Anda di halaman 1dari 38

1

MAKALAH AKUNTANSI SYARIAH


SUMBER HUKUM ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Syariah
Dosen pengampu : Susana Himawati, S.E., M.si

Nama Anggota Kelompok 3:


1)
2)
3)
4)
5)
6)

Desi Ari Astuti


Mega Silvia
Anggita Kurnia Dewi
Sifa Fauziah
Nurin Nandhi Fatin
Ceria Ail Dayana
Kelas VI C

2012-12-160
2012-12-161
2012-12-162
2012-12-163
2012-12-164
2012-12-165

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS MURIA KUDUS

KAMPUS GONDANGMANIS PO.BOX 53 BAE KUDUS TELP.


(0291)438229
2015

MAKALAH AKUNTANSI SYARIAH


SUMBER HUKUM ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Syariah
Dosen pengampu : Susana Himawati, S.E., M.si

Nama Anggota Kelompok 3:


1)
2)
3)
4)
5)
6)

Desi Ari Astuti


Mega Silvia
Anggita Kurnia Dewi
Sifa Fauziah
Nurin Nandhi Fatin
Ceria Ail Dayana
Kelas VI C

2012-12-160
2012-12-161
2012-12-162
2012-12-163
2012-12-164
2012-12-165

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MURIA KUDUS


KAMPUS GONDANGMANIS PO.BOX 53 BAE KUDUS TELP.
(0291)438229
2015
Kata Pengantar

Dengan mengucapkan syukur kehadiran Allah SWT. Kami telah berhasil


menyusun makalah mata kuliah Akuntansi Syariah , dengan judul pada BAB III
Sumber Hukum Islam. Kemampuan mahasiswa dalam menguasai materi sangat
menentukan kecepatan dan kelancarannya dalam menyelesaikan kompetensikompetensi yang harus diselesaikan. Kecermatan dan kemandirian mahasiswa
sangat penting sedangkan Dosen hanya berperan sebagai fasilitator atau
narasumber dalam pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dalam
sempurna. Komitmen untuk selalu belajar dan memperbaiki kekurangan menjadi
motivasi kami untuk bekarya, oleh karena itu saran dan masukan dari manapun
kami terima dengan tangan terbuka, terutama dari rekan-rekan, Dosen pengampu
mata kuliah Akuntansi Syariah.

Kudus, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul...........................................................................................i
Kata Pengantar..........................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................1
1.1 Manfaat Penulisan................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sumber Hukum Islam..........................................................5
2.2 Al-Quran..............................................................................6
2.3 As-Sunnah............................................................................7
2.4 Ijmak....................................................................................8
2.5 Qiyas....................................................................................
BAB III Penutup
3.5 Simpulan..............................................................................11
3.2 Saran.....................................................................................12
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera
lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan
manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-Quran dan
Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat
yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata
(Sudarsono, 1992:1). Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat
wahyu Allah dan Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ain, yakni kewajiban
pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam
terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan
kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Allah telah menetapkan
sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama
hukum islam adalah Al-Quran dan hadis. Dan disamping itu pula para
ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam,
setelah Al-Quran dan hadist.
Dalam dunia perekonomian harus perlu berpedoman kepada
sumber hukum agama dalam menjalankan segala aktivitas kegiatan
ekonomi guna tercipta perekonomian yang kondusif dan baik. Oleh karena
itu, penulis ingin memaparkan makalah yang berjudul Sumber Hukum
Islam
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian sumber hukum Islam?
2. Apa yang di maksud dengan Al-Quran?
3. Apa fungsi dan mujizat Al-Quran?
4. Bagaimana AL-Quran sebagai sumber hukum Islam?
5. Apa pengertian As-Sunnah?
6. Apa fungsi AS-Sunnah?
7. Apa yang dimaksud dengan Qiyas?
8. Apa yang dimaksud dengan Ijmak?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari penilisan makalah ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui mengetahui apa sumber hukum dalam Islam
2. Untuk mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum Islam,
seperti Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak, dan Qiyas
1.1 MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat menambah wawasan tentang sumber hukum dalam Islam
2. Dapat menambah pengetahuan tentang sumber-sumber hukum Islam,
seperti Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak, dan Qiyas
BAB III
PEMBAHASAN
1.1 Sumber Hukum Islam
Sumber hukum islam merupakan dasar atau referensi untuk menilai
apakah perbuatan manusia sesuai dengan syariah (ketentuan yang
digariskan oleh Allah SWT) atau tidak. Sumber hukum islam ada 4
(empat), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak, Qiyas. Sebagaimana yang
tertuang dalam QS An-Nisaa:59 .



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman untuk menaati Allah
SWT, Rasul, dan pimpinan (Ulil Amri). Taat kepada Allah dilakukan
dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah SWT
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran. Taat kepada Rasul dilakukan
dengan cara mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasul secara AsSunnah. Taat kepada pimpinan (Ulil Amri) selama perintah pemimpin
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Selanjutnya, apabila manusia berselisih mengenai sesuatu,
penetapan hukum harus kembali kepada ketentuan Al-Quran dan AsSunnah. Ketetapan hkum ini dapat berupa Ijmak yaitu kesepakatan ulama
atau Qiyas yaitu dengan menganalogikan peristiwa yang ketetapan
hukumnya sudah ada.
Urutan prioritas pengambilan sumber hukum harus kembali pada
ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah, Ijmak, dan Qiyas ialah apabila
terdapat suatu kejadian memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama
hendaklah dicari terlebih dahulu didalam Al-Quran. Kalau ketetapan
hukumnya sudah ada di dalam Al-Quran, ditetapkan hukumnya sesuai
dengan ketentuan dalam Al-Quran tersebut.
Apabila rujukan untuk ketetapan hukum itu tidak ditemukan dalam
Al-Quran, barulah beralih meneliti As-Sunnah. Bila rujukan ditemukan di
dalam As-Sunnah, maka hukum ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam
As-Sunnah itu.
Bila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baru
dibolehkan merujuk kepada putusan dari para mujtahid yang menjadi
Ijmak (kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang
sedang dicari hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada
Ijmak tersebut. Sekiranya tidak ditemukan rujukan Ijmak dalam masalah
tersebut, maka ditempuh Qiyas, yaitu usaha sungguh-sungguh dengan
jalan membuat analogi kepada peristiwa sejenis yang telah ada ketentuan
hukum (nash)-nya, sesuai dengan Hadis Rasululluah SAW.
Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan
kepadamu? Kuhukumi dengan kitab Allah, jawabnya, Jika kamu

tidak mendaptkannya di dalam kitab Allah, lantas bagaimana? sambung


Rasulullah, Dengan sennah Rasulullah ujarnya. Jika tidak kamu
temukan dalam sunnah Rasulullah, lalu bagaimana? tanya Rasul lebih
lanjut. Aku akan menggunakan ijthad pikiranku dan aku tidak akan
meninggalkannya,jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW lalu menepuk
dadanya seraya memuji, katanya: Alhamdulillah, Allah telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi)
1.2 Al-Quran
Al-Quran ialah kalam Allah (kalaamullah-QS An-Najm (53):4) dalam
bahasa Arab, sebagai sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui utusan Allah malaikat Jibril a.s untuk digunakan
sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menggapai kebahagiaan hidup di
dunia atau di akhirat.


4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS An-Najm (53):4)

Kalam adalah sarana (wasilah) untuk menerangkan sesuatu berupa ilmu


pengetahuan, nasihat, atau berbagai kehendak, lalu memberitahukan perkara
itu kepada orang lain.
Allah SWT menurunkan Al-Quran secara langsung kepada Nabi
Muhammad SAW melalui utusannya Malaikat Jibril a.s, secara berangsurangsur selama 23 tahun. Setiap ayat yang diturunkan, kemudian dihafalkan
oleh Nabi dan para sahabat, sehingga sempurna menjadi sebuah Al-Quran.
Sebagian ayat Al-Quran turun di kota Mekkah sebelum peristiwa Hijrah,
dan sebagian lainnya turun di kota Madinah setelah peristiwa Hijrah. Ayat
yang diturunkan pertama kali adalah QS 96:1-5 sedangkan ayat yang terakhir
adalah QS 5:3


.....
...... pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai
agama bagimu....
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (ayat-ayat Makkiyah), sebagian
besar menerangkan tentang Akidah Islamiyah yaitu Al-Wahdaniyah (KeEsaan Tuhan), keimanan terhadap para malaikat, para nabi dan hari akhir. Di
dalam ayat-ayat Makkiyah ini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang
musyrik, pemaparan ibarat menerangkan akibat orang-orang berbuat syirik
dan durhaka di beberapa negeri, dan mengajak kepada kebebasan berpikir dan
melepaskan dari apa yang dianut oleh orang tua dan nenek moyang mereka.
Ayat-ayat itu diturunkan sebelum peristiwa Hijrah dimana orang-orang Islam
masih dalam keadaan lemah, sehingga belum layak dibebani hukum-hukum
Islam.
Ayat-ayat yang turun di Madinah, mengandung hukum-hukum fikih,
aturan pemerintahan, aturan keluarga, serta aturan tentang hubungan antara
orang muslim dan non-muslim yang menyangkut perjanjian dan perdamaian.
Saat itu, Daulah Islamiyah telah terbentuk lengka dengan aparat
pemerintahannya, sehingga masyarakat siap dan mampu untuk memfungsikan
hukum-hukum tersebut.
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita ketahui bahwa Al-Quran tidak
turun secara sekaligus melainkan secara berangsur-angsur, ada dua alasan
mengapa Al-Quran diturunkan secara berngsur-angsur selama 23 tahun (22
tahun 2 bulan 22 hari). Ada dua alasan mengapa Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur.

10

1. Untuk menguatkan hati, berupa kesenangan rohani (spiritual) agar Nabi


selalu tetap merasa senang dapat berkomunikasi dengan Allah, dan
menghujamkan Al-Quran serta hukum-hukumnya di dalam jiwa Nabi dan
jiwa

manusia

umumnya,

sekaligus

menjelaskan

jalan

untuk

memahaminya. Disebut menguatkan hukum, karena ada ayat-ayat AlQuran diturunkan tepat pada waktu yang diperlukannya. Ketika terjadi
kasus/permasalahan, pada saat itu pula ayat Al-Quran turun menerangkan
hukumnya, sehingga kehadiran hukum di sini tepat pada saat-saat
dibutuhkan.
2. Untuk mentartilkan(membaca dengan benar dan pelan) Al-Quran,
kondisi umat saat Al-Quran diturunkan adalah ummy, yaitu tidak dapat
membaca dan menulis, sementara Allah SWt menghendaki Al-Quran dapat
dihafal dan diresapi agar secara berkesinambungan (mutawattir) tetap
terpelihara keasliannya (lestari) sampai hari kiamat. Turunnya Al-Quran
secara berangsur-angsur merupakan salah satu cara untuk itu, sehingga
memudahkan Nabi dan para sahabatnya untuk menghafalnya. (QS AlQiyaamah (75):19)

19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah


penjelasannya.

Nabi Muhammad menerima Al-Quran dari malaikat Jibril,


membacanya dengan tartil secara menghafalnya, untuk kemudian
menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan dituliskan. Para
sahabat pun menyampaikan bacaan secara tartil tadi untuk dihafal dan
ditulis kepada orang-orang terdekat serta kepada generassi berikutnya.
Demikian seterusnya, sehingga berkesinambungan (mutawattir) dari
generasi ke generasi, sampai pada sekarang ini dan akan berlanjut
kemudian sampai akhir zaman. Al-Quran sungguh telah terpelihara dalam

11

hafalan dan tulisan dari generasi ke generasi. Ini merupakan bukti nyata
dari firman Allah yang tertuang dalam QS Al-Hijr (15):9.


Sesungguhnya

Kami-lah

yang

menurunkan

Al

Quran,

dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.


Allah-lah yang menjaga kemurnian Al-Quran sehingga terbebas
dari penyimpangan yang dibuat oleh manusia.
A. Mukjizat Al-Quran
Al-Quran sebagai mukjizat yang hebat, tetap dan kekal sepanjang
masa, telah diakui oleh para cendikiawan pada masa lalu, dan yang akan
datang.
1. Keindahan seni bahasa Al-Quran (balaghah) tidak hanya diakui oleh
kalangan sastrawan Arab saja, tetapi diakui pula oleh para ahli yang
pernah mendalami dan mengkaji ilmu bayan dalam bahasa Arab.
Setelah membandingkan antara bahasa Al-Quran dengan syair dan
karya sastra lainnya, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bahasa
sangat tinggi

dan berbeda dengan jenis syair serta karya sastra

manusia pada umumnya.


Allah menentang manusia dan jin untuk membuat sesuatu yang
serupa dengan Al-Quran. Al-Quran kemudian menjawab sendiri bahwa
sekalipun semua manusia dan jin berkumpul dan berkolaborasi,
mereka tidak akan pernah mampu untuk membuat yang serupa dengan
Al-Quran (QS Al-Israa (17):88).

12


Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
2. Kebenaran pemberitaan Al-Quran tentang keadaan yang terjadi pada
abad-abad yang silam. Kisah-kisah kaum Ad dan Tsamud, kaum Luth
dan kaum Nuh, kaum Nabi Ibrahim, tentang Musa beserta kaumnya,
kasus Firaun, tentang Maryam dan kelahirannya, kelahiran Yahya,
kelahiran Isa Al-Masih, dan sebagainya, yang semuanya benar dengan
kebenaran rasioanal.(QS Al-Ibrahim (14):9)

13

9. Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu


(yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka.
tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. telah datang Rasulrasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka
menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata:
"Sesungguhnya

Kami

mengingkari

apa

yang

kamu

disuruh

menyampaikannya (kepada kami), dan Sesungguhnya Kami benarbenar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang
kamu ajak Kami kepadaNya".
3. Pemberitaan Al-Quran tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa
yang akan datang juga merupakan kebenaran yang tidak terbantahka.
Misalnya, pemberitaan Al-Quran mengenai kekalahan bangsa Persia
setelah lebih dulu bangsa Romawi kalah (QS Ar-Ruum (30);1-5).

14

1. Alif laam Miim[1160]


2. telah dikalahkan bangsa Rumawi[1161],
3. di negeri yang terdekat[1162] dan mereka sesudah dikalahkan itu
akan menang[1163]
4. dalam beberapa tahun lagi[1164]. bagi Allah-lah urusan sebelum
dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,
5. karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa

yang

dikehendakiNya. dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.


4. Kandungan Al-Quran banyak memuat informasi tentang ilmu
Pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seseorang ummiy
yang tidak pandai membaca dan menulis, dan tidak ada suatu
perguruan atau lembaga pendidikan yang mengajarkannya saat AlQuran diturunkan. Misalnya, Al-Quran menjelaskan realitas ilmiah
tentang kejadian langit dan bumi, seperti dinyatakan bahwa langit dan
bumi itu dulunya berasl dari satu gumpalan, kemudian terjadi ledakan
yang membuatnya terpecah-pecah menjadi planet (QS Al-Anbiyaa
(21):30).

15

30. dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya


langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?
B. Fungsi Al-Quran
Fungsi Al-Quran (Zahroh, 1999).
a. Al-Quran sebagai pedoman hidup (QS. Al Jaatsiyah (45):20). Bukti
nyata bahwa kita telah menjadikan Al-Quran sebagai pedoman
hidup telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat, yaitu dengan
membaca dan menghafalnya, memahami dan menadaburkan, serta
merealisasikan nilai-nilainya dalam amal nyata.
b. Membaca Al-Quran dilakukan setiap hari dalam bentuk bacaan
Shalat dan wirid Al-Quran.
c. Memahami dan menadabari Al-Quran adalah penghayatan yang
diserta dengan merenungi makna yang terkandung di balik setiap
ayat Al-Quran sehingga menghasilkan motivasi yang kuat untuk uk
mengamalkannya. Tadabur Al-Quran mampu memberi kekuatan
kepada orang yang lemah, mengingatkan kepada orang yang lupa,
memberi semngat kepada orang yang malas, serta memberi
inspirasi bagi orang yang ingin maju.
d. Merealisasikan nilai-nilai Al-Quran dalam amal nyata merupakan
puncak pengalaman Al-Quran yang memiliki nilai tertinggi di mata
Allah SWT.
Al-Quran adalah kitab lengkap sebagai pedoman hidup manusia
sebagai individu dan sebagai kelompok masyarakat. Pedoman hidup
tersebut mencakup informasi tentang Allah SWT, alam dan manusia,
ketentuan syariah yang berkaitan dengan kehidupan, serta renungan dan
pelajaran atas kisah atau peristiwa sejarah.
1. Al-Quran sebagai rahmat bagi alam semesta (QS. Yunus(10):57, dan
QS 17:82, karena Al-Quran akan melahirkan iman dan hikmah kepada
manusia yang mengimaninya, sehingga manusia akan cenderung

16

kepada kebaikan dalam berinteraksi dengan Tuhan, sesama manusia,


da alam sehingga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-NYA
bagi semesta alam.
2. Al-Quran sebagai cahaya petunjuk (QS. Asy-Syuura (42):52, dan QS
Al-Baqarah(2):2-185). Allah SWT telah menjadikan Al-Quran sebgai
cahaya (nur), dan dengan nur itu, Allah SWT memebrikan petunjuk
(huda) kepada siapa-siapa yang dikehendaki-NYA
3. Al-Quran sebagai peringatan (QS. Al-Kahfi(18):2). Al-Quran
senantiasa memberikan peringatan kepada manusia karena sifat
manusia yang pelupa dalam berbagai hal, baik dalam hubungan dengan
Allah SWT (hablum minallah), hubungan dengan sesama manusia
(hablum minannaas), maupun lupa terhadap tuntutan-tuntutan yang
seharusnya dia lakukan terhadap dirinya sendiri.
4. Al-Quran sebagai penerang dan pembeda (QS. A-Baqarah(l2):185, QS.
Ali-Imran(3):138, dan QS. Yaasiin(36):69). Al_quran memebrikan
keterangan dan penjelasan kepada manusia tentang banyak hal.
Misalnya menjadi pembeda (Al-Furqon) anatara yanga baik dan yang
buruk, yang hak dan yang batil, yang asli (murni) dan yang palsu, serta
yang selamat dan yang menyesatkan. Al-Quran juga menceritakan
kisah-kisah umat terdahulu yang diazab oleh Allah SWT karena
mengingkari perintah Allah SWT.
5. Al-Quran sebagai pelajaran (QS. Yunus(10):57 dan QS. AlHaaqqah(69) :52). Al-Quran diturunkan agara dapat digunakan sebagai
pelajaran bagi manusia, karena manusia senantiasa memerlukannya
agar tetap berada dalam jalur yang benar terkait dengan tujuan
penciptaannya. Tanpa bahan pelajaran ini, manusia dapat menjadi lalai
kerna bisa terbuai mengikuti jalan Allah SWT.
6. Al-Quran sebagai sumber ilmu (QS. Al 'Alaq(96):1-5). Al-quran
berfungsi sebagai sumber ilmu, karena terdapat banyak ayat di
dalamnya yang mengajak manusia untuk memikirkan tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT mulai dari penciptaan manusia dan alam serta
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang dapat dijangkau oleh

17

pemikiran manusia seperti astronomi, geografi, kedokteran, ilmu sosial


politik, dan sebagainya.
7. Al-Quran sebagai hukum (QS. Ar-Ra'd(13):37). Al-Quran menjelaskan
hukum-hukum sayriah untuk kemaslahatan (kebaikan) hidup manusia,
berupa hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah SW,T,
hukum menepati janji dan sumpah, dosa-dosa besar, qishash, hukum
terhadap orang kafir, hukum pembunuhan, hukum pengampunan,
hukum menyembunyikan persaksian, hukum menunaikan nazar, dan
sebagainya.
8. Al-Quran sebagai obat penyakit jiwa (QS. Yunus(10);57). Al-Quran
dapat berfungsi sebagai obat (asy-syifa) untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit yang ada dalam hati manusia, seperti syirik,
sombong, congkak, ragu, malas, dan sebagainya.
9. Al-Quran sebagai pemberi kabar gembira (QS. An-Nahl(16):102). AlQuran banyak menceritakan kabar gembira kepada orag yang beriman
kepada dan menjalani kehidupan sesuai ketentuan Allah SWT, yaitu
berupa kebahagiaan hidup di dunia dan balasan berupa surga yang
penuh kenikmatan tiada tara dan bandingannya di akhirat yang kekal
dan abadi.
10. Al-Quran sebagain pedoman melakukan pencatatan (QS. Al-Baqarah
(2):282-283). Al-Quran memerintahkan manusia untuk mencatat
transaksi bukan tunai, dan menghadirkan saksi-saksi yang jujur pada
transaksi seperti itu.
C. Al-Quran sebagai Sumber Hukum
Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum yang utama, karena AlQuran berasal dari Allah SWT yang Maha Mengetahui apa yang terbaik
bagi manusia dalam menata kehidupannya sehingga selamat di dunia dan
akhirat. Al-Quran memuat seluruh aspek hukum terkait dengan akidah,
syariah (baik mahdhah maupun muamalah), dan akhlak serta terjaga
keaslian dan keotentikannya. Oleh karena itu, wujud pengalaman dari
keimanan kepada Allah, Rasul dan kitab-NYA dilakukan dengan menerima
dan melaksanakan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran secara utuh,

18

bukan dengan sebagian dan mengingkari sebagian yang lain (QS AlBaqarah (2):208).


208. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Mencari dan mengembangkan harta benda dan kekayaan
diperbolehkan dalam islam, sepanjang hal itu dilaksanakan dalam koridor
yang benar dan halal yaitu melalui pekerjaan dan atau perniagaan halal
yang saling rela.
Al-Quran menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur pada
akad transaksi (QS Al-Baqarah (2);208), dan jika akad tersebut
ditangguhkan

pembayarannya,

maka

hendaklah

ditulis,

untuk

menghindarkan perselisihan di kemudian hari.

19

20

21


282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
dan

janganlah

penulis

enggan

menuliskannya

sebagaimana

Allah

mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang


berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah

22

kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala


sesuatu.
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Al-Quran juga mengatur mengenai hukum keluarga antara lain berupa
penjelasan tentang pernikahan, mahram, perceraian (thalaq), macam-macam
iddah dan tempatnya, pembagian harta waris (faraidh), dan sebagainya.
Pengaturan mengenai hukum pidana juga diatur dalam Al-Quran. Hukum
pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah dalam bentuk qishash
yang didasarkan pada persamaan antara kejahatn dan hukuman. Di antara
jenis hukuman qishash ialah qishash pembunuh, qishash anggota badan, dan
qishash dari luka. Dalam menetapkan hukum pidana, Al-Quran senantiasa
memperhatikan empat hal, yaitu (Zahroh, 1999)
1.
2.
3.
4.

Melindungi jiwa, akal, harta benda, da keturunan


Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai,
Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya
Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatannya, yakni bila pelaku
kejahatan tersebut orang yang terhormat, maka hukumannya menjadi
berat, dan jika pelaku kejahatan tersebut orang rendahan, maka
hukumannya menjadi ringan.

23

Bahkan pengaturan dalam melakukan muamalah dengan nonmuslim juga


diatur dalam Al-Quran. Al-Quran membagi orang kafir menjadi tiga bagian
(Zahroh, 1999), yaitu:
1. Kafir dzimmy dan muahad, yaitu kafir yang telah mengikat perjanjian,
sehingga Allah SWT memerintahkan untuk bergaul dengan mereka
seperti sesama muslim.
2. Kafir mustaman, yaitu kafir yang dianggap tidak aman / tidak
membahayakan, sehingga darah dan hartabenda mereka haram (tidak
boleh diganggu) sepanjang mereka masih tetapa memegang teguh
perjanjian.
3. Kafir harby (musuh), di mana Allah SWT tetap memberikan hak-hak
yang harus di hormati atas harkat dan martabat kemanusiaan, hak
persudaraan kemanusiaan (ukhuwah islamiyah), hak keadilan, hak
perlakuan sepadan dengan memperhatikan keutamaan /kemaslahatan.
Dari tuntunan tersebut diketahui bahwa Islam mmeperlakukan nonmuslim
sangatlah adil. Sekaligus juga membuktikan bahwa AL-Quran memang suatu
bentuk pedoman yang sangat lengkap dan bersifat universal.

1.3 As-Sunnah
As-Sunnah ialah ucapan (qauliyah), perbuatan (filiyah), serta ketetapanketetapan (taqririyah) Nabi Muhammad SAW yang merupakan sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Quran.
Dalam banyak hal, Al-Quran baru menjelaskan prinsip-prinsip umum yang
bersifat global dan universal. Oleh karena itu, salah satu fungsi As-Sunnah
adalah untuk menjelaskan dan menguraikan secara lebih terinci prinsipprinsip yang telah disebutkan dalam Al-Quran dengan contoh-contoh
aplikatif.
Selain itu, As-Sunnah bisa juga membatasi ketentuan Al-Quran yang
bersifat umum, dan bahkan bisa menetapkan hukum yang tidak ada dalam AlQuran.

24

Salah satu contoh ucapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sumber
hukum Islam adalah sabda beliau yang memerintahkan untuk mulai puasa
Ramadan

ketika

masuk

tanggal

Ramadan

dan

berhenti

puasa

(berbuka/lebaran) karena melihat tanggal 1 syawal.


Contoh hukkum Islam yang merujuk kepada perbuatan Nabi Muhammad
SAW adalah praktik shalat dan haji sebgaimana dicontohkan oleh beliau. Di
hadapan para sahabat, Rasul menyatakan:

.
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.
Contoh ketetapan Nabi Muhammad SAW yang di jadikan sumber hukum
Islam adalah pembenaran oleh Rasul terhadap tindakan salah seorang sahabat
yang bertayamum, karena tidak menemukan air untuk mengerjakan shalat
kemudian menemukannya setelah shalat.
Berita tentnag ucapan (qauliyah), perbuatan (filiyah) serta ketetapanketetapan (taqririyah) Nabi Muhammad SAW disebut hadis. Sebuah hadis
(Nurcholish Madjid, et all 2001) mengandung 3 (tiga) elemen, yaitu rawi,
sanad, dan matan. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan
hadis yang didengarnya dari seseorang atau dari gurunya. Sanad adalah
urutan para rawi yang menyampaikan hadis, mereka yang mengantarkan kita
sampai kepada matan atau teks hadis.
Berbeda dengan Al-Quran yang telah ditulis pada masa Nabi, hadis lebih
banyak dihafal daripada ditulis. Bahkan pada awalnya, Rasul melarang para
sahabat untuk mencatat hadis, karena khawatir tercampur dengan Al-Quran.
Izin penuliasan hadis hanya diberikan kepada sahabat tertentu seperti
Abdullah bin Amr. Rasul juga meminta orag yang mendengarkan hadis untuk
menyampaikan dengan teliti dan jujur kepada orang lain, seperti yang tertulis
dalam hadis mutawattir berikut ini:
... semoga Allah mencerahkan seseorang yang mendengarkan perkataanku
kemudian dia memahaminya dengan baik dan menyampaikan sebagaimana
yang ia dengar. Boleh jadi orang yang menerima (penyampaian) itu lebih
memahami daripada oarang yang mendengarnya...

25

Kendati sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat,


penuliasan hadis secara khusus baru dimulai oada awal abad ke-2 H. Untuk
menjaga hadis dari kebohongan dan pemalsuan dalam periwayatannya, para
ulama merumuskan syarat-syarat penerimaan hadis, bai yang berhubungan
dengan periwayatya maupun isi hadis itu sendiri.
A. Periwayatan Hadis
Dalam segi jumlah peristiwa yang bersambung mata rantainya
(muttasil as-sanad), ulama mengalompokkan hadis menjadi tiga, yaitu
1. Hadis mutawattir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin
bersepakat berbohong dengan perawi yang sama banyaknya hingga
sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Hadis Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan dari Nabi, oleh
seseorang, dua orang atau lebih sedikit dari kalangan sahabat, atau
diriwayatkan dari sahabat, oleh seseorang atau dua orang perawi
kemudian setelah itu tersebar luas hingga diriwayatkan oleh orang
banyak yang tidak mungkin bersepakat bohong.
3. Hadis ahad, atau khabar Khasshah menurut Imam Syafii ialah
setiap hadis yang diriwayatkan dari Rasululah SAW oleh seorang,
dua orang atau sedikit lebih banyak, adan belum mencapai syarat
hadis Masyhur. sunah ahad ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Hadis sahih ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung,
sampai kepada Rasulullah, tidak mempunyai cacat.
b. Hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersamnbung sampai
kepada Rasulullah, tidak mempunyai

cacat

dan tidak

berlawanan dengan orang yang lebih terpercaya.


c. Hadis dhaif ialah, hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
Hadis shahih dan Hadis hasan.

26

Dengan beragamnya tingkatan hadis seperti di atas, seorang


muslim ketika hendak berpedoman pada hadis memeprhatikan
kesahihannya dan tidak bertentangan dengan Al-Quran. Di Indonesia,
kompilasi hadis shahih yang sering dijadikan rujukan adalah hadis
shahih riwayat Bukhari dan Muslim.
B. Fungsi As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi sebagai penopang dan penyempurna AlQuran dalam menjelaskan hukum hukum syara. Oleh karena itu,
Imam Syafii dalam menerangkan Al-Quran dan As-Sunnah tidak
menguraikan secara terpisah. Keduanya merupakan satu kesatuan
dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal (penarikan kesimpulan
hukum bukan dari nash langsung) dan dipandang sebagai sumber
pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Kaduanya saling menopang secara
semurna dalam menjelaskan hukum-hukum Islam.
Fungsi As-Sunnah, antara lain:
1. Menguatkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran

13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di


waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah)

adalah

benar-benar

kezaliman

yang

besar."

(QS

Luqman(31):13)

.....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada


keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka

27

dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.(QS Al


Israa'(17):23)
Kedua firman Allah SWT dalam Al-Quran

di atas,

diperkuat oleh Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari Muslim


berikut ini:
perhatikanlah! Saya akan menerangkan kepadamu sekalian
sebesar besar dosa besar (diucapkan 3X. Baiklah hai
Rasulullah!, sahut kita semua. Memepersekutukan Allah,
mendurhakai kedua orang tua. Konon Rasulullah di saat itu
sedang bersandar, lalu duduk dan seraya bersabda: Ingat,
perkataan dan persaksianpalsu, Rasulullah mengulang-ulanginya
sampai aku meminta semoga beliau diam.
2. Memebrikan keterangan ayat-ayat Al-Quran dan menjelaskan
rincian ayat-ayat yang masih bersifat umum
Dalam banyak hal, Al-Quran memebrikan perintah dan
larangan kepada manusia dalam kerangka garis besar saja, dan
masih bersifat umum. Misalnya, AL-Quran memerintahkan
menjalankan shalat, membayar zakat, melakukan puasa dan
menunaikan ibadah haji. Namun, Al-Quran tidak menerangkan
bagaimana cara-cara melaksanakannya, syarat dan rukun apa yang
harus dipenuhi untuk melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan haji
tersebut. Al-Quran pun tidak menjelaskan macam-macam harta
yang terkena wajib zakat dan besarnya zakat untuk tiap-tiap
kesatuan harta.

.....

28

....Maka

dirikanlah

shalat

itu

(sebagaimana

biasa).

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya


atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisaa(4):103)
Kemudian Rasulullah SAW menerangkan waktu-waktu
shalat, jumlah rakaatnya, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya,
dan mempraktikkan shalat lalu setelah itu bersabda kepada para
sahabat.
Shalatlah kamu seperti yang kamu lihat sebagaimana aku
mengerjakan shalat. (HR. Bukhari)
Dari ilustrasi ini sangat jelas kita tidak dapat mengingkari
As-Sunnah, karena tanpa merujuk pada As-Sunnah kita tidak dapat
menjalankan sebagian perintah Allah.
3. Membatasi kemutlakannya

.....

....

...sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah


dibayar hutangnya... (QS An-Nisaa(4):12)
Kemudian Rasulullah memberikan batasan maksimal
wasiat yaitu ketika Saad bin Abi Waqqash meminta agar
diperkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah
permintaan wasiat sebesar itu ditolak oleh beliau. Saad bin Abi
Waqqash minta diperkenankan wasiat harta peninggalannya.
Setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu Saad bin Abi
Waqqash minta diperkenankan 1/3 hartanya, dan Rasulullah
mengizinkan yang 1/3 ini.
...Sepertiga itu adalah banyak dan besar, sebab, jika kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah
lebih baik daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam

29

keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak . (HR.


Bukhari Muslim)
4. Menakhiskan/mengkhususkan keumumannya



........
3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam

binatang

buas,

kecuali

yang

sempat

kamu

menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih


untuk berhala...(QS Al-Maidah (5):3)
Kemudian Rasulullah SAW mengkhususkannya dengan
memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati
dan limpa dalam sabdanya:
Dihalalkan bagi Kamu 2 macam bangkai dan 2 macam darah.
Dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan air dan belalang.
Sedangkan 2 macam darah itu ialah hati dan limpa. (HR. Ibnu
Majah dan Al Hakim)
5. Menciptakan hukum barau yang tidak ada dalam Al-Quran, contoh:

30

Rasulullah SAW melarang memakan setiap binatang yang


bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang
berkuku kuat dari golongan burung. (HR. Muslim)
Sedangkan dalam Al-Quran hanya melarang darah,
bangkai, dan daging babi serta binatang yang disembelih dengan
nama selain Allah. (QS Al-Maidah (5):3)
C. As-Sunnah sebagai Sumber Hukum
Ketaatan kepada Allah SWT harus diikuti dengan ketaatan kepada Rasul.
Sebaliknya, ketaatan kepada Rasul harus diikuti pula dengan ketaatan kepada
Allah SWT, sehingga keduanya merupakan dua hal yang tidak dapaat
dipisahkan.


80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka[321]. (QS An-Nisaa
(4):80)
Rasulullah SAW telah memberikan contoh dan teladan, bagaimana cara
shalat yang bena, bagaimana masuk kamar mandi, bagaimana keluar dari
kamar mandi, bagaimana berdagang, bagaimana maakan, bagaimana
memimpin perang, bagaimana menjadi kepala negara yang baik, bahkan juga
bagaimana menjadi suami dan kepala rumah tangga yang baik.
Konsekuensi ketaatan kepada Rasul adalah dengan mengimani dan
membenarkan apa yang dikabarkannya, mengagungkan dan membelanya,
memperbanyak salawat, serta menghidupkan sunnahnya. Oleh karena itu,
seorang muslim perlu melengkapi rujukan sumber hukum Al-Quran sebagai
rujukan dengan As-Sunnah.

31

1.4 IJMAK
Ijma m e n urut bahasa, artin ya : sepakat, setuju, atau
sependapat. Sedan gkan m e nu rut istilah, Ijmak adalah kesepakatan
para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap
hukum syara yang bersifat praktis (amaly), dan merupakan sumber hukum
Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Dalil yang menjadi dasar
Ijmak adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan
Allah SWT juga baik.
Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.
Ingatlah, barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jamaah. Karena syaithan adalah bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari dua orang, daripada dari seorang yang
menyendiri. (HR. Umar bin Khattab)
Jumhur ulama berpendapat, bahwa alasan dapat digunakannya Ijmak
sebagai sumber hukum Islam, adalah sebagai berikut. (Zahroh, 1999)
1. Hadis-hadis yang menyatakan umat Muhammad tidak akan bersepakat
terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin
baik, maka menurut Allah SWT juga baik. Oleh karena itu, amal
perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan
argumentasi (hujjah).
2. Mengikuti jalan akidah orang orang bukan mukmin adalah haram,
karena menentang Allah SWT dan Rasul, diancam neraka jahanam.
Mengikuti pendapat orang mukmin, berarti mengikuti sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan Ijmak. Dengan demikian, Ijmak dapat
dijadikan hujjah yang dapat digunakan untuk menggali hukum sayra
(istimbath) dari nash-nash syara.
A. Tingkatan Ijmak
Menurut Imam Syafii tingkatan, Ijmak adalah sebagai berikut.
1. Ijmak Shahih ialah jika engkau atau salah seorang ulama
mengatakan, hukum ini telah disepakati, maka niscaya setiap
ulama yang engkau
engkau katakan.

temui juga mengatakan seperti apa yang

32

2. Ijmak Sukuti ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang


mujtahid, kemudian pendapat telah diketahui oleh para mujtahid
yang hidup semasa dengan mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada
seorangpun yang mengikutinya.
3. Ijmak pada permasalahan pokok, jika para ahli fikih (fuqaha) yang
hidup dalam msatu asa

(generasi) berbeda dalam berbagai

pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum yang pokok, maka


seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang bertentangan
dengan pendapat-pendapat mereka.
B. Terjadinya Ijmak
Para fuqaha tidak sepakat tentang terjadinya Ijmak kecuali Ijmak
para sahabat. Sehingga ada sebagian fuqaha yang menganggap bahwa
ijmak ini bersandarkan hukum-hukum syara yang telah ditetapkan secara
mutawattir sehingga tidak ada seorangpun yang menolaknya. Sedang
sebagian fuqaha lainnya menganggap bahwa Ijmak dapat terjadi pada
Ijmak para sahabat dan Ijmak dari bukan para sahabat.
Untuk menyikapi perbedaan tersebut, yang perlu diketahui bahwa
Ijmak ialah hujjah (argumentasi/kesimpulan) yang bersifat qathi (tegas
dan jelas). Oleh karena itu, Ijmak dari bukan para sahabat harus
didasarkan atas hadis yang diriwayatkan secara mutawattir agar sanadnya
menjadi qathi. Hal ini agar sejalan deg\ngan ukum yang akan disepakati
dan juga bersifat qathi.
Implikasi dari kesepakatan dari kesepakatan ini, maka Ijmak yang
didasarkan atas hadis yang diriwaytakan secara perseorangan (ahad) tidak
dapat dijadikan hujjah. Dengan alasan bahwa Ijmak yang dapat dijadikan
hujjah adalah yang bersifat qathi, jika tidak qathi maka Ijmak tersebut
telah kehilangan fungsinya. Akan tetapi sebagian ahli Ushul Fiqh
berpendapat, bahwa Ijmak boleh diriwayatkan secara perseorangan
(ahad), karena selain untuk Ijmak sahabat, tidak ada satupun Ijmak yang
diriwayatkan secra mutawattir. (Zahroh, 1999)
Faktor-faktor yang harus terpenuhi sehingga Ijmak dapat dijadikan
sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut.

33

1. Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang


mujtahid.
2. Kesepakatan itu haruslah kesepakatan yang bulat.
3. Seluruh mujtahid menyetujiu hukum syara yang telah mereka
putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan
golongan mereka.
4. Kesepakatn itu diterapkan secara tegas terhadap peristiwa tersebut
baik lewat perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan untuk menjadi mujtahid, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut. (Yahya & Fatchurrahman, 1997)
1. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
2. Menegtahui nash-nash Al-Quran perihal hukum-hukum syariat
yang dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara mengeluarkan
(istimbath) hukum dari Al-Quran. Selain itu juga harus
mengetahui antara lain asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat
Al-Quran), tafsir dari ayat yang hendak akan ditetapkan hukumnya
(istimbath).
3. Mengetahui nash-nash Al-Hadis yaitu mengetahui hukum syariat
yang didatangkan oleh Al-Hadis dan mampu mengeluarkan
(istimbath-kan) hukump erbuatan orang mukalaf dari padanya. Di
samping ia harus mengetahui derajat dan nilai hadis, seperti
mutawattir, ahad, shahih, hasan dapat digunakan hujjah hadisnya
dan mana yang ghoiru tsiqah (tdiak terpercaya) untuk ditolak
hadisnya.
4. Mengetahui maqashidus syariah (tujuan syariah), tingkah laku
dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan
kemudaratan.
Ijmak sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam setelah AlQuran dan As-Sunnah, cara penetapan hukumnya bukanlah hal yang
mudah karena ada kriteria yang harus dipenuhi agar hasil dari Ijmak
dijadikan sebagai pedoman.
1.5 QIYAS

34

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi,
definisi qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan persamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash baik dalam AlQuran dan As-Sunnah dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash
karena ada kesamaan dalam alasannya (illat), (Syafiie, 2007). Hal ini sesuai
dengan (QS. Al-Hasyr (59):2)

.........
... Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orangorang yang mempunyai wawasan...
Pelajaran adalah qiyaslah keadaanmu dengan apa yang terjadi.
Proses qiyas untuk suatu kasus yang akan dicari hukumnya adalah dengan
mencari nash hukum yang jelas untuk kasus tertentu, setelah itu para
mujtahid akan mencari llat untuk kasus yang akan dicari hukumnya. Jika
ditemukan adanya llat maka mujtahid dapat menggunakan ketentuan hukum
yang sama untuk kedua kasus tersebut, sedangkan jika tidak ditemukan llat
maka akan dicari hukum pokok (ashl).
Mengenai qiyas ini, Imam Syafii mengatakan: setiap peristiwa ada
kepatian hukum dan umat Islam wajib melaksankannya. Akian tetapi, jika ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah,
yaitu dengan ijtihad, melalui qiyas.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata kepada Nabi
SAW;
Hai Rasulullah, aku melakukan sesuatu perbuatan yang besar, mencium
(istri) dan saya dalam keadaan berpuasa. Lantas Rasulullah berkata
kepadaya: berikanlah jawaban kepadaku, bagaimana seandainya kamu
berkumur dengan air, sedang kamu dalam keadaan berpuasa? Umar
menjawab: tidak mengapa! kemudian Rasulullah bersabda: lanjutkan
puasamu.

35

Dari hadis tersebut, kita melihat bahwa Rasulullah menghubungkan antara


berkumur (dengan air dalam keadaan puasa) dengan mencium istri dengan
cara membandingkan antara keduanya. Dua hal tersebut mengandung dua
kemungkinan: anatar membatalkan dan tidak membatalkan puasa. Memang
berkumur dan mencium itu sendiri tidaklah termasuk kategori berbuka, tetapi
bolh jadi hal itu membatalkan puasa.
Qiyas dapat dianggap sebagai sumber hukum, jika memenuhi persyaratan
sebagai berikut.
a. Sepanjang mengacu dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan AsSunnah, qiyas diperlukan karena nash-nash dalam AL-Quran dan AsSunnah itu universal dan global. Sedangkan kejadian-kejadian pada
manusia itu berkembang terus. Oleh kerana itu, tidak mungkin nashnash (teks dalam Al-Quran) yang universal itu dijadikan sebagai satusatunya sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang berkembang
mengikuti zaman.
b. Qiyas juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya, orang Islam
meminum minuman yang memabukkan. Sanagtlah masuk akal, bila
setiap minuman atau makanan memabukkan yang diqiyaskan dengan
minuman tersebut, menjadi haram hukumnya.
Jika diharamkan menjalankan suatu transaksi harta benda disebabkan
karena transaksi itu mengandung pengkhianatan dan penganiayaan
terhadap orang lain, maka sangat masuk akal kalau setiap transaksi
kebendaan yang mengandung unsur pengkhianatan diqiyaskan kepadanya,
sehingga hukumnya adalah haram.
A. Argumentasi (Kehujjahan) Qiyas
Tidak perlu diragukan, bahwa argumentasi jumhur ulama
didasarkan pada prinsip berpikir logis, yaitu ayat Al-Quran dan AsSunnah.

36



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.(QS 4:59)
Ayat diatas menjadi dasar hukum qiyas, maksud adri ungkapan kembali
kapada Allah SWT dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan; apa sesungguhnya
yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan
mencari illat. Hukum yang dinamakan qiyas.
Ketetapan hukum berdasarkan alasannya (illat) tersebut merupakan
isyarat Al-Quran tentang keharusan menggunakan qiyas dalam kasus-kasus
yang tak ada nashnya. Apabila tidak dipahami demikian, maka perintahperintah Allah SWT tidak menghendaki hal ini. Oleh karena itu, kita wajib
menganalogikan sesuatu yang tak ada dalil hukumnya dengan sesuatu yang
ada nash hukumnya. Nash-nash hukum itu sendiri mengandung isyarat
tentang tujuannya yang umum dan khusus yang menjadi dasar qiyas.
Dari keempat sumber hukum tersebut di atas, Al-Quran merupakan sumber
hukum yang pasti karena tidak perlu metode khusus untuk mengatakan ia
adalah sumber hukum yang harus diikuti seorang muslim, sedangkan untuk
As-Sunnah, penetapan agar ia menjadi sumber hukum juga tidak diperlukan
metode khusus, kecuali memerlukan penggolongan hadis berdasarkan
perawinya seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk Ijmak dan Qiyas telah
dikembangkan metodologi baku untuk menetapkan suatu hukum yang disebut

37

sebagai Ilmu Fikih. Ilmu Fikih sendiri didefinisikan sebagai metodologi


pengambilan/penetapan hukum tentang amal perbuatan manusia yang
nashnya tidak ada di Al-Quran dan As-Sunnah tetapi didasarkan atas dasar
kesepakatan ulama. Sedangkan Ushul Fikih ialah ilmu pengetahuan dari
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada
pengambilan hukum-hukum tentang amal yang sesuai dengan syariat.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sumber hukum islam merupakan dasar atau referensi untuk menilai
apakah perbuatan manusia sesuai dengan syariah (ketentuan yang
digariskan oleh Allah SWT) atau tidak. Sumber hukum islam ada 4
(empat), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak, Qiyas.
Keempat hal tersebut disusun berdasarkan urutan kekuatannya
sebagai sumber hukum, di mana Al-Quran menjadi sumber hukum yang
utama, diikutu dengan As-Sunnah dan selanjutnya. Dengan demikian
untuk mneyatakan bahwa suatu aktivitas/amal perbuatan manusia
dikatakan sesuai dengan syariah atau tidak, dibolehkan atau dilarang,
halal atau haram, baik atau buruk akan mengacu pada 4 hal tersebut.
Hukum-hukum Al-Quran bersifat abadi, melintasi zaman, tempat
dan budaya. Dengan mekanisme penetapan hukum yang harus dilalui
seperti yang telah dijelaskan diatas akan menjaga keaslian dan
keotentikan ajaran Islam. Misalnya dalam ritual ibadah sholat dari zaman
Rasul SAW sampai sekarang tetap sama, siapapun yang melakukannya
dan di manapun ia berada, tidak tunduk pada budaya atau perkembangan
zaman.

38

3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaanya dan adapun kelemahan-kelemahan dari penulis dalam
penulisan makalah ini, baik itu kurangnya fasilitas yang mendukung seperti
buku-buku referensi yang begitu terbatas dalam menjamin penyelesaian
penulisan makalah ini sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif baik
itu dari bapak dosen maupun dari rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi
sangatlah diharapkan untuk membantu proses penulisan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati, Sri dan Wasilh. 2013. Akuntansi Syariah Di Indonesia Edisi 3.
Salemba Empati:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai