ingin diukur.
b. Objektif
Penilaian yang objektif adalah penilaian yang didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas dan tidak
boleh dipengaruhi oleh subjektivitas penilai (guru).
c. Adil
Penilaian yang adil maksudnya adalah suatu penilaian yang tidak menguntungkan atau merugikan siswa
hanya karena mereka (bisa jadi) berkebutuhan khusus serta memiliki perbedaan latar belakang agama,
suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
d. Terpadu
Penilaian dikatakan memenuhi prinsip terpadu apabila guru yang merupakan salah satu komponen tidak
terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
e. Terbuka
Penilaian harus memenuhi prinsip keterbukaan di mana kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan yang digunakan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan.
f.
164
Landasan Pedagogik
2014
g. Sistematis
Penilaian yang dilakukan oleh guru harus terencana dan dilakukan secara bertahap dengan mengikuti
langkah-langkah yang baku.
h. Beracuan kriteria
Penilaian dikatakan beracuan kriteria apabila penilaian yang dilakukan didasarkan pada ukuran
pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
i.
Akuntabel
Penilaian yang akuntabel adalah penilaian yang proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik
dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
j.
Edukatif
Penilaian disebut memenuhi prinsip edukatif apabila penilaian tersebut dilakukan untuk kepentingan dan
kemajuan pendidikan siswa.
Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar menurut kurikulum 2013 ditentukan sebagai berikut:
165
2014
Landasan Pedagogik
c. Berkesinambungan
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar siswa,
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk penilaian proses, dan
berbagai jenis ulangan secara berkelanjutan (ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir
semester, atau ulangan kenaikan kelas).
d. Berdasarkan acuan kriteria
Kemampuan siswa tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap kriteria
yang ditetapkan, misalnya ketuntasan minimal, yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing.
e. Menggunakan teknik penilaian yang bervariasi
Teknik penilaian yang dipilih dapat berupa tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, projek,
pengamatan, dan penilaian diri.
I.
166
Landasan Pedagogik
2014
objektivitas menekankan ketetapan pada sistem scoringnya, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan
dalam hasil tes.
d. Prakitikabilitas
Sebuah tes dikatakan memiliki praktibilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis dan mudah
pengadministrasiannya. tes yang baik adalah yang: mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan
dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
e. Ekonomis
Yang dimaksud ekonomis disini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya
yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
K. Pembuatan Laporan Hasil Penelitian
Untuk dapat memberikan informasi yang baik, sebagai dasar pengambilan keputusan, maka perlu dibuat
laporan hasil evaluasi pembelajaran. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam membuat laporan
hasil evaluasi. Laporan hasil evaluasi harus:
1.Membuat informasi yang lengkap
2.Mudah difahami
3.Mudah dibuat
4.Dapat dipakai
5.Bersifat objektif
Bentuk laporan hasil evaluasi, bisa berupa angka, huruf, gambar atau bahasa. Fungsi laporan, disamping
untuk kepentingan kegiatan pembalajaran di sekolah, juga untuk dipergunakan oleh siswa, guru, kepala
sekolah, orang tua, masyarakat atau pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi.
III. Penutup
Kegiatan pembelajaran yang memuat tindak interaksi, antar pembelajar dan belajar berorientasi pada sasaran
belajar, berakhir dengan evaluasi. Kegiatan evaluasi terdiri dari kegiatan evaluasi hasil belajar dan kegiatan
evaluasi proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi merupakan bagian integal dari
kegiatan pembelajaran atau pendidikan.
Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar maupun evaluasi pembelajaran pada umumnya memiliki fungsi dan
tujuan, sasaran, dan prosedur tertentu yang mana berorientasi pada pengembangan pembelajaran dan
akreditasi. Pada evaluasi belajar, seorang evaluator umumnya menempuh tahap-tahap persiapan, penyusunan
alat ukur, pelaksanaan pengukuran, pengolahan hasil pengukuran, penafsiran hasil pengukuran, pelaporan
hasil pengukuran, dan hasil evaluasi. Sementara itu, pada evaluasi pembelajaran juga mempunyai tahaptahap / prosedur seperti : penyusunan rancangan, penyusunan instrument, pengumpulan data, analisis data,
dan penyusunan laporan evaluasi pembelajaran.
Seorang guru atau tenaga pendidik hendaknya mampu melakukan kegiatan seperti evaluasi pembelajaran
dan evaluasi hasil belajar sehingga proses belajar mengajar disegala jenjang pendidikan baik pendidikan
formal, informal maupun non formal dapat berjalan sesuai apa yang diharpkan sehingga mutu pembelajaran
meningkat.
167
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Budi Wiyono, 2003. Evaluasi Pembelajaran. Malang: Elang Emas.
Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Penilaian dan Pengujian Untuk Guru.
Nana Sudjana, Ibrahim, 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Algesindo.
Zaenal Arifin, 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
http//www.evaluasipendidikan.blogspot.com.
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
http://pandidikan.blogspot.com/2010/12/konsep-dasar-evaluasi-tekhnologi.html
shttp://www.scribd.com/doc/22533957/Belajar-Dan-Pembelajaran
http://sitimasrurohum.blogspot.com/2009/05/desain-robot.html
168
Landasan Pedagogik
2014
CURRICULUM VITAE
A. IDENTITAS DIRI
1.
Nama Lengkap
Yani Supriani
2.
3.
Alamat Rumah
4.
Nomor Telepon/Faks/ HP
081276819868/ 081808925556
5.
Status
Belum Menikah
6.
Pekerjaan
7.
Alamat e-mail
yanisupriani92@yahoo.com
B. RIWAYAT PEDIDIKAN
Formal
1991 1997
SD Negeri II Kramatwatu
1997 2000
2000 2003
2003 2007
2010 2012
C. PENGALAMAN ORGANISASI
2002 - 2003
2004 2007
2005 2006
169
2014
Landasan Pedagogik
BIODATA
Nama Lengkap
Nama Panggilan
Tempat tanggal lahir
Riwayat pendidikan
Status
Pekerjaan
Alamat rumah
HP
Email
170
: Hestu Wilujeng
: Hestu
: Madiun, 7 Mei 1985
: (1990 - 1992)
TK Bhayangkari Madiun
(1992 - 1998)
SDN Madiun Lor IX
(1998 - 2001)
SMPN 1 Madiun
(2001 - 2004)
SMAN 2 Madiun
(2004 - 2008)
S1 Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
(2008 - 2011)
S2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
(2014- sekarang)
S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
: Menikah
: Dosen Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah
Tangerang
: Griya Serpong Asri Blok Bougenville No 9 RT 12 RW 5 Cisauk
Kab Tangerang
: 081335937986
: hestuwilujeng@gmail.com
Landasan Pedagogik
2014
BAGIAN IX
IMPLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN
PENDIDIKAN TERHADAP TEORI DAN PRAKTEK
PENDIDIKAN
Anton Jaelani (1402458)
M. Afrilianto (1402052)
Landasan Pedagogik
2014
A. Pendahuluan
Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab. Kurikulum pendidikan kita hendaknya
memperhatikan: a) peningkatan iman dan takwa; b) peningkatan akhlak mulia; c) peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik; d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; e) tuntutan pembangunan
daerah dan nasional; f) tuntutan dunia kerja; g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h)
agama; i) dinamika perkembangan global; dan j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Praktek
pendidikan hendaknya diselenggarakan dengan mengunakan multi-metode dengan tetap mengutamakan
prinsip cara belajar siswa aktif. Peranan pendidik dan peserta didik tersurat dan tersirat dalam semboyan
ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Adapun orientasi
pendidikannya meliputi fungsi konservasi dan kreasi.
B. Implikasi Penelitian
Pada dasarnya implikasi penelitiandapat didefinisikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi atas temuan
hasil suatu penelitian. Secara bahasa, implikasi memiliki arti sesuatu yang telah tersimpul di dalamnya. Di
dalam konteks penelitian sendiri, implikasi dapat dilihat. Apabila dalam sebuah penelitian kita mempunyai
suatu kesimpulan misalnya "Z", "Manusia itu bernafas" maka "Manusia itu bernafas" yang kita sebut dengan
implikasi penelitian. Sebagai contohnya, dalam hasil penelitian kita menemukan bahwa siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode "Z" lebih kreatif dan memiliki skill yang lebih baik daripada siswa
yang pembelajarannya menggunakan metode bukan Z.
Oleh karena itu, dengan menggunakan metode belajar "Z" diharapkan siswa menjadi lebih kreatif dan juga
memiliki skill yang baik. Setelah itu, perlu juga untuk dihubungkan dengan konteks penelitian yang telah
dibangun. Contohnya, sampelnya kelas berapa, seperti apa karakteristik sekolahnya, ada berapa sampel, dan
beberapa hal penting lainnya. Implikasi dari penelitian seharusnya dilakukan secara spesifik layaknya
karakteristik di atas.
Implikasi memiliki tujuan untuk membandingkan hasil penelitian antara yang telah lalu dengan yang baru
saja dilakukan. Macam-macam implikasi dapat disebutkan dan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Implikasi Teoritis
Pada bagian ini, seorang peneliti menyajikan berbagai gambar secara lengkap mengenai implikasi teoritikal
dari penelitian tersebut. Tujuannya untuk meyakinkan para penguji terhadap kontribusi ilmu pengetahuan
maupun teori yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah penelitian.
2.
Implikasi Manajerial
Pada bagian ini, seorang peneliti menyajikan implikasi mengenai kebijakan-kebijakan yang bisa dikaitkan
dengan berbagai temuan yang didapatkan dari penelitian tersebut. Implikasi manajerial dapat memberikan
suatu kontribusi yang praktis untuk manajemen.
3.
Implikasi Metodologi
Bagian ini cenderung bersifat operasional serta mampu menyajikan refleksi penulis tentang metodologi yang
hendak digunakan di dalam penelitian yang dilakukan. Contoh pada bagian ini dapat disajikan berupa
penjelasan mengenai bagian dari metode penelitian mana yang sudah dilakukan dengan baik, bagian mana
yang cenderung sulit, dan prosedur mana yang sudah dikembangkan untuk memecahkan berbagai masalah
ataupun kesulitan yang sebenarnya belum tergambarkan pada literatur mengenai metode penelitian. Sebuah
penelitian bisa menyajikan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan di dalam sebuah penelitian
lanjutan maupun penelitian yang lainnya guna mempermudah atau meningkatkan.
Implikasi Hasil-Hasil Penelitian Pendidikan Terhadap Teori dan Praktek Pendidikan
171
2014
Landasan Pedagogik
Landasan Pedagogik
2014
menjadi kata kerja. Masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke yang
lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis
saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan
kategori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada.
Revisi ini menyajikan penggolongan atau taksonomi Bloom untuk mengatur tujuan pendidikan menjadi jelas
dan logis, untuk membuat mudah dalam menerapkan tujuan. Versi revisi ini menggunakan bahasa yang sama
dan terdapat enam bab yang realistis dan terinci dalam menganalisis tentang bagaimana kerangka kerja
dalam praktek. Buku revisi ini sangat bermanfaat bagi guru, pembuat kurikulum, konsultan pendidikan,
penulis, penerbit buku, pembuat kebijakan pendidikan.
Jika sebelumnya, Bloom mengklasifikasikan tujuan kognitif dalam enam level, yaitu pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan
evaluasi (evaluation) dalam satu dimensi, maka Anderson dan Krathwohl merevisinya menjadi dua dimensi,
yaitu proses dan isi atau jenis. Pada dimensi proses, terdiri atas mengingat (remember), memahami
(understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate), dan berkreasi (create). Pada
dimensi isinya terdiri atas pengetahuan faktual (factual knowlwdge), pengetahuan konseptual (conceptual
knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan pengetahuan metakognisi (metacognitive
knowledge).
Pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang dasar disiplin tertentu. Dimensi ini mengacu pada fakta-fakta
penting, terminologi, rincian atau unsur-unsur siswa harus tahu atau mengenal untuk memahami suatu
disiplin atau memecahkan masalah di dalamnya. Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan tentang
klasifikasi, prinsip, generalisasi, teori, model, atau struktur yang berkaitan dengan bidang disiplin tertentu.
Pengetahuan prosedural mengacu pada informasi atau pengetahuan yang membantu siswa untuk melakukan
sesuatu yang spesifik untuk suatu disiplin ilmu, subjek, bidang studi. Ini juga mengacu pada metode
penyelidikan, sangat spesifik atau keterampilan yang terbatas, algoritma, teknik, dan metodologi tertentu.
Pengetahuan metakognitif merupakan kesadaran kognisi dan proses-proses kognitif tertentu. Hal ini strategis
atau pengetahuan reflektif tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah, tugas-tugas kognitif, termasuk
pengetahuan kontekstual dan kondisional dan pengetahuan tentang diri.
Hal-hal yang sangat menarik dari kasus revisi taksonomi tersebut adalah Anderson dan Krathwohl ingin
lebih menampakkan atau mempertegas dimensi proses yang menjadi prinsip teori kognitif, yaitu bagaimana
sebuah pengetahuan itu diproses dalam otak manusia. Selain itu, keduanya juga lebih memperinci dan
mengklasifikasikan pengetahuan dalam beberapa tipe, dalam revisi taksonomi ini lebih melihat fungsi otak
dalam satu kesatuan ranah.
Pembagian tersebut dapat mengisolasi aspek-aspek dalam sebuah tujuan yang sama, dalam revisi taksonomi
Bloom ini, ranah kognitif tidak dianggap terpisah dengan ranah afektif atau psikomotor, melainkan terkait
Implikasi Hasil-Hasil Penelitian Pendidikan Terhadap Teori dan Praktek Pendidikan
173
2014
Landasan Pedagogik
antara satu dengan yang lain. Karena itu, yang dikemukan dalam revisi itu hanya ranah kognitif dengan
deskripsi kategori bermuatan kata kerja (proses) afektif dan psikomotor, karena semua aspek tersebut
merupakan satu bagian utuh dari fungsi kerja otak.
Secara umum terdapat sejumlah batasan pada setiap level berpikir yang akan mendasari sistem pengelolaan
pembelajaran matematika.
Creating
Evaluating
Analyzing
Applying
Understanding
Remembering
Dalam berbagai aspek dan setelah melalui revisi, taksonomi Bloom tetap menggambarkan suatu proses
pembelajaran, cara kita memproses suatu informasi sehingga dapat dimanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa prinsip di dalamnya adalah:
1. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu
2. Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
3. Sebelum kita mengevaluasi dampaknya maka kita harus mengukur atau menilai
4. Sebelum kita berkreasi sesuatu maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis dan mengevaluasi, serta memperbaharui
Pentahapan berpikir seperti itu mendapat sanggahan dari sebagian orang, karena tidak semua tahap tersebut
diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak harus melalui semua tahapan tersebut. Hal itu
tergantung pada kreativitas individu. Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Pada
kenyataannya peserta didik seharusnya berpikir secara holistic, tetapi ketika kemampuan itu dipisah-pisah
maka peserta didik dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-komponen yang
sudah terpisah. Pembuatan suatu produk baru atau dalam menyelesaian suatu proyek tertentu, peserta didik
lebih baik diberikan tantangan terpadu yang dapat mendorong peserta didik untuk berpikir secara kritis.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia,misalnya kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), guru harus sudah mulai memperhatikan pemahaman konsep dan keterampilan proses
siswa atau kemampuan siswa berinkuiri. Kurikulum 2006 tentang KTSP merupakan suatu langkah awal
pembelajaran dengan konsep konstruktivisme karena di dalamnya guru bisa menentukan sendiri kurikulum
yang akan dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Guru bisa melihat latar belakang
siswa, pengalaman, dan lingkungan siswa serta sekolah dimana ia mengajar. Guru bebas membuat evaluasi
yang disesuaikan dengan tujuan awal untuk melihat proses konstruksi pengetahuan siswanya.
Pada zaman sekarang ini, output pendidikan bukan hanya dilihat dan diukur dari kemampuan seseorang dari
hasil aktivitas mental yang mencakup pengetahuan saja. Dukungan terhadap output sikap dalam pendidikan
ini terus berlanjut, seperti salah satu isu yang masih populer di Indonesia saat ini yaitu hasil penelitian yang
disampaikan oleh Lickona padatahun 2004 (Lickona, 2013) yang menyarankan keterlibatan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) melalui pendidikan karakter.
KTSP 2006 dan Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang secara eksplisit menyertakan penilaian sikap
dalam standar yang telah ditetapkannya. Standar penilaian dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007
hanya mewajibkan guru dari kelompok mata pelajaran akhlak mulia dan agama dan guru dari kelompok mata
pelajaran kearganegaraan dan kepribadian untuk menilai aspek sikap dari siswa. Dalam Permendikbud
Nomor 66 Tahun 2013 menyebutkan bahwa ruang lingkup penilaian hasil belajar peserta didik mencakup
sikap, pengetahuan, dan ketrampilan secara berimbang. Kurikulum 2013 mewajibkan semua guru untuk
174
Landasan Pedagogik
2014
melakukan penilaian sikap terhadap siswanya dengan cara observasi, penilaian diri, penilaian antar peserta
didik, dan jurnal atau catatan pendidik tentang peserta didik. Pada kurikulum 2013, teori Piaget telah
memberikan konstribusi yang sangat besar, terutama dalam pembelajaran student centered dengan
pendekatan scientific.
Pandangan lain terhadap pendidikan yaitu berkaitan dengan teori kecerdasan yang saat ini sudah berkembang
dari single intelligence menjadi multiple intelligences. Dunia pendidikan sudah tidak lagi memandang
kecerdasan dari satu aspek saja. Gardner pada tahun 1983 (Porter, Reardon, Nourie, 2004) telah
mengenalkan bahwa setiap manusia mempunyai potensi dominasi kecerdasan yang berbeda-beda. Gardner
mengklasifikasikan kecerdasan menjadi 8 macam, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika dan
matematika, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Untuk seseorang yang telah mengetahui multiple intelligences, sedikit ataupun banyak pasti akan
mempengaruhi cara pandangnya terhadap peserta didiknya. Seseorang tidak lagi menganggap bodoh peserta
didik yang kesulitan dalam mempelajari suatu bidang tertentu, misalnya matematika. Muncul pula sekolahsekolah yang mengandalkan prestasi siswa-siswanya dalam bidang olahraga dan seni sehingga secara tidak
sadar terbentuk opini bahwa sekolah-sekolah tertentu mempunyai ciri khas dalam bidang olahraga atau
dalam bidang seni. Walaupun demikian, secara umum, masyarakat yang awam dengan dunia pendidikan
tetap menganggap bahwa peserta didik yang mempunyai prestasi di bidang matematika dan sains lebih
unggul dan utama daripada peserta didik yang mempunyai prestasi di bidang olahraga dan seni. Hal ini
terlihat dari minat masyarakat yang masih memilih sekolah-sekolah favorit untuk anak-anaknya. Status
sekolah favorit ini dianugerahkan oleh masyarakat sejak dahulu yang berarti bahwa predikat sekolah favorit
adalah produk lama sebelum adanya teori multiple intelligences. Status sekolah favorit ini disebabkan adanya
prestasi dominan yang ada di sekolahan tersebut adalah bidang-bidang yang mempunyai banyak waktu untuk
mata pelajarannya, seperti matematika, bahasa, dan mata pelajaran-mata pelajaran wajib lainnya.
Output pendidikan menjadi hal yang semakin menarik ketika Goleman (1995) ikut mengemukakan tentang
hasil penelitiannya tentang kecerdasan emosional. Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan faktor utama yang menentukan kesuksesan seseorang di masa depan dalam hidupnya.
Kecerdasan intelektual hanya menjadi faktor yang mempunyai pengaruh kecil terhadap kesuksesan hidup
seseorang. Tidak lama setelah populernya kecerdasan emosional muncul juga istilah kecerdasan spiritual. Di
Indonesia, kecerdasan spiritual sangat lekat dengan Ary Ginanjar Agustian lewat bukunya Emotional and
Spiritual Quotient (ESQ) (2004) dan sudah mempunyai tim dan training yang sudah pakem walaupun
sebenarnya istilah kecerdasan spiritual juga berawal dari Gardner yang menambahkan delapan macam
multiple intelligences menjadi sembilan macam.
Dengan adanya berbagai macam aspek output hasil pendidikan dan berbagai macam istilahnya, walaupun
terkadang ada tumpang tindih antara istilah yang satu dengan istilah yang lain, para orang tua lebih terbuka
dalam memandang kemampuan anak-anaknya. Para orang tua tidak memaksakan anaknya ke jurusan
tertentu, seperti pada masa sebelum tahun 2000-an, tetapi mereka lebih mengarahkan anak-anak mereka
untuk bersekolah di tempat yang sesuai dengan minat dan bakat anak-anaknya. Contoh implikasi yang
lainnya yaitu adanya kecenderungan dari sebagian para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah-sekolah yang berbasis agama Islam yang kuat. Sekolah-sekolah dengan karakteristik pembelajaran
yang terpadu dengan Islam menjadi sangat diminati oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas.
Bagi mereka, konsekuensi biaya pendidikan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan sekolahsekolah negeri bukan menjadi masalah yang memerlukan waktu lama untuk dipertimbangkan. Harapan para
orang tuanya hanya menjadikan anak-anaknya menjadi shalih atau shalihah.
175
2014
Landasan Pedagogik
176
Landasan Pedagogik
2014
177
2014
Landasan Pedagogik
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A. G. (2004). Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.
Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. (2010). Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Anderson, L. W., dan David R. Krathwohl, D. R., et al (Eds.). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching,
and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. Boston: Allyn & Bacon,
MA (Pearson Education Group).
Anwar, M.I. (TanpaTahun). Kepemimpinan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Angkasa.
Daradjat, Z. (1982). Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indoensia Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
Lickona, T. (2013). Pendidikan Karakter. Yogyakarta: KreasiWacana.
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Results in Mathematics.
Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center.
OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus. Paris: OECD.
Porter, B. D., Reardon, M., Nourie, S. S. (2004).Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Sudjana, N. (1991). Teori-Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
178
Landasan Pedagogik
2014
CURRICULUM VITAE
BIODATA
Nama
Gelar
Tempat, Tanggal Lahir
Alamat Rumah
:
:
:
:
Nomor Telepon / HP
Pekerjaan
Pangkat / Golongan
Jabatan Fungsional
Jabatan Struktural
Instansi
Alamat Kantor
:
:
:
:
:
:
:
Telepon Kantor
Faximile Kantor
:
:
PENDIDIKAN
Pra Sekolah
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah
Strata 1
Strata 2
Anton Jaelani
S.Pd., M.Pd.
Purbalingga, 9 Februari 1982
Jalan Puring Nomor 11A, RT 1 / 4, Kelurahan Penambongan,
Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah,
53313
0281-894831, 081327377263
Dosen Pendidikan Matematika
Penata Muda Tingkat I / IIIB
Asisten Ahli
Sekretaris LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam)
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Gedung E7 Kampus 1 Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
Jalan Raya Dukuhwaluh Purwokerto 53182
(0281) 636751 / 630463 Ext. 456
(0281) 637239
PENGALAMAN PEKERJAAN
1. Guru Fisika, Matematika, dan Kimia di SMK YPLP Purbalingga
Tahun 2005 2007
2. Guru Matematika di SMK Muhammadiyah Bobotsari, Purbalingga
Tahun 2007 2008
3. Guru Matematika di SMK YPT 2 Purbalingga
Tahun 2008 2009
4. Dosen di Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Tahun 2009 Sekarang
179
2014
Landasan Pedagogik
1.
NamaLengkap
2.
3.
Jenis Kelamin
4.
Alamat Rumah
5.
Alamat Kantor
6.
NomorTelepon/HP
085299000455
7.
muhammadafrilianto@gmail.com
8.
Riwayat Pendidikan
9.
Riwayat Pekerjaan
180