Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 15 % dari penyulit kehamilan dan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin.
Hipertensi ini dapat berupa Hipertensi Kronis, Hipertensi Gestational maupun
berkembang lebih jauh menjadi Preeklampsia maupun Eklampsia. Di Indonesia
mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi.
Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam
persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang
belum sempurna.
Berdasarkan data dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2005
terdapat

536.000

ibu

hamil

meninggal

akibat

hipertensi

dalam

kehamilan. Kejadian ini terjadi hampir di seluruh dunia. Angka Kematian Ibu
(AKI) di Asia Tenggara berjumlah 35 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil laporan
WHO pada tahun 2005 juga menyatakan bahwa di Indonesia AKI tergolong
tinggi dengan 420 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2005).
Hasil dari SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2012,
menyatakan bahwa sepanjang tahun 2007-2012 kasus kematian ibu melonjak
naik. Pada tahun 2012 AKI mencapai 359 per 100.000 penduduk atau
meningkat sekitar 57% bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2007,
yaitu sebesar 228 per 100.000 penduduk. Hal ini disebabkan karena terjadinya
bumil risti (ibu hamil dengan

risiko tinggi)

yang salah satunya adalah

terkena hipertensi dalam kehamilan (SDKI, 2012).


Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa hipertensi merupakan penyakit
yang berbahaya, terutama apabila terjadi pada wanita yang sedang hamil. Hal ini
dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan bagi bayi yang akan dilahirkan.
Hipertensi dalam kehamilan atau yang disebut dengan preeklampsia, kejadian ini
persentasenya 12% dari kematian ibu di seluruh dunia. Kemenkes tahun 2013
menyatakan bahwa hipertensi meningkatkan angka kematian dan kesakitan pada
ibu hamil (Kemenkes, 2013).

BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien

Nama

: Ny. K

Umur

: 46 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Kemantren

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SD

Status Perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Suami

: Tn. S

Umur

: 50 tahun

Pekerjaan

: Buruh

II. Anamnesis
Keluhan Utama : pusing, pegal-pegal
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu G3P2A0 merasa hamil 9 minggu datang ke puskesmas Sendang
dengan keluhan pusing dan pegal-pegal yang dirasakan sejak kurang lebih
3 hari yang lalu. Keluhan disertai kedua kaki bengkak. Keluhan tidak
disertai mual, muntah, keputihan, gangguan BAK dan BAB tidak
dirasakan pasien. Riwayat trauma disangkal. Riwayat alergi obat dan

makanan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit hipertensi (+) sejak 1 tahun yang lalu.
- Riwayat diabetes melitus, asma, penyakit jantung dan paru disangkal
Riwayat keluarga
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus, asma, penyakit jantung dan
paru pada keluarga disangkal

Riwayat Obstetri
Riwayat kehamilan : hamil anak ketiga, belum pernah keguguran

ANC : teratur sebanyak 3 kali di bidan


Imunisasi TT 3 kali selama hamil
Riwayat Menikah
Menikah 1 kali, lama pernikahan 27 tahun
46 tahun, SD, Ibu rumah tangga
50 tahun, SD, Buruh

III.

Riwayat Kontrasepsi
menggunakan KB pil
Riwayat Haid
HPHT : 06-12-2015
TP : 13-09-2016
Menarce : 11 tahun
Siklus haid teratur 28 hari selama 5-6 hari.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
: TD : 150/100 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
RR : 20 x/ menit
Suhu : 36,5 C
Status gizi
: BB= 74 kg, TB= 159 cm, LILA= 31,4 cm
Kepala
: normosephal, conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/Leher
: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks
: normothoraks
Cor
: BJ I II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : VBS kanan = kiri, rhonki -/-, wheezing -/Abdomen

: cembung, lembut
Bising usus (+), 12 x/menit
Nyeri tekan (-)

Ekstermitas

Defence muskular (-)


