Anda di halaman 1dari 22

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pengampu :

Wiadnya, D.G.R., D. Setyohadi, D.O. Sutjipto,


Sukandar, T.D. Lelono, D.K. Saputra
Kontak
: dgr_wiadnya@ub.ac.id
Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan UB. Jl. Veteran 65145, Malang

A. Nama/Judul Pokok Bahasan: Roadmap kawasan konservasi


perairan di Indonesia
B. Deskripsi Singkat (pokok bahasan): menjelaskan proses perencanaan
dan pembentukan KKP di Indonesia, pembelajaran (lesson learned) dari
negara lain, sejarah perkembangan KKP, pada era kepeminpinan yang
berbeda, dan insiatif pencalonan kawasan konservasi di Indonesia.
C. Tujuan Instruksional Khusus:
1. Peserta mampu menjelaskan sejarah perkembangaan kawasan
konservasi di Indonesia;
2. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) proses (langkahlangkah) dalam pembentukan KKP dari pembejaran yang berbeda
(Fish Habitat Area);
3. Peserta dapat menjelaskan tahapan langkah yang harus diikuti dalam
pembentukan suatu kawasan konservasi perairan;
D. Isi Pokok Bahasan
(disajikan mulai halaman berikut)

MODUL

Mata Kuliah KSDKP


Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

FPIK/University of Brawijaya:

MODUL 7:

2012

2012

ROADMAP KAWASAN KONSERVASI


PERAIRAN DI INDONESIA

7.1 Sejarah Perkembangan Konservasi di Indonesia


Sejarah kawasan konservasi di Indonesia bisa dibedakan ke dalam 4 (empat)
periode, ialah: (1) pra-kolonial; (2) periode kolonial Belanda, (3) periode kemerdekaan,
dan (4) periode reformasi. Sejarah kawasan konservasi selama periode kolonial hampir
terlupakan. Anehnya peninggalan kawasan konservasi jaman pra-kolonial bisa bertahan
sampai saat ini walaupun tanpa aturan tertulis dan tanpa pengukuhan melalui aturan
formal oleh pemerintah. Sebaliknya, banyak kawasan konservasi formal yang dibangun
selama masa kemerdekaaan dan era reformasi tidak dipatuhi oleh masyarakat sebagian
dari kawasan tersebut bahkan dijaga ketat oleh aparat keamanan yang terlatih.
Pada jaman pra-kolonial, konservasi tumbuh dari dua tipe warisan perilaku yang
berbeda. Perilaku pertama ialah adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (sakral) yang
tidak boleh diganggu oleh siapapun. Aturan ini terbentuk dengan sendirinya dan
dipatuhi oleh masyarakat di sekitarnya. Setiap orang yang bertamu ke dalam suatu
wilayah, biasanya akan bertanya tentang kondisi desa, termasuk perilaku (tabu) yang
tidak boleh dilakukan dan tempat-tempat yang tidak boleh didatangi (keramat). Jika hal
ini dilanggar, warga desa akan segera menegur dan bahkan ketakutan karena sudah
terjadi pelanggaran aturan, yang mereka patuhi secara turun temurun. Di laut, lokasi ini
sekarang sering disebut dengan istilah fish sanctuary. Dia berpeluang menjadi KKP
secara alami, dan melalui mekanisme spill-over serta ekspor-larva, memperbaharui
(replenish) perikanan tangkap di sekitarnya. Di Blitar Jawa Timur, ada suatu lokasi
bernama Telaga Rambut Monte yang sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk
sekitarnya sebagai tempat yang terlarang Rambut Monte ialah sebuah telaga sumber
yang berukuran sekitar 400 m2. Di dalam telaga terdapat beberapa jenis ikan, yang
paling unik ialah ikan Sengkaring, Tor douronensis (Valenciennes, 1842). Tanpa aturan
formal, ikan sengkaring tetap terjaga di dalam telaga, sementara ikan yang sama tidak
ditemukan di daerah lain, di sekitarnya. Tabu atau pantangan ialah suatu pelarangan
sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak
diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya
tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Menghindar dari perilaku tabu
inilah yang kemungkinan menjadi kata kunci keberhasilan kawasan konservasi yang
terbangun sejak jaman pra-kolonial di Indonesia.
175

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

kedua ialah adanya kesepakatan


di dalam masyarakat,
antara
kepala
MataPerilaku
Kuliah KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
kelompok dangan anggota kelompok, untuk melindungi suatu wilayah dengan segala
isinya. Perilaku ini tumbuh dari keinginan bersama, bukan dari pandangan tabu. Kepala
kelompok mendapat wewenang untuk mengawasi dan menegakkan aturan, termasuk
menentukan hukuman terhadap pelanggaran aturan konservasi. Pada beberapa kasus,
sanksi sosial sudah ditentukan dalam kesepakatan. Beberapa contoh dari kawasan
konservasi yang kita kenal sampai saat ini ialah Sasi Laut di Maluku dan Papua,
Panglima Laot di Aceh, Awig-Awig di Bali dan Lombok, atau Nyale di Sumba.
Masyarakat Nusa Penida Bali, pernah mempunyai aturan Awig-Awig tentang
perlindungan terumbu karang. Masyarakat sepakat untuk melarang perdagangan
terumbu karang ke luar desa. Untuk kepentingan membangun rumah sendiri, anggota
masyarakat dalam desa berhak untuk mengambil karang di laut. Jika anggota
masyarakat menjual karang keluar desa, dia akan dikenakan hukuman sosial bekerja
sosial di Balai Desa (Bale Banjar) selama 20 hari. Kepatuhan masyarakat pada tipe
kawasan konservasi seperti ini masih cukup kuat, walaupun belakangan mulai
berkurang. Kunjungan ke beberapa wilayah Sasi Laut maupun Panglima Laot
menunjukkan pernah adanya atau eksistensi dari aturan-aturan pembatasan di dalam
kawasan. Sayangnya, sistem ini tidak mendapatkan penguatan yang optimal dari
pemerintah.
Pada jaman kolonial Belanda, inisiatif konservasi bisa berasal dari individu
maupun pemerintah. Pada tahun 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat untuk
menyerahkan sebidang tanah (hutan) di Depok, kepada pengikutnya. Namun hutan
tersebut harus dilindungi sebagai kawasan konservasi, untuk menjaga kesimbangan
lingkungan di sekitarnya. Sebagai gantinya, Chastelein memberikan sebidang tanah
lainnya dan bisa dimanfaatkan oleh pengikutnya. Pengikut Chastelein, sekarang
mendirikan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) untuk mengenang jasa Chastelein.
Pada tahun 1889, Direktur Lands Plantentuin (sekarang menjadi Kebun Raya Bogor),
mengusulkan kawasan hutan Cibodas untuk dilindungi, untuk kepentingan penelitian.
Kawasan ini diperluas pada tahun 1925, mencakup Pengunungan Gede dan Pangrango.
Sekarang, kawasan tersebut menjadi Taman Nasional Gede Pangrango, kawasan yang
bertujuan untuk melindungi persediaan air di wilayah perkotaan (Jakarta). Pada tahun
1932, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Natuur Monumenten Ordonatie atau
Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sejak saat itu konservasi secara hukum
mulai diterapkan. Namun kawasan konservasi selalu berada di darat, sementara
pengetahuan dan kemajuan di bidang pesisir dan kelautan sangat jauh tertinggal (Tabel
7.3).
Pada era kemerdekaan, Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) bekerja
sama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membangun sekolah khusus bagi
praktisi konservasi di Indonesia. Sekolah ini disebut School of Environment and
Conservation Management (SECM) yang berlokasi di Bogor. Lulusan dari SECM inilah
yang pada umumnya menjadi pengelola hampir semua kawasan konservasi di
176

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Indonesia.
Namun
mulai tahun 1994, SECM
harus ditutup oleh
Pemerintah Indonesia
Mata Kuliah
KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
karena anggaran yang terbatas. Pada saat yang sama jumlah dan luas kawasan
konservasi terus meningkat, dan sebagian dari lulusan SECM saat ini sudah mengalami
purna tugas. Setelah periode kekosongan selama hampir 13 tahun, Pemerintah Indonesia
mulai merasakan pentingnya SECM dan bekerja sama dengan Pemerintah Korea untuk
membuka kembali sekolah tersebut. SECM dianggap sangat berhasil dalam mendidik
tenaga praktisi dan pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Keberadaan SECM
sangat mewarnai kualitas pengelolaan kawasan konservasi dalam era kemerdekaan.
Namun pendididkan lebih difokuskan untuk keperluan kehutanan atau kawasan
konservasi di darat, dengan tujuan utama perlindungan keanekaragaman hayati.
Spesialist dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan diduga jauh tertinggal
dibandingkan dengan komponen daratan.
Sebelum era reformasi, ada beberapa inisiatif masyarakat desa pesisir untuk
melindungi wilayah di laut dengan tujuan memperbaiki perikanan. Istilah yang paling
umum digunakan ketika itu ialah Daerah Perlindungan Laut (DPL). Inisiatif ini
didukung oleh beberapa proyek, seperti Coastal Resource Managemient Project
(CRMP). Contoh dari DPL yang cukup berhasil ialah Blongko, Talise, Bentenan dan
Tumbak di Sulawesi Utara. Semua aktifitas pengelolaan kawasan dilakukan oleh
masyarakat, yang didorong oleh proyek dan instansi pemerintah daerah. Inisiatif ini
kemudian dikembangkan oleh beberapa program berikutnya, seperti COREMAP (Coral
Reef Rehabilitation and Management Program).
Pada awal era reformasi, terjadi beberapa perubahan dalam bidang hukum dan
perundangan. Reformasi hukum tersebut juga terjadi dalam bidang konservasi. UndangUndang Nomor 31 tahun 2004 ialah peraturan pertama yang memberi wewenang
pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan kepada insitusi selain Departemen
Kehutanan. Pada saat yang sama, melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,
Pemerintah Daerah mendapat wewenang untuk mengelola kawasan konservasi.
Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, Pemerintah memberikan
kewenangan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jadi, pada era
reformasi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) jenis Undang-Undang terkait
dengan kawasan konservasi. Sedangkan dalam era kemerdekaan (1945 2000), selama
kururn waktu sekitar 55 tahu, pemerintah hanya menetapkan satu undang-undang
tentang konservasi.
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tampaknya dimulai dari darat,
seperti umumnya daerah-daerah lain di dunia. Pada periode penjajahan Belanda,
penetapan kawasan konservasi selalu dilakukan di darat. Pendidikan konservasi pada
era kemerdekaan (SECM) juga lebih banyak difokuskan untuk masalah-masalah
kehutanan di darat. Laut menjadi wilayah yang hampir dilupakan untuk kepentingan
konservasi. Dengan meningkatnya teknologi penangkapan ikan, sebagian besar habitat
dan sumber daya ikan mengalami degradasi akibat penangkapan berlebih dan tidak
177

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

ramah
Setelah tahun 2000, era
reformasi, beberapa
inisiatif termasuk
Mata lingkungan.
Kuliah KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
pengembangan kebijakan konservasi, dimulai ke arah laut.
Dari sejarah perkembangan kawasan konservasi, Indonesia tampaknya sedang
berada dalam proses mencari bentuk menuju pengelolaan kawasan konservasi yang
efektif. Oleh karena itu, ada baiknya kalau kita mempelajari pengalaman dari proses
pembentukan beberapa kawasan konservasi diluar Indonesia. Pembelajaran yang sesuai
bisa kita gunakan dan adopsi untuk perbaikan sistem yang sudah berkembang sampai
saat ini.
7.2 Proses Pembentukan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Proses pembentukan kawasan konservasi sangat beragam, tergantung dari: kondisi
masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dari negara bersangkutan, perangkat
hukum dan kebijakan, dan kesadaran akan kebutuhan bersama untuk mencadangkan
sebagian wilayah sebagai kawasan yang dilindungi. Namun, paling tidak ada 5 (lima)
proses yang sama diantara masing-masing kawasan, ialah: (1) inisiatif dari para pihak;
(2) seleksi berdasarkan prioritas; (3) klarifikasi atau validasi lapang; (4) pengajuan
rencana, dan (5) penetapan.
Inisiatif pencalonan kawasan paling sering berasal dari praktisi atau disebut pegiat
konservasi yang bekerja pada tingkat lapang. Rencana inisiatif dipersiapkan dalam
bentuk rencana tingkat proyek atau program. Penerima inisiatif ialah instansi yang
berwenang yang selanjutnya melakukan seleksi berdasarkan skala prioritas. Jika usulan
masuk dalam rencana prioritas, biasanya instansi berwenang bersifat responsif. Instansi
berwenang, bersama pengusul selanjutnya melakukan klarifikasi atau validasi lapang.
Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa calon yang diusulkan memenuhi kriteria
untuk diajukan sebagai kawasan. Ketika semua kriteria sudah terpenuhi, instansi
berwenang mempersiapkan rencana pengusulan calon. Jika tahapan ketiga sudah
dilakukan dan hasilnya positif, maka hampir bisa dipastikan bahwa calon yang
diusulkan akan segera ditetapkan. Rencana pengusulan calon kawasan berisikan
informasi dasar (kriteria) untuk penetapan calon kawasan dan perangkat hukum yang
digunakan untuk penetapan. Pada tahap akhir ialah pertemuan bersifat ceremonial
launching, pengumuman penetapan kawasan kepada publik.
7.2.1 Perlindungan Habitat Ikan Queensland, Australia
Negara bagian Queensland Australia menetapkan Undang-Undang Perikanan
(Fisheries Act) pada tahun 1994 (sebagai perbandingan, Indonesia telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan, atau 10 tahun sebelum
Queensland mempunyai hal yang sama). Instansi berwenang pengelola perikanan
berada di bawah Department Primary Industries and Fisheries. Salah satu pendekatan
dalam pengelolaan perikanan ialah melalui kawasan konservasi secara lokal, kawasan
178

