Anda di halaman 1dari 15

kenabian dalam islam

KENABIAN DALAM AL-QUR’AN


Muqowim[1]

Pendahuluan
Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh umat Islam adalah percaya kepada para
nabi yang telah diutus oleh Allah kepada umat manusia. Sebab, merekalah yang
menyampaikan risalah ketuhanan dari Allah. Mereka berperan sebagai Hermes, yang
menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan Tuhan yang absolut dan mutlak kepada
manusia sebagai makhluk relatif dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
oleh mereka. Dengan demikian, posisi seorang nabi sangat decisive dalam agama,
khususnya agama Islam.
Artikel ini mencoba mengkaji terma kenabian yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama
berkaitan dengan fungsi kenabian, dengan menggunakan pendekatan tematik (mawdlu’y).
Ayat-ayat yang memuat materi tentang nabi dan misinya diambil dan dikumpulkan
kemudian dipilih dan dicari hubungan maknanya yang mengacu pada persoalan fungsi
diutusnya seorang nabi dan rasul. Selain itu, dilihat bagaimana penafsiran yang telah
dilakukan oleh para mufasir terdahulu berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam membahas persoalan ini. Pertama,
nabi merupakan sosok sentral dalam agama yang menjadi figur perantara antara pikiran
Tuhan dengan pikiran manusia.[2] Kedua, ada berbagai penafsiran tentang terma nabi
sehingga memunculkan adanya perbedaan pendapat tentang apa dan siapa yang disebut
nabi itu. Sebagai contoh beberapa pendapat menganggap bahwa Sang Budha adalah
sebagai nabi, sementara yang lain menganggap tidak. Ketiga, dalam tubuh umat Islam
sendiri pun ada aliran yang memaknai terma nabi secara berbeda. Sebagai misal Gerakan
Ahmadiyah Qadliyan yang menganggap masih ada nabi setelah Muhammad, yakni Mirza
Ghulam Ahmad.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka artikel ini akan mengkaji terma nabi yang
terdapat dalam al-Qur’an. Beberapa persoalan yang akan dikaji dalam hal ini yaitu
pengertian Nabi, sejarah kenabian, istilah nabi dalam al-Qur’an, fungsi dan misi
kenabian.

