Anda di halaman 1dari 14

MATERI PENYULUHAN HIRSCHPRUNG

1. DEFINISI HISPRUNG
Hisprung atau mega colon aganglionik kongenital adalah penyakit bawaan
akibat tidak tercapainya pertumbuhan cephalocaudal sel sel parasimpatis
myantericus pada segmen usus bagian distal, terbanyak di rektosigmoid. Sehingga
tidak ada peristaltik pada usus yang terkena dan menyebabkan feses tidak bisa
keluar sehingga terjadi obstruksi, dilatasi kolon bagian proksimal dan hipertropi
dinding ototnya sehingga terbentuk megakolon (Romadoniyah, 2007).
Hisprung merupakan keadaan tidak ada atau sedikitnya saraf ganglion
parasimpatis pada pleksus mianterikus dan kolon distalis, sehingga tidak ada
peristaltik pada area yang terkena, usus mengalami hipertropi dan dilatasi serta
menimbulkan distensi dan obstruksi abdomen (Romadoniyah, 2007).
2. KLASIFIKASI HISPRUNG
Berdasarkan panjang segmen

yang

terkena,

penyakit

Hirschprung

dapat

diklasifikasikan:
1. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%)
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
disbanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschsprung segmen panjang / Long segment HD (20%)
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid malah dapat mengenai seluruh
kolon atau sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan (John, 2006).
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%)
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5 11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO HISPRUNG
Etiologi pasti belum diketahui, menurut Mendsen tahun 1988 penyakit
Hirschsprung karena terhentinya migrasi sel ganglion sebelum neuroblas sampai
pada spinter interna. Sel sel yang gagal bermigrasi ke dalam dinding usus akan

berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus. Normal migrasi sel pada
umsia kehamilan 6 12 minggu, kemungkinan terhentinta migrasi ini akibat adanya
factor genetic, factor toksin, dan factor infeksi, selain itu mutasi gen banyak dikaitkan
sebagai penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto
onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit
Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk
sel neurotrofik glial yang diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin B dan gen
endothelin 3.
Factor factor resiko penyakit Hisprung adalah (Lee SL, dkk, 2009):
a. Faktor Bayi (Usia)
Bayi dengan umur 0 28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah
satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0 28 hari).
b. Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromoso. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat
jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
c. Faktor Ibu (Usia)
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan
risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan Sindrom Down
lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati
masa menopause.
d. Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan
kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo
(impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah
atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang
sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan
kongenital.
e. Barkaitan dengan beberapa penyakit diantaranya :
o

Down syndrome

Neurocristopathy syndromes

Waardenburg-Shah syndrome

Yemenite deaf-blind syndrome

Piebaldism

Goldberg-Shprintzen syndrome

Multiple endocrine neoplasia type II

Congenital central hypoventilation syndrome.

4. MANIFESTASI KLINIS HISPRUNG


Bayi baru lahir tidak dapat mengeluarkan Meconium dalam 24 28 jam
pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur
dengan cairan empedu dan distensi abdomen. Gejala penyakit hishsprung adalah
obstruksi usus letak rendah, bayi dengan penyakit ini dapat menunjukkan gejala
klinis sebagai betikut (Olisa, 2012) :
1. Obstruksi total saat lahir dengan muntah
2. Distensi abdomen
3. Ketidakadaan evakuasi mekonium
4. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan
dehidrasi
5. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut.
6. Konstipasi ringan entrokolitis dengan daire, distensi abdomen, dan demam
7. Adanya feses yang menyemprot ketika pada colok dubur merupakan gejala khas
8. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskan terjadi distensi abdomen hebat dan diare
berbau busuk yang bercampur darah
Gejala klinis penyakit hischsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat (Olisa, 2012) :
a. Periode neonatal
Ada trias gejala klinis yang dijumpai yakni mekonium yang terlambat,
muntah berwarna hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran meconium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan gejala klinis yang signifikan.
Muntah berwarna hijau dan distensi abdomen bisa di didapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokoliyis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit hischsprung
ini, yangd apat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi terlihat
pada saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada uusia 1
minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk dan
disertai demam.
b. Anak-anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltic usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur,
maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau

tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
5. PEMERIKSAAN DAGNOSTIK HISPRUNG
a. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
pengeluaran mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang
biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih
tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang
harus diperhatikan adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang
diikuti periode diare yang massif, kita harus mencurigai adanya enterokolitis.
Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. baik
dalam

memperlihatkan

tanda-tanda

yang

diperlukan

untuk

penegakkan

diagnosis.
b. Foto polos abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran
obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom
obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium,
atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal.
Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis
intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus,
distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih
jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto
polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.

c.

Barium
enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tandatanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH
adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu,
daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan
segmen dilatasi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan

Arnold dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema
dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH.6 Dalam literatur dikatakan
bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65100%.

Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi.
Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto
barium enema yaitu :
1. Abrupt, perubahan mendadak,
2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut,
3. Funnel, bentuk seperti cerobong.

Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium
enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat
gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi
lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema
tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya
resiko perforasi dinding kolon.
d. Foto retensi barium

Retensi

barium

24-48

jam setelah pengambilan foto


barium enema merupakan hal
yang

penting

pada

PH,

khusunya pada masa neonatus.


Foto retensi barium dilakukan
dengan

cara

pemeriksaan

melakukan
foto

polos

abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium
membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal.
Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat
semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun
yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH.1 Apabila terdapat
jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan
kecurigaan PH walaupun zona transisi tidak terlihat.
e. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson
pada tahun 1949 dengan memasukkan baln kecil dengan kedalaman yang
berbedabeda dalam rektum dan kolon Alat ini melakukan pemeriksaan objektif
terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter
anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang
sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem

pencatat seperti poligraph atau computer. Beberapa hasil manometri anorektal


yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak
terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang.
Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat
desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.
Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan
apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya
pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan manometri
berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. 1 Pada literature
disebutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan spesifisitasnya
85-95 %. Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil penelitian lain yang
menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas sebesar
95%.
Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau
neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari.
Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak
invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum.

f.

Pemeriksaan Histopatologi

Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat


dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang
normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan
pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas
absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut. Disamping itu akan terlihat
dalam

jumlah

pemeriksaan

banyak
akan

penebalan

semakin

serabut

tinggi

saraf

apabila

(parasimpatis).

menggunakan

Akurasi

pengecatan

immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada


serabut saraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan haematoxylin eosin.
Pada

beberapa

pusat

pediatric

dengan

adanya

peningkatan

asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala


yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan adanya zona
transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis PH. Hanya saja pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang
berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Disamping memakai pengecatan
asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase spesifik neuron dan.
pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase yang dapat
memudahkan penegakan diagnosis PH.
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi
dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran
pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab
memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan
jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya. Disamping itu
juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan
rektum, dan infeksi.
Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan
alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub mukosa sehingga
dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih
sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi
pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian
dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada
specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan
keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut
dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%. Untuk pengambilan
sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila

ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila
hasil biopsy isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk
menilai pleksus Auerbach.

6.

PENATALAKSANAAN HISPRUNG
Pentalaksanaan pada pasien dengan Hisprung salah satunya adalah
tindakan bedah, diantaranya adalah (Irawan, 2003) :
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang
telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar

Swenson

dan

Bill

(1948)

adalah

yang

mula-mula

memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah


definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan
adalah

rektosigmoidektomi

dengan

preservasi

spinkter

ani.

Dengan

meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah


meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca
operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab
itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm

rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior (Kartono,1993;


Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar
pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian
bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian
kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang
aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal
pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2
lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan

ke

kavum

pelvik

abdomen.

Selanjutnya

dilakukan

reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson


dkk,1990).
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini
adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian
posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik
sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side
(Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu
dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :

Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem


melalui sayatan endoanal setinggi 1,5 - 2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia

Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk


melakukan anastomose side to side yang panjang

Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan


anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian

Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal


dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon
yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi
hemostasis (Kartono,1993).

3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun
oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif
Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1
lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat
penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson
dkk,1990).
Foto prosedur Duhamel modifikasi (searah jarum jam ). Tampak usus
ganglionik diprolapskan melalui rektumposterior, keluar dari saluran anal. 10
14 hari kemudian,usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose
end to side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan septum dengan
klem Ikeda.
7. KOMPLIKASI HISPRUNG
Komplikais yang dapat terjadi pada pasien Hisprung diantaranya (Betz, 2002):

a. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose

pasca

operasi

dapat

disebabkan

oleh

ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak


adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam
tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila
dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal.
b. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan

luka

di

daerah

anastomose,

infeksi

yang

menyebabkan

terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.


Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan
bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga
sfinkterektomi posterior.
c. Enterokolitis
Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus
halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin
dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi. Proses ini
dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi
pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang
terkena panjang
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah :
1.
Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
2.
Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
3.
Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
4.
Pemberian antibiotika yang tepat.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien

dengan

endorektal

pullthrough.Enterokolitis

merupakan

penyebab

kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya


enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial.Obtruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon

aganlionik yang tersisa masih spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa


distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses
keluar eksplosif cair dan berbau busuk.Enetrokolitis nekrotikan merupakan
komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.Hal yang sulit
pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.
d. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini.Fecal soiling atau kecipirit merupakan
parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal
pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit
adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering.


Inkontensitas (jangka panjang).
Gawat pernapasan (akut)
Enterokolitis (akut)
Striktura ani (pasca bedah)
Obstruksi usus
Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
Konstipasi

Daftar Pustaka
Betz, Sowden. 2002. Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Bulechek, G.M, dkk. Nursing Intervention Classification. 2008. USA: Mosby

Irawan,

Budi.

2003.

Hirschsprung

Pengamatan

Pasca

id/bitstream/123456789/

Operasi

fungsi
Pull

Anorektal

pada

Trough.

Penderita

Penyakit

http://repository.usu.ac.

6218/1/bedah-budi%20irawan.pdf.

Diakses

pada

10

Oktober 2015.
Lee SL, Shekherdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung Disease. Cited from:
www.emedicine.medscape.com. Diakses pada 10 Oktober 2015.
NANDA Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 20152017. Edisi 10. Jakarta : EGC
Olisa, J. 2012. System Gastrointestinal tentang Konsep Penyakit Hisprung dan Asuhan
Keperawatan. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang. Pdf
Romadoniyah. 2007. Asuhan Keperawatan Anak dengan Hirschprung. http://www.digilib.
stikesmuhgombong.ac.id/files/disk1/4/jtstikesmuhgo-gdl-romadoniya-173-1hirschpr-g.pdf. Diakses pada 10 Oktober 2015.
Trisnawan, I Putu Trisnawan dan Darmajaya, I Made. 2010. Metode Diagnosa Penyakit
Hirschsprung.http://download.portalgaruda.org/article.php?article =82546&val=970.
Diakses pada 10 Oktober 2015.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai