Anda di halaman 1dari 19

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN

TAHAPAN PENGOLAHAN DAN ANALISIS USAHA


PENGOLAHAN UBI KAYU
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Agribisnis Tanaman
Pangan
Disusun Oleh Kelompok 1:
Prestilia Ningrum

150310080098

Rakhmi Primadianthi

150310080103

Bernida H Munthe

150310080102

Ratna Puspita Dewi

150310080115

Fakhrizal Maulana

150310080119

Wendi Irawan D

150310080137

Kelas: Agribisnis B

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Prospek usaha yang jelas merupakan faktor pendukung untuk mewujudkan
tujuan. Dengan demikian berlandaskan pada prospek, diharapkan semua pelaku
usaha bisa bersemangat dalam menjalankan fungsinya. Gambaran yang jelas
terhadap prospek menyebabkan semua anggota dalam suatu usaha mempunyai
ambisi dan motivasi untuk meraih prospek tersebut. Untuk kegiatan agribisnis,
selama manusia di bumi ini masih membutuhkan sandang, pangan dan perumahan
dalam kehidupannya tentu kegiatan agribisnis masih mempunyai prospek yang
cukup menjanjikan ( Krisnamurthi, 2009).
Persepsi agribisnis yang selama ini banyak dimengerti oleh masyarakat
luas adalah kegiatan budidaya atau non-farm activity yang sebetulnya dalam
defenisi lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan pertanian di bidang pertanian
secara khusus, kegiatan budi daya pertanian yang dapat digarap pun sangat
bervariasi. Rentang usaha dimulai dari skala sangat kecil atau skala hobi hingga
skala industri dengan teknologi yang cukup canggih (Krisnamurthi, 2009).
Pengembangan agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijakan di
sektor pertanian. Produksi sektor pertanian harus berorientasi kepada permintaan
pasar domestik, tetapi juga pasar internasional. Pola pertanian harus mengalami
tranformasi dari sistem pertanian subsistem yang berskala kecil dan pemenuhan
kebutuhan keluarga ke usahatani dalam skala yang lebih ekonomi. Hal ini
merupakan keharusan jika produk pertanian harus di jual ke pasar dan jika sektor
pertanian harus menyediakan bahan baku bagi sektor industri (Husodo, 2004).
Salah satu jenis agribisnis yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah
agribisnis ubi kayu. Ubi kayu adalah sayuran pokok penting karena kontribusinya
yang tinggi sebagai sumber kalori harian bagi jutaan orang. Seluruh produksi ubi
kayu terutama di Negara berkembang dan bagian terbesar berasal dari pertanian
kecil yang sering memiliki lahan yang di olah seadanya. Ubi kayu sangat penting
bagi penduduk pedesaan miskin sebagai tanaman tumpuan bahkan juga selama
musim kemarau dikarenakan tanaman ini toleransi terhadap kekeringan dan
2

periode panen yang fleksibel menjadikan ubi kayu sebagai tanaman pangan
cadangan yang sangat bernilai bagi penduduk miskin (Rubatzky, 1998).
Ubi kayu merupakan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung
di indonesia. Penyebaran tanaman ubi kayu meluas ke semua propinsi di
indonesia. Dalam hal ini ubi kayu baik lokal maupun luar negeri sangat besar.
Dimana ubi kayu untuk bahan pakan ternak, farmasi dan lain sebagainya yang
jumlahnya selama ini terus meningkat secara terus menerus dengan peningkatan
populasi daripada konsumen (Anonimous, 2009).
Ubi kayu merupakan tanaman umbi umbian yang dapat tumbuh di dataran
rendah dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Biasanya tanaman ini di
panen setelah berumur sekitar 10 bulan. Produksi ubi kayu Indonesia menepati
urutan kelima dunia. Ubi kayu sebagai sumber pati yang merupakan bahan baku
industri (Anonimous, 2009).
Sebagai bahan kaya pati, ubi kayu (kasava) merupakan bahan olahan
penting bagi pembuatan gula cair, khususnya sirup glukosa. Potensi pasarnya
cukup kuat karena semakin luas penggunaannya oleh berbagai industri makanan
dan industri obat obatan. Masyarakat berpeluang pula menambah nilai tambah
produksi ubi kayu mereka dengan mengolah menjadi sirup glukosa (Anonimous,
2009).
Disamping itu terdapat beberapa aneka ragam produk turunan dari ubi
kayu, sebagai berikut :

