Anda di halaman 1dari 7

Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

Posted by jalod99 | Filed under Tokoh


{1650 1730M /1071 1151H}
Tasawuf Martabat Alam Tujuh
Abstrak
Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang
telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah
dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan
orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang
yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu,
. hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri .
{Wasiat Syekh Abdul Muhyi kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut
menjemputnya}
Genealogi Syekh Abdul Muhyi
Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi Melayu lainnya, aspek kesejarahan Syekh Abdul
Muhyi sampai sekarang masih belum tuntas diungkapkan, baik riwayat hidup maupun
perannya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh
kesulitan memperoleh sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan tokoh tersebut.
Kalaupun ada, sebagian besar masih berada di tangan penduduk atau tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa misalnya di Leiden, Belanda.
Bersumber dari naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tersebut dapat
diketahui bahwa Syekh Abdul Muhyi dari pihak ibu adalah keturunan Nabi sedangkan
dari pihak bapak adalah keturunan raja-raja Jawa khususnya dari kerajaan Galuh (Jawa
Barat). Penarikan garis keturunan ke atas ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan
legitimasi ketokohannya sebagai ulama. Tetapi kepentingan teks tersebut bukan terletak
pada kebenaran sumber sejarah, tetapi harus dilihat sebagai trend sejarah para wali yang
senantiasa menarik garis keturunan pada Rasulullah. Karena kecenderungan ini, para
sosiolog kerap memandangnya sebagai keturunan spiritual; sebab sang wali berperan
sebagai penerus risalah nabi.
Inti genealogi Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah terletak pada dua tokoh:
selain Syekh Abdul Muhyi sendiri yang diberi gelar Safaril Wadin Pamijahan, dan juga
Kanjeng Dalem Tumenggung Wiradadaha, Bupati Sukapara (nama lama Kabupaten
Tasikmalaya) yang hidup sezaman. Perbedaannya, yang pertama memainkan peran
sebagai ulama sedangkan yang kedua lebih berperan sebagai penguasa (umara).
Untuk memperkuat perannya sebagai ulama, di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah disebutkan ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf
Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila
Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai wali awal, maka Abdul Muhyi dianggap sebagai

wali penutup. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah
wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah wali
penutup memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada
setiap zaman, tetapi hanya para wali yang mengetahui keberadaan seorang wali.
Yang penting dari naskah itu dapat dicatat dua hal, pertama keturunan Nabi dan kedua
keturunan raja. Di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
disebutkan bahwa sebagai keturunan nabi dirinya merupakan keturunan ke-26 dihitung
dari Fatimah. Dengan begitu kedudukannya sebagai ulama menjadi kuat, karena ia adalah
keturunan nabi dari garis Husein, putera Fatimah. Hal itu didukung pula oleh keterangan
bahwa Syekh Abdul Muhyi juga adalah murid Syekh Abdul Rauf Singkel, salah seorang
ulama Aceh terkemuka pada abad XVII yang dimakamkan di Kuala Aceh dan terkenal
sebagai guru tarekat Satariyah. Lebih dari itu, dilihat dari genealoginya, Syekh Abdul
Rauf Singkel juga keturunan Nabi yang ke-13 dari garis Hasan, putera Fatimah. Pada
cabang inilah terdapat Abdul Qadir Jaelani al-Bagdadi yang terkenal sebagai penggagas
tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Derajat kewalian Syekh Abdul Muhyi semakin kuat,
karena antara Nabi dan dirinya terdapat urutan tokoh yang menjadi salah satu dari Wali
Songo, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Sebagai keturunan raja, Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak banyak
menyebutkan garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut
Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe
Warta kusumah adalah keturunan ke-6 dari Ratu Galuh. Perkawinan Lebe Warta dengan
Sembah Ajeng Tanganziah melahirkan dua orang anak: pertama adalah Syekh Abdul
Muhyi dan kedua adalah Nyai Kodrat (menjadi isteri Khotib Muwahid). Dari Khotib
Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung
dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini
merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Syiar Islam dan Tradisi Ziarah Kubur
Berbeda dengan riwayat keturunannya, aktivitas keagamaan Syekh Abdul Muhyi tidak
banyak informasi diperoleh. Dalam kedudukannya sebagai penyebar Islam, kisahnya sulit
dilacak. Hal ini barangkali disebabkan karena pada umumnya para ulama, apalagi jika ia
telah mencapai derajat wali, hal-hal yang bersifat popularitas sangat dihindari, sehingga
kehidupan keagamaannya selalu berkembang dari legenda ke legenda dan dari mitos ke
mitos.
Demikian pula dengan Syekh Abdul Muhyi. Kebanyakan informasi diperoleh dari
legenda-legenda atau tradisi lisan masyarakat Pamijahan atau para murid dan penganut
disiplin Satariyah. Dalam tradisi setempat, Abdul Muhyi datang ke Pamijahan melalui
Darma Kuningan. Pengetahuan agamanya diperoleh setelah berguru kepada Sunan Giri.
Kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel di Aceh, yang
memungkinkannya sampai di Bagdad dan berhasil mewarisi ajaran Abdul Qadir Jaelani.
Sekembalinya ke tanah air, ia diperintahkan gurunya di Aceh untuk menemukan sebuah
gua yang serupa dengan gua tempat tarekatnya Abdul Qadir Jaelani. Setelah bertahuntahun menelusuri daerah pedalalaman Jawa Barat bagian tenggara, akhirnya ia sampai di

Pamijahan. Gua yang ditemukannya di desa itu diberi nama Munajat, dan mendirikan
kampung dinamai Saparwadi. Tetapi di kemudian hari kampung itu lebih dikenal dengan
nama Pamijahan; istilah yang diberikan untuk menandai kedatangan banyaknya peziarah
seperti ikan yang bertelur di gua Saparwadi.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa syiar Islam dilakukan dengan melalui jalan tasawuf.
Mula-mula memperkenalkan tarekat Qadiriyah; sebuah aliran yang banyak dikenal di
Tanah Sunda sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya manuskrip tarekat ini. Namun
kemudian ajaran tersebut semakin mengkristal menjadi Tarekat Mutabarah Syatariyah.
Ajaran ini ditandai oleh berbagai varian cara pendekatan diri kepada Sang Pencipta yang
rupanya amat sesuai dengan tradisi lama masyarakat Sunda.
Sayangnya ini tidak menemukan bukti pesantren tertua di Pamijahan, namun jika
penyebaran Islam dilakukan melalui jalan tasawuf, artinya telah terjalin hubungan
kekerabatan spiritual antara sang guru dan muridnya. Melalui murid-murid tarekat itulah
kemudian ajaran Islam berkembang. Cara seperti ini sudah tentu memberikan
kemungkinan meluasnya jaringan Islam dalam metode yang homogen. Dan dari setiap
murid itulah akan tercipta kutub-kutub pengajaran Islam lainnya, yang meskipun tetap
terfokus pada pusat suci Pamijahan, pusat-pusat penyebaran lainnya dikesankan sebagai
satelit-satelit yang mengelilingi sistem tata surya dari pusat cahayanya. Dan pusat cahaya
yang pertama itu sendiri sesungguhnya menjadi satelit dari kutub suci utamanya di
Mekah.
Praktek keagamaan dari tarekat ini tercermin pada perilaku ziarah di Pamijahan, seperti
halnya juga dilakukan di kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Menurut
Viviane Sukanda-Tessier pada tahun 1991, pada prinsipnya, dalam ritual tersebut para
peziarah meyakini bahwa ziarah (tawaf) di kompleks makam Sunan Gunung Jati dan
Syekh Datuk Kahfi, Cirebon sama nilainya dengan pergi haji ke tanah suci Mekkah.
Demikian pula, ziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dan dilanjutkan dengan
penerebosan gua Saparwadi, dianggap ekivalen dengan pergi haji ke Mekkah. Anggapan
ini direpresentasikan oleh tingkat keistimewaannya dalam penetrasi gua Saparwadi.
Kecuali mengandung sifat-sifat keajaiban alam juga mengandung nilai mistis.
Keistimewaan itu pertama-tama terletak pada kesukaran ketika memasuki dan
mencari jalan keluarnya. Setelah berada di dalam gua, orang dapat menemukan
tempat keramat / pertapaan yang konon merupakan warisan Syekh Abdul Muhyi
seperti jalan ghaib menunju berbagai jurusan: Mekah, Madinah, Cirebon, Banten,
dan Surabaya (Gresik).
Dalam prakteknya, ziarah pada umumnya dipandu oleh kuncen (juru kunci). Para
peziarah membaca al-Quran, surat al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, istighfar, shalawat,
mengingat jasa guru dan zikir, yang seterusnya memanjatkan doa. Termasuk ke dalam
disiplin ini, di daerah inti Pamijahan terdapat beberapa perilaku yang wajib ditaati
pengunjung, seperti dilarang merokok, naik sepeda atau motor.

