sriwijaya, jika membahas ini mungkin tidak akan pernah habisnya, begitu banyak misteri yang
belum terpecahkan.. baik mengenai lokasi pusat kerajaan, budaya awal masyarakat pendukungnya,
jangkauan wilaya terluas yang pernah dikuasi dan faktor menghilangnya kerajaan ini yang semuanya
oleh parah ahli sejarah maupun arkeolog selalu diawali dengan kata "KEMUNGKINAN". catatan sejarah
sriwijaya sendiri tidak banyak diketahui masyarakat indonesia maupun dari masyarakat pendukukungnya
sendiri sampai tahun 1920-an saat sejarawan prancis george coedes mempublikasikan temuanya bahwa
tulisan sriwijaya dalam beberapa prasasti (batu bertulis) berbahasa melayu adalah nama sebuah negara
(kerajaan)
dalam perkembangan penelitian sejarah tentang sriwijaya banyak muncul persepsi yang berbeda
diantara peneliti sejarah, diantara perbedaan persepsi itu yang sampai sekarang masih ditulis dalam buku
sejarah dengan kata "di perkirakan" adalah letak pusat pemerintahan kedatu'an sriwijaya, ada banyak
daerah yang di klaim sebagai pusat sriwijaya diantaranya Palembang, Jambi, Bengkulu, Pagar Alam,
Lampung, bahkan malaysia & thailandpun mengklaim kedatu'an sriwijaya ini. banyaknya klaim mengenai
pusat kedatu'an ini dsapat dipahami, selain menyebarnya kronik-kronik, prasasti dan situs-situs
peninggalan sriwijaya kebesaran dan kemegahan kedatu'an sriwijaya pada masa menjadi kebanggaan
identitas sendiri.
diantara banyaknya kemungkinan pusat kedatu'an sriwijaya, dugaan terkuat dari para ahli sejarah &
arkeolog jika pusat kedatu'an sriwijaya berada di Palembang atau Jambi. tapi daerah Pagar alam dekade
terakhir banyak ditemukan artefak-artefak kunopun terus diteliti kemungkinanya sebagai pusat kedatu'an
sriwijaya berikut ulasan yang mendukung Palembang sebagai pusat kedatu'an sriwijaya
prasati Kedukan bukit
ditemukan oleh M. batenburg pada tahun 1920. di kedukan bukit pingiran sungai tatang yang
bermuara ke sungai musi, palembang. prasasti yang berangka tahun 604 Saka/682M.prasas huruf
Palawa berbahasa Melayu kuno. berisi tentang perjalanan Dapunta hyang dengan naik perahu membawa
20.000 tentara dengan 1000 tentara berjalan kaki dari Minanga tamwan ke muka Upang dengan
kemenangan gemilang dan mendirikin wanua.
merujuk pendapat para ahli kalau minanga adalah minangkabau sekarang ada juga yang
menyamakan minanga dengan binanga sebuah wilayah yang berada di aliran sungai barumun, sumatera
utara sekarang berdasarkan persamaan kata ada juga yang berpendapat kalau minanga adalah
pengertianya pertemuan dua sungai yang merujuk pada sungai kampar daerah riau. pengertian diatas
menjelaskan bawaha dimanapun letak minanga tamwan itu bukanlah daerah pusat sriwijaya. prasasti
Kedukan bukit yang menceritakan kepulangan Dapunta hyang dengan membawa kemenangan yang
Gemilang, merujuk kepada prasasti tersebut yang ditemukan dipalembang bisa dipastikan bahwa tempat
dibuatnya prasasti itu adalah tempat asal dapunta hyang berangkat dan kembali membawa kemenangan
lalu mendirikan prasasti ini sebagai monunen kemenanganya.
Penyebutan nama jabatan pembesar kerajaan di prasasti ini adalah pembuktian yang sangat
kuat kalau palembang adalah pusat kerajaan sriwijaya, jabatan jabatan penting yang ada dalam prasasti
talang tuo ini hanya mungkin ada di daerah pusat kerajaan.
sriwijaya empire
untuk meneliti lebih lanjut tentang sriwijaya pada tahun 1954 atas perintah mentri PP&k M. yamin
dinas purbakala mengadakan penelitian geoformologi di pantai timur sumatera. hasil penelitian
mengungkapkan bawaha pada abad ke-7 M letak Jambi maupun Palembang masih di tepi pantai pulau
Sumatera. Jambi lebih strategis letaknya karna berada di tengah Jalur pelayaran antara India, cina, &
jawa sedangkan Palembang hanya dilalui jalur pelayaran antara india & Jawa. pelbuhan Jambi lebih
strategis karna langsung berhadapan dengan laut bebas sedangkan Palembang menghadap Selat
Bangka. Hal ini mendorong opini beberapa ahli unt menyimpulkan bahwa Jambi lebih memungkinkan
sebagai pusat sebuah kerajaan besar dibandingkan Palembang. tapi menyimpulkan hal itu hanya karna
letak kestrategisan letak kota berdasarkan abad ke-7 mungkin terlalu dipaksakan. letak strategis ibukota
tidak harus menghadap kelaut bebas ataupun ditengah jalur pelayaran. syarat yang mutlak sebagai
negara maritim adalah mempunyai kontrol penuh atas dermaga disekitarnya. mungkin kasusnya sama
dengan imperium romawi yang letak ibukotanya di Roma juga tidak menghadap kelaut bebas tapi
mempumyai kontrol penuh atas kota pelabuahan iskandariah dan athena,, lagi pula tidak ada catatan
sejarah yang mengatakan letak kota sriwijaya berada di jalur yang strategis dalam jalur pelayaran selat
malaka.
pada waktu sriwijaya berdiri, sriwijaya hanya disinggahi penziarah cina & india untuk urusan
keagamaan. dapat diketahui dari catatan I-tsing
"pendeta cina yang ingin mendalami dan mempelajari agama budha sebaiknya singgah dulu di
sriwijaya unt belajar berlatih".coedes.g, hal.81.
perkembangan sriwijaya dari segi keagamaan tidak diiringi dengan ekonomi & politik karna dermaga
sriwijaya tidak seramai & setrategis dermaga melayu & kedah, sangat memungkinkan untuk memperoleh
hegemoni dan kontrol penuh atas jalur pelayaran selat malaka sriwijaya dibawa pimpinan dapunta hyang
melakukan infasi ke dermaga-dermaga di sekitar selat malaka termasuk melayu & kedah yang letaknya
sangat strategis.
i-tsing seorang sarjana budha asal cina mengunjungi sriwijaya beberapa kali, kenjungan
pertamanya pada tahun 671 M, I-tsing tinggal selama beberapa bulan di sriwijaya untuk mempelajari
bahasa sangsekerta sambil menunggu musim baik unt berlayar. selama di sriwijaya dia menulis dua
bukunya yang termasyur "nan hai chi kue nei fa chuan" dan "ta t'ang hsihiu chiu fa kau seng chuan".
dalam dua karnyanya itu I-tsing memberikan sumbangan besar mengenai sriwijaya, kedua karyanya itu
menceritakan perjalanan I-tsing dari cina ke india dengan singgah di melalui sriwijaya dan dia sempat
tinggal beberapa lama di kota sriwijaya. dalam catatanya i-tsing menuliskan sebagai berikut,
"ketika angin timur mulai bertiup kami berlayar dari kanton menuju timur ... ... ... setelah lebi dari
20 hari berlayar kami tiba di negri sriwijaya. disana saya tinggal lebih kurang enam bulan untuk
mempelajari sabdawidya. baginda sangat baik kepada saya, dia menolong mengirimkan saya ke
negri melayu disana saya singgah selama dua bulan, kemudian saya melanjutkan pelayaran ke
kedah ... ... berlayar dari kedah menujuh utara lebih dari sepuluh hari kami sampai ke negri orang
telanjang, dari sini kami berlayar ke barat laut selama setengah bulan lalu sampai ke tamralifti
( pantai timur India)". chavanesh.h119;. ferrand h.4:. wheatly,h.41-42; wolters h.207-208.
dalam catatan I-tsing ini jelas mengatakan kalau melayu & sriwijaya adalah dua negri yang
berbeda yang berdiri pada masa yang bersamaan, mengenai melayu sendiri I-tsing mengambarkanya
berada di selatan kedah atau di utara sriwijaya. dari gambaran I-tsing itu bisa ditarik kesimpulan kalau
Melayu berada/berpusat di Jambi sekarang, hal itu diperkuat dengan ditemukanya arca amoghapasa di
jambi yang terdapat diprasasti yang berangka tahun 1286M/1208 Saka bahwa arca itu diberikan raja
singasari untuk raja melayu sebagai hadiah persahabatan melayu-singasari. jika melayu berpusat dijambi
maka semakin kuatlah kalu sriwijaya itu berpusat di palembang.
dalam perjalan pulang I-tsing thn 685M diceritakan I-tsing sebagai berikut.
"tamralifti adalah tempat kami naik kapal untuk pulang menuju cina, berlayar menuju tenggara
selama 2 bulan kami sampai di kedah, tempat ini sekarang menjadi kepunyaan sriwijaya... ... .. dari
kedah kami berlayar ke selatan setelah kira-kira sebulan kami sampai kenegri melayu yang
sekarang menjadi bagian sriwijaya. kapal kapal umumnya tiba pada bulkan pertama & kedua,
kapal-kapal tinggal di melayu sampai pertengahan musim panas lalu berlayar ke utara selama
setengah bulan untuk tiba di kanton." (takakusu.hh.34; wheatley h.h.41-42; wholters.hh.227-228)
saat I-tsing berangkat thn 671 M melayu masih sebuah negri merdeka, saat pulang pada tahun
685M kedah & melayu sudah menjadi bagian dari sriwijaya, hal itu sesuai dan berkorelasi dengan
prasasti kedukan bukit berangka tahun 682M yang menceritakan kepulangan dapunta hyang dengan
20.000 balatentaranya dari minanga tamwam dengan kemenangan gemilang. artinya antara tahun 671682 M sriwijaya telah melakukan bebrapa penaklukan dengan sukses. catatan I-tsing juga bisa sedikit
mengurai tentang letak minanga tamwan, jika dapunta hyang pulang dengan 20.000 balatentara naik
perahu & 1000 dari darat dari minanga tamwan maka bisa dipastikan bahwa daerah yang ditaklukan
dapunta hyang adalah daerah yang berada dipesisir pantai dan masih bisa dijankau dengan jalan darat, Itsing menyebutkan daerah yang ditaklukan antara tahun 671M-682M adalah melayu dan kedah. sangat
memungkinkan kalau daerah yang dimaksud minanga tamwam itu adalah kerajaan melayu yang
berpusat di sekitar Jambi.karna kedah berada di semenajung malaya tentunya tidak bisa dijangkau
dengan 1000 balatentara dapunta hyang yang berjalan kaki.
JUMPAAN 6
Sriwijaya atau dalam bahasa Sanskerta ditulis Sri Vijaya adalah salah satu kerajaan
bahari yang pernah berdiri di Sumatra Selatan, ibu kotanya berada di kota
Palembang saat ini, dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya
(Malaka), Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, Sri
berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan Wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
[1]
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671
M, dan tinggal selama 6 bulan. Di abad ke-7 ini juga, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu (Indonesia) dan Kedah (Malaysia), yang
menjadi bagian kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan
mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputradewa (833-856 M).
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 M, serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 M, kekuasaan Sriwijaya di bawah
kendali kerajaan Dharmasraya.[1]
Bukti Arkeologi
Kerajaan Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 M sesuai dengan catatan I Tsing.
Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti antara lain: Prasasti
Kedukan Bukit (bertarikh 682 M), Talang Tuwo (bertarikh 684 M), Telaga Batu
(bertarikh 683 M), Kota Kapur (bertarikh 686 M), Karang Berahi (bertarikh 686 M),
Palas Pasemah dan Amoghapasa (bertarikh 1286 M). Sedangkan prasasti yang
berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (bertarikh 775 M), Nalanda, Piagam
Laiden, Tanjore (bertarikh 1030 M), Canton (bertarikh 1075 M), Grahi (bertarikh
1183 M) dan Chaiya (bertarikh 1230 M). Dan sumber yang berbentuk naskah dan
buku antara lain: Kitab Pararaton, kitab Memoir dan Record karya I-Tsing, Kronik
dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chufon-chi karya Chaou-fu-hua.[3]
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia;
masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an,
ketika sarjana Perancis George Coedes mempublikasikan penemuannya dalam surat
kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa
prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[1]
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang
sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan
Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian
papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu
yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak
kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan
sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga
sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti
tembikar, keramik, dan alat kayu.[1]
Isi prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada tahun 1920 M itu, adalah sebagai
berikut:
"Pada tahun saka 604 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka, dapunta hyang
naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang bulan
Isi prasasti itu menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari
Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.312 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha
upang. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua
(perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Sedangkan dalam prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada tahun 1920 M,
disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk
semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat
pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M yang ditemukan di
pulau Bangka, kerajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya
Tarumanagara di Jawa Barat dan Kalingga (Holing) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud
dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China
Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ibukota Sriwijaya
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nanhai-chi-kuei-nai fa-chuan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the
Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam
buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari
terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing
yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya
adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga
menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar
pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago
and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-tsi
adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada
tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi
Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul
suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang
sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.[2]
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga
diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang
Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah
Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di
Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil
interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang
menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses
alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog
bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak
seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan,
seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk
membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu, oleh karena bahan itu
mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut
hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air,
bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya
bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs
Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang
sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.[2]
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita China dan Arab. Sumber
China yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang
peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan
sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-tsing pertama adalah tahun 671 M.
Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang
pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama
dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. Itsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah
itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing
kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 M dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa China. Catatan
China yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke
China, yang terakhir adalah tahun 988 M.[2]
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Masudi, seorang
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan
tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan
besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke
Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya
semakin menegaskan bahwa, pada masanya, Sriwijaya adalah kerajaan yang
mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di China,
India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang
besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Wilayah Kekuasaan
Ekspansi kerajaan ini hingga ke Jawa dan Semenanjung Malaya, yang menjadikan
Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Raja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri kerajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya
pada abad yang sama.[1]
Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian
barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indochina. Sebelumnya, Funan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor
lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu
lintas perdagangan antara India dan China. Dengan kekuatan armada yang besar,
Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau
Borneo.[2]
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan
Kalingga berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini
pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa
berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka,
juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.[1]
Dari Prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada
bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang
sedang berusaha menaklukkan Bhumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah
mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog
meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai
Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa
diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di
daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di
Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa,
daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang
mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini
merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah
Nusantara.[2]
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja,
ada tiga persyaratan yaitu:
Kadatuan dapat bermakna kawasan datu, (tanah rumah) tempat tinggal bini haji,
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.
Kadatuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari
Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadatuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi
Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyada merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyadapatha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhumi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadatuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja
(putra mahkota kedua) dan rajakumara (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu
banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada
masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja
Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-
macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan
pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat),
bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim).
Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),
Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru
tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi
haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).
Menurut kronik China Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.
Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi
gelar putra mahkota, yakni yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota
kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia)
mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah,
maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.
Ajaran Agama
Budha Mahayana (dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti)
juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atisa, seorang
sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha
Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada
masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di
Malayagiri di Suvarnadvipa.[1]
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Budha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan China
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama
satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
Pengaruh Budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama
Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga ikut
membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung
Melayu, dan Borneo Barat. Agama Budha aliran Budha Hinayana dan Budha
Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan Melayu dan Palembang menjadi pusat
pembelajaran agama Budha.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama
Budha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun
bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti,
yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari
abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Perdagangan
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa
silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim
yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional
selama berabad-abad dengan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap
pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus
melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa,
Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa
penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea
cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.
Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buahbuahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Kekayaan yang melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia
Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia
Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar
China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola
jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok
dan India. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi
kerajaan besar adalah sebagai berikut:
Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara China dan India melalui Asia
Tenggara.
Runtuhnya Kerajaan Funan di Indochina. Dengan runtuhnya Funan memberikan
kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim
menggantikan Funan.
Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di
perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Raja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari
Bani Umayyah tahun 718 M, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji
(budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shihli-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 M
mengirimkan hadiah untuk kaisar China, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan
Zanji dalam bahasa Arab).[1]
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka
(Citrullus lanatus), yang masuk melalui perdagangan mereka.
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi), Raja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman
mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan
Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang
dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya
pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah,
yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah
buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar
hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain
Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai
tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan
ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990 M, tindakan yang
kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 M oleh Raja
Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[1]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan
India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri
Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I
naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini
kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram
mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fots'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079 M. Pada masa
dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[1]
Masa Keemasan
bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa
Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan
bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya
dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan
India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan
tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua
tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga,
gambir dan beberapa hasil bumi lainnya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan
yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid
menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab
pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke
seberang lautan.
Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama
San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan
bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara.
Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang
berangkat tahun 988 M tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena
negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga
berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 M pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[1]
Pada musim semi tahun 992 M, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kepada
kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa
juga tiba di Tiongkok tahun 992 M. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun
991 M. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 M untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 M kembali menyebutkan adanya
serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya
gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu
kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan
mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.
Raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan
berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja
bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan
kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur
angkatan laut Jawa.[1]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Raja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan
sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa
Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya,
pada tahun 1006 M menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang
terakhir Dharmawangsa Teguh.[1]
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M,
Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil
dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan
berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa (Kerajaan Medang). Pada tahun
1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Chola,
India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya
dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Cholamandala
(Koromandel), India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya,
yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun
1025 M, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga,
Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India.
Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh
1030 M, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti
wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa
waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya,
seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang
ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke China tahun 1028 M. Semasa
dibawah penaklukan Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[1]
Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada
tahun 1088 M, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 M, Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang
kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita China yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 M masih mengirimkan utusan pada masa China
di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat
dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088 M. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya
atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri,
sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang
kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.[1]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178
M, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi
(Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan
(Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai
Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur
Semenanjung Malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pat'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Palin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[1]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan
Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai
kerajaan yang berada di kawasan Laut China Selatan. Hal ini karena dalam kitab
Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja
Singasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan kemudian menghadiahkan
Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit,
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang
sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.[1]
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar
Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang
strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun
internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan
Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga
Jambi lebih strategis daripada Palembang.
Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya
terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian
timur dan Sriwijaya di bagian barat.
Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh
Dharmawangsa Teguh terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992 M) hingga
menyebabkan utusan yang dikirim ke China tidak berani kembali. Serangan kedua
dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 M,
kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023-1030 M. Dalam serangan ini, Raja
Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari
juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha
mengurung Sriwijaya dengan penaklukkan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan
Sriwijaya adalah ditundukkan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan
Nusantara (1377 M).[3]
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan
perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya.
Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan
Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan
ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu.
Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian
ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti
Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala
Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M.[2] Berikut ini
daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Tahun 792 M ~ Samaratungga atau Rakai Garung - ibukota: Jawa; Prasasti Karang
Tengah tahun 824, tahun 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur.
-- Tahun 840 M ~ Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan.
Tahun 856 M ~ Balaputradewa - ibukota: Suwarnadwipa; Kehilangan kekuasaan di
Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa. Prasasti Nalanda tahun 860 M, India.
-- Tahun 861-959 M - Belum ada berita pada periode ini.
Tahun 960 M ~ Cri Udayadityawarman atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan - ibukota:
Sriwijaya/San-fo-ts'i; Utusan ke Tiongkok 960 & 962 M.
-- Tahun 980 M ~ Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji).
Tahun 988 M ~ Cri Cudamaniwarmadewa atau Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa ibukota: Sriwijaya/Malayagiri (Suwarnadwipa)/ San-fo-ts'i; 990 M Jawa menyerang
Sriwijaya, Catatan Atisa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 M, pembangunan candi
untuk kaisar Cina yang diberi nama Cheng tien wan shou, prasasti Leiden 1044 M.
Tahun 1008 M ~ Cri Mara-Vijayottunggawarman atau Se-li-ma-la-pi - ibukota: San-fots'i/Kataha; Prasasti Leiden 1044 M & utusan ke Tiongkok 1008 M).
-- Tahun 1017M ~ Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wach'a-p'u (Haji Sumatrabhumi); gelar haji biasanya untuk raja bawahan).
Tahun 1025 M ~ Cri Sangrama-Vijayottunggawarman - ibukota: Sriwijaya/Kadaram;
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan. Prasasti Tanjore bertarikh
1030 M pada candi Raja-raja, Tanjore, India, dan prasasti Chola 1044 M.
-- Tahun 1030 M ~ Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel.
-- Tahun 1079 M ~ Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
ke Tiongkok 1079 M membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat
Kanton).
-- Tahun 1082M ~ Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
M.
-- Tahun 1089-1177 M ~ Belum ada berita.
-- Tahun 1178 M ~ Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni
San-fo-ts'i.
Tahun 1183 M ~ Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa - ibukota:
Dharmasraya; Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 M
di selatan Thailand).
Warisan Sejarah
Sumber referensi:
Kerajaan Demak dengan bantuan wali sanga berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di
Jawa pada masa inilah Masjid Agung Demak dibangun. Ketika Malaka. Dikuasai Portugis, Demak merasa
dirugikan sehingga pasukan Demak yang dipimpin Pati Unus dikirim untuk menyerang Portugis di Malaka
tahun 1513, tetapi mengalami kegagalan. Pati Unus kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran
Sabrang Lor.
Kerajaan Pajang
Kerajaan pajang didirikan oleh Joko Tingkir yang telah menjadi raja bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada
masa pemerintahannya, kerajaan mengalami kemajuan. Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah putraya
bernama pangeran Benowo. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Arya Pangiri (Putra
Sultan Prawoto). Akan tetapi pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Sutawijaya (Putra Ki Ageng
Pemanahan). Pangeran Benowo selanjutnya menyerahkan pemerintahan Pajang kepada Sutawijaya.
Sutawijaya kemudian memindahkan pemerintahan Pajang ke Mataram.
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar
Panembahans Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas Jolang (1601
1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Pantai untuk memperkuat
kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur dalam pertempuran di Krapyak sehingga
dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.
Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah Mataram mencapai puncak
kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat
kemajuan yang dicapai Sultan Agung meliputi :
1) Bidang Politik
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di Batavia.
Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi gagal mengusir VOC. Penyebab
kegagalan antara lain :
a. Jaraknya terlalu jauh yang mengurangi ketahanan prajurit Mataram
b. Kekurangan persediaan makanan
c. Pasukan Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang.
2) Bidang Ekonomi
Kerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di
Jawa sebagai irigasi
3) Bidang Sosial Budaya
Munculnya kebudayaan kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam
Sultan Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa
Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, sultan Agung mengarang kita sastra Gending Nitisruti
dan Astabrata.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab penggantinya
cenderung bekerjasama dengan VOC.
Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon didirikan Fatahillahs setelah menyerahkan Banten kepada putranya. Pada masa
pemerintahan Fatahillah (Sunan Gunung Jati) perkembangan agama Islam di Cirebon mengalami
kemajuan pesat. Pengganti Fatahillah setelah wafat adalah penembahan Ratu, tetapi kerajaan Cirebon
mengalami kemunduran. Pada tahun 1681 kerajaan Cirebon pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan
Kanoman.
Kerajaan Makasar
Kerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18 pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa
dan Tallo (Gowa Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa
Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih bergelar Sultan Abdullah.
Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) akhirnya dapat berkembang menjadi pusat perniagaan yang didorong
beberapa faktor, antara lain :
Letaknya strategis yang menghubungkan pelayaran Malaka-Jawa-Maluku
Letaknya di muara sungai yang memudahkan lalu lintas perniagaan antar daerah pedalaman
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang mendorong para peniaga mencari pelabuhan yang
memperjual belikan rempah-re Sejarah Singkat Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di Nusantara. Bukti
awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun
683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar tahun 1200 - 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi
kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti
"kemenangan".Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui
keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Coeds dari cole franaise d'Extrme-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves
Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).
Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan tetapi
berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan
langsung dengan kesadaran politik, kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang
mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari
berbagai keperluan dan kepentingan.
Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa
besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing,
seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada, yang
meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton. Itulah sebabnya mengapa
Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas
(Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai
Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah
novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam fihn Star Track di layar TV anda, akan tetapi
merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera.
Sebagaimana diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292,
sudah berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem
pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan peniaga dari India, Cina Arab dan Eropa terus
terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan secara profesional
mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani
di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya:
KERAJAAN SRIWIJAYA
Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan
yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perniagaan hasil bumi Sumatera dan
kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut
yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di
Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan
dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap
setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah
sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model
pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya
kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang
Gungwu: Pada tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang
dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi1). Wang Gungwu, The
Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea, 1958, (Halaman): 135.
Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat
rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu,
pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasarpasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta
oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera
Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhanpelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina. Demikian
dituturkan oleh Chou Ch-Fei, malahan Jambi dan Palembang sebagai pusat perniagaan yang sangat
maju 2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, (Halaman): 134-l 38.
Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chn
Tsng-chi: dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-Sumatera yang
mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur barus yang dipandang
sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan. Sebab pada kurun masa itu, kapur
Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara selain Sriwijaya
telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti
kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di Barat Laut India, , kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara
melakukan perkara yang sama. 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964,
(Halaman): 114.
Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus), hingga
kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di bawah kerajaan
Sriwijaya. Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya
mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et
testes Geographyques, (Halaman): 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902.
Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: Pada zaman
pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perniagaan yang sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar
dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di
Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya
telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan
kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perniagaan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada
sebelumnya dalam catatan yang telah kita selidiki. 5) O.W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu
Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 312.
Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan
perniagaan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan
Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para
saudagar menaiki kapal barang ke Canton. 6) Prof. Wealtly, Golden Khersonese, (Halaman): 58.
Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan niaga seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara JambiPalembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. Ini harus dipandang
sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu mengingatkan
orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan sering mengirim utusan 6). O.W.
Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 323.
Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perniagaan, akan tetapi juga dalam bidang
militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. Sriwijaya di Sumatera Tenggara
pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting dalam perniagaan Asia dan
selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman
modern dan di kalangan orang Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar
dan empayer tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka. 7) Idem, (Halaman): 1.
Seterusnya dikatakan: raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan
kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militernya bergantung kepada kapal-kapalnya. Raja-raja itu
mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda kapal Melayu datang dari rawarawa bakau dan pulau-pulau berdekatan. 8) Sung Shih, Suma Oriental, (Halaman):. 235-236.
Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: untuk memperkuat angkatan laut
dalam usaha mempertahankan perniagaan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk
perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian
merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan
makan yang diperlukan 9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, (Halaman): 106.
Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai
ke Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan Arab merupakan
mitra niaganya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum menetapkan peraturan tertulis
(perjanjian niaga) mengenai cukai niaga, perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan
dengan rakan niaganya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang
tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa
yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perniagaan telah dijadikan alasan yang
sengaja dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post niaga Sriwijaya, mitra
niaga yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi selama dua abad
selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli pantai yang
digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan
mereka sendiri. 10). O. W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan
Sriwijaya, (Halaman): 336.
Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang tidak dapat lagi dielakkan.
Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat
JUMPAAN 8
JUMPAAN 9
eradaban Bangsa Sriwijaya Classic Flipcard Magazine Mosaic Sidebar Snapshot
Timeslide Dec 4 Hubungan Sejarah Palembang dan Negeri Malaka Judul Asli : Asal
saya dari Palembang, Encik By: Aditya Wirawa Suatu keistimewaan sendiri saya
diundang untuk dapat turut menjadi penulis di ePalembang.com. Saya ingin
menceritakan salah satu pengalaman dan pandangan saya selama di Malaysia yang
ada kaitannya dengan Palembang, kota saya tercinta. Cukup banyak topik yang
dapat diangkat menjadi suatu artikel untuk pembahasan yang menarik di
ePalembang.com ini dari penulis yang mengambil sudut pandang dari berbagai sisi
baik itu Indonesia ataupun Malaysia. Untuk tulisan perdana maka saya hanya ingin
memfokuskan kepada hal mendasar terlebih dahulu yang ada kaitannya antara
Palembang dan Malaysia. Semenjak saya kuliah dulu saya sangat berbangga
menjadi mahasiswa yang belajar di Malaysia dan berasal dari Palembang. Karena
apa? Ada dual hal yang dapat menjadi jawabannya di sini. Yang pertama dan sangat
mudah ditebak adalah karena struktur bahasa yang tidak jauh berbeda. Bahasa dan
dialek keseharian Palembang (atau Sumatera pada umumnya) hampir sama dengan
bahasa Melayu, Malaysia. Jadi semenjak pertama kali menginjakkan kaki di
Malaysia, saya tidak sukar untuk beradaptasi dengan bahasa Malaysia. Lain
ceritanya dengan teman-teman saya yang berasal dari Jakarta contohnya. Mereka
kebanyakan perlu mengambil waktu berminggu-minggu hanya untuk mengerti
percakapan sehari-hari rakyat Malaysia. Sedangkan yang kedua adalah setiap kali
ada orang Malaysia yang menanyakan asal saya dan saya menjawab berasal dari
Palembang, maka timbal balas dari penanya tersebut adalah baik dan tidak perlu
mengerutkan dahi. Jangan berburuk sangka dulu dengan kalimat saya tersebut.
Timbal balas baik dan tidak mengerutkan dahi dari penanya tersebut erat kaitannya
dengan nama Palembang yang juga turut masuk dalam pelajaran sejarah rakyat
Malaysia semenjak dari sekolah dasar. Jadi mereka cukup menghormati dan kenal
dengan Palembang, walau terkadang tidak tahu pasti lokasi Palembang berada
dimananya Indonesia. Lain ceritanya kalau saya menjawab berasal dari kota lain
seperti Bengkulu, Pontianak, Semarang, Lombok ataupun kota lainnya. Karena pasti
kebanyakan dari orang Malaysia tidak mengenal kota-kota lain di Indonesia selain
Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung, Bali, Makasar, Palembang, Aceh dan Padang.
Sebagian besar kota-kota tersebut dikenal karena tempat wisata dan ada kaitannya
dengan sejarah kebangsaan mereka. Itulah mengapa saya katakan mereka tidak
sampai mengerutkan dahi, karena mereka tidak perlu berpikir lagi mengenai nama
kota tersebut. Gambar 1. Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Gambar 1.
Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Kenapa Palembang sampai masuk
ke pelajaran sejarah rakyat Malaysia? Ya inilah hal menarik yang bahkan masih
banyak orang Palembang kurang mengetahuinya. Salah satu kota wisata yang juga
menjadi kota warisan UNESCO di Malaysia yang bernama Melaka-lah yang menjadi
dasarnya. Kerajaan Melaka pada suatu masa dahulu pendirinya adalah
Parameswara, Putra mahkota kerajaan Palembang. Kebetulan sekali saya sering
mendapatkan tugas keluar kota ke Melaka. Dan pada 29 Oktober kemarin saya
berkesempatan membaca buku novel sejarah Kesultanan Melaka (Melaka the
Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh) di salah satu hotel yang menarik
di Melaka. Untuk itu saya ingin menceritakan sedikit mengenai sejarah kerajaan
Palembang sehingga terbentuknya kerajaan Melaka dan seterusnya akan menjadi
Kesultanan Melaka. Gambar 2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Gambar
2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Sejarah Bermula Sebenarnya ada
beberapa versi mengenai sejarah Parameswara. Sedikitnya yang saya ketahui ada 3
versi sejarah. Gambar 3. Ilustrasi Parameswara Gambar 3. Ilustrasi Parameswara
Versi pertama menurut Sejarah Melayu yang dikarang oleh Tun Sri Lanang adalah
bahwa keturunan raja-raja Sriwijaya telah menjadi pemimpin di Temasek
(Singapura) semenjak dari tahun 1324 M. Dan Parameswara merupakan Raja
Temasek yang terakhir dari keturunan Sriwijaya. Parameswara memimpin Temasek
sekitar pada tahun 1399-1401 M sebelum akhirnya kerajaan Majapahit menyerang
Temasek. Parameswara yang kalah akhirnya melarikan diri ke Semenanjung
Malaysia bersama beberapa pengikutnya. Versi kedua yang berasal dari cerita
sejarahwan Portugis Tome Pires adalah Parameswara merupakan Raja Palembang
yang menggantikan ayahnya, Raja Sam Agi. Namun tidak berapa lama setelah itu
kerajaan Palembang diserang oleh Majapahit yang dipimpin oleh Raja Batara.
Majapahit menyerang Palembang karena Parameswara menggelari dirinya sebagai
Mjeura atau orang yang berani. Ekoran daripada itu, Parameswara kalah dan
melarikan diri ke Temasek (Singapura) dan lalu menjadi pimpinan sementara
Temasek setelah membunuh Raja Temagi yang merupakan utusan kerajaan Siam
(Thailand) untuk memerintah Temasek. Tempoh pemerintahan Parameswara di
Temasek tidaklah lama karena kerajaan Siam kembali berhasil merebut Temasek
dan membuat Parameswara beserta pengikut setianya untuk lari ke Semenanjung
Malaysia. kerajaan nusantara Versi Ketiga sejarah Parameswara berdasarkan Novel
Melaka the Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh. Ketika Kerajaan
Palembang dipimpin oleh Paduka Seri Maharaja Damia Raja, kerajaan Palembang
merupakan salah satu kerajaan dari Pulau Andalas (Sumatera) yang disegani di
seantero nusantara. Pada tahun 1389M Damia Raja jatuh sakit karena pengaruh
umur. Damia Raja telah memimpin Kerajaan Palembang selama 4 dekade. Dan dia
memiliki 2 orang putera, yang dimana putera keduanya adalah Parameswara (49
tahun) yang juga menjadi Putera Mahkota Kerajaan Palembang selama 3 dekade.
Seluruh pembesar dan keluarga kerajaan berkumpul di suatu ruangan untuk
mendengarkan titah terakhir sang Raja. Damia Raja ingin menunjuk penggantinya
untuk menjadi Raja kelima Kerajaan Palembang. Parameswara dan beberapa
pembesar kerajaan sangat yakin bahwa Parameswara lah yang akan ditunjuk
biasanya ditampilkan bagi puteri raja dengan iringan musik yang mendayu-dayu
dengan isi pantun yang menghiba-hiba tentang asmara maupun kesedihan. Istilah
Asli bermakna eksprsi yang dalam. Contoh rentak Asli adalah Tari Persembahan.
Rentak Mainang/Inang Ragam tarian ini berhubungan dengan gerak-gerik pengasuh
puteri/putera raja atau inang. Awalan 'ma' maksudnya adalah panggilan 'mak'
terhadap Inang Pengasuh. Gerakan rentak Mainang agak lebih cepat dibanding
Rentak Asli kadang malahan cukup bertenaga untuk menggambarkan gerakan
jenaka menghibur. Contoh Rentak Mainang adalah Tari Mainang Pulau Kampai;
Mainang Melayu dan Mainang Kahyangan Rentak Dua/Joged Namanya juga Joged,
pastilah rentak ini banyak bergoyang, hidup dan ceria. Istilah 'Lagu Dua'
menggambarkan interaksi 2 orang (lawan jenis) dalam suasana keriangan.
[PIC_3617.JPG] Keindahan Seni Tari Melayu Other Dance Styles Rentak Cik Minah
Sayang adalah gabungan antara Inang dan Joged. Sedangkan Rentak Pulau Sari
berasal dari kombinasi beberapa rentak Melayu tetapi unsur-unsur pentingnya saja
yang diambil dan digabungkan untuk menghasilkan suatu jenis tarian baru yang
menarik. Jenis tarian ini memang berhasil menarik banyak perhatian, contohnya
Serampang Duabelas yang menjadi salah satu tarian terkenal seantero Nusantara
karena menarik untuk ditampilkan dalam persembahan di panggung dan majlis.
Rumpun melayu pada dasarnya memiliki banyak sekali persamaan budaya. Namun
di dalam perkembangannya masing-masing mempunyai nuansa tersendiri yang
telah dipengaruhi unsur kedaerahan setempat, perkembangan yang demikian
merupakan hal yang cukup menggembirakan karena dapat memperkaya kasanah
budaya melayu di nusantara ini. Sumber: http://www.adicita.com
http://sriandalas.multiply.com Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa
Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Pertalian Kekerabatan antara Suku Banjar dan
Kedayan (Brunei) dengan Melayu Sumatera (Sriwijaya)
http://www.kalimantanpost.com/images/stories/Nasional/budaya%20banjar2.jpg
Seni dan Budaya Banjar yang Masih Mengakar pada Budaya Melayu Proto Asal usul
Suku Banjar dan Brunei Orang Brunei pun juga menyatakan dirinya sebagai
keturunan suku Sakai dari pulau Andalas (Sumatera). Diperkirakan suku Kedayan
(Brunei), suku Banjar dan beberapa suku yang ada di Kalimantan Barat yang sering
disebut kelompok Melayu Lokal, kemungkinan berasal dari satu kelompok induk
yang sama (Proto Melayu) yang telah terpisah ratusan tahun dan sebelumnya
menyeberang dari pulau Sumatera, kemudian bercampur dengan orang pribumi
(Dayak) di daerah masing-masing. Hal ini dapat diketahui dari persamaan beberapa
kosa kata dari bahasa Kedayan dan bahasa Banjar, seperti kata bepadah
(memberitahu), tatak (potong), tarabah (terjatuh), dan sebagainya. Pengaruh
Melayu juga kita dapatkan pada dialek Bahasa Banjar Amuntai dan Banjarmasin
yang mengucapkan huruf r dengan cadel. Pendapat lain menyatakan bahwa pulau
Borneo (terutama Kalimantan Barat) adalah tanah asal usul bahasa Melayu, karena
banyaknya jenis bahasa Melayu Lokal yang berkembang seperti Sarawak, Iban,
Selako, Ketapang, dan Sambas. Diperkirakan kelompok Melayu (baca: Proto Malayic)
inilah yang datang pada migrasi ke II yang mendesak kelompok Melanesia (nenek
moyang Papua) yang datang pada migrasi I, akhirnya keluar dari Borneo. Tetapi
kemudian kelompok Proto Malayic (Iban) terdesak oleh nenek moyang Dayak
(migrasi III) yang datang dari pulau Formoso dengan membawa adat pemotongan
kepala (ngayau/pengayauan) sehingga sebagian kelompok Proto Malayic migrasi
keluar dari Borneo. Proto Malayic menurunkan Proto Malay yang menggunakan
bahasa Melayu Lokal (Bukit, Banjar, Kutai dan lain-lain). Sedangkan Proto Malay
(Proto Melayu) menurunkan suku Melayu yang ada sekarang ini. Demikian pula ada
sebagian kelompok Dayak (Maanyan) yang migrasi menuju Madagaskar. Menurut
pendapat sebagian ahli sejarah, orang melayu (melayu kuno) telah datang ke
daerah ini pada sekitar abad ke-6. Diperkirakan orang melayu datang melalui selat
Karimata yang memisahkan pulau Belitung dengan wilayah kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat yang penduduknya saat ini dikenal dengan sebutan orang Melayu
Ketapang. Di sungai Amas, Kabupaten Tapin telah ditemukannya patung Buddha
Dipamkara (ketenangan air) yang sering dibawa oleh pelaut dan juga sebuah batu
terpotong bertuliskan aksara Pallawa, Siddha (mungkin selengkapnya Jaya Siddha
Yatra/Perjalanan yang Mencapai Keberhasilan) menunjukkan pengaruh agama
Buddha dan migrasi orang Melayu dari Kerajaan Melayu maupun Sriwijaya abad ke7 atau sebelumnya. Suku bangsa Banjar berintikan penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya, membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari
seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah
bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku
Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah
setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu(Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan
Banjar (Kuala). Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar,
maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud
berasumsi bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan
sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi
secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa
perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti
nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau
sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali
tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud,
kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus
adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang
terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan
bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok
inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi
dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Pendekatan
Primordialisme Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah
penduduk asli sebahagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, iaitu selain
kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama
sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya
dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang
kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya lima subsuku, iaitu: Banjar
Pahuluan Banjar Batang Banyu Banjar Kuala Banjar Alai Banjar Kaluak Orang
Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang
sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu
mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah
sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan
bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika
mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya yang di dalamnya
terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa.
Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun
1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai
dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota
dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut
nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi. Pendekatan Konstruktifis
atau Situasionalis Profil pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi
Muzium Lambung Mangkurat. Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan
pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, etnik Banjar pada waktu itu belum
menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk
pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Idwar Saleh
menyimpulkan suku Banjar terdiri dari tiga subetnik berdasarkan wilayah tempat
tinggal mereka dan unsur pembentukan suku: Banjar Pahuluan; campuran Melayu
dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok). Banjar Batang Banyu; campuran Melayu,
Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok) Banjar Kuala;
campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa
(Ngaju sebagai ciri kelompok). Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar http://ppsantasari.ac.id/ dan sumber lainnya Posted 4th November 2011 by Peradaban
Bangsa Sriwijaya 1 View comments Nov 4 Seni Ukir Khas Palembang Warisan
Budaya yang Indah Sejak Jaman Sriwijaya Lemari Ukiran Khas Palembang Seni ukir
Palembang memiliki motif khusus yang berbeda dengan daerah lain. Pengaruh Cina
atau Budha masih menonjol, namun guratannya lebih didominasi tumbuhan, bunga
melati dan teratai serta tidak ada gambaran tentang manusia atau hewan. Berbagai
macam ukiran khas Palembang itu biasanya disebut dengan laukuer (Lavquer) Ciri
ukiran Palembang sangat khas. Semua motifnya bunga dan perwarnannya pun di
dominasi warna kuning keemasan, warna dominan dalam ukiran Palembang.
Kemilau warna yang dihasilkan dari cat warna emas inilah yang membedakannya
dengan ukiran daerah lain, seperti misalnya dari Jepara. Badan lemari, daun pintu,
tutup Aquarium atau bingkai cermin dan foto, misalnya selalu disaput cat warna
emas. Sementara bagian lainnya dilapisi warna merah tua dan hitam. Gambar
bunga mawar dengan warna hitam makin menonjolkan penampilan ukiran kayu
Palembang. Biasanya jenis kayu yang dipakai untuk mengukir pun harus lah jenis
kayu tembesu yang keras dan kuat. Padahal dulu, ukiran Palembang hanya terbatas
pada lemari yang fungsinya untuk menaruh kain songket. Bahan yang dipergunakan
umumnya kayu berkualitas tinggi, terutama tembesu dan sejenisnya. Penerapan
ukiran kayu Palembang banyak digunakan untuk ornamen bangunan rumah
tradisional Palembang (rumah limas). Ada juga berbagai bentuk kerajinan ukiran
khas Palembang seperti lemari hias berbagai ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto
dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas ruangan, dan sebagainya. Ukiran kayu
Palembang (Sumatera Selatan) memiliki gaya, motif, dan warna yang khas. Kayu
yang digunakan adalah kayu berkualitas, terutama kayu tembesu. Semua ukiran
kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan variasi cat warna emas, hitam,
dan merah tua. Gaya ukiran Palembang adalah dekoratif dengan teknik rendah,
tinggi dan tembus (terawang). Sedangkan motif seni ukiran yang umum digunakan
tersebut dikenal dengan nama pohon kemalo. Singga Sana Khas Palembang Kursi
Singgasana Khas Palembang Lemari Khas Palembang sebagai Tempat Penyimpanan
Songket Meja Ukir Khas Palembang Salah satu motif yang sering digunakan adalah
Motif Bunga Mawar, Bunga Mawar adalah bunga beraroma harum dengan wangi
memikat. Semerbak wanginya disukai siapa saja. Wangi bunga yang batang
pohonnya berduri tersebut juga menjadi simbol dari rasa kasih dan cinta. Mungkin
karena bunga dengan wangi khas ini adalah lambang yang tidak menggambarkan
kekerasan, para pencetus kerajinan ukiran kayu Palembang menjadikannya sebagai
motif utama. Semua ukiran kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan
variasi cat warna emas, hitam, dan merah tua. Berbagai bentuk kerajinan ukiran
khas Palembang pun lahir dari tangan para perajin, seperti lemari hias berbagai
ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas
ruangan, dan sebagainya. Puluhan atau mungkin ratusan pengusaha kini
menggantungkan hidup mereka dari kerajinan ukiran kayu Palembang. Ukiran kayu
yang sejak beratus tahun tumbuh dan hidup di Palembang itu disukai banyak
kalangan. Mengapa bunga mawar yang dipilih sebagai motif ukiran, baik perajin
maupun pedagang, umumnya tidak tahu pasti. Mereka hanya mengerjakan dan
mengetahui ukiran Palembang harus bermotifkan bunga mawar, baik yang tengah
mekar, masih, kuncup, maupun daunnya. Saat ini, ukiran kayu khas Palembang
telah tumbuh menjadi industri yang menjanjikan. Industri rumahan ukiran kayu
Palembang tumbuh di banyak pelosok Kota Pempek itu. SALAH satu pusat
perdagangan ukiran kayu Palembang terdapat di sejumlah jalan di sekitar Masjid
Agung Palembang. Belasan ruang pamer (show room) yang sekaligus tempat
mengecat atau mengerjakan tahap akhir ukiran (finishing touch) hasil karya para
pengukir, terdapat di kawasan pusat kota itu. Pengasan atau Tempat Penyimpanan
(Peti) Sirih Khas Palembang Seni Kerajinan Khas lainnya piring ukiran Piring Ukir
Khas Palembang wadah payung Tempat Payung Ukiran Palembang kursi makan Meja
dan Kursi Makan Khas Palembang aquarium palembang Aquarium Khas Palembang
meja oval palembang Meja Oval Khas Palembang meja hias palembang Meja Rias
Ukiran Palembang guci vas bunga Guci Vas Bunga Ukiran Palembang meja TV oval
Meja TV Ukiran Palembang
http://www.mediaindonesia.com/mediatravelista/spaw/uploads/images/article/image
/2010_08_23_11_30_38_Ukiran.jpg Ukiran Furnitur Kamar Tidur Khas Palembang
http://www.epalembang.com/site/wp-content/uploads/2009/11/ukiran-palembang1.jpg Kursi Rias Ukiran Palembang Sumber: http://www.palembangbay.com
http://karimsh.multiply.com http://amarlubai.wordpress.com Posted 4th November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Mushaf Alquran Ukir
mengaku kagum pertama kali melihat Alquran itu. Menurutnya, Sumsel khususnya
Palembang, termasuk kota religius. Keberadaan Al Akbar menambah nilai religius itu
dan (mungkin) dapat memotivasi masyarakat untuk lebih giat memperdalam
Alquran. Karena Alquran ini semua sumber hukum dan peraturan apa pun juga,
termasuk budaya, ekonomi, pemerintahan itu ada di Alquran. Kalau kita baca saja
maknanya tidak tahu, kan repot, katanya. Djauhari sependapat dengan Racham.
Menurutnya Alquran itu adalah karya besar bagi bangsa Indonesia, khususnya
Sumsel dan Kota Palembang. Alquran ini nantinya akan ditempatkan pada
bangunan khusus, seperti Islamic Center. Ini bukan milik Kota Palembang dan
Sumsel saja, tapi Indonesia. Dalam artian inilah umat muslim di Indonesia itu bukan
saja memelajari lafaz Alquran, tapi juga ada seni beragama. Luar biasa itu,
katanya. Sumber: www.sripoku.com www.republika.co.id Posted 4th November 2011
by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Kesultanan Malaka Salah
Satu Warisan Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
http://images.karimsh.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Rs0CiwoKCncA
AAt97R41/parameswara.jpg?et=gnVq0uszgnZWfPUKEzIvzQ Sejarah Kesultanan
Malaka, Semenanjung Malaya Kesultanan Melaka (1402 1511) adalah sebuah
Kesultanan Melayu Islam yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu
berketurunan Sriwijaya. Kesultanan Malaka terletak di wilayah penyempitan selat di
Semenanjung Melayu. Sejak zaman Sriwijaya, Semenanjung Melayu merupakan
tempat yang sangat trategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur.
Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama
Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja
Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48
tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja
(1372 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira
Kerma (1386 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri Rana Wira
Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit. Ibu
kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini
berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di
Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya
direbut oleh Portugis pada tahun 1511. Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka
di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil
kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika
Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari
sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri
Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak
manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan
pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan
Siam. Pada masanya setiap harinya kapal-kapal dari negeri asing berdatangan dan
singgah di sana. Tentu saja kedatangan para pelaut-pelaut asing tersebut membuat
Semenanjung Melayu tersebut menjadi wilayah yang tumbuh dengan pesat. Hal itu
terjadi karena para pelaut-pelaut asing tersebut datang dengan membawa berbagai
macam barang-barang yang mereka dagangkan. Maka jadilah Semenanjung Melayu
sering berbuat onar terutama mengganggu para gadis. Atas usulan penasehat
kerajaan, maka Sultan Mahmud Syah memerintahkan prajuritnya untuk mengusir
orang-orang Eropa tersebut dan berhasil menangkap 20 orang dari mereka. Pada 10
Agustus 1511, armada laut Portugis yang besar dari India menyerang Malaka.
Armada perang yang beasr tersebut di pimpin oleh Alfonso d Albuquerque.
Terjadilah peperangan selama 10 hari hingga akhirnya Malaka jatuh ketangan
Portugis. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke pantai timur Semenanjung Melayu,
tepatnya daerah Pahang. Maka habislah sudah masa Kesultanan Malaka yang
dibangun oleh Parameswara. Politik Negara Dalam menjalankan dan
menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik
hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara
efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan
diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan
internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus
diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan
damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari politik negara
tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah))
tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur
Syah (14591477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan
Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping
itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada
tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas
kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan
lain tidak berani menyerang Malaka. Pada tahun 1411, Raja Malaka balas
berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan
tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta
rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa,
hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke
Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara
lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya,
seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga,
300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas.
Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan
Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan. Di masa Sultan Mansur
Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari dinasti
Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur
Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China
untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka
pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. Demikianlah, Malaka terus berusaha
menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan
politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar.
Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau
Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar
negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.
Hang Tuah
http://3.bp.blogspot.com/_KXmvzVKhpW0/TR7lOOcGB1I/AAAAAAAAAIk/bQsE7ZsUb
Wg/s1600/Hang%2BTuah.gif Laksamana Hang Tuah Hang Tuah lahir di Sungai
Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang
Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan
penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia
dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih
muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat
orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang
Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar
perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan
Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri
kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka.
Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan
Malaka yang tangguh. Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana
Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut. 1. Esa hilang dua terbilang 2. Tak
Melayu hilang di bumi. 3. Tuah sakti hamba negeri. Hingga saat ini, orang Melayu
masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun
demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan
dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep. Malaka Sebagai Pusat
Penyebaran Agama Islam Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung
Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di
sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina.
Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan
perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di
kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak
dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton
merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap
pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat
dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga
telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah
pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak
mengalami kemajuan. Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka
juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai
menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu
Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke
dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan
Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Selanjutnya, Malaka
berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga
mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459
1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam.
Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama
Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan
antarkeluarga. Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari
Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika
mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses
penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa,
Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan). Malaka runtuh
akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de
Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain.
Silsilah Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut: 1.
Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (13801424) 2. Sri Maharaja
(14241444) 3. Sri Prameswara Dewa Syah (14441445) 4. Sultan Muzaffar Syah
(14451459) 5. Sultan Mansur Syah (14591477) 6. Sultan Alauddin Riayat Syah
(14771488) 7. Sultan Mahmud Syah (14881551) Periode Pemerintahan Setelah
Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar
Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan
putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis
menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir
kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh
Alfonso dalbuquerque pada tahun 1511. Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah
Sultan Mahmud Syah. Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah
abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati
Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis.
Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan
pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian
kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa
Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah
persatuan dan kesatuan Melayu. Wilayah Kekuasaan. Dalam masa kejayaannya,
Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut: 1. Semenanjung Tanah
Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya). 2. Daerah Kepulauan
Riau. 3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah. 4. Brunai dan Serawak. 5.
Tanjungpura (Kalimantan Barat). Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit
secara diplomasi adalah sebagai berikut. 1. Indragiri. 2. Palembang. 3. Pulau Jemaja,
Tambelan, Siantan, dan Bunguran. Sumber: http://peutuah.com
http://suryawardana.com http://rismaeffendy.blogspot.com Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Bangsa Sriwijaya
http://2.bp.blogspot.com/_-VwjFK-ofUU/S4-0_0N9y2I/AAAAAAAAAZI/jenOyiSOAY/s320/sriwijaya.jpg Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Pada masa silam, kita
Bangsa Sriwijaya merupakan bangsa yang besar dan telah meraih kegemilangan
diberbagai sektor peradaban hingga keberadaan kita diakui oleh berbagai bangsa
dipenjuru dunia. Dan kini kita harus bangkit dari keterpurukan yang tengah
melanda, membangun kembali peradaban silam yang telah hilang, dan berjuang
demi kejayaan bangsa kita digenerasi masa depan. Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Ekspedisi Sriwijaya: Mencari
Jalur yang Hilang By: http://www.pdii.lipi.go.id altInfo Baru Vol. 7 No. 5 Mei 2011-p
Kegiatan ekspedisi ilmiah yang berupaya menelusuri jejak-jejak peradaban masa
lalu bangsa Indonesia patut diapresiasi. Dunia mengakui kekayaan dan keragaman
budaya bangsa kita yang dihasilkan melalui proses-proses akulturasi yang panjang,
yang terekam dalam bentuk tinggalan arkeologis, catatan sejarah dan memori
kolektif bangsa. Kegiatan Ekspedisi Sriwijaya yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi
Palembang, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata,
didukung oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata pada tahun 2009 merupakan suatu kegiatan ilmiah yang hasilnya
memang perlu disebarluaskan kepada masyarakat, selain untuk kalangan akademis.