Adapun produk turunan ubi kayu yang di perdagangkan di pasar dunia


antara lain adalah gaplek, tepung singkong (cassava starch), tapioka dan beberapa
produk kimia seperti alkohol, gula cair (maltose, glukosa, fruktosa) sorbitol,
siklodekstrin, asam sitrrat serta bahan pembuatan edible coating dan
biodegradable serta bioetanol. Negara tujuan ekspor RRC, UN, Eropa, Taiwan dan
Korea Selatan (Anonimous, 2009 ).
Oleh karena banyaknya produk yang dapat di hasilkan dari ubi kayu, maka
pengembangan

agribisnis

ubi

kayu

menjadi

sangat

penting.

Program

pengembangan agribisnis itu sendiri bertujuan untuk mengembangkan agribisnis


yang mampu menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing, meningkatkan
nilai tambah bagi masyarakat petani, khususnya di pedesaan, mengembangkan
ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Anonimous, 2009).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham
dan mengerti mengenai pengolahan dari tanaman ubi kayu.
1.3 Metoda Penulisan
Metode penelitian yang kami gunakan adalah dengan studi literatur
melalui media elektronik yang kemudian kami bahas bersama dalam kelompok
belajar.

BAB II
4

PEMBAHASAN
Ubi kayu merupakan salah satu sumber pangan karbohidrat alternatif
terhadap beras. Komoditas ini juga dapat dikembangkan menjadi sumber devisa
negara. Namun demikian, hingga kini potensinya belum dikembangkan secara
optimal. Kemampuan tanaman ubi kayu untuk dapat tumbuh pada kondisi sedikit
air dan teknik budidaya tanaman yang relatif sederhana dan murah melahirkan
anggapan bahwa menanam dan bahkan mengonsumsi ubi kayu selalu diartikan
sebagai kemiskinan, karena ubi kayu akan dikonsumsi sebagai sumber pangan
alternatif terakhir, atau akan dikonsumsi apabila kekurangan pangan. Anggapan
seperti ini telah berdampak pada kurangnya upaya untuk mendorong ubi kayu
sebagai tanaman andalan ekspor. Pada kenyataannya budidaya tanaman ubi kayu
di daerah sentra produksi, seperti di Lampung, umumnya dilakukan secara
tradisional sehingga produktivitas yang dicapai masih jauh dari potensi yang
seharusnya dapat dicapai (sekitar 50% dari potensi maksimalnya).
Kondisi di sub sistem hilir (pasca panen, pengolahan dan pemasaran) ubi
kayu saat ini juga belum menggembirakan. Industri pengolahan ubi kayu yang
berkembang masih sangat terbatas pada produk-produk tertentu, seperti gaplek,
chip, dan tepung, sedangkan untuk produk olahan lainnya seperti starch (pati)
yang banyak dibutuhkan industri pengolahan lebih lanjut (pangan dan non
pangan) belum berkembang dengan baik.
2.1 Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu
Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar ke-4 di dunia setelah
Nigeria, Brasil, dan Thailand. Dibandingkan dengan produksi tahun 2002 yang
hanya sekitar 16,9 juta ton, produksi ubi kayu pada tahun-tahun selanjutnya
menunjukkan peningkatan, yakni menjadi sekitar 19,3 juta ton pada tahun 2005.
Produksi ubi kayu Indonesia pada on farm selalu berimbang dengan Thailand,
bahkan pernah sedikit melampaui produksi Thailand (18,47 juta berbanding 18,43
juta ton). Meskipun luas panen ubi kayu sejak tahun 2000 hingga 2005 tidak
menunjukkan peningkatan, namun total produksi ubi kayu dapat ditingkatkan
melalui peningkatan produktivitas. Tingkat produktivitas pada tahun 2005 masih
5

