Pengolahan Ubi Kayu
Pengolahan Ubi Kayu
150310080098
Rakhmi Primadianthi
150310080103
Bernida H Munthe
150310080102
150310080115
Fakhrizal Maulana
150310080119
Wendi Irawan D
150310080137
Kelas: Agribisnis B
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Prospek usaha yang jelas merupakan faktor pendukung untuk mewujudkan
tujuan. Dengan demikian berlandaskan pada prospek, diharapkan semua pelaku
usaha bisa bersemangat dalam menjalankan fungsinya. Gambaran yang jelas
terhadap prospek menyebabkan semua anggota dalam suatu usaha mempunyai
ambisi dan motivasi untuk meraih prospek tersebut. Untuk kegiatan agribisnis,
selama manusia di bumi ini masih membutuhkan sandang, pangan dan perumahan
dalam kehidupannya tentu kegiatan agribisnis masih mempunyai prospek yang
cukup menjanjikan ( Krisnamurthi, 2009).
Persepsi agribisnis yang selama ini banyak dimengerti oleh masyarakat
luas adalah kegiatan budidaya atau non-farm activity yang sebetulnya dalam
defenisi lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan pertanian di bidang pertanian
secara khusus, kegiatan budi daya pertanian yang dapat digarap pun sangat
bervariasi. Rentang usaha dimulai dari skala sangat kecil atau skala hobi hingga
skala industri dengan teknologi yang cukup canggih (Krisnamurthi, 2009).
Pengembangan agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijakan di
sektor pertanian. Produksi sektor pertanian harus berorientasi kepada permintaan
pasar domestik, tetapi juga pasar internasional. Pola pertanian harus mengalami
tranformasi dari sistem pertanian subsistem yang berskala kecil dan pemenuhan
kebutuhan keluarga ke usahatani dalam skala yang lebih ekonomi. Hal ini
merupakan keharusan jika produk pertanian harus di jual ke pasar dan jika sektor
pertanian harus menyediakan bahan baku bagi sektor industri (Husodo, 2004).
Salah satu jenis agribisnis yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah
agribisnis ubi kayu. Ubi kayu adalah sayuran pokok penting karena kontribusinya
yang tinggi sebagai sumber kalori harian bagi jutaan orang. Seluruh produksi ubi
kayu terutama di Negara berkembang dan bagian terbesar berasal dari pertanian
kecil yang sering memiliki lahan yang di olah seadanya. Ubi kayu sangat penting
bagi penduduk pedesaan miskin sebagai tanaman tumpuan bahkan juga selama
musim kemarau dikarenakan tanaman ini toleransi terhadap kekeringan dan
2
periode panen yang fleksibel menjadikan ubi kayu sebagai tanaman pangan
cadangan yang sangat bernilai bagi penduduk miskin (Rubatzky, 1998).
Ubi kayu merupakan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung
di indonesia. Penyebaran tanaman ubi kayu meluas ke semua propinsi di
indonesia. Dalam hal ini ubi kayu baik lokal maupun luar negeri sangat besar.
Dimana ubi kayu untuk bahan pakan ternak, farmasi dan lain sebagainya yang
jumlahnya selama ini terus meningkat secara terus menerus dengan peningkatan
populasi daripada konsumen (Anonimous, 2009).
Ubi kayu merupakan tanaman umbi umbian yang dapat tumbuh di dataran
rendah dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Biasanya tanaman ini di
panen setelah berumur sekitar 10 bulan. Produksi ubi kayu Indonesia menepati
urutan kelima dunia. Ubi kayu sebagai sumber pati yang merupakan bahan baku
industri (Anonimous, 2009).
Sebagai bahan kaya pati, ubi kayu (kasava) merupakan bahan olahan
penting bagi pembuatan gula cair, khususnya sirup glukosa. Potensi pasarnya
cukup kuat karena semakin luas penggunaannya oleh berbagai industri makanan
dan industri obat obatan. Masyarakat berpeluang pula menambah nilai tambah
produksi ubi kayu mereka dengan mengolah menjadi sirup glukosa (Anonimous,
2009).
Disamping itu terdapat beberapa aneka ragam produk turunan dari ubi
kayu, sebagai berikut :
agribisnis
ubi
kayu
menjadi
sangat
penting.
Program
BAB II
4
PEMBAHASAN
Ubi kayu merupakan salah satu sumber pangan karbohidrat alternatif
terhadap beras. Komoditas ini juga dapat dikembangkan menjadi sumber devisa
negara. Namun demikian, hingga kini potensinya belum dikembangkan secara
optimal. Kemampuan tanaman ubi kayu untuk dapat tumbuh pada kondisi sedikit
air dan teknik budidaya tanaman yang relatif sederhana dan murah melahirkan
anggapan bahwa menanam dan bahkan mengonsumsi ubi kayu selalu diartikan
sebagai kemiskinan, karena ubi kayu akan dikonsumsi sebagai sumber pangan
alternatif terakhir, atau akan dikonsumsi apabila kekurangan pangan. Anggapan
seperti ini telah berdampak pada kurangnya upaya untuk mendorong ubi kayu
sebagai tanaman andalan ekspor. Pada kenyataannya budidaya tanaman ubi kayu
di daerah sentra produksi, seperti di Lampung, umumnya dilakukan secara
tradisional sehingga produktivitas yang dicapai masih jauh dari potensi yang
seharusnya dapat dicapai (sekitar 50% dari potensi maksimalnya).
Kondisi di sub sistem hilir (pasca panen, pengolahan dan pemasaran) ubi
kayu saat ini juga belum menggembirakan. Industri pengolahan ubi kayu yang
berkembang masih sangat terbatas pada produk-produk tertentu, seperti gaplek,
chip, dan tepung, sedangkan untuk produk olahan lainnya seperti starch (pati)
yang banyak dibutuhkan industri pengolahan lebih lanjut (pangan dan non
pangan) belum berkembang dengan baik.
2.1 Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu
Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar ke-4 di dunia setelah
Nigeria, Brasil, dan Thailand. Dibandingkan dengan produksi tahun 2002 yang
hanya sekitar 16,9 juta ton, produksi ubi kayu pada tahun-tahun selanjutnya
menunjukkan peningkatan, yakni menjadi sekitar 19,3 juta ton pada tahun 2005.
Produksi ubi kayu Indonesia pada on farm selalu berimbang dengan Thailand,
bahkan pernah sedikit melampaui produksi Thailand (18,47 juta berbanding 18,43
juta ton). Meskipun luas panen ubi kayu sejak tahun 2000 hingga 2005 tidak
menunjukkan peningkatan, namun total produksi ubi kayu dapat ditingkatkan
melalui peningkatan produktivitas. Tingkat produktivitas pada tahun 2005 masih
5
cukup rendah, berkisar 16 ton/ha, padahal potensi hasil dapat mencapai 40 ton/ha
umbi segar. Namun demikian, produktivitas tersebut telah meningkat dua kali
lipat dibandingkan produktivitas pada tahun 1973.
Sebagian besar produksi ubi kayu Indonesia dihasilkan dari tiga propinsi
di Pulau Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), mencapai 53% ; sedangkan sisanya
diproduksi di Lampung (sekitar 20%), dan propinsi lainnya (NTT, Sulsel, dll)
sebesar 27%. Propinsi Lampung adalah yang paling besar kontribusinya dalam
memasok ubi kayu nasional. Total luas tanam ubi kayu di propinsi Lampung pada
tahun 2006 diperkirakan mencapai 266.645 ha dengan tingkat produktivitas
sekitar 19,67 ton/ha (lebih tinggi dari rata-rata nasional) dan total produksi sebesar
5.084.195 ton (BPS 2005).
Sejak dua dekade terakhir, propinsi Lampung sudah dikenal sebagai sentra
produksi ubi kayu dan sentra produk pangan berbasis ubi kayu. Namun demikian,
secara umum peran ubi kayu sebagai sumber pendapatan petani belum
menggembirakan. Harga ubi kayu di tingkat petani selalu pada kondisi suboptimal dan tidak menguntungkan, baik bagi petani maupun bagi industri
pengguna ubi kayu. Rendahnya kemampuan petani ubi kayu di propinsi Lampung
dalam penerapan teknologi usahatani menyebabkan rendahnya produktivitas.
Akibatnya pendapatan yang diterima petani relative rendah dan berfluktuasi. Di
samping itu, belum terintegrasinya pola kawasan agribisnis mulai dari hulu, on
farm, pasca panen, pengolahan hingga pemasaran dalam menangani ubi kayu, dan
keterbatasan modal usaha mengakibatkan belum optimalnya peran ubi kayu dalam
perekonomian petani dan industri berbasis ubi kayu.
2.2 Kondisi Industri Pengolahan Ubi kayu
Selain dikonsumsi langsung, ubi kayu merupakan bahan baku industry
pengolahan, baik industri pangan maupun non pangan, di dalam dan luar negeri.
Jenis olahan ubi kayu yang berkembang di Indonesia (meskipun belum optimal),
antara lain adalah: (1) cassava dried (gaplek) untuk industry makanan dan pakan
ternak, (2) cassava starch (pati) untuk bahan baku industry kertas dan cat, (3)
tepung cassava (Tapioka), (4) etanol, dan (5) olahan pangan lainnya seperti sanjai
dan chips (keripik). Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan
6
produksi ubi kayu Indonesia dengan Thailand hampir sama, namun demikian
industri olahan ubi kayu di Thailand jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
di Indonesia.
Berkembangnya industri olahan ubi kayu di Thailand tersebut mampu
mengangkat negara tersebut menjadi negara pemasok utama dunia untuk cassava
dried, cassava starch, dan cassava flour. Sebaliknya, Indonesia hanya mampu
memasok 24% untuk cassava dried, 12% untuk cassava starch, dan 17 23%
untuk tepung kasava; bahkan Indonesia masih mengimpor cassava flour dan
starch untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Upaya meningkatkan nilai tambah dengan menggalakkan industry
pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka di tingkat petani (skala perdesaan)
telah dilakukan pada tahun 2000. Di propinsi Lampung, program peningkatan
nilai tambah ubi kayu di tingkat perdesaan dilakukan melalui proyek
pengembangan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA). Dalam proses
pengembangannya, diharapkan ITTARA dan petani merupakan mitra yang saling
menguntungkan dan saling ketergantungan. Dengan berkembangnya ITTARA
atau industri pengolahan skala kecil lainnya, diharapkan petani sebagai mitra
pemasok bahan baku ubi kayu dapat menjual hasil panen ubi kayu, meskipun
dalam bentuk basah. Teknologi pengeringan yang digunakan ITTARA adalah
teknologi sederhana di mana tepung dikeringkan (dijemur) di bawah sinar
matahari. Produk hasil olahan dari ITTARA diharapkan dapat dipasarkan
langsung ke industri pangan berbasis produk olahan ubi kayu di Lampung
maupun ke Industri lainnya yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar
ITTARA, yang pembangunannya difasilitasi oleh Pemerintah, tidak dimanfaatkan
atau tidak berproduksi secara optimal. Masalah yang dihadapi bersifat klasik, di
mana masing-masing subsistem mulai dari hulu dan on farm hingga pemasaran
belum mampu beroperasi secara efisien, baik dari sisi mutu maupun harga. Pada
kenyataannya, kemitraan yang saling menguntungkan antara industri pangan
berbasis produk olahan ubi kayu yang sudah beroperasi di Lampung dengan
ITTARA tidak terjadi meskipun upaya fasilitasi sudah dilakukan. Oleh karena itu,
fasilitasi pemerintah baik pusat maupun daerah sangat diperlukan untuk
7
ubi kayu yang mempunyai potensi ekspor. Melalui tujuh kegiatan tersebut di atas,
diharapkan akan terwujud: (1) Peningkatan kualitas hasil panen ubi kayu, (2)
Peningkatan efisiensi usaha industri pengolahan skala kecil dan rumah tangga di
perdesaan, (3) Peningkatan kualitas dan jenis olahan ubi kayu, (4) Volume dan
nilai impor produk olahan ubi kayu yang menurun, dan (5) Peningkatan volume
dan nilai ekspor produk olahan ubi kayu.
Dalam upaya meningkatkan nilai tambah ubi kayu, teknologi pengolahan
ubi kayu yang akan diterapkan diarahkan pada pengembangan industri: (1)
Industri proses dehidrasi dengan produk berupa gaplek, chips, pellet, tepung
tapioka dan lain-lain; (2) Industri proses hidrolisa dengan produk berupa gula
invert (tepung gula), high fructosa syrup, sirup glukosa dan sukrosa (gula cair
umumnya diimpor), dekstrosa, dan maltosa, dan (3) Industri proses fermentasi
dengan produk berupa alkohol, butanol, sorbitol, asam laktat dan sitrat,
monosodium glutamat dan glyseral.
2.5 Studi Kasus Pengolahan Ubi Kayu
Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan
kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan
sehingga menjadi barang jadi atau barang setengah jadi dan atau barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih
dekat kepada pemakai akhir.
10
12
Opak Lidah
a. Tahapan Pengolahan Opak Lidah:
3. Mie Yeye
14
sebesar
Rp.
20625000
sehingga
diperoleh
keuntungan
16
sebesar
Rp.
19231728
sehingga
diperoleh
keuntungan
BAB III
17
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
18
Universitas
Sumatera
Utara.
[Diakses
melalui
19