Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan PDF
Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan PDF
wali penutup. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah
wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah wali
penutup memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada
setiap zaman, tetapi hanya para wali yang mengetahui keberadaan seorang wali.
Yang penting dari naskah itu dapat dicatat dua hal, pertama keturunan Nabi dan kedua
keturunan raja. Di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
disebutkan bahwa sebagai keturunan nabi dirinya merupakan keturunan ke-26 dihitung
dari Fatimah. Dengan begitu kedudukannya sebagai ulama menjadi kuat, karena ia adalah
keturunan nabi dari garis Husein, putera Fatimah. Hal itu didukung pula oleh keterangan
bahwa Syekh Abdul Muhyi juga adalah murid Syekh Abdul Rauf Singkel, salah seorang
ulama Aceh terkemuka pada abad XVII yang dimakamkan di Kuala Aceh dan terkenal
sebagai guru tarekat Satariyah. Lebih dari itu, dilihat dari genealoginya, Syekh Abdul
Rauf Singkel juga keturunan Nabi yang ke-13 dari garis Hasan, putera Fatimah. Pada
cabang inilah terdapat Abdul Qadir Jaelani al-Bagdadi yang terkenal sebagai penggagas
tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Derajat kewalian Syekh Abdul Muhyi semakin kuat,
karena antara Nabi dan dirinya terdapat urutan tokoh yang menjadi salah satu dari Wali
Songo, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Sebagai keturunan raja, Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak banyak
menyebutkan garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut
Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe
Warta kusumah adalah keturunan ke-6 dari Ratu Galuh. Perkawinan Lebe Warta dengan
Sembah Ajeng Tanganziah melahirkan dua orang anak: pertama adalah Syekh Abdul
Muhyi dan kedua adalah Nyai Kodrat (menjadi isteri Khotib Muwahid). Dari Khotib
Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung
dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini
merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Syiar Islam dan Tradisi Ziarah Kubur
Berbeda dengan riwayat keturunannya, aktivitas keagamaan Syekh Abdul Muhyi tidak
banyak informasi diperoleh. Dalam kedudukannya sebagai penyebar Islam, kisahnya sulit
dilacak. Hal ini barangkali disebabkan karena pada umumnya para ulama, apalagi jika ia
telah mencapai derajat wali, hal-hal yang bersifat popularitas sangat dihindari, sehingga
kehidupan keagamaannya selalu berkembang dari legenda ke legenda dan dari mitos ke
mitos.
Demikian pula dengan Syekh Abdul Muhyi. Kebanyakan informasi diperoleh dari
legenda-legenda atau tradisi lisan masyarakat Pamijahan atau para murid dan penganut
disiplin Satariyah. Dalam tradisi setempat, Abdul Muhyi datang ke Pamijahan melalui
Darma Kuningan. Pengetahuan agamanya diperoleh setelah berguru kepada Sunan Giri.
Kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel di Aceh, yang
memungkinkannya sampai di Bagdad dan berhasil mewarisi ajaran Abdul Qadir Jaelani.
Sekembalinya ke tanah air, ia diperintahkan gurunya di Aceh untuk menemukan sebuah
gua yang serupa dengan gua tempat tarekatnya Abdul Qadir Jaelani. Setelah bertahuntahun menelusuri daerah pedalalaman Jawa Barat bagian tenggara, akhirnya ia sampai di
Pamijahan. Gua yang ditemukannya di desa itu diberi nama Munajat, dan mendirikan
kampung dinamai Saparwadi. Tetapi di kemudian hari kampung itu lebih dikenal dengan
nama Pamijahan; istilah yang diberikan untuk menandai kedatangan banyaknya peziarah
seperti ikan yang bertelur di gua Saparwadi.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa syiar Islam dilakukan dengan melalui jalan tasawuf.
Mula-mula memperkenalkan tarekat Qadiriyah; sebuah aliran yang banyak dikenal di
Tanah Sunda sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya manuskrip tarekat ini. Namun
kemudian ajaran tersebut semakin mengkristal menjadi Tarekat Mutabarah Syatariyah.
Ajaran ini ditandai oleh berbagai varian cara pendekatan diri kepada Sang Pencipta yang
rupanya amat sesuai dengan tradisi lama masyarakat Sunda.
Sayangnya ini tidak menemukan bukti pesantren tertua di Pamijahan, namun jika
penyebaran Islam dilakukan melalui jalan tasawuf, artinya telah terjalin hubungan
kekerabatan spiritual antara sang guru dan muridnya. Melalui murid-murid tarekat itulah
kemudian ajaran Islam berkembang. Cara seperti ini sudah tentu memberikan
kemungkinan meluasnya jaringan Islam dalam metode yang homogen. Dan dari setiap
murid itulah akan tercipta kutub-kutub pengajaran Islam lainnya, yang meskipun tetap
terfokus pada pusat suci Pamijahan, pusat-pusat penyebaran lainnya dikesankan sebagai
satelit-satelit yang mengelilingi sistem tata surya dari pusat cahayanya. Dan pusat cahaya
yang pertama itu sendiri sesungguhnya menjadi satelit dari kutub suci utamanya di
Mekah.
Praktek keagamaan dari tarekat ini tercermin pada perilaku ziarah di Pamijahan, seperti
halnya juga dilakukan di kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Menurut
Viviane Sukanda-Tessier pada tahun 1991, pada prinsipnya, dalam ritual tersebut para
peziarah meyakini bahwa ziarah (tawaf) di kompleks makam Sunan Gunung Jati dan
Syekh Datuk Kahfi, Cirebon sama nilainya dengan pergi haji ke tanah suci Mekkah.
Demikian pula, ziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dan dilanjutkan dengan
penerebosan gua Saparwadi, dianggap ekivalen dengan pergi haji ke Mekkah. Anggapan
ini direpresentasikan oleh tingkat keistimewaannya dalam penetrasi gua Saparwadi.
Kecuali mengandung sifat-sifat keajaiban alam juga mengandung nilai mistis.
Keistimewaan itu pertama-tama terletak pada kesukaran ketika memasuki dan
mencari jalan keluarnya. Setelah berada di dalam gua, orang dapat menemukan
tempat keramat / pertapaan yang konon merupakan warisan Syekh Abdul Muhyi
seperti jalan ghaib menunju berbagai jurusan: Mekah, Madinah, Cirebon, Banten,
dan Surabaya (Gresik).
Dalam prakteknya, ziarah pada umumnya dipandu oleh kuncen (juru kunci). Para
peziarah membaca al-Quran, surat al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, istighfar, shalawat,
mengingat jasa guru dan zikir, yang seterusnya memanjatkan doa. Termasuk ke dalam
disiplin ini, di daerah inti Pamijahan terdapat beberapa perilaku yang wajib ditaati
pengunjung, seperti dilarang merokok, naik sepeda atau motor.
Keberadaan institusi pakuncenan pada kenyataanya bukan sekedar juru kunci yang
melayani prosesi ziarah, tetapi sekaligus penjaga tradisi baku yang berlaku di Pamijahan.
Antisipasi masyarakat Pamijahan pun telah mendukung meningkatnya kegiatan ziarah
tahunan. Popularitas Pamijahan semakin hari semakin luas tidak hanya di Jawa Barat,
tetapi juga seluruh Jawa. Seperti juga makam para wali lainnya di pesisir utara Jawa,
Pamijahan selalu menarik puluhan ribu pengunjung pada setiap kalender hari raya Islam
tahunan.
Hikmah besar ini sekarang dirasakan amat positif bagi dinamika kehidupan masyarakat
Pamijahan. Harus diakui, keramat Pamijahan sekarang menjadi salah satu sektor
pendapatan masyarakat yang penting, dan sudah tentu mendukung peningkatan ekonomi
daerah, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya.
Pemikiran Tasawuf Martabat Alam Tujuh
Dalam tradisi Tasawuf yang kelak nantinya diikuti oleh pengikutnya, maka Syekh Abdul
Muhyi dengan Tarekat yang ditempuhnya ialah tarekat Mutabarah Syatariyah ini akan
memberi suatu pemikiran tentang ajaran Martabat Alam Tujuh, yang disebut Martabat
Alam Tujuh ini adalah sesuatu yang mengajak manusia untuk mengenal dan
mendekatkan diri kepada Tuhan (Taqarub Ila Allah). Diantaranya adalah; Ahadiyah,
Wahdah, Wahidiyah (tertuju kepada sang khaliq), Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam
Ajsam (tertuju terhadap Alam), dan Alam Insan (tertuju kepada manusia).
Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibnu Arabi dan al-Jilli di atas, Muhammad bin
Fadhlallah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang dikenal dengan
Martabat alam Tujuh. Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal melalui tujuh
martabat (tingkatan).
Martabat pertama, adalah martabat al-lataayyun yang disebut ahadiyyat, yaitu esensi
Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tak nampak dan tak terkenal siapa
pun.
Martabat kedua, adalah martabat al-taayyun al-awwal (penampakan yang pertama)
yang disebut wahdat. Penampakan esensi Tuhan pada tingkat ini berupa Hakikat
Muhammad (al-haqiqat al-Muhammadiyyat) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa pembedaan yang
satu dari yang lain.
Martabat ketiga, adalah al-taayyun al-tsani (penampakan kedua) yang disebut
wahidiyyat dalam rupa Hakikat Insan (al-haqiqat al-insaniyyat), yakni ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta ini secara terinci dan pembedaan yang
satu dari yang lain, atas jalan perceraian.
Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri semuanya bersifat qadim dan azali,
karena martabat yang tiga ini ketika itu tiada ada yang mawjud, melainkan Dzat Allah
SWT dan sifat-sifat-Nya, sedangkan sekalian makhluk ketika itu adalah mawjud di dalam
ilmu Allah, belum lahir dalam wujud kharij (luar).
Selanjutnya, martabat keempat, dinamakan alam arwah dan disebut juga Nur
Muhammad SAW, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus semata. Ruh Tunggal
bulan Syaban (menjelang ibadah ramadhan) dan bulan Muharram (tahun baru Hijriyah),
peziarah bisa mencapai 20-30 ribu orang dalam rentang dua sampai tiga hari berturutturut. Besarnya jumlah pengunjung sudah tentu membawa dampak luas bagi kehidupan
ekonomi setempat, tetapi bisa juga memberi dampak negatif: menurunnya daya dukung
alam, ketersediaan air bersih misalnya dan ketergantungan umum pada ekonomi ziarah.
Wassalam,
Sumber;
Drs. H. AA. Khaerussalam, Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah
Pamijahan, cet XI, (Pamijahan, 2005)
Wawancara langsung dengan K.H. A. Beben M.D. {Pengurus Harian Kekeramatan
Pamijahan}
Prof. Dr. Moh. Ardani, Warisan Intelektual Islam; abd-muhyi (martabat alam tujuh),
artikel diluncurkan pada seminar pengaruh Islam terhadap budaya jawa, 31 November
2000