cukup rendah, berkisar 16 ton/ha, padahal potensi hasil dapat mencapai 40 ton/ha
umbi segar. Namun demikian, produktivitas tersebut telah meningkat dua kali
lipat dibandingkan produktivitas pada tahun 1973.
Sebagian besar produksi ubi kayu Indonesia dihasilkan dari tiga propinsi
di Pulau Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), mencapai 53% ; sedangkan sisanya
diproduksi di Lampung (sekitar 20%), dan propinsi lainnya (NTT, Sulsel, dll)
sebesar 27%. Propinsi Lampung adalah yang paling besar kontribusinya dalam
memasok ubi kayu nasional. Total luas tanam ubi kayu di propinsi Lampung pada
tahun 2006 diperkirakan mencapai 266.645 ha dengan tingkat produktivitas
sekitar 19,67 ton/ha (lebih tinggi dari rata-rata nasional) dan total produksi sebesar
5.084.195 ton (BPS 2005).
Sejak dua dekade terakhir, propinsi Lampung sudah dikenal sebagai sentra
produksi ubi kayu dan sentra produk pangan berbasis ubi kayu. Namun demikian,
secara umum peran ubi kayu sebagai sumber pendapatan petani belum
menggembirakan. Harga ubi kayu di tingkat petani selalu pada kondisi suboptimal dan tidak menguntungkan, baik bagi petani maupun bagi industri
pengguna ubi kayu. Rendahnya kemampuan petani ubi kayu di propinsi Lampung
dalam penerapan teknologi usahatani menyebabkan rendahnya produktivitas.
Akibatnya pendapatan yang diterima petani relative rendah dan berfluktuasi. Di
samping itu, belum terintegrasinya pola kawasan agribisnis mulai dari hulu, on
farm, pasca panen, pengolahan hingga pemasaran dalam menangani ubi kayu, dan
keterbatasan modal usaha mengakibatkan belum optimalnya peran ubi kayu dalam
perekonomian petani dan industri berbasis ubi kayu.
2.2 Kondisi Industri Pengolahan Ubi kayu
Selain dikonsumsi langsung, ubi kayu merupakan bahan baku industry
pengolahan, baik industri pangan maupun non pangan, di dalam dan luar negeri.
Jenis olahan ubi kayu yang berkembang di Indonesia (meskipun belum optimal),
antara lain adalah: (1) cassava dried (gaplek) untuk industry makanan dan pakan
ternak, (2) cassava starch (pati) untuk bahan baku industry kertas dan cat, (3)
tepung cassava (Tapioka), (4) etanol, dan (5) olahan pangan lainnya seperti sanjai
dan chips (keripik). Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan
6

