Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari sekian fase yang dilewati manusia selama masa
perkembangannya, masa remaja merupakan fase yang paling
menarik untuk dikaji. Harold Alberty (1957) mengatakan bahwa masa
remaja adalah periode perkembangan seseorang dengan berakhirnya
masa kanak-kanak sampai dengan masa awal dewasa, maka dari itu
pada masa remaja tranformasi seseorang dari masa kanak-kanaknya
yang jauh dari tanggung jawab dan di masa dewasanya dituntut
tanggung jawab atas segala tindakannya.
Pada masa perkembangan ini, remaja mulai merasa bahwa
dirinya bukan anak-anak lagi, dan tidak suka jika belum diakui
kedewasaannya hingga mengakibatkan kegelisahan di dalam dirinya,
kurang tenang dengan keadaan lingkungan. Remaja juga sangat
tertarik kepada kelompok sebaya, mencari perhatian di dalam
lingkungannya, emosi yang meluap-luap, serta pertumbuhan fisik
mengalami perubahan yang pesat. Di sisi lain, kehidupan remaja
sangat kompleks dengan berbagai kreatifitas dan keinginan untuk
mencoba hal-hal baru, baik dalam bidang pergaulan maupun
intelektual. Olehnya itu dibutuhkan suatu wadah agar bakat, minat
serta keinginan berprestasi dapat diwujudkan.
Pendidikan merupakan wadah bagi para (pendidik) dengan
rencana dan program yang terkendali untuk menyiapkan remaja
melalui kegiatan bimbingan pengajaran atau latihan bagi peranannya
di masa yang akan datang. Dengan pendidikan itulah, remaja
mengeksplor segala potensi yang dimilikinya melalui alat atau media
pendidikan. Sehingga remaja mampu menemukan aktivitasnya sendiri
dan menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pendidikan selama remaja?
2. Apa saja faktor-faktor yang
pendidikan pada masa remaja?
3. Bagaimana
peranan
perkembangan remaja?

mempengaruhi

pendidikan

terhadap

perkembangan
tugas-tugas

4. Apa fungsi sekolah bagi remaja?


5. Bagaimana proses transisi di masa sekolah?
6. Bagaimana tahap-tahap perkembangan karier remaja?
7. Faktor apa saja yang mempengaruhi
pengembangan karier remaja?

pemilihan

dan

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui karakteristik pendidikan selama remaja
2. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
perkembangan pendidikan pada masa remaja

mempengaruhi

3. Untuk mengetahui dan memahami peranan pendidikan terhadap


tugas-tugas perkembangan remaja
4. Untuk mengetahui fungsi sekolah bagi remaja
5. Untuk mengetahui proses transisi di masa sekolah
6. Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan karier remaja
7. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
dan pengembangan karier remaja

BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
dalam pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik
melalui proses pembelajaran.
Tujuan pendidikan juga disebut dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 dalam pasal 3, yaitu Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungg jawab.
B. Karakteristik Pendidikan Remaja
Proses belajar akan berhasil apabila sesuai dengan minat dan
kebutuhan bagi seorang individu. Pilihan jenis pekerjaan yang diidamkan
di masa yang akan datang merupakan faktor penting yang mempengaruhi
minat dan kebutuhan bagi remaja untuk belajar. Oleh karena itu, remaja
secara sadar telah mengetahui pula bahwa untuk mencapai jenis
pekerjaan yang diidamkan itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan
tertentu yang harus dimiliki. Hal inilah yang membimbing remaja
menentukan pilihan jenis pendidikan yang akan diikuti.
Remaja pada usia 13-14 tahun atau pada usia awal remaja (preadolescence) di mana jenjang pendidikan berada pada Sekolah
Menengah Pertama, mereka mulai mengenal sistem baru dalam sekolah.
Misalnya, perkenalan dengan banyak guru yang memiliki berbagai macam
sifat dan kepribadian. Hal ini menunjukkan perlunya kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi yang beragam. Begitu pula anak mulai
mengenal berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari dengan berbagai
karakteristiknya. Di SMP belum ada masalah pemilihan jurusan, tetapi
untuk tingkat SMA yaitu saat anak berusia sekitar 15-18 tahun, pemilihan
jurusan itu telah diperkenalkan.

Remaja memiliki tiga lingkungan pendidikan yang pola dan


karakteristiknya berbeda-beda. Remaja memiliki tiga lingkungan
kehidupan, yang ketiga-tiganya mempunyai corak yang berbeda serta
masing-masing memikul tanggung jawab dalam penyelenggaraan
pendidikan. Mengingat hal itu, maka setiap remaja berada pada posisi
pendidikan yang majemuk, mereka berada di lingkungan kehidupan
pendidikan keluarga, kehidupan pendidikan masyarakat, dan kehidupan
pendidikan sekolah yang diikutinya. Tujuan dan dasar dari masing-masing
lingkungan kehidupan pendidikan tersebut tidak selalu sama. Oleh karena
itu, remaja harus mampu mengatasi problema keanekaragaman tersebut
dan mampu menempatkan dirinya dengan tepat dan harmonis.
1) Lingkungan Pendidikan di Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan
utama bagi anak-anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih
menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian
daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar
dan tujuan penyelenggaraan pendidikan keluarga bersifat indiviual
yang sesuai dengan pandangan hidup pada masing-masing
keluarga, sekalipun secara nasional bagi keluarga-keluarga bangsa
indonesia memiliki dasar yang sama, yaitu Pancasila. Ada keluarga
yang dalam mendidik anaknya mendasarkan pada kaidah-kaidah
agama dan menekankan proses pendidikan pada pendidikan
agama dengan tujuan untuk menjadikan anak-anaknya menjadi
orang yang saleh dan senantiasa takwa dan iman kepada Tuhan
Yang maha Esa. Ada pula keluarga yang dasar dan tujuan
penyelenggaraan pendidikannya berorientasi kepada kehidupan
sosial ekonomi kemasyarakatan dengan tujuan untuk menjadikan
anak-anaknya menjadi orang yang produktif dan bermanfaat dalam
kehidupan bemasyarakat.
Anak dan remaja di dalam keluarga berkedudukan sebagai anak
didik dan orang tua sebagai pendidiknya. Secara garis besar corak
dan pola pada penyelenggaraan pendidikan keluarga dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu; pendidikan otoriter,
pendidikan demokratis, dan pendidikan liberal. Dari beberapa pola
pendidikan, diketahui bahwa kebanyakan keluarga di Indonesia
mengikuti corak pendidikan yang demokratis. Selanjutnya, makna
pendidikan yang demokratis itu oleh Ki Hadjar Dewantara
dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan itu hendaknya ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,

yang artinya : di depan memberi contoh, di tengah membimbing,


dan di belakang memberi semangat.
2) Lingkungan Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan alami kedua yang dikenal anakanak. Remaja telah banyak mengenal karakteristik masyarakat
dengan berbagai norma dan keragamannya. Kondisi masyarakat
amat beragam, tentu banyak hal yang harus diperhatikan dan
diikuti oleh anggota masyarakat, dan dengan demikian para remaja
perlu memahami hal itu. Sehubungan dengan itu, maka tidak
jarang para remaja memiliki perbedaan pandangan dengan para
orang tua, sehingga norma dan perilaku remaja dianggap tidak
sesuai dengan norma masyarakat yang sedang berlaku. Hal ini
tentu saja akan berdampak pada pembentukan pribadi remaja.
Perbedaan ini dapat mendorong para remaja untuk membentuk
kelompok-kelompok sebaya yang memiliki kesamaan pandangan.
Di masyarakat terdapat tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat
terhadap pola hidup masyarakatnya. Namun hal itu terkadang tidak
mampu mempengaruhi kehidupan remaja, akibatnya para remaja
kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai
dengan ketentuan masyarakat, atau para remaja dengan sengaja
menghindar dari aturan dan ketentuan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi pendidikan, masyarakat banyak
membentuk atau mendirikan kelompok-kelompok atau paguyubanpaguyuban atau kursus-kursus yang secara sengaja disediakan
untuk anak remaja dalam upaya mempersiapkan hidupnya
dikemudian hari. Kursus-kursus yang dimaksud pada umumnya
berorientasi
kepada dunia kerja. Namun, banyak kelompok
kegiatan atau kursus-kursus yang dibangun masyarakat tersebut
kurang menarik perhatian remaja; oleh para remaja apa yang
disediakan itu dinilainya tidak sesuai dengan perkembangan
zaman.
3) Lingkungan Pendidikan di Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan artifisial yang sengaja diciptakan
untuk membina anak-anak ke arah tujuan tertentu, khususnya
untuk memberikan kemampuan dan keterampilan sebagai bekal
kehidupannya di kemudian hari. Bagi para remaja pendidikan jalur
sekolah yang diikutinya adalah jenjang pendidikan dasar dan
pendidikan menengah. Di mata remaja sekolah dipandang sebagai

lembaga yang cukup berpengaruh terhadap terbentuknya konsep


yang berkenaan dengan nasib mereka di masa mendatang. Mereka
menyadari jika prestasi atau hasil yang dicapai di sekolah itu baik,
maka hal itu akan membuka kemungkinan hidupnya di kemudian
hari menjadi cerah, tetapi sebaliknya apabila prestasi yang
dicapainya kurang baik, maka hal itu dapat berakibat pada
gelapnya masa depan mereka. Kegagalan sekolah bagi remaja
dipandang sebagai awal dari kegagalan hidupnya. Dengan
demikian,
sekolah
dipandang
banyak
mempengaruhi
kehidupannya. Oleh karena itu, remaja telah memikirkan benarbenar dalam memilih dan mendapatkan sekolah yang diperkirakan
mampu memberikan peluang baik baginya dikemudian hari.
Pandangan ini didasari oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi,
sosial, dan harga diri (status dalam masyarakat). Akan tetapi,
dalam menentukan pilihan sekolah campur tangan orang tua masih
berpengaruh besar. Hal itu sering membawa akibat kegagalan
dalam pendidikan sekolah karena anak terpaksa mengikuti
pelajaran yang tidak sesuai dengan pilihan dan minatnya.
Dunia pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah,
menyediakan berbagai jenis program yang diperkirakan relevan
dengan kebutuhan jenis tenaga kerja di masyarakat. Untuk
menetapkan pilihan jenis pendidikan dan pekerjaan yang diidamkan
banyak faktor yang harus dipertimbangkan yang meliputi :
Faktor prediksi masa depan
Faktor prestasi yang menggambarkan bakat dan minat remaja
Faktor kehidupan yang dapat diamati dari kondisi beragamnya
lapangan kerja di masyarakat
Kemampuan daya saing setiap individu
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pendidikan pada
Masa Remaja
a) Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi keluarga banyak menentukan perkembangan
kehidupan pendidikan dan karier anak. Kondisi sosial yang
menggambarkan status orang tua merupakan faktor yang dilihat oleh
anak untuk menentukan pilihan sekolah dan pekerjaan. Secara tidak
langsung keberhasilan orang tua merupakan beban bagi anak,
sehingga dalam menentukan pilihan pendidikan tersirat untuk ikut
mempertahankan kedudukan orang tua. Di samping itu, secara

eksplisit orang tua menyampaikan harapan hidup anaknya yang


tercermin pada dorongan untuk memilih jenis sekolah atau pendidikan
yang diidamkan oleh orang tua.
Faktor ekonomi mencakup kemampuan ekonomi orang tua dan
kondisi ekonomi negara (masyarakat). Yang pertama merupakan
kondisi utama karena menyangkut kemampuan orang tua dalam
membiayai pendidikan anaknya. Banyak anak berkemampuan
intelektual tinggi tidak dapat menikmati pendidikan yang baik
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan ekonomi orang tuanya.
b) Faktor Lingkungan
Pengaruh dari faktor lingkungan ini meliputi tiga macam. Pertama,
lingkungan kehidupan masyarakat, seperti lingkungan masyarakat
perindustrian, pertanian, atau lingkungan perdagangan. Dikenal pula
lingkungan masyarakat akademik atau lingkungan di mana para
anggota masyarakatnya pada umumnya terpelajar atau terdidik.
Lingkungan kehidupan semacam itu akan membentuk sikap anak
dalam menentukan pola kehidupan yang pada gilirannya akan
mempengaruhi pemikiran remaja dalam menentukan jenis pendidikan
dan karier yang diidamkan.
Kedua, lingkungan kehidupan rumah tangga di mana kondisi sekolah
merupakan lingkungan yang langsung berpengaruh terhadap
kehidupan pendidikan dan karier remaja. Lembaga pendidikan atau
sekolah yang baik mutunya, yang memelihara kedisiplinan cukup
tinggi akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan
perilaku kehidupan pendidikan anak dan pola pikirnya dalam
menghadapi karier masa depan.
Ketiga, lingkungan teman sebaya. Bahwa pergaulan teman sebaya
akan memberikan pengaruh langsung terhadap kehidupan pendidikan
masing-masing remaja. Lingkungan teman sebaya akan memberikan
peluang bagi remaja (laki-laki atau wanita) untuk menjadi lebih
matang. Di dalam kelompok sebaya seorang gadis berkesempatan
untuk menjadi seorang wanita dan perjaka untuk menjadi seorang
laki-laki serta belajar mandiri sesuai dengan kodratnya.

D. Peranan Pendidikan terhadap Tugas Perkembangan Remaja

Melihat banyaknya faktor kehidupan yang berada di lingkungan


remaja, maka pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan juga harus
memperhatikan faktor-faktor tersebut. Sekalipun dalam penyelenggaraan
pendidikan diakui bahwa tidak mungkin memenuhi tuntutan dan harapan
seluruh faktor yang berlaku tersebut. Berkaitan dengan hal itu, maka
terdapat beberapa implikasi dari tugas-tugas perkembangan remaja dalam
penyelenggaraan pendidikan yang meliputi ;
a) Pendidikan yang berlaku di Indonesia, baik pendidikan yang
diselenggarakan di dalam sekolah maupun di luar sekolah, pada
umumnya
diselenggarakan
dalam
bentuk
klasikal.
Penyelenggaraan pendidikan klasikal ini berarti memberlakukan
sama semua tindakan pendidikan kepada semua remaja yang
tergabung di dalam kelas, sekalipun masing-masing diantara
mereka sangat berbeda-beda. Pengakuan terhadap kemampuan
setiap pribadi yang beraneka ragam itu menjadi kurang. Oleh
karena itu, yang harus mendapatkan perhatian di dalam
penyelenggaraan pendidikan adalah sifat-sifat dan kebutuhan
umum remaja, seperti pengakuan akan kemampuannya, ingin
untuk mendapatkan kepercayaan, kebebasan, dan semacamnya.
b) Beberapa usaha yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan
pendidikan sehubungan dengan minat dan kemampuan remaja
yang dikaitkan terhadap cita-cita kehidupannya antara lain adalah :
Bimbingan karier dalam upaya mengarahkan peserta didik
untuk menentukan pilihan jenis pendidikan dan jenis pekerjaan
sesuai dengan kemampuannya.
Memberikan latihan-latihan praktis terhadap peserta didik
dengan berorientasi kepada kondisi (tuntutan) lingkungan.
Penyusunan
kurikulum
yang
komprehensif
dengan
mengembangkan kurikulum muatan lokal.
c) Keberhasilan dalam memilih pasangan hidup untuk membentuk
keluarga banyak ditentukan oleh pengalaman dan penyelesaian
tugas-tugas perkembangan masa-masa sebelumnya. Untuk
mengembangkan model keluarga yang ideal maka perlu dilakukan :
Bimbingan tentang cara pergaulan dengan mengajarkan etika
pergaulan lewat pendidikan budi pekerti dan pendidikan
keluarga.
Bimbingan peserta didik untuk memahami norma yang berlaku
baik di dalam keluarga, sekolah, maupun di dalam masyarakat.
Untuk kepentingan ini diperlukan arahan untuk kebebasan
emosional dari orang tua.

d) Pendidikan tentang nilai kehidupan untuk mengenalkan norma


kehidupan sosial kemasyarakatan perlu dilakukan. Dalam hal ini
perlu dilakukan pendidikan praktis melalui organisasi pemuda,
pertemuan dengan orang tua secara periodik, dan pemantapan
pendidikan agama baik di dalam maupun di luar sekolah.
E. Fungsi Sekolah bagi Remaja
Pada abad ke 19, sekolah lanjutan tingkat atas hanya diperuntukkan
bagi kaum elit yang menekankan pendidikan pada mata pelajaran seni
klasik dan liberal. Setelah memasuki abad ke 20, sekolah semakin
memperluas orientasinya, menambah kelas musik, seni, kesehatan,
pendidikan fisik, dan topik-topik lainnya. Di pertengahan abad ke-20,
sekolah kemudian bergerak dalam usaha mempersiapkan peserta didik
dalam menghadapi peran-peran dalam hidup (Conant, 1959). Sekarang
ini, sekolah lanjutan telah mempertahankan orientasinya yang luas, yang
dirancang untuk melatih individu secara intelektual dan juga di bidang
kesiapan kerja dan sosial.
Meskipun jumlah tingkat kehadiran siswa untuk bersekolah terus
meningkat selama leih dari 150 tahun, masalah yang dihadapi siswa yang
terkucil dan pemberontak mmunculkan debat apakah sekolah lanjutan
tingkat atas bermanfaat bagi para remaja. Di tahun 1970-an, tiga panel
independen berpendapat bahwa sekolah lanjutan tingkat atas berperan
dalam munculnya rasa terkucil dalam diri remaja dan menghambat proses
perubahan individu menuju dunia kedewasaan (Brown, 1973; Coleman,
dkk.,1974; Martin, 1976). Argumen ketiga panel tersebut adalah bahwa
sekolah lanjutan tingkat atas mengarahkan remaja menuju gudang
remaja, yang mengisolasi diri remaja dalam dunianya dan nilai-nilai diri
remaja yang jauh dari kehidupan orang dewasa. Panel-panel ini
menekankan bahwa seharusnya para remaja diberikan alternative
pendidikan untuk memilih sekolah yang baik, seperti praktek kerja dalam
masyarakat, untuk meningkatkan kesempatan bagi remaja dalam
menghadapi peran-peran dunia orang dewasa, serta untuk mengurangi
keadaan terkucil dari orang dewasa.
Beberapa analis pendidikan berpendapat bahwa sekolah lanjutan
sekarang ini memiliki banyak tujuan sehingga menjadi seperti pusat
perbelanjaan (Powell, Farrar, dan Cohen, 1985). Debat mengenai fungsi
sekolah
menghasilkan
perubahan-perubahan
pada
penekanan
pendidikan, seperti bandul yang terayun-ayun, bergerak menuju
keterampilan dasar pada suatu waktu, kemudian menuju pilihan,

10

tambahan-tambahan, atau pelatihan keterampilan hidup yang mencakup


banyak hal di waktu lain, dan terus berayun bolak-balik (Cross, 1984).
Yang harus diperjuangkan bukanlah sesuatu yang berbentuk seperti
pendulum yang terus berayun namun lebih seperti tangga yang melingkar,
kita harus terus mengembangkan cara yang lebih tepat untuk memenuhi
fungsi dari sekolah yang bervariasi dan terus berubah.
Sejumlah pemikir dan praktisi dunia pendidikan kontemporer, (seperti
Hanushek, 1995; Bobbi De Porter, 2001; Hoy & Miskel, 2001; Sackney,
2004), menyarankan kepada pihak sekolah agar mampu menciptakan
iklim sekolah yang sehat dan menyenangkan, yang memungkinkan
peserta didik dapat menjalin interaksi sosial secara memadai di
lingkungan sekolah. Iklim sekolah yang sehat ini, di samping dibutuhkan
untuk membangkitkan motivasi belajar peserta didik, juga diperlukan untuk
mengantisipasi timbulnya perasaan tidak nyaman dan stres dalam diri
peserta didik, yang pada gilirannya akan memengaruhi prestasi belajar
mereka ( Desmita; 2009; 301-302 ). Adapun peranan penting sekolah
bagi remaja yaitu :
1) Memberikan Pengetahuan Seksual
Menurut June Reinisch (1990), direktur dari Kinsey Institute for Sex,
Gender, and Reproduction, umumnya para warga AS lebih banyak
mengetahui fungsi mobil dibandingkan fungsi-fungsi tubuhnya secara
seksual. Para remaja dan oarang dewasa Amerika tidak terlindungi
dari pesan-pesan seksual; Reinisch menyatakan bahwa remaja terlalu
sering dibanjiri oleh pesan-pesan seksual. Informasi seksual yang
diterima banyak sekali namun banyak yang menyesatkan. Dalam
beberapa kasus, para guru dalam pendidikan seks pun sering kali
memperlihatkan kecenderungan untuk mengabaikan seksualitas.
Salah seorang guru pendidikan seks di sekolah menengah atas
menyebut erogenous zone sebagai crroneous zone yang
menyebabkan para peserta didik menjadi berpikir bahwa bagian tubuh
mereka yang secara seksual sensitif ini merupakan kelainan (Jonh W.
Santrock Jilid 1; 2007; 288).
Sebagian besar remaja tidak mengetahui dalam tahap apa dari siklus
menstruasi perempuan yang dapat menyebabkan kehamilan. Dengan
pengetahuan yang disampaikan pada para peserta didik tentang
informasi seksualitas, diharapkan para peserta didik lebih bisa
mengambil sikap yang baik guna kebaikan dan kesiapan peserta didik
pada dirinya di masa mendatang. Namun peran sekolah dalam

11

memberikan pengetahuan tentang seksualitas juga membutuhkan


sebuah dorongan dan peran serta partisipasi keluarga.
Joyce Epstein mengusulkan rekomendasi berikut untuk meningkatkan
peranan orang tua dalam pendidikan remaja di sekolah:

Keluarga memiliki kewajiban dasar untuk memberikan rasa aman


dan kesehatan bagi remajanya. Banyak orang tua tidak mengetahui
perubahan-perubahan normal yang terjadi di usia remaja. Program
sekolah-keluarga dapat membantu dalam mendidik orang tua
mengenai rangkaian perkembangan remaja yang normal. Sekolah
juga dapat menawarkan program-program yang berkaitan dengan
isu-isu kesehatan di masa remaja, termasuk infeksi yang ditularkan
secara seksual, depresi, obat terlarang, kenakalan remaja, dan
gangguan makan. Sekolah juga dapat membantu orang tua dalam
menemukan tempat yang aman bagi remaja ketika mereka
menggunakan waktunya di luar rumah. Sekolah merupakan
komunitas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat organisasi
remaja dan agen layanan sosial.
Sekolah memiliki kewajiban dasar untuk mengkomunikasikan
dengan keluarga peserta didik mengenai program-program sekolah
dan kemajuan yang diraih oleh peserta didik remaja. Guru dan
orang tua jarang sekali mengenal selama di sekolah menengah.
Oleh karena itu guru yang lebih langsung dan personal, perlu
dilakukan. Orang tua juga perlu memperoleh informasi yang lebih
baik mengenai pilihan-pilihan mata pelajaran dalam kurikulum akan
menghasilkan pilihan-pilihan karir. Secara khusus hal ini diperlukan
bagi para peserta didik perempuan dan etnis minoritas yang
mengikuti mata-pelajaran ilmu pengetahuan dan matematika.
Orang tua perlu meningkatkan keterlibatannya di sekolah. Orang
tua dan anggota keluarga lain dapat membantu guru di kelas
melalui berbagai cara seperti melakukan tutoring, mengajarkan
keterampilan tertentu, memberikan bantuan klerikal atau
pemantauan. Keterlibatan semacam itu sangat dibutuhkan di
sekolah-sekolah pusat kota.
Orang tua perlu didorong untuk lebih terlibat dalam kegiatan belajar
remaja di rumah. Sekolah-sekolah menengah sering kali
membangkitkan keprihatinan orang tua mengenai keahlian dan
kemampuan yang diperlukan agar dapat membantu anak-anak
remajanya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Matematika
Keluarga dan Komputer Keluarga merupakan contoh dari

12

program-program yang telah dikembangkan oleh beberapa sekolah


menengah untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam
kegiatan belajar remajanya (Jonh W. Santrock Jilid 2; 2007; 118).
2) Memberikan Pengetahuan Tentang Kesehatan dan Jasmani
Sebaiknya sekolah juga memberikan sebuah kurikulum yang
berhubungan dengan kesehatan fisik dan jasmani. Seperti adanya
materi olahraga dan penjaskes. Dimana seorang peserta didik mampu
memahami apa saja yang harus diperhatikan dan dijaga guna
mengembangkan aspek fisik remaja dengan baik dan teratur.
Sehingga peserta didik pun benar-benar paham dan mengerti apa
saja yang harus dilakukan untuk tetap hidup sehat dengan fisik yang
sehat pula.
F. Transisi di Masa Sekolah
1. Transisi menuju sekolah menengah atau sekolah menengah
pertama
Santrock (2007:105) mengemukakan bahwa pada transisi sekolah
terdapat sistem 6-3-3 (sistem di mana para peserta didik
dikelompokkan sebagai kelas satu hingga kelas enam merupakan
sekolah dasar, kelas tujuh hingga kelas sembilan merupakan
sekolah menengah pertama dan kelas sepuluh hingga kelas dua
belas merupakan sekolah menengah atas). Transisi memasuki
sekolah menengah atau sekolah menengah pertama mengalami
banyak perubahan. Perubahan yang terjadi pada transisi ini yaitu
pubertas dan perhatian pada citra tubuh, kemunculan beberapa
aspek pemikiran operasional formal termasuk perubahan kognisi
sosial, meningkatnya tanggung jawab dan menurunnya
ketergantunggan pada orang tua, memasuki struktur sekolah yang
lebih besar, perubahan dari satu guru ke banyak guru serta
perubahan dari kelompok kawan yang lebih besar danheterogen,
meningkatnya prestasi dan performa. Secara intelektual pada
transisi ini mereka lebih tertantang oleh tugas-tugas akademik.
Pada transisi ini mengalami top-dog phenomenon yang merupakan
perubahan situasi dari menjadi peserta didik yang paling tua, paling
besar, dan paling kuat di sekolah dasar, menjadi peserta didik yang
paling muda, paling kecil, dan paling lemah di sekolah menegah
atau sekolah menengah pertama.
2. Transisi dari Sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi
Santrock (2007:111) mengemukakan bahwa transisi ini sama
dengan transisi sekolah menuju sekolah menengah atau sekolah

13

menengah pertama yang sering kali mengakibatkan perubahan dan


stres. Peralihan dari posisi sebagai siswa senior di sekolah
menengah atas menjadi mahasiswa tingkat satu di perguruan tinggi
terjadi kembalain fenomena top-dog. Transisi dari sekolah
menengah atas menuju perguruan tinggi memiliki aspek yang
positif. Para peserta didik cenderung lebih berkembang, memiliki
banyak mata pelajaran atau mata kuliah yang dapat dipilih, memiliki
lebih banyak waktu bersama kawan-kawan, memiliki lebih banyak
peluang untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai,
menikmati kemandirian yang lebih besar dari pengawasan orang
tua, dan lebih tertantang secara intelektual dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik. Perubahan besar yang terjadi dari sekolah
menengah atas memasuki perguruan tinggi yaitu berkurangnya
kontak dengan orang tua.
G. Tahap-tahap Perkembangan Karier Remaja
Para ahli psikologi perkembangan meyakini, bahwa karier atau
pekerjaan seorang individu, sebenarnya telah dimulai sejak masa anakanak, maka ketika membicarakan masalah karier, mau tidak mau, perlu
dijelaskan tahap-tahap perkembangan karier. Menurut Ginzberg (dalam
Berk, 1993; Turner dan Helms, 1995; Papalia et al, 1998), tahap
perkembangan karier meliputi hal-hal berikut ini :
1) Fantasi (fantastic), yaitu individu membayangkan dirinya kelak akan
menjadi/memasuki dunia pekerjaan yang menurutnya dianggap
sangat menguntungkan dari segi material, keterkenalan (popular),
maupun penghargaan. Umumnya, mereka melakukan permainan
peran sesuai dengan keinginan dan bayangan saat itu. Masa ini
banyak ditemukan pada anak-anak awal dan anak-anak menengah
(yakni usia 3-9 tahun). Misalnya, permainan anak yang memerankan
sebagai dokter, tentara, ayah-ibu, dan sebagainya.
2) Tentative (tentative), yaitu individu akan mencoba-coba untuk
menyesuaikan minat-bakat dan nilai-nilai sosial masyarakat, dalam
memilih suatu bidang karier pekerjaan. Tahap ini dicapai pada masa
awal remaja (usia 11-13 tahun)
3) Realistik (realistic), yakni individu merencanakan pendidikan sesuai
dengan kebutuhan karier mereka. Mereka sudah memantapkan diri
untuk memsuki dunia pekerjaan, sesuai dengan kondisi kemampuan
sendiri (taraf pendidikan), sosial ekonomi orang tua maupun keadaan
sosial masyarakat. Tahap ini dicapai pada masa remaja akhir dan
dewasa muda (usia 18-25 tahun). Lebih lanjut, Ginzberg

14

mengungkapkan bahwa tahap realistik ini terbagi lagi menjadi 3 fase,


yaitu sebagai berikut.
a) fase eksplorasi (exploration phase), dimana individu berusaha
untuk mencari pengalaman-pengalaman yang dibutuhkan guna
menghadapi pekerjaan di kemudian hari. Hal ini ditandai dengan
upaya belajar di sekolah, atauperguruan tinggi.
b) fase kristalisasi (cryztalization phase). Dalam tahap ini, individu
menilai secara kritis semua faktor yang berpengaruh dalam proses
pemilihan karier, sehingga ia bisa memiliki komitmen dan tanggung
jawab terhadap pilihan kariernya. Ketika individu akan mengambil
jurusan atau program studi, maka ia telah mempertimbangkan
secara matang semua aspek-aspek yang menguntungkan maupun
yang merugikan dari pilihan tersebut.
c) fase spesifikasi (specification phase). Individu berusaha menilai
ulang (review) berbagai posisi alternative yang ada, supaya ia
benar-benar mampu memilih karier yang tepat, yakni sesuai
dengan kepribadian, bakat, maupun minat sendiri. Dalam hal ini,
pertimbangan individu akan sangat menentukan. Ia tak akan
terpengaruh oleh pemikiran atau ide-ide dari orang lain, teman,
atau orang tua.
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan dan Pengembangan
Karier Remaja
Dalam kenyataan, seorang remaja ketika menentukan pilihan karier,
seringkali tidak dilakukan sendiri. Berk (1993) menyatakan bahwa
penentuan dan pemilihan karier seorang remaja ditentukan oleh beberapa
faktor, diantaranya:
a) Orang Tua
Orang tua ikut berperan dalam menentukan arah pemilihan karier
pada anak remajanya, walaupun pada akhirnya keberhasilan
dalam menjalankan karier selanjutnya sangat tergantung pada
kecakapan dan keprofesionalan pada individu (remaja) yang
menjalaninya. Karena hal ini berkaitan dengan masalah
pembiayaan pendidikan, masa depan anaknya agar terarah
dengan baik, maka seringkali orang tua turut campur tangan agar
anaknya memilih program studi yang mampu menjamin kehidupan
kariernya. Biasanya orang tua yang berkecukupan secara
ekonomi, menghendaki anaknya untuk memilih program studi
yang cepat menghasilkan nilai materi. Dalam kenyataannya, tak
selamanya apa yang menjadi pilihan orang tua akan berhasil

15

dijalankan oleh anaknya, kalau tidak disertai oleh minta-bakat,


kemampuan, kecerdasan, motivasi internal dari anak yang
bersangkutan.
b) Teman kelompok sebaya (peer-group)
Tidak dipungkiri, kenyataannya lingkungan pergaulan dalam
kelompok remaja cukup member pengaruh pada diri seorang
individu dalam memilih jurusan program studi di SMA atau
mungkin di perguruan tinggi. Mereka mungkin merasa tidak enak
kalau tidak sama dalam pemilihan jurusan atau program studi.
Apalagi bagi individu yang telah mempunyai pacar, maka
seringkali ia mudah terpengaruh untuk memasuki program studi
yang sama atau mungkin mengambil tempat pendidikan yang
sama. Tujuannya agar tetap menjalin komunikasi dengan
pacarnya. Pengaruh teman kelompok sebaya ini, bersifat
eksternal. Bila remaja tidak mempunyai dorongan internal, minatbakatatau kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
suatu tugas sesuai tuntutan, maka kemungkinan besar remaja
akan mengalami kegagalan.
c) Gender (jenis kelamin)
Streotipe masyarakat seringkali telah menilai terhadap peran jenis
kelamin seseorang. Masyarakat menghendaki agar jenis tugas
dan pekerjaan tertentu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu pula.
Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin kadang-kadang
menentukan seseorang dalam memilih karier pekerjaan. Seorang
perempuan mungkin akan mengambil karier yang sekiranya dapat
dijalaninya, tanpa banyak hambatan dengan peran jenis
gendernya nanti di kemudian hari. Demikian pula sebaliknya
seorang laki-laki akan memilih secara tepat pada karier yang
sesuai dengan dirinya.
d) Karakteristik kepribadian individu
Hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik pribadi yang
mempengaruhi pemilihan program studi maupun karier individu,
diantaranya: bakat-minat, kepribadian, intelektual. Keberhasilan
dalam memilih dan menjalankan program studi serta karier
pekerjaan sangat ditentukan karakteristik kepribadian individu
yang bersangkutan. Keberhasilan tidak dapat diukur secara
materi-finansial yang melimpah, tetapi sebesar nilai kepuasan
hidup yang diperoleh melalui pilihan-pilihan tersebut.

16

17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungg jawab.
Pendidikan dapat diterima dari berbagai lingkungan yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Faktor yang
mempengaruhi perkembangan pendidikan remaja ada dua faktor yaitu
faktor sosial emosi dan faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan
masyarakat, lingkungan keluarga atau sekolah dan lingkungan teman
sebaya. Peranan sekolah bagi remaja yaitu memberikan pendidikan
seksual, dan memberikan pengetahuan tentang kesehatan dan jasmani.
Di masa sekolah terdapat transisi yang dilalui oleh seorang
remaja.Pada transisi di masa sekolah terjadi fenomena top-dog yaitu
perubahan situasi dari menjadi peserta didik yang paling tua, paling besar,
dan paling kuat di sekolah dasar, menjadi peserta didik yang paling muda,
paling kecil, dan paling lemah di sekolah menegah atau sekolah
menengah pertama. Ada tiga tahapan remaja dalam pemilihan karir yaitu
fantasi, tentative, dan realistik. Faktor yang mempengaruhi
pengembangan dan pemilihan karir remaja yaitu orang tua, kelompok
teman sebaya, gender, dan karakteristik kepribadian individu.

B. Saran
Sekolah merupakan sarana pendidikan yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan adanya
guru, dan pemimpin sekolah diharapkan peserta didik mampu
mngembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat mimilih karir yang
sesuai dengan keinginanannya, tentunya disertai dengan dukungan dari
orang tua dan masyarakat. Pada masa sekolah remaja menghadapi
transisi yang harus dilalui dan dibutuhkan penyesuaian diri.

18

Contoh Kasus
Sistem sekolah berstandar internasional membuat beberapa
perbedaan dengan peserta didik regular. Mulai dari materi hingga
pengajarnya. Kelas internasional hanya diisi oleh pengajar yang dikenal
ahli dibidangnya. WAN merupakan salah satu murid yang beruntung untuk
masuk dalam kelas tersebut dengan urutan ketujuh dari 163 peserta didik
yang ikut seleksi. WAN merupakan peserta didik yang pandai, dari
sekolah dasar dia selalu menjadi peringkat pertama dan ia mudah
bersahabat dengan orang lain, sehingga ia memiliki banyak teman.
Namun, semenjak ia masuk di kelas tersebut perlahan-lahan ia mulai tidak
terlihat lagi bersama dengan teman-temannya, namun perlahan-lahan
prestasinya juga mulai menurun, hingga akhirnya dia memilih untuk keluar
dan masuk ke kelas regular, di kelas ini ia kembali memiliki teman dan
juga prestasinya kembali membaik. Dari salah satu temannya yang
berinisial JS, mengaku bahwa WAN pernah beberapa kali bercerita
tentang pengalaman dan perasaannya tentang kelas tersebut semenjak ia
masuk ke kelas regular yang sama dengan JS.
WAN sempat beberapa kali jatuh sakit akibat sering menunda makan
karena harus menyelesaikan tugas. Ia juga mengalami kesulitan di kelas
karena materi yang ia dapat kebanyakan dalam bahasa inggris. Ia sangat
jarang berkomunikasi dengan peserta didik di kelasnya karena semua
teman-temannya sibuk dengan urusan masing-masing dan merasa tidak
penting untuk berkomunikasi karena mereka merasa bersaing satu sama
lain, sehingga teman tidak begitu penting bagi mereka. Hal ini menjadi
tekanan yang berat bagi WAN dan sangat berdampak pada prestasinya,
terakhir ia sempat mendapat nilai 4.0 untuk ujian matematikanya. Alasan
inilah yang akhirnya membuat WAN memilih untuk pindah dari kelas RSBI.
Dengan kelas baru dan teman yang banyak membuat WAN kembali
memperoleh prestasinya, meskipun di tingkat regular.
Analisis :
1. WAN belum siap secara psikis menerima pendidikan yang
berstandar internasional.
2. WAN kesulitan mengembangkan sosialisasinya dengan peserta
didik yang lain karena perasaan bersaing yang dimiliki peserta didik
di kelas berstandar internasional.
3. Kesehatan fisiknya terganggu akibat tugas yang terlalu banyak
untuk peserta didik normal hingga akhirnya melewatkan jam

19

makan, hal ini akan berdampak pada kemampuan kognitifnya


karena kurangnya asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh yang
seharusnya dikonsumsi lebih karena ia menggunakan kemampuan
otaknya lebih banyak dibanding peserta didik pada kelas regular.
4. WAN yang terbiasa berkomunikasi dan menyalurkan emosi dengan
teman-temannya harus menghadapi kenyataan bahwa kondisi itu
hilang secara perlahan.
5. Bahasa inggris yang digunakan juga membuatnya kesulitan karena
sekolahnya dulu tidak menerapkan bahasa inggris untuk semua
mata pelajaran selain bahasa inggris.
6. Penelitian Brand dan koleganya (2003), menunjukkan bahwa
ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan (less consistency and
clarity) dalam harapan-harapan sekolah, menjadi salah satu sebab
terjadinya problem akademis (academic problems) dan kesulitan
penyesuaian diri (adjustment difficulties) pada peserta didik.
Sekolah merupakan tempat yang harusnya menjadi wadah untuk
mengembangkan kemampuan kognitif dan
sosial. Namun, bentuk
pendidikan yang muncul di awal tahun tahun 2009 membuat makna yang
lain pada sekolah. Seperti kasus di atas, terlihat bahwa WAN berasal dari
sekolah yang berstandar nasional tiba-tiba mendapat pendidikan yang
berstandar internasional, membuat psikisnya belum siap menerima sistem
pendidikan seperti itu, apalagi untuk wilayah timur Indonesia yang
pendidikannya masih jarang menggunakan sistem pendidikan seperti itu.
Kemudian tekanan dari lingkungan kelas dan teman-temannya membuat
ia kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut hingga
akhirnya memutuskan untuk keluar dari kelas tersebut.
Salah satu cara menanggulangi atau mencegah hal seperti di atas
adalah membangun resiliensi pada remaja. Resiliensi (daya lentur,
ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki
seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan
dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan,
atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu
hal yang wajar untuk diatasi. Oleh sebab itu, dalam membantu
mengembangkan resiliensi remaja di sekolah, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan
terpeliharanya hubungan-hubungan. Hubungan-hubungan ini diawali
dengan sikap pendidik untuk membangun resiliensi, seperti memberikan
harapan dan optimisme, memberikan dukungan kasih sayang dengan

20

cara mendengarkan dan membenarkan perasaan peserta didik, serta


dengan menunjukkan kebaikan, keharuan, dan respek (Higgins, 1994).
Guru harus menghindari tindakan-tindakan yang bersifat
menghakimi, tidak menanggapi tingkah laku peserta didik secara pribadi,
dan memahami bahwa remaja dapat melakukan yang terbaik buat
mereka, yang didasarkan atas cara mereka merasakan dunia (Bernard,
1991). Selain itu, salah satu cara lainnya adalah dengan menggunakan
pendekatan cooperative learning, yakni suatu model pembelajaran yang
lebih menekankan pada kerja sama. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan model cooperative learning ini lebih dapat
meningkatkan prestasi belajar belajar peserta didik, menghasilkan
hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik,
dibandingkan dengan pembelajaran model lain (Johnson & Johnson,
1989). Hal ini dimungkinkan, karena temuan penelitian juga menunjukkan
bahwa teman merupakan penyampai yang baik dari strategi intervensi dan
preventif, sehingga cara-cara yang digunakan peserta didik dapat
membantu mengajarkan life skills kepada peserta didik lainnya
(Henderson & Milstein, 2003).

21

Contoh Kasus
Pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di
sejumlah sekolah di Depok masih nyeleneh. Peserta didik baru di
beberapa sekolah masih terlihat mengenakan atribut aneh seperti kalung
permen dan topi karton, kalung dari minuman dan name tag berukuran
besar.
Di SMK Setia Negara misalnya yang meminta peserta didik baru
mengenakan kalung permen dan topi karton. Pihak sekolah mengaku hal
itu masih dipertahankan tanpa maksud lain. Dengan cara itu, maka mental
peserta didik baru bisa teruji.
Pihak sekolah juga bukan tanpa alasan menyuruh peserta didik
memakai kalung permen. Kalung itu juga sebagai indikator kedisiplinan.
Jika peserta didik terlambat datang selama MPLS maka satu permen akan
dicopot satu per satu.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi D DPRD Kota Depok
Rezky M Noor meminta sekolah tidak melaksanakan praktik perpeloncoan
selama MPLS. Dia mengarahkan agar sekolah lebih melaksanakan
kegiatan yang positif. Dia juga menyarankan agar pihak kepolisian
dilibatkan dengan memberikan materi yang berkaitan dengan peserta
didik. Misalnya materi untuk mengatasi masalah tawuran, antisipasi
kenakalan remaja dan bahaya narkoba.
Sumber :
MOS di Depok Masih Diwarnai Kegiatan Nyeleneh (diunduh dari
http://m.merdeka.com pada tanggal 21 November 2015)
Analisis Kasus
Ospek atau Masa Orientasi Peserta didik (MOS) pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan dan
memberikan
lingkungan tempat belajar sebagai suatu lingkungan
akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya.
Meskipun demikian, hingga sekarang dalam prakteknya masih sangat
banyak lembaga pendidikan mulai dari tingkat SMP hingga perguruan
tinggi yang justru menerapkan sistem negatif.
Kegiatan Ospek dan MOS di Indonesia sering kali diisi dengan
kekerasan dalam bentuk verbal maupun non verbal hingga kekerasan
fisik. Dengan konsep junior harus patuh kepada senior, apapun

22

perintahnya, karena senior harus selalu dianggap benar. Sehingga


seringkali para peserta didik/mahasiswa baru disuruh mengenakan
pakaian dan atribut yang tidak wajar bahkan harus mau menerima
hukuman fisik dari senior, hingga ada yang berujung pada kematian
Menurut kami, ospek negatif seperti itu merupakan tindakan balas
dendam para senior akan pengalamannya ketika mengikuti kegiatan
ospek. Jika pihak sekolah tidak memberikan aturan yang tegas dan malah
mendukung, maka hal itu akan terus berputar dan menjadi tradisi,
terlembaga dan dianggap lazim dilakukan oleh dan kepada calon-calon
pembangun bangsa Indonesia selanjutnya.
Pada kasus ini terjadi fenomena top-dog yaitu perubahan situasi dari
menjadi peserta didik yang paling tua, paling besar, dan paling kuat di
sekolah menengah pertama, menjadi peserta didik yang paling muda,
paling kecil, dan paling lemah di sekolah menengah atas.
Para senior yang melakukan tindakan ospek bermuatan negatif,
khususnya pada kasus diatas dapat digolongkan sebagai seorang remaja,
sehingga jika dianalisis penyebab dia melakukan hal tersebut yaitu:
1. Faktor pubertas dan krisis identitas, yang merupakan hal normal
terjadi pada perkembangan remaja. Karena ingin eksis, mereka
menunjukkan diri bahwa mereka lebih tua, lebih memiliki kekuasaan
dibandingkan juniornya yang baru masuk.
2. Jika dirunut dari lingkungan keluarga, kemungkinan remaja tersebut
tumbuh dalam pengasuhan orang tua yang tidak kondusif
3. Secara psikologis, remaja yang dapat diakatan agresif tersebut
memiliki kontrol diri dan keterampilan sosial yang rendah, juga empati
terhadap orang lain yang tidak berkembang.
4. Secara sosiokultural, jelas bahwa perilaku tersebut terus berulang
karena orang-orang yang seharusnya bertindak tegas, dalam hal ini
pihak pendidik justru mendukung ospek perpeloncoan tersebut.
Termasuk budaya feudal dan senioritas yang turut mempengaruhi dan
menumbuhkan perilaku menindas.

23

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2006).Psikologi Perkembangan Ekologi Kaitannya dengan
Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama
Desmita. (2009). Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya
Mengatasi Stres Sekolah. Tadib, 12. 121-459-1-PB.
Henderson, V.L., & Dwesk, C.S. (1990)/ Motivation and achievement,
dalam: S.S. Feldman & G.R. Elliott (Eds.), At the Threshold: The
Developing Adolescent, Cambridge, MA: Harvard University Press.
Santrock, J.W. (2003). Adolscence Perkembangan Remaja (Edisi ke 6).
Jakarta: Erlangga
Santrock, J. W. (2007). Remaja Jilid 2 (Edisi ke 11). Jakarta: Erlangga
Sunarto. H. & Agung, B.H. (1999). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Syah. M. (2000). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Yufran, A. (n.d.). Pendidikan pada Masa Remaja (diunduh dari
www.academia.edu pada tanggal 17 Oktober 2015)

Anda mungkin juga menyukai