PS/ PP -/-, hepar lien tidak teraba
: Sianosis (-), akral hangat, edema tungkai +/+, pitting

oedem +/+
Status Obstetri
Inspeksi
Wajah : chloasma gravidarum (+)
Abdomen : cembung, lembut, nyeri tekan (-), defance muskular (-),
PS/PP (-)
Palpasi
Ballotement (+) 3 jari di atas simpisis pubis

Djj: Diagnosis Kerja Sementara


G3P2A0 gravida 9 minggu dengan hipertensi kronik superimposed
preeklampsia
Hasil Laboratorium
Protein urin : +
IV.Resume
Ibu usia 46 tahun dengan G3P2A0 gravida 9 minggu chepalgia, mialgia
yang dirasakan sejak kurang lebih 3 hari yang lalu. Keluhan disertai pitting
oedem pada kedua tungkai. Riwayat hipertensi (+) 1 tahun yang lalu.
Tanda-tanda vital TD: 150/100 mmHg. Pemeriksaan fisik dalam batas
normal. Dari pemeriksaan obstetri didapatkan ballotement (+) 3 jari di atas
simpisis pubis, pemeriksaan laboratorium protein urin positif satu.
V. Diagnosis Kerja
G3P2A0 gravida 9 minggu dengan hipertensi kronik superimposed
preeklampsia

VI.

Terapi
Dopamed tab 500 mg no. X
3 dd tab 1. pc
Fe tab no. XXX
0-0-1

Paracetamol tab 500 mg no. X


3 dd tab 1. pc

VII.

Prognosis
Quo ad Vitam
: Ad Bonam
Quo ad Functionam : Ad Bonam
Quo ad Sanationam : Ad Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi Hipertensi dalam Kehamilan


Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi
disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu
atau segera setelah persalinan.11
Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut
pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran
(gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia
adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.1
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan
< 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi
kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi
atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga
Superimposed Preeclampsia.7

Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi


dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan
tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12
minggu pascasalin.9
3.2

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk
menjelaskan

setiap

bentuk

hipertensi

yang

berhubungan

dengan

kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan
akibat antara kehamilan dan hipertensi preeklamsi dan eklamsi.5
Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal
sebagai pregnancy-induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The
International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)
klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan,
persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan
non-proteinuri.
-

Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)

Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)

Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)


2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit
ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

Hipertensi kronis (without proteinuria)

Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

Hipertensi kronis dengn superimposed

Pre-eklamsi (proteinuria)
3.

Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

4.

Eklampsia.18
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the

NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :

1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.2,4,5,7,10
3.3

Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan


Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas
dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya
preeklamsi sukar dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat
dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan
penanganan secara sempurna.10
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi
cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus
gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga
terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil
dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.5,7,10
Hipertensi

didiagnosa

apabila

tekanan

darah

pada

waktu

beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan


untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah
dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau
sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila
tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut
sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa
wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek
samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah
biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik
pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik
karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang
normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi

tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat
pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.5,7
3.3.1

Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan
darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya
selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional
disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang
dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum.
Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah kehamilan
terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria
tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985),
10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi.
Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan
janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda
dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia.
Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan
janin.2,5
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
-

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri


epigastrium atau trombositopenia.5

3.3.2

Preeklamsia
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley
(1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan
tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam
melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria
dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada

kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium
yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi
meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan
secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri
epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.5
Trombositopeni

adalah

karakteristik

dari

preeklamsi

yang

memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan


agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan
fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan
janin yang nyata.5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
-

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :


-

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah


meningkat.

10

Trombosit <100.000/mm3.

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten.5


Beratnya

preeklamsi

dinilai

dari

frekuensi

dan

intensitas

abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak


ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah
mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan
darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri
kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5
3.3.3

Eklamsia
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak
dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan.
Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah
perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum
(Chames dan kawan-kawan, 2002).5

3.3.4

Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

11

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum
ada sebelum kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah


trombosit

<100.000/mm3

pada

wanita

dengan

hipertensi

atau

proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. 4,5,7


3.3.5

Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
- Hipertensi ( 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
- Hipertensi ( 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila
ada penyakit trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.5
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20
minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi. 1,10
Hipertensi esensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis

12

Diabetic nephropathy
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.1 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis 5
Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat
dilihat pada tabel 2.3.9
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
< 120
< 80
Pre hipertensi
120 139
80 89
Hipertensi stadium I
140 159
90 99
Hipertensi stadium II
160
100
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Kronis 12
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah
dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu.
Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat
didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan
hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi
sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.5
3.4

Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit
hitam memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis.
Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada

13

22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita
Amerika Meksiko.4,5,7
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18
tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada
wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan
frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.4,5,7,10
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena
sebagian besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang
cukup. Misalnya, pada edisi 13 Williams Obstetrics (1976) selama periode
25 tahun sebelumnya luas pengaruh dari eklamsi di Parkland Hospital
adalah 7 dalam 799 kelahiran. Selama periode 4 tahun dari tahun 1983
sampai 1986, telah menurun menjadi 1 dalam 1150 kelahiran, dan selama
periode 3 tahun yang berakhir pada tahun 1999, luasnya pengaruh eklamsi
menurun kira-kira menjadi 1 dalam 1750 kelahiran (Alexander dan kawankawan, 2004). Dalam National Vital Statistics Report, Ventura dan kawankawan (2000) memperkirakan bahwa terjadinya eklamsi di Amerika
Serikat pada tahun 1998 adalah sekitar 1 dalam 3250 kelahiran. Di Inggris
pada tahun 1992, Douglas dan Redman (1994) melaporkan bahwa
terjadinya eklamsi adalah 1 dalam 2000 kelahiran.5
3.5

Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.

2.

Faktor risiko maternal :

Kehamilan pertama

Primipaternity

Usia < 18 tahun atau > 35 tahun

Riwayat preeklamsi

Riwayat preeklamsi dalam keluarga

Ras kulit hitam

Obesitas (BMI 30)

Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7


Faktor risiko medikal maternal :

14

Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis


seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma,
dan stenosis arteri renalis

Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan


komplikasi mikrovaskular

Penyakit ginjal

Systemic Lupus Erythematosus

Obesitas

Trombofilia

Riwayat migraine

Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor >


trimester I.4,5,7

3.

Faktor risiko plasental atau fetal :

Kehamilan multipel

Hidrops fetalis

Penyakit trofoblastik gestasional

Triploidi.3,4,5,7

3.6

Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi
preeklamsi harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang
disebabkan oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita
yang :
1.

Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.

2.

Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola


hidatidosa.

3.

Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.

4.

Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang


berkembang selama kehamilan.5
Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat
pada tahun 2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999).

15

Dengan demikian tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah


dikemukakan untuk menerangkan penyebabnya. Menurut Sibai (2003),
sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
sebagai berikut :
1.

Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.

2.

Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.

3.

Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi


dari kehamilan normal.

4.

Faktor nutrisi.

5.

Pengaruh genetik.5

Bagan 3.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5


3.7

Patofisiologi

16

Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,


preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu
vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti
insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta
difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal
trofoblastik

pada

endometrium.

Hal-hal

ini

menjelaskan

bahwa

pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat


mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita
hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif
seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi
menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini
merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi
tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi
vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam
kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan
volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi
meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun,
menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal
yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi
terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas
menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi
susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi.
Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat
bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema

17

non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.


Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya
akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini
menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang nonreassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan
janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah
sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada
usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke
III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi
vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek
penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah
dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun
yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya
sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau
vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral,
perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada
kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat
konvulsi.4,5
3.8

Pemeriksaan Prediktif Kejadian Preeklamsia


Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Bila kelainan ini dapat
dicegah maka diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas penyakit ini. Pencegahan tidak hanya memerlukan pengetahuan
mengenai patofisiologi tetapi juga cara deteksi dini dan cara intervensi
terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut. 4
Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia
kehamilan yang lanjut, biasanya pada trimester ketiga, walaupun
sebenarnya kelainan sudah terjadi jauh lebih dini yakni pada usia

18

kehamilan antara 8-18 minggu. Tes yang ideal untuk prediksi harus
sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu lama, sensitivitasnya
tinggi, non invasif dan mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi.9

3.9

Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi
terhadap strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara
klinis.5

3.9.1

Pencegahan preeklamsia

1. Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia
adalah pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki,
pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan
Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif
dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.5
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis
menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal
menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan
insidensi preeklamsia.5,8
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka
memperbaiki gangguan keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi
eklamsia tidaklah efektif.5
Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan
tujuan untuk menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat
(Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel
vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan

19

kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi


endotel.5,8
2. Aspirin dosis rendah
Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan
insidensi preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan
dengan hasil dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang ini,
pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsi.
Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Caritis dan kawankawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah. Hanya ada satu
penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin
terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double
blind placebo controlled trial dilakukan untuk melihat efek aspirin
pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis rendah
aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu
tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat,
perdarahan post partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.5,7
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi
lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang
dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka
menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan
preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap
stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada
penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat
menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan
preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C
sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia
kehamilan 16 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi
preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum

20

menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara


klinis.3
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan
antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi.
Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 2 g/hari telah
disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian
Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak
dibutuhkan

pada

nulipara.

Walaupun

demikian,

mungkin

pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk


kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada
kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi
berat.6
5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti
radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan
dapat

mencegah

terjadinya

peningkatan

tekanan

darah

yang

diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian


obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah
mencoba menggunakan obat ini.6
3.9.2 Pencegahan eklamsia
Karena patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan
eklamsi juga terbatas. Keadaan ini membuat pencegahan eklamsi adalah
dengan cara mencegah terjadinya preeklamsi atau secara sekunder dengan
penggunaan pendekatan farmakologis untuk mencegah konvulsi pada
wanita preeklamsi. Pencegahan dapat bersifat tersier dengan mencegah
konvulsi berikutnya pada wanita dengan eklamsi. Sampai sekarang belum
ada terapi pencegahan untuk eklamsi. Selama beberapa dekade belakangan
ini, beberapa penelitian acak telah melaporkan hasil penelitiannya tentang
penggunaan restriksi protein atau garam, magnesium, suplementasi
minyak ikan, aspirin dosis rendah, kalsium, dan vitamin C & E pada

21

wanita dengan variasi faktor risiko untuk menurunkan angka kejadian atau
beratnya preeklamsi. Secara umum, hasil-hasil dari penelitian ini memiliki
keuntungan minimal atau malah tidak ada terhadap penurunan preeklamsi.
Bahkan pada penelitian yang melaporkan penurunan angka kejadian
preeklamsi, tidak memiliki keuntungan dalam outcome perinatal.7
Penanganan yang sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi
adalah deteksi dini serta terapi preventif hipertensi gestasional atau
preeklamsi. Beberapa rekomendasi terapi pencegahan meliputi observasi
ketat, penggunaan obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah
maternal melebihi nilai normal, waktu persalinan, dan profilaksis
magnesium sulfat selama persalinan dan segera postpartum pada pasien
yang dicurigai mengalami preeklamsi.11
Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani
secara aman dengan rawat jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa
tidak direkomendasikan penggunaan anti hipertensi pada wanita dengan
hipertensi gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis magnesium
sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan
diagnosis preeklamsi. Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan
12-24 jam postpartum. Namun tidak ada data yang mendukung pemberian
profilaksis magnesium sulfat pada wanita dengan hipertensi ringan.9
3.10

Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan

3.10.1 Panduan Penatalaksanaan


Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan
penatalaksanaan :
1.

Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi


tidak demikian untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk
preeklamsi berdasarkan apakah janin dapat hidup tanpa komplikasi
neonatal serius baik dalam uterus maupun dalam perawatan rumah
sakit.

22

2.

Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan


bahwa perfusi yang buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis
maternal dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal.
Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau dengan
menurunkan

tekanan

darah

dapat

menimbulkan

perubahan

patofisiologis.
3.

Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum


diagnostik klinis timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan
ireversibel terhadap kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis
klinis. Jika ada pertimbangan konservatif daripada persalinan, maka
ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi
matur.9

3.10.2 Penanganan pra-kehamilan


Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan
kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan
beratnya, sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan
rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita
hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya
faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi
apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.3
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada
akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan
tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit
sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil
dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat
dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan
dapat menjalani rawat jalan.3
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan,
penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang
telah diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau

23

beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum


terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.5
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan
hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau
bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis
meliputi :
1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis
seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan
penambahan berat badan secara cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari
setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali
saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim
hati, frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis
dan dengan menggunakan ultrasonografi.4,5
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehariharinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula
dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori
dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak
berlebihan.5
3.10.3 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan
Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi
esensial. Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini
adalah secara primer berhubungan dengan terjadinya preeklamsi
superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap
penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta
tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien
pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur

24

ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah >
160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati,
dan penyakit ginjal atau autoimun.4,7
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap,
termasuk funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan
meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk
mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan
elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG,
rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan
katekolamin urine.3,11
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk
komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi
perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis
meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah
biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah
di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan
aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa
aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko
preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan
pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil
bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam
sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.5,7
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28
minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap
kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan
tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan
dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran
hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi
protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk,
terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat.

25

Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal


preeklamsi superimposed.3,5
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita
hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa
klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika
menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah
di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan
terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap
45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat
anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan
menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah
rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa
Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat
anti hipertensi, dan lamanya terapi.5,7
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target
organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi
untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus
dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi
harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik
atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah
pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa
pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat
tekanan darah mencapai 180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif
pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting,
mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal
yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling
buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi,
wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi
dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada
awal kehamilan.5,7

26

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum


kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap
janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil
dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap
menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang
baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah
terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan
perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif
garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi
kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit
kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat
lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat
kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti
nifedipin atau labetalol dapat digunakan.3,5
3.10.4 Penatalaksanaan preeklamsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan
merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi.
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis
ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal
terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan
dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi,
ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan
beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan
utama pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan
kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih
lanjut dan lama.2
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya
preeklamsi, yaitu :
1.

Preeklamsi ringan

27

Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk


mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk
sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati,
gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini
memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien
harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens
kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat,
elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi
berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat
badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2
minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik,
hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu
meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein
pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin
(pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan,
ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti
nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada
tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang
dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan
umum tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan
servik yang matang (skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi
maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak menganjurkan
penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak
ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama,
penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah
baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan.
Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan
pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan
meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan

28

kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau


kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak
dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan
karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan
yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak
menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah
maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan
lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya
progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan prematur pada pasien
yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang
mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10
penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan
preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap
lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan
preterm bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat
keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan.5,10,4
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali
dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non
reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan
oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio
lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan
awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat
kematangan

janin.

Pemberian

kortikosteroid

dilakukan

untuk

mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7


hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor
terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya
solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.5,11
2.

Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat

29

terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang
atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.1
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk
dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan
janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa
memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila
terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu.
Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi
kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka
pendek dan jangka panjang.5,1,10
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara
konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena
hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini
dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas
3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan
usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus
memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi.
Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang
menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan <
23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.11

30

Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi


berat

adalah

mencegah terjadinya

komplikasi serebral

seperti

ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium


sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah
dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan
mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg.
Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126
mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik
< 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial
pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila
perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut
hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu
mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual,
labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan
tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin,
beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi
preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan
hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan
efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada
hidralazin.2
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol
hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang
kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan.
Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian
hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama
masih diperlukan.5,7

31

Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125


ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare,
diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan
hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan
pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan
secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan
ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan
intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak
dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.2
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal
dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan
utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade
simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa
dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme
dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat.
Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan
bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tibatiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema
pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional
dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada
wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat
menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada
keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan

32

selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan,


tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.4,5
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.9
3.10.5 Penatalaksanaan eklamsi
Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)
Kebanyakan

rumah

sakit

merekomendasikan

pemberian

antikonvulsan kepada semua pasien dengan hipertensi dengan atau


tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan tersebut harus aman
bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan menggunakan
magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini
dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara
suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan
secara intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi
susunan saraf pusat baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat
pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu. Mengingat
persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya
konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan

33

magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24


jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat
bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.5,11
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir
seluruhnya diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat
dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat,
reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi
eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan
mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L
(4.8 8.4 mg/dL atau 2.0 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena
awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat
pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular
10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3 gram per
jam.

Jadwal

dosis

pemberian

seperti

ini

diharapkan

dapat

mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.5,11


Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium
mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya
kerja kurariformis. Magnesium bebas atau ionized magnesium
merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda
ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena
bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma
yang lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma
lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan depresi pernafasan, bila
kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan
paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat
ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara
intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek,
maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan
bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan mengganggu ekskresi

34

magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar


plasma magnesium secara periodik.5,10
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15
menit, akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan
cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium menurunkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada
saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi
miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan
flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.7
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan
bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium
melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton
dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi
terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah dengan
ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam
bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh
magnesium, maka dapat diambil kesimpulan bahwa magnesium
memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam memblok konvulsi.5
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi
kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang
telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas
miometrium.
magnesium
Mekanisme

Beberapa
sulfat

tidak

magnesium

penelitian

juga

mengganggu
dalam

menunjukkan

induksi

menginhibisi

oleh

bahwa

oksitosin.

kontraktibilitas

miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek


pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah
peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai
ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya
menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga
menyebabkan kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme

35

penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10


mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan
kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis
eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan. 8
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali
terjadi

hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus

setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan.


Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Grether menunjukkan
bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesium terhadap
serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat
rendah.5
Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat
lebih superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi
eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan
menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawankawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine
dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Livingstone dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat
tidak tampak menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi
preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium sulfat sudah tidak
diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.5
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena
kontinu untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1.

Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan


dalam 100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.

2.

Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus


pemeliharaan.

3.

Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk
menjaga level plasma 4-7 mEq/L.

4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.5

36

Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra


muskular intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit.
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram
diinjeksikan pada masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri
dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2%
untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15
menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang
diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian
kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak
ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai
100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.5
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110
mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah
menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.1
2. Penatalaksanaan Pasca salin
Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan.
Karena 25% konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan
preeklamsi tetap melanjutkan magnesium sulfat sampai 24 jam setelah
persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada
pasien dengan hipertensi persisten dimana diuresis spontan postpartum
tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24 jam pemberian magnesium
sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100 mmHg selama 24
jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti
diuretik, Ca channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau
beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu, pemberian terapi anti
hipertensi dapat dievaluasi kembali.5

37

Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah


kerusakan maternal dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular.
Selama atau segera setalah episode konvulsi akut, terapi suportif harus
diberikan untuk mencegah kerusakan serius maternal dan aspirasi.
Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang
dimasukkan diantara gigi dan diberikan oksigenisasi maternal. Untuk
meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi
dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan.
Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering
terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya berlangsung selama beberapa
menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan pemberian oksigen
lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10 L/menit.
Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan
oksigenisasi menjadi masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis
dapat terjadi pada pasien yang mengalami konvulsi berulang,
pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini.
Ada kebijakan untuk menggunakan transcutaneus pulse oxymetri untuk
monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse
oksimetri abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan
analisis gas darah. Hal yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah
terjadinya konvulsi berulang adalah pemberian magnesium sulfat sesuai
regimen yang telah tersedia di masing-masing rumah sakit. Sekitar 10%
wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah menerima
magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam penanganan eklamsi
adalah menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi pada saat
yang sama menghindari terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam
terapi hipertensi berat adalah menghindari kehilangan autoregulasi
serebral dan untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa
mengganggu perfusi serebral atau membahayakan aliran darah
uteroplasenter yang sudah tereduksi pada wanita dengan eklamsi. Ada
kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar 140-160 mmHg dan