produksi ubi kayu Indonesia dengan Thailand hampir sama, namun demikian
industri olahan ubi kayu di Thailand jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
di Indonesia.
Berkembangnya industri olahan ubi kayu di Thailand tersebut mampu
mengangkat negara tersebut menjadi negara pemasok utama dunia untuk cassava
dried, cassava starch, dan cassava flour. Sebaliknya, Indonesia hanya mampu
memasok 24% untuk cassava dried, 12% untuk cassava starch, dan 17 23%
untuk tepung kasava; bahkan Indonesia masih mengimpor cassava flour dan
starch untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Upaya meningkatkan nilai tambah dengan menggalakkan industry
pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka di tingkat petani (skala perdesaan)
telah dilakukan pada tahun 2000. Di propinsi Lampung, program peningkatan
nilai tambah ubi kayu di tingkat perdesaan dilakukan melalui proyek
pengembangan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA). Dalam proses
pengembangannya, diharapkan ITTARA dan petani merupakan mitra yang saling
menguntungkan dan saling ketergantungan. Dengan berkembangnya ITTARA
atau industri pengolahan skala kecil lainnya, diharapkan petani sebagai mitra
pemasok bahan baku ubi kayu dapat menjual hasil panen ubi kayu, meskipun
dalam bentuk basah. Teknologi pengeringan yang digunakan ITTARA adalah
teknologi sederhana di mana tepung dikeringkan (dijemur) di bawah sinar
matahari. Produk hasil olahan dari ITTARA diharapkan dapat dipasarkan
langsung ke industri pangan berbasis produk olahan ubi kayu di Lampung
maupun ke Industri lainnya yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar
ITTARA, yang pembangunannya difasilitasi oleh Pemerintah, tidak dimanfaatkan
atau tidak berproduksi secara optimal. Masalah yang dihadapi bersifat klasik, di
mana masing-masing subsistem mulai dari hulu dan on farm hingga pemasaran
belum mampu beroperasi secara efisien, baik dari sisi mutu maupun harga. Pada
kenyataannya, kemitraan yang saling menguntungkan antara industri pangan
berbasis produk olahan ubi kayu yang sudah beroperasi di Lampung dengan
ITTARA tidak terjadi meskipun upaya fasilitasi sudah dilakukan. Oleh karena itu,
fasilitasi pemerintah baik pusat maupun daerah sangat diperlukan untuk
7

membangun kemitraan yang saling menguntungkan antara petani, ITTARA atau


industri pengolahan skala kecil lainnya, dan Industri Pangan Berbasis Olahan Ubi
kayu; tentu saja dengan memperhatikan faktor-faktor pendorong berlangsungnya
suatu kerjasama yang saling menguntungkan di keseluruhan sistem agroindustri
ubi kayu.
2.3 Masalah Dalam Aspek Pasca Panen dan Pengolahan Ubi Kayu
Pada umumnya industri pengolahan ubi kayu skala perdesaan seperti
ITTARA masih menerapkan metoda tradisional dengan teknologi sederhana,
yakni dengan menggunakan peralatan pengolahan yang sederhana dan proses
pengolahan hasil yang belum sesuai standard GHP (Good Handling Practices)
dan GMP (Good Manufacturing Practices) dan tidak efisien. Oleh karenanya
mutu produk yang dihasilkan masih rendah dan sangat bervariasi. Beberapa
kondisi yang mendasar dan harus diperbaiki untuk dapat menerapkan persyaratan
standard tersebut antara lain: (1) kemampuan teknis dan manajemen petani
(penanganan pasca panen dan proses pengolahan ubi kayu berlangsung tanpa
memperhatikan persyaratan mutu), (2) kurangnya informasi tentang teknologi
pasca panen dan pengolahan yang mampu menjaga mutu dan kebersihan produk,
(3) terbatasnya peralatan dan mesin pasca panen dan pengolahan ubi kayu yang
sederhana tetapi mampu menghasilkan produk bermutu, dan (4) terbatasnya
modal usaha sehingga petani tidak mampu menerapkan teknologi dan peralatan
mesin dalam menangani pasca panen dan pengolahan ubi kayu. Di sisi lain,
industri pengolahan ubi kayu skala besar masih sangat terbatas, sedangkan
industri pengolahan makanan dan minuman maupun non pangan berbahan baku
olahan ubi kayu cukup berkembang. Kondisi ini telah berdampak pada
meningkatnya impor olahan ubi kayu seperti starch untuk memenuhi kebutuhan
industri kertas dan industri makanan lainnya yang ada di Indonesia. Jumlah
kebutuhan industri tersebut tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri karena di
samping jumlah industri yang mengolah ubi kayu menjadi produk olahan yang
terbatas, juga karena pada banyak kasus industri pengolahan ubi kayu cenderung
memasarkannya langsung ke pasar luar negeri. Kondisi kawasan industri yang
terpadu dan berbasis kemitraan, mulai dari sisi produksi (tingkat petani) ke
8

