Anda di halaman 1dari 12

1

SEORANG PENDERITA DIABETES MELITUS


DENGAN PENYAKIT ARTERI PERIFER OKLUSIF
Muhammad Miftahussurur
PENDAHULUAN
Penyakit Arteri Perifer adalah suatu istilah klinis yang biasa digunakan untuk
menunjukkan adanya stenosis, oklusif dan aneurisma pada aorta dan percabangannya
(ekstremitas bawah, ginjal, usus dan aorta abdominal), selain arteri koroner (Tjokroprawiro,
2008). Penyakit arteri perifer oklusif (PAPO) pada dasarnya disebabkan oleh interaksi antara
faktor aterosklerosis arteri dan hemoreologi yang menyebabkan terjadinya penyempitan atau
oklusi segmental dari arteri (Rapp,2006).
PAPO sering dijumpai pada usia lanjut. Prevalensinya meningkat 5% dan 20 % jika
umur lebih dari 55 dan 70 tahun. Pria dua kali lebih sering terkena dibandingkan wanita. Dari
Seluruh penderita, hanya 30 % yang mengalami gejala klinis, 25% mengalami progresifitas
penyakit serta 5% yang mengalami amputasi dalam 5 tahun (Menard,2006). PAPO meningkat
empat kali pada penderita diabetes melitus (DM). Sekitar 15% Penderita mengalami PAPO
setelah menderita DM selama 10 tahun dan meningkat menjadi 45% setelah 20 tahun (Der
feen, 2002; Wakabayashi,2005).
PAPO berhubungan dengan adanya proses inflamasi yang ditandai adanya aktivasi
leukosit, peningkatan fibrinogen, C-reactif protein dan interleukin 8 yang menyebabkan
disfungsi endotel. Kemudian terjadi peningkatan pembentukan thrombin, aktivasi neutrofil
dan pelepasan mediator seperti asetilkolin dan bradikinin sehingga menimbulkan oklusi dan
disfungsi endotel yang dikenal dengan proses aterosklerosis. Jika episode inflamasi
aterosklerosis kronik berulang akan memicu erosi endotel dan destabilisasi plak, sehingga
terjadi

superimposed

thrombosis. Adanya

disfungsi

endotel

mempermudah terjadinya adesi dan agregasi trombosit, kelainan

dan

trombosit

yang

koagulasi, peningkatan

fibrinogen, C-reactif protein, haptoglobin dan globulin total pada penderita DM akan
meningkatkan viskositas plasma, sehingga mempermudah terjadinya mikrotrombus yang
memperjelek aliran darah dan perfusi jaringan (Brevetti,2008). Oleh karena itu Penderita DM
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan aterosklerosis dibandingkan
Penderita non-DM (Tjokroprawiro,2001; Hittel,2002; Hayes,2007). Pada makalah ini akan
disajikan sebuah kasus penderita DM dengan PAPO total pada arteri tibialis anterior dan
posterior kanan.
Laporan Kasus SMF-Bagian Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo - FK Unair
Surabaya, 1 Juli 2009

2
KASUS
Seorang wanita, Ny. M, usia 53 tahun, suku Manado, agama Kristen, pendidikan
SMP, tidak bekerja, alamat Sedati Sidoarjo, tanggal 30 Januari 2008 datang ke RSU Dr.
Soetomo Surabaya pada dengan keluhan utama nyeri kaki sebelah kanan disertai luka yang
berbau.
Anamnesis
Penderita merasakan nyeri pada kaki sebelah kanan yang memberat bila dipakai
berjalan sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan nyeri menghilang bila
istirahat. Keluhan ini kemudian dirasakan memberat