38

tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat dilakukan


dengan pemberian hidralazin atau labetalol (2040m g IV) setiap 15
menit. Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap 30 menit sampai
dosis maksimal 50 mg dalam satu jam.
Hipoksemia

maternal

dan

hiperkarbia

dapat

menyebabkan

perubahan denyut jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara
setelah konvulsi. Perubahan denyut jantung janin meliputi bradikardi,
deselerasi lambat transien, penurunan beat-to-beat variabilitas, dan
takikardi kompensasi. Perubahan aktivitas uterus meliputi peningkatan
frekuensi dan tonus. Hal ini biasanya membaik secara spontan dalam 310 menit setelah terminasi konvulsi dan koreksi hipoksemia maternal.
Bagaimanapun juga, penting untuk tidak melakukan persalinan pada
keadaan ibu yang tidak stabila, bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah
konvulsi dapat diatasi, tekanan darah sudah dikoreksi, dan hipoksia
sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien ini tidak perlu buru-buru
dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal tidak stabil. Lebih baik
bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan hipoksia dan
hiperkarbia akibat konvulsi maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau
deselerasi lambat berulang menetap lebih dari 10-15 menit setelah
segala usaha resusitasi, diagnosis solusio plasenta harus ditegakkan.
Adanya eklamsi bukan indikasi untuk dilakukan seksio. Keputusan
untuk mengadakan seksio harus berdasarkan usia janin, kondisi janin,
dan skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan seksio pada
wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu
yang tidak dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien
yang mengalami ruptur membran atau pembukaan diperbolehkan untuk
menjalani persalinan per vaginam bila tidak terdapat komplikasi
obstetrik. Anestesi rasa nyeri maternal selama pembukaan dan
persalinan

dapat

dilakukan

dengan

anestesi

epidural

yang

direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi berat. Untuk


persalinan dengan seksio, regional anestesi seperti epidural, spinal, atau

39

teknik

kombinasi

dapat

dipergunakan.

Anestesi

regional

dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati atau trombositopeni berat


(< 50.000 mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum
meningkatkan risiko aspirasi dan gagal intubasi karena edema jalan
nafas dan peningkatan tekanan darah sistemik (transient reflex
hypertension) dan serebral selama intubasi.11,9
Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap
tanda vital, intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini
biasanya menerima cairan IV yang banyak selama fase pembukaan,
persalinan, dan post partum. Sebagai tambahan, selama post partum
terjadi pergeseran cairan ekstraselular sehingga terjadi peningkatan
volume cairan intravaskular. Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama
dengan gangguan fungsi ginjal, solusio plasenta, hipertensi kronis,
memiliki risiko terjadinya edema pulmonal. Magnesium perenteral
harus dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan dan/atau selama 24
jam setelah konvulsi terakhir. Jika pasien mengalami oliguria (< 100
mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium sulfat harus
dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral seperti
labetalol atau nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan
sistolik di bawah 155 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 105
mmHg. Rekomendasi labetalol oral adalah 200 mg setiap 8 jam (dosis
max 2400 mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine 10 mg oral setiap
6 jam (dosis max 120 mg/hari).1,9
Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab
mortalitas maternal adalah gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi,
walaupun mungkin hipovolemia, mengalami overload cairan bila
dihitung total cairan dalam tubuhnya. Hal ini terjadi karena edema yang
sering terjadi pada pasien ini. Untuk menghindari komplikasi iatrogenik
pada pasien eklamsi, seperti edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung
kiri, keseimbangan input dan output harus dijaga dengan ketat. Dalam
usaha untuk meningkatkan tekanan osmotik plasma, cairan koloid