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

iniMata
disebut
Fish KSDKP
Habitat Area atau wilayah perlindungan
habitat
Sejak tahun
1994,
Kuliah
FPIK/University
of ikan.
Brawijaya:
2012
muncul berbagai inisiatif untuk pembentukan habitat perlindungan ikan. Sampai bulan
Juli tahun 2010 (16 tahun kemudian), Negara Bagian Queensland sudah memiliki 71
kawasan perlindungan habitat ikan. Tipe kawasan dan bentuk pengelolaan dibedakan
dalam dua bentuk, ialah: kawasan Habitat Reserve dengan bentuk pengelolaan tipe A,
dan Wetland Reserve dengan bentuk pengelolaan tipe B.
Proses penetapan kawasan perlindungan habitat ikan, teridiri dari 12 langkah, ialah:
1) Nominasi calon kawasan
2) Penentuan prioritas dalam seleksi
3) Penelusuran pustaka dan survei lapang
4) Draft Rencana Pengelolaan
5) Konsultasi awal dengan para pihak
6) Revisi informasi & perbaikan draft rencana pengelolaan
7) Konsultasi kedua
8) Revisi berdasarkan informasi hasil konsultasi kedua.
9) Penetapan tanda batas kawasan
10) Penyerahan Rencana Pengelolaan pada Bagian Hukum Kementerian Primary
Industries
11) Penyerahan kepada Minister for Primary Industries.
12) Penyerahan kepada Gubernur untuk ditetapkan
Semua proses, sampai pada penetapan bervariasi antara 18 sampai 36 bulan, suatu
proses yang relatif sangat cepat. Tahapan proses antara 4 12 harus bisa diselesaikan
oleh Pemerintah (Department of Primary Indutries and Fisheries) dalam waktu 12
bulan. Hal ini terjadi karena proses konsultasi hanya melibatkan kelompok-kelompok
yang terbatas dan sebagian besar dilakukan melalui pengumuman pada website. Setelah
pada tahap 12, ada kemungkinan suatu calon kawasan ditolak oleh Gubernur dan semua
proses, dari 1 sampai 12 dinyatakan gugur.
Kawasan perlindungan habitat ikan (Fish Habitat Area) didefinisikan sebagai
wilayah perairan yang mengandung habitat kritis dan penting bagi ikan serta daerah
penangkapan ikan, dilindungi secara hukum untuk mempertahankan keberlanjutan
perikanan. Tujuan utama pembentukan ialah untuk melindungi dan mempertahankan
keberlanjutan perikanan tangkap. Keunikan paling dasar dari kawasan konservasi ini
ialah bahwa kegiatan ekstraktif dalam bentuk penangkapan ikan diperbolehkan pada
seluruh wilayah kawasan. Bahkan, menggali lumpur untuk mendapatkan cacing bagi
umpan penangkapan juga diperbolehkan Kawasan tidak mengenal istilah wilayah
larang-ambil atau no-take zone, seperti umumnya kawasan konservasi lainnya.
Kemungkinan besar inilah yang menjadi faktor utama Daerah Perlindungan Ikan di
179

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Australia
bisa berkembang
cepat tanpa ada
penolakan yang
nyata dari masyarakat
Mata Kuliah
KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
(Gambar 7.1). Sedangkan kegiatan yang dilarang ialah semua bentuk pembangunan
yang kemungkinan berdampak pada perubahan habitat, seperti reklamasi pantai,
penahan gelombang dan/atau mengambil kayu, walaupun berasal dari pohon yang sudah
mati (Tabel 7.1).
Rehabilitasi habitat, seperti penanaman bakau sangat dimungkinkan di dalam
kawasan, walaupun kegiatan tersebut harus mendapat ijin dari pengelola. Dengan
demikian, kawasan bisa termasuk dalam kategori IV menurut kriteria IUCN. Pada sisi
lain, tujuan utama pembentukan kawasan ialah mempertahankan pemanfaatan dan
keberlanjutan perikanan tangkap. Pada saat yang sama, dia juga bisa dimasukkan
kedalam kategori VI dari IUCN. Informasi paling akhir mendapatkan bahwa Pemerintah
Australia melaporkan sebagian besar dari habitat perlindungan ikan di Queensland
sebagai kategori IV, Habitat/Species Management Area.

180

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Tabel
Berbagai
jenis kegiatan yang diperbolehkan,
tanpa
ijin, memerlukan
Mata7.1
Kuliah
KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012ijin,
dan dilarang dilakukan di dalam kawasan habitat perlindungan ikan (Sumber: DPI, 2002
Fish Habitat Area)
NO

Jenis Kegiatan

Tanpa Ijin

Perlu Ijin

Dilarang

Memasuki kawasan (Akses langsung)

Menggunakan
kawasan

Menangkap ikan pada skala tradisional

Menangkap ikan sport fishing & recreational


fishing

Menggali lumpur untuk mencari cacing untuk


umpan

Membangun pelabuhan perikanan / jetty

Membangun tambatan perahu (mooring buoy)

Menimbun pantai untuk mengontrol erosi

Reklamasi pantai

10

Membangun penahan gelombang (break-water)

11

Mengambil kayu dari dalam bakau dan pantai

12

Rabilitasi habitat kritis dan penting untuk ikan

13

Mengambil mollusca

181

perahu/speedboat

ke

dalam

() dalam pertimbangan

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP


Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

FPIK/University of Brawijaya:

2012

2012

Gambar 7.1 Lokasi dan jarak antar kawasan habitat perlindungan ikan pada wilayah
pesisir Negara Bagian Queensland yang relatif dekat satu sama lain (Sumber: DPI, 2002
Fish Habitat Area brochure)
7.2.2 Florida Keys National Marine Sanctuary Amerika Serikat
Sejarah konservasi di Amerika Serikat hampir tidak bisa dipisahkan dari
YellowStone. YellowStone National Park benyak dianggap sebagai Taman Nasional
pertama di dunia, ditetapkan pada tahun sekitar 1872, oleh Ulysses S. Grant. Taman
Nasional ini terkenal karena kehidupan alam liar, pemandangan geothermal dan geyser
(air panas alam karena aktifitas gunung berapi). YellowStone juga memiliki
pemandangan lain yang unik, seperti danau, lembah (canyon), sungai dan pegunungan
yang curam. Danau YellowStone dipercaya merupakan danau terbesar yang terletak di
wilayah pengunungan (dataran tinggi) dan merupakan bekas caldera dari supervolcano.
Namun YellowStone sepenuhnya ialah kawasan konservasi yang ada di darat.
Florida Keys ialah wilayah perairan yang menjadi persinggahan para penjelajah
dan peneliti kelautan sejak berabad-abad yang lalu ketika berkunjung ke Amerika. Sejak
beberapa dekade lalu, beberapa peneliti mengamati adanya penurunan kualitas
lingkungan sebagai akibat dari polusi laut dan pemanfaatan berlebih. Pada tahun 1957
praktisi konservasi dan peneliti mengadakan pertemuan (lokakarya), membahas
penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai hasil dari lokakarya,
Pemerintah Negara Bagian Florida menetapkan Florida Key sebagai Taman Laut
pembentukan Taman Laut Florida Keys tidak melibatkan konsultasi publik yang
182

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

intensif,
seperti KSDKP
yang dilakukan di Negara Bagian
Queensland,ofAustralia.
Namun
proses
Mata Kuliah
FPIK/University
Brawijaya:
2012
pembentukan memerlukan waktu yang relatif lebih lama (tiga tahun) dari inisiatif calon
kawasan.
Penetapan dan pengelolaan kawasan secara optimal ternyata belum menurunkan
tingkat pencemaran dan pemanfaatan berleb ih pada sumber daya di laut. Karena
desakan media dan sebagian publik, pemerintah menetapkan beberapa kawasan baru,
bersebelahan dengan Florida Keys - Largo National Marine Sanctuary (tahun 1975),
Pennekamp Park, dan Looe Key National Marine Sanctuary (tahun 1981). Proses
penetapan kawasan juga tidak melibatkan publik yang intensif.
Degradasi kawasan terus berlanjut tutupan karang keras menurun. Pengeboran
minyak yang dilakukan sekitar tahun 1980an dilaporkan menurunkan kualitas air,
bleaching karang, kematian padang lamun, menurunnya populasi ikan karang dan
meningkatnya penyakit pada coral polyp. Pada tahun 1989, ada 3 (tiga) kapal cargo
besar yang karam di dalam kawasan selama 18 hari. Desakan publik mengharuskan
kepada tiga kapal cargo tersebut untuk membayar denda kepada pemerintah. Seluruh
denda dibayar oleh perusahaan tanpa perlawanan yang berarti. Pada tahun 1990,
Pemerintah Amerika Serikat, George Bush, menetapkan seluruh kawasan Florida Keys
sebagai kawasan konservasi melalui Hukum Federal Amerika Serikat. Saat ini, Florida
Keys National Marine Sanctuary tersusun atas 14 kawasan konservasi perairan, yang
masing-masing ditetapkan berdasarkan Hukum Negara Bagian Florida. Pada saat yang
sama, seluruh wilayah (regional) juga dilindungi dengan menggunakan Hukum Federal
Suatu Kawasan Konservasi Perairan dilindungi melalui dua peraturan berbeda, tingkat
negara bagian dan Federal.
Berbeda dengan pembentukan masing-masing kawasan di dalam negara bagian,
rencana pengelolaan pada tingkat nasional melibatkan berbagai komponen masyarakat,
peneliti, praktisi, pemerintah negara bagian dan pemerintah nasional Amerika Serikat.
Panitia Pengarah (Advisory Council) harus bekerja keras untuk mengakomodasi
pendapat berbagai komponen masyarakat dari seluruh negeri. Pada saat yang sama,
Panitia Pengarah juga menghadapi penolakan oleh masyarakat Florida Keys.
Masyarakat Florida Keys khawatir peraturan yang terlalu ketat akan berdampak pada
perpindahan penduduk lokal, penurunan luas wilayah pemanfaatan tradisional, dan
penurunan aktifitas ekonomi masyarakat. Pembentukan rencana pengelolaan dilakukan
tanpa mendahulukan kepentingan publik (Unprecented Public Involvement), oleh
karena itu Panitia Pengarah harus mengakomodasi berbagai pendapat komponen
masyarakat sebagai usaha kompromi rencana pengelolaan mengadopsi kepentingan
peraturan pemerintah negara bagian, pemerintah lokal dan pemerintah tingkat nasional
secara bersama. Akhirnya, setelah melalui proses debat selama 6 (enam) tahun, rencana
pengelolaan kawasan konservasi Florida Keys National Marine Sanctuary bisa
ditetapkan.
Dari dua jenis Kawasan Konservasi Perairan (Fish Habitat Area dan Florida keys
National Marine Sanctuary), kita bisa melihat perbedaaan dalam proses penetapan
183

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

kawasan.
Langkah-langkah
dalam penetapanFPIK/University
Fish Habitat Area
sangat panjang,
paling
Mata Kuliah
KSDKP
of Brawijaya:
2012
tidak melibatkan dua kali konsultasi para pihak, menggunakan hanya satu ketentuan
hukum dan proses penetapan relatif sangat cepat. Florida Key ditetapkan dengan
mengunakan sistem hukum bertingkat (lokal, negara bagian dan nasional), dan terdiri
dari beberapa sistem kawasan konservasi dalam satu kawasan konservasi yang luas.
Sistem nasional iperlukan karena kawasan konservasi lokal yang ada tidak mampu
menurunkan atau mencegah kerusakan atau degradasi kawasan konservasi sebagai
dampak dari pencemaran dan pemanfaatan berlebih. Sistem kawasan pada Florida Keys
sangat kompleks sehingga penetapan rencana pengelolaan membutuhkan waktu yang
relatif lama, walaupun pelibatan masyarakat bukan merupakan ketentuan yang mutlak.
Pembelajaran yang bisa diambil dari sini ialah bahwa setiap kawasan konservasi
mempunyai roadmap tersendiri untuk mencapai tujuannya.
7.3 Pengalaman di Indonesia
Indonesia mempunyai beberapa pengalaman dalam penetapan dan pengelolaan
kawasan konservasi secara tradisional, sebelum kemerdekaan. Sasi Laut, Awig-Awig,
Nyale dan Panglima Laut yang beberapa diantaranya masih bertahan sampai saat ini
membuktikan beberapa keberhasilan dalam pengelolaan kawasan. Ada dua hal dasar
yang membedakan sistem kawasan tersebut dengan kawasan saat ini, ialah: keterkaitan
kawasan satu dengan lainnya dalam sistem jejaring (MPA network), dan nilai global dari
keanekaragaman hayati serta perikanan. Masing-masing kawasan berfungsi secara
terisolasi, tanpa ada kaitannya dengan kawasan yang berdekatan. Keterbatasan sistem
komunikasi dan autoritas menyebabkan tidak memungkinkan menyusun kawasan yang
saling berhubungan.
7.3.1 Inisiatif Pencalonan Kawasan
Inisiatif pencalonan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dimulai
dari survei yang dilakukan oleh IUCN/WWF Program dengan PHPA (Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam) pada tahun 1980. IUCN/WWF diwakili oleh Rodney Salm,
sedangkan pihak pemerintah diwakili oleh Matheus Halim. Kedua tim melakukan survei
lapang pada hampir seluruh wilayah pantai dan laut di Indonesia. Penentuan calon
Kawasan Konservasi Perairan ditentukan dari tiga persyaratan utama, ialah: memenuhi
salah satu atau kombinasi dari 6 (enam) tujuan pembentukan kawasan, memenuhi 5
(lima) kriteria identifikasi dan 4 (empat) kriteria seleksi sebagai calon kawasan. Calon
Kawasan Konservasi Perairan yang akan dipilih harus memenuhi salah satu atau
kombinasi dari kriteria tujuan berikut:
1) Melindungi habitat kritis (tempat mencari makan, pemijahan dan asuhan) bagi
spesies atau ikan-ikan komersial;

184

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

2)Kuliah
Melindungi
habitat dari spesies yang
terancam punahdan
memperbaiki
Mata
KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012stok
sumber daya yang sudah terkuras akibat pengambilan berlebih;
3) Mempertahankan, paling tidak satu lokasi pesisir dan laut dekat dengan lokasi
penduduk pada masing-masing propinsi untuk kepentingan pariwisata
4) Melindungi perwakilan habitat pesisir dan laut yang lengkap, ditemukan di
wilayah Indonesia;
5) Mempertahankan keanekaragaman hayati warisan perairan laut Indonesia;
6) Melindungi lokasi yang bernilai tinggi untuk penelitian dan pendidikan
Kriteria yang digunakan dalam proses identifikasi calon kawasan ialah sebagai berikut:
1) Kawasan harus mempunyai nilai tinggi untuk perlindungan spesies yang
terancam punah atau spesies komersial (bagi perikanan);
2) Lokasi mempunyai kontribusi terhadap pengembangan pariwisata, rekreasi,
penelitian dan pendidikan;
3) Lokasi memberikan kontribusi positif pada perikanan tangkap;
4) Lokasi merupakan perwakilan habitat tertentu atau kisaran beberapa habitat
yang berbeda;
5) Lokasi berada pada kondisi alami atau semi-alamiah, atau jika sudah
terdegradasi, dia mempunyai peluang untuk kembali kepada kondisi alamiah.
Daftar hasil identifikasi selanjutnya diseleksi berdasarkan kriteria berikut:
1) Tipe atau kategori Kawasan Konservasi Perairan tidak terwakili dalam satu
propinsi;
2) Kawasan konservasi mewakili contoh terbaik dari masing-masing tema
(kategori kawasan atau jenis habitat) di dalam satu propinsi;
3) Jika terjadi duplikasi dalam satu propinsi, lokasi harus bisa menunjukkan
manfaat bagi masyarakat di sekitarnya; berdampak pada ekonomi nasional
melalui pariwisata dan perikanan, atau dia mempunyai nilai yang sangat tinggi
dalam satu wilayah secara regional;
4) Kawasan Konservasi Perairan memungkinkan untuk dikelola secara sehat
(viable management unit) misalkan, jika lokasi yang terseleksi dekat dengan
muara sungai, pengelolaan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) harus
dipastikan dilakukan dengan optimal
Hasil survei disajikan dalam 6 (enam) seri laporan pada tahun 1984. Tim
merekomendasi pembentukan 180 Kawasan Konservasi Perairan baru, selain yang
sudah ada saat itu (Tabel 7.2).
7.3.2 Proses Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia
Sampai tahun 1982, Pemerintah Indonesia, secara resmi telah menetapkan 95
kawasan konservasi perairan. Namun, hampir semua Kawasan Konservasi Perairan
tersebut ialah perluasan dari kawasan konservasi di darat. Taman Nasional Kepulauan
185

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Seribu
dan Taman
Nasional Bunaken kemungkinan
besarofmerupakan
taman
Mata Kuliah
KSDKP
FPIK/University
Brawijaya: dua
2012
nasional laut yang pertama di Indonesia. Masing-masing kawasan konservasi
mempunyai sejarah penetapan yang berbeda dan unik. Oleh karena itu sangat sulit untuk
melacak umur dari suatu kawasan konservasi dan tonggak mulai pengelolaan kawasan
secara efektif.
A. Taman Nasional Komodo
Taman Nasional Komodo yang kita ketahui saat ini, meliputi wilayah darat dan
laut dan juga disebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan (marine protected area)
kategori II menurut klasifikasi IUCN. Taman Nasional Komodo pada awalnya hanya
terdiri dari wilayah darat. Identifikasi Pulau Komodo sebagai kawasan konservasi mulai
dari ditemukannya binatang Komodo oleh J.K.H. van Stein, pada tahun 1911. Setahun
kemudian binatang tersebut diberi nama Varanus Komodoensis (Ouwens, 1912), oleh
P.A. Ouwens. Pada tahun yang sama (1912), Sultan Bima disebutkan membuat
keputusan untuk melindungi binatang Komodo. Beberapa dokumen menyebutkan
bahwa surat resmi dari Sultan Bima dikeluarkan pada tahun 1915 (SK. Sultan Bima
tahun 1915 tentang Perlindungan Komodo Verordening van het Sultanat vain Bima).
Pada tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda di Manggarai mengeluarkan Surat
Keputusan tentang Perlindungan Komodo (Besluit van het Zelfbestuur van het
Landschap Manggarai). Namun mulai tahun 1926, binatang Komodo dibawa keluar
Indonesia untuk kepentingan penelitian dan konservasi spesies. Sejarah transportasi
Komodo ini ditelusuri kembali oleh L.C. Rookmaaker, terkait dengan keterlibatan
kakeknya dalam proses pengiriman binatang ini. Oleh karena itu, agak sulit untuk
mengatakan bahwa konservasi kawasan di Komodo mulai efektif sejak tahun 1912, atau
bahkan tahun 1926.
W.D. Barden dikatakan berhasil menangkap dua bintang Komodo untuk pertama
kali (satu betina dan satu jantan) dan dikirim ke New York Zoological Garden, Amerika
Serikat. Namun pada tahun yang sama (1912), kedua binatang tersebut mati setelah
sampai di Amerika. Pada bulan Oktober 1926, seekor Komodo jantan ditangkap oleh
W. Groeneveld di daerah Flores Barat dan dikirim ke Amsterdam. Ketika itu, W.
Groeneveld ialah Asisten Residen di wilayah Bima, Sumbawa dan diduga mengenal
Sultan Bima. Binatang Komodo dibawa dengan kapal S.S. Karimata, ditempatkan pada
cabin khusus dengan uap panas untuk menyesuaikan suhu alami binatang ini selama
transportasi. Namun binatang Komodo juga meninggal pada tahun yang sama.
Bulan Juni 1927, empat kebun binatang Eropa menerima kiriman binatang
Komodo dari Indonesia. Satu Komodo diterima oleh Amsterdam Zoo, satu ekor oleh
Rotterdam Zoo, dua ekor diterima oleh London Zoo dan satu ekor sisanya oleh Berlin
Aquarium. Binatang ini ditangkap dari Pulau Rintja, oleh H.R. Rookmaaker. Pada saat
itu H.R. Rookmaaker ialah Asisten Residen di Flores, membawa sekitar 200 orang
untuk menangkap 12 ekor Komodo dari Rintja. Pengiriman dilakukan melalui Ende,
186

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Surabaya,
PriokKSDKP
dan Eropa. Dari 12 ekor tersebut
hanya 5 (lima)
ekor yang dikirim
Mata Kuliah
FPIK/University
of Brawijaya:
2012 ke
Eropa dan pada akhirnya semua mati dalam periode waktu yang berbeda. Salah satu
bintang Komodo yang berada di Berlin bisa bertahan dan dipertontonkan kepada
pengunjung. Pada akhirnya, binatang Komodo ini mati pada tahun 1944, setelah 16,5
tahun berada di Eropa. Atas permintaan Prof. Mertens, Hookmaaker kembali ke Rintja
untuk menangkap 2 (dua) ekor Komodo. Salah satu binatang ini mati setelah beberapa
hari berada di Rana Mese. Satu Komodo sisanya lagi, dikirim ke Frankfurt, Jerman.
Binatang ini bisa tahan hidup lama dan menjadi tontonan pengunjung kebun binatang
selama beberapa tahun. Komodo ini terbunuh karena pengrusakan kebun binatang pada
tahun 1944. Sejak tahun 1927, tidak ada surat lain dari H.R. Rookmaaker tentang
usahanya untuk mengirim binatang Komodo.
Pada tahun 1938, Residence Flores (Pemerintah Belanda) mengeluarkan
keputusan untuk penetapan Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo sebagai
kawasan konservasi. Surat keputusan tersebut diperkuat oleh Residen Timor yang
dikeluarkan setahun kemudian (1939). Perlindungan kawasan hanya dilakukan di
wilayah daratan, tidak mencakup wilayah perairan. Perkembangan kawasan konservasi
di Komodo hampir tidak terlacak setelah tahun 1938. Cerita beberapa masyarakat
Komodo, Rinca dan Manggarai menyatakan bahwa pada saat ditetapkan, beberapa
keluarga sudah tinggal di Pulau Komodo. Bahkan beberapa keluarga dari Manggarai
juga menyatakan mempunyai hubungan keluarga dengan mereka yang tinggal di Rintja
(atau ditulis Rinca).
Pada tahun 1965, Menteri Kehutanan menunjuk Pulau Komodo (31.000 ha)
sebagai Suaka Margasatwa (SK MenKeh No.66/Dep.Keh/1965 tertanggal 21 Oktober
1965). Pada tahun 1970, Direktorat Jenderal Kehutanan (SK DirJenHut No.97/Tap/Dit
Bina/1970) secara resmi membentuk Seksi PPA di Labuan Bajo PPA ialah singkatan
dari Perlindungan dan Pelestarian Alam. Seksi PPA secara resmi bisa dikatakan sebagai
instisusi pengelola dari Kawasan Konservasi Komodo yang ada di daerah (Labuan
Bajo). Tahun ini boleh dikatakan sebagai tonggak awal konservasi di Komodo mulai
dilaksanakan secara bertahap. Namun informasi setelah itu juga sulit dilacak sampai
awal tahun 1980. Ketika itu (6 Maret 1980), Menteri Pertanian mengumumkan
pembentukan 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, ialah: Taman Nasional Komododo,
Gunung Leuser, Ujung Kulon, Gede-Pangrango dan Baluran. Pengumuman ini
sebenarnya lebih didorong oleh peristiwa strategis saat itu, ialah Strategi Pelestarian
Dunia (World Conservation Strategy) yang diselenggarakan di Bali.
Pada tahun 1992, melalui keputusan Menteri Kehutanan (KepMenHut No.
306/Kpts-II/92, tertanggal 11 Desember 1992) Taman Nasional Komodo ditetapkan dan
meliputi wilayah perairan dengan luas sekitar 132.500 ha (luas daratan Taman Nasional
meliputi Pulau Padar, Rinca dan Komodo hanya mencapai 40.728 ha). Ide dan realisasi
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan ini muncul setelah 70 tahun penetapan
kawasan konservasi di darat (oleh Sultan Bima, pada tahun 1912). Ketika ditetapkan,
hampir tidak ada tenaga teknisi atau Jaga Wana dan pengelola kawasan yang
187

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

memahami
tentang
laut. Baru 4 (empat) tahun
kemudian (1996)
dimulai kerja
sama
Mata Kuliah
KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
dengan beberapa pihak untuk memulai kegiatan konservasi di laut beberapa Jaga
Wana mendapat training tentang teknik penyelaman dan pengenalan observasi
organisme bawah air. Dari pembelajaran ini, bisa dikatakan bahwa pengalaman kita
tentang Kawasan Konservasi Perairan jauh terkebelakang (sekitar 70 tahun)
dibandingkan dengan pengalaman mengelola kawasan konservasi di darat.

Gambar 7.2 Perkampungan masyarakat di Pulau Komodo sumber penghidupan


penduduk ialah mencari ikan di dalam kawasan dan sebagian kecil dari pariwisata.
B. Taman Nasional Bali Barat
Roadmap dari Taman Nasional Bali Barat hampir sama dengan sejarah konservasi
Taman Nasional Komodo. Pada tahun 1911, seorang ahli Biologi dari Jerman, Dr.
Baron Stressmann harus tinggal di Singaraja Karena Kapal Ekspedisi Maluku II rusak
dan harus diperbaiki di pelabuhan Bali Utara. Selama masa menunggu, Stressmann
mempunyai kesempatan melakukan eksplorasi di sekitar hutan Singaraja dan
menemukan burung Jalak Bali. Setahun kemudian temuan ini dipublikasikan dan
menggunakan namanya sebagai penemu binatang Jalak bali, Leucopsar rothschildi
(Stressmann 1912). Penelitian lanjutan diadakan pada tahun 1925, oleh Dr. Baron
Viktor von Plesen. Jalak Bali dinyatakan sebagai binatang langka dengan habitat
terbatas. Penyebaran Jalak Bali diduga berada di sekitar hutan antara Desa Bubunan
188

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

sampai
seluas 32.000 ha (dataFPIK/University
didapat dari dokumentasi
Taman 2012
Nasional
Mata Gilimanuk,
Kuliah KSDKP
of Brawijaya:
Bali Barat).

Mulai saat itu, Pemerintah Hindia Belanda dan peneliti melakukan pendekatan
dengan penguasa di Bali Utara. Akhirnya, pada tanggal 13 Agustus 1947, Dewan RajaRaja Bali mengeluarkan Surat Keputusan No.E/I/4/5/47, menetapkan hutan
Banyuwedang dengan luas 19.365 ha sebagai Taman Pelindung Alam (Natuur Park),
sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam tahun 1941. Status Taman Pelindung
Alam saat ini hampir setara dengan Suaka Margasatwa.
Pengelolaan kawasan hutan Banyuwedang dan Jalak Bali hampir tidak
terdokumentasikan sejak saat penetapan pada tahun 1947. Pada tahun 1978, Menteri
Pertanian menetapkan Suaka Margasatwa Bali Barat, Pulau Menjangan, Pulau Burung,
Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558 ha
(melalui Surat Keputusan No. 169/Kpts/Um/3/78). Efektifitas pengelolaan konservasi
masih menjadi pertanyaan karena keputusan ini tidak diikuti dengan pendirian kantor
atau instansi PPA di sekitar Singaraja.
Pada tahun 1982, melalui SK No. 736/Mentan/X/82, Menteri Pertanian
menetapkan calon Taman Nasional Bali Barat dari Kawasan Suaka Alam, ditambah
hutan lindung dan wilayah perairan seluas 1.500 ha. Kemungkinan UPT Taman
Nasional bali Barat berdiri secara resmi pada tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/84. Namun UPT Taman Nasional tidak bertugas
untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi pada wilayah laut (1.500 ha).
Pengelolaan konservasi kawasan mengalami konflik dualisme kewenangan antara Dinas
Kehutanan Daerah dengan UPT Taman Nasional (instansi pusat, Jakarta). Untuk
mencegah konflik, pada tahun 1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan
No. 493/Kpts-II/95 tertanggal 1995. Surat Keutusan menyatakan wilayah Taman
Nasional Bali Barat yang dikelola oleh UPT seluas 19.000 ha, terdiri dari: 15.587 ha
wilayah daratan dan 3.415 ha wilayah perairan. Mulai saat itu (1995), Taman Nasional
Bali Barat secara resmi mencakup wilayah perairan dan mempunyai badan pengelola
yang pasti (UPT Taman Nasional).
Pada tahun 1999, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) menetapkan pebagian zonasi di dalam kawasan konservasi TN Bali Barat (SK
No. 186/Kpts/Dj-V/99, tertanggal 13 Desember 1999) sebagai berikut:

Zona Inti; ialah wilayah zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan
adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan
dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan zona inti meliputi
daratan seluas 7.567 ha dan perairan laut seluas 455 ha;

Zona Rimba; ialah wilayah penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan
seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas meliputi daratan seluas
6.009 ha dan perairan laut seluas 244 ha;

189

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Zona
Pemanfaatan
dengan kegiatan
yang bisa dilakukan
Mata
Kuliah
KSDKP Intensif; ialah wilayah
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
seperti tersebut di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan
rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya meliputi daratan seluas 1.645 ha dan perairan
laut seluas 2.745 ha;

Zona Pemanfaatan Budaya; ialah wilayah yang dapat dikembangkan dan


dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau relegius meliputi
wilayah seluas 245 ha yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana
ibadat umat Hindu.

Kawasan konservasi Bali Barat secara resmi sudah ditetapkan pada tahun 1947,
dengan tujuan untuk melindungi habitat dari burung Jalak Bali. Selama era
kemerdekaan, status kawasan pertama kali ditetapkan pada tahun 1978. Status kawasan
kemudian dirubah dan diperluas melalui suatu seri keputusan tahun 1982, 1984 dan
tahun 1995. Sedangkan pengelolaan konservasi yang mencakup aspek perairan dimulai
pada tahun 1999, dengan ditetapkannya zonasi kawasan yang meliputi wilayah darat
dan laut secara bersama. Beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari perkembangan
konservasi di wilayah Bali Barat ialah: pengembangan konservasi dimulai dari wilayah
daratan, tujuan utama konservasi adalah perlindungan habitat species, pendekatan dalam
konservasi menggunakan sistem top-down approach, perluasan ke arah laut dilakukan
setelah kawasan berumur lebih dari 50 tahun.
7.4 Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia
Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, diduga ada
kaitannya dengan kemajuan dalam sistem perencanaan dan perangkat hukum sebagai
berikut:

190

Pemerintah menyelesaikan proposal untuk pengembangan kawasan konservasi


di wilayah perairan pada tahun 1975. Dalam proposal tersebut, ada tiga kawasan
konservasi model yang akan dikembangkan, ialah: Taman Nasional Kepulauan
Seribu (terletak pada wilayah dengan penduduk padat dan dekat dengan lokasi
Ibu Kota), Taman Nasional Bali Barat (dekat dengan lokasi pariwisata), dan
Taman Nasional Komodo yang relatif masih alamiah dan belum banyak terkena
dampak pembangunan;
Pada tahun 1976, proposal pertama untuk pengembangan Kawasan Konservasi
Perairan Kepulauan Seribu diterima oleh Pemerintah;
Pada tahun 1978, pemerintah berhasil menyusun pedoman penetapan kawasan
konservasi perairan, dengan kriteria identifikasi dan seleksi yang jelas;
Pada tahun 1981, PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), sebagai
instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi,
membentuk Seksi Konservasi Perairan. Seksi ini bertugas untuk
mengembangkan kawasan konservasi perairan;
Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Sejak
1982, Program IUCN/WWF
bersamaof Brawijaya:
Pemerintah Indonesia
Mata
Kuliahtahun
KSDKP
FPIK/University
2012
melakukan survei keanekaragaman hayati laut, mengidentifikasi dan melakukan
seleksi untuk pencadangan kawasan konservasi perairan. Hasil survei
(dilaporkan pada tahun 1984) menyajikan inisiatif 95 calon Kawasan Konservasi
Perairan kepada pemerintah;

Penetapan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini menghubungkan antara
pengelolaan lingkungan hidup dengan pembangunan berkelanjutan;

Penetapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya. Prinsip dasar dari UU No. 5/1990 ialah
keseimbangan antara konservasi dengan pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan;

Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan


Lindung. Ketentuan ini mengusahakan untuk menurunkan laju kerusakan fungsi
lingkungan hidup sampai tingkat minimal

Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan per periode waktu 5 tahun


disajikan pada Gambar 7.3. Sampai tahun 1982, Indonesia sudah mempunyai 95
kawasan konservasi perairan, seperti yang dilaporkan dari hasil survei IUCN/WWF
bersama Pemerintah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 25 unit kawasan ditetapkan selama
masa penjajahan Belanda (antara tahun 1917 1937). Fokus area untuk pengembangan
Kawasan Konservasi Perairan ketika itu ialah Pulau Jawa dan Sulawesi. Ahli-ahli
biologi dan konservasi pada saat itu diduga terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Sulawesi
Utara dibandingkan daerah lain eksplorasi dan penelitian sangat terkonsentrasi di
wilayah Pulau Jawa. Sistem transportasi dan komunikasi diduga menjadi faktor
penghalang untuk menjangkau daerah lainya di Indonesia.
Cagar Alam Ujung Kulon diduga kuat ialah Kawasan Konservasi Perairan tertua,
yang ditetapkan dengan menggunakan keputusan Pemerintah Indonesia. Ujung Kulon
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 48/Kpts/Um/4/58, pada
tahun 1958 (Tabel 7.2). Pada tahun 1984, inisiatif IUCN/WWF program,
merekomendasi 137 unit Kawasan Konservasi Perairan yang baru kepada Pemerintah
Indonesia. Sejak saat itu, jumlah Kawasan Konservasi Perairan yang ditetapkan terus
meningkat, dan mencapai puncak antara periode tahun 1991-1995 (data dari WDPA,
World Data on Protected Areas, 2009). Pada era reformasi, jumlah penetapan Kawasan
Konservasi Perairan mengalami penurunan (Gambar 7.3). Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh dua kondisi dasar yang berkembang pesat pada era reformasi. Pertama,
masyarakat mulai berani untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah.
Kesempatan ini digunakan oleh kelompok focal minority group yang meraih
keuntungan jangka pendek dari sistem pemanfaatan sumber daya laut tanpa terkontrol,
untuk menolak rencana penetapan kawasan. Kedua, berkembangnya dualisme dalam
pengelolaan kawasan konservasi perairan, antara Departemen Kehutanan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Pusat dari kedua Kementerian
191

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

menghabiskan
harmonisasi (diantara
kedua instansi
Mata Kuliahbanyak
KSDKPenergi untuk melakukan
FPIK/University
of Brawijaya:
2012dan
antara dua peraturan hukum yang berbeda) kebijakan operasional dalam berbagi
kewenangan pengelolaan kawasan.

Gambar 7.3 Jumlah KKP yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah setiap
periode 5 tahun, sejak tahun (Sumber: Salm & Halim, 1984; WDPA, 2009)
Sebagai pembelajaran, RoadMap dari Kawasan Konservasi Perairan Indonesia
bisa diartikan sebagai berikut:

192

Indonesia mempunyai cukup pengalaman dalam mengembangkan kawasan


konservasi perairan. Secara historis, pengalaman ini bisa dibedakan menjadi 4
(empat) periode, ialah: pra-kolonial, priode kolonial Belanda, periode
kemerdekaan, dan era reformasi.
Sasi Laut, Awig-Awig, dan Panglima Laut ialah beberapa contoh dari model
pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat. Surat Keputusan
Sultan Bima dan Raja-Raja Bali bisa dianggap sebagai sistem top-downn
approach dalam usaha perlindungan habitat spesies. Tabu ialah metode yang
paling sering digunakan sebagai penghormatan pada aturan kawasan konservasi;
Penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan pada era kemerdekaan
(1945 2000) lebih banyak menggunakan top-down approach. Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Kehutanan yang terbentuk belakangan, ialah dua
instansi pemerintah yang terlibat dan berwenang dalam pengelolaan kawasan
konservasi, termasuk di laut. Integrasi antara perlindungan kawasan dengan
pemanfaatan berkelanjutan dilakukan melalui koordinasi dengan Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH);
Cagar Alam Ujung Kulon tercatat sebagai Kawasan Konservasi Perairan
pertama yang ditetapkan pada era kemerdekaan (tahun 1958). Proposal untuk
pengembangan Kawasan Konservasi Perairan dimulai sejak tahun 1973 dan
Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

pemerintah pada tahun 1975.


Setahun kemudian
(1976), satu
Mata diterima
Kuliah KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012dari
proyek percontohan Taman Nasional (Kepulauan Seribu) diterima, dari tiga
model yang akan dikembangkan Taman Nasional Kepulauan Seribu dianggap
mewakili model kawasan dengan pemukiman padat dan dekat dengan lokasi
kota besar. Taman Nasional Bali Barat mewakili kawasan yang dipengaruhi oleh
iklim pariwisata. Sedangkan Taman Nasional Komodo terpilih untuk mewakili
kawasan yang relatif masih alamiah dan intervensi manusia masih sangat
terbatas;

Sejak tahun 1975, jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia meningkat


pesat. Faktor pendukung utama, antara lain ialah: adanya ketentuan kriteria
identifikasi dan seleksi kawasan yang berhasil ditetapkan pemerintah, inisiatif
calon Kawasan Konservasi Perairan yang diajukan melalui program IUCN/WWF
dan penetapan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Paling tidak, ada 75 unit kawasan
konservasi laut yang sudah ditetapkan pada era kemerdekaan;

Jumlah kawasan yang ditetapkan selama periode reformasi menurun sampai


hampir 30%. Hal ini diduga disebabkan oleh dualisme pengelolaan pada
Kawasan Konservasi Perairan dan meningkatnya desakan pelibatan masyarakat
dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi. Secara hukum (UU No.
5 tahun 1990), Kementerian Kehutanan ialah instansi yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan kawasan konservasi, baik di darat maupun di laut. Untuk
tujuan pengelolaan perikanan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (UU No. 31 tahun 2004), juga mempunyai kewenangan untuk
mengelola kawasan konservasi perairan. Saat ini, kedua instansi melakukan
harmonisasi secara intensif terkait dengan wilayah (domain) kewenangan
pengelolaan kawasan. Akibatnya, perencanaan penetapan kawasan konservasi
yang baru mengalami kemunduran (delay) dari rencana seharusnya;

Keterlibatan publik yang kental pada era reformasi memberikan peluang pada
setiap komponen masyarakat untuk menolak rencana penetapan kawasan
konservasi baru. Usaha ini lebih dianggap sebagai pelarangan secara berlebihan
(over-restriction) dalam memanfaatkan sumber daya. Kesempatan juga bisa
digunakan oleh kelompok focal minority-group untuk menentang konservasi.
Kelompok ini biasanya mempunyai peluang lebih besar dalam mengambil
keuntungan jangka pendek sebagai akibat dari sistem pengelolaan sumber daya
yang tidak terkontrol.
7.5 Daftar Pustaka:
Alder J., N. A., Sloan, & H. Uktolseya (1994). Advances In Marine Protected Area
Management In Indonesia: 1988 - 1993. Ocean & Coastal Management 25: 6375.
193

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

Robinson,
R., N.KSDKP
Polunin, K. Kvalvagnaes, &
M. Halim (1981).
In Creating
Mata Kuliah
FPIK/University
of Progress
Brawijaya:
2012 A
Marine Reserve System In Indonesia. Bulletin of Marine Science 31(3): 774-785.
Salm, R. V. (1984e). Conservation Of Marine Species In Indonesia. A Protected Area
System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: V.
Bogor, A IUCN/WWF report prepared for the Directorate General of Forest
Protection and Nature Conservation, Bogor: 76.

Salm, R. V., & M. Halim (1984a). A Protected Area System Plan For The Conservation
Of Indonesia's Marine Environment. A Protected Area System Plan For The
Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: I. Bogor, Indonesia, A
IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection
And Nature Conservation, Bogor: 19.
Salm, R. V., & M. Halim (1984c). Environmental Law And Marine Protected Areas
And Species In Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation
Of Indonesia's Marine Environment. Vol: III. Bogor, A IUCN/WWF Report
Prepared For The Directorate General of Forest Protection and Nature
Conservation, Bogor: 21.
Salm, R. V., & M. Halim (1984d). Conservation Of Marine And Littoral Habitats In
Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's
Marine Environment. Vol: IV. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The
Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 78.
Salm, R. V., & M. Halim (1984f). Marine And Coastal Protected Areas In Indonesia. A
Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine
Environment. Vol: VI. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The
Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 49.
Salm, R. V., & M. Halim (1994b). Proposed Marine Protected Area Policy. A
Protected Area System Plan for the Conservation Of Indonesia's Marine
Environment. Vol: II. Bogor, A IUCN/WWF report prepared for the Directorate
General of Forest Protection and Nature Conservation, Bogor: 21.
7.6 Latihan Soal:
1. Pengalaman dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia bisa
dibedakan dalam 4 (empat) periode waktu yang berbeda. Apa karakteristik dasar
yang membedakan sistem pada masing-masing periode tersebut?
2. RoadMap dari Fish Habitat Area di Australia (Queensland) berbeda dengan
Florida Keys National Marine Sanctuary di Amerika Serikat, terutama karena
perbedaan latar belakang dan tujuan pendirian kawasan. Apa perbedaan
mendasar dalam proses pembentukan kedua kawasan.

194

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Mata Kuliah KSDKP

FPIK/University of Brawijaya:

2012

3. RoadMap
Kawasan Konservasi Perairan
di Indonesia hampir
selalu berkembang
Mata
Kuliah KSDKP
FPIK/University
of Brawijaya:
2012
dari kawasan konservasi di darat yang sudah berkembang lebih dulu. Apa yang
mendorong kecenderungan ini?
4. Pada era reformasi ada kecenderungan penurunan jumlah Kawasan Konservasi
Perairan yang baru. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
5. Gambarkan perbedaan dalam roadmap penetapan Kawasan Konservasi Perairan
antara sistem pada Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan
6. Kawasan konservasi pada era pra-kolonial umumnya berkembang dari dua
perilaku yang berbeda. Gambarkan kedua perilaku masyarakat tersebut
7. Jumlah penetapan kawasan konservasi perairan di Indonesia paling tinggi terjadi
pada periode tahun 1991 1995. Jelaskan alasan yang paling logis dari
gambaran ini (perhatikan Gambar 7.3)
8. Jelaskan secara ringkas roadmap dari Taman Nasional Komodo dari awal
sampai menjadi Taman Nasional yang meliputi wilayah darat dan laut
9. Bandingkan roadmap antara Taman Nasional Komodo dengan Taman Nasional
Bali Barat
10. Sebutkan beberapa Taman Nasional di Indonesia yang mempunyai wilayah darat
dan laut

195

Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id

Anda mungkin juga menyukai