1. DEFINISI HISPRUNG
Hisprung atau mega colon aganglionik kongenital adalah penyakit bawaan
akibat tidak tercapainya pertumbuhan cephalocaudal sel sel parasimpatis
myantericus pada segmen usus bagian distal, terbanyak di rektosigmoid. Sehingga
tidak ada peristaltik pada usus yang terkena dan menyebabkan feses tidak bisa
keluar sehingga terjadi obstruksi, dilatasi kolon bagian proksimal dan hipertropi
dinding ototnya sehingga terbentuk megakolon (Romadoniyah, 2007).
Hisprung merupakan keadaan tidak ada atau sedikitnya saraf ganglion
parasimpatis pada pleksus mianterikus dan kolon distalis, sehingga tidak ada
peristaltik pada area yang terkena, usus mengalami hipertropi dan dilatasi serta
menimbulkan distensi dan obstruksi abdomen (Romadoniyah, 2007).
2. KLASIFIKASI HISPRUNG
Berdasarkan panjang segmen
yang
terkena,
penyakit
Hirschprung
dapat
diklasifikasikan:
1. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%)
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
disbanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschsprung segmen panjang / Long segment HD (20%)
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid malah dapat mengenai seluruh
kolon atau sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan (John, 2006).
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%)
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5 11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO HISPRUNG
Etiologi pasti belum diketahui, menurut Mendsen tahun 1988 penyakit
Hirschsprung karena terhentinya migrasi sel ganglion sebelum neuroblas sampai
pada spinter interna. Sel sel yang gagal bermigrasi ke dalam dinding usus akan
berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus. Normal migrasi sel pada
umsia kehamilan 6 12 minggu, kemungkinan terhentinta migrasi ini akibat adanya
factor genetic, factor toksin, dan factor infeksi, selain itu mutasi gen banyak dikaitkan
sebagai penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto
onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit
Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk
sel neurotrofik glial yang diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin B dan gen
endothelin 3.
Factor factor resiko penyakit Hisprung adalah (Lee SL, dkk, 2009):
a. Faktor Bayi (Usia)
Bayi dengan umur 0 28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah
satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0 28 hari).
b. Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromoso. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat
jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
c. Faktor Ibu (Usia)
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan
risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan Sindrom Down
lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati
masa menopause.
d. Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan
kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo
(impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah
atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang
sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan
kongenital.
e. Barkaitan dengan beberapa penyakit diantaranya :
o
Down syndrome
Neurocristopathy syndromes
Waardenburg-Shah syndrome
Piebaldism
Goldberg-Shprintzen syndrome
tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
5. PEMERIKSAAN DAGNOSTIK HISPRUNG
a. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
pengeluaran mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang
biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih
tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang
harus diperhatikan adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang
diikuti periode diare yang massif, kita harus mencurigai adanya enterokolitis.
Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. baik
dalam
memperlihatkan
tanda-tanda
yang
diperlukan
untuk
penegakkan
diagnosis.
b. Foto polos abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran
obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom
obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium,
atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal.
Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis
intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus,
distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih
jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto
polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.
c.
Barium
enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tandatanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH
adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu,
daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan
segmen dilatasi.
Arnold dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema
dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH.6 Dalam literatur dikatakan
bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65100%.
Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi.
Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto
barium enema yaitu :
1. Abrupt, perubahan mendadak,
2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut,
3. Funnel, bentuk seperti cerobong.
Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium
enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat
gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi
lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema
tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya
resiko perforasi dinding kolon.
d. Foto retensi barium
Retensi
barium
24-48
penting
pada
PH,
cara
pemeriksaan
melakukan
foto
polos
abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium
membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal.
Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat
semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun
yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH.1 Apabila terdapat
jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan
kecurigaan PH walaupun zona transisi tidak terlihat.
e. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson
pada tahun 1949 dengan memasukkan baln kecil dengan kedalaman yang
berbedabeda dalam rektum dan kolon Alat ini melakukan pemeriksaan objektif
terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter
anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang
sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem
f.
Pemeriksaan Histopatologi
jumlah
pemeriksaan
banyak
akan
penebalan
semakin
serabut
tinggi
saraf
apabila
(parasimpatis).
menggunakan
Akurasi
pengecatan
beberapa
pusat
pediatric
dengan
adanya
peningkatan
ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila
hasil biopsy isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk
menilai pleksus Auerbach.
6.
PENATALAKSANAAN HISPRUNG
Pentalaksanaan pada pasien dengan Hisprung salah satunya adalah
tindakan bedah, diantaranya adalah (Irawan, 2003) :
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang
telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar
Swenson
dan
Bill
(1948)
adalah
yang
mula-mula
rektosigmoidektomi
dengan
preservasi
spinkter
ani.
Dengan
ke
kavum
pelvik
abdomen.
Selanjutnya
dilakukan
3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun
oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif
Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1
lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat
penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson
dkk,1990).
Foto prosedur Duhamel modifikasi (searah jarum jam ). Tampak usus
ganglionik diprolapskan melalui rektumposterior, keluar dari saluran anal. 10
14 hari kemudian,usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose
end to side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan septum dengan
klem Ikeda.
7. KOMPLIKASI HISPRUNG
Komplikais yang dapat terjadi pada pasien Hisprung diantaranya (Betz, 2002):
a. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose
pasca
operasi
dapat
disebabkan
oleh
luka
di
daerah
anastomose,
infeksi
yang
menyebabkan
dengan
endorektal
pullthrough.Enterokolitis
merupakan
penyebab
Daftar Pustaka
Betz, Sowden. 2002. Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Bulechek, G.M, dkk. Nursing Intervention Classification. 2008. USA: Mosby
Irawan,
Budi.
2003.
Hirschsprung
Pengamatan
Pasca
id/bitstream/123456789/
Operasi
fungsi
Pull
Anorektal
pada
Trough.
Penderita
Penyakit
http://repository.usu.ac.
6218/1/bedah-budi%20irawan.pdf.
Diakses
pada
10
Oktober 2015.
Lee SL, Shekherdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung Disease. Cited from:
www.emedicine.medscape.com. Diakses pada 10 Oktober 2015.
NANDA Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 20152017. Edisi 10. Jakarta : EGC
Olisa, J. 2012. System Gastrointestinal tentang Konsep Penyakit Hisprung dan Asuhan
Keperawatan. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang. Pdf
Romadoniyah. 2007. Asuhan Keperawatan Anak dengan Hirschprung. http://www.digilib.
stikesmuhgombong.ac.id/files/disk1/4/jtstikesmuhgo-gdl-romadoniya-173-1hirschpr-g.pdf. Diakses pada 10 Oktober 2015.
Trisnawan, I Putu Trisnawan dan Darmajaya, I Made. 2010. Metode Diagnosa Penyakit
Hirschsprung.http://download.portalgaruda.org/article.php?article =82546&val=970.
Diakses pada 10 Oktober 2015.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC