Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dengan berkembangnya revolusi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, menyebabkan munculnya permintaan yang besar terhadap produksi
bahan kimia baru yang dapat digunakan dalam berbagai proses industri. Diantara
banyaknya bahan kimia baru, zat warna organik muncul sebagai salah satu bahan
kimia yang paling banyak digunakan dalam berbagai kegiatan industri. Oleh
karena itu, zat warna menjadi bagian penting dalam limbah industri. Limbah
tekstil sangat beracun di alam karena mengandung zat warna organik dan
anorganik dalam jumlah besar. Zat warna pigmen seperti antrakuinon atau
kelompok azo hadir dalam bentuk anionik, kationik atau pewarna non-ionik, yang
memiliki struktur kimia kompleks yang sangat sulit untuk terurai pada kondisi
normal. Baru - baru ini muncul perhatian besar dalam mempelajari penghilangan
zat warna dan pigmen dari limbah industri dan air limbah dengan proses adsorpsi
menggunakan bahan berstruktur nano. Biasanya zat warna organik dan anorganik
dihilangkan dengan tekhnik kimia dan fisik yang berbeda, seperti reaksi kimia,
elektro-koagulasi,

proses

osmosis,

adsorpsi,

flokulasi,

electro-floatation,

pertukaran ion, membran filtrasi, destruksi elektrokimia, presipitasi dan banyak


lainnya. Di antara semua teknik ini, teknik adsorpsi menjadi teknik yang lebih
unggul daripada teknik lain dalam pengolahan air limbah dalam hal biaya, desain
yang sederhana, mudah dioperasikan dan ketidakpekaan terhadap zat beracun.
Malachite green (MG) merupakan zat warna sintetis yang biasa digunakan
dalam proses pencelupan kapas, sutra, kertas, dan industri kulit, dalam bidang
manufaktur cat dan tinta cetak, dan sebagai pewarna makanan, aditif makanan,
dan desinfektan medis. Namun, meskipun masih digunakan, MG berbahaya
karena memiliki efek samping terhadap kekebalan tubuh dan sistem reproduksi,
bersifat karsinogenik, genotoksik, teratogenik dan mutagenik. Karena alasan ini
negara Amerika Serikat dan Eropa telah memberlakukan larangan ketat pada
penggunaan MG dalam semua kategori makanan. Selain itu, pembuangan MG ke
dalam hidrosfer dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologi seperti
menyebabkan air menjadi berwarna dan mengurangi penetrasi sinar matahari yang

merugikan kehidupan air. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penghilangan
limbah MG sebelum dibuang ke badan air.
Dalam beberapa tahun terakhir bahan berbasis oksida seng-titanium (Zn-Ti-O)
telah digunakan secara luas karena sifat luar biasanya dan berpotensi dalam
aplikasi ilmiah dan teknis. Baru-baru ini, seng titanat telah diteliti untuk aplikasi
dalam banyak bidang seperti agen penyerap untuk penghilangan hidrogen sulfida
(H2S) bersuhu tinggi dari batubara, sensor gas, sensor kelembaban, pigmen cat,
bahan dielektrik, agen antibakteri dan sebagai fotokatalis. Hal ini telah banyak
dilaporkan oleh banyak penulis bahwa ada tiga senyawa ZnO-TiO2, termasuk
seng orto-titanat (Zn2TiO4) tipe kubik inverse-spinel, seng meta-titanat (ZnTiO3)
tipe rhombohedral ilmenit dan Zn2Ti3O8 tipe kubik spinel terstruktur yang
dianggap sebagai bentuk ZnTiO3 bersuhu rendah. Diantara semua itu, kristalin
ZnTiO3 berukuran nano merupakan bahan yang sangat signifikan yang telah
digunakan sebagai adsorben untuk zat warna.
Meskipun banyak antibiotik baru telah dikembangkan dalam beberapa dekade
terakhir, tidak satupun ditemukan dengan aktivitas lebih baik terhadap resisten
bakteri. Oleh karena itu penting untuk merencanakan strategi penyembuhan yang
lebih baik termasuk novel antibiotik. Baru-baru ini, nanopartikel oksida logam
telah digunakan secara efektif untuk agen terapi, dalam diagnosa penyakit kronis,
untuk mengurangi infeksi bakteri pada kulit dan luka bakar, untuk mencegah
kolonisasi bakteri pada perangkat medis, dan dalam industri pakaian dan makanan
digunakan sebagai agen antimikroba. Karena memiliki kemampuan yang unik dan
berpotensi sebagai antimikroba terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif, para peneliti mengembangkan antibiotik generasi baru dengan membuat
nanopartikel oksida logam sebagai pengganti antibiotik untuk mengatasi masalah
resistensi terhadap obat. Nanopartikel ZnO dan TiO2 menunjukkan sifat
antibakteri, tetapi tidak ada literatur yang memuaskan yang berkaitan dengan
aktivitas antibakteri dari keramik ZnTiO3 nanokristalin. Hal ini menarik perhatian
peneliti untuk mempreparasi ZnTiO3 nanokristalin dan

mempelajari sifat

antibakterinya. Dalam penelitian ini peneliti menyajikan proses preparasi dan


karakterisasi keramik ZnTiO3 nanokristalin jenis ilmenit dan mempelajari
efektivitasnya dalam penyerapan zat warna MG yang berbahaya. Peneliti juga

mengevaluasi aktivitas antibakterinya terhadap bakteri patogen yang berbeda beda dengan metode difusi agar.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses preparasi keramik ZnTiO3 nanokristalin?
2. Bagaimana hasil karakterisasi dari keramik ZnTiO3 nanokristalin?
3. Bagaimana pegaruh waktu, pengaruh dosis adsorben dan pengaruh pH
dalam proses adsorpsi zat warna Malachite green (MG) oleh keramik
ZnTiO3 nanokristalin?
4. Bagaimana pengaruh konsentrasi awal zat warna Malachite green (MG)
dalam proses adsorpsi?
5. Bagaimana mekanisme adsorpsi zat warna Malachite green (MG) oleh
keramik ZnTiO3 nanokristalin?
6. Bagaimana kinetika adsorpsi zar warna Malachite green (MG) oleh
keramik ZnTiO3 nanokristalin?
7. Bagaimana aktivitas antibakteri dari keramik ZnTiO 3 nanokristalin
terhadap bakteri patogen?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:
1. Membuat keramik ZnTiO3 nanokristalin
2. Mengetahui kemampuan adsorpsi keramik ZnTiO3 nanokristalin terhadap
zat warna Malachite green (MG).
3. Mengetahui aktivitas antibakteri dari keramik ZnTiO3 nanokristalin
terhadap bakteri patogen.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk:
1. Menambah wawasan peneliti dan pembaca mengenai pembuatan keramik
ZnTiO3
2. Menambah wawasan peneliti dan memberikan informasi kepada
pembaca bahwa keramik ZnTiO3 nanokristalin memiliki kemampuan
adsorpsi terhadap zat warna Malachite green (MG) dan memiliki
aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen.
II.
TINJAUN PUSTAKA
II.1

