Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATAKULIAH KIMIA MEDISINAL

MEKANISME AKSI MORFIN SEBAGAI OBAT ANALGESIK


NARKOTIK

Disusun oleh :
Elisabeth Dhea Gretha Z.

(088114046)

Natalia Windari Rahardjo

(088114052)

Elya Findawati

(088114053)

Laurensius Widi Andikha P. (088114055)


Alfonsus Rosario Heppy D.

(088114056)

Margareth Henrika Silow

(088114057)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010

MEKANISME AKSI MORFIN SEBAGAI OBAT ANALGSEIK


NARKOTIK
BAB I
LATAR BELAKANG
Obat analgesik adalah obat yang dapat meredakan rasa nyeri. Ada dua
jenis obat analgesik, yaitu : obat analgesik narkotik dan non narkotik. Obat
analgesik narkotik, mekanisme kerjanya berikatan secara selektif pada banyak
tempat di seluruh tubuh. Tempat kerjanya yang utama adalah di lokus otak yang
terlibat transmisi nyeri dan dalam perubahan reaktivitas rangsang nosiseptif
(sangat nyeri). Obat analgesik narkotik dapat menimbulkan ketergantungan atau
ketagihan. Contoh dari obat analgesik narkotik : morfin, metadon, meperidin,
oksimorfan, sufentanil, alfetanil, kodein, dan oksikodon.

Sedangkan obat

analgesik non narkotik, berefek melalui mekanisme kerja menghambat biosintesis


prostaglandin. Obat analgesik non narkotik tidak menimbulkan ketagihan atau
ketergantungan. Contoh obat analgesik non narkotik adalah : salisilat, para
aminofenol, golongan pirazolon, golongan asam organik lain, dan obat pirai.

Gambar
1. Struktur
Molekul

3D

dan
dari

Morfin

Morfin merupakan merupakan salah satu contoh obat analgesik narkotik.


Efek analgesik morfin secara umum timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaruhi emosi,
artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu
persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.

Penggunaan morfin utamanya adalah untuk membebaskan rasa sakit


dimana dosis efektif sangat bervariasi untuk setiap orang. Morfin diberikan
melalui bolus intravena untuk mendapatkan efek lebih cepat, dengan dosis
biasanya 5 mg. Namun dapat juga dapat diberikan secara kontinyu melalui infus.
Selain intravena dan subkutan, penggunaan secara infuse lebih effektif dan relatif
menggunakan dosis yang kecil. Morfin juga efektif dalam oral, walaupun
membutuhkan dosis yang besar sepanjang metabolisme pre sistematik. Yang mana
diberikan melalui mulut yang setiap kurun waktu 4 jam dalam sediaan elixir.
Morfin sebagai obat analgesik narkotik dalam penggunaannya memiliki
efek samping berupa efek euphoria (efek perasaan menjadi senang), dan potensi
akan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan akan obat ini yang terjadi
cepat bila terjadi pemakaian berlebihan. Akibat adanya efek samping tersebut,
sekarang dikembangkan turunan-turunan dari morfin yang memiliki aktivitas
analgesik seperti morfin namun tidak menimbulkan efek kecanduan.
RUMUSAN MASALAH
1.

Bagaimanakah mekanisme aksi morfin dalam menimbulkan efek analgesik?


TUJUAN

1.

Untuk mengetahui mekanisme aksi morfin dalam memberikan efek analgesik.

BAB II
MEKANISME AKSI OBAT
1.

Mekanisme nyeri

Analgetika
Adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan
rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika,

kelompok Opiat).
Analgetika yang berkhasiat lemah, bekerja terutama pada perifer dengan
sifat antipiretika dan kebanyak juga mempunyai sifat antiinflamasi dan
antireumatik.
Rasa nyeri timbul jika ada rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik

yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri).


Nyeri menurut tempat kerjanya, dibagi atas nyeri somatik dan nyeri
visceral.
Nyeri somatik dibagi 2 yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalaman.
disebut nyeri permukaan apabila rangsang bertempat dalam kulit.
nyeri pertama bahwa nyeri ini menyebabkan suatu reaksi
menghindar secara reflex.
Nyeri kedua bersifat menekan dan membakar yang sukar untuk
dilokalisasi dan lambat hilang.
disebut nyeri dalam apabila nyeri berasal dari otot, persendian, tulang,
dan jaringan ikat.
Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasikan dan

kebanyakan menyebar ke sekitarnya.


Nyeri visceral (dalaman) atau nyeri di dalam perut. Nyeri ini terjadi antara
lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan
penyakit yang disertai radang.

Gambar 2. Klasifikasi nyeri berdasarkan tempat kerjanya

Rangsang nyeri ditangkap oleh reseptor nyeri khusus (nosiseptor), yang


merupakan ujung saraf bebas. Potensial aksi (impuls nosiseptif) yang terbentuk
pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal
sumsum tulang belakang, dimana serabut aferen yang bertemu di sini impulsnya
tumpang tindih.
Serabut-serabut yang berakhir dalam daerah Formatio reticularis
menimbulkan reaksi vegetative (penurunan tekanan darah, pengeluaran keringat).
Tempat aksi (sakelar) dari serabut nyeri adalah thalamus opticus. Di sini
diteruskan tidak hanya menuju ke gyrus postcentralis (celah sentral belakang),
tempat lokalisasi nyeri, melainkan dari sini juga impuls diteruskan ke system
limbic, yang terlibat paling utama pada penilaian emosional nyeri. Oleh otak besar
dan otak kecil bersama-sama dilakukan reaksi perlindungan dan pertahanan yang
terkoordinasi.
Yang berarti secara klinik adalah bahwa system neospinotalamikus pada
tingkat thalamus menekan aferen paleospinotalamikus. Apabila penghambatan ini
gagal, maka dapat terjadi keadaan nyeri yang terberat.

Gambar 3. Tahapan-tahapan Penghantaran Nyeri di dalam tubuh

Terdapat berbagai klasifikasi nyeri, di masyarakat kita sering mendengar


klasifikasi nyeri berdasarkan derajatnya. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang
timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menghilang bila tidur. Nyeri
sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur. Nyeri berat adalah nyeri terus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri. Mekanisme timbulnya nyeri dimulai
terjadi

kerusakan

jaringan--ancaman

kerusakan

jaringan

tubuh,

seperti

pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan

mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik-- nyeri yang berkumpul sekitarnya


dan dapat menimbulkan nyeri. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan
jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut
nasisepsi. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nyeri yaitu: Tranduksi,
adalah perubahan rangsang nyeri menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf
sensoris. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat
afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit,
periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Transmisi, adalah
proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C diteruskan ke
sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.Modulasi,
merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Didaerah ini akan
terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem penghambatan, baik
sistem penghambatan endogen maupun eksogen. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri dan juga sebaliknya.
Persepsi, impuls yang diteruskan ke otak (kortex sensorik) akan mengalami proses
yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
Penggunan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri
ringan sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat.
Terkadang, untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam
dosis besar. Namun penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang
besar pula. Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi
atau analgesia balans yang menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik
tangkapnya berbeda, sehingga dapat dicapai efek yang adekuat dan efek samping
yang minimal dari masing-masing obat karena penggunaan dosis yang lebih kecil.
Teknik ini banyak digunakan terhadap operasi-operasi mulai dari tungkai bawah,
perut atas dan bawah, sampai operasi daerah dada. Pemasangan kateter epidural
dilakukan sebelum operasi dimulai. Dengan demikian, epidural ini berfungsi
selain sebagai analgesia untuk pembedahan, juga dapat dilanjutkan analgesia
pasca bedah.

2.

Mekanisme aksi morfin


Agonis opioid menghasilkan efek analgesik dengan mengikat reseptor

khusus, yang terutama terletak pada daerah otak dan korda spinalis yang terlibat
dalam transmisi dan modulasi rasa nyeri. Tiga kelas utama reseptor opioid telah
teridentifikasi pada wilayah-wilayah sistem syaraf yang bervariasi dan pada
jaringan yang lain. Kelas utama dari reseptor adalah (mu untuk morphine),
(delta) dan (kappa). Sebagian besar analgesik opioid yang ada saat ini beraksi
terutama dengan reseptor mu.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat
dan mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini
terkait dengan analgesia, sedasi, euforia, physical dependence dan respiratory
depression.

Gambar 4. Interaksi Antara Morfin Dengan Reseptor Mu

Menurut Hipotesis dari Beckett-Casy, morfin memiliki 3 sisi yang sangat


penting untuk timbulnya efek analgesik, yaitu
1. Struktur bidang datar yang mengikat cincin aromatik obat melalui interaksi
hidrofobik.
2. Tempat anionik yang berinteraksi dengan pusat muatan positif obat.
3. Lubang yang sesuai untuk CH2-CH2- dari proyeksi cincin piperidin.
Gambar 5. Skematis hipotesis interaksi morfin dengan reseptor dari Beckett-Casy:

Gambar 6. Sisi Interaksi Morfin Pada Opioid Reseptor

Inhibisi opioid terhadap pelepasan neurotransmitter


Obat opioid seperti morfin dapat bekerja pada sistem saraf pusat dan
sistem saraf perifer. Pada sistem saraf pusat, opioid memiliki efek pada beberapa
tempat termasuk spinal cord. Pada sistem saraf perifer, opioid dapat mengurangi
inflamasi. Karena obat-obatan opioid dapat bekerja pada sistem saraf pusat, maka
obat ini juga dapat digunakan untuk nyeri hebat. Obat-obatan opioid
menghasilkan analgesia dengan tindakan pada beberapa tingkat sistem saraf,
khususnya, penghambatan pelepasan neurotransmitter dari terminal aferen primer

di sumsum tulang belakang dan aktivasi turun kontrol penghambatan di otak


tengah.
Pada keadaan normal, pelepasan neurotransmiter didahului dengan
depolarisasi terminal saraf dan pemasukan Ca melalui saluran Ca dengan adanya
muatan listrik. Obat dapat menghambat pelepasan neurotransmiter dengan secara
langsung memblokir saluran Ca atau secara tidak langsung meningkatkan
pengeluaran K. Hal ini terjadi pada saraf sensorik yang mengatur rasa nyeri yang
disebut nociceptor. Penurunan aktivitas sel saraf akan menurunkan pelepasan
neurotransmiter, termasuk yang bertanggung jawab terhadap stimuli nyeri yaitu
neurotransmiter substansi P. Substansi P merupakan protein saraf yang tersusun
dari deret asam amino Arg Pro Lys Pro Gln Gln Phe Phe Gly Leu Met.

Gambar 7. Struktur Molekul dari Substansi P

10

Gambar 8. Peran dari Substansi-P

Pada level molekuler, reseptor opioid dihubungkan dengan protein-G dan


oleh karena itu dapat mempengaruhi gerbang ion, disposisi intraseluler Ca2+ dan
fosforilasi protein. Opioid tersebut memiliki dua efek langsung pada neuron
dengan cara menutup kanal Ca2+ yang diatur oleh voltase pada terminal saraf
prasinaps sehingga menurunkan rilis transmitor atau menyebabkan hiperpolarisasi
dan menghambat neuron pascasinaptik dengan membuka kanal K+.

Gambar 9. Reaksi opioid dengan reseptor dalam skematis neurotransmitter

Opioid bekerja dengan 2 cara tersebut karena reseptor opioid berpasangan


dengan protein G yang secara langsung mempengaruhi saluran K dan Ca. Pada

11

keadaan normal, protein G yang mempunyai GDP (Guanosine Diphospate) yang


mengikat subunit , , dan berada pada keadaan istirahat (tidak aktif). Saat
opioid berinteraksi dengan reseptornya, subunit GDP terdisosiasi dan berubah
menjadi GTP (Guanosine Triphospate) dengan mekanisme perubahan konformasi.
GTP akan mendisosiasi subunit sehingga terikat padanya. GTP dengan subunit
ini akan memerintahkan sel saraf untuk menurunkan aktivitas listriknya dengan
meningkatkan pemasukan K atau menghambat pemasukan Ca. Kedua hal ini akan
menurunkan aktivitas listrik saraf dan menurunkan pelepasan neurotransmiter.
Opioid juga berinteraksi dengan efektor intrasel yang disebut adenilat
siklase yang juga menurunkan pengeluaran neurotransmiter. Adenilat siklase
adalah enzim yang mengkatalis perubahan ATP menjadi cAMP (Cyclic Adenosine
Monophospate). Enzim ini berperan sebagai messenger pada penyampaian pesan
pada sel saraf. Interaksi opioid dengan protein G juga menurunkan aktivitas enzim
adenilat siklase sehingga menurunkan pelepasan neurotransmiter.
Secara ringkas dapat digambarkan 2 mekanisme morfin sebagai analgesik
adalah sebagai berikut:
1. MorfinMORProtein-GGDP jadi GTPGTP menarik pengaruh
ke

sel

sarafMenghambat

enzim

adenilat

siklaseSubtansi

menurunsakit berkurang
2. MOR (Mu Opioid Opioid)Protein-GGDP jadi GTPGTP menarik
pengaruh ke sel sarafMengambat masuknya Ca2+ dan mempercepat
keluarnya K+ Mengurangi rasa nyeri

Secara umum Morfin dimetabolisme oleh mikrosomonal UDP Glucoronyl


Transferase (UDPGT). Enzim yang paling banyak digunakan pada reaksi
glukoronidasi morfin yaitu UGT 2B7 dan UGT 1A3. Metabolit yang dihasilkan
dari reaksi glukoronidasi morfin dengan enzim UGT 2B7 yaitu morphine-3glucuronide (M3G) sedangkan metabolit yang dihasilkan dari reaksi glukoronidasi
morfin dengan enzim UGT 1A3 yaitu morphine-6-glucuronide (M6G). Biasanya
jumlah metabolit M3G lebih banyak daripada M6G.

12

Secara umum, M6G bersifat lebih poten sebagai analgesik daripada morfin
itu sendiri (sekitar 50 kali lebih poten). Namun, jalur pemberian oral dari M6G
memiliki bioavailibilitas yang buruk dan dapat dimetabolisme kembali menjadi
morfin di saluran pencernaan melalui re-konjugasi lagi oleh UGT 2B7. Hal ini
menyebabkan M6G tidak memberikan keuntungan dibandingkan morfin. Dengan
kata lain, ketika pemberian oral morfin dimetabolisme menjadi M6G di hati,
terjadi sirkulasi enterohepatic, yang menyebabkan lambatnya keefektifan
clearance dari obat itu sendiri dari morfin menjadi M6G dan kembali lagi menjadi
morfin.
Metabolisme morfin terjadi di hati, ginjal dan usus halus. Produk
glukoronidasi dapat diekskresikan melalui urine dan bile. Ekskresi melalui urine
atau bile ini tergantung pada bobot molekul dan tingkat kepolaran konjugat.
Senyawa yang memiliki bobot molekul lebih besar (lebih dari 300 Da) dan
kelarutan dalam air rendah biasanya diekskresikan melalui bile. Senyawa
metabolit glukoronidasi morfin yang larut air dapat diekskresikan melalui urine.

13

3. Turunan Morfin
Efek negatif dari morfin membuat dilakukanya pengembangan terusmenerus

untuk

menemukan

turunan-turunannya yang tidak


berefek euphorian dan tidak
menimbulkan
namun

tetap

kecanduan
menimbulkan

efek analgesik yang kuat.


Menurut Hipotesis dari
Beckett-Casy, ada hubungan
antara

Struktur

dengan

14

Aktivitas yang ditimbulkan oleh morfin, hubungan tersebut dapat dijelaskan


sebagai-berikut:
Gambar 11. Struktur Umum dari Morfin

1. Eterifikasi dan esterifikasi gugus hidroksil fenol akan menurunkan


aktivitas analgesic dan dapat menaikkan efek antibatuk
2. Eterifikasi, esterifikasi, oksidasi atau penggantian gugus hidroksil alcohol
dengan halogen atau hidrogen dapat meningkatkan aktivitas analgesic,
meningkatkan efek stimulan namun meningkatkan toksisitas.
3. Perubahan gugus hidroksil alcohol (--OH) dari posisi 6 ke posisi 8
menurunkan aktivitas analgesik.
4. Pengubahan konfigurasi hidroksil alkohol (--OH) pada C6 dapat
meningkatkan aktivitas analgesik
5. Hidrogenasi ikatan rangkap C7-C8 dapat menghasilkan efek yang sama
6.
7.
8.
9.

atau lebih tinggi dibanding morfin


Substitusi pada cincin aromatik akan mengurangi aktivitas analgesik
Pemecahan jembatan eter antara C4 dan C5 menurunkan aktivitas
Pembukaan cincin piperidin menyebabkan penurunan aktivitas
Demetilasi pada C17 dan perpanjangan rantai alifatik yang terikat pada

atom N akan menurunkan efek analgesik.


Menurut hipotesis diatas, sudah dibuat beberapa turunan dari morfin dengan efekefek yang bervariasi akibat pengubahan struktur dan penambahan gugus pada sisi
tertentu.
Gugus
Hidroksil Fenol
(-OH)

Modifikasi
-OCH3
-OCH2CH3

Hidroksil

-OCH3
-OCH2CH3
Alkohol (--OH)
=O
-OCOCH3
Alisiklik tidak CH2-CH2
jenuh

Nama Obat
Morfin
Kodein
Etil
Morfin
(Dionin)
Heterokodein
Morfinon
Asetilmorfin
Dihidromorfin

Efek Analgesik
100
15 (+Antibatuk)
10 (+Kemosis)
500
240
37
420
120

(-

CH2=CH2-)
Jembatan
Eter =C-OH H2C(=C-O-CH)
N-tersier
(N- -NH
-NR
CH3)

13
Non Morfin

5
Antagonis

15

(R=alil,propil,isobutil)
-N(CH3)2
-N-CH2CH2-C6H5
Substitusi

pada -NH2 (pada posisi 2)


-Cl/Br (pada posisi 1)
Cincin aromatik
-CH3 (pada posisi 6)

Morfin
+1 (efek kurang
kuat)
1400
Aktivitas Turun
50
280

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 1995, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, 45-47, UGM Press,
Yogyakarta
Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 208, Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta
Katzung, Bertram G, 2006, Basic and Clinical Pharmacology 10 th Edition, Mc
Graw Hill, San Fransisco
Katzung, Bertram G, 2007, Farmakologi Dasar dan Klinik, 292-321, Salemba
Medika, Jakarta
Lllmann, Heinz,dkk, 2000, Color Atlas of Pharmacology, 210-216, Thieme
Stuttgart, New York
Muschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 209-210, UI Press, Jakarta

16

17

Anda mungkin juga menyukai