Anda di halaman 1dari 19

1

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


TATALAKSANA HIPERTIROID DI LAYANAN PRIMER

Oleh:
NABILA ADANI LUBIS
NIM. 110100034

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

MAKALAHKEPANITERAAN KLINIK SENIOR


TATALAKSANA HIPERTIROID DI LAYANAN PRIMER

Oleh:
NABILA ADANI LUBIS
NIM. 110100034

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

TATALAKSANA HIPERTIROID DI LAYANAN PRIMER


Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.
Oleh:
NABILA ADANI LUBIS
NIM. 110100034

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Judul

: TATALAKSANA HIPERTIROID DI LAYANAN PRIMER

Nama

: NABILA ADANI LUBIS

NIM

: 110100034

Medan, 28 April 2016


Pembimbing

dr. Isti Ilmiati Fujiati, M.Sc.CM-FM, M.Pd.Ked


NIP: 196705271999032001

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad
SAW karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Tatalaksana Hipertiroid di Layanan Primer sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Isti Ilmiati Fujiati, M.Sc.CM-FM, S.Pd.Ked selaku
dosen pembimbing makalah atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran
untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan. Atas bantuan
dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual,
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 28 April 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................
1.1. Latar Belakang...............................................................................
1.2. Tujuan Penelitian...........................................................................
1.3. Manfaat Penelitian.........................................................................

1
1
1
2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................


2.1. Hipertiroid......................................................................................
2.1.1 Definisi.................................................................................
2.1.2 Etiologi.................................................................................
2.1.3 Diagnosis..............................................................................
2.1.4 Penatalaksanaan....................................................................
2.2. Tatalaksana hipertiroid di layanan primer .....................................

3
3
3
3
4
5
7

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 10


3.1 Kesimpulan.................................................................................... 10
3.2 Saran.............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang
hiperaktif. Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang
beredar dalam sirkulasi. Penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme
yang tersering. Sekitar 60-80% hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit graves.1,2
Hasil pemeriksaan TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone) pada
Riskesdas 2007 didapatkan 12,8% laki-laki dan 14,7% perempuan memiliki kadar
TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid. Namun menurut
hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4% penduduk Indonesia yang berusia 15
tahun atau lebih yang berdasarkan wawancara mengakui terdiagnosis hipertiroid.
Meskipun secara persentase kecil, namun secara kuantitas cukup besar. Jika pada

tahun 2013 jumlah penduduk usia 15 tahun sebanyak 176.689.336 jiwa, maka
terdapat lebih dari 700.000 orang terdiagnosis hipertiroid.3
Oleh karena banyaknya penduduk Indonesia yang terdiagnosis menderita
penyakit hipertiroid dan juga terdeteksi dengan kadar TSH yang rendah, maka
penulis merasa perlu membuat makalah ini, sehingga menambah pengetahuan
dokter umum untuk dapat mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal terhadap
penderita hipertiroid.
1.2. Tujuan Penelitian
Untuk lebih mengerti dan memahami mengenai Tatalaksana Hipertiroid di
Layanan Primer dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Penelitian


1. Untuk meningkatkan informasi di dunia ilmu pengetahuan terutama
dalam hal studi literatur, baik bagi penulis maupun pembaca dan
masyarakat luas.
2. Sebagai tolak ukur bagi penelitian berikutnya.
3. Untuk memberi edukasi pada masyarakat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertiroid
2.1.1. Definisi
Hipertiroidisme

merupakan

keadaan

yang

disebabkan

kelenjar

tiroid

memproduksi hormon tiroid berlebihan. Berbeda dengan hipertiroidisme,


tirotoksikosis adalah gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon
tiroid di dalam darah. Dalam setiap diagnosis penyakit tiroid dibutuhkan deskripsi
mengenai kelainan faalnya (status tiroid), gambaran anatominya (difus,
uni/multinodul, dan sebagainya), dan etiologinya (autoimun, tumor, radang).1,2
2.1.2. Etiologi
Penyebab paling sering dari hipertiroid (pada lebih dari 70% orang) adalah
produksi yang berlebih dari hormon tiroid oleh seluruh kelenjar tiroid. Kondisi ini
juga dikenal sebagai penyakit Graves. Penyakit Graves ini disebabkan oleh
antibodi dalam darah yang menstimulasi tiroid, menyebabkannya tumbuh dan