Kenabian dalam Sejarah


Dalam kepercayaan Islam, sebelum Muhammad saw, orang yang bertugas sebagai nabi
memang banyak. Dalam cerita yang banyak menghiasi tafsir al-Qur’an, ada pendapat
yang mengatakan bahwa jumlah nabi sekitar 124.000 orang, di antaranya 315 orang
berkedudukan sebagai rasul.[3] Tetapi al-Qur’an sendiri hanya mengatakan, “Kami
mengutus beberapa utusan sebelum engkau (Muhammad). Di antara mereka itu ada yang
telah Kami ceritakan kepadamu, dan ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”[4]
Kandungan ayat ini memang bisa ditafsirkan, bahwa jumlah nabi itu memang banyak dan
hanya sebagian saja yang disebut dalam al-Qur’an.
Meskipun jumlah nabi mencapai ratusan ribu dan rasul mencapai ratusan, namun di
dalam al-Qur’an, yang disebut secara eksplisit hanya 25 nabi dan rasul saja yang tersebar
di berbagai surat. Mereka itu adalah Adam,[5] Idris,[6] Nuh,[7] Hud,[8] Shalih,[9] dan
Ibrahim.[10] Selain itu, terdapat juga nama-nama seperti Luth,[11] Ismail,[12] Ishaq,[13]
Ya’qub,[14] Yusuf,[15] Ayyub,[16] Syu’ayb,[17] Musa,[18] Harun,[19] Dzu ‘l-Kifl,[20]
Dawud,[21] Sulayman,[22] Ilyas,[23] Ilyasa’,[24] Yunus,[25] Zakariya,[26] Yahya,[27]
‘Isa,[28] dan Muhammad.[29] Di antara nabi itu terdapat 5 orang rasul yang mempunyai
kelebihan yang disebut ulu al-‘azm, yang berarti “orang yang berhati teguh” dan
memiliki kesabaran yang tangguh.[30] Mereka adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa,
dan Nuh.
Daftar nama nabi-nabi secara tidak berurutan disebutkan dalam al-Qur’an dalam surat al-
An’am (6): 84-86, yang artinya :
Dan itulah hujjah Kami yang diberikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.
Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahinya Ishaq dan
Ya’qub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami berikan petunjuk dan kepada Nuh
di masa sebelumnya juga telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari
keturunannya (Nuh), yakni Dawud, Sulayman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan
Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. Dan Ismail,
Ilyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat
umumnya di masanya.
Tentang ayat tersebut Muhammad Rasyid Ridla memberikan ulasan menarik mengenai
maksud Allah mengurutkan nama demikian. Ridla membagi kelompok nabi tersebut ke
dalam tiga bagian. Bagian pertama, yaitu terdiri dari Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf,
Musa, dan Harun. Kelompok ini diberikan oleh Allah kerajaan dan kedudukan dalam
pemerintahan, bersama dengan nubuwwah dan risalah. Dawud dan Sulaiman merupakan
raja yang kaya dan penuh dengan nikmat.[31] Ayyub dan Yusuf masing-masing adalah
menjadi seorang amir yang kaya, besar, dan muhsin dan menjadi seorang wazir agung.
Nabi Musa dan Harun menjadi seorang hakim namun bukan seorang raja. Keduanya,
menurut Ridla lebih utama dalam hal hidayah agama daripada Ayyub dan Yusuf, dan
Ayyub dan Yusuf lebih utama daripada Dawud dan Sulaiman.[32]
Kelompok kedua yakni terdiri dari Zakariya, Yahya, ‘Isa, dan Ilyas. Mereka sama-sama
terkenal dalam kezuhudannya di dunia dan tidak menyukai kesenangan perhiasan,
kekuasaan, dan harta. Dan, bagian yang terakhir yaitu kelompok Isma’il, Ilyasa’, Yunus,
Luth, dan yang lainnya disebutkan tidak termasuk kelompok yang pertama maupun
kedua.
Selain itu, sebagian daftar nama para nabi disebut juga terdapat dalam surat lain, yaitu
dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ (4): 163. Sedangkan nama nabi-nabi lain disebut secara
terpencar di berbagai ayat dan surat. Menurut Hadiyah Salim, Khaidlr termasuk salah
seorang nabi yang ilmunya lebih tinggi dari Musa.[33] Namun, ia bukanlah seorang rasul.
Bey Arifin[34] bahkan menyebut ‘Uzair yang ada dalam al-Qur’an[35] sebagai nabi.
Muhammad Ali menyebut nama lain, yaitu Luqman dari Ethiopia dan Dzu al-Qarnayn
sebagai nabi.[36]
Hal yang masih diperdebatkan hingga kini adalah apakah Adam itu seorang nabi, rasul,
manusia pertama, atau ketiga-tiganya ? Bahkan muncul pertanyaan apakah Adam itu
tokoh historis ataukah hanya simbolis saja ? Sebagian pendapat mengatakan bahwa al-
Qur’an tidak secara tegas menyebut Adam sebagai nabi, melainkan sebagai khalifah fi al-
ardl, wakil Tuhan di bumi.[37] Namun, karena alasan bahwa ia seorang khalifah di muka
bumi itulah, maka ia dapat digolongkan sebagai seorang nabi atau rasul.
Pengertian Nabi
Istilah nabi berasal dari kata naba’, yang berarti warta (news), berita (tidings), cerita
(story), dan dongeng (tale).[38] Ini tentu saja dimengerti sebagai kata yang berasal dari
bahasa Arab. Dalam al-Qur’an, kata nabi, yang jamaknya nabiyun atau anbiya’, berasal
dari satu akar kata yang sama yaitu naba’ (n-b-‘), bersama dengan beberapa kata yang
lain seperti nubuwah (prophecy, ramalan dan prophethood, kenabian), nabba’a dan
anba’a (to tell atau bercerita) dan istanba’a (meminta untuk diceritakan).[39] Kata nabi
disebut sebanyak 75 kali dalam 20 surat, sedangkan kata naba’ sendiri disebut sebanyak
29 kali dalam 21 surat.
Salah satu ayat yang menyebut kata nabi adalah terdapat dalam surat Maryam (19): 30-
31, yang artinya :
Berkata ‘Isa: “Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah. Dia memberikan sebuah Kitab
dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di
mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan
menunaikan zakat selama aku hidup; dan memberkati ibuku, dan Dia tidak menjadikan
aku seorang yang sombong lagi celaka; Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali.”
Dalam ayat ini ‘Isa menjelaskan dirinya sendiri sebagai seorang hamba Allah biasa,
maksudnya bukan putra Allah, dia telah pula diberi Kitab, yakni Injil dan ditetapkan
sebagai seorang nabi. Dengan begitu, ‘Isa adalah orang yang diberkati Allah dan ia
merasakan berkat itu. Tetapi ia mendapat misi kenabian, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan shalat dan menunaikan zakat.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian tentang istilah nabi, berkaitan dengan
kata naba’ yang maknanya berita, kabar, warta atau cerita. Makna sesungguhnya dari kata
naba’ ini perlu dilihat dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an sendiri,[40] seperti misalnya
dalam surat Alu Imran (3): 43, yang artinya:
Inilah sebagian berita (naba’) yang Kami wahyukan kepadamu. Dan engkau tidak berada
di antara mereka tatkala mereka melemparkan pena mereka (untuk menentukan) siapa di
antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan engkau tidak berada di antara mereka
tatkala mereka bertengkar satu sama lain.
Dalam penjelasan ensiklopedia karya Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam,
makna nabi adalah seorang yang menjalankan tugas kenabiannya dalam kerangka wahyu
yang telah ada, berlawanan dengan rasul, yang membawa wahyu baru.[41] Rasul, secara
harfiah berarti pesuruh atau diutus. Kata jamaknya adalah rusul. Al-Qur’an sering pula
menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu “mereka yang diutus”. Seorang
rasul, menurut Glasse mengemban misi membawa religi baru atau wahyu baru dalam
konteks masyarakatnya. Mereka itu disebut juga ulu al-‘azm.[42] Menurut al-Tabary,
disebut ulu al-‘azm karena mereka mempunyai kesabaran dan keuletan dalam
menghadapi berbagai cobaan ketika menyampaikan amr al-ma’ruf nahy al-munkar.[43]
Al-Qur’an tidak secara spesifik menyebut para rasul ini di antara para nabi. Tetapi para
ahli tafsir menyebut Nabi-nabi seperti Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., ‘Isa a.s., dan
Muhammad s.a.w. sebagai Nabi-nabi dengan kualitas itu.[44] Rasul, biasanya berkaitan
atau dekat dengan umatnya, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an s. Yunus/10:47,
yang artinya:
Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah
keputusan di antara mereka dengan adil dan mereka (umat) itu sedikit pun tidak dianiaya.
Berkaitan dengan ayat tersebut Ibn Kathir dalam tafsirnya mengatakan bahwa diutusnya
seorang rasul oleh Allah dengan membawa ajaran dari Tuhan sebagaimana yang tertuang
dalam kitab yang dibawanya. Di dalamnya terkandung ajaran mengenai hal-hal yang baik
untuk dikerjakan dan yang jelek untuk ditinggalkan. Ketika membawa ajaran ini, nabi
senantiasa dijaga oleh Allah melalui utusannya yang bernama malaikat.[45]
Menurut al-Tabary, berkaitan dengan ayat tersebut, seorang rasul diutus oleh Allah untuk
mengajak kepada agama Allah dan mentaati-Nya. Maka, ketika di akhirat kelak tidak ada
alasan bagi umat manusia (suatu kaum) untuk mengatakan bahwa mereka (manusia)
belum pernah diajak untuk taat kepada Tuhan, sebab pada saat itulah Tuhan akan
membalas setiap amal perbuatan manusia. Bagi yang beramal kebajikan akan dibalas
dengan surga. Golongan ini oleh al-Tabary disebut sebagai orang beriman. Sedangkan
bagi mereka yang beramal kejelekan akan dibalas dengan siksa di neraka. Golongan ini
oleh al-Tabary disebut dengan orang kafir. Inilah letak keadilan Tuhan dalam ayat
tersebut.[46]
Sebagai contoh dari ayat tersebut adalah Nabi Musa dan Harun yang dikirim oleh Allah
pada bangsa Israil yang ditindas oleh Fir’awn. Misi utamanya adalah untuk
membebaskan bangsa Isra’il dari penindasan dan membangun suatu umat baru yang
berdasarkan pada syari’at Allah di tempat lain yang dijanjikan. Bagi mereka yang
mengikuti ajaran Musa dan Harun maka akan selamat dari siksa neraka, sedangkan bagi
mereka yang tidak taat akan dimasukkan ke neraka. Hanya saja, sebelum era Muhammad,
mayoritas umat yang membangkang dan tidak taat terhadap ajaran yang dibawa oleh para
nabi langsung diberi peringatan oleh Allah berupa bencana atau semacamnya.[47]
Sedangkan bagi umat Muhammad tampak berbeda dengan kaum sebelumnya, di mana
masih “diberi kesempatan” oleh Allah untuk bertobat, atau siksa akan diberikan ketika di
akhirat, meskipun ada indikasi bahwa Allah juga memberikan siksa secara langsung
kepada mereka yang tidak mau membaca ayat-ayat-Nya, seperti kasus penyakit AIDS
yang belum ada obatnya bagi mereka yang tidak mau menjaga kemaluannya.
Kata nabi berasal dari kata naba’ (jamaknya: anbiya’) yang artinya, menurut Mawlana
Muhammad ‘Ali adalah “pemberitahuan yang besar faedahnya,” yang menyebabkan
orang mengetahui sesuatu.[48] Imam al-Raghib al-Asfahany dalam kitabnya al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an menambahkan bahwa berita itu bukanlah sembarang berita, tetapi
berita yang tidak mungkin salah.
Tentang istilah nabi ini, Gibb dan Kramers memberikan keterangan lain.[49] Mereka
mengatakan bahwa istilah ini merupakan pinjaman dari kata Ibrani, nabi dan Aram n-b-a.
Istilah ini baru muncul pada ayat-ayat dalam periode Makkah kedua. Tetapi keduanya
tidak menjelaskan apa arti kata itu. Memang, al-Qur’an sering meminjam istilah-istilah
non-Arab, seperti bahasa Ibrani. Tetapi setelah ditampilkan dalam al-Qur’an, istilah-
istilah itu selalu mengandung muatan makna baru yang berbeda dari arti lamanya.
Dalam al-Qur’an, kata nabi dan rasul memang dipergunakan secara bergantian. Untuk
membedakan artinya, ulama melihat pada arti katanya. Dari asal katanya, istilah nabi
menekankan segi kesanggupannya menerima berita Ilahi (wahyu), sedangkan kata rasul
menekankan pada misinya untuk menyampaikan risalah atau nubuwah pada manusia,
walaupun rasul, atau utusan, adakalanya bukan manusia, melainkan juga malaikat.[50]
Dengan demikian seorang nabi menerima wahyu hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan
seorang rasul menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia.
Salah satu keterangan tentang terma nabi dan rasul dalam al-Qur’an diberikan oleh al-
Qur’an surat al-An’am (6): 89, yang artinya:
Mereka adalah orang-orang yang telah Kami beri kitab, hukum dan ramalan (nubuwah).
Karena itu jika mereka menolak hal (tiga kriteria) itu, niscaya Kami akan
menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya.
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa nabi itu mempunyai tiga kriteria. Pertama,
menerima wahyu yang kemudian terhimpun dalam suatu kitab. Kedua, membawa hukum
atau syari’at sebagai pedoman cara hidup, karena itu maka teladan nabi dan rasul itu
merupakan sumber hukum. Dan ketiga, berkemampuan memprediksi berbagai hal di
masa yang akan datang, sebagaimana terlihat pada Nabi Nuh, Ibrahim atau Luth yang
telah memperingatkan umatnya, sekalipun telah didustakan. Nabi Muhammad sendiri,
berdasarkan wahyu Ilahi pernah meramalkan dengan tepat kekalahan Persi dalam
berperang melawan Roma. Karena itu maka ayat selanjutnya mengatakan: “mereka itulah
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”[51]
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri juga belajar dari pengalaman nabi-nabi dan rasul-rasul
sebelumnya dalam perjuangannya.
Menurut al-Tabary, ayat dari surat al-An’am tersebut sangat terkait dengan ayat
sebelumnya[52] yang membicarakan tentang diutusnya para nabi untuk menyampaikan
risalah dari Tuhan yang berupa agama Islam kepada umat manusia.[53] Risalah tersebut
tertuang dalam kitab-kitab para nabi seperti suhuf Ibrahim dan Musa, kitab Zabur (Nabi
Dawud), kitab Injil (Nabi Isa), dan kitab al-Qur’an (Nabi Muhammad). Di dalam kitab-
kitab tersebut terdapat hukum-hukum dari Tuhan. Al-hukm dalam ayat tersebut diartikan
dengan al-lubb dan al-‘aql. Sedangkan al-nubuwah diartikan dengan persaksian.[54]

Nabi dan Rasul


Utusan-utusan Allah kepada umat manusia oleh al-Qur’an dinamakan nabi dan rasul.[55]
Tidak seperti yang terdapat dalam Bibel, di dalam al-Qur’an Nabi yang “menyampaikan
khabar” tidak berarti “yang menerangkan keadaan di masa mendatang”, tetapi “yang
menyampaikan khabar dari Allah”. Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan
menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Itulah sebabnya mengapa
istilah-istilah “yang menyampaikan kabar gembira” dan “yang menyampaikan
peringatan” sering dinyatakan al-Qur’an, terutama sekali di masa-masa awal kenabian
Muhammad.[56] Rasul berarti “utusan”, yang diutus oleh Allah kepada umat manusia
walaupun di dalam al-Qur’an perkataan rasul kadang-kadang dikenakan juga kepada
malaikat yang menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi; di dalam pengertian yang
terakhir ini istilah sufara’ (plural dari safir yang berarti “duta”) hanya dipergunakan
sekali saja, yaitu di dalam surat ‘Abasa (80): 15.[57] Secara tradisional para mufasir
Muslim membuat sebuah perbedaan di antara nabi dengan rasul: nabi adalah utusan Allah
yang tidak membawakan hukum (syari’ah) dan, mungkin pula, kitab Allah kepada
manusia; sedang rasul adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah.
Walaupun perbedaan yang tegas ini masih dapat diragukan kebenarannya karena al-
Qur’an menyebutkan tokoh-tokoh religius tertentu sebagai nabi dan rasul (misalnya lihat
Q.S. al-A’raf (7): 158;[58] Q.S. Maryam (19): 51,[59] 54[60]), namun jelas sekali di
antara keduanya ada perbedaan; misalnya seperti yang terlihat di dalam ayat-ayat: “Dan
Kami tidak mengutus rasul atau nabi sebelum engkau.”[61] Kemudian perbedaan inipun
terlihat di dalam kenyataan bahwa perkataan nabi semakin sering dipergunakan di dalam
al-Qur’an sejak periode Makkah yang terakhir dan periode Madinah.[62] Kesimpulannya,
sebutan rasul menunjukkan peranan yang lebih penting daripada seorang nabi. Seorang
nabi dapat berperan sekedar sebagai pembantu rasul, misalnya Harun yang berperan
sebagai pembantu Musa (Q.S. Maryam (19): 51, 53[63]), walaupun rasul-rasul (atau lebih
tepatnya : mursal, “yang diutus”) dapat ditugaskan Allah secara bersama-sama.[64]
Menurut Ibn Kathir, yang dimaksud dengan para rasul ditugaskan secara bersama-sama
adalah dalam rangka menyampaikan keimanan kepada Allah. Semua nabi dan rasul
mempunyai misi yang sama yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini dapat dilihat
dari ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab yang diberikan kepada mereka tidak ada
yang saling bertentangan, kecuali yang telah ada campur tangan manusia untuk merubah
kitab tersebut.[65] Walaupun kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah,[66] namun tidak
semua nabi mempunyai tingkatan yang sama, karena di dalam al-Qur’an dikatakan
“Kami telah membuat nabi-nabi tertentu lebih tinggi daripada yang lain-lainnya”[67] dan
Nabi Muhammad disuruh “bersabar (di dalam menghadapi cobaan-cobaan) seperti
kesabaran rasul-rasul yang teguh.”[68]

Misi Kenabian
Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[69]
Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri
kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia.
Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta
pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya,
dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-
Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-
Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Berkaitan dengan misi nabi yang pertama, yakni mengajak kepada ketauhidan,
sebagaimana tersirat dalam surat al-Ahzab: 45 tersebut, Ibn Kathir dalam tafsirnya
mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad yang terdapat dalam Kitab Taurat.[70] Menurut al-Qurtuby, ayat ini
dimaksudkan untuk memulyakan nabi dan kaum mukmin. Nabi mempunyai enam nama
atau sebutan, yakni Muhammad, Ahmad, al-Mahiy, al-Hashir, dan al-‘Aqib.[71]
Berkaitan dengan surat al-Hadid: 25, al-Tabattaba’i menyatakan bahwa tujuan Allah
mengutus seorang rasul dan menurunkan al-Kitab serta Mizan adalah untuk menegakkan
keadilan bagi sesama manusia atau untuk menegakkan masyarakat yang adil. Selain itu,
ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa diutusnya seorang rasul oleh Allah
adalah untuk menguji mereka dalam mempertahankan kebenaran dalam masyarakat.[72]
Yang dimaksud dengan mizan di sini adalah agama Islam itu sendiri yang mengatur
persoalan akidah dan muamalah. Dengan demikian, tujuannya tidak lain kecuali untuk
mencari kebahagiaan hidup baik secara sosial maupun individual ketika di dunia dan di
akhirat.[73]
Menurut al-Tabattaba’i lebih lanjut bahwa diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti
yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di
antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran
tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi,
yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan
aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia.
Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya
bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[74] Sedangkan
dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni
menyangkut persoalan ibadah.
Al-Maraghy ketika menafsirkan surat al-Hadid tersebut mengatakan bahwa alasan para
rasul diberi al-bayyinat, al-kitab, dan al-mizan, adalah ingin menunjukkan dan
membuktikan bahwa mereka memang diutus oleh Allah untuk menyampaikan kebenaran.
[75] Adapun yang terkandung di dalam kitab dan mizan tersebut adalah ajaran dari Allah
untuk menegakkan ketauhidan dan keadilan sehingga tercapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
Senada dengan Mutahari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi
dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.[76]
Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan
dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai
ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23,[77] Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27,[78]
dan Q.S. al-Baqarah (2): 21.[79] Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan
pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati,
menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari penalaran deduktif.[80] Tugas
yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building. Untuk
itu, ada dua hal penting mengenai hal ini, yaitu taqwa dan tazkiyah.
Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2):
151[81] maupun al-Jum’ah (62): 2,[82] ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul.
Pertama, membacakan ayat-ayat[83] Tuhan. Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia.
Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[84]
Secara umum misi seorang nabi/rasul ada dua. Pertama adalah mengajak manusia kepada
Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah monotheisme teoritis
dan monotheisme praktis yang bersifat individual. Monoteisme teoritis berkaitan dengan
ilmu bagaimana bertauhid, sedangkan monoteisme praktis sangat terkait dengan
bagaimana menerapkan ilmu tersebut. Misi kedua adalah menegakkan keadilan di
tengah-tengah masyarakat, yang berarti menegakkan monotheisme praktis yang bersifat
sosial. Munculnya wacana pemikiran kontemporer tentang terma tauhid individual dan
tauhid sosial tampaknya sangat sejalan dengan misi seorang rasul tersebut.

Pasca Kenabian : Tugas Siapa ?


Di antara para nabi dan rasul, Nabi Muhammad dianggap sebagai nabi dan rasul yang
terakhir (khatam al-anbiya’ wa al-mursalin). Sesudahnya sudah tidak ada lagi nabi. Hal
ini didasarkan pada Q.S. al-Ahzab (33): 40, yang artinya: “Dan Muhammad bukanlah
ayah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan pamungkas
para nabi (khatam al-nabiyin). Dan Allah senantiasa Yang Maha Tahu akan segala
sesuatu.”
Kata khatam dipakai dalam ayat ini dan bukannya khatim, karena yang dimaksud adalah
bahwa Nabi Muhammad bukan sekedar nabi terakhir atau penutup, melainkan juga
mengandung arti menggenapi, melengkapi atau menyempurnakan. Hal ini dapat dilihat
dari surat al-Ma’idah (5); 3[85] yang merupakan wahyu terakhir yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad. Berkaitan dengan berakhirnya rangkaian jalur kenabian pada diri
Muhammad, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah siapa yang berhak dan
bertanggung jawab meneruskan misi kenabian sebagaimana yang tertuang dalam kitab al-
Qur’an ? Menurut hadis Rasulullah dikatakan bahwa sebagai pewaris para nabi adalah
para ulama (al-‘ulama warathat al-anbiya’).[86]
Yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama tidak lain adalah misinya. Dalam hal ini,
karena Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan telah mengajarkan agama yang
sempurna, maka tugas para ulama adalah meneruskan misi kenabian Muhammad tersebut
sebagaimana yang telah terkandung di dalam kitab al-Qur’an. Selain itu, mengingat
posisi dan fungsi Rasulullah sendiri sebagai suri tauladan bagi umat manusia, maka
konsekuensinya semua yang datang dari diri Rasulullah harus diikuti, dalam hal ini yaitu
sunnah, atau meminjam istilah Fazlur Rahman yakni living sunnah, -nya. Mengingat
konteks masa yang dihadapi oleh Rasulullah dengan umatnya sangat berbeda, maka
ulama dituntut kejelian dan kepandaiannya untuk menafsirkan apa yang terkandung
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sehingga ajaran Islam senantiasa aktual dengan
perkembangan zaman, salih likulli zaman wa makan. Inilah yang barangkali disebut
dengan peran ulama sebagai pembaharu, bukan dalam pengertian membuat ajaran baru,
namun memperbarui pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ulama tidak harus dimaknai secara sempit sebagai orang yang hanya mengetahui ajaran
agama sebagaimana yang terkandung dalam aspek fiqh saja, namun ulama harus
mempunyai wawasan yang luas selain agama. Sebab, agama Islam tidak hanya
menyangkut persoalan ritual saja, namun juga mengembangkan, menyebarkan, dan
melestarikan aspek-aspek non-ritual. Dalam istilah sekarang, para cendekiawan termasuk
ke dalam kelompok ulama, sebab mereka adalah orang yang terlibat dalam data dan
gagasan analitis, orang yang bergelut dalam penerapan praktis, dan orang yang berjuang
untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif.[87] Mereka bukan saja harus
mengandung pengertian sejenis pemikiran tertentu, tetapi juga ada hubungannya dengan
socio-cultural dissent, bahwa dengan pencerahan ilmiah, mereka terdorong untuk
memberikan kontribusi praktis bagi masyarakatnya, dan karena keterikatannya pada nilai-
nilai yang dimuliakannya (ajaran Islam), mereka cenderung kecewa terhadap kemapanan
yang dianggap statis. Inilah orang yang oleh Ali Syariati disebut dengan raushan fikr,
orang tercerahkan.
berkaitan dengan pendapat di atas, meminjam istilah Iqbal, bahwa ulama harus
mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness), di mana cakrawala larut
dalam dirinya, bukan kesadaran mistik (mystical consciousness), yakni ketika ia larut
dalam cakrawala.[88] Hal ini menuntut keaktifan seorang ulama untuk selalu responsif
terhadap perkembangan dan tuntutan jaman dalam kerangka mengkontekstualisasikan
ajaran Islam.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa catatan :
1. Istilah nabi berbeda dengan istilah rasul, terutama dalam hal misinya. Tidak semua
nabi ketika menerima wahyu dari Allah tidak dituntut untuk menyampaikannya kepada
umat, sedangkan seorang rasul ketika menerima wahyu harus disampaikan kepada umat
manusia.
2. Ada dua misi yang diemban oleh seorang nabi, yaitu misi ketauhidan dan misi sosial.
Misi yang pertama terkait dengan mengajak umat manusia untuk menyembah Tuhan dan
tidak menjadikan sesembahan lain selain Allah. Sedangkan misi yang kedua sangat
terkait dengan bagaimana mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat.
3. Berakhirnya jalur kenabian yang ditutup oleh kerasulan Muhammad saw bukan berarti
bahwa misi kenabian untuk menyampaikan risalah juga berhenti, namun tugas tersebut
diteruskan oleh para ulama yang merupakan pewaris para nabi dalam meneruskan fungsi
kenabian tersebut. Untuk itu, mereka dituntut untuk memahami dan menafsirkan bahasa
nas, baik yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, agar kontekstual dengan
perkembangan dan perubahan zaman. Untuk itu, para ulama dituntut untuk membekali
diri dengan piranti ilmu agama yang tekstual dengan ilmu umum yang kontekstual.

Wallahu a’lam bi al-sawab

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, New York:
The Tabrike Tarsile Qur’an, 1988.

Al-Azdy, Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany, Sunan Abu Dawud, Beirut:
al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.

Al-Bukhary, al-Imam Sahih al-Bukhary, Beirut: Dar al-Qalam, 1987.

J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill,
1968.

Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, San Fransisco: Harper & Row,
Publishers, Inc, 1989.

Al-Darimy, Abu Muhammad, Sunan al-Darimy, t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987.

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep


Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Kathoda, 1993.

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996.

G. R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an, London and
New York: Routledge, 1993.
Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980.

Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma’il, Tafsir ibn Kathir, dalam CD-ROM dengan terjemahan
dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa
Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5, Kairo: Sakhr, 1993-1997.

Al-Isfahanay, al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Al-Maraghy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghy, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991.

Al-Qurtuby, Abu ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, dalam CD-ROM dengan terjemahan dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A.
Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5,
Kairo: Sakhr, 1993-1997.

Al-Quzwayny, al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid, Sunan Ibn Majah, Beirut:
Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987.

Rahman, Afzalur, Islam Ideology and the Way of Life, London: The Muslim Schools
Trust, 1995.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual, Bandung: Mizan, 1992.

Ridla, Muhammad Rashid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., vol. VI.

Al-Tabary, Abu Ja’far Muhammad b. Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an,
Beirut: Dar al-Fikr, 1988, vol. V, VII, XII, XIII.

Al-Tabattaba’i, al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,


Beirut: Mu’assasat al-A’lamy lil-matbu’at, 1991, vol. XIX.

Al-Tirmidhy, Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b., Surah Sunan al-Tirmidhy, Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Araby, t.t.

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie du Liban, 1974.

[1] Dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1973 di Karanganyar, Solo. Alumni Fakultas
Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1996
ini melanjutkan studinya di PPs IAIN yang sama dengan mengambil Program Studi
Pendidikan Islam dengan konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999.
Pada tahun itu juga ia meneruskan studinya pada Program Doktor (S3) pada PPs yang
sama. Sejak tahun 1998 ia diangkat sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[2] J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J. Brill,
1968), 53.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1997)
[4] Q.S. al-Ma’un/40:78.
[5] Dalam al-Qur’an kata Adam disebut sebanyak 31 kali, sedangkan ayat yang berkaitan
dengan Adam sebanyak 63. Di antara ayat tersebut dapat dilihat dalam Q.S. Alu. Imran
(3): 33-34 dan Q.S. al-Baqarah (2): 34.
[6] Kata Idris disebut sebanyak dua kali dalam al-Qur’an, yakni terdapat dalam Q.S.
Maryam (19): 56-57.
[7] Kata Nuh disebut sebanyak 72 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan Nabi Nuh ada 105 tempat. Sebagian dari ayat-ayat tersebut adalah
sebagai berikut: Q.S. Alu Imran (3): 33; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; Q.S. al-An’am (6): 64;
Q.S. al-A’raf (7): 59-64; Q.S. Yunus (10): 71-73; Q.S. Hud (11): 24-34, 36-49; Q.S. al-
Anbiya’ (21): 76; Q.S. al-Furqan (25): 37; Q.S. al-Syura (26): 105-122; Q.S. al-‘Ankabut
(29): 14-15; Q.S. al-Saffat (37): 71-83; Q.S. Nuh (71): 1-28; Q.S. al-Qamar (54): 9-16;
Q.S. al-Mu’minun (23): 23-31; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 5-6.
[8] Kata Hud disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali, sedangkan yang
membicarakan tentang Nabi Hud terdapat dalam 63 ayat, di antaranya dalam Q.S. al-
Syura’ (26): 123-140 dan Q.S. al-Ahqaf (46): 21-26.
[9] Istilah Shalih disebut sebanyak 17 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat yang
membicarakan tentangnya ada 75 tempat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-A’raf
(7): 73-79; Q.S. Hud (11): 61-68; dan, Q.S. al-Syura’ (26): 141-159.
[10] Kata Ibrahim terdapat 121 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya ada
dalam 135 ayat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-Zukhruf (43): 26-28; Q.S. al-
An’am (6): 74-89; dan, Q.S. Alu Imran (3): 95.
[11] Nama ini disebut sebanyak 41 kali, sedangkan yang membahas tentangnya ada 82
ayat. Di antara ayat yang disebutkan adalah dalam Q.S. al-A’raf (7): 80-84; Q.S. al-Naml
(27): 54-58; dan, Q.S. Hud (11): 77-83.
[12] Kata Ismail terdapat dalam 10 tempat. Sedangkan ayat yang membicarakan tentang
Ismail terdapat dalam 13 tempat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 86-87; Q.S. Sad (38):
48; dan Q.S. Maryam (19): 54-55.
[13] Kata Ishaq disebutkan sebanyak 12 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya
ada sebanyak 16 ayat.
[14] Kata Ya’qub disebut sebanyak 11 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan ayat yang
membahas tentang kenabiannya sebanyak 25 ayat.
[15] Kata Yusuf disebut 78 kali dalam al-Qur’an, di antaranya Q.S. al-Qalam (68): 48-49;
Q.S. Yusuf (12): 3; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 34.
[16] Kata Ayyub disebut sebanyak satu kali, sedangkan yang membicarakan kenabiannya
terdapat dalam 7 ayat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 83-84;
dan, Q.S. Sad (38): 41-44.
[17] Kata Syu’aib disebut 11 kali, antara lain terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 85-93;
Q.S. Hud (11): 84-85; dan, Q.S. al-‘Ankabut (29): 36-37.
[18] Kata Musa disebut 226 kali, sedang yang berhubungan dengan kenabiannya terdapat
dalam 479 ayat, antara lain terdapat dalam Q.S. al-Qassas (28): 3-43; Q.S. Taha (20): 9;
dan, Q.S. Yunus (10): 75-92.
[19] Kata Harun disebut 25 kali dalam 18 ayat. Lihat Q.S. al-Nisa’ (4): 163 dan Q.S. al-
Furqan (25): 35-36.
[20] Kata Dhu ‘l-Kifl disebut satu kali, yakni dalam Q.S. Sad (38): 48.
[21] Al-Qur’an menyebut kata Dawud sebanyak 21 kali dalam 23 ayat. Kata tersebut
dapat dilihat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 249-251; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; dan Q.S. al-Isra’
(17): 55.
[22] Al-Qur’an menyebut kata Sulaiman sebanyak 26 kali, sedangkan kenabiannya
dibahas dalam 47 ayat. Lihat Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 81-82; dan,
Q.S. Saba’ (34): 12-14.
[23] Kata Ilyas disebut sebanyak 4 kali, antara lain Q.S. al-An’am (6): 85 dan Q.S. al-
Saffat (37): 123-132.
[24] Kata Ilyasa’ disebut sebanyak 1 kali, yakni Q.S. al-An’am (6): 86 dan Q.S. Sad (38):
48.
[25] Kata Yunus disebut 7 kali, antara lain dapat dilihat dalam Q.S. al-An’am (6): 86-87;
Q.S. Yunus (10): 98; dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 87-88.
[26] Kata Zakariya ditemukan 12 kali dalam al-Qur’an.
[27] Kata Yahya ditemukan 5 kali, walaupun yang membicarakan tentang kenabiannya
sebanyak 7 ayat. Ayat yang berkaitan dengannya antara lain dapat dilihat dalam Q.S. al-
Anbiya’ (21): 89-90; Q.S. Alu Imran (3): 38-41; dan, Q.S. Maryam (19): 2-15.
[28] Kata Isa disebut sebanyak 44 kali, sedangkan yang membicarakan tentang
kenabiannya terdapat dalam 71 ayat. Lihat antara lain dalam Q.S. Maryam (19): 16-34;
Q.S. al-Baqarah (2): 87; dan, Q.S. Alu Imran (3): 45-60.
[29] Kata Muhammad tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Walaupun demikian banyak
ayat yang membicarakan tentang Muhammad, yakni sekitar 135 ayat. Kata Ahmad, yang
juga nama lain dari Muhammad saw, terdapat satu kali dalam al-Qur’an.
[30] Q.S. al-Ahqaf/46:35.
[31] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (t.tp: Dar al-Fikr, t.t.), jilid 6,
587.
[32] Ibid.
[33] Hidayah Salim, Qishashul Anbiya (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962), 54.
[34] Bey Arifin, Rangkaian Cerita dalam al-Qur’an (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1971), 62.
[35] Q.S. al-Tawbah (9): 30.
[36] Muhammad Ali, The Religion of Islam, 1980, 35.
[37] Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religion, 1989, 187.
[38] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi, 302.
[39] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Librairie du Liban,
1974), 937.
[40] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[41] Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row,
Publishers, Inc, 1989), 342.
[42] Q. S. al-Ahqaf (46): 35.
[43] Abu Ja’far Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13, 37.
[44] Ibid., 35.
[45] Ibn Kathir, Kitab Suci al-Qur’an dalam CD-ROOM versi 6.5 (Kairo: Sakhr, 1993-
1997).
[46] Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 7, 121.
[47] Tentang persoalan ini dapat dilihat dalam beberapa kisah yang terdapat dalam al-
Qur’an, seperti kaum ‘Ad dalam Q.S. al-Qamar (54): 18-21 dan Q.S. al-Furqan (25): 38-
39, dan kaum Tsamud yang dikisahkan dalam Q.S. al-Haqqah (69): 1-7 dan Q.S. al-
Dzariyat (51): 4-46.
[48] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[49] H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill,
1974)
[50] Q. S. al-Fathir (35): 1.
[51] Q.S. al-Rum (30): 2
[52] Q.S. al-An’am : 83-87.
[53] Al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 5, 263.
[54] Ibid. Bandingkan dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Kathir dalam ayat
ini. Ia mengatakan bahwa kitab, hukum, dan nubuwah merupakan nikmat dari Allah
kepada manusia. Maka, bagi manusia yang kufur terhadap nikmat tersebut, maka nikmat
tersebut akan dialihkan kepada kaum lain yang tidak kufur. Lihat Ibn Kathir dalam CD-
ROOM versi 6.5, 1993-1997.
[55] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan,
1996), 119.
[56] Ibid.
[57] Artinya: Di tangan para penulis (malaikat).
[58] Artinya: Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-
kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.
[59] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al-
Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan
nabi.
[60] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan
dia adalah seorang rasul dan nabi.
[61] Q.S. al-Hajj (22): 52.
[62] Fazlur Rahman, Tema, 120.
[63] Artinya: Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu
saudaranya, Harun menjadi seorang nabi.
[64] Lihat Q.S. al-Ahzab (33): 13 dan 16.
[65] Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.
[66] Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 136, yang artinya: Katakanlah (hai orang-orang mukmin):
“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya.”
[67] Q.S. al-Baqarah (2): 253. Bandingkan dengan Q.S. al-Isra (17): 55.
[68] Lihat Q.S. al-Ahqaf (46): 35.
[69] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[70] Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Musa b.
Dawud dari Fulaih b. Sulaiman dari Hilal b. Ali dari Atho’ b. Yasar. Ia bertemu dengan
Abdullah b. ‘Amru b. al-‘As. Lihat Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5.
[71] Tafsir al-Qurtubiy dalam CD-ROM versi 6.5, 1993-1997. Bandingkan dengan hadits
yang berasal dari Jabir b. Mut’am dalam Sahih Muslim di mana Allah menyebut Nabi
dengan ra’ufa rahima. Sedangkan Abu Musa al-Ash’ariy menyatakan bahwa nabi
bersabda mempunyai nama Muhammad, Ahmad, al-Muqaffa, al-Hashir, Nabi al-Tawbah,
dan Nabi al-Rahmah.
[72] al-Tabattaba’i, Mizan, 19, 177.
[73] Ibid., 178.
[74] Al-Tabattaba’i, 178.
[75] Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer
Aly dan Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), 320-1.
[76] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School
Trust, 1995), 36.
[77] Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan
begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?”
[78] Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya :
“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi,
(aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi
taufik kepadaku.”
[79] Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-
orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
[80] Afzalur Rahman, Islam, 38.
[81] Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami
telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah
(al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
[82] Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[83] Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci,
dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat
kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
[84] A. Rahman, Islam, 45. Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah
dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah
diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga
oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
[85] Artinya: Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku
lengkapkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku tetapkan untuk kamu Islam sebagai agamamu.
[86] Dalam hadis, setidaknya ada enam matan yang menunjukkan bahwa para ulama
adalah pewaris para nabi. Lihat dalam al-Imam al-Bukhary, Sahih al-Bukhary (Beirut:
Dar al-Qalam, 1987), dalam Kitab al-‘Ilm; Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b. Surah al-
Tirmidhy, Sunan al-Tirmidhy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.), dalam Kitab
al-‘Ilm hadis nomor 2606; Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany al-Azdy,
Sunan Abu Dawud (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis
nomor 3157; al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid al-Quzwayny, Sunan Ibn
Majah (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah
hadis nomor 219; Ahmad b. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1949-1980), dalam al-Kitab al-Ansar hadis nomor 2023; dan Abu Muhammad al-Darimy,
Sunan al-Darimy (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah
hadis nomor 346.
[87] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1992), 105-6.
[88] Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia: A Contribution
in the History of Muslim Philosophy, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), 15;
lihat juga puisi Iqbal dalam Bal-I-Jibril sebagaimana dikutip oleh K.G. Saiyidain dalam
Iqbal’s Educational Philosophy, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981),
172.

Anda mungkin juga menyukai