industri pengolahan ubi kayu, ke industri makanan/minuman dan non pangan


berbahan baku olahan ubi kayu belum terbangun dengan baik di Indonesia. Untuk
memperbaiki kondisi tersebut di atas, maka diperlukan program pengembangan
pengolahan ubi kayu secara terintegrasi dengan sub sistem produksi dan sub
sistem pemasaran dalam suatu manajemen rantai pasokan (SCM) yang melibatkan
semua stakeholder.
Di samping itu, semua aspek yang terkait dengan pengembangan
pengolahan ubi kayu, mulai dari aspek sumberdaya manusia, teknologi hingga
revitalisasi peralatan dan mesin pengolahan ubi kayu, harus pula ditingkatkan
kemampuan dan kualitasnya. untuk itu, diperlukan program yang terencana baik
yang menyangkut perbaikan jaringan kerjasama dengan sub sistem produksi dan
sub sistem pemasaran maupun yang terkait dengan semua aspek di dalam sub
sistem pengolahan itu sendiri.
2.4 Pengembangan Pasca Panen dan Pengolahan Ubi kayu
Pengolahan hasil pertanian pada industri skala kecil/rumah tangga mulai
dari pemilihan bahan baku, pengolahan, pengemasan sampai penyimpanan,
umumnya masih dilakukan secara sederhana dengan menggunakan teknologi
sederhana sehingga produk yang dihasilkan mutunya masih rendah dan kurang
kompetitif. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya pemberdayaan usaha dengan
meningkatkan akses petani terhadap sumber-sumber permodalan, informasi
teknologi dan informasi pasar, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan
daya saing, sekaligus meningkatkan kesempatan kerja untuk masyarakat
perdesaan.
Program pengembangan pasca panen dan pengolahan ubi kayu
diimplementasikan melalui beberapa kegiatan berikut, yaitu: (1) Perumusan
kebijakan penanganan pasca panen ubi kayu, (2) Perumusan kebijakan
pengembangan sistem dan usaha-usaha pengolahan ubi kayu, (3) Pengembangan
sarana pasca panen dan usaha pengolahan ubi kayu, (4) Pengembangan teknologi
penanganan pasca panen dan teknologi pengolahan ubi kayu, (5) Pengembangan
diversifikasi produk olahan ubi kayu, (6) Penumbuhan dan pengembangan
agroindustri perdesaan berbasis ubi kayu, dan (7) Pembinaan industri pengolahan
9

ubi kayu yang mempunyai potensi ekspor. Melalui tujuh kegiatan tersebut di atas,
diharapkan akan terwujud: (1) Peningkatan kualitas hasil panen ubi kayu, (2)
Peningkatan efisiensi usaha industri pengolahan skala kecil dan rumah tangga di
perdesaan, (3) Peningkatan kualitas dan jenis olahan ubi kayu, (4) Volume dan
nilai impor produk olahan ubi kayu yang menurun, dan (5) Peningkatan volume
dan nilai ekspor produk olahan ubi kayu.
Dalam upaya meningkatkan nilai tambah ubi kayu, teknologi pengolahan
ubi kayu yang akan diterapkan diarahkan pada pengembangan industri: (1)
Industri proses dehidrasi dengan produk berupa gaplek, chips, pellet, tepung
tapioka dan lain-lain; (2) Industri proses hidrolisa dengan produk berupa gula
invert (tepung gula), high fructosa syrup, sirup glukosa dan sukrosa (gula cair
umumnya diimpor), dekstrosa, dan maltosa, dan (3) Industri proses fermentasi
dengan produk berupa alkohol, butanol, sorbitol, asam laktat dan sitrat,
monosodium glutamat dan glyseral.
2.5 Studi Kasus Pengolahan Ubi Kayu
Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan
kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan
sehingga menjadi barang jadi atau barang setengah jadi dan atau barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih
dekat kepada pemakai akhir.

Gambar 2. Ubi Kayu Sebagai bahan baku

10

Desa Pegajahan merupakan salah satu desa pengolah ubi kayu di


kecamatan Pegajahan. Hampir sebagian besar penduduknya bertani dan
pengusaha makanan ringan yang berbahan baku ubi kayu . Hanya saja untuk
perolehan bahan baku pengusaha pengolah tidak banyak memanfaatkan bahan
baku yang di peroleh dari hasil bertani sendiri. Hal ini dikarenakan sulit nantinya
untuk memasarkan hasil olahannya. Pengusaha pengolah lebih banyak
memanfaatkan jasa agen dimana agen berperan sebagai penyedia bahan baku dan
nantinya agen tersebut juga yang memasarkannya baik di dalam daerah maupun
pengiriman keluar daerah. Dalam hal ini, pengusaha atau pelaku produksi diberi
kemudahan karena langsung memperoleh bahan baku dan langsung bisa menjual
hasil olahannya tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi untuk memasarkan
hasil olahan karena agen tersebut yang kembali mengambil hasil olahan dari
bahan baku yang pengusaha pengolah beri kepada pengusaha atau pelaku
produksi. Para pelaku produksi memperoleh penerimaan sesuai harga yang telah
di tetapkan sebelumnya. Berdasarkan hasil survei kelapangan, pengusaha
pengolah ubi kayu lebih banyak memproduksi Mie Rajang yang nantinya banyak
dipasarkan ke Pekan Baru dan beberapa daerah lainnya.
Sama halnya dengan desa Kota Tengah kecamatan Dolok Masihul, desa
Pegajahan kecamatan Pegajahan ini juga merupakan desa yang potensial di lihat
dari segi ketersediaan lahan. Desa Pegajahan ini berada di sekitaran perkebunan
sawit milik pemerintah. Banyak masyarakat yang bertani ubi kayu hanya saja
luasannya lebih kecil bila di bandingkan dengan desa Kota Tengah hal ini di
karena di desa Pegajahan banyak masyarakat yang lebih senang untuk mengolah
ubi kayu dari pada bertani ubi kayu. Sebagian besar masyarakat desa Pegajahan
adalah petani padi sawah yang memiliki sedikit lahan ubi kayu di sekitar
perladangan sawahnya. Pengusaha pengolah menjadikan usaha pengolahan ubi
kayu sebagai tambahan pendapat selama masa menunggu panen padi sawah.
Selain itu, karena letak keberadaan desa Pegajahan kecamatan Pegajahan ini dekat
dengan daerah Perbaungan hingga daerah Bengkel yang terkenal sebagai pusat
penjualan makanan ringan baik yang berbahan baku ubi kayu maupun berbahan
baku lainnya menjadikan peluang pemasaran yang baik bagi pengusaha atau
pelaku produksi makanan ringan berbahan baku ubi kayu.
11

Adapun beberapa jenis produk olahan dan tahapan kegiatan pengolahan


ubi kayu tersebut, antara lain:
1. Mie Rajang :
a. Tahapan Pengolahan Mie Rajang:

Gambar 3. Pengolahan Mie Rajang


b. Analisis Usaha Pengolahan Mie Rajang:

12

Dari tabel diatas terlihat bahwa diperoleh penerimaan sebesar


Rp.11332800 belum dikurangi dengan biaya produksi. Pada total biaya
produksi diperhitungkan berbagai jenis pengeluaran yang mencakup
seluruh biaya, mulai dari biaya input (bahan),dan biaya-biaya yang terkait
dalam proses produksi sebesar Rp. 102238721.3. Setelah diperoleh
besarnya penerimaan dan total biaya produksi, maka dapat diperhitungkan
besarnya keuntungan (pendapatan bersih) yang diperoleh petani ubi kayu
dengan mengurangi penerimaan sebesar Rp. 113328000 dengan total biaya
produksi sebesar Rp. 102238721.3 sehingga diperoleh keuntungan
(pendapatan bersih) sebesar Rp. 11089278.66 yang berarti usaha
pengolahan menguntungkan untuk diusahakan.
2.