Ekspedisi Sriwijaya berupaya menelusuri jalur ekspedisi maritim Raja Sriwijaya dan
bala tentaranya pada abad ke-7 dari Palembang ke Kota Kapur di Pulau Bangka atau
sebaliknya. Kegiatan i1miah itu tidak berhenti pada upaya merekonstruksi sejarah
kebudayaan saja, lebih dari itu bagaimana hasil kajian dapat memberi makna,
inspirasi dan spirit kepada bangsa kita masa kini. Sriwijaya yang menurut para ahli
berarti "kemenangan yang menjanjikan" dapat dijadikan inspirasi dan spirit untuk
meneapai cita-cita menjadi bangsa yang maju dalam berbagai bidang. Dengan
memahami akar budaya bangsa sebagai bangsa bahari dan memupuk etos kerja
yang tinggi demi menggapai cita-cita, "kemenangan yang menjanjikan" itu akan
terwujud: menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Sekaligus menjadi bangsa yang
kembali disegani di bidang kebaharian. Kita menyambut gembira terbitnya buku
yang berjudul: Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Buku ini melengkapi
publikasi-publikasi mengenai tinggalan arkeologis atau warisan budaya yang
diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, agar lebih mengenal
tinggalan budaya bawah air, meningkatkan cinta bangsa dan multikulturalisme, dan
bangga sebagai bangsa. Semoga bemanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa
bahari. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a
comment Nov 3 Potensi Daerah Bumi Sriwijaya http://hitamputihnegeriku.com/wpcontent/uploads/2011/03/sumatera.pngSebagai bekas wilayah pusat Kerajaan
Sriwijaya, sebuah kerajaan penganut agama Budha terbesar di dunia. Sumatera
Selatan banyak memiliki benda-benda dan tempat-tempat bersejarah yang menarik
untuk dijadikan Objek Wisata. Hal tersebut didukung pula oleh paling sedikit
terdapat 139 objek wisata yang tersebar di seluruh Wilayah. Beberapa tempat
paling banyak dikunjungi wisatawan baik lokal maupun asing antara lain adalah
Danau Ranau yang terletak di Kabupaten OKU, Pegunungan Dempo yang terletak di
Kaki Gunung Dempo, Kota Pagar Alam dan Air Terjun Curup Tenang di Kabupaten
Muara Enim. Ratusan lembaga telah memakai nama Sriwijaya. Mulai dari instansi
militer, yayasan sosial, toko, universitas, koran, usaha travel, angkutan umum,
pabrik pupuk, jalan, sampai dengan hotel, semuanya menempelkan nama kerajaan
maritim terbesar di Asia Tenggara itu. Barangkali para pemberi nama memiliki
harapan serupa, mewarisi spirit kebesaran Sriwijaya. Namun, apakah kebesaran
Sriwijaya benar-benar memberikan inspirasi bagi masyarakat zaman sekarang?
Sebagian besar masyarakat di Palembang, Sumatera Selatan, yang diduga pernah
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, justru menyangsikannya. Alasannya, mereka
Sriwijaya tidak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang." Thontowi,
pengurus Dewan Kesenian Palembang yang juga menjadi Staf Humas Pemerintah
Provinsi Sumsel, menengarai adanya keterputusan sejarah, antara kebesaran
Sriwijaya dengan budaya masyarakat Sumsel zaman sekarang. Jeda waktu yang
terjadi setelah Sriwijaya runtuh abad ke-14 sampai dengan abad ke-16 Masehi
merupakan missing link (rantai terputus) yang memutus keterkaitan Sriwijaya
dengan Kerajaan Palembang Darussalam, kolonialisasi Belanda, hingga
pembangunan Kota Palembang modern. Budaya masyarakat Palembang dan daerah
sekitarnya, lanjut Thontowi, justru banyak dipengaruhi karakteristik kelompok
masyarakat yang hidup berkebun di hutan-hutan. Mereka memiliki tradisi yang
keras, karena hidup di tengah belantara dan terbiasa membawa senjata tajam
untuk mengolah kebun dan menjaga diri. Sedikit banyak kebiasaan itu masih
berlanjut hingga sekarang. Djohan Hanafiah menilai, tradisi kekerasan menguat
dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan karena daerah ini dihuni lebih dari
20 suku. Masing-masing suku merasa setara dengan suku lain, dan senantiasa
bersaing ketat untuk menguasai akses sosial, politik, dan ekonomi. Ketika
komunikasi macet, kekerasan menjadi salah satu cara yang diandalkan untuk
mempertahankan eksistensi dan dominasi antarsuku tersebut. Sesungguhnya masih
terdapat satu kebesaran Sriwijaya yang berusaha dihidupkan masyarakat Sumsel,
yaitu kekuatan armada maritim dalam mengarungi samudra dan mengembangkan
perdagangan internasional. Setidaknya semangat tersebut pernah mendorong
Gubernur Sumsel periode 1998-2003, Rosihan Arsyad, pada tahun 2001 lalu untuk
merekonstruksi replika kapal layar Sriwijaya. Asnawi Hasan, staf di Bagian Industri
dan Pariwisata Biro Ekonomi Pemprov Sumsel, mengungkapkan, studi bentuk kapal
yang digunakan Sriwijaya untuk mengarungi Sungai Musi dan menjelajah benua
pernah dilakukan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dalam kajiannya,
kapal yang dibuat dari kayu onglen itu mirip dengan kapal Borobudur yang
memakai layar dan bercadik. Panjangnya sekitar 24 meter dengan lebar kurang
lebih enam meter. Hanya saja, hingga Syahrial Oesman menjadi Gubernur Sumsel
periode 2003-2008, rencana tersebut kandas karena terbentur masalah dana.
Sumber:http://www.bandarasmb2.com
http://img64.imageshack.us/img64/7829/sumselis9.jpg S Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 29 Songket
Palembang Jadi Warisan Budaya Palembang - Kompas.com. Sebanyak 22 motif
tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang,
Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.
Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi
kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan
sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan
HAM. Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait,
limar berantai, dan nampan emas. Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan,
pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun
2004. Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang
sejak ratusan tahun lalu. "Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami
ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di
masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan. Menurut Rosidi,
pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang
dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya
pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain. Saat
ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya
motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui. Selain
di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di
Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda. Industri kecil kerajinan tenun
songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150
pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang. Masing-masing pemilik usaha
mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibuibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket. Budayawan dan pemerhati
Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan
songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan
terhadap kain songket. Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain
songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak.
Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan
digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.
"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki
kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga
songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya. Perajin dan desainer
songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motifmotif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan
pengusaha songket dari klaim dari negara lain. Tanpa ada perlindungan seperti ini,
motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain.
"Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar,"
tuturnya. Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di
Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di
Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah
negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara
Timur Tengah. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a
comment Nov 3 Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos
Batak "Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak",
begitu judul sebuah artikel di salah satu blog. Kita sebagai warga Sumatera Selatan,
khususnya Kota Palembang patut berbangga, karena ternyata Songket Palembang
sangat diminati oleh daerah lain. Berikut kutipan artikelnya. Jarar Siahaan: Batak
News: Menjajah Budaya Sendiri Ia salah satu desainer top Indonesia. Ia berteriak
lantang: justru orang Batak memuja songket Palembang dan melupakan ulos.
Kini ia tengah mengerjakan proyek pengembangan ulos yang didukung negara
asing, Austria. Ironis. Merdi Sihombing Wanita Batak sangat memuja, bangga,
berlomba-lomba untuk memakai kain songket Palembang pada setiap momen yang
berkesan buat hidupnya, kata Merdi Sihombing pada imel yang dia kirim ke blog
Batak News beberapa hari lalu. Wanita Batak banyak mengoleksi kain songket
Palembang yang ditawarkan dengan harga yang sangat fantastis sebagai prestise
bahwa hidup mereka sangat berlebihan. Merdi adalah pria Batak yang pernah
kuliah di Institut Kesenian Jakarta [IKJ], tapi belum tamat. Pada tahun 2002 ia
sudah menjadi perancang busana langganan sejumlah selebritis, antara lain Feby
Febiola, tulis harian Kompas yang menyebut rancangan Merdi sebagai
keindahan dalam kesederhanaan. Aku juga pernah melihat namanya tercantum
sebagai desainer model cantik di majalah seksi Popular beberapa tahun silam.
Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket Palembang?
Merdi menjawab, karena orang-orang berpengaruh di kalangan Batak, seperti
seniman, rohaniawan, pengusaha, dan pejabat pemerintah tidak peduli
melestarikan dan mengembangkan ulos. Ia menilai, hanya pedagang dan pengrajin
uloslah yang peduli pada kain dengan tiga warna khas itu hitam, merah, dan
putih. Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi
karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal
yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna,
termasuk promosi. Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah
sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten.
Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah
satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar. Kata Merdi, para
politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan
dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak memikirkan masyarakat bawah
yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata. Kalau
kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua
pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita
Batak bahwa, Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, its not cool. Secara
teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir
seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan
selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih
relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos:
Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang
cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang
lebih bebas. Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan Indonesia. Tahun ini ia
ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari 12 fesyen desainer untuk
pengembangan kain tenun tradisional. Ia pun sering berpameran bersama
perancang busana papan atas sekelas Oscar Lawalata, Ghea Panggabean, dan
Samuel Wattimena. Tahun lalu ia mengangkat kain tradisional suku Badui dalam
sebuah pameran setelah mengamati suku tersebut selama tiga tahun. Ia juga
bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku marpasir-pasir alias berbahasa
Indonesia yang dicampur bahasa Batak. Tanggal 5 besok ia berada di Medan.
Tanggal 8 di Pulau Samosir selama tiga hari untuk pemotretan keperluan buku ulos
Batak, Natural Thing. Tanggal 11 menyeberang ke Muara, kecamatan kecil nan
indah di tepi Danau Toba. Tanggal 13 baru akan kembali ke Jakarta. Selamat
berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu citacitamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com] Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Menelusuri Etalase
Songket di Jantung Sriwijaya
http://data.tribunnews.com/foto/bank/thumbnails2/songket-palembang.jpgIndustri
Kecil Suara keletak-keletik menyusup dari sela-sela lantai kayu sebuah rumah
panggung di bilangan 30 Ilir Palembang. Di kolong rumah panggung berusia lebih
dari 400 tahun itu, jari-jemari para pekerja terampil menjalin benang demi benang
menjadi sebuah tenun kain songket. Itulah suasana di salah satu rumah di pusat
kerajinan tenun songket Palembang. Rumah tua itu terletak di sentra kerajinan
tenun songket di Kecamatan 30-32 Ilir Palembang, Sumatera Selatan. Pemiliknya
adalah desainer songket ternama yang berangkat sebagai perajin, Zainal Arifin.
Dinding rumah kayu itu dihiasi fotonya dengan sejumlah tokoh nasional dan
internasional, seperti mantan Ibu Negara Amerika Serikat Laura Bush, mantan
Presiden Megawati Soekarnoputri, Soeharto, dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Zainal mengatakan, kerajinan songket sudah ada di daerah itu sejak
tahun 1700-an. Zainal sendiri termasuk generasi ketiga dari keluarganya yang
menekuni kerajinan songket. Sebelumnya nenek saya yang masih sangat
tradisional membuat songket, sampai-sampai menyimpannya pun di kasur agar
tidak patah. Lalu ibu saya, Cek Ipah, yang kemudian mengembangkannya menjadi
usaha kerajinan, katanya, Selasa (29/3). Gerai Zainal Songket merupakan salah
satu dari sekitar 15 gerai tenun songket di sentra kerajinan tenun songket ini.
