Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
1,2,3,4.
Eksaserbasi dan
Memberi efek pada fungsi paru yang membutuhkan waktu beberapa minggu
untuk perbaikan
paling sering adalah infeksi saluran nafas (virus atau bakteri). Studi bronkoskopik
menunjukkan bahwa sedikitnya 50% pasien memiliki bakteri pada saluran nafas
bagian bawah selama eksaserbasi dari PPOK, tetapi proporsi signifikan dari
pasien tersebut juga memiliki bakteri yang berkolonisasi pada saluran nafas
bagian bawah pada fase PPOK stabil. Terlihat bahwa terjadinya peningkatan kerja
bakteri selama terjadinya eksaserbasi PPOK, dan bertambahnya strain bakteri
yang baru. Polusi udara juga dapat mencetuskan eksaserbasi PPOK. Eksaserbasi
dari gejala respiratori (terutama dispnu) pada pasien PPOK dapat terjadi dengan
mekanisme berbeda yang dapat terjadi secara bersamaan pada pasien yang sama.
Kondisi yang mirip dan/atau memperburuk eksaserbasi, yaitu pneumonia, emboli
paru, penyakit jantung kongestif, aritmia jantung, pneumotoraks, efusi pleura dan
kondisi tersebut harus dianggap sebagai diagnosa banding dan diterapi apabila
ditemukan. 1
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi yang sebelumnya stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang biasa digunakan. Eksaserbasi ini biasanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat golongan
sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi ini tidak diketahui. Pasien yang
mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak
nafas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK
eksaserbasi akut menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi
yaitu berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan
purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan nafas yang dngakal dan cepat.
Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan deyut nadi
serta gangguan status mental pasien. 5
PATOFISIOLOGI
Merokok dan berbagai partikel berbahaya seperti inhalasi dari biomass
fuels menyebabkan inflamasi pada paru, respons normal ini kelihatannya berubah
pada pasien yang berkembang menjadi PPOK. Respons inflamasi kronik dapat
mencetuskan destruksi jaringan parenkim (menyebabkan emfisema), mengganggu
perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis jalan nafas
kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping dan terbatasnya aliran
udara progresif, mengakibatkan sesak nafas dan gejala khas PPOK lainnya. 1
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK muncul sebagai modifikasi dari
respons inflamasi saluran nafas terhadap iritan kronik seperti merokok.
Mekanisme untuk menjelaskan inflamasi ini tidak sepenuhnya dimengerti tetapi
mungkin terdapat keterlibatan genetik. Pasien bisa mendapatkan PPOK tanpa
adanya riwayat merokok, dasar dari respons inflamasi pasien ini tidak diketahui.
Stres oksidatif dan penumpukan proteinase pada paru selanjutnya akan mengubah
inflamasi paru. Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan karakteristik
perubahan patologis pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah memberhentikan
merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, walaupun autoantigen dan
mikroorganisme persisten juga berperan. 1
Perubahan yang khas pada PPOK dijumpai pada saluran nafas, parenkim
paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan patologi tersebut meliputi: inflamasi
kronik, dengan peningkatan sejumlah sel inflamasi spesifik yang merupakan
akibat dari trauma dan perbaikan berulang. Secara umum, inflamasi dan
perubahan struktur pada jalan nafas meningkat dengan semakin parahnya penyakit
dan menetap walaupun merokok sudah dihentikan. 1
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis PPOK harus disangkakan pada pasien dengan gejala
dispnu, batuk kronik atau produksi sputum, dan/atau adanya riwayat pemaparan
terhadap faktor risiko PPOK. Spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis,
bila didapatkan post-bronchodilator FEV 1 /FVC < 0.7, menegaskan adanya
terbatasnya aliran udara persisten dan dianggap sebagai PPOK. FEV 1 dan FVC
Pulse oximetry dan analisa gas darah. Penilaian status asam basa diperlukan
sebelum memulai ventilasi mekanik.
Darah lengkap, untuk melihat polisitemia (hematokrit > 55%), anemia atau
leukositosis.
memulai
terapi
antibiotik
empiris.
Haemophilus
influenza,
KLASIFIKASI
Berdasarkan health-care utilization, eksaserbasi dapat diklasifikasikan: (i)
ringan, apabila pasien membutuhkan penambahan jumlah obat, apabila seseorang
masih dapat melakukan pekerjaan untuk diri sendiri secara normal; (ii) sedang,
apabila membutuhkan penambahan jumlah obat, dan merasa membutuhkan
bantuan asisten medis; (iii) berat, apabila kondisi pasien memburuk dengan cepat
dan membutuhkan perawatan rumah sakit. 9
Penilaian tingkat keparahan PPOK eksaserbasi akut
Anthonisen
dkk
mendefinisikan
PPOK
eksaserbasi
akut
dengan
PENATALAKSANAAN
Tujuan
dari
penatalaksanaan
PPOK
eksaserbasi
adalah
untuk
jalan
dengan
terapi
farmakologis
yang
meliputi
bronkodilator,
Studi prospektif oleh Groenewegen dkk (2003) meneliti hasil akhir dari
pasien PPOK eksaserbasi akut yang datang ke rumah sakit selama dirawat di
rumah sakit dan setelah follow up 1 tahun. Hasil studi ini menunjukkan tingginya
tingkat kematian setelah eksaserbasi akut, terutama pada pasien yang lebih tua
dengan gagal nafas kronik. Hal ini penting diketahui untuk memindahkan pasien
ke perawatan suportif yang lebih baik apabila diperlukan. Penelitan ini
menyimpulakan bahwa prognosis pasien yang datang ke rumah sakit dan
memerlukan perawatan rumah sakit adalah jelek. Penggunaan kortikosteroid oral
jangka panjang, PaCO2 yang tinggi, dan usia lebih tua dianggap sebagai faktor
risiko yang berhubungan dengan tingginya kematian pada PPOK eksaserbasi
akut.19
Penelitian oleh Archibald dkk (2012), mencoba menentukan prediktor
kematian rawat inap pada pasien dengan dengan PPOK eksaserbasi akut, dan
menghasilkan sistem skor prediksi untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko
tinggi kematian rawat inap RS. CAUDA 70 dapat digunakan untuk memprediksi
kematian rawat inap RS pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Skor ini
menggabungkan 6 variabel klinis: asidosis, albumin, ureum, perubahan status
mental (confusion), skor MRCD dan umur. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa CAUDA 70 akurat dalam memprediksi kematian rawat inap pada PPOK
eksaserbasi akut .
kematia rawat inap pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Sebagai contoh,
confusion (yang juga merupakan marker penting untuk hasil akhir buruk pada
CAP), dapat meningkat pada PPOK eksaserbasi akut dengan hiperkapnia, dan
dapat bekerja sebagai indikator respons tubuh terhadap proses patofisiologi yang
mendasarinya. Ureum juga terlihat sebagai prediktor penting terhadap hasil akhir
buruk pada penyakit respiratori. Ureum juga dapat memperlihatkan gagal ginjal
akut sebagai akibat berkurangnya volume yang terjadi pada hiperventilasi atau
buruknya intake cairan oral sebelum dirawat di rumah sakit. Hal ini menandakan
bahwa marker patofisiologi dari penaykit, merupakan prediktor yang kuat untuk
kematian rawat inap RS pada pasien PPOK eksaserbasi akut.
dapat
terhadap risiko untuk terjadinya efek yang merugikan. BAP-65 merupakan alat
tambahan yang dapat digunakan pada penilaian awal PPOK eksaserbasi akut. 8
predictive
value
Dikutip dari: Validation of Novel Risk Score for Severity of Illness in Acute
Exacerbations of COPD 8
Skor BAP-65 dibuat berdasarkan dari informasi yang didapatkan pada
awal pasien masuk ke rumah sakit. Skor BAP-65 ini diabagi menjadi 5 kelas: 8
1) Kelas I
2) Kelas II
Jika BAP-65 kelas I disebut risiko rendah, kelas II-III disebut risiko sedang, kelas
IV disebut risiko tinggi.