Keberadaan institusi pakuncenan pada kenyataanya bukan sekedar juru kunci yang
melayani prosesi ziarah, tetapi sekaligus penjaga tradisi baku yang berlaku di Pamijahan.
Antisipasi masyarakat Pamijahan pun telah mendukung meningkatnya kegiatan ziarah
tahunan. Popularitas Pamijahan semakin hari semakin luas tidak hanya di Jawa Barat,
tetapi juga seluruh Jawa. Seperti juga makam para wali lainnya di pesisir utara Jawa,
Pamijahan selalu menarik puluhan ribu pengunjung pada setiap kalender hari raya Islam
tahunan.
Hikmah besar ini sekarang dirasakan amat positif bagi dinamika kehidupan masyarakat
Pamijahan. Harus diakui, keramat Pamijahan sekarang menjadi salah satu sektor
pendapatan masyarakat yang penting, dan sudah tentu mendukung peningkatan ekonomi
daerah, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya.
Pemikiran Tasawuf Martabat Alam Tujuh
Dalam tradisi Tasawuf yang kelak nantinya diikuti oleh pengikutnya, maka Syekh Abdul
Muhyi dengan Tarekat yang ditempuhnya ialah tarekat Mutabarah Syatariyah ini akan
memberi suatu pemikiran tentang ajaran Martabat Alam Tujuh, yang disebut Martabat
Alam Tujuh ini adalah sesuatu yang mengajak manusia untuk mengenal dan
mendekatkan diri kepada Tuhan (Taqarub Ila Allah). Diantaranya adalah; Ahadiyah,
Wahdah, Wahidiyah (tertuju kepada sang khaliq), Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam
Ajsam (tertuju terhadap Alam), dan Alam Insan (tertuju kepada manusia).
Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibnu Arabi dan al-Jilli di atas, Muhammad bin
Fadhlallah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang dikenal dengan
Martabat alam Tujuh. Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal melalui tujuh
martabat (tingkatan).
Martabat pertama, adalah martabat al-lataayyun yang disebut ahadiyyat, yaitu esensi
Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tak nampak dan tak terkenal siapa
pun.
Martabat kedua, adalah martabat al-taayyun al-awwal (penampakan yang pertama)
yang disebut wahdat. Penampakan esensi Tuhan pada tingkat ini berupa Hakikat
Muhammad (al-haqiqat al-Muhammadiyyat) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa pembedaan yang
satu dari yang lain.
Martabat ketiga, adalah al-taayyun al-tsani (penampakan kedua) yang disebut
wahidiyyat dalam rupa Hakikat Insan (al-haqiqat al-insaniyyat), yakni ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta ini secara terinci dan pembedaan yang
satu dari yang lain, atas jalan perceraian.
Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri semuanya bersifat qadim dan azali,
karena martabat yang tiga ini ketika itu tiada ada yang mawjud, melainkan Dzat Allah
SWT dan sifat-sifat-Nya, sedangkan sekalian makhluk ketika itu adalah mawjud di dalam
ilmu Allah, belum lahir dalam wujud kharij (luar).
Selanjutnya, martabat keempat, dinamakan alam arwah dan disebut juga Nur
Muhammad SAW, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus semata. Ruh Tunggal

yang merupakan asal ruh semua makhluk.