Kawasan ini merupakan hunian tua dengan beberapa rumah panggung yang masih
tersisa. Letaknya pun tak jauh dari lokasi yang diyakini sebagai keraton Kerajaan
Sriwijaya, sekarang bernama Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya. Tenun
songket diyakini merupakan warisan budaya masyarakat sejak zaman kerajaan
bahari itu. http://4.bp.blogspot.com/_4SkcOCUZTaM/Sr64uS1CCI/AAAAAAAAAA4/Q_bSsEPaQw4/s320/kain+jadi.jpg Songket Palembang
Menyusuri kawasan itu ibarat menyusuri etalase tenun songket Sumsel. Beragam
jenis songket terpajang di bagian depan sejumlah rumah, seperti baju, kopiah, dan
selendang. Uniknya, tiga pemilik gerai di kawasan itu adalah saudara sekandung,
yaitu anak-anak dari Cek Ipah. Dari sisi produksi, sentra songket 30-32 Ilir
Palembang itu bukan pusat terbesar perajin songket. Pusat perajin tenun songket
sendiri terletak di desa-desa, salah satunya di Kabupaten Ogan Ilir, yang jaraknya
sekitar 1,5 jam perjalanan dar
alembang. Namun, ibarat etalase, perannya cukup penting untuk menawarkan
songket dan menjadi tujuan yang pertama kali disasar wisatawan dan para pencari
songket. Sentra tenun songket 30-32 Ilir Palembang itu juga berperan sebagai pusat
pengembangan dan inovasi songket. Zainal, misalnya, terus mengembangkan motif
dan desain busana songket sesuai tren mode dunia. Telah puluhan motif songket
modern dia patenkan. Zainal sendiri juga telah memasarkan songket ke kota-kota
besar, seperti Jakarta dan Bandung. Dengan cara ini, songket bisa terus hidup dan
dikenal. Kalau tak ada pengembangan, songket hanya akan dianggap sebagai kain
dari dataran rendah hinggalah ke bumbungan Asia di Tibet. Dari hutan belantara
Indochina hinggalah ke Padang pasir di Baghdad dan Parsi. Mereka semua ada
mencatat mengenai sebuah bangsa dan kerajaan yang sangat besar dan hebat
yakni SRIWIJAYA, SRIBHOJA, SHAMBALA, SAYABIGA, SABAG, ZABAJ, SHAVAKA,
JAVAKA, CHEVAKA, SVIYAGA. Sayabiga Pada tahun 656 masihi dalam catatan Arab di
Baghdad ada menyatakan bahawa khalifah telah mengupah sekumpulan puak yang
bernama Sayabiga untuk menjadi pengawal Baitulmal atau harta kerajaan. Sarjana
hari ini masih tidak dapat memutuskan dari mana asalnya mereka ini. Malahan
catatan Arab juga tidak mengetahui asal usul perkataan Sayabiga kerana ia bukan
bahasa Arab mahupun Parsi . Namun mereka sependapat bahawa puak ini berasal
dari pantai utara al Sind atau al hind. Dalam catatan Arab dan Parsi mereka juga
terkenal sebagai penanam Padi dan penternak Kerbau. Kawasan Basra pada suatu
masa dahulu terutama pada zaman kerajaan Sasanid , Bani Ummayyah serta
Abbasiah pernah menjadi pembekal beras kepada seluruh Jajahan Empayar . Namun
dari mana asalnya padi atau beras ini? Ada sarjana berpendapat bahawa padi dan
Kerbau dibawa masuk ke Iraq atau Basra oleh Puak Sayabiga. Siapa sebenarnya
puak Sayabiga ini? Kajian terbaru menyatakan bahawa mereka ini adalah tentera
upahan daripada tak lain dan tak bukan orang-orang Nusantara dari kerajaan
SRIVIJAYA. Ini dapat menjelaskan unsur persamaan diantara perkataan Srivijaya dan
Sayabiga yang berasal daripada sebutan Arab Sabag atau Zabaj, Zanj, Zanaj. Apa
yang menarik lagi adalah, puak Sayabiga ini dikatakan sebagai Sea Gypsy atau
pelaut yang sangat handal dan penguasa kapal-kapal. Mereka digaji oleh kerajaan
Parsi dan kerajaan Umayyah kemudiannya untuk menjadi warden, pengawal, polis
dan tentera laut. Gabriel Ferrand menyatakan bahawa: The Sayabiga are the
descendant of ancient Sumatran immigrant to India then to Iran and Persian gulf,
where there is evidence if their existence before Islam. This is not surprising
because we know from other sources also that the Sumatran colonized Madagascar
at a very early date. The eastern route is very familiar to them. Sesetengah sarjana
berpendapat mereka berasal dari pesisir pantai selatan Parsi. Namun mereka
bukanlah orang Parsi. Bahasa dan cara hidup serta rupa paras mereka berbeza
dengan Puak-puak parsi yang lain. Apa yang menarik lagi bahawa catatan Al Masudi
ada menyatakan bahawa semasa Saidina Ali diserang dalam perang Siffin yang
terkenal dalam sejarah Islam, orang-orang kufah yang datang membantu Saidina Ali
termasuklah puak Sayabiga. Sejak dari hari itu puak Sayabiga dikatakan telah
menganut fahaman Shiah. Ada sedikit puzzle yang hendak saya tunjukkan disini.
Saya pernah mendengar satu riwayat dari para pengamal tarian kuda kepang
bahawa tarian ini adalah berasal daripada pengalaman seorang Nusantarian yang
melihat kuda tunggangngan Saidina Ali naik berang dalam perang. Adakah
peristiwa ini berdasarkan kisah yang sebenar? Walau apapun jawapannya, tidak
dapat kita nafikan lagi bahawa pengaruh empayar Melayu srivijaya bukan terhad
kepada nusantara sahaja malahan hingga ke Baghdad! Sebelum ini memang ada
bukti bahawa Maharaja Srivijaya pernah menghantar surat kepada Khalifah Umar
abdul Aziz. Ini bermakna sebenarnya sejak awal lagi Srivijaya telah memainkan
peranan yang besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan dunia. hal Ini mengukuhkan
lagi teori yang menyatakan bahawa sebelum kedatangan islam lagi orang
nusantara telah mengadakan hubungan perdagangan dan membuka penempatan di
pelabuhan-pelabuhan utama di seluruh dunia sebelah sana. Saudara sekalian
sebenarnya, sejak turun temurun Parsi adalah salah satu rakan dagangan
Nusantara yang sangat akrab. Ini dibuktikan dengan kolonialisasi penduduk dari
Sayabiga atau Srivijaya di selatan Iran. Kajian daripada Prof Asyaari Muhammad
seorang ahli arkeologi UKM menunjukkan bahawa sememangnya hubungan
diantara Kerajaan Parsi dari dinasti awal lagi telah berlaku dengan Nusantara. Beliau
telah membuat perbandingan diantara tembikar berglaze biru yang dijumpai di
beberapa tapak di negara ini dengan yang terdapat di Parsi dan hasilnya ternyata
sama. Ini dapat menjelaskan puzzle mengapa banyak perkataan Parsi dalam
vocabulari bahasa Melayu selain bahasa Arab, antaranya ialah bandar, dewan,
domba, kahwin, kelasi, kenduri, medan, piala, nobat, pasar, nakhoda, saudagar,
pahlawan, jam, serunai kurma dan gandum . Catatan Arab tentang Kalah atau
Kedah pada era kegemilangannya ada menyatakan tentang barang yang
didagangkan di pasarnya. Menurut pencatat tersebut di pasar Kalah ada menjual
gandum dan kurma dan rakyatnya memakan gandum sebagai makanan ruji.
Darimanakah mereka mendapat gandum ini? Sudah tentu bukan ditanam di Kedah
kerana keadaan cuaca dan tanah di sini tidak sesuai untuk penanaman gandum
begitu juga Kurma. Sudah tentulah barangan ini diimport dari Parsi yang sehingga
sekarang adalah salah satu negara pengimport Kurma terbesar. Sekarang terpulang
kepada anda untuk menilai samaada benar atau tidak pelayar Srivijaya pernah
sampai ke Basra dan menjadi tentera upahan Dinasti Ummayyah. Apa yang saya
buat ialah mengemukakan kajian-kajian yang telah dibuat dan meurmuskannya
secara ringkas. Namun pencarian mengenai kemegahan Srivijaya masih belum
berakhir. Sebelum ini saya ada menyebut bahawa adanya perhubungan yang cuba
dibuat oleh Maharaja Srivijaya dengan pemerintah Khilafah Ummayyah di Banghdad
dan Damsyik. Sebenarnya kajian mengenai ini telah dibuat dan dibukukan oleh S.Q
Fatimi dan boleh dibaca dalam internet. Beliau telah menganalisis dua pucuk surat
yang dihantar dari Mihraj atau Maharaja Srivijaya kepada Khalifah. Satu surat
kepada Muawiyah Bin Abi Sufyan yang bertarikh 661 Masihi dan satu lagi surat
kepada Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar 717 masihi. Menurut Fatimi,
Raja al hind yang disebut dalam catatan-catatan Arab dalam surat ini adalah dari
Kerajaan Zabaj atau Srivijaya. Perlu diingat bahawa Zabaj sebenarnya lebih merujuk
kepada kawasan dalam pengaruh sebuah bangsa iaitu Javaka dan bukan nama
sebenar sebuah Kerajaan. Namun sebahagian ahli sejarah sepakat mengatakan
bahawa Maharaja Zabaj yang disebut-sebut dalam catatan Arab adalah maharaja
Kerajaan Srivijaya , kerana Javaka adalah panggilan orang-orang India dan Sri Lanka
kepada orang Melayu Nusantara dan bukan bererti orang Jawa dari pulau Jawa
sahaja. Surat pertama telah dicatatkan mengenainya oleh Al- Jahiz dalam kitabnya
Al hayawan. Menurut Jahiz, Abdul al Malik bin Umar melihat surat tersebut di
pejabat setiausaha Khalifah Muawiyah yang kemudiannya telah diberikan kepada
Abu yakub al Thaqafi yang kemudian pula memberikan kepada Al Haytham yang
menjadi sumber kepada Ibnu jahiz. Namun malangnya Jahiz hanya mencatat
mukaddimah surat tersebut sahaja dan tidak keseluruhannya. Catatan itu berbunyi:
ini surat dari Raja Al Hind, yang didalam kandangnya ada beribu-ribu gajah dan
istananya dibina dari emas dan perak yang berkilauan, yang dilayan oleh beribu
anak perempuan Raja-raja, yang menguasasi dua Sungai yang mengairi tanahtanah subur, kepada Muawwiyah Surat kedua ditemui dalam Al-Iqd al Farid oleh
Ibnu Rabbih sekitar 860-940 Masihi yang menyatakan bahawa sumbernya diperolehi
daripada Nuaim Bin Hammad. Nuaim menyatakan bahawa Raja Al Hind telah
menghantar sepucuk surat kepada Khlifah Umar Bin Abdul aziz seperti berikut: Dari
raja kepada Raja yang berketurunan dari seribu raja, yang kandangnya dipenuhi
dengan beribu gajah dan kawasan taklukannya adalah dua sungai yang mengairi
tanam-tanaman, wangi-wangian, pohon pala dan kapur wangi, yang wangiannya
semerbak sehingga 12 batu jauhnyakepada raja Arab, yang tidak menyekutukan
tuhan dari tuhan yang satu. Beta telah menghantar hadiah, yang tidak seberapa
sebagai tanda persahabatan dan beta harap agar anda menghantar seseorang yang
dapat mengajarkan ajaran Islam serta menunjukkan undang-undangnya. (ini
terjemahan saya sendiri berdasarkan terjemahan Inggeris). Ada beberapa persoalan
yang perlu dirungkaikan mengenai surat ini. Yang pertama ialah siapa sebenarnya
maharaja yang bersedia memeluk agama Islam tersebut., yang kedua adakah benar
bahawa ada salah seorang maharaja Srivijaya telah diislamkan, dan persoalan
ketiga mengapa ada banyak persamaan diantara surat Maharaja atau Mihraj ini
dengan surat-surat yang dihantar oleh Prester John? Persoalan pertama dan kedua
sebenarnya telah cuba dijawab oleh S.Q Fatimi, jadi saya tidak mahu menyentuhnya
disini kerana tidak mahu memanjangkan artikel. Yang ingin saya sentuh adalah
persoalan ketiga, yakni adanya persamaan diantara diskripsi atau gambaran
tentang kerajaan Prester John dengan kerajaan Mihraj Al Hind atau Srivijaya/ Zabaj.
Prester John dan Maharaja Srivjaya Beberapa abad setelah seorang maharaja
menghantar surat kepada Khalifah di Baghdad, perkara yang sama juga telah
berlaku kepada kerajaan Byzantine di Barat dan juga kepada Pop. Seperti dalam
surat Mihraj, surat Prester John turut menyebut mengenai hadiah kepada
pemerintah yang menerima surat tersebut. Namun ini adalah perkara biasa dalam
perhubungan diantara satu pemerintah dengan pemerintah yang lain. Surat Prester
John juga sebenarnya mempunyai mukaddimah yang berbunga-bunga sepertimana
surat yang pernah dihantar oleh Maharaja kepada Khalifah. Apa yang menariknya
kedua-dua pemerintah misteri dari timur ini menggelar diri mereka sebagai raja
segala raja atau King of kings/ Malik al amlak. Kedua-dua raja ini juga menyatakan
dalam suratnya bahawa mereka mempunyai gajah-gajah yang banyak dalam
kekuasaan mereka. Tambahan lagi kedua-dua pemerintah tersebut dengan bangga
menyatakan bahawa mereka mempunyai Istana dari logam-logam berharga seperti
emas dan perak. Jika dalam surat Maharaja, baginda telah meminta agar
dihantarkan orang utuuk mengajarkan mengenai ajaran dan hukum Islam,
manakala dalam surat Prester John pula baginda meminta agar diajarkan tentang
ajaran Kristian Katholik. Dalam satu versi lain oleh Ibnu Tighribi mengenai surat
kepada Umar abdul aziz, dibahagian akhir suratnya berbunyi: "I have sent you a
present of musk, amber, incense and camphor, Please accept it, for I am your
brother in Islam." This would imply that the Mihraj had accepted Islam. Menurut
S.Q fatimi, berkemungkinan besar memang Maharaja tersebut telah memeluk Islam.
Namun demikian setelah kematian baginda agama Islam tidak diamalkan oleh
penggantinya dan ditolak oleh pembesar-pembesar. Beliau menambah bahawa ada
campurtangan kerajaan Tang yang tidak ingin melihat orang Islam memonopoli
perdagangan di Selat Melaka.Tang dikatakan telah menghantar dutanya untuk
membuat kekacauan di Istana Srivijaya dan menghasut pembesarnya
memberontak. Seperti juga Maharaja Srivijaya atau Zabag, Maharaja misteri ini
turut mengamalkan polisi pintu terbuka demi kesejahteraan kerajaannya. Sifat
keterbukaan dan diplomatik ini memang bersesuaian dengan polisi yang sentiasa
diamalkan oleh kerajaan-kerajaan melayu di Nusantara terutama Srivijaya dan
Melaka. Polisi sebeginilah yang telah menyebabkan kerajaan Melayu terkenal di
seluruh dunia. Dalam surat tersebut juga ada menyatakan bahawa baginda adalah
penguasa dua sungai. Menurut S.Q, dua sungai yang dimaksudkan dalam surat
tersebut adalah sungai Batanghari di Jambi dan sungai Musi di Palembang.
Sebenarnya masih banyak misteri yang menyelubungi surat-surat dari Prester John
tersebut. Ada pendapat menyatakan bahawa surat-surat tersebut adalah saduran
daripada surat yang bertulisan Arab yang didapati dari negeri Arab yang
kemudiannya diterjemahkan kepada bahasa Latin. Pada pendapat saya dakwaan ini
berkemungkinan besar adalah benar. Hal ini ada kaitan dengan jarak masa diantara
surat Maharaja kepada Khalifah dengan surat Prester John kepada Pop dan Maharaja
Byzantine. Surat Prester John dikatakan dihantar semasa dunia Islam dan Kristian
sedang berkecamuk dalam peperangan salib. Ada kemungkinan bahawa surat-surat
yang asal sememangnya adalah surat kepada Khalifah yang disimpan salinannya di
perpustakaan di Syria atau Baitul Maqdis. Setelah Baitulmaqdis ditawan, maka ahli
Sejarah Kristian yang menjumpai surat ini bertindak mengubah isi kandungannya
untuk kepentingan politik dan propaganda Kristian. Jika tealahan saya ini benar
bermakna Prester John yang disebut-sebut oleh orang Kristian barat selama ini
adalah Maharaja Srivijaya itu sendiri. Berbanding dengan catatan dari pencatat
Arab yang hanya mengandungi mukaddimah surat berkenaan sahaja, catatan
Kristian mengenai Prestor John adalah lebih lengkap ( kononnya). Dalam salah satu
surat yang dihantar kepada maharaja Byzantine, Prester John telah dikatakan
mengutuk tindakan Byzantine membantu armada Salib menyerang Jeruselem.
Namun apa yang pasti dalam surat yang sama juga Prester John ada menyatakan
bahawa pada suatu masa nanti ketururunan beginda akan menyerang dan
menawan kembali Jeruselem dan Rome di akhir zaman. Bukankah ini bertepatan
dengan Hadis tentang Bani Tamim dari timur? NAMUN DEMIKIAN JANGAN KITA CEPAT
TERPEDAYA DENGAN SURAT-SURAT VERSI BARAT YANG BEGITU BANYAK DI PASARAN.
Malahan sejak dari abad ke 13 lagi kisah-kisah lagenda mengenai Kerajaan Prester
John telah menjadi rebutan para bangsawan dan keluarga diraja serta orang-orang
yang mampu membeli buku. Ia seolah-olah menjadi sebuah novel terlaris di pasaran
pada ketika itu dan dikatakan telah wujud pelbagai versi yang berlainan dari satu
negeri ke negeri yang lain diseluruh Eropah. Oleh kerana itu kesahihan surat
tersebut tidak dapat dibuktikan lagi. TELAH BANYAK TOKOK TAMBAH DIBUAT.
heran kalau armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan
membawa komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempahrempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin,
kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya, banyak pendatang dari
mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga. Beragam
jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan
yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan.
Beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari
China. Tak heran kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning
langsat dan bermata sipit. Apabila para bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis
pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah keturunannya. Nasib ribuan
pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi pasukan
Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka
harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang
jelas, sebagian dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para
bajak laut asal China yang menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun
lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu Majapahit. Keganasan para perompak
itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang
dan memerangi mereka. Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho,
lalu alih usaha di daratan, beranak pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka
memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China,
dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas perompak yang berangasan. Sebuah
tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I,
Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan
adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka
dan Preman Palembang yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian
yang lebih mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka
adalah keturunan pasukan Majapahit yang menetap disana. Secuil peninggalan
berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum Bala
Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang,
yaitu Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan
Badaruddin II, namun semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya
pemerintah untuk menyatukan ketiganya, dan menamai museum itu Museum
Sriwijaya. Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa
barang antik telah pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung
adalah padang perburuan bagi kolektor dan pedagang barang antik. Kini tak lagi
tersisa. Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya? Itulah pertanyaan yang hingga kini
masih menggantung, karena belum juga ditemukan peninggalan istana atau kraton.
Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit, istana tersebut
dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya
juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak
lengkapan temuan arkeologis tersebut menyebabkan para peneliti kesulitan
menyusun sejarah kemunculan dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap
dan runtut. Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari
pengelana asing, seperti dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari
masa Sriwijaya di Palembang. Empat situs diantaranya memiliki penanggalan
sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi Angsoka, prasasti Kedukan Bukit,
situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa prasasti juga telah
ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para
pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung,
Riau, dan Thailand. Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan
Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan,
Raja Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti
Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa
Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa
pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah,
seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya
juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat
dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra
semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman. Kenapa? Karena
lokasinya jauh dari gunung. Kabar terakhir datang dari Malaysia. Raimy Che-Ross,
peneliti Malaysia, pada tahun lalu menemukan sebuah kota yang hilang di
pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari sebuah naskah kuno milik
Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi
yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra
Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612,
Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang
hilang sebagai Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan,
pasukan Cola bergabung dengan Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya
pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi kota mati, dan tak lama kemudian
dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu digempur pasukan China
pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja Aditiawarman dari
Kerajaan Melayu. Sriwijaya telah hilang ditelan zaman Menurut budayawan dan
ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanifah kepada Kompas,
kebesaran Sriwijaya benar-benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang
Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda. Beberapa candi
dan peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan
alasan teologis. Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa
Sriwijaya tak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang, ujarnya.
Kebesaran Sriwijaya memang benar-benar telah hilang dimakan nafsu para
penjarah, perselingkuhan politik kekuasaan, penyebaran agama baru, dan lalu
musnah ditelan zaman. Kota Palembang yang kini kian metropolis dan hingar bingar
membuat peninggalan masa lalu jadi bertambah kesepian. Pertanyaan penting:
Masih adakah spirit untuk membangkitkan kembali kebesaran masa lalu di hati
sanubari masyarakat Sumatra Selatan, khususnya penduduk Palembang?
Walahualam. Sumber: http://www.akemapa.com Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sriwijaya : pusat agama,
perdagangan, militer Asia Tenggara. Seberapa dekat kita dengan bahari ? Armada
Selama 200 tahun kejatuhannya, Sriwijaya sempat dikuasai para perompak China,
sampai Chengho dan pasukannya datang, menghentikan kebringasan mereka. So,
darah biru, darah ksatria (dan darah bandit) beranak pinak di sana. Sriwijaya
menjadi pengendali rute perdagangan rempah yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Pelabuhan dan gudang perdagangan dibangun untuk melayani
pasar Tiongkok dan India. Tahun 903, penulis muslim, Ibnu Batutah, sangat terkesan
dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah. Faktor2 yang mendorong Sriwijaya menjadi
kerajaan besar : letaknya yang strategis di jalur perdagangan, kemajuan pelayaran
dan perdagangan antara China dan India melalui Asia Tenggara, runtuhnya kerajaan
Funan di Indochina sehingga Sriwijaya bisa menggantikan perannya, Sriwijaya
mampu melindungi pelayaran, perdagangan di perairan Asia Tenggara dan
memaksa singgah di pelabuhan2-nya. Sejarah Malaysia terkait dengan sejarah
Indonesia. Malaka, kerajaan tertua di negeri jiran ini, pendirinya seorang pangeran
Palembang dari trah Sriwijaya (sesuai Hikayat Melayu). Pada abad 15, keagungan,
gengsi dan prestise Sriwijaya menjadi sumber legitimasi politik penguasa di
kawasan Asia Tenggara. Kesultanan Malaka mengontrol wilayah Semenanjung
Malaysia, Pattani (Thailand selatan) dan pantai timur Sumatera. Malaka menjadi
pelabuhan penting di tengah rute perdagangan China dan India. Pada abad 10,
tumbuh kota2 pelabuhan (Hindu Budha) seperti : Langkasuka & Lembah Bujang di
Kedah, Beruas dan Gangga Negara di Perak, Pan Pan di Kelantan. Islam baru tiba
abad 14 di Terengganu. Kekuatan militer Sriwijaya : di laut kita jaya. Negara adidaya
dengan kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya bukan milik AS dan
sekutunya ( PD I & II). Tahun 682, Sriwijaya (masa Sri Jayanasa) pernah mengirim
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti.
Kerajaan Tarumanagara ( Jawa Barat ) dan Kalingga pun runtuh (dikuasai Sriwijaya .
Setelah ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Malaya, Sriwijaya mengendalikan 2
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Pelabuhan Cham, timur Indochina
(abad 7) yang mulai mengalihkan banyak pedagang di Sriwijaya diserang
Dharmasetu ( maharaja Sriwijaya ). Kota Indrapura ( tepi Sungai Mekong ) jatuh ke
tangan Sriwijaya. Langkasuka di Semenanjung Melayu, Pan Pan dan Trambralinga
pun di bawah pengaruh Sriwijaya. Putri raja Kien-pi ( Jambi ), bawahan Sriwijaya,
menulis surat dan menyerahkan ( melalui duta besarnya ) 227 tahil perhiasan,
rumbia dan 13 potong pakaian pada kaisar Yuan Fong ( China ) pada tahun 1082.
Menurut sumber Tiongkok ( buku Chu-fan-chi ), tahun 1178, di kepulauan Asia
Tenggara, ada 2 kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni : San-fo-tsi ( Sriwijaya )
yang memeluk Budha, dan Cho-po ( Jawa ) yang memeluk Hindu dan Budha.
Sriwijaya ( masa Dharmasraya ) membawahi 15 daerah : Kamboja, Tambralingga
( Thailand ), Chaiya, Langkasuka, Kelantan, Pahang, Terengganu, ( muara sungai )
Dungun, Cherating, Semawe, ( sungai ) Paha, Lamuri ( Aceh ), Palembang, Jambi
dan Sunda ( Sin-to ) Sriwijaya mengandalkan hegemoni kekuatan armada laut
untuk menguasai jalur pelayaran, perdagangan dan membangun pangkalan
armadanya yang strategis untuk melindungi kapal2 dagang, memungut cukai dan
menjaga wilayah kedaulatan ( dan kekuasaannya ). Apa kata prasasti dan
singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya
kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan
jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya "....
banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama
satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". Tahun
683 M - Prasasti Kedukan Bukit Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M.
Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai
Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang.
Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 80 cm ini ditulis dalam aksara
Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang
memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan
Kejadian yang terjadi pada saat itu. Isi prasasti kedukan bukit yang telah di
terjemahkan: Tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan
penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang
berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti
di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683
Dapunta Hyang datang membuat wanua Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo Prasasti
ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis
Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm
ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam
prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan
taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon
yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra. Tahun 686 M Prasasti kota kapur Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan
ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian
puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur
karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat
Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der
Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang
yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang
Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik
untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di
ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang
Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja
Sriwijaya masuk islam Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman
yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul
Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang
memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus,
dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan
pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk
Khalifah Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya Surat
kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam
karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi : Dari Raja di raja... yang
adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhantuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda
persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukumhukumnya. Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina Sama hal nya
dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun
717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina
berupa ts'engchi Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya Hal ini di
dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor
saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti
Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya
disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya,
sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya
Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya di kisaran Tahun ini lah di
perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan
mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada
tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara
Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya Tahun 860 M Balaputradewa Naik Tahta Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di
Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di
Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja
di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari
sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan
sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan
Dewi Tara, anak Dharmasetu" Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa
Teguh dari Jawa Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari
dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan
dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling
mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di
kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan
Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan
di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk
menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan
Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil
menaklukkan Sriwijaya. Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh dalam
Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa
hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan
sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan.
Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut. Tahun 1003 M - Sri
dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer
memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan
Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya
emas telah meningkatkan prestise kerajaan. BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg
berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan
Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada
Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata. Abad ke-7
orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu
dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa
Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad
ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa
berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga
berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya
meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku
Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi
kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga
menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi
lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada
tahun 825. Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya Sebagaipusat pengajaran Budha
Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di
Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan
695 serta di abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan
dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa
Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke pulau ini menyebutkan
bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Relasi
Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional Dari catatan sejarah danbukti arkeologi
dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung
Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya
dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao disebutkan
bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu
Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan
surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg
diserahi urusan negara San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan
rumbia dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dgn pengiriman utusan
selanjut di tahun 1088. Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg
ditulis pada tahun 1178 Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia
Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya yakni San-fo-tsi dan Chopo (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama Budha dan Hindu
sedangkan rakyat San-fo-tsi memeluk Budha dan memiliki 15 daerah bawahan yg
meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-si-kia
(Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah
Terengganu sekarang) Ji-lo-ting (Cherating pantai timur semenanjung malaya)
Tsien-mai (Semawe pantai timur semenanjung malaya) Pa-ta (Sungai Paka pantai
timur semenanjung malaya) Tan-ma-ling (Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kialo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-lin-fong (Palembang) Kien-pi
(Jambi) Sin-to (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan (Kamboja).
DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut Arya Damar
sebagai bupati Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan
Bali pada tahun 1343 Prof. C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan
kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura sesuai dgn manuskrip yg terdapat pada bagian belakang Arca
Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yg kemungkinan
ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang. Pada
tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi
dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg
dikenal dgn nama Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
raja Melayu di Dharmasraya seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan
selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari dan
setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta memberikan tanggung jawab
kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk kembali
menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya
sudah tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn
Nagarakretagama yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit. Perdagangan
Kerjaaan Sriwijaya Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan Tiongkok yakni dgn penguasaan atas selat Malaka
dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi
seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan timah yg
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia
Tenggara. Pengaruh Budaya dan Agama Islam Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula
oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425
Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja
Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara. Sangat
dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan
di Asia Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai
dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan
ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yg semula merupakan bagian dari
Sriwijaya kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya. Pengaruh orang muslim Arab
yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri Indrawarman
masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial
Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim
sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di
Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin
Abdul Aziz (717-720M) dgn permintaan agar khalifah sudi mengirimkan dai ke
istana Sriwijaya. Raja-raja Sriwijaya : Para Maharaja Sriwijaya Tahun Nama Raja
Ibukota Catatan Sejarah 671 Dapunta Hyang Sri Jayanasa Srivijaya Catatan
perjalanan I-tsing di tahun 671-685Prasasti Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684)
dan Kota Kapur Penaklukan Malayu penaklukan Jawa 702 Sri IndravarmanChe-li-tole-pa-mo SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 702-716 724Utusan ke Khalifah
Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz 728 Rudra VikramanLieou-teng-weikong SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 728-742 743-760 Tidak ada berita
pada periode ini Pindah ke Jawa Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
760 Maharaja WisnuDharmmatunggadewa Jawa Prasasti Ligor A menaklukkan
Kamboja. 775 Dharanindra Sanggramadhananjaya Jawa Prasasti Candi Kalasan 778
782 Samaragrawira Jawa Prasasti Nalanda 792 Samaratungga Jawa Prasasti Karang
Tengah tahun 824.825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur Kebangkitan
Wangsa Sanjaya Rakai Pikatan 835 Balaputradewa SrivijayaSuwarnabhumi
Kehilangan kekuasaan di Jawa dan kembali ke SrivijayaPrasasti Nalanda (860) 860960 Tidak ada berita pada periode ini 960 Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-litan SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 960 & 962 980 Hie-tche (Haji)
SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 980 & 983 988 Sri CudamanivarmadevaSe-lichu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 988-9921003990 Jawa menyerang Srivijaya pembangunan kuil utk Kaisar China Prasasti
Tanjore atau Prasasti Leiden (1044) pemberian anugrah desa oleh raja-raja I 1008
Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 1008
1017 Sumatrabhumi SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 1017 1025
Sangramavijayottungga SrivijayaSan-fo-tsi Diserang oleh Rajendra
ColadewaPrasasti Chola pada candi Rajaraja Tanjore 1028 Dibawah Dinasti Rajendra
Coladewa dari Koromandel 1079 Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
PalembangPa-lin-fong Utusan ke Tionkok 1079Memperbaiki candi Tien Ching di
Kuang Cho (dekat Kanton) 1100 Rajendra II PalembangPa-lin-fong 1156 Rajendra III
Bila pesta di air Musi Selesai di tahun djanji Gadis berkerudung bukakan tirai
Budjang Palembang meminang ke Uluan Pada puisi yang kedua ini tak hanya
mengkiaskan tentang besarnya fungsi Sungai Musi sebagai bagian dari sejarah
masyarakat setempat, namun juga berkisah tentang hiruk pikuk perkembangan dan
permasalahan Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan peradaban dari
Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian memuat tentang keragaman budaya serta
persatuan masyarakat Sumatera Selatan dalam menghalau dan melindungi Kota
Palembang dari ancaman penjajah dan penyelundup dari luar. Memang takkan
pernah habis kata untuk mengulas perjalanan sejarah dari kota tua yang satu ini,
dimana tempat bertemunya berbagai unsur budaya sejak zaman kejayaan
imperium maritim nusantara Kerajaan Sriwijaya, mungkin sebagian dari kita tak
banyak yang tahu dan mengenal eksistensi dari kerajaan ini, karena dari beberapa
buku pelajaran sejarah yang disajikan untuk SD, SMP hingga bangku SMA terkadang
bahasan mengenai kerajaan yang satu ini tidaklah diulas dengan lebih rinci, hal ini
dikarenakan memang sulitnya para pelaku dan peneliti sejarah untuk mencari buktibukti fisik peninggalan kejayaannya, dan juga sebagai imbas dari politik masa lalu
negara ini yang cenderung untuk tidak mengangkat kearifan lokal yang berasal dari
luar (maaf) Pulau Jawa. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dimana
peradaban Melayu bermula, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M)
yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang
menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang
merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5
bulan Ashada tahun 605 Syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir
Kota Palembang. Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg
di tepi Sungai Kedukan Bukit (Pada masa silam di sebut Sungai Melayu), yakni
diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan
menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Palembang dari masa ke
masa menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk di Asia Tenggara, sebagai
persinggahan bagi kapal-kapal yang melintasi rute perairan Selat Malaka, hal
tersebut menjadi daya tarik bagi para pendatang baik dari China, India maupun dari
dataran Timur Tengah hingga dari "Benua Biru" Erofa, baik untuk berdagang
maupun untuk menjajah. Sehingga pada saat ini, di Kota Palembang khususnya kita
bisa menemukan percampuran budaya yang dibawa oleh berbagai etnis pendatang
tersebut. Sebagai salah satu bukti, berikut saya kutip dari beberapa artikel sejarah
mengenai dua pucuk mukadimah surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah
Ummayyah di Baghdad dan Damsyik. Surat pertama ditujukan kepada Khalifah
Muawiyah Bin Abi Sufyan tahun 661 Maseh. Surat tersebut ditemui dalam sebuah
diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui
Abu Yayub Ats Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al Haytsam bin Adi. Al
Jahizh yang mendengar surat itu dari Al Haytsam menceritakan pendahuluan surat
itu sebagai berikut: Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu
gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri rajaraja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada
Muawiyah Dan surat yang kedua dari Maharaja Sri Indrawarman ditujukan
kepada Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar Abad ke 8 masehi ,
yang didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al
Iqd Al Farid. Berikut kutipan terjemahannya: Dari Raja di Raja yang adalah
keturunan seribu raja kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada
Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi
sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya
seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada
saya hukum-hukumnya. Bukanlah tujuan saya untuk berlebih-lebihan dalam
memaparkan tentang ulasan singkat dari Sejarah Sriwijaya, namun demikian
sejarah telah mencatatkan. Dari beberapa keterangan dan sumber kajian yang
pernah saya baca, baik itu dari artikel, buku ataupun ulasan-ulasan singkat para
bloger yang masih peduli akan sejarah, telah disebutkan bahwa pada masanya
Kerajaan Sriwijaya adalah satu-satunya kerajaan nusantara yang berhasil
menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara dan Asia Tenggara, seperti yang
kita ketahui bahkan pengaruhnya sampai ke India, Indochina, China, Srilanka,
Maladewa, Persia (Iran), Iraq, Semenanjung Arab (Timur Tengah) hingga ke
Madagaskar dan Benua Afrika. Sejarawan juga bersepakat bahwa penaklukan dan
pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas sebagian besar Wilayah Nusantara inilah yang
menjadi cikal bakal penyebaran dari budaya dan bahasa Melayu di Nusantara,
hingga menjadi budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara pada masa itu
hingga saat ini. Dari abad ke abad, seiring pergantian pangku kekuasaan baik dari
penguasa pribumi/putrajaya ataupun penguasa dari bangsa-bangsa penjajah,
eksistensi dari Budaya dan Bahasa Melayu sebagai budaya dan bahasa "bilingual"
pemersatu Nusantara semakin meluas dan berasimilasi/bercampur dengan budaya
dan bahasa setempat di Wilayah Nusantara. Kemudian menjelang masa
kemerdekaan, Bahasa Melayu yang berakar dari Bahasa Melayu Sumatera dijadikan
sebagai sumber utama bagi lahirnya Bahasa Resmi Negara Indonesia, dan juga
sebagai rujukan utama bagi Bahasa Resmi negara-negara tetangga kita seperti
Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, bahkan negara termuda nomor dua di
dunia pecahan dari NKRI yaitu Timor Leste hingga saat ini mayoritas masyarakatnya
masih mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Tidak hanya
sampai disitu, kejayaan Palembang sebagai pusat dari peradaban sebuah bangsa
terus berlanjut, setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat serangan dari tiga
kerajaan yang berselisih kekuasaan, diantaranya Kerajaan Cola dari India, Kerajaan
Siam dari dataran Thailand, dan Kerajaan Majapahit dari Tanah Jawa. Meskipun tidak
secara bersamaan, serangan dari ketiga kerajaan tersebut sangat berpengaruh bagi
kemunduran Kerajaan Sriwijaya, dan menyebabkan daerah-daerah kekuasaan dari
Kerajaan Sriwijaya mulai terpecah dan memisahkan diri dari pengaruhnya pada
abad ke 14. Pakaian Adat Sumatera Selatan Keadaan ini sehingga memaksa
seorang pewaris tahta dari Kerajaan Sriwijaya yaitu Pangeran Parameswara dengan
para pengikutnya hijrah ke Semenanjung, dimana ia singgah lebih dahulu ke Pulau
Temasik dan mendirikan Kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah
Pangeran Parameswara mendapatkan serangan dari orang-orang Siam. Dari
sering mengirim utusan 6). O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, suatu
Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, h l m 323. Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya
terbatas dalam bidang perdagangan, akan tetapi juga dalam bidang militer untuk
menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. Sriwijaya di Sumatera
Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting
dalam perdagangan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya
dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang
Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer
tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka. 7) Idem, hlm 1. Seterusnya dikatakan:
raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan
kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militemya bergantung kepada kapalkapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhodanakhoda kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.
8) Sung Shih, Suma Oriental, hlm. 235-236. Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur,
malah mengatakan bahwa: untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha
mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan
khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain,
mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua
menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan
9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, hlm 106. Sejarah telah mencatat
bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai ke
Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan
Arab merupakan mitra dagangnya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya
belum menetapkan peraturan tertulis (perjanjian dagang) mengenai cukai dagang,
perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan
dagangnya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan
yang tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan
dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan
monopoli perdagangan telah dijadikan alasan yang sengaja dibuat oleh pihak asing
untuk melakukan serangan terhadap post-post dagang Sriwijaya, mitra dagang
yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi selama
dua abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit
menentang monopoli pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagarsaudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri. 10). O. W.
Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, hlm
336. Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang
tidak dapat lagi dielakkan. Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya
dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting
dalam sejarahnya, yaitu: 1. Prasasti (batu bersurat) di Muara Takus; 2. Prasasti (batu
bersurat) di Telaga Batu, Palembang; 3. Prasasti (batu bersurat) di Kota Kapur, Pulau
Bangka. Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah
mempengaruhi mentalitas bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan
kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan melelahkan itu telah
banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban
yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini
telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran
ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga
mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya
sendiri. Sumber: http://achmadyani.wordpress.com Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Pengaruh Kerajaan Sriwijaya
Membawa Budaya Melayu Ke Nusantara dan Asia Tenggara Oleh Zaki Setiawan
Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenal sebagai Palembang di
Sumatra. Pengaruhnya amat besar meliputi Indonesia, Semenanjung Malaysia dan
Filipina. Kerajaan yang menjadi cikal bakal Melayu tua ini menjadi sponsor utama
penyebaran budaya dan bahasa melayu. Walaupun tidak mengklim sebagai sumber
dari budaya melayu seperti di Semenanjung Melayu, tetapi kemelayuan kerajaan
Sriwijaya tidak dapat dtolak. Bahkan peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas
budaya melayu jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim
sebagai kerajaan melayu di seperti Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan
Kerajaan Kedah. Kekuasaan Sriwijaya merosot pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya
mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari
(Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia
Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan
laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung
dan lukisan, dan hikayat. Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India,
pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha.
Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya
merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun
abad ke-7 hingga abad ke-9. Pada masa yang sama, agama Islam memasuki
Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang
Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara,
memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan
Kesultanan Melaka. Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana
disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat
pembeljaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah
diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan
hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri
Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya
kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya
melemah dan takluk di bawah Majapahit. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671
sesuai dengan catatan I-tsing. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan
merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar
wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya
mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas
tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah
Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara
saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi
kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota
diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap
diperintah oleh datu setempat. Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah
pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah
meningkatkan prestise kerajaan. Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang
berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan aksi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat
dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim
di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di
abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera
yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara
dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini
pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa
disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Ekspansi kerajaan ini
ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan
reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan
Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan
beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan
dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium
Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama. Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak
melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan
Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur
di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825. Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan
Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi,
Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13. Dari catatan sejarah dan
bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas
pengaruh politik, sosial, budaya dan ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan
Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan
Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal
yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi
kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India. Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing
Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini,
memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa
(pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan
menjadi daerah bawahan. Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah
jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat
Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan
dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860
mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas
Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian
menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan
di abad ke-11. Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun
kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan
Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini
memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan
dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam
kerajaan. Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan
lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903,
penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya.
Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara
Jambi dan Kedah. Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan
arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya,
penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coeds pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu. Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri
Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga
bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad
ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan
sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Di samping
Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai
sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan