Pendahuluan
Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh umat Islam adalah percaya kepada para
nabi yang telah diutus oleh Allah kepada umat manusia. Sebab, merekalah yang
menyampaikan risalah ketuhanan dari Allah. Mereka berperan sebagai Hermes, yang
menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan Tuhan yang absolut dan mutlak kepada
manusia sebagai makhluk relatif dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
oleh mereka. Dengan demikian, posisi seorang nabi sangat decisive dalam agama,
khususnya agama Islam.
Artikel ini mencoba mengkaji terma kenabian yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama
berkaitan dengan fungsi kenabian, dengan menggunakan pendekatan tematik (mawdlu’y).
Ayat-ayat yang memuat materi tentang nabi dan misinya diambil dan dikumpulkan
kemudian dipilih dan dicari hubungan maknanya yang mengacu pada persoalan fungsi
diutusnya seorang nabi dan rasul. Selain itu, dilihat bagaimana penafsiran yang telah
dilakukan oleh para mufasir terdahulu berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam membahas persoalan ini. Pertama,
nabi merupakan sosok sentral dalam agama yang menjadi figur perantara antara pikiran
Tuhan dengan pikiran manusia.[2] Kedua, ada berbagai penafsiran tentang terma nabi
sehingga memunculkan adanya perbedaan pendapat tentang apa dan siapa yang disebut
nabi itu. Sebagai contoh beberapa pendapat menganggap bahwa Sang Budha adalah
sebagai nabi, sementara yang lain menganggap tidak. Ketiga, dalam tubuh umat Islam
sendiri pun ada aliran yang memaknai terma nabi secara berbeda. Sebagai misal Gerakan
Ahmadiyah Qadliyan yang menganggap masih ada nabi setelah Muhammad, yakni Mirza
Ghulam Ahmad.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka artikel ini akan mengkaji terma nabi yang
terdapat dalam al-Qur’an. Beberapa persoalan yang akan dikaji dalam hal ini yaitu
pengertian Nabi, sejarah kenabian, istilah nabi dalam al-Qur’an, fungsi dan misi
kenabian.
Misi Kenabian
Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[69]
Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri
kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia.
Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta
pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya,
dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-
Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-
Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Berkaitan dengan misi nabi yang pertama, yakni mengajak kepada ketauhidan,
sebagaimana tersirat dalam surat al-Ahzab: 45 tersebut, Ibn Kathir dalam tafsirnya
mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad yang terdapat dalam Kitab Taurat.[70] Menurut al-Qurtuby, ayat ini
dimaksudkan untuk memulyakan nabi dan kaum mukmin. Nabi mempunyai enam nama
atau sebutan, yakni Muhammad, Ahmad, al-Mahiy, al-Hashir, dan al-‘Aqib.[71]
Berkaitan dengan surat al-Hadid: 25, al-Tabattaba’i menyatakan bahwa tujuan Allah
mengutus seorang rasul dan menurunkan al-Kitab serta Mizan adalah untuk menegakkan
keadilan bagi sesama manusia atau untuk menegakkan masyarakat yang adil. Selain itu,
ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa diutusnya seorang rasul oleh Allah
adalah untuk menguji mereka dalam mempertahankan kebenaran dalam masyarakat.[72]
Yang dimaksud dengan mizan di sini adalah agama Islam itu sendiri yang mengatur
persoalan akidah dan muamalah. Dengan demikian, tujuannya tidak lain kecuali untuk
mencari kebahagiaan hidup baik secara sosial maupun individual ketika di dunia dan di
akhirat.[73]
Menurut al-Tabattaba’i lebih lanjut bahwa diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti
yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di
antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran
tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi,
yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan
aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia.
Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya
bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[74] Sedangkan
dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni
menyangkut persoalan ibadah.
Al-Maraghy ketika menafsirkan surat al-Hadid tersebut mengatakan bahwa alasan para
rasul diberi al-bayyinat, al-kitab, dan al-mizan, adalah ingin menunjukkan dan
membuktikan bahwa mereka memang diutus oleh Allah untuk menyampaikan kebenaran.
[75] Adapun yang terkandung di dalam kitab dan mizan tersebut adalah ajaran dari Allah
untuk menegakkan ketauhidan dan keadilan sehingga tercapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
Senada dengan Mutahari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi
dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.[76]
Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan
dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai
ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23,[77] Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27,[78]
dan Q.S. al-Baqarah (2): 21.[79] Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan
pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati,
menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari penalaran deduktif.[80] Tugas
yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building. Untuk
itu, ada dua hal penting mengenai hal ini, yaitu taqwa dan tazkiyah.
Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2):
151[81] maupun al-Jum’ah (62): 2,[82] ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul.
Pertama, membacakan ayat-ayat[83] Tuhan. Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia.
Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[84]
Secara umum misi seorang nabi/rasul ada dua. Pertama adalah mengajak manusia kepada
Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah monotheisme teoritis
dan monotheisme praktis yang bersifat individual. Monoteisme teoritis berkaitan dengan
ilmu bagaimana bertauhid, sedangkan monoteisme praktis sangat terkait dengan
bagaimana menerapkan ilmu tersebut. Misi kedua adalah menegakkan keadilan di
tengah-tengah masyarakat, yang berarti menegakkan monotheisme praktis yang bersifat
sosial. Munculnya wacana pemikiran kontemporer tentang terma tauhid individual dan
tauhid sosial tampaknya sangat sejalan dengan misi seorang rasul tersebut.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa catatan :
1. Istilah nabi berbeda dengan istilah rasul, terutama dalam hal misinya. Tidak semua
nabi ketika menerima wahyu dari Allah tidak dituntut untuk menyampaikannya kepada
umat, sedangkan seorang rasul ketika menerima wahyu harus disampaikan kepada umat
manusia.
2. Ada dua misi yang diemban oleh seorang nabi, yaitu misi ketauhidan dan misi sosial.
Misi yang pertama terkait dengan mengajak umat manusia untuk menyembah Tuhan dan
tidak menjadikan sesembahan lain selain Allah. Sedangkan misi yang kedua sangat
terkait dengan bagaimana mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat.
3. Berakhirnya jalur kenabian yang ditutup oleh kerasulan Muhammad saw bukan berarti
bahwa misi kenabian untuk menyampaikan risalah juga berhenti, namun tugas tersebut
diteruskan oleh para ulama yang merupakan pewaris para nabi dalam meneruskan fungsi
kenabian tersebut. Untuk itu, mereka dituntut untuk memahami dan menafsirkan bahasa
nas, baik yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, agar kontekstual dengan
perkembangan dan perubahan zaman. Untuk itu, para ulama dituntut untuk membekali
diri dengan piranti ilmu agama yang tekstual dengan ilmu umum yang kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, New York:
The Tabrike Tarsile Qur’an, 1988.
Al-Azdy, Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany, Sunan Abu Dawud, Beirut:
al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.
J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill,
1968.
Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, San Fransisco: Harper & Row,
Publishers, Inc, 1989.
Al-Darimy, Abu Muhammad, Sunan al-Darimy, t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Kathoda, 1993.
G. R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an, London and
New York: Routledge, 1993.
Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980.
Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma’il, Tafsir ibn Kathir, dalam CD-ROM dengan terjemahan
dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa
Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5, Kairo: Sakhr, 1993-1997.
Al-Isfahanay, al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Maraghy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghy, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Al-Qurtuby, Abu ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, dalam CD-ROM dengan terjemahan dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A.
Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5,
Kairo: Sakhr, 1993-1997.
Al-Quzwayny, al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid, Sunan Ibn Majah, Beirut:
Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987.
Rahman, Afzalur, Islam Ideology and the Way of Life, London: The Muslim Schools
Trust, 1995.
Ridla, Muhammad Rashid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., vol. VI.
Al-Tabary, Abu Ja’far Muhammad b. Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an,
Beirut: Dar al-Fikr, 1988, vol. V, VII, XII, XIII.
Al-Tirmidhy, Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b., Surah Sunan al-Tirmidhy, Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Araby, t.t.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie du Liban, 1974.
[1] Dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1973 di Karanganyar, Solo. Alumni Fakultas
Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1996
ini melanjutkan studinya di PPs IAIN yang sama dengan mengambil Program Studi
Pendidikan Islam dengan konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999.
Pada tahun itu juga ia meneruskan studinya pada Program Doktor (S3) pada PPs yang
sama. Sejak tahun 1998 ia diangkat sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[2] J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J. Brill,
1968), 53.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1997)
[4] Q.S. al-Ma’un/40:78.
[5] Dalam al-Qur’an kata Adam disebut sebanyak 31 kali, sedangkan ayat yang berkaitan
dengan Adam sebanyak 63. Di antara ayat tersebut dapat dilihat dalam Q.S. Alu. Imran
(3): 33-34 dan Q.S. al-Baqarah (2): 34.
[6] Kata Idris disebut sebanyak dua kali dalam al-Qur’an, yakni terdapat dalam Q.S.
Maryam (19): 56-57.
[7] Kata Nuh disebut sebanyak 72 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan Nabi Nuh ada 105 tempat. Sebagian dari ayat-ayat tersebut adalah
sebagai berikut: Q.S. Alu Imran (3): 33; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; Q.S. al-An’am (6): 64;
Q.S. al-A’raf (7): 59-64; Q.S. Yunus (10): 71-73; Q.S. Hud (11): 24-34, 36-49; Q.S. al-
Anbiya’ (21): 76; Q.S. al-Furqan (25): 37; Q.S. al-Syura (26): 105-122; Q.S. al-‘Ankabut
(29): 14-15; Q.S. al-Saffat (37): 71-83; Q.S. Nuh (71): 1-28; Q.S. al-Qamar (54): 9-16;
Q.S. al-Mu’minun (23): 23-31; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 5-6.
[8] Kata Hud disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali, sedangkan yang
membicarakan tentang Nabi Hud terdapat dalam 63 ayat, di antaranya dalam Q.S. al-
Syura’ (26): 123-140 dan Q.S. al-Ahqaf (46): 21-26.
[9] Istilah Shalih disebut sebanyak 17 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat yang
membicarakan tentangnya ada 75 tempat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-A’raf
(7): 73-79; Q.S. Hud (11): 61-68; dan, Q.S. al-Syura’ (26): 141-159.
[10] Kata Ibrahim terdapat 121 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya ada
dalam 135 ayat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-Zukhruf (43): 26-28; Q.S. al-
An’am (6): 74-89; dan, Q.S. Alu Imran (3): 95.
[11] Nama ini disebut sebanyak 41 kali, sedangkan yang membahas tentangnya ada 82
ayat. Di antara ayat yang disebutkan adalah dalam Q.S. al-A’raf (7): 80-84; Q.S. al-Naml
(27): 54-58; dan, Q.S. Hud (11): 77-83.
[12] Kata Ismail terdapat dalam 10 tempat. Sedangkan ayat yang membicarakan tentang
Ismail terdapat dalam 13 tempat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 86-87; Q.S. Sad (38):
48; dan Q.S. Maryam (19): 54-55.
[13] Kata Ishaq disebutkan sebanyak 12 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya
ada sebanyak 16 ayat.
[14] Kata Ya’qub disebut sebanyak 11 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan ayat yang
membahas tentang kenabiannya sebanyak 25 ayat.
[15] Kata Yusuf disebut 78 kali dalam al-Qur’an, di antaranya Q.S. al-Qalam (68): 48-49;
Q.S. Yusuf (12): 3; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 34.
[16] Kata Ayyub disebut sebanyak satu kali, sedangkan yang membicarakan kenabiannya
terdapat dalam 7 ayat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 83-84;
dan, Q.S. Sad (38): 41-44.
[17] Kata Syu’aib disebut 11 kali, antara lain terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 85-93;
Q.S. Hud (11): 84-85; dan, Q.S. al-‘Ankabut (29): 36-37.
[18] Kata Musa disebut 226 kali, sedang yang berhubungan dengan kenabiannya terdapat
dalam 479 ayat, antara lain terdapat dalam Q.S. al-Qassas (28): 3-43; Q.S. Taha (20): 9;
dan, Q.S. Yunus (10): 75-92.
[19] Kata Harun disebut 25 kali dalam 18 ayat. Lihat Q.S. al-Nisa’ (4): 163 dan Q.S. al-
Furqan (25): 35-36.
[20] Kata Dhu ‘l-Kifl disebut satu kali, yakni dalam Q.S. Sad (38): 48.
[21] Al-Qur’an menyebut kata Dawud sebanyak 21 kali dalam 23 ayat. Kata tersebut
dapat dilihat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 249-251; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; dan Q.S. al-Isra’
(17): 55.
[22] Al-Qur’an menyebut kata Sulaiman sebanyak 26 kali, sedangkan kenabiannya
dibahas dalam 47 ayat. Lihat Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 81-82; dan,
Q.S. Saba’ (34): 12-14.
[23] Kata Ilyas disebut sebanyak 4 kali, antara lain Q.S. al-An’am (6): 85 dan Q.S. al-
Saffat (37): 123-132.
[24] Kata Ilyasa’ disebut sebanyak 1 kali, yakni Q.S. al-An’am (6): 86 dan Q.S. Sad (38):
48.
[25] Kata Yunus disebut 7 kali, antara lain dapat dilihat dalam Q.S. al-An’am (6): 86-87;
Q.S. Yunus (10): 98; dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 87-88.
[26] Kata Zakariya ditemukan 12 kali dalam al-Qur’an.
[27] Kata Yahya ditemukan 5 kali, walaupun yang membicarakan tentang kenabiannya
sebanyak 7 ayat. Ayat yang berkaitan dengannya antara lain dapat dilihat dalam Q.S. al-
Anbiya’ (21): 89-90; Q.S. Alu Imran (3): 38-41; dan, Q.S. Maryam (19): 2-15.
[28] Kata Isa disebut sebanyak 44 kali, sedangkan yang membicarakan tentang
kenabiannya terdapat dalam 71 ayat. Lihat antara lain dalam Q.S. Maryam (19): 16-34;
Q.S. al-Baqarah (2): 87; dan, Q.S. Alu Imran (3): 45-60.
[29] Kata Muhammad tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Walaupun demikian banyak
ayat yang membicarakan tentang Muhammad, yakni sekitar 135 ayat. Kata Ahmad, yang
juga nama lain dari Muhammad saw, terdapat satu kali dalam al-Qur’an.
[30] Q.S. al-Ahqaf/46:35.
[31] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (t.tp: Dar al-Fikr, t.t.), jilid 6,
587.
[32] Ibid.
[33] Hidayah Salim, Qishashul Anbiya (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962), 54.
[34] Bey Arifin, Rangkaian Cerita dalam al-Qur’an (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1971), 62.
[35] Q.S. al-Tawbah (9): 30.
[36] Muhammad Ali, The Religion of Islam, 1980, 35.
[37] Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religion, 1989, 187.
[38] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi, 302.
[39] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Librairie du Liban,
1974), 937.
[40] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[41] Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row,
Publishers, Inc, 1989), 342.
[42] Q. S. al-Ahqaf (46): 35.
[43] Abu Ja’far Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13, 37.
[44] Ibid., 35.
[45] Ibn Kathir, Kitab Suci al-Qur’an dalam CD-ROOM versi 6.5 (Kairo: Sakhr, 1993-
1997).
[46] Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 7, 121.
[47] Tentang persoalan ini dapat dilihat dalam beberapa kisah yang terdapat dalam al-
Qur’an, seperti kaum ‘Ad dalam Q.S. al-Qamar (54): 18-21 dan Q.S. al-Furqan (25): 38-
39, dan kaum Tsamud yang dikisahkan dalam Q.S. al-Haqqah (69): 1-7 dan Q.S. al-
Dzariyat (51): 4-46.
[48] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[49] H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill,
1974)
[50] Q. S. al-Fathir (35): 1.
[51] Q.S. al-Rum (30): 2
[52] Q.S. al-An’am : 83-87.
[53] Al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 5, 263.
[54] Ibid. Bandingkan dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Kathir dalam ayat
ini. Ia mengatakan bahwa kitab, hukum, dan nubuwah merupakan nikmat dari Allah
kepada manusia. Maka, bagi manusia yang kufur terhadap nikmat tersebut, maka nikmat
tersebut akan dialihkan kepada kaum lain yang tidak kufur. Lihat Ibn Kathir dalam CD-
ROOM versi 6.5, 1993-1997.
[55] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan,
1996), 119.
[56] Ibid.
[57] Artinya: Di tangan para penulis (malaikat).
[58] Artinya: Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-
kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.
[59] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al-
Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan
nabi.
[60] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan
dia adalah seorang rasul dan nabi.
[61] Q.S. al-Hajj (22): 52.
[62] Fazlur Rahman, Tema, 120.
[63] Artinya: Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu
saudaranya, Harun menjadi seorang nabi.
[64] Lihat Q.S. al-Ahzab (33): 13 dan 16.
[65] Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.
[66] Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 136, yang artinya: Katakanlah (hai orang-orang mukmin):
“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya.”
[67] Q.S. al-Baqarah (2): 253. Bandingkan dengan Q.S. al-Isra (17): 55.
[68] Lihat Q.S. al-Ahqaf (46): 35.
[69] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[70] Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Musa b.
Dawud dari Fulaih b. Sulaiman dari Hilal b. Ali dari Atho’ b. Yasar. Ia bertemu dengan
Abdullah b. ‘Amru b. al-‘As. Lihat Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5.
[71] Tafsir al-Qurtubiy dalam CD-ROM versi 6.5, 1993-1997. Bandingkan dengan hadits
yang berasal dari Jabir b. Mut’am dalam Sahih Muslim di mana Allah menyebut Nabi
dengan ra’ufa rahima. Sedangkan Abu Musa al-Ash’ariy menyatakan bahwa nabi
bersabda mempunyai nama Muhammad, Ahmad, al-Muqaffa, al-Hashir, Nabi al-Tawbah,
dan Nabi al-Rahmah.
[72] al-Tabattaba’i, Mizan, 19, 177.
[73] Ibid., 178.
[74] Al-Tabattaba’i, 178.
[75] Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer
Aly dan Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), 320-1.
[76] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School
Trust, 1995), 36.
[77] Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan
begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?”
[78] Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya :
“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi,
(aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi
taufik kepadaku.”
[79] Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-
orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
[80] Afzalur Rahman, Islam, 38.
[81] Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami
telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah
(al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
[82] Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[83] Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci,
dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat
kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
[84] A. Rahman, Islam, 45. Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah
dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah
diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga
oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
[85] Artinya: Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku
lengkapkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku tetapkan untuk kamu Islam sebagai agamamu.
[86] Dalam hadis, setidaknya ada enam matan yang menunjukkan bahwa para ulama
adalah pewaris para nabi. Lihat dalam al-Imam al-Bukhary, Sahih al-Bukhary (Beirut:
Dar al-Qalam, 1987), dalam Kitab al-‘Ilm; Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b. Surah al-
Tirmidhy, Sunan al-Tirmidhy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.), dalam Kitab
al-‘Ilm hadis nomor 2606; Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany al-Azdy,
Sunan Abu Dawud (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis
nomor 3157; al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid al-Quzwayny, Sunan Ibn
Majah (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah
hadis nomor 219; Ahmad b. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1949-1980), dalam al-Kitab al-Ansar hadis nomor 2023; dan Abu Muhammad al-Darimy,
Sunan al-Darimy (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah
hadis nomor 346.
[87] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1992), 105-6.
[88] Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia: A Contribution
in the History of Muslim Philosophy, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), 15;
lihat juga puisi Iqbal dalam Bal-I-Jibril sebagaimana dikutip oleh K.G. Saiyidain dalam
Iqbal’s Educational Philosophy, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981),
172.