40

sering digunakan. Cairan IV diberikan dengan jumlah 80 ml/jam (1


ml/kgBB/jam) atau output urine jam sebelumnya ditambah 30 ml.
Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan kateter. Untuk
membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan Central
Venous Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O.7
3.10.6

Pilihan obat anti hipertensi


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan
adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi
lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai
adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah
uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang
buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam
kandungan.4,5
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi
kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed
preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi
selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi,
deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau
terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi
meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak
wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya
sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat
terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang
signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu
patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan
menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi
kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan
kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5

41

Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi


ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain
memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra
uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat,
hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah,
gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per
vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan
stress akibat operasi.7
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal.
Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi
waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil
dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti
labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat
dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral
adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi
persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan
tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi
dalam kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan
cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena
dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme
oleh hepar.8
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 1520 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan

42

perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.6
2. Labetalol
Labetalol

merupakan

penghambat

beta

non

selektif

dan

penghambat 1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk


oral maupun intra vena.7
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan
non selektif , dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut
pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan
labetalol

dengan

hidralazine

menunjukkan

bahwa

labetalol

menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal,


tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif.
Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum
turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10
menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan
sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan
darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20
menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara
intra

vena

tidak

mempengaruhi

aliran

darah

uteroplasenter.

Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh


ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.1
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan

43

resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis


10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa
dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat
menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan
pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan

penelitian

lebih

lanjut

untuk

digunakan

dalam

kehamilan.5
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 510 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata
sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara
oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian
yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin
secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian
Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin,
labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan
vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom
atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2
menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam
mengontrol

tekanan

darah

dalam

hitungan

menit

di

ICU.

Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30


menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida
dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok
ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan
tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi
umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium.

44

Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena


yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi
potensi sedang.5
4. Metil dopa
Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
-2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal
250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma
terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal
terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat
ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat
menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.3,5
5. Klonidin
Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental
0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output
menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah

xerostomia

dan

sedasi.

Penghentian

klonidin

dapat

45

menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian


kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang
mempelajari klonidin seperti metil dopa.5
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada
wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam
30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada
efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.10
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi
vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta

karena

efek

segera

meliputi

pengurangan

volume

intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat


preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan
efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante
partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal.

46

Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan


antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor
poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini
juga

meningkatkan

sintesis

prostaglandin

vasodilatasi

dan

menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini


seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.11

OBAT
Hydralazin

REKOMENDASI
Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).

Labetalol

Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM


Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada

Nifedipine

wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif


Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam

Sodium

terapi hipertensi
Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon

nitroprussid

terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25


g/kg/menit sampai dosis maksimal 5g/kg/menit. Fetal sianida

47

terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.


Tabel 3.2 Panduan Obat Anti Hipertensi 5
3.10.7 Efek Samping Obat
Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan
disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan
anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner,
pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada
tulang tengkorak.5
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang
tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena
beberapa

obat

telah

digunakan

bersama-sama

atau

karena

ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari


patofisiologi ibu atau efek dari obat.1
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal
seperti

hipokalemia,

hiponatremia,

hiperglikemi,

hiperurikemi,

hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu


pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.3
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
-

Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan


produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.

Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat


plasma yang rendah ditemukan pada janin.

48

- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar


dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.10

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25
Januari 2004, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.merck.com
2. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal
24 Oktober 2009, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic
3. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforths
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,
penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
4. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //www.emedicine.com
5. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,
New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808
6. Eger

R,

Hypertensive

Disorders

during

Pregnancy,

dalam

Obstetrics&Gynecology Principles for Practice, Ling F, Duff P, penyunting,


New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
7. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses
tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435

49

8. Herrera J, Shahabudin A, Ersheng G, Wei Y, Garcia R, Lopez P, Calcium plus


Linoleic Acid Therapy for Pregnancy Induced Hypertension, 9 Desember
2005, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.ncbi.nlm.nih.gov
9. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian
pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70
10. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi
ke-3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
11. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhursts textbook of Obstetrics

& Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234

Anda mungkin juga menyukai