Opak Lidah
a. Tahapan Pengolahan Opak Lidah:

Gambar 4. Pengolahan Opak Lidah


b. Analisis Usaha Pengolahan Opak Lidah:
13

Dari tabel diatas terlihat bahwa diperoleh penerimaan sebesar Rp.


32400000 belum dikurangi dengan biaya produksi. Pada total biaya
produksi diperhitungkan berbagai jenis pengeluaran yang mencakup
seluruh biaya, mulai dari biaya input (bahan),dan biaya-biaya yang terkait
dalam proses produksi sebesar Rp. 23215397.6. Setelah diperoleh
besarnya penerimaan dan total biaya produksi, maka dapat diperhitungkan
besarnya keuntungan (pendapatan bersih) yang diperoleh petani ubi kayu
dengan mengurangi penerimaan sebesar Rp. 32400000 dengan total biaya
produksi sebesar Rp. 23215397.6 sehingga diperoleh keuntungan
(pendapatan bersih) sebesar Rp. 9184602.4 yang berarti usaha pengolahan
menguntungkan untuk diusahakan.

3. Mie Yeye
14

a. Tahapan Pengolahan Mie Yeye:

Gambar 5. Pengolahan Mie Yeye


b. Analisis Pengolahan Usaha Mie Yeye:

Dari tabel diatas terlihat bahwa diperoleh penerimaan sebesar Rp.


26400000 belum dikurangi dengan biaya produksi. Pada total biaya
15

produksi diperhitungkan berbagai jenis pengeluaran yang mencakup


seluruh biaya, mulai dari biaya input (bahan),dan biaya-biaya yang terkait
dalam proses produksi sebesar Rp. 20625000. Setelah diperoleh besarnya
penerimaan dan total biaya produksi, maka dapat diperhitungkan besarnya
keuntungan (pendapatan bersih) yang diperoleh petani ubi kayu dengan
mengurangi penerimaan sebesar Rp. 26400000 dengan total biaya
produksi

sebesar

Rp.

20625000

sehingga

diperoleh

keuntungan

(pendapatan bersih) sebesar Rp. 5775000 yang berarti usaha pengolahan


menguntungkan untuk diusahakan.
4. Rengginang
a. Tahapan Pengolahan Rengginang:

Gambar 6. Pengolahan Rengginang

b. Analisis Usaha Pengolahan Rengginang:

16

Dari tabel diatas terlihat bahwa diperoleh penerimaan sebesar Rp.


23040000 belum dikurangi dengan biaya produksi. Pada total biaya
produksi diperhitungkan berbagai jenis pengeluaran yang mencakup
seluruh biaya, mulai dari biaya input (bahan),dan biaya-biaya yang terkait
dalam proses produksi sebesar Rp. 19231728. Setelah diperoleh besarnya
penerimaan dan total biaya produksi, maka dapat diperhitungkan besarnya
keuntungan (pendapatan bersih) yang diperoleh petani ubi kayu dengan
mengurangi penerimaan sebesar Rp. 23040000 dengan total biaya
produksi

sebesar

Rp.

19231728

sehingga

diperoleh

keuntungan

(pendapatan bersih) sebesar Rp. 3808272 yang berarti usaha pengolahan


menguntungkan untuk diusahakan.

BAB III
17

PENUTUP
1.1 Kesimpulan

1.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
18

Oka, Nyoman. 2011. Kebijakan dan Program Pengembangan Agroindustri Ubi


Kayu. Jakarta: Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Novedtri, Rani. 2010. Analisis Kelayakan Usaha Tani dan Pengolahan Ubi Kayu.
Medan:

Universitas

Sumatera

Utara.

[Diakses

melalui

http://repository.usu.ac.id pada tanggal 17 Oktober 2011].

19

Anda mungkin juga menyukai