mengeluarkan hormon tiroid terlalu banyak. Jenis hipertiroidisme ini cenderung


berhubungan dengan genetik dan terjadi lebih sering pada wanita muda. Jenis
hipertiroidisme yang lain yaitu dicirikan dengan satu atau lebih nodul atau
benjolan di tiroid yang secara bertahap dapat tumbuh dan meningkatkan aktivitas
tiroid sehingga total pengeluaran hormon tiroid ke dalam darah lebih besar
daripada normal. Kondisi ini dikenal sebagai adenoma toksik atau gondok
multinodular toksik. Dan juga seseorang mungkin memiliki gejala dari
hipertiroidisme jika mereka memiliki kondisi yang disebut tiroiditis. Kondisi ini
disebabkan oleh masalah dengan sistem kekebalan tubuh atau infeksi virus yang
menyebabkan bocornya kelenjar tempat menyimpan hormon tiroid. Gejala yang
sama juga bisa disebabkan oleh terlalu banyak konsumsi hormon tiroid dalam
bentuk tablet. Kedua bentuk kelebihan hormon tiroid yang terakhir ini hanya
disebut tirotoksikosis, karena kelenjar tiroid tidak terlalu aktif.1,4,5
2.1.3. Diagnosis
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis, yang
didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara teliti, kemudian diteruskan
dengan pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid,
dan etiologi.1
Gejala-gejala yang sering tampak pada penderita hipertiroidisme seperti
sering gugup, iritabilitas, peningkatan respirasi, bedebar-debar, tremor, ansietas,
susah tidur (insomnia), berkeringat banyak, rambut rontok, dan kelemahan pada
otot, khususnya kerja dari otot lengan dan kaki, frekuesi buang air besar
terganggu, kehilangan berat badan yang cepat, retraksi kelopak mata, eksoftalmos,
pada wanita periode menstruasi lebih cepat dan aliran darah lebih kencang.
Pemeriksaan kelenjar tiroid ditemukan pembesaran difus yang disertai bruit akibat
peningkatan vaskularisasi kelenjar tiroid. Hiperthiroid biasanya mulainya lambat,
tetapi pada beberapa pasien muda perubahan ini terjadi sangat cepat. Awalnya
gejela dirasakan yang diartikan salah, contoh perasaan gugup yang dianggap
karena stres.2,4,5,6,7

Diagnosis dari hipertiroidisme dikonfirmasi dengan tes laboratorium yang


mengukur jumlah dari hormon tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid
perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormon (TSH). Artinya, bila T3 dan
T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves,
adanya

antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,

menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,


sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah
dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua
merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH
sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat
diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4).5,6,7,8
2.1.4. Penatalaksanaan
Terdapat tiga modalitas terapi penyakit hipertiroid, yaitu obat antitiroid,
tindakan bedah, dan terapi radioiodin. Modalitas utama yang paling banyak
digunakan adalah obat antitiroid (OAT). OAT terdiri dari 2 golongan, yaitu
golongan Tionamid (Propiltiourasil (PTU)), dan golongan Imidazol (Metimazol,
Tiamazol, dan Karbimazol).8,9
Tujuan pemberian OAT adalah untuk menurunkan konsentrasi hormon
tiroid di perifer. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis
hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium,

menghambat

coupling

iodotirosin,

mengubah

struktur

molekul

tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi


ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan
perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat
konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan

metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding


PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal.8,9,10
Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves. Methimazole
mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali
sehari. Dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan etimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal.
Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia,
dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis.8,11
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping,

yaitu

agranulositosis

(metimazol

mempunyai

efek

samping

agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome , yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain
yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid
antara lain ikterus kholestatik, angioneurotic edema, hepatocellular toxicity dan
arthralgia akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan
tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan

efek samping,

penghentian penggunaan obat

tersebut akan

memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas

pengobatan yang lain seperti radioiodin atau operasi. Bila timbul efek samping
yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis yang
lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.10,11,12,13
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk menghancurkan sel-sel
tiroid secara progresif. Radioiodin dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama maupun sebagai terapi lini kedua pada pasien yang mengalami relaps
setelah pengobatan OAT. Modalitas ini dikontraindikasikan pada ibu hamil dan
menyusui.2,11,14
Tindakan bedah dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah menjalani
pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain perdarahan, edema laring, hipoparatiroidisme, dan cedera nervus
laringeus rekurens. Penatalaksanaan bertujuan mencapai remisi, yaitu keadaan
dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah obat antitiroid dihentikan
selama satu tahun.2,11,14
Terapi simptomatis yang diberikan yaitu berupa -adrenergik-antagonis
yang berfungsi mengurangi dampak hormon tiroid pada jaringan, obat ini sebagai
tambahan, kadang sebagai obat tunggal pada tiroiditis. Obat yang dapat diberikan
ialah propanolol, metoprolol, dan atenolol. Selain itu juga dengan bahan yang
mengandung iodine seperti kalium iodida, asam lopanoat, natrium ipodat, yang
berperan menghambat keluarnya T4 dan T3 serta menghambat produksi T3
ekstratiroidal. Bahan ini digunakan untuk persiapan tiroidektomi, pada krisis
tiroid bukan untuk penggunaan rutin.1, 13
2.2. Tatalaksana Hipertiroid di Layanan Primer
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter bekerja berdasarkan
keluhan atau masalah pasien/klien, kemudian dilanjutkan dengan penelusuran
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam
melaksanakan semua kegiatan tersebut, dokter harus memperhatikan kondisi
pasien secara holistik dan komprehensif, juga menjunjung tinggi profesionalisme
serta etika profesi di atas kepentingan/keuntungan pribadi.15

Daftar penyakit yang terdapat dalam Standar Kompetensi Dokter


Indonesia disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan agar dokter memiliki
kompetensi yang memadai untuk membuat diagnosis yang tepat, memberi
penanganan awal atau tuntas, dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka
penatalaksanaan pasien. Tingkat kompetensi setiap penyakit merupakan
kemampuan yang harus dicapai pada akhir pendidikan dokter.15
Tingkat kemampuan yang harus dicapai:15
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat
bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu

menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.


Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Dengan demikian didalam Daftar Penyakit ini level kompetensi tertinggi adalah
4ANo

ing

kat

10

Kemampuan
Kelenjar Endokrin

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah, maka kesimpulan yang
diperoleh bahwa kompetensi dokter umum dalam tatalaksana penyakit hipertiroid
adalah kompetensi 3A, yaitu dimana lulusan dokter mampu membuat diagnosis
klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Tatalaksana yang dapat diberikan oleh dokter umum adalah tatalaksana
awal yaitu berupa obat-obatan yang dapat mengurangi gejala-gejala yang timbul
akibat berlebihnya hormon tiroid dan juga menurunkan kadar tirotoksikosis dalam
darah. Selanjutnya dokter umum dapat merujuk ke dokter spesialis penyakit
dalam untuk terapi lanjutan.

11

3.2 Saran
Sebaiknya edukasi dari sarana pelayanan kesehatan semakin diperluas
mengenai pentingnya penanganan hipertiroid sedini mungkin. Tenaga kesehatan
memberikan informasi yang lebih tentang gejala dari penyakit hipertiroid,
sehingga masyarakat menjadi lebih peduli dan berpartisipasi dalam upaya
mendeteksi kemungkinan adanya kelebihan hormon tiroid dalam darah, yang
selanjutnya akan diberi penanganan oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djokomoelijanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam:
A.W. Sudoyo, et al., 2009. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing. 2014.
2. Waspadji S. Pendekatan klinis dan pengelolaan tirotoksikosis. Dalam Naskah
lengkap pelatihan penatalaksanaan penyakit-penyakit tiroid bagi dokter umum.
Jakarta: Interna Publishing, 2008.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (riskesdas)
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.

4. Reid JR, Wheeler SF. Hyperthyroidiasm: Diagnosis and Treatment. The


American Family Physican. 2005; 72 (4): 623-630.
5. Elias SS. Update on the diagnosis and treatment of hyperthyroidism.
JCOM. 2008; 15(6): 298-305.
6. American Thyroid Association. Hyperthyroidism. 2014.

7. George J, Joshi SR. Drug and Thyroid. japi.org. 2007; 55: 215-223
8. Bahn RS, Burch HR, Cooper DS, et al. Hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis: management guidelines of the american thyroid association and
american association of clinical endocrinologist. Hyperthyroidism Management
Guidelines, Endocr Pract. 2011; 17(3): 1-65
9. Gharib H, Papini E, Paschke R, et al. American Association of Clinical
Endocrinologists, Associazione Medici Endocrinologi, and European Thyroid

12

Association medical guidelines for clinical practice for the diagnosis and
management of thyroid nodules. Endocrine Practice. 2010; 16(s1)143.
10. Golden SH, Robinson KA, Saldanha I, et al. Prevalence and incidence of endocrine
and metabolic disorders in the United States: a comprehensive review. Journal of
Clinical Endocrinology Metabolism. 2009;94(6):18531878.

11. De Broot LJ. Graves Disease and the Manifestation of thyrotoxicosis.


Research professor University of Rhode island, 80, Washington
.St(Rm.302). January. 2010; 1-10
12. Ain K, Rosenthal S.Complete thyroid Book, Too Much Thyroid Hormon.
Mc Graw-Hill. 2005; 61-70
13. Pearce NE, Lewis E. Hyperthyroidism in Early diagnosis and treatment of
Endocrine Disorder, Humana Press, Totowa, Newjersey 2003; 53-60
14. Wen JL, Yuan H, Liu Z. Departement of Endocrinology and Metabolik ,
Shanghai with People Hospital tengji. University of Medicine ShanghaiChina, 2010.
15. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

13

1. Cefalu, W.T., et al., 2015. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care
38(1): S1-S93.
2. WHO, 2014. Global status report on noncommunicable diseases 2014. Geneva:
Switzerland.
3. CDC, 2014. National diabetes statistics report. Atlanta: Amerika Serikat.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset kesehatan dasar
(riskesdas) 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Ganong, W. F., 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 22. Jakarta: EGC.
6. Sherwood, L., 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC,
34 42.
7. Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam:
A.W. Sudoyo, et al., 2009. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III.
Jakarta: InternaPublishing, 1880-1883. Bab 292.
8. Waspadji, S., Kaki diabetik. Dalam: A.W. Sudoyo, et al.,2009. Buku Ajar: Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III. Jakarta: InternaPublishing, 1961-1965. Bab
307.
9. Canadian Journal of Diabetes, 2013. Executive summary: organization of
diabetes care. Canadian Diabetes Assosiation. 37(1): S299-300.
10. Pittenger, A.L., et al., 2013. An interprofessional diabetes experience to
improve pharmacy and nursing students competency in collaborative
practice.American Journal of Pharmaceutical Education 2013; 77(9): S197.

14

11. Zwarenstein, R.S., et al., 2009. Interprofessional education: effects on


professional practice and health care outcomes (review). The Cochrane
Collaboration: John Wiley&Sons, Ltd.
12. Barrett, J., et al., 2007. Interprofessional collaboration and quality primary
healthcare. Kanada: Canadian Foundation for Healthcare Improvement.
13. Taylor, M.D., 2011. View point: interprofessional collaboration and the future
of health care. United States: University of Philadelphia.
14. American Speech-Language-Hearing Assosiation, 2008. Interprofessional
education. United States: Issue of Access Academics and Research.
15. Coleman, M.T., 2013. Diabetes care management using interprofessional
student teams as a means to improve care and enhance training in medical
home principles. United States: Lousiana State University, School of Medicine.

Anda mungkin juga menyukai