Martabat kelima, disebut alam mitsal, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus,
yakni diferensiasi dari Nur Muhammad tersebut dalam rupa ruh perorangan, yang dapat
ditamsilkan laut selaku alam ruh melahirkan dirinya dalam bentuk ombak sebagai
alam mitsal.
Martabat keenam, disebut sebagai alam ajzam, yaitu alam benda-benda yang kasar,
yang tersusun serta berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya.
Martabat ketujuh, adalah martabat insan atau alam paripurna, yang padanya terhimpun
segenap martabat yang sebelumnya, sehingga martabat ini disebut tajalli (penampakan)
yang kemudian sekali.
Itulah tujuh martabat wujud Allah menurut al-Burhanpuri, yang dipelajarinya oleh
Syekh Abdul Muhyi sekaligus murid dari Abdul Rauf Singkle. dan yang pertama dari
tujuh martabat itu adalah sumber martabat bagi penampakan Allah, yang enam martabat
lainnya adalah martabat-martabat penampakan Allah yang kulli (global).
Adapun martabat yang terakhir, yakni martabat insan dinamakan insan kamil, jika naik
meningkat segenap martabat yang lain tampak serta terpancar di dalamnya. Puncak insan
kamil yang paling sempurna terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW, penutup segala
nabi-nabi. Demikianlah konsep martabat tujuh menurut pencetus yakni Muhammad bi
Fadhallah al-Burhanpuri.
Kesemua ini merupakan hasil dari kitab al-Tufat di Jawa, yang di ikuti oleh Syekh Abdul
Muhyi dan mengajarkan martabat alam tujuh. Kalau ini di teliti lebih lanjut sangat
panjang uraiannya karena harus mengikuti alur sejarah yang harus di jalani dan ini
tidaklah cukup satu hari mempelajari tasawuf martabat alam tujuh.
Pengamalan Tarekat
Setelah gua ditemukan maka Syekh Abdul Muhyi bermukimlah beliau di dalam gua
beserta keluarganya dan para pengikutnya, di sana beliau mendidik santri-santrinya
dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi
muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama disamping itu beliau selalu suluk
(istilah kewalian) menempuh keridhaan Allah dengan jalan Tarekat. Tarekat yang
ditempuhnya ialah tarekat Mutabarah Syatariyah, ada pendapat lain bahwa beliau
mendapat pangkat kewaliannya itu dengan mengamalkan Tarekat Nabawiyah.
Pendapat yang masyhur ajaran beliau hingga mencapai suluk kewaliannya dengan
Tarekat Mutabarah Syatariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya hingga
Rasulullah SAW.
Setelah sekian lama beliau mendidik santrinya di dalam gua, beliau mempersilahkan
mereka untuk membantu menyebarkan agama Islam, dan mulai itulah beliau turut ke
alam terbuka bersama santrinya yang telah dapat dipercaya. Berangkatlah beliau menuju
tempat sebelah timur dengan menyelusuri hutan-hutan yang lebat turun gunug naik
gunung, pasir-pasir dilaluinya dan jurang pun diseberanginya, bila telah berjalan, panas

terik menyengatnya maka berteduhlah di bawah pohon-pohon yang besar sambil


berlindung dari keganasan binatang-binatang buas.
Kesimpulan
Pengumpulan data lapangan di Pamijahan, dengan segala keterbatasan data yang
diperoleh, setidaknya telah mengisi kekosongan pengetahuan berkenaan dengan
pengkultusan orang-orang suci Islam seperti misalnya Syekh Abdul Muhyi. Dengan
penelitian ini sedikit kesulitan untuk memahami mentalitas dan religiusitas Islam di
pedalaman Jawa Barat dapat diminimalkan. Dengan begitu, dalam mencermati gejalagejala yang kerap dikategorikan sebagai penyimpangan teologis, atau bahkan juga
sejenis pengisolasian diri dari realitas-realitas kehidupan yang penuh dengan tantangan,
dapat segera memunculkan isu akademik untuk mengkajinya secara lebih objektif.
Dengan terungkapnya semua fenomena kekeramatan Pamijahan yang telah nyata menjadi
sumber magnet ziarah keagamaan, ongkos yang bisa dikembalikan diharapkan berupa
pengayaan kualitas ziarah yang telah memberi nuansa signifikan bagi pariwisata budaya
spesifik dalam ranah keagamaan Islam. Konsep yang nanti bisa dikembangkan bagi
segmen kegiatan itu sudah tentu mengarah pada pengisian entitas-entitas budaya
Indonesia sebagai, memang semestinya, payung bagi pengembangan pariwisata daerah.
Keberadaan makam dan tempatnya melakukan tarekat di Gua Saparwadi, di tepi sungai
Pamijahan, telah menjadi bukti kongkrit dari akhir perjalanan hidupnya yang diabdikan
untuk menyebarkan ajaran agama dan menjaga moral masyarakat yang pada waktu itu
sedang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda setelah kekalahan Kesultanan
Mataram.
Beberapa pakar telah mencoba mengungkapkan pentingnya situs Pamijahan ini sebagai
salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Dari segi arkeologis, sudah tentu daerah
aliran sungai Cipamijahan dan cabang-cabangnya harus tetap diwaspadai sebagai lokasi
hunian purba, yang mungkin sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Namun hasil
penelitian ini baru memperoleh data-data awal tentang okupasi situs sejak awal abad
XVII Masehi, setelah masyarakat setempat memeluk Islam.
Sesungguhnya bentang alam Pamijahan tidak ada yang istimewa, karena di hampir semua
tempat di pegunungan selatan banyak ditemukan gua-gua alam, baik berupa ceruk
dangkal ataupun rongga besar yang mengandung air atau mungkin bekas aliran sungai
bawah tanah. Tetapi justeru karena kedatangan Syekh Abdul Muhyi dan kegiatan
dawahnya di tempat itu, menyebabkan Pamijahan menjadi penting. Unsur-unsur alam
yang semula hanya sebagai sumber air yang digunakan bagi keperluan irigasi
persawahan, dan bukit-bukit terjal yang rimbun justeru semakin menjadi pendukung
berfungsinya tempat itu sebagai salah satu pusat kekeramatan.
Dua elemen penting dengan demikian menjadi faktor menentukan bagi
keberlangsungan kegiatan wisata ziarah: alam itu sendiri dan keberadaan sang
wali. Beberapa informasi lisan telah memberikan data pengunjung yang luar biasa
besarnya; terutama pada hari besar Islam seperti bulan Rabbiul Awwal (kelahiran Nabi),

bulan Syaban (menjelang ibadah ramadhan) dan bulan Muharram (tahun baru Hijriyah),
peziarah bisa mencapai 20-30 ribu orang dalam rentang dua sampai tiga hari berturutturut. Besarnya jumlah pengunjung sudah tentu membawa dampak luas bagi kehidupan
ekonomi setempat, tetapi bisa juga memberi dampak negatif: menurunnya daya dukung
alam, ketersediaan air bersih misalnya dan ketergantungan umum pada ekonomi ziarah.
Wassalam,
Sumber;
Drs. H. AA. Khaerussalam, Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah
Pamijahan, cet XI, (Pamijahan, 2005)
Wawancara langsung dengan K.H. A. Beben M.D. {Pengurus Harian Kekeramatan
Pamijahan}
Prof. Dr. Moh. Ardani, Warisan Intelektual Islam; abd-muhyi (martabat alam tujuh),
artikel diluncurkan pada seminar pengaruh Islam terhadap budaya jawa, 31 November
2000

Anda mungkin juga menyukai