Keramik

Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani keramikos yang artinya
suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran. Kamus dan
ensiklopedia tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan
teknologi

untuk

menghasilkan

barang

dari

tanah

liat

yang

dibakar,

seperti gerabah, genteng, porselin, dan sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua
keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru mencakup
semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat.
Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan termal dan kimia
dibandingkan elemennya. Bahan baku keramik yang umum dipakai adalah
felspard, ball clay, kwarsa, kaolin, dan air. Sifat keramik sangat ditentukan oleh
struktur kristal, komposisi kimia dan mineral bawaannya. Oleh karena itu sifat
keramik juga tergantung pada lingkungan geologi dimana bahan diperoleh. Secara
umum strukturnya sangat rumit dengan sedikit elektron-elektron bebas.
Kurangnya beberapa elektron bebas keramik membuat sebagian besar bahan
keramik secara kelistrikan bukan merupakan konduktor dan juga menjadi
konduktor panas yang jelek. Di samping itu keramik mempunyai sifat rapuh,
keras, dan kaku. Keramik secara umum mempunyai kekuatan tekan lebih baik
dibanding kekuatan tariknya Pada prinsipnya keramik terbagi atas:
1. Keramik tradisional
Keramik tradisional yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan bahan
alam, seperti kuarsa, kaolin, dll. Yang termasuk keramik ini adalah: barang
pecah belah (dinnerware), keperluan rumah tangga (tile, bricks), dan untuk
industri (refractory).
2. Keramik halus
Fine ceramics (keramik modern atau biasa disebut keramik teknik, advanced
ceramic, engineering ceramic, techical ceramic) adalah keramik yang dibuat
dengan menggunakan oksida-oksida logam atau logam, seperti: oksida logam
(Al2O3, ZrO2, MgO,dll). Penggunaannya: elemen pemanas, semikonduktor,
komponen turbin, dan pada bidang medis.
Sifat yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis
keramik adalah britle atau rapuh, hal ini dapat kita lihat pada keramik jenis

tradisional seperti barang pecah belah, gelas, kendi, gerabah dan sebagainya, coba
jatuhkan piring yang terbuat dari keramik bandingkan dengan piring dari logam,
pasti keramik mudah pecah, walaupun sifat ini tidak berlaku pada jenis keramik
tertentu, terutama jenis keramik hasil sintering, dan campuran sintering antara
keramik dengan logam. sifat lainya adalah tahan suhu tinggi, sebagai contoh
keramik tradisional yang terdiri dari tanah liat, flint, dan feldspar tahan sampai
dengan suhu 1200 C, keramik hasil rekayasa seperti keramik oksida mampu tahan
sampai dengan suhu 2000 C.
II.2

Solution Combustion Synthesis


Solution Combustion Synthesis merupakan suatu metode efektif untuk

mensintesis material berskala nano dan telah digunakan pada banyak produksi
keramik dalam banyak aplikasi. Keramik oksida berskala nano dapat dibuat
dengan metode SCS yang dipreparasi melalui kombinasi antara logam nitrat
dengan larutan berair dengan bahan bakar. Glisin dan urea, khususnya, adalah
bahan bakar yang cocok karena keduanya merupakan asam amino yang dapat
bertindak sebagai pengompleks dari ion logam dalam larutan dan juga berfungsi
sebagai bahan bakar untuk sintesis logam oksida nanokristalin. Metode ini dapat
langsung menghasilkan produk akhir yang diinginkan, meskipun dalam beberapa
kasus, dibutuhkan perlakuan panas berikutnya pada keramik yang disintesis untuk
meningkatkan pembentukan fase yang diinginkan.
Metode Solution Combustion Synthesis menggunakan garam, seperti nitrat,
logam sulfat dan karbonat, sebagai reagen oksidasi dan reduksi, menggunakan
bahan bakar seperti glisin, sukrosa, urea, atau karbohidrat lainnya yang dapat larut
dalam air. Nitrat bertindak sebagai oksidator untuk bahan bakar selama reaksi
pembakaran.
Metode Solution Combustion Synthesis adalah metode berdasarkan prinsip
bahwa sekali reaksi dimulai dengan pemanasan, terjadi reaksi eksotermik dengan
sendirinya dalam interval waktu tertentu, sehingga menghasilkan serbuk sebagai
produk akhir. Reaksi eksotermik dimulai pada suhu pengapian dan menghasilkan
sejumlah panas tertentu yang diwujudkan dalam suhu maksimum atau suhu
pembakaran. Solution Combustion Synthesis memiliki keuntungan dalam
memproduksi serbuk secara cepat, halus dan homogen.
5

Metode Solution Combustion Synthesis merupakan proses cepat dan mudah,


dengan keuntungan utama dalam penghematan waktu dan energi. Proses ini
digunakan secara langsung dalam produksi dengan kemurnian tinggi, bubuk
keramik oksida homogen. Metode ini merupakan metode serbaguna untuk sintesis
berbagai ukuran partikel, termasuk serbuk alumina berukuran nanometer, seperti
yang dilaporkan oleh Patil dan Mimani. Menariknya, system pembakaran pada
pembakaran campuran logam redoks nitrat-glisin-nitrat amonium asetat atau
campuran logam aluminium nitrat-urea, tidak menunjukkan adanya api untuk
mendapatkan nanopartikel oksida.
Dasar dalam teknik Solution Combustion Synthesis terletak pada konsep
termodinamika yang digunakan dalam bidang propelan dan bahan peledak, dan
ekstrapolasi untuk mensintesis pembakaran oksida keramik dan termodinamika
yang dibahas secara luas oleh beberapa peneliti. Keberhasilan proses ini
berhubungan erat dengan campuran konstituen dari bahan bakar atau agrn
pengompleks yang cocok (misalnya, asam sitrat, urea, dan glisin) dalam air dan
reaksi redoks eksotermis antara bahan bakar dan oksidan (misalnya, nitrat).
Faktanya, mekanisme reaksi pembakaran sangat kompleks. Ada beberapa
parameter yang mempengaruhi reaksi seperti jenis bahan bakar, rasio bahan bakar
oksidator, penggunaan oksidator berlebih, suhu pemanasan, dan jumlah air yang
terkandung dalam campuran prekursor. Secara umum, sintesis pembakaran yang
baik adalah tidak bereaksi dengan keras, menghasilkan gas beracun dan bertindak
sebagai pengompleks untuk kation logam.
Teknik pembakaran dikendalikan oleh massa campuran dan volume wadah.
Studi yang dilakukan oleh Kingsley dan Patil menunjukkan bahwa rasio massa /
volume sangat penting dalam terjadinya combustion synthesis, komposisi kurang
dari 5 g dalam wadah 300 ml tidak menjalani proses pembakaran.
Metode Solution Combustion Synthesis telah terbukti menjadi teknik yang
bagus untuk mendapatkan berbagai jenis oksida pada skala nanometer dan
digunakan dalam berbagai aplikasi teknologi, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Berbagai oksida ini

dipreparasi dengan sifat magnetik, mekanik, dielektrik,

katalitik, optik dan luminesen.

Tabel2.3.1Someoxidespreparedbycombustioninsolution
a

Material

Fuel

Particlesize

Application

Al2O3

U
AM+U/CH/ODH/GLI

4m

1528nm

Abrasive
Catalystsupport

10nm

Catalyst

Co /Al2O3
+3
Eu /Y3Al5O12

0.20.3m

Pigment

6090nm

Redphosphorus

Ce1xTbxMgAl11O19

CH
U

1020m

Greenphosphorus
Catalyst

U
ODH
GLI

1018nm
18nm
100m

Catalyst
Oxigenstorage
Capasitor

M/CeO2,M=Pt,
Pd,Ag

ODH

12nm

Catalyst

Ce1xPtxO2

CH

46nm

NiYSZ,(Ni,Co/
Fe/Cu)YSZ

~40nm

H2O2combina
tioncatalyst
Combustioncell
anode(SOFC)

LaSrFeO3
LaCrO3

CH/ODH
U

2030nm
20nm

SOFCcathode
Interconnection
forSOFC

LiCo0.5M0.5O2

510m

Lithiumbattery

MFe2O4/BaFe12O19
Pb(Zr,Ti)O3

ODH
GLI/AC
AC

60100nm
1825nm
60nm

ZnO

<100nm

Magneticoxide
Dielectricmaterial
Piezoelectric
material
Varistor

MAl2O4

(M=MneZn)
M/MgAl2O4,

M=FeCo/Ni

+2

M/Al2O3,M=Pt,

710nm

Pd,Ag

Pd/Al2O3
CeO2ZrO2

BaTiO3

II.3

Adsorpsi

Proses adsorpsi adalah peristiwa tertariknya suatu molekul tertentu dari fluida
pada permukaan zat padat (adsorben) (Susilowati, 2009). Adsorpsi juga dapat
didefinisikan sebagai fenomena fisik yang terjadi saat molekul molekul gas atau
cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul molekul tadi mengembun pada permukaan padatan tersebut. Hal ini terjadi karena
adannya kesetimbangan gaya gaya molekul zat padat zat padat, yang cenderung
menarik molekul lain yang bersentuhan pada permukaannya (Kuntoro, 2011).
Langkah langkah peristiwa adsorpsi dapat diringkas :
1.
2.
3.
4.

Larutan berdifusi melalui fluida ke area dekat permukaan partikel padat.


Partikel terlarut berdifusi ke pori pori partikel.
Partikel berdifusi ke dinding pori.
Adsorpsi zat terlarut pada permukaan dinding pori.

Jumlah fluida yang teradsorpsi pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh


faktor-faktor berikut ini (Agustiar, 2011):
1. Jenis adsorbat
a. Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul yang sesuai merupakan hal yang paling penting agar
proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat
diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau
sama dengan diameter pori adsorben.
b. Kepolaran zat
Apabila berdiameter sama, molekul-molekul polar yang lebih kuat
diadsorpsi

daripada

molekul-molekul

yang

kurang

polar.

Molekulmolekul yang lebih polar akan menggantikan molekul-molekul


yang kurang polar yang telah lebih dulu di adsorpsi.
2. Karakteristik Adsorben
a. Kemurnian adsorben
Adsorben yang lebih murni memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih
baik.
b. Luas permukaan dan volume pori adsorben
Jumlah molekul adsorbat yang teradsorp akan meningkat dengann
bertambahnya luas permukaan dan volume pori adsorben.
3. Temperatur
Proses adsorpsi adalah proses eksotermis, berarti peningkatan temperatur
pada tekanan tetap akan mengurangi jumlah senyawa yang teradsorpsi.
4. Tekanan adsorbat
Pada adsorpsi fisika jumlah zat yang diadsorpsikan bertambah dengan
menaikan tekanan adsorbat. Sebaliknya pada adsorpsi kimia, jumlah zat yang
diadsorpsi akan berkurang dengan menaikkan tekanan adsorbat.
5. Pusat aktif
Pada permukaan yang beragam, hanya sebagian permukaan yang mempunyai
daya serap. Hal ini menyebabkan hanya beberapa jenis zat yang dapat diserap
oleh bagian permukaan yang aktif, yang disebut sebagai pusat aktif (active
center).
II.4

Anti Bakteri

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan


pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan
mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,
membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971).
Antimikrobia

meliputi

golongan

antibakteri,

antimikotik,

dan

antiviral

(Ganiswara, 1995). Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh


senyawa antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan
permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan
makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,
penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein.
Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu
substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat
pertumbuhan

mikroba

lain.

Senyawa

antibakteri

dapat

bekerja

secara

bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988).


Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima,
yaitu menghambat sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding sel
mikrobia, menghambat sintesis protein sel mikrobia, menghambat sintesis asam
nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia (Sulistyo, 1971). Daya
antimikrobia diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat
antimikrobia (Jawetz , 2001). Adanya fenomena ketahanan tumbuhan secara alami
terhadap mikrobia menyebabkan pengembangan sejumlah senyawa yang berasal
dari tanaman yang mempunyai kandungan antibakteri dan antifungi (Griffin,
1981).
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode
pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.
Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL
(Hermawan dkk., 2007). Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering
digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder,

metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu


membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah
dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang
diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi,
pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di
sekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).
II.5

Malachite Green
Malachite green merupakan zat warna utama triphenylmethane dengan berat

molekul 327. MG memiliki nama IUPAC [4-[(4-dimethylaminophenyl)phenylmethylidene]-1-cyclohexa-2,5-dienylidene]

dimethylazanium

dengan

rumus molekul C23H25N2+. MG memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut asam
organik namun rendah dalam air (Hidayah N dkk, 2013)
Malachite green sering digunakan pada industri tekstil untuk pewarnaan wool
dan kain sutra, serta kertas pada industri kertas (Zhou dkk, 2013). Selain itu
malachite green juga sering digunakan pada industri akuakultur sebagai
desinfektan yang efektif melawan protozoa dan infeksi jamur (Long dkk, 2008).
Malachite green dilarang digunakan sebagai bahan tambahan makanan, namun
pada beberapa kasus, malachite green masih digunakan sebagai pewarna
makanan, dan bahan tambahan makanan (Chen dkk, 2007).

Gambar 2.2.1 Struktur Molekul Malachite green


Penggunaan malachite green secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan dan tidak baik untuk kesehatan. Dampak negatif yang ditimbulkan
diantaranya,

bersifat

karsinogenik,

mutangenik, dan dapat menghambat

fotosintesis (Jalil dkk, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat warna
tersebut memiliki toksisitas yang tinggi pada sel mamalia dan berperan sebagai
agen yang memicu tumor. Selain itu juga dapat menurunkan populasi hewan

10

dalam lingkungan air, menyebabkan kerusakan pada hati, limpa, ginjal, hati,
menimbulkan luka pada kulit, mata, paru-paru, serta tulang (Singh, 2012).
Malachite green dapat direduksi dalam lingkungan air menjadi senyawa
metabolitnya yaitu leukomalachite green (Chen dkk, 2007) yang reaksinya
ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Mitrowska dkk, 2005). Malachite green dan
leukomalachite green berpotensi membahayakan kesehatan manusia (Chen dkk,
2007), sehingga Komisi Eropa (European Commission) telah menentapkan bahwa
metode yang dapat digunakan untuk menentukan residu malachite green dalam
daging ikan harus memenuhi minimum required performance limit (MRPL) yaitu
2 g/kg (Mitrowska dkk, 2005).

III.

PROSEDUR PENEITIAN

III.1 Material
Seng nitrat hexahydrate murni (Zn(NO3)26H2O, AR 99%, Merck), tetra-nbutil titanat (Ti(OC2H9) 4, AR 99%, Aldrich), urea (CO(NH2) 2, AR 99%,
Merck), asam nitrat 1:1 (HNO3, Fisher Scientific), asam klorida (HCl, Fisher
11

Scientific), natrium hidroksida (NaOH, Fisher Scientific), zat warna MG


(C23H26ON2, Sigma-Aldrich), nutrien media agar dan siprofloksasin (Hi Media,
Mumbai, India) yang digunakan tanpa pemurnian lebih lanjut.
III.2 Prosedur Penelitian
III.2.1 Preparasi Keramik ZnTiO3 Nanokristalin
Solution Combustion Synthesis (SCS) digunakan untuk pertama kali untuk
mempreparaso keramik ZnTiO3 nanokristalin. Belum ada literatur yang
tersedia tentang preparasi keramik ZnTiO3 nanokristalin dengan metode SCS.
Keramik ZnTiO3 dipreparasi melalui dua langkah sederhana yaitu:
a. Preparasi Titanyl Nitrat
Titanyl nitrat dibuat melalui hidrolisis terkontrol tetra-n-butil titanat
dengan air suling, reaksi lebih lanjut dari titanyl hidroksida dengan HNO3
1:1 menghasilkan titanyl nitrat. Reaksi yang terjadi :
Ti(OC4H9)4 + 3H2O TiO(OH)2 + 4C4H9OH
TiO(OH)2 + 2HNO3 TiO(NO3)2 + 2H2O
b. Proses Combustion
Titanyl nitrat dilarutkan dalam air dengan jumlah minimum dan jumlah
stoikiometri Zn(NO3)2, dan CO(NH2)2 dicampur dalam air suling ganda
dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama sekitar 30
menit. Larutan yang mengandung kristalin diatas dipanaskan terlebih
dahulu dalam muffle furnace pada 500 10 C. Larutan dipanaskan dan
menghasilkan cairan yang sangat kental. Cairan kental ini menangkap api
dan dinyalakan api pada permukaannya akan membentuk produk berupa
bubuk putih. Reaksi keseluruhan dapat ditulis sebagai berikut :
3ZnTiO +10CO +16N
3Zn(NO ) + 10NH CONH + 3TiO(NO )
3 2

3 2

+20H2O

Produk yang diperoleh dikalsinasi pada 600-800C selama 2 jam pada


udara atmosfer terbuka.
III.2.2 Preparasi Larutan Zat Warna Malachite green

12

Sejumlah pewarna MG ditimbang secara akurat, kemudian dilarutkan


dalam air suling untuk membuat larutan stok (10 mg / l). Larutan experimental
dari konsentrasi yang diinginkan diperoleh dengan pengenceran berturut-turut.
III.2.3 Studi Adsorpsi Malachite green
Penelitian dilakukan dengan waktu, dosis, pH, dan konsentrasi awal zat
warna yang berbeda beda. 100 mL larutan zat warna dengan konsentrasi
berbeda beda (5 ppm, 7,5 ppm, dan 10 ppm) dicampurkan pada adsorben
dengan dosis yang berbeda (5-65 mg) dalam gelas beker 250 mL. Larutan zat
warna yang mengandung adsorben diaduk dengan magnetik stirer untuk
meningkatkan kontak antara larutan zat warna dengan adsorben. Setelah
dilakukan pencampuran dengan variasi waktu tadi, adsorben dipisahkan dari
larutan dengan sentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm selama 5 menit.
Konsentrasi sisa dari zat warna diukur secara spektrofotometri melalui
pengamatan absorbansi pada 618 nm (

max

).

III.2.4 Studi Antibakteri


Aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar dengan
menggunakan bakteri gram negatif (Klebsiella aerogenes NCIM-2098.
Pseudomonas desmolyticum NCIM-2028, Escherichia coli NCIM-5-51), dan
bakteri gram positif (Staphylococus aureus NCIM-5022). Agar Muller Hinton
digunakan untuk kultur bakteri. Cawan nutrien agar bakteri dipreparasi dan
diseka dengan 100 l air daging matang menggunakan batang L steril pada
selama 24 jam. Variasi konsentrasi ZnTiO3 nanokristalin (1000 dan 1500

g per wadah) digunakan untuk mengamati aktivitas antibakteri. ZnTiO3


dipisahkan dalan air steril dan digunakan sebagai kontrol negatif dan
antibiotik Ciprofloxacin (5 g/50 l) sebagai kontrol positif. Kemudian
diinkubasi pada 37

selama 24-36 jam, zona inhibisi diukur dalam

milimeter pada setiap wadah dan dicatat nilainya. Setiap konsentrasi dilakukan

13

sebanyak tiga rangkap dan dihitung nilai rata rata untuk diperoleh aktivitas
antibakteri yang paling baik.

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Karakterisasi
4.1.1 Studi PXRD
Pembentukan fase nanokristalin dari sampel yang telah dipreparasi,
dikarakterisasi dengan pengukuran PXRD. Hasil PXRD dianalisis dengan
pencarian crystallographica search match (informasi tentang struktur molekul dan
kristal).

Gambar 4.1.1 Pola PXRD keramik ZnTiO3 nanokristalin


Pada pola PXRD sampel dan sampel telah dikalsinasi pada 600

selama

2 jam menunjukkan sifat produk yang dihasilkan adalah amorf (Gambar 4.1.1).
Sedangkan sampel yang dikalsinasi pada suhu 700 selama 2 jam
menunjukkan kristalinitas sampel dengan jenis ilmenit ZnTiO 3 dan fase sekunder
yaitu jenis inverse-spinel kubik Zn2TiO4 berdasarkan data (ICDD nomor 25-1164)
dan rutile TiO2 berdasarkan (ICDD nomor 65-192), spinel merupakan salah satu
jenis struktur kristal yang memiliki dua sub struktur, yaitu struktur tetrahedral
(bagian A) dan struktur oktahedral (bagian B). Pembentukan kedua sub struktur
15

spinel tersebut secara umum dipengaruhi oleh besarnya jari-jari, konfigurasi


elektron ion-ion logam, serta energi statik dari kisi kristal. Dalam dunia
kristalograpi, Zn2TiO4 terbentuk kedalam struktur kristal spinel kubik karena
panjang atau parameter kisi a = b. Sedangkan pada pola PXRD sampel yang
dikalsinasi pada suhu 800 selama 2 jam, fase sekunder tidak teramati dan
semua puncak sesuai dengan ICDD nomor 26-1500 dengan kelompok ruang R-3
(No-148) dan parameter sel a = b = 5.078 , c = 13.927. Semua puncak
difraksi dapat diindeksan dalam refleksi (1 0 1), (1 0 2), (1 0 4), (1 1 0), (1 1 3),
(0 2 4), (1 1 6), (0 1 8), (2 1 4), (3 0 0), (2 0 8), (1 1 9), (2 1 7) dan (2 2 0).
Perluasan dari refleksi menunjukkan dengan jelas sifat yang melekat pada
nanokristal. Struktur kristal keramik nanokristalin ZnTiO3 diperoleh dengan
menggunakan software powder cell ditunjukkan pada Gambar 4.1.2.

16

Gambar 4.1.2 Diagram pengemasan keramik ZnTiO3 nanokristalin


Ukuran kristal dihitung dari full width at half maximum (FWHM ()) dari
puncak difraksi dengan menggunakan metode Debye-Scherer yang dapat dihitung
dengan:
d=

k
cos

di mana d adalah dimensi rata-rata Kristal yang tegak lurus terhadap fase yang
dipantulkan, adalah panjang gelombang sinar-X, 'k' adalah Scherer yang
konstan (0.92), '

' full width at half maximum adalah (FWHM) intensitas dari

17

refleksi Bragg termasuk perluasan instrumental dan ' ' adalah sudut Bragg.
Ukuran rata-rata Kristal sampel yang didapat adalah 16 nm. Kisi dan parameter
struktural nanokristalin ZnTiO3 keramik dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Parameter kristal dari keramik nanokristalin ZnTiO3
Tingkat

Notasi

Oksidasi

Wyckoff

Zn

2+

Ti
O

Atom

Okupansi

6c

0,0000

0,0000

0,3580

4+

3b

0,0000

0,0000

0,5000

2-

18f

0,3050

0,0150

0,2500

Sistem kristal : rhombohedral, space group: R3 (148); point group: 3, hexagonal axis.

4.1.2 Studi FTIR


Gambar 4.1.2.1 merupakan spektrum FT-IR sampel digunakan untuk
menentukan frekuensi vibrasi logam-oksigen dan ikatan lainnya yang berkaitan
dengan pengotor yang hadir dalam nanokristalin ZnTiO 3 yang dikalsinasi pada
suhu 800 selama 2 jam. Dapat dilihat bahwa tidak adanya kemiripan puncak
tidak murni dengan organik tak murni. Namun, pita yang lemah dapat dilihat pada
bilangan gelombang 2358 cm-1 yang berasal dari peregangan ikatan C-H dari
kelompok butil pada n-butil titanat. Pita serapan yang kuat terjadi pada bilangan
gelombang 536 cm-1 dan 429 cm-1 sehingga ditentukan adanya peregangan vibrasi
pada ikatan M-O (M = Zn, Ti).

18

Gambar 4.1.2.1 Spektrum FTIR keramik ZnTiO3 nanokristalin


4.1.3 Studi Spektroskopi UV-Vis
Studi untuk menentukan energi optik pada celah pita sampel, dilakukan
dengan spektrum UV-vis. Sampel menunjukkan adanya puncak serapan yang kuat
(

max

) di 235 nm pada daerah UV. Gambar. 4.1.3.1 (a) menunjukkan spektrum

serapan UV-vis pada sampel yang dikalsinasi pada suhu 800C selama 2 jam. Hal
ini dapat dikaitkan dengan eksitasi foto elektron dari pita valensi ke pita konduksi.
Energi optik band gap (Eg) diperkirakan (Gambar 4.1.3.1 (b)) dengan metode
yang diusulkan oleh Wood dan Tauc, menurut persamaan berikut:

( hv ) ( hvEg )

di mana ' ' adalah absorbansi, 'h' adalah konstanta Planck, ' v ' adalah
frekuensi, ' Eg ' adalah energi optik band gap dan 'n' adalah konstanta yang
berhubungan dengan berbagai jenis transisi elektron (n = 1/2, 2, 3/2 atau 3). Nilai
Eg keramik ZnTiO3 adalah ~3.6 eV dan telah sesuai dengan literatur.

19

Gambar 4.1.3.1 (a) spektrum UV-Vis, (b) energi optik band gap keramik ZnTiO3
nanokristalin
4.1.4 Analisis Morfologi
Gambar 4.1.4.1 (a) dan (b) menunjukkan gambar FE-SEM keramik
nanokristalin ZnTiO3 dikalsinasi pada 800 selama 2 jam. Mikrograf
mengungkapkan bahwa partikel yang hampir berbentuk bulat, memiliki ukuran
seragam dan distribusi. Partikel-partikel yang teraglomerasi tinggi terjadi karena
adanya pelengketan partikel selama kalsinasi. Spektroskopi dispersi energi
digunakan untuk menganalisis komposisi kimia dari ZnTiO3 keramik. Tidak ada
unsur selain Zn, Ti dan O yang terlihat pada spektroskopi energi dispersif
(Gambar 4.1.4.1 (c)).

Gambar 4.1.4.1 (a) dan (b) FE-SEM, (c) Mikrograp EDS keramik ZnTiO3
nanokristalin

20

Selanjutnya, Zn: Ti: O dalam rasio atom 19:19:61, yang sangat dekat dengan
komposisi yang diharapkan. Gambar TEM dari ZnTiO3 keramik (Gambar 4.1.4.2
(a)) menunjukkan bahwa partikel yang diperoleh dalam ukuran nano dan memiliki
rata-rata ukuran partikel sebesar 10 nm. Gambar HR-TEM (Gambar 4.1.4.2 (b))
menunjukkan bahwa keramik ZnTiO3 berbentuk kristal dengan jarak kisi sebesar
0,23 nm. Hasil ini cocok dengan hasil yang diperoleh dari metode DebyeScherer's.

Gambar 4.1.4.2 (a) TEM dan (b) HR-TEM keramik ZnTiO3 nanokristalin
4.1.5 Profil Permukaan
Profil permukaan diuji berdasarkan pada pengukuran optik interferometry.
Tampilan 2D, 3D, dan grafik garis profil permukaan ditunjukkan pada Gambar
4.1.5.1 (a), (b) dan (c). Kekasaran rata-rata (Ra), kekasaran rata-rata RMS (Rq),
tinggi maksimum profil (Rpv), tinggi puncak maksimum (Rp), kedalaman lembah
maksimum (Rv), putaran simetri profil (Rsk), kekasaran maksimum parameter
kedalaman / ketinggian (Rz) dan keacakan puncak (RKU) ditabulasi dalam Tabel
2. Nilai rata-rata dan standar deviasi Rsk dan RKU menetapkan morfologi
permukaan nano dari sampel. Pada tampilan 2D, 3D dan grafik garis gambar
profil permukaan menegaskan kehadiran butir yang teraglomerasi dengan
keseragaman dan konektivitas melalui batas butir. Muhammad Awais dkk.
melakukan studi adsorpsi zat warna NOx dan dalam studi mereka menemukan
bahwa kekasaran permukaan yang lebih tinggi adalah adsorpsi zat warna.

21

Gambar 4.1.5.1 (a) tampilan 2D, (b) tampilan 3D, dan (c) tampilan grafik garis
dari keramik ZnTiO3 nanokristalin
4.2 Studi Adsorpsi
Penelitian adsorpsi telah dilakukan dengan menggunakan zat warna organik
kationik berbahaya Malachite Green (MG). MG merupakan zat warna utama
triphenylmethane dengan berat molekul 327. MG memiliki nama IUPAC [4-[(4dimethylaminophenyl)-phenylmethylidene]-1-cyclohexa-2,5-dienylidene]
dimethylazanium dengan rumus molekul C23H25N2+. MG memiliki kelarutan yang
tinggi dalam pelarut asam organik namun rendah dalam air. Struktur kimia dan
spektrum UV-Vis MG ditunjukkan pada gambar 4.2.1.

Gambar 4.2.1 (a) Struktur kimia MG, (b) Spektrum UV-Vis MG

22

4.2.1 Pengaruh Waktu Kontak


Pengaruh waktu kontak pada adsorpsi MG oleh keramik ZnTiO 3 nanokristalin
dapat dilihat pada gambar 4.2.1.1 yang mana adsorpsi zat warna meningkat
dengan meningkatnya waktu pengadukan menjadi 30 menit. Tingkat adsoprsi
meningkat cukup cepat dimana diawal sebagian besar senyawa terserap pada
waktu 30 menit pertama. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penyerapan zat
warna lebih dari 96% pada 30 menit pertama, setelah itu kecepatan adsorpsi
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kesetimbangan terjadi setelah 30 menit.
Hal ini pada dasarnya dikarenakan situs aktif pada adsorben telah mengalami
kejenuhan sehingga tidak memungkinkan untuk terjadi adsorpsi lebih lanjut.

Gambar 4.2.1.1 Pengaruh waktu kontak terhadap adsorpsi MG.


4.2.2 Pengaruh Dosis Adsorben
Penyerapan zat warna sangat dipengaruhi oleh jumlah dari zat penyerapnya.
Adsorpsi MG oleh keramik ZnTiO3 nanokristalin telah diamati dengan mengubah
jumlah adsorbennya dari 5 mg/L hingga 65 mg/L dengan kecepatan pengadukan
konstan selama 30 menit dengan konsentrasi optimum zat warna sebesar 10 ppm.
hasil pengamatan pengaruh dosis adsorben dapat diamati pada gambar 4.2.2.1,
dengan peningkatan dosis adsorben, penyerapan zat warna mengalami
peningkatan hingga diperoleh jumlah optimum adsorben. Peningkatan dosis
adsorben lebih lanjut menyebabkan terjadinya penurunan persentasi penyerapan
zat warna MG. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan over-lapping atau agregasi

23

pada situs adsorpsi yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah area


permukaan adsorben yang tersedia untuk zat warna MG.

Gambar 4.2.2.1 Pengaruh dosis adsorben terhadap adsorpsi MG


4.2.3 Pengaruh pH
pH pada pengamatan ini memiliki efek yang besar pada efisiensi adsorpsi zat
warna organik. Pengaruh pH pada adsorpsi MG oleh keramik ZnTiO3
nanokristalin diamati dengan menggunakan zar warna dengan konsentrasi 10 ppm
sebanyak 45 mg dengan kecepatan pengadukan selama 30 menit pada suhu
laboratorium. Hasil pengamatan ditunjukkan pada gambat 4.2.3.1.

Gambar 4.2.3.1 Pengaruh pH terhadap adsorpsi MG


Dari gambar 4.2.3.1 menunjukkan penyerapan zat warna maksimum sebesar
96% pada pH 9 yang mana terjadi penurunan hingga 3% pada pH 2. Hal ini
menegaskan bahwa pH rendah (2-5) kurang baik untuk proses penyerapan zat

24

warna MG oleh keramik ZnTiO3 nanokristalin. Hasil penelitian ini didukung oleh
pendapat peneliti lain seperti Gokulakrishnan, dkk (2012) yang mengatakan
bahwa Malachite green efektif terdegradasi pada pH 3-9, baik secara adsorpsi,
fotokatalitik (Nihalni, dkk 2012), dan degradasi elektrokimia menggunakan
elektroda besi (Singh dkk, 2013). Sedangkan menurut Liu dkk (2011), Malachite
green mudah terdegradasi pada pH diatas 7.
4.2.4 Pengaruh Konsentrasi Awal
Pengaruh konsentrasi awal zat warna juga menjadi paramter lain yang harus
dipehitungkan. Hal ini sangat menarik untuk dicatat bahwa persentasi adsorpsi
untuk larutan zat warna 5 ppm sangat rendah karena ketersediaan molekul zat
warna terhadap adsorben lemah. Dengan peningkatan konsentrasi zat warna
menjadi 7,5 ppm, penyerapan zat warna selanjutnya sedikit meningkat hingga
konsentrasi MG menjadi 10 ppm, dan persentasi adsorpsi oleh keramik ZnTiO 3
nanokristalin tinggi (96%). Penelitian ini mengahsilkan hasil yang jelas, dimana
menjelasan bahwa ketersediaan molekul zat warna untuk berinteraksi dengan
adsorben harus dalam kisaran optimum. Konsenrasi awal zat warna yang
ditingkatkan dari 5 ppm ke 7,5 ppm, 7,5 ppm ke 10 ppm pada adsorpsi MG oleh
keramik ZnTiO3 nanokristalin mengindikasikan bahwa konsentrasi awal yang
tinggi memberikan kekuatan pendorong untuk mengatasi perlawanan transfer
massa antara fasa berair dan fasa padat.

Gambar 4.2.4.1 Pengaruh konsentrasi awal zat warna

25

4.2.5 Mekanisme Penyerapan MG oleh Keramik Nanokristalin ZnTiO3


Mekanisme penyerapan MG oleh keramik nanokristalin ZnTiO 3 dapat
dijelaskan berdasarkan pengaruh pH. Dibawah kondisi asam, sulit untuk zat warna
kationik MG untuk terserap pada permukaan keramik ZnTiO3 nanokristalin. Hal
ini karena pH awal larutan zat warna yang rendah, jumlah situs negatif adsorben
rendah dan jumlah situs positif adsorben tinggi yang mana tidak mendukung
penyerapan karena MG merupakan zat warna kationik yang menyebabkan
terjadinya repulsi elektrostatik (tolak menolak). Terjadinya penurunan tingkat
adsorpsi pada pH yang lebih rendah juga karena fakta bahwa adanya kelebihan H +
yang dibebaskan oleh zat warna MG pada kondisi asam yang berlawanan dengan
kation zat warna untuk adsorpsi. Perubahan situs negatif pada peningkatan pH
yang lebih tinggi pada molekul adsorben yang menarik situs aktif zat warna
kationik MG menyebabkan tingat penyerapan ringgi. Interaksi nanokristalin
ZnTiO3 dengan Mg ditunjukkan pada skema dibawah ini

4.2.6 Efisiensi Penggunaan Kembali Adsorben


ZnTiO3 yang telah digunakan dalam penelitian ini disentrifus, dan penyerapan
polutan dilakukan dengan metode leaching kimia. HCl (0,1 N) digunakan untuk
menyerap polutan (Malachite Green) dari adsorben ZnTiO3 dan dikeringkan pada
suhu 120

dengan oven sebelum digunakan lagi secara berulang kali. Akan

tetapi, hasil yang diperoleh dari adsorben yang telah diperbaharui tidak signifikan
dan menunjukkan efisiensi penyerapan yang rendah setelah penggunaan pertama.
Sehingga, ZnTiO3 tidak dapat didaur ulang dan digunakan kembali sebagai
adsorben untuk zat warna Malachite green dalam larutan berair.

26

4.2.7 Kinetika Adsorpsi


Untuk mengetahui langkah langkah yang terlibat dalam pengendalian
kecepatan dalam proses adsorpsi, maka ditetapkan kinetika adsorpsinya. Dalam
penelitian ini, digunakan model kinetika adsorpsi Langmuir Hinshelwood
(Persamaan 2). Model ini digunakan untuk menghitung konstanta kecepatan atau
laju adsorpsi.
r=

dc
KC
=k r
dt
(1+ KC )

(1)

Dimana r adalah laju adsorpsi, kr adalah konstanta laju adsorpsi, K adalah


koefisien absorpsi reaktan, dan C adalah konsentrasi rektan. Ketika harga C sangat
kecil, Persamaan (1) dapat dinyatakan melaui persamaan (2)
r=

dc
=k r KC =kC
dt

(2)

Dimana k adalah orde pertama konstanta laju. Dengan t = 0, C=C0, maka


ln

C0
=kt
C

(3)

27

Gambar 4.2.7.1 Kinetika adsorpsi MG


Gambar 4.2.7.1 menunjukkan laju adsorpsi ZnTiO3 nanokristalin pada suhu ruang.
Nilai R yang diperoleh lebih besar dari 0,96, dimana menunjukkan bahwa ZnTiO 3
nanokristalin memiliki aktivitas adsorpsi yang baik dengan nilai k = 0,021 min-1.
4.3 Studi Antibakteri
Sifat antibakteri dari keramik ZnTiO 3 nanokristalin menunjukkan hasil yang
baik terhadap bakteri gram negative K. aerogenes, E. coli, P. desmolyticum, dan
bakteri gram positif S. aureus menggunakan dengan metode difusi agar. Pada
metode difusi cakram kertas saring yang berisi sejumlah obat di tempatkan pada
materi padat yang sebelumnya telah di inokulasi bakteri uji pada permukaannya.
Setelah di inkubasi diameter zona hambat sekitar cakram yang di gunakan
mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode difusi agar
yang digunakan pada jurnal ini yaitu dengan cara memasukkan bakteri kedalam
media agar Mueler Hinton. Setelah beku kemudian di beri ZnTiO 3 dengan
konsentrasi 1000 g/100 l dan 1500 g/150 l. Kemudian di inkubasi. Hasilnya
di baca sesuai dengan standar masing masing antibiotik (Jawetz et al). Dalam
metode ini nanokristalin ZnTiO3 menunjukkan hasil yang signifikan. Zona inhibisi
ditunjukkan pada Gambar 4.3.1 dan pada Tabel 3.

Gambar 4.3.1 Zona tes inhibisi untuk nanokristalin ZnTiO3 (a) K. aerogenes, (b)
E. coli, (c) S. aureus dan (d) P. desmolyticum.

28

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nanokristalin ZnTiO3 memiliki


aktivitas yang berpotensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji terhadap
bakteri gram negativf K. aerogenes, E. coli, dan bakteri gram positif S. aureus.
Tetapi tidak memiliki aktivitas yang berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri
uji P. desmolyticum.
ZnTiO3 dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena merupakan bahan
semikonduktor.

Bahan

semikonduktor

di

ketahui

dapat

menghambat

pertumbuhan bakteri dengan cara berdifusi kedalam sel bakteri. ZnTiO3 juga
merupakan nanopartikel oksida logam. Menurut Ayu Azhari dalam penelitiannya
yang berjudul Penggunaan Komposit CuO-Fe2O3 untuk Antibakteri mengatakan
bahwa Semua nanopartikel Oksida logam yang diuji menunjukkan adanya
aktivitas antimikroba. Nanopartikel CuO menunjukkan aktivitas paling besar,
diikuti ZnO,NiO, dan Sb2O3. Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas antibakteri
dari nanokristalin ZnTiO3 dapat disebabkan karena adanya ZnO dan TiO yang di
preparasi tersebut. Faktor berikut mungkin memberikan respon untuk kegiatan
antibakteri yaitu, peningkatan stabilitas nanopartikel komposit dari kombinasi
ZnO dengan TiO2, ukuran ionik nanokristalin ZnTiO3 dan pembentukan spesies
oksigen reaktif (ROS). Menurut Jawetz et al 2005 metode difusi di pengaruhi
beberapa faktor kimia dan fisika, selain faktor antara obat dan organisme
(misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas
obat). Meskipun demikian, standardisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan
melakukan uji kepekaan dengan baik.
Efek antibakteri nanokristalin ZnTiO 3 dilihat dari pola struktural ionik dan
kolosal yang baik dengan pharmacophore tersebut. Kehadiran ini membantu
senyawa tersebut untuk berinteraksi atau menembus lebih dengan membran sel
bakteri dan dengan demikian dapat menonaktifkan mereka. Mekanisme yang lain

29

yaitu

dari "self-promoted up take"

dari antibiotik melintasi membran luar

bakteria yang terdiri dari permukaan lipopolisakarida. Hal ini menunjukkan


bahwa nanopartikel berinteraksi dengan membran luar dan pembentukan saluran
selanjutnya dalam membran sitoplasma baik melalui mekanisme "Barrel-Stave"
atau "Carpet" yang dapat mengakibatkan kematian sel.

30

IV.

KESIMPULAN

Keramik ZnTiO3 nanokristalin tipe ilmenit telah sukses dipreparasi melalui


metode SCS sederhana dan telah dilakukan pengamatan terhadap kapasitas
adsorpsi zat warna MG. Dari hasil pengamatan menunjukkan parameter seperti
pengaruh pH dan waktu kontak memainkan pean penting dalam adsorpsi. Hasil
kinetika adsorpsi menunjukkan bahwa adsorpsi MG oleh ZnTiO3 mengikuti
kinetika

reaksi

orde

pertama.

Aktivitas

antibakteri

dilakukan

dengan

menggunakan empat bakteri patogen yang berbeda. Hasil analisa antibakteri


menyimpulkan bahwa pada konsentrasi tinggi (1000 dan 1500

g), ZnTiO
3

nanokristalin bertindak sebagai agen antibakteri yang sangat baik dalam melawan
bakteri gram negatif negative K. aerogenes, E. coli, P. desmolyticum dan bakteri
gram positif S. Aureusbacteria dengan metode difusi agar.

31

Anda mungkin juga menyukai