walaupun dalam keadaan istirahat,

sehingga penderita tidak dapat berjalan sejak lima hari SMRS disertai kesemutan dan
didapatkan ujung jari- jari kaki kanan menghitam dan timbul luka yang berbau. Penderita juga
mengeluh sering minum, sering haus dan berat badan cenderung turun sejak 1 bulan SMRS.
Didapatkan juga keluhan panas yang tidak turun dengan pemberian obat panas sejak 4 hari
SMRS.
Penderita mempunyai riwayat sakit kencing manis sejak 8 tahun yang lalu tetapi tidak
kontrol teratur dan tidak minum obat sejak 1 tahun terakhir. Penderita juga merokok dan
minum alkohol sejak usia muda. Riwayat trauma di tungkai penyakit jantung dan tekanan
darah tinggi disangkal. Keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa.
Pemeriksaan fisik ( tanggal 30 Januari 2008 , pk 01.00)
Compos mentis (CM), tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 96 x/ menit reguler,
pernapasan 18x/menit, suhu 38,1C, lingkar perut 92 cm. Kepala dan leher : tidak didapatkan
anemia, ikterus, sianosis maupun sesak napas. Pupil mata isokor 3mm, refleks cahaya normal,
tidak didapatkan kelainan saraf kranialis, tekanan vena jugularis normal, mukosa mulut
normal tidak didapatkan pembesaran kelenjar parotis, tiroid, maupun kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung I-II tunggal, tidak didapatkan ekstrasistol,
gallop dan murmur. Suara nafas Paru kanan dan kiri vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing.
Pada pemeriksaan perut didapatkan bising usus dalam batas normal, hati dan limpa
tidak teraba dan tidak ada cairan bebas. Pada pemeriksaan ekstremitas, inspeksi : tampak kaki
kanan distal menghitam terutama pada jari-jari kaki dan didapatkan edema, bula dan luka
yang berbau, palpasi kaki kanan teraba lebih dingin dibanding kaki kiri, pulsasi A. Femoralis
kanan dan A. Poplitea kanan teraba normal, A. Dorsalis pedis kanan teraba sangat lemah
dengan ankle-brachial index (ABI) 0,72 (80/110). Sedangkan kaki kiri teraba hangat, pulsasi
A. Femoralis, A. Poplitea, A. Dorsalis pedis kiri dalam batas normal dan ABI 1,05 (120/110).
Tungkai bawah kanan terasa lebih tebal dari kaki kiri.

Pemeriksaan Penunjang
Hb: 10,5 g/dl, PCV : 0,31 , WBC 19.100/ml, Trombosit (Plt) 404.000/ml, gula darah sewaktu
(GDS) 203mg/ dl, BUN 10 mg/dl, serum kreatinin (SK) 1,1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 13
U/L, Natrium (Na) 123 meq/L, Kalium (K) 3,29 meq/L dan Albumin 2,1 g/dl .
Foto dada : jantung dan paru tidak didapatkan kelainan. Foto pedis kanan tak tampak
kelainan. Electrocardiogram (EKG) : irama sinus 100x/menit, aksis bergeser ke kanan, Bcbka
tidak komplit.
Hasil konsultasi bagian lain :
Bedah : Kesimpulan : saat ini kami dapatkan penderita dengan kecurigaan penyakit arteri
oklusif perifer. Saran : konsul bagian Kardiologi untuk dilakukan pemeriksaan arteriografi.
Jantung : Kesimpulan : saat ini di bidang Kardiologi kami dapatkan Penderita dengan DM
disertai selulitis pedis dextra (D) + Sepsis + Hipoalbumin + Hipokalemi. PAPO belum dapat
kami singkirkan dengan BcbKa tidak komplit yang tidak memerlukan tindakan khusus.
Saran : Arteriografi.
Diagnosis kerja : DM + PAPO + Selulitis Pedis D + Sepsis.
Direncanakan pemeriksaan Gula darah puasa (GDP), Gula darah 2 jam setelah makan
(GD2JPP), SGOT, SGPT, LED, profil lipid, asam urat, HbA1c, AT III, D-Dimer, Tes Agregasi
Trombosit (TAT), Fibrinogen, Arteriografi (cek faal koagulasi dan Hbs Ag).
Penatalaksanaan : Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit subkutan
(SC), Ceftazidim 3 x 1 gram IV, Metronidazol 3x500 mg IV, Acetylsalicylic Acid (ASA)
1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg, Albumin 20 % dalam 8 jam dan KSR 2x1 setelah makan.
Perjalanan Penyakit
30 Januari 2008 09.00 Konsultasi Divisi :

Endokrinologi : regulasi gula darah dan diberikan Low molecul weight heparin (LMWH)

dan Warfarin.
Hematologi onkologi medic (HOM) : regulasi gula darah, ASA 1x100 mg, Dipiridamol
3x75 mg, LMWH 0,4 cc/hr SC selama 5 hari, Warfarin 2x2 mg monitor INR 3 hari sekali,
Profil lipid, Fibrinogen, AT III, D-Dimer dan TAT.

31 Januari 2008
S:

nyeri kaki kanan tetap ada walaupun diistirahatkan, ujung jari kaki kanan menghitam,
luka masih berbau, keluhan sering minum, haus dan BB turun berkurang.

O: CM, T 120/70 mmHg, N 80 x/menit, RR 20 x/menit, t 37C


Kulit jari kaki kanan menghitam, edema, bula dan luka yang berbau, kaki kanan teraba
lebih dingin dibanding kaki kiri, pulsasi Arteri Dorsalis pedis kanan sangat lemah.

4
Hasil laboratorium :
Hb 9,96 g/dl, WBC 18.700/ml, Plt 496.000/ml, LED 130, SGOT 19 U/L, SGPT 19 U/L,
Kolesterol total 126 mg/dl, Trigliserida 73 mg/dl, HDL 31 mg/dl, LDL 77 mg/dl, Asam urat
(AU) 2,9 mg/dl, BUN 10,9 mg/dl, SK 0,7 mg/dl, GDP 121 mg/dl, GD2JPP 174 mg/ dl, Hbs
Ag negatif, Albumin 2,6 g/dl, Urine lengkap : Protein 3+, Glukosa 1+, sel darah merah
(SDM), sel darah putih (SDP) dan epitel negatif. Didapatkan juga hasil AT-III 80,98 % (75125%), D-dimer 0,4 mg/L (<0,3 mg/L), TAT normoagregasi terhadap kolagen, hipergregasi
terhadap ADP dan Epinefrin, Fibrinogen 375 mg/dl (200-400 mg/dl). Faal koagulasi PPT 13,9
( kontrol 13,9), INR 1,00, KPTT 30,6( kontrol 33,7).
Hasil Arteriografi (pk 10.20)
Didapatkan oklusi total di distal Arteri Tibialis anterior dan posterior kanan. Arteri Dorsalis
pedis kanan tidak tampak flow dan collateral.
Kesimpulan : oklusi total pada distal arteri tibialis posterior dan anterior. Saran : Surgical.
Konsul ulang bedah : akan segera direncanakan amputasi below knee D.
A

: DM + PAPO + Selulitis Pedis D + Sepsis.

PDx : DL, LED, Faal homeostasis, INR.


PTx : Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit SC 15 menit sebelum
makan (15ac), Ceftazidim 3 x 1 gram IV, Metronidazol 3x500 mg IV, LMWH 0,4 cc/hr
SC (d1), Warfarin 2x2 mg (d1), ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg, Simvastatin
1x10 mg, Albumin 20 %.
1 - 2 Februari 2008
S: nyeri kaki masih ada, ujung jari kaki kanan menghitam, luka berbau, keluhan sering
minum dan haus tidak ada.
O: CM, T 110/60 mmHg, N 100 x/menit, RR 20 x/menit, t 37,6 C
Kulit jari kaki kanan menghitam, luka masih berbau, kaki kanan teraba lebih dingin
dibanding kaki kiri, pulsasi A. dorsalis pedis kanan sangat lemah.
Konsultasi HOM (1 Februari 2008)
Saran : Terapi Warfarint 2 x 2 mg diteruskan, LMWH 0,4 cc/hr SC selama 3 hari (d2-4), cek
INR pertahankan antara 2-3, cek APTT, monitoring perdarahan.
A

: DM + PAPO + Selulitis Pedis D + Sepsis.

PDx : DL, LED, Na, K, Faal homeostasis, INR.


PTx : Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit SC 15ac, Ceftazidim
3 x 1 gram IV, Metronidazol 3x500 mg IV, LMWH 0,4 cc/hr SC (d2-3), Warfarin 2x2
mg (d2-3), ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg, Simvastatin 1x10 mg.

3 - 4 Februari 2008
S:

nyeri kaki masih ada, ujung jari kaki kanan menghitam dan luka berbau.

O:

CM, T 110/90 mmHg, N 80 x/menit, RR 20 x/menit, t 37C


Kulit jari-jari kaki kanan menghitam, luka yang berbau +, palpasi kaki kanan dingin
dibanding kaki kiri +, pulsasi a. dorsalis pedis kanan sangat lemah.

Hasil Laboratorium 4 Februari 2008


Hb 9,8 g/dl, WBC 18.980/ml, Plt 446.000/ml, LED 112, K 4,5 mmol/L, Na 125 mmol/L, Faal
koagulasi PPT 13,7 ( kontrol 11,1), INR 1,21, KPTT 38,0 (kontrol 27,9).
A:

DM + PAPO + Selulitis Pedis D + Sepsis.

Pdx: DL, LED, Na, K, Faal homeostasis, INR.


Ptx: Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit SC 15ac, Ceftazidim
3 x 1 gram IV, Infus Metronidazol 3x500 mg IV, LMWH 0,4 cc/hr SC (d4-5), Warfarin
2x2 mg (d4-5), ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg, Simvastatin 1x10 mg.
5 Februari 2008
Warfarin dan ASA dihentikan 24 jam sebelum amputasi.
Pk 15.50 s/d pk. 17.00 dilakukan operasi amputasi below knee D.
6-8 Februari 2008
S:

Keluhan tidak ada.

O:

CM, T 110/90 mmHg, N 80 x/menit, RR 20 x/menit, t 36,8C


Telah dilakukan amputasi below knee D.

A:

DM + PAPO paska amputasi + Sepsis.

Pdx: DL, LED, Na, K, Faal homeostasis, INR.


Ptx: Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit SC 15ac, Ceftazidim
3 x 1 gram IV, Metronidazol 3x500 mg IV, Warfarin 2x2 mg (d7-9), ASA 1x100 mg,
Dipiridamol 3X75 mg, Simvastatin 1x10 mg.
Konsultasi HOM
Saran : Terapi Warfarin dinaikkan 6 mg - 4 mg - 0, ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3x75 mg,
cek INR pertahankan antara 2-3.
9-11 Februari 2008
Keluhan tidak ada.
Hasil Laboratorium
Hb 9,7 g/dl, WBC 7470/ml, Plt 619000/ml, LED 125, K 5,1 mmol/L, Na 132 mmol/L, SGOT
24 U/L, SGPT 15 U/L, Albumin 2,8 G/dl, BUN 15,9 mg/dl, SK 0,9 mg/dl, GDP 118 mg/dl,

6
GD2JPP 150 mg/ dl, Faal koagulasi PPT 13,0 ( kontrol 13,9), INR 0,92, KPTT 50,8 (kontrol
33,7).
A:

DM + PAPO paska amputasi.

Pdx: DL, LED, Na, K, Faal homeostasis, INR.


Ptx: Diet KV 2100 kalori, infus RL 14 tetes/menit, Actrapid 3 x 4 unit SC 15ac, Ceftazidim
3 x 1 gram IV, Metronidazol 3x500 mg IV, Warfarin 6 mg 4 mg 0 (d10-12), ASA
1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg, Simvastatin 1x10 mg.
Konsultasi HOM
Saran : Terapi Warfarin dinaikkan 6 mg 0 6 mg, ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3x75 mg,
cek INR pertahankan antara 2-3.
12 Februari 2008
Keluarga meminta dirawat dirumah dengan alasan keluhan membaik. Pasien pulang paksa
dengan terapi dirumah Actrapid 3 x 4 unit SC 15ac, Ciprofloksacin 2x500 mg oral,
Metronidazol 3x500 mg oral, Warfarin 6 mg 4 mg 0, ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3X75
mg, Simvastatin 1x10 mg, Kontrol poli Endokrin, TKV dan HOM, cek INR setiap 1-3
minggu.
Tanggal 23 April 2008
Dilaksanakan Echocardiografi dengan hasil

katub- katub normal. Dimensi Atrium kiri,

Atrium dan Ventrikel kanan normal , tidak tampak trombus atau vegetasi. Ventrikel kiri
dilatasi (LVIDd/BSA 3,8 CM/M2), fungsi sistolik ventrikel kiri dalam batas normal (EF 55,60
% ), fungsi diastolikventrikel kiri relaksasi abnormal dengan peningkatan filling pressure
( E/A ratio 0,84).
PEMBAHASAN
Diagnosis penderita dengan PAPO ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Intermitten Claudication (IC) merupakan tanda utama dan gejala
yang sangat spesifik (Ruger,2008). Yaitu berupa rasa nyeri, kram, pegal linu, cepat lelah atau
letih pada otot yang terjadi selama beraktifitas

dan berkurang atau menghilang setelah

istirahat. Gejala IC muncul akibat hipoksia otot, dan sering terjadi pada betis, paha maupun
pantat. Jika berlanjut, maka akan timbul nyeri walaupun dalam keadaan istirahat akibat
hipoksia pada syaraf (Hendromartono,2003; Rapp,2006). Keluhan dapat berkembang menjadi
rasa nyeri pada saat istirahat dan akan bertambah dengan pergerakan atau rasa dingin, mati
rasa pada kaki atau ibu jari kaki dan selanjutnya dapat muncul luka yang tidak sembuh
terutama pada telapak dan jari-jari kaki (Rapp,2006; Helfand,2007).

7
Pemeriksaan fisik tidak hanya terbatas pada ekstremitas bawah saja, tetapi juga perlu
diperiksa sistem sirkulasi secara keseluruhan. Periksa adanya hipertensi, penyakit jantung,
bising karotis, anemia atau aneurisma arteri abdominalis. Periksa kulit tungkai terutama kaki
dan kuku dengan mencari rasa dingin, pucat, sianosis, gringgingen, atrofi dan paralisis otot,
bruit, denyut nadi melemah atau hilang pada distal tempat obstruksi dan dapat juga terjadi
ulkus serta ganggren. Denyut nadi dari ekstremitas atas dapat diraba pada arteri brakialis,
radialis dan ulnaris sedangkan pada ekstremitas bawah dapat diraba pada arteri femoralis,
poplitea, dorsalis pedis dan tibialis posterior (Creager,2001; Rapp,2006). Pada penderita DM
stenosis dan oklusi terletak lebih distal (Der Feen,2001). Beberapa peneliti membagi denyut
nadi menjadi empat skala, yaitu 1 untuk yang paling lemah dan 4 untuk yang paling kuat.
Skor dari Fontaine sering dipakai untuk klasifikasi beratnya iskemia seperti ditunjukkan oleh
tabel 1 (Bear JD,2000).
Tabel 1. Klasifikasi Fontaine
Stadium
Gejala
I
Asimtomatis
II
Intermitten claudication
IIA
Bebas nyeri, berjalan > 200 meters
IIB
Bebas nyeri,claudicatio jika berjalan < 200 meters
III
Nyeri saat malam hari dan istirahat
IV
Nekrosis, gangrene
Sumber: Golzar,2007

Pada penderita ini dari anamnesis didapatkan adanya IC dan kaki terasa dingin, mati rasa,
kesemutan dan nyeri bila istirahat dan bertambah bila berjalan serta timbul luka yang tidak
sembuh-sembuh. Pada pemeriksaan fisik kaki kanan didapatkan pulsasi sangat lemah pada
A. dorsalis pedis dan telah terjadi selulitis pada kaki dan nekrosis pada jari-jari kaki yang
sesuai dengan stadium IV klasifikasi Fontaine.
Tes diagnosis non invasif yang sering digunakan untuk mengukur beratnya oklusi pada
PAPO adalah pengukuran perbandingan tekanan darah sistolik pada ekstremitas bawah (arteri
tibialis anterior) dan atas (arteri brakialis), yang dinamakan ankle brachial index (ABI). ABI
merupakan tes skrining yang cepat dan dasar untuk menentukan diagnosis PAPO (Rapp,
2006). Pada orang normal ABI>1. Diagnosis adanya PAPO adalah bila ABI<0,9 atau
terjadinya penurunan ABI >0,15. Pada Penderita PAPO dengan fungsi ginjal normal atau
gangguan ringan (SK<1,8 mg%) dapat dilakukan Lower-extremity computed tomographic
angiography (CTA), sedangkan pada Penderita nefropati atau gagal ginjal yang beratdapat
digunakan magnetic resonance angiography (MRA). MRA dan CTA lebih spesifik dan
sensitif dibandingkan duplex ultrasonography dan mendekati akurasi arteriografi dengan
kontras yang merupakan standar emas untuk mendiagnosis PAPO (Meindl,2004; Pikir,2008).

8
Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik berupa ABI pada keadaan
istirahat sebesar 0,72 serta adanya oklusi total pada distal arteri tibialis posterior dan
anterior dari pemeriksaan angiografi dengan kontras.
Faktor resiko PAPO selain DM adalah merokok, pertambahan umur (>40 tahun),
obesitas, dislipidemia, hipertensi, keadaan postmenopause serta kelainan hematologi
(Nordness, 2005; Golzar,2007; Prasmono, 2008). Pemeriksaan laboratorium seperti
antitrombin III (AT-III), viskositas darah dan plasma, faal koagulasi, fibrinolisis, D-dimer,
fungsi trombosit dan inflamasi telah terbukti membantu untuk menentukan penyebab dan
sebagai prediktor komplikasi thrombosis serta aterosklerosis di masa mendatang
(Hendromartono, 2003).
Pada penderita ini didapatkan faktor resiko DM, usia lanjut, keadaan postmenopause,
merokok serta kelainan hematologi berupa peningkatan d-dimer dan hipergregasi terhadap
ADP dan epinefrin.
PAPO dapat terjadi secara akut dan kronis. Penyebab utama terjadi PAPO kronis
adalah aterosklerosis. Sedangkan penyebab PAPO akut (<14 hari) adalah emboli, trombosis
dan trauma. Emboli biasanya berasal dari jantung, sedangkan trombosis di arteri diakibatkan
oleh aterosklerosis tahap lanjut. Pada kondisi ini seringkali terbentuk pembuluh darah
kolateral, sehingga pada sebagian besar Penderita oklusi trombosis bukan merupakan kasus
emergensi.
Pada penderita ini tidak ada riwayat trauma dan secara ekokardiografi tidak didapatkan
adanya trombus intrakardiak,sehingga kemungkinan penyebabnya adalah jenis oklusi
thrombosis walaupun tidak didapatkan kolateral dari hasil Arteriografi.
Pengobatan PAPO pada penderita DM terdiri dari modifikasi faktor resiko
(hiperglikemia, hiperlipidemia, merokok dan hipertensi), terapi medis dan pembedahan
(revaskularisasi, angioplasti, amputasi). Modifikasi faktor resiko berupa pengendalian gula
darah dilakukan dengan cara pemberian diet KV dan obat hipoglikemik oral atau insulin
(Tjokroprawiro,2001). Pengendalian tekanan darah yang adekuat khususnya dengan
menggunakan Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors menunjukkan perbaikan
terhadap gejala kludikasio. Statin juga telah terbukti menurunkan keluhan IC pada Penderita
dengan PAPO (Coppola,2007). The American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association

(AHA) merekomendasikan penggunaan statin pada semua Penderita

dengan PAPO dan LDL lebih dari 100 mg/dL atau kurang dari 100 mg/dL. Tetapi jika
mempunyai resiko tinggi yaitu DM atau sindrom metabolic, LDL yang direkomendasikan
kurang dari 100 mg/dL (Hittel,2002; Khan,2007).

9
Pada penderita ini didapatkan sindroma metabolik (DM, obesitas sentral dan HDL 31
mg/dl), tekanan darah yang normal dengan kadar LDL 77 mg/dl. Telah diberika n Diet KV
2100 kalori, Actrapid 3 x 4 unit 15ac SC, Simvastatin 3 x 10 mg dan edukasi untuk berhenti
merokok.
Terapi medis PAPO akut adalah memperbaiki aliran darah dan menyelamatkan
ekstremitas serta kehidupan (Hirsh2001). Bila tidak ada kontraindikasi segera diberikan
antikoagulan untuk mencegah perluasan trombus dan untuk menyelamatkan sirkulasi kolateral
(Clagett,2004). Antikoagulan menurut cara kerjanya dibagi dua kelompok yaitu menghambat
sintesis faktor pembekuan darah di hati (Warfarin) dan dan inhibisi dari aktivasi trombin
(heparin) (Ugroseno,2007). Low molecul weight heparin (LMWH) telah disetujui sebagai
terapi PAPO dengan dosis 100 unit/kg subkutan (Enoxaparin) (Hillman,2005). Warfarin
berfungsi sebagai antikoagulan dengan cara menghambat vitamin K dependen gammakarboksilase dari faktor pembekuan II, VII, IX dan X. Warfarin diberikan dengan dosis awal 5
mg per hari untuk 2 hari pertama kemudian dosis harian dinaikkan sesuai INR sampai dengan
target 2-3. Terapi dengan LMWH dihentikan pada hari ke 5 atau target INR 2-3 tercapai,
kemudian pemberian Warfarin diteruskan (Sedana,2007).
Pada penderita ini diberikan LMWH 0,4 cc/hr SC selama 5 hari dan Warfarin 2x2 mg
dengan monitor INR 3 hari sekali. Pada hari ke 7 didapatkan INR 1,21 sehingga dosis
Warfarin dinaikkan 6 mg 4 mg - 0 dan dinaikkan kembali pada hari ke 9 menjadi 6 mg 0
6 mg karena INR 0,92 .Pada hari ke-11 Penderita pulang paksa, pemberian Warfarin
diteruskan dengan kontrol INR di poli HOM-POSA.
Terapi antiplatelet cukup efektif pada PAPO. Aspirin dengan dosis 75-350 mg/hari
tunggal atau

kombinasi dengan dipiridamol menjadi lini pertama antiplatelet yang

direkomendasikan karena memperlambat progresifitas penyakit arteri oklusif dan menurunkan


angka kebutuhan akan pembedahan rekonstruksi arteri (Clagett,2004; Schouten,2008).
Clopidogrel diketahui lebih efektif dibandingkan Aspirin pada Penderita PAPO.
Pentoxifylline dan Cilostazol, telah direkomendasikan oleh FDA untuk terapi IC (Hittel,2002;
Rapp,2006). Pentoxifylline merupakan derivat methylxantine bekerja dengan memperbaiki
deformabilitas eritrosit dan lekosit, menurunkan konsentrasi fibrinogen dan memiliki efek
antipletelet, penurunan viskositas darah dan memperbaiki fleksibilitas eritrosit (Creager,
2001; Hiatt, 2001). Sedangkan Cilostazol bekerja dengan menghambat agregasi platelet,
menghambat pembentukan trombus, proliferasi otot polos, memperbaiki kerusakan endotel
dan menyebabkan vasodilatasi. (Hiatt, 2001; Heikkinen,2007; Tjokroprawiro,2008).
Pada penderita ini diberikan ASA 1x100 mg, Dipiridamol 3X75 mg.

10
Terapi bedah untuk PAPO tergantung dari beberapa faktor yaitu lokasi dan luasnya
PAPO, kemungkinan sirkulasi kolateral, komorbiditas dan resiko operasi (Hittel,2002). Bedah
konvensional dengan mem-bypass arteri memberikan hasil yang lebih baik daripada
percutaneous transluminal angioplasty (PTA) pada penderita DM. PTA infrapopliteal telah
dihindari selama beberapa dekade karena berkaitan dengan tingginya komplikasi meliputi
diseksi, emboli dan spasme pembuluh darah, tetapi dengan peningkatan kualitas bahan dan
penggunaan balon kateter, pendekatan infrapopliteal telah digunakan kembali karena angka
penyelamatan tungkai yang meningkat sebesar 36-86% meskipun angka restenosis tetap
tinggi dibandingkan regio Femoropopliteal dan meningkat 40 % setelah 6 bulan (Ruef,2004).
Revaskularisasi pada penderita DM mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada

non DM (Calle-Pascual,2001). Amputasi

lebih disarankan dibandingkan

revaskularisasi jika kemungkinan suksesnya operasi bypass rendah dan adanya infeksi yang
luas pada kaki (Rapp,2006; Prasmono,2008).
Pada penderita ini didapatkan hasil arteriografi oklusi total distal Arteri Tibialis anterior
dan posterior. Arteri dorsalis pedis tidak tampak flow dan tidak didapatkan kolateral. Pada
penderita juga didapatkan infeksi yang luas, oedem, bula dan luka yang berbau pada kaki
kanan. Sehingga dilakukan tindakan amputasi below knee D.
Prognosis Penderita DM dengan PAPO biasanya kurang baik. Hal ini berkaitan
dengan perfusi yang kurang baik, neuropati, gangguan respon imunologis dalam menghadapi
infeksi dan besarnya prevalensi penyakit penyerta antara lain penyakit jantung koroner
(Hittel, 2002; Hirsch, 2006).
SUMMARY
A Woman, 53 years old came with pain in right foot which get worse on either resting
and activities, along with darkening feet fingers and foul odor wound on her feet. She is
diabetic since eight years ago and not well controlled. Physical examination showed cellulitis
in the right foot and weak pulsation of dorsalis pedis arteries. Arteriography revealed total
occlusion in distal Anterior and Posterior Tibial Arteries. Glucose blood regulation, statin,
LMWH, Warfarin and antiplatelet agent has already been performed. It was decided to
perform a below knee amputation on her right foot due to total occlusion with severe
infection.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Prasmono A (2008). Advances in Surgical Strategies in Treating Patient with Vascular


Disease. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Kardiologi X. Surabaya 12-13 juli, hlm
32-49.

11
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

17.

18.

19.

Tjokroprawiro A (2008). Cilostazol : A Broad Spectrum Antithrombotic drug (From


basic to Clinical Benefits). Metabolic Cardiovascular Disease Surabaya Update-2 dan
Surabaya Metabolic Syndrome Update-4. Surabaya 27-29 Juni, hlm 194-209.
Tjokroprawiro A (2001). Peran Obat Anti Trombosit pada Three in One Platelet.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Kardiologi X. Surabaya 18 Maret, hlm 1- 18.
Pikir BS (2008). Diagnosis dengan Pencitraan pada Penyakit Arteri Perifer
Ekstremitas Bawah. Dalam : symposium Toward a Better Management of Cardiovascular
Disease, Surabaya 12-13 juli, hlm 17-26.
Brevetti G, Schiano V, Chiariello M (2008). Endothelial dysfunction: A key to the
pathophysiology and natural history of peripheral arterial disease? Atherosclerosis,
197;111
Calle-Pascual AL, Duran A, Diaz A, Monux G, Serrano F, Torre NG, Moraga I, Calle
J, Charro A, Maranes JP (2001). Comparison of peripheral arterial reconstruction in
diabetic and non-diabetic patients: a prospective clinic-based study. Diabetes Research
and Clinical Practice 53, 129136.
Clagett GP, Sobel M, Jackson MR, Lip GY (2004). Antithrombotic Therapy in
Peripheral Arterial Occlusive Disease: The Seventh ACCP Conference on Antithrombotic
and Thrombolytic Therapy. Chest. 126;609-626
Der Feen CV, Neijens FS, Kanters SD, Mali WP, Stolk RP, Banga JD (2002).
Angiographic distribution of lower extremity atherosclerosis in patients with and without
diabetes. Diabetic Medicine, 19: 366370.
Golzar JA, Belur A, Carter L, Choksi N, Safian RD, Oneill WM (2007).
Contemporary percutaneous treatment of infrapopliteal arterial disease: a practical
approach. J Interven Cardiol, 20:222230.
Hayes P and Hayes NJ (2007). The role of platelets in vascular disease. In:
Mechanisms of vascular disease. Editors: Fitridge R, Thompson M. Cambridge
university press. Pp 75-76.
Heikkinen M, Salmenpera M, Lepantalo A, Lepantalo M (2007). Diabetes Care for
Patients with Peripheral Arterial Disease. Eur J Vasc Endovasc Surg 33, 583-591.
Helfand AE (2007). Clinical assessment of peripheral arterial occlusive risk factors in
the diabetic foot. Int J Clin Pract, 61:535544.
Hendromartono (2003). Diabetes mellitus and peripheral arterial disease. Dalam :
Practical approach in the management of diabetic complications, Surabaya, hlm 105-117.
Hillman RS, Ault AK, Rinder HM (2005). Anticoagulation in the management of
thrombotic disorders. In: Hematology in clinical practice. 4 th edition. Editors : Hillman
RS, Ault AK, Rinder HM. Lange medical books Mc Graw Hill. Pp 422-425..
Hittel N and Donnely R (2002).Treating peripheral arterial disease in patients with
diabetes, Obesity and Metabolism, 4:26-31.
Khan S, Flather M, Mister R, Delahunty N, Fowkes, Bradbury A, Stansby G (2007).
Characteristics and Treatments of Patients with Peripheral Arterial Disease Referred to
UK Vascular Clinics: Results of a Prospective Registry. Eur J Vasc Endovasc Surg ,33;
442-50.
Menard AT and Belkin M (2006). Femoropopliteal and tibial occlusive disease. In:
Greenfields surgery; scientific principles and practice. 4 th edition. editors: Mulholland
MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Upchurch GR. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. pp 1649-1669.
Meindl T, Knollmann F, Schroeder R, Lorenz M, Maeurer J (2004). ContrastEnhanced Magnetic Resonance Angiography of Peripheral Vessels with Automated
Table Translation: Technique, Clinical Applications and Limitations. Imaging decisions,
1: 8-19.
Nordness PJ and Money SR (2005). Evaluation of claudication. In: Vascular
diagnosis. Editors: Mansour MA, Labropoulus N. Elsevier saunders. pp 207-225.

12
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Puruhito (2001). The Risk of CHD According to History of POAD. Dalam :


Symposium New Insights into Peripheral Occlusive Arterial Disease, Surabaya, hlm 3542.
Rapp JH, Eichler CM, Krupski WC, Messina LM (2006). Peripheral arterial
insufficiency. In: Current surgical diagnosis & treatment. 12th edition. Editors : Doherty
GM, Way LW. Lange medical books Mc Graw Hill. Pp 796-808.
Ruger LJ, Irnich D, Abahji TN, Crispin A, Hoffmann U, Lang PM (2008).
Characteristics of chronic ischemic pain in patients with peripheral arterial disease. Pain,
xxx; xxxxxx.
Sedana MP (2007). Current recommendation of warfarin therapy. Dalam : Surabaya
hematologi onkologi medik update-V, Surabaya 28 Juli, hlm 58-68.
Schouten O, Welten G, Bax I, Poldermans D (2008) Re: Secondary Medical
Prevention in Patients with Peripheral Arterial Disease. Eur J Vasc Endovasc Surg 35, 5960.
Ugroseno (2007). Clinical Application of antithrombotic agents. Surabaya hematologi
onkologi medik update-V. Surabaya 28 Juli, hlm 49-57.
Vigilance JE and Harvey L (2008). Segmental blood flow and rheological
determinants in diabetic patients with peripheral occlusive arterial disease. Reid Journal
of Diabetes and Its Complications, 22;210-216
Wakabayashi I and Masuda H (2005). Obesity increases the risk of development of
atherosclerosis in elderly type 2 diabetic patients. Geriatrics and gerontology
international, 5:1721.
Coppola G and Novo S (2007). Statins and Peripheral Arterial Disease: Effects on
Claudication, Disease Progression, and Prevention of Cardiovascular Events. Arch Med
Research, 38;479-488

------o0o------

Anda mungkin juga menyukai