PENDAHULUAN
-1-
BAB II
KOLESISTITIS AKUT
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini
masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan
kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang
lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri
hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris
interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar
yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut
sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung
empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang
kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki
duodenum melalui ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris
secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi
elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri
dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7%
kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi,
protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya..
Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas 50
ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi
peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi
-2-
sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air
sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
menyebabkan
-5-
kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan
peritoneum
seperti
peningkatan
nyeri
dengan
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen
biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo
W. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.5. Diagnosis Banding
Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien pasien yang
dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus
dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
-7-
Pemeriksaan
enzim
amilase
dan
lipase
diperlukan
untuk
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding
kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu
empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).
-9-
Retrogard
Cholangiopancreatography
(ERCP)
dapat
digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009).
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda tanda kongesti
pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang
disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
-11-
2.7. Tatalaksana
2.7.1. Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al,
2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat
mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit penyakit lain
yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher,
K.J, et al, 2009).
-12-
-13-
beberapa
kontraindikasi
dari
laparoskopi
kolesistektomi
diantaranya adalah:
-15-
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu
HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri
kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al,
2009).
2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula
dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris bisu/tenang yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani
kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada
pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
-16-
diketahui
(misalnya
esofagitis
refluks,
ulkus
peptikum,
sindrom
gejala
persisten.
Apa
yang
disebut
sebagai
sindroma
tunggal
duktus
sistikus).
Namun,
penelitian
yang
cermat
-19-
BAB III
SIMPULAN
Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang
ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni
kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis
akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan
diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada
wanita, usia > 40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat
hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasien pasien
yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut
akalkulus, sama halnya pada pasien dengan riwayat DM & demam tyfoid.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda
Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba
pula massa di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering
menunjukkan leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase,
serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan
pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai
95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan
kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan antiemetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering
dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan
pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa
perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.
-20-
DAFTAR PUSTAKA
-21-
12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Dasar Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006.
13. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.
14. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt
1):334-43.
15. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
16. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral
nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. Jan
2008;170(1):25-31.
17. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
18. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
19. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9.
20. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.
2009;3:131-147.
-22-