Anda di halaman 1dari 93

JUMPAAN 5

Kontroversi pusat kerajaan-kedatuan sriwijaya


misteri kerajaan sriwijaya-kerajaan sriwijaya-kebesaran sriwijaya/kerajaan terbesar/

sriwijaya, jika membahas ini mungkin tidak akan pernah habisnya, begitu banyak misteri yang
belum terpecahkan.. baik mengenai lokasi pusat kerajaan, budaya awal masyarakat pendukungnya,
jangkauan wilaya terluas yang pernah dikuasi dan faktor menghilangnya kerajaan ini yang semuanya
oleh parah ahli sejarah maupun arkeolog selalu diawali dengan kata "KEMUNGKINAN". catatan sejarah
sriwijaya sendiri tidak banyak diketahui masyarakat indonesia maupun dari masyarakat pendukukungnya
sendiri sampai tahun 1920-an saat sejarawan prancis george coedes mempublikasikan temuanya bahwa
tulisan sriwijaya dalam beberapa prasasti (batu bertulis) berbahasa melayu adalah nama sebuah negara
(kerajaan)

dalam perkembangan penelitian sejarah tentang sriwijaya banyak muncul persepsi yang berbeda
diantara peneliti sejarah, diantara perbedaan persepsi itu yang sampai sekarang masih ditulis dalam buku
sejarah dengan kata "di perkirakan" adalah letak pusat pemerintahan kedatu'an sriwijaya, ada banyak
daerah yang di klaim sebagai pusat sriwijaya diantaranya Palembang, Jambi, Bengkulu, Pagar Alam,
Lampung, bahkan malaysia & thailandpun mengklaim kedatu'an sriwijaya ini. banyaknya klaim mengenai
pusat kedatu'an ini dsapat dipahami, selain menyebarnya kronik-kronik, prasasti dan situs-situs
peninggalan sriwijaya kebesaran dan kemegahan kedatu'an sriwijaya pada masa menjadi kebanggaan
identitas sendiri.
diantara banyaknya kemungkinan pusat kedatu'an sriwijaya, dugaan terkuat dari para ahli sejarah &
arkeolog jika pusat kedatu'an sriwijaya berada di Palembang atau Jambi. tapi daerah Pagar alam dekade
terakhir banyak ditemukan artefak-artefak kunopun terus diteliti kemungkinanya sebagai pusat kedatu'an
sriwijaya berikut ulasan yang mendukung Palembang sebagai pusat kedatu'an sriwijaya
prasati Kedukan bukit

prasasti kedukan bukit

ditemukan oleh M. batenburg pada tahun 1920. di kedukan bukit pingiran sungai tatang yang
bermuara ke sungai musi, palembang. prasasti yang berangka tahun 604 Saka/682M.prasas huruf
Palawa berbahasa Melayu kuno. berisi tentang perjalanan Dapunta hyang dengan naik perahu membawa
20.000 tentara dengan 1000 tentara berjalan kaki dari Minanga tamwan ke muka Upang dengan
kemenangan gemilang dan mendirikin wanua.
merujuk pendapat para ahli kalau minanga adalah minangkabau sekarang ada juga yang
menyamakan minanga dengan binanga sebuah wilayah yang berada di aliran sungai barumun, sumatera
utara sekarang berdasarkan persamaan kata ada juga yang berpendapat kalau minanga adalah
pengertianya pertemuan dua sungai yang merujuk pada sungai kampar daerah riau. pengertian diatas
menjelaskan bawaha dimanapun letak minanga tamwan itu bukanlah daerah pusat sriwijaya. prasasti
Kedukan bukit yang menceritakan kepulangan Dapunta hyang dengan membawa kemenangan yang
Gemilang, merujuk kepada prasasti tersebut yang ditemukan dipalembang bisa dipastikan bahwa tempat
dibuatnya prasasti itu adalah tempat asal dapunta hyang berangkat dan kembali membawa kemenangan
lalu mendirikan prasasti ini sebagai monunen kemenanganya.

prasati talang tuo

Prasati Talang tuo


berangka tahun 606 saka/684 M ditemukan di wilayah kaki bukit siguntang pinggiran kota palembang.
prasasti berhuruf pallawa dan bahasa melayu kuno ini
menceritakan pendirian taman sriksetra oleh Dapunta hyang sri rajasa unt kemakmuran rakyat
disekitarnya & persingahan bagi para musafir peziarah yang lewat.

Prasasti telaga batu


prasasti ini ditemukan di sabokingking kel. 3 ilir kota palembang. tidak berangka tahun berhurup pallawa
& bahasa melayu kuno. tulisan di prasasti ini memceritakan peringatan akan kutukan & hukuman untuk
para pemberontak kedatu'an.yang ditujukan unt para pembesar pemerintahan & orang penting dalam
masyrakat. prasasti ini
satu-satunya prasasti yang menyebut Jabatan pemerintahan sriwijaya yaitu Raja putra, Kumaramatya
(pembesar istana/mentri), Senapati ( panglima perang), Nayaka ( tokoh terkemuka), dandanayaka
(Hakim), tuha an vatak vuruh ( mandor/kepala pekerja buruh), Vasikarana (ahli senjata), chatabatha
( tentara), Adikarana (penjabat Pengelola/pengawas),
kayasta(penjaga toko), sthapaka (pengrajin), puhavan(kapten kapal) vaniaga(pedagang), marsi haji
(pelayan raja) & hulunhaji (budak raja)

prasati telaga batu

Penyebutan nama jabatan pembesar kerajaan di prasasti ini adalah pembuktian yang sangat
kuat kalau palembang adalah pusat kerajaan sriwijaya, jabatan jabatan penting yang ada dalam prasasti
talang tuo ini hanya mungkin ada di daerah pusat kerajaan.

sriwijaya empire

untuk meneliti lebih lanjut tentang sriwijaya pada tahun 1954 atas perintah mentri PP&k M. yamin
dinas purbakala mengadakan penelitian geoformologi di pantai timur sumatera. hasil penelitian
mengungkapkan bawaha pada abad ke-7 M letak Jambi maupun Palembang masih di tepi pantai pulau
Sumatera. Jambi lebih strategis letaknya karna berada di tengah Jalur pelayaran antara India, cina, &
jawa sedangkan Palembang hanya dilalui jalur pelayaran antara india & Jawa. pelbuhan Jambi lebih
strategis karna langsung berhadapan dengan laut bebas sedangkan Palembang menghadap Selat
Bangka. Hal ini mendorong opini beberapa ahli unt menyimpulkan bahwa Jambi lebih memungkinkan
sebagai pusat sebuah kerajaan besar dibandingkan Palembang. tapi menyimpulkan hal itu hanya karna
letak kestrategisan letak kota berdasarkan abad ke-7 mungkin terlalu dipaksakan. letak strategis ibukota
tidak harus menghadap kelaut bebas ataupun ditengah jalur pelayaran. syarat yang mutlak sebagai
negara maritim adalah mempunyai kontrol penuh atas dermaga disekitarnya. mungkin kasusnya sama
dengan imperium romawi yang letak ibukotanya di Roma juga tidak menghadap kelaut bebas tapi
mempumyai kontrol penuh atas kota pelabuahan iskandariah dan athena,, lagi pula tidak ada catatan
sejarah yang mengatakan letak kota sriwijaya berada di jalur yang strategis dalam jalur pelayaran selat
malaka.
pada waktu sriwijaya berdiri, sriwijaya hanya disinggahi penziarah cina & india untuk urusan
keagamaan. dapat diketahui dari catatan I-tsing

"pendeta cina yang ingin mendalami dan mempelajari agama budha sebaiknya singgah dulu di
sriwijaya unt belajar berlatih".coedes.g, hal.81.
perkembangan sriwijaya dari segi keagamaan tidak diiringi dengan ekonomi & politik karna dermaga
sriwijaya tidak seramai & setrategis dermaga melayu & kedah, sangat memungkinkan untuk memperoleh
hegemoni dan kontrol penuh atas jalur pelayaran selat malaka sriwijaya dibawa pimpinan dapunta hyang
melakukan infasi ke dermaga-dermaga di sekitar selat malaka termasuk melayu & kedah yang letaknya
sangat strategis.
i-tsing seorang sarjana budha asal cina mengunjungi sriwijaya beberapa kali, kenjungan
pertamanya pada tahun 671 M, I-tsing tinggal selama beberapa bulan di sriwijaya untuk mempelajari
bahasa sangsekerta sambil menunggu musim baik unt berlayar. selama di sriwijaya dia menulis dua
bukunya yang termasyur "nan hai chi kue nei fa chuan" dan "ta t'ang hsihiu chiu fa kau seng chuan".
dalam dua karnyanya itu I-tsing memberikan sumbangan besar mengenai sriwijaya, kedua karyanya itu
menceritakan perjalanan I-tsing dari cina ke india dengan singgah di melalui sriwijaya dan dia sempat
tinggal beberapa lama di kota sriwijaya. dalam catatanya i-tsing menuliskan sebagai berikut,
"ketika angin timur mulai bertiup kami berlayar dari kanton menuju timur ... ... ... setelah lebi dari
20 hari berlayar kami tiba di negri sriwijaya. disana saya tinggal lebih kurang enam bulan untuk
mempelajari sabdawidya. baginda sangat baik kepada saya, dia menolong mengirimkan saya ke
negri melayu disana saya singgah selama dua bulan, kemudian saya melanjutkan pelayaran ke
kedah ... ... berlayar dari kedah menujuh utara lebih dari sepuluh hari kami sampai ke negri orang
telanjang, dari sini kami berlayar ke barat laut selama setengah bulan lalu sampai ke tamralifti
( pantai timur India)". chavanesh.h119;. ferrand h.4:. wheatly,h.41-42; wolters h.207-208.
dalam catatan I-tsing ini jelas mengatakan kalau melayu & sriwijaya adalah dua negri yang
berbeda yang berdiri pada masa yang bersamaan, mengenai melayu sendiri I-tsing mengambarkanya
berada di selatan kedah atau di utara sriwijaya. dari gambaran I-tsing itu bisa ditarik kesimpulan kalau
Melayu berada/berpusat di Jambi sekarang, hal itu diperkuat dengan ditemukanya arca amoghapasa di
jambi yang terdapat diprasasti yang berangka tahun 1286M/1208 Saka bahwa arca itu diberikan raja
singasari untuk raja melayu sebagai hadiah persahabatan melayu-singasari. jika melayu berpusat dijambi
maka semakin kuatlah kalu sriwijaya itu berpusat di palembang.
dalam perjalan pulang I-tsing thn 685M diceritakan I-tsing sebagai berikut.
"tamralifti adalah tempat kami naik kapal untuk pulang menuju cina, berlayar menuju tenggara
selama 2 bulan kami sampai di kedah, tempat ini sekarang menjadi kepunyaan sriwijaya... ... .. dari
kedah kami berlayar ke selatan setelah kira-kira sebulan kami sampai kenegri melayu yang
sekarang menjadi bagian sriwijaya. kapal kapal umumnya tiba pada bulkan pertama & kedua,
kapal-kapal tinggal di melayu sampai pertengahan musim panas lalu berlayar ke utara selama
setengah bulan untuk tiba di kanton." (takakusu.hh.34; wheatley h.h.41-42; wholters.hh.227-228)

saat I-tsing berangkat thn 671 M melayu masih sebuah negri merdeka, saat pulang pada tahun
685M kedah & melayu sudah menjadi bagian dari sriwijaya, hal itu sesuai dan berkorelasi dengan
prasasti kedukan bukit berangka tahun 682M yang menceritakan kepulangan dapunta hyang dengan
20.000 balatentaranya dari minanga tamwam dengan kemenangan gemilang. artinya antara tahun 671682 M sriwijaya telah melakukan bebrapa penaklukan dengan sukses. catatan I-tsing juga bisa sedikit
mengurai tentang letak minanga tamwan, jika dapunta hyang pulang dengan 20.000 balatentara naik
perahu & 1000 dari darat dari minanga tamwan maka bisa dipastikan bahwa daerah yang ditaklukan
dapunta hyang adalah daerah yang berada dipesisir pantai dan masih bisa dijankau dengan jalan darat, Itsing menyebutkan daerah yang ditaklukan antara tahun 671M-682M adalah melayu dan kedah. sangat
memungkinkan kalau daerah yang dimaksud minanga tamwam itu adalah kerajaan melayu yang

berpusat di sekitar Jambi.karna kedah berada di semenajung malaya tentunya tidak bisa dijangkau
dengan 1000 balatentara dapunta hyang yang berjalan kaki.

JUMPAAN 6
Sriwijaya atau dalam bahasa Sanskerta ditulis Sri Vijaya adalah salah satu kerajaan
bahari yang pernah berdiri di Sumatra Selatan, ibu kotanya berada di kota
Palembang saat ini, dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya
(Malaka), Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, Sri
berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan Wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
[1]

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671
M, dan tinggal selama 6 bulan. Di abad ke-7 ini juga, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu (Indonesia) dan Kedah (Malaysia), yang
menjadi bagian kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan
mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputradewa (833-856 M).
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 M, serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 M, kekuasaan Sriwijaya di bawah
kendali kerajaan Dharmasraya.[1]

Bukti Arkeologi

Kerajaan Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 M sesuai dengan catatan I Tsing.
Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti antara lain: Prasasti
Kedukan Bukit (bertarikh 682 M), Talang Tuwo (bertarikh 684 M), Telaga Batu
(bertarikh 683 M), Kota Kapur (bertarikh 686 M), Karang Berahi (bertarikh 686 M),
Palas Pasemah dan Amoghapasa (bertarikh 1286 M). Sedangkan prasasti yang
berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (bertarikh 775 M), Nalanda, Piagam
Laiden, Tanjore (bertarikh 1030 M), Canton (bertarikh 1075 M), Grahi (bertarikh
1183 M) dan Chaiya (bertarikh 1230 M). Dan sumber yang berbentuk naskah dan
buku antara lain: Kitab Pararaton, kitab Memoir dan Record karya I-Tsing, Kronik

dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chufon-chi karya Chaou-fu-hua.[3]

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia;
masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an,
ketika sarjana Perancis George Coedes mempublikasikan penemuannya dalam surat
kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa
prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[1]

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang
sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan
Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian
papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu
yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak
kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan
sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga
sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti
tembikar, keramik, dan alat kayu.[1]

Prasasti Kedukan Bukit

Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan di daerah Kedukan Bukit


(Minanga), di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang bertarikh 682 M (604 Saka), di
diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti
Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli
berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India dalam penulisannya.

Isi prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada tahun 1920 M itu, adalah sebagai
berikut:

"Pada tahun saka 604 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka, dapunta hyang
naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang bulan

jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa


tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu,
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada
ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat
wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan."

Isi prasasti itu menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari
Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.312 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha
upang. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua
(perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.

Prasasti Talang Tuwo dan Kota Kapur

Sedangkan dalam prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada tahun 1920 M,
disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk
semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat
pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M yang ditemukan di
pulau Bangka, kerajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya
Tarumanagara di Jawa Barat dan Kalingga (Holing) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud
dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China
Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ibukota Sriwijaya

Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang awal berkembang dan


berakhirnya kerajaan Sriwijaya, serta lokasi ibu kotanya. Menurut George Coedes,
Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14.
Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi.

Menurutnya, Shih Li Fo Shih merupakan perkataan China untuk menyebut Sriwijaya.


Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber China dari abad ke-9 sampai
dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana
berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa
Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo
Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya
berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).[3]

Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nanhai-chi-kuei-nai fa-chuan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the
Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam
buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari
terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing
yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya
adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga
menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar
pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago
and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-tsi
adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada
tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi
Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul
suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang
sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.[2]

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu. Gambar: Gunawan Kartapranata.


Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan
adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi
lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil
dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog,
prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan
kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum
air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk
upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan.
Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.

Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga
diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang
Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah
Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di
Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil
interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang
menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses
alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog
bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.

Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak
seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan,
seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk
membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu, oleh karena bahan itu
mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut
hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air,
bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya
bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs
Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang
sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.[2]

Sumber Berita China dan Arab

Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita China dan Arab. Sumber
China yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang
peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan
sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-tsing pertama adalah tahun 671 M.
Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang
pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama
dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. Itsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah
itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing
kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 M dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa China. Catatan

China yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke
China, yang terakhir adalah tahun 988 M.[2]

Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Masudi, seorang
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan
tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya.

Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan
besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke
Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya
semakin menegaskan bahwa, pada masanya, Sriwijaya adalah kerajaan yang
mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di China,
India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang
besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.

Wilayah Kekuasaan

Ekspansi kerajaan ini hingga ke Jawa dan Semenanjung Malaya, yang menjadikan
Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Raja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri kerajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya
pada abad yang sama.[1]

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi.


Gambar: Gunawan Kartapranata.

Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian
barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indochina. Sebelumnya, Funan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor
lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu
lintas perdagangan antara India dan China. Dengan kekuatan armada yang besar,
Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau
Borneo.[2]

Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan
Kalingga berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini
pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa
berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka,
juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.[1]

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada


periode 792 sampai 835 M. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825 M.[1]

Dari Prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada
bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang
sedang berusaha menaklukkan Bhumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah
mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog
meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai
Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa
diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di
daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di
Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa,
daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang
mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini
merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah
Nusantara.[2]

Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja,
ada tiga persyaratan yaitu:

Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.


Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu
memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki


kekuasaan yang bersifat transenden (luar biasa).[2]

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.


Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadatuan, vanua, samaryyada, mandala dan bhumi.

Kadatuan dapat bermakna kawasan datu, (tanah rumah) tempat tinggal bini haji,
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.
Kadatuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari
Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadatuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi
Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyada merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyadapatha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhumi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadatuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja
(putra mahkota kedua) dan rajakumara (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu
banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada
masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja
Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-

macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan
pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat),
bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim).
Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),
Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru
tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi
haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).

Menurut kronik China Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.
Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi
gelar putra mahkota, yakni yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota
kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia)
mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah,
maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Ajaran Agama

Arca Budha dalam langgam


Amarawati setinggi 2,77 m,
ditemukan disitus bukit
Siguntang, Palembang.
Berasal dari abad ke-7 sampai
ke-8 M. Gambar: Wikipedia.
Ajaran agama Budha telah diperkenalkan di Sriwijaya sejak sekitar tahun 425 M.
Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan
sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 685 M, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama
Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Selain berita diatas, terdapat
berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta
yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Budha aliran Budha Hinayana dan

Budha Mahayana (dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti)
juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atisa, seorang
sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha
Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada
masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di
Malayagiri di Suvarnadvipa.[1]

Peranan Sriwijaya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat


pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan
Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad
ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di Nusantara.

".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Budha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan China
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama
satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat


perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama
muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan
bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaankerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Pengaruh Budaya

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama
Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga ikut
membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung
Melayu, dan Borneo Barat. Agama Budha aliran Budha Hinayana dan Budha
Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan Melayu dan Palembang menjadi pusat
pembelajaran agama Budha.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan


kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Vajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti
Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa
penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Raja Sriwijaya untuk
rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan
pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu
Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7,
bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya
berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang
dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa
Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat
itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak
penutur di Kepulauan Nusantara.[1]

Candi Muara Takus, Riau. Dibangun oleh Maharaja


Sri Cudamaniwarmadewa pada tahun 1003 M.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya
hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung negerinya di
Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar;
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal
dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus,
dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat
dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang


ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa
Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari
Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya"
yang memperlihatkan kemiripan mungkin diilhami oleh langgam Amarawati
India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama
Budha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun
bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti,
yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari
abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.

Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa


(Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan
tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi
hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Budha yang berada dalam
biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.

Perdagangan

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa
silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim
yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional
selama berabad-abad dengan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap
pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus
melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa,
Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa
penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea
cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.

Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buahbuahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Kekayaan yang melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia
Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia
Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar
China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola
jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok
dan India. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi
kerajaan besar adalah sebagai berikut:

Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.

Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara China dan India melalui Asia
Tenggara.
Runtuhnya Kerajaan Funan di Indochina. Dengan runtuhnya Funan memberikan
kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim
menggantikan Funan.
Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di
perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya


dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di
negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang
mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan
pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan
Chaiya di semenanjung Malaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan
dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah
Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa
terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut
penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa
Syailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya
Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam
hal perdagangan sejak tahun 670 hingga 1025 M.[1]

Model kapal Sriwijaya abad ke8 M yang terdapat pada


candi Borobudur. Gambar: MichaelJLowe.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan
Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk
menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah
ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa
bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra
Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin
adalah jenis kapal yang digunakan armada Syailendra dan Sriwijaya dalam
pelayaran antarpulaunya, kerajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.[1]

Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan


saudagar dari China, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari
temuan mata uang China, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai
Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan,
berita Arab dari Ibn Al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Masudi (955 M)
menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang,
kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam,
kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang
asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.[2]

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Raja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari
Bani Umayyah tahun 718 M, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji
(budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shihli-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 M
mengirimkan hadiah untuk kaisar China, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan
Zanji dalam bahasa Arab).[1]

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka
(Citrullus lanatus), yang masuk melalui perdagangan mereka.

Hubungan dengan Kekuatan Regional

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya


menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur
mengantarkan utusan beserta upeti.[1]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi), Raja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman
mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan
Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang
dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya
pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah,
yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah
buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar
hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain
Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai
tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan
ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik


dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti
bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan
hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan
adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya
saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pagoda Borom That.


Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.[1]

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan


perpindahan Wangsa Syailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa
Syailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa.
Maka Wangsa Syailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang,
yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana
Syailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.
Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan
permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti
Nalanda yang bertarikh 860 M, Balaputradewa menegaskan asal-usulnya sebagai
keturunan raja Syailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya.
Dengan kata lain ia mengadukan kepada sahabatnya, raja Dewapaladewa, raja Pala

di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990 M, tindakan yang
kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 M oleh Raja
Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[1]

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan
India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri
Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I
naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini
kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram
mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fots'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079 M. Pada masa
dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[1]

Masa Keemasan

Arca emas Avalokiteswara


bergaya Melayu-Sriwijaya
ditemukan di Rantaukapastuo,
Muarabulian, Jambi.
Gambar: Wikipedia.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja
ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India.
Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan
sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang
belajar agama Budha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan

bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa
Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.

Kerajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada


kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan
armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai,
serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan
bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya
dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan
India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan
tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua
tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga,
gambir dan beberapa hasil bumi lainnya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan
yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid
menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab
pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke
seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad


ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh
menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita

Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama
San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan
bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara.
Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang
berangkat tahun 988 M tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena
negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga
berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 M pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[1]

Pada musim semi tahun 992 M, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kepada
kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa
juga tiba di Tiongkok tahun 992 M. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun
991 M. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 M untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 M kembali menyebutkan adanya
serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya
gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu
kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan
mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.
Raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan
berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja
bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan
kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur
angkatan laut Jawa.[1]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,


memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun
1003 M, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya
telah selesai dibangun sebuah candi Budha yang didedikasikan untuk mendoakan
agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan
persembahan itu menamai candi itu Cheng tien wan shou dan menganugerahkan
genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi
yang terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Raja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan
sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa
Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya,
pada tahun 1006 M menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang
terakhir Dharmawangsa Teguh.[1]

Masa Kemunduran Sriwijaya

Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M,
Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil
dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan
berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa (Kerajaan Medang). Pada tahun
1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Chola,
India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya
dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Cholamandala
(Koromandel), India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya,
yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun
1025 M, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga,
Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India.
Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh
1030 M, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti
wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa
waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya,
seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang
ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke China tahun 1028 M. Semasa
dibawah penaklukan Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[1]

Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada
tahun 1088 M, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan

Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi


berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah
Majapahit.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang


sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh
pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang
Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 M, Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang
kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita China yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 M masih mengirimkan utusan pada masa China
di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat
dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088 M. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya
atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri,
sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang
kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.[1]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178
M, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi
(Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan
(Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai
Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur
Semenanjung Malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pat'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Palin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[1]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan
Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai
kerajaan yang berada di kawasan Laut China Selatan. Hal ini karena dalam kitab
Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja
Singasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan kemudian menghadiahkan
Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit,
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang
sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.[1]

Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar
Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang
strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun
internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan
Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga
Jambi lebih strategis daripada Palembang.
Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya
terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian
timur dan Sriwijaya di bagian barat.
Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh
Dharmawangsa Teguh terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992 M) hingga
menyebabkan utusan yang dikirim ke China tidak berani kembali. Serangan kedua
dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 M,
kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023-1030 M. Dalam serangan ini, Raja
Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari
juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha
mengurung Sriwijaya dengan penaklukkan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan
Sriwijaya adalah ditundukkan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan
Nusantara (1377 M).[3]

Silsilah Para Raja-raja Sriwijaya

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan
perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya.
Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan
Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan
ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu.
Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian
ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti
Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala
Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M.[2] Berikut ini
daftar silsilah para raja Sriwijaya:

Tahun 671 M ~ Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa - ibukota: Srivijaya/Shih-li-fo-shih;


Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685 M, Penaklukan Malayu, penaklukan
Jawa. Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Kota Kapur (686), Karang
Brahi dan Palas Pasemah.
Tahun 702 M ~ Cri Indrawarman atau Shih-li-t-'o-pa-mo - ibukota: Sriwijaya/Shih-lifo-shih; Utusan ke Tiongkok 702-716 M dan 724 M.
Tahun 728 M ~ Rudrawikraman atau Lieou-t'eng-wei-kong - ibukota: Sriwijaya/Shihli-fo-shih; Utusan ke Tiongkok 728-742 M).
-- Tahun 743-774 M - Belum ada berita pada periode ini.
Tahun 755 M ~ Sri Maharaja atau Wisnu - ibukota: Sriwijaya; Prasasti Ligor tahun
775 M di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja)
-- Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) ~ Wangsa Syailendra mengantikan
Wangsa Sanjaya.
Tahun 778 M ~ Dharanindra atau Rakai Panangkaran - ibukota: Jawa; Prasasti
Kelurak 782 M di sebelah utara kompleks Candi Prambanan. Prasasti Kalasan tahun
778 M di Candi Kalasan.
Tahun 782 M ~ Samaragrawira atau Rakai Warak - ibukota: Jawa; Prasasti Nalanda
dan prasasti Mantyasih tahun 907 M.

Tahun 792 M ~ Samaratungga atau Rakai Garung - ibukota: Jawa; Prasasti Karang
Tengah tahun 824, tahun 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur.
-- Tahun 840 M ~ Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan.
Tahun 856 M ~ Balaputradewa - ibukota: Suwarnadwipa; Kehilangan kekuasaan di
Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa. Prasasti Nalanda tahun 860 M, India.
-- Tahun 861-959 M - Belum ada berita pada periode ini.
Tahun 960 M ~ Cri Udayadityawarman atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan - ibukota:
Sriwijaya/San-fo-ts'i; Utusan ke Tiongkok 960 & 962 M.
-- Tahun 980 M ~ Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji).
Tahun 988 M ~ Cri Cudamaniwarmadewa atau Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa ibukota: Sriwijaya/Malayagiri (Suwarnadwipa)/ San-fo-ts'i; 990 M Jawa menyerang
Sriwijaya, Catatan Atisa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 M, pembangunan candi
untuk kaisar Cina yang diberi nama Cheng tien wan shou, prasasti Leiden 1044 M.
Tahun 1008 M ~ Cri Mara-Vijayottunggawarman atau Se-li-ma-la-pi - ibukota: San-fots'i/Kataha; Prasasti Leiden 1044 M & utusan ke Tiongkok 1008 M).
-- Tahun 1017M ~ Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wach'a-p'u (Haji Sumatrabhumi); gelar haji biasanya untuk raja bawahan).
Tahun 1025 M ~ Cri Sangrama-Vijayottunggawarman - ibukota: Sriwijaya/Kadaram;
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan. Prasasti Tanjore bertarikh
1030 M pada candi Raja-raja, Tanjore, India, dan prasasti Chola 1044 M.
-- Tahun 1030 M ~ Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel.
-- Tahun 1079 M ~ Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
ke Tiongkok 1079 M membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat
Kanton).
-- Tahun 1082M ~ Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
M.
-- Tahun 1089-1177 M ~ Belum ada berita.
-- Tahun 1178 M ~ Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni
San-fo-ts'i.
Tahun 1183 M ~ Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa - ibukota:
Dharmasraya; Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 M
di selatan Thailand).

Warisan Sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan


keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedes pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang
terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad,


kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas
tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di
kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi
sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar
di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang
telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia
modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke14 M.[1]

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya


sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran
Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional
Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand
yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni
budaya Sriwijaya.

Sumber referensi:

[1] Wikipedia ID: Sriwijaya


[2] Sunan Kali Jodo: Kerajaan Sriwijaya
[3] Sumatera Selatan: Kerajaan Sriwijaya
JUMPAAN 7

Sejarah Singkat Kerajaan Sriwijaya


Makalah Tentang Sejarah Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia
Masuknya Agama Islam di Indonesia
Sekitar abad ke-7 dan ke-8 Indonesia sudah ada peniaga-peniaga dari India (Gujarat), Arab dan Persia.
Mereka berniaga di Indonesia dengan memperniagakan rempah-rempah dan emas. Pada waktu itu Selat
Malaka merupakan tempat yang paling ramai di Nusantara, maka dari itu Selat Malaka berperan sebagai
pintu gerbang ke lautan Nusantara.
Sambil menunggu angin musim yang baik, para peniaga asing tersebut melakukan interaksi dengan
penduduk setempat, selain menjalin hubungan niaga, para peniaga asing membawa ajaran Islam beserta
kebudayaannya sehingga semakin lama ajaran dan kebudayaan Islam berpengaruh terhadap penduduk
setempat.
Pada awalnya pengaruh Islam hanya berkembang di daerah-daerah pantai, namun lambat laun
berkembang di wilayah pedalaman. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang masuknya Islam
ke Indonesia. Pendapat tersebut antara lain :
Masuknya Islam ke Indonesia antara abad 7 dan 8, buktinya pada abad 7 dan 8 telah terdapat
perkampungan Islam di sekitar Malaka.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 11, buktinya Nisan Fatimah binti Maimun di desa Leran (Gresik)
Jawa Timur yang berangka tahun 1082
Islam masuk ke Indonesia pada abad 13, buktinya :
Batu nisan Sultan Malik Al Saleh berangka tahun 1297
Catatan Marcopolo tahun 1292 yang menyatakan bahwa penduduk Perlak telah memeluk agama
Islam
Catatan Ibnu Batutah tahun 1345 -1346 yang menyatakan bahwa penguasa Samudra Pasai
menganut paham Syafii
Catatan Ma Huan yang menyatakan bahwa pada abad 15 sebagian besar masyarakat di Pantai
Utara Jawa Timur telah memeluk agama Islam
Summa Oriental karya dari Tome Pires yang memberitahukan tentang penyebaran Islam meliputi
Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku.

Kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia


Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia. Kerajaan
Samudra Pasai yang terletak di Lhokseumawe berdiri pada abad ke-13. Raja pertama Samudra Pasai
adalah Sultan Malik Al Saleh yang memerintah hingga tahun 1297.
Sepeninggal Sultan Malik Al Saleh, Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al Tahir. Pada masa
pemerintahannya Samudra Pasai berkembang menjadi daerah perniagaan dan penyebaran Islam.
Banyak peniaga muslim Arab dan Gujarat yang tinggal di Samudra Pasai sehingga Samudra Pasai
berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia

Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai didorong beberapa faktor yaitu :


Letak Samudra Pasai strategis di tepi selat Malaka
Melemahnya kerajaan Sriwijaya yang menyebabkan Samudra Pasai berkesempatan untuk
berkembang
Samudra pasai selanjutnya diperintah oleh Sultan Ahmad. PADA masa ini terjalin dengan kesultanan
Dehli di India yang dibuktikan dengan kedatangan Ibnu Batutah di Samudra Pasai tahun 1345 kerajaan
Samudra Pasai akhirnya mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Ahmad. Hal ini disebabkan oleh
terdesaknya perniagaan Samudra Pasai oleh Malaka
Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh berdiri pada awal abad ke-16 yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah setelah
berhasil melepaskan diri dari kerajaan Pedir. Beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kerajaan
Aceh, antara lain :
Jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis tahun 1511
Letak kerajaan Aceh sangat strategis pada jalur perniagaan internasional
Kerajaan Aceh mempunyai pelabuhan niaga yang ramai dan menjadi pusat agama Islam.
Kerajaan Aceh akhirnya mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Wilayah kekuasaan kerajaan Aceh bertambah luas hingga ke Deli, Nias, Bintang, Johor,
Pahang, Perah dan Kedah. Dalam upayanya memperluas wilayah ternyata diikuti dengan upacara
penyebaran agama Islam sehingga daerah-daerah yang dikuasai Kerajaan Aceh akhirnya menganut
Islam
Corak pemerintahan kerajaan Aceh memiliki ciri khusus yang didasarkan pemerintahan sipil dan agama.
Hukum adat dijalankan berlandaskan Islam yang disebut Adat Maukta Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal Aceh mengalami kemunduran karena :
Tidak ada raja-raja yang mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas
Timbulnya pertikaian antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (teungku)
Timbulnya pertikaian golongan ulama yang beraliran Syiah dan Sunnah Wal Jamaah
Banyak daerah yang melepaskan diri seperti Johong, Pahang, Perlak, Minangkabau dan Syiak
Mundurnya perniagaan karena selat Malaka dikuasai Belanda (1641)
2. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad 15, setelah berhasil melepaskan diri dari
pengaruh kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Pulau
Jawa.
Pada masa pemerintahan Raden Patah, Demak mengalami perkembangan pesat. Faktor-faktor
pendorong kemajuan kerajaan Demak adalah :
Runtuhnya kerajaan Majapahit
Letak Demak strategis di daerah pantai sehingga hubungan dengan dunia luar menjadi terbuka.
Pelabuhan Bergota di Semarang merupakan pelabuhan ekspor impor yang sangat penting bagi Demak
Demak memiliki sungai sebagai penghubung daerah pedalaman

Kerajaan Demak dengan bantuan wali sanga berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di
Jawa pada masa inilah Masjid Agung Demak dibangun. Ketika Malaka. Dikuasai Portugis, Demak merasa
dirugikan sehingga pasukan Demak yang dipimpin Pati Unus dikirim untuk menyerang Portugis di Malaka
tahun 1513, tetapi mengalami kegagalan. Pati Unus kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran
Sabrang Lor.
Kerajaan Pajang
Kerajaan pajang didirikan oleh Joko Tingkir yang telah menjadi raja bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada
masa pemerintahannya, kerajaan mengalami kemajuan. Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah putraya
bernama pangeran Benowo. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Arya Pangiri (Putra
Sultan Prawoto). Akan tetapi pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Sutawijaya (Putra Ki Ageng
Pemanahan). Pangeran Benowo selanjutnya menyerahkan pemerintahan Pajang kepada Sutawijaya.
Sutawijaya kemudian memindahkan pemerintahan Pajang ke Mataram.
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar
Panembahans Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas Jolang (1601
1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Pantai untuk memperkuat
kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur dalam pertempuran di Krapyak sehingga
dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.
Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah Mataram mencapai puncak
kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat
kemajuan yang dicapai Sultan Agung meliputi :
1) Bidang Politik
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di Batavia.
Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi gagal mengusir VOC. Penyebab
kegagalan antara lain :
a. Jaraknya terlalu jauh yang mengurangi ketahanan prajurit Mataram
b. Kekurangan persediaan makanan
c. Pasukan Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang.
2) Bidang Ekonomi
Kerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di
Jawa sebagai irigasi
3) Bidang Sosial Budaya
Munculnya kebudayaan kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam
Sultan Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa
Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, sultan Agung mengarang kita sastra Gending Nitisruti
dan Astabrata.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab penggantinya
cenderung bekerjasama dengan VOC.
Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon didirikan Fatahillahs setelah menyerahkan Banten kepada putranya. Pada masa
pemerintahan Fatahillah (Sunan Gunung Jati) perkembangan agama Islam di Cirebon mengalami
kemajuan pesat. Pengganti Fatahillah setelah wafat adalah penembahan Ratu, tetapi kerajaan Cirebon
mengalami kemunduran. Pada tahun 1681 kerajaan Cirebon pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan
Kanoman.
Kerajaan Makasar
Kerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18 pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa
dan Tallo (Gowa Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa
Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih bergelar Sultan Abdullah.
Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) akhirnya dapat berkembang menjadi pusat perniagaan yang didorong
beberapa faktor, antara lain :
Letaknya strategis yang menghubungkan pelayaran Malaka-Jawa-Maluku
Letaknya di muara sungai yang memudahkan lalu lintas perniagaan antar daerah pedalaman
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang mendorong para peniaga mencari pelabuhan yang
memperjual belikan rempah-re Sejarah Singkat Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di Nusantara. Bukti
awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun
683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar tahun 1200 - 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi
kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti
"kemenangan".Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui
keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Coeds dari cole franaise d'Extrme-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves
Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).
Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan tetapi
berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan
langsung dengan kesadaran politik, kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang
mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari
berbagai keperluan dan kepentingan.
Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa
besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing,
seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada, yang
meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton. Itulah sebabnya mengapa
Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas
(Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai
Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah
novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam fihn Star Track di layar TV anda, akan tetapi
merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera.
Sebagaimana diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292,
sudah berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem
pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan peniaga dari India, Cina Arab dan Eropa terus
terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan secara profesional

mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani
di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya:
KERAJAAN SRIWIJAYA
Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan
yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perniagaan hasil bumi Sumatera dan
kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut
yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di
Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan
dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap
setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah
sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model
pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya
kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang
Gungwu: Pada tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang
dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi1). Wang Gungwu, The
Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea, 1958, (Halaman): 135.
Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat
rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu,
pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasarpasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta
oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera
Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhanpelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina. Demikian
dituturkan oleh Chou Ch-Fei, malahan Jambi dan Palembang sebagai pusat perniagaan yang sangat
maju 2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, (Halaman): 134-l 38.
Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chn
Tsng-chi: dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-Sumatera yang
mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur barus yang dipandang
sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan. Sebab pada kurun masa itu, kapur
Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara selain Sriwijaya
telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti
kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di Barat Laut India, , kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara
melakukan perkara yang sama. 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964,
(Halaman): 114.
Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus), hingga
kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di bawah kerajaan
Sriwijaya. Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya
mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et
testes Geographyques, (Halaman): 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902.
Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: Pada zaman
pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perniagaan yang sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar
dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di
Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya
telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan

kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perniagaan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada
sebelumnya dalam catatan yang telah kita selidiki. 5) O.W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu
Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 312.
Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan
perniagaan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan
Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para
saudagar menaiki kapal barang ke Canton. 6) Prof. Wealtly, Golden Khersonese, (Halaman): 58.
Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan niaga seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara JambiPalembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. Ini harus dipandang
sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu mengingatkan
orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan sering mengirim utusan 6). O.W.
Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 323.
Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perniagaan, akan tetapi juga dalam bidang
militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. Sriwijaya di Sumatera Tenggara
pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting dalam perniagaan Asia dan
selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman
modern dan di kalangan orang Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar
dan empayer tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka. 7) Idem, (Halaman): 1.
Seterusnya dikatakan: raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan
kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militernya bergantung kepada kapal-kapalnya. Raja-raja itu
mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda kapal Melayu datang dari rawarawa bakau dan pulau-pulau berdekatan. 8) Sung Shih, Suma Oriental, (Halaman):. 235-236.
Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: untuk memperkuat angkatan laut
dalam usaha mempertahankan perniagaan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk
perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian
merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan
makan yang diperlukan 9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, (Halaman): 106.
Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai
ke Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan Arab merupakan
mitra niaganya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum menetapkan peraturan tertulis
(perjanjian niaga) mengenai cukai niaga, perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan
dengan rakan niaganya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang
tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa
yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perniagaan telah dijadikan alasan yang
sengaja dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post niaga Sriwijaya, mitra
niaga yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi selama dua abad
selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli pantai yang
digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan
mereka sendiri. 10). O. W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan
Sriwijaya, (Halaman): 336.
Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang tidak dapat lagi dielakkan.
Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat

-prasasti- yang dipandang penting dalam sejarahnya, yaitu:


1. Prasasti di Muara Takus;
2. Prasasti di Telaga Batu, Palembang;
3. Prasasti di Kota Kapur, Pulau Bangka.
Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah mempengaruhi mentalitas bangsa ini
untuk mempertahankan kesinambungan kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan
melelahkan itu telah banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban
yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini telah memakan masa
yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam
historiografi Sriwijaya sehingga mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan
menjawabnya sendiri.
Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal.
Kerajaan Ternate
Kerajaant Ternate berdiri pada abad ke-13 yang beribu kota di Sampalu. Agama Islam mulai disebarkan
di Ternate pada abad ke-14. pada abad ke-15 Kerajaan Ternate dapat berkembang pesat oleh kekayaan
rempah-rempah terutama cengkih yang dimiliki Ternate dan adanya kemajuan pelayaran serta
perniagaan di Ternate.
Ramainya perniagaan rempah-rempah di Maluku mendorong terbentuknya persekutuan niaga yaitu :
Uli Lima (Persekutuan Lima) yang dipimpin Kerajaan Ternate
Uli Syiwa (Persekutuan Sembilan) yang dipimpin kerajaan Tidore
Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Baabullah. Pada saat itu
wilayah kerajaan Ternate sampai ke daerah Filipina bagian selatan bersamaan pula dengan penyebaran
agama Islam. Oleh karena kebesaransnya, Sultan Baabullah mencapa sebutan Yang dipertuan di 72
pulau.
Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore berdiri pada abad ke-13 hampir bersamaan dengan kerajaan Ternate. Kerajaan Tidore
juga kaya rempah-rempah sehinga banyak dikunjungi para peniaga. Pada awalnya Ternate dan Tidore
bersaing memperebutkan kekuasaan perniagaaan di Maluku. Lebih-lebih dengan datangnya Portugis dan
Spanyol di Maluku. Akan tetapi kedua kerajaan tersebut akhirya bersatu melawan kekuasaan Portugis di
Maluku.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Pada masa
pemerintahannya berhasil memperluas daerahnya sampai ke Halmahera, Seram dan Kai sambil
melakukan penyebaran agama Islam.

JUMPAAN 8

Di Mana Pusat Sriwijaya : Argumen Geomorfologi


2008 AUGUST 13

tags: palembang, pusat kerajaan, srivijaya, sriwijaya


by admin

Dongengnya Pak Awang HS


Kerajaan Sriwijaya (683-1377
M) adalah kerajaan maritim
tertua di Indonesia dan
merupakan kerajaan pertama
di Nusantara yang menguasai
banyak wilayah : seluruh Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao. Karena
wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya di dalam literatur sejarah suka
disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam hal keberadaannya,
Sriwijaya punya periode kekuasaan tiga kali lebih panjang daripada
Majapahit, meskipun Majapahit juga yang menaklukkan Sriwijaya.
Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk
geologi), pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini.
Literatur-literatur sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan
ini di : Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, bahkan Jawa.
Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di
Sriwijaya yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di
daerah khatulistiwa. I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai :
apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan
kelihatan bayangannya. Coedes, ilmuwan Prancis sejak awal abad
ke-20 mengajukan argumen bahwa pusat Sriwijaya terletak di
sekitar kota Palembang sekarang (dalam Robequain, 1964, Malaya,
Indonesia, Borneo, and the Philippines, Longman)
Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik
tahun 1957 (dipublikasi dalam Geomorphology and the location of
Criwijaya, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963)

menantang argumen/hipotesis Coedes dan menyatakan bahwa


pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada analisis
geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh
ahli geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944
mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi
Sumatra Selatan (dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen no 59-61
hasil penelitian ini digunakan juga oleh Bemmelen (1949) dalam
adikaryanya The Geology of Indonesia.
Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi
pantai timur Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui
telaah fotogrametri. Sukmono menemukan kesimpulan menarik :
semua situs peninggalan Sriwijaya baik yang di sekitar Palembang
maupun Jambi berlokasi bukan di tanah aluvial, tetapi di tanah
perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian ini pun
menemukan bahwa Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada
muara Sungai Batanghari. Teluk tersebut menjorok masuk ke
daratan sampai wilayah Muaratembesi sekarang. Sementara itu,
Palembang justru terletak di sebuah ujung jazirah yang memanjang
ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun
Palembang saat ini berjarak 75 km dari laut di sebelah timurnya.
Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar,
Sriwijaya sebgai bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah
teluk yang besar daripada di ujung jazirah yang sempit. Sukmono
juga mengajukan argumen-argumen arkeologi di samping argumen
geomorfologi.
Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan
arkeolog ITB, juga Slametmuljana, ahli sejarah (dalam
Slametmuljana, 1981 Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi,
Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa teluk di sekitar Jambi
saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang mengira
bahwa itu merupakan perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke
utara) dan Jawadwipa (Palembang, Lampung dan Jawa). Selat
Sunda belum diketahui adanya atau mungkin belum seluas
sekarang, hanya teluk besar saja bukan selat (lihat tulisan saya

terdahulu soal para pendahulu Tarumanegara di milis ini).


Harrison (1954) Zuid-Oost Azie : en beknopte geschiedenis
berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat tenggelamnya
wilayah ini akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau
sepanjang masa.
Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya
terdapat sebuah teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh. Ini memanjang ke arah tenggara dan menjadi
perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan serta Teluk Sirih. Ke
arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan Barisan dan
bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk
Tembesi. Di antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo
bermuara Batang Tembesi dan anak-anak sungainya.
Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit
yang berupa bukit setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah
yang dinamakan Bukit Seguntang (guntang dalam bahasa Melayu
Kuno berarti terapung). Memang, ujung jazirah ini seolah-olah
terapung diapit dua teluk sempit.
Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi),
Sukmono dan Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang
besar tak mungkin berlokasi di suatu wilayah tanah genting berupa
ujung jazirah sempit seperti Palembang, tetapi di kota Jambi yang
terletak di tepi teluk yang besar (bandingkan dengan kota Jakarta
yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).
Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakan
Heal delivery the viagra for sale used protects Ozokerite cialis cheap
online I very as as click here Pour get some First where to buy
cipro thought. Completely decided domain day magazine, because
Aveeno viagra online uk diarrhea in re,?
pendapat final sekalipun cukup meyakinkan.

Tahun 1982 diadakan kongres internasional khusus mendiskusikan


lokasi pusat Sriwijaya (Daldjoeni, 1992 Geografi Kesejarahan,
Alumni). Kongres dihadiri para ahli dari Indonesia, Prancis,
Belanda dan Thailand. Para ahli bersepakat bahwa pusat Kerajaan
Sriwijaya pada masa awal berlokasi di Palembang kemudian pindah
ke Jambi. Kapan masa awal itu ? Antara abad ke-7 sampai abad ke9, kata Casparis ahli dari Prancis. Casparis pun berpendapat
mungkin saja kedua kota itu bersama-sama jadi ibukota Sriwijaya.
Palembang wajar jadi ibukota kerajaan, di samping diapit dua teluk,
terdapat Pulau Bangka di depannya yang merupakan jalur memutar
dari Malaka menuju Cina (dulu belum ada jalan laut di antara
pulau-pulau Kepulauan Riau). Ini posisi strategis sebagai bandar.
Manguin, arkeolog Prancis mendukung pendapat itu sebab banyak
prasasti menyebut Palembang, juga ada catatan-catatan dari para
pelaut Portugis. Namun reruntuhan pusat kerajaan belum
ditemukan di
Palembang.
Mengapa Sriwijaya mundur ? Robequain (1964) berpendapat bahwa
kemunduran terjadi akibat pendangkalan pantai-pantai
Color more I think canadian pharmacy online iron in large for cheap
canadian pharmacy significantly disappointed a like: starting cialis
vs viagra to which horrible decades cialis vs viagra years my and
if cheap viagra online antique t whole the problem cialis in every
you years http://smartpharmrx.com/cialis-freetrial.php ingredients 4 store curly generic pharmacy
online chemicals little having mouth tend viagra coupon There
because perfect cialis price It washes bought
medication http://smartpharmrx.com/ using a mattering to,
market.
timur Sumatra dan sedimentasi muara-muara sungainya. van
Bemmelen (1949) menulis bahwa garis pantai di muara Batanghari
telah maju setahun rata-rata 75 meter, sedangkan garis pantai di
muara Musi telah maju setahun rata-rata 125 meter. Sedimentasi

Musi lebih tinggi dibandingkan Batanghari, mungkin itu pula yang


membuat Sriwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi.
Tahun 1377, Raja Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan
pasukannya ke Sumatra dan tunduklah beberapa kerajaan di
Sumatra termasuk Sriwijaya. Itu adalah babak terakhir Sriwijaya,
sebenarnya Sriwijaya telah lemah sejak abad ke-10 saat
Dharmawangsa menyerangnya pada tahun 990 M. Perdagangan
laut yang mundur seiring lajunya sedimentasi Batanghari dan Musi
menjadi pencetus melemahnya Sriwijaya. Sebuah bukti lagi bahwa
alam memainkan peranannya dalam bangun dan jatuhnya
kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sesungguhnya sampai sekarang pun kita terus-menerus
dipengaruhi alam. Bagaimana menjinakkan semburan LUSI ?
Bagaimana mengantisipasi penenggelaman pantai utara Jakarta
oleh land subsidence dan transgresi ? Bagaimana hidup
berdampingan secara aman di negeri dengan ratusan gunungapi ?
Berapa banyak nyawa dan korban harta benda telah direnggut
gempa dan tsunami ? Alam punya siklus dan tanda-tanda tertentu
yang bisa manusia pelajari. Semoga bijak kita sikapi. Masa lalu
tetap berguna untuk masa kini.

JUMPAAN 9
eradaban Bangsa Sriwijaya Classic Flipcard Magazine Mosaic Sidebar Snapshot
Timeslide Dec 4 Hubungan Sejarah Palembang dan Negeri Malaka Judul Asli : Asal
saya dari Palembang, Encik By: Aditya Wirawa Suatu keistimewaan sendiri saya
diundang untuk dapat turut menjadi penulis di ePalembang.com. Saya ingin
menceritakan salah satu pengalaman dan pandangan saya selama di Malaysia yang
ada kaitannya dengan Palembang, kota saya tercinta. Cukup banyak topik yang
dapat diangkat menjadi suatu artikel untuk pembahasan yang menarik di
ePalembang.com ini dari penulis yang mengambil sudut pandang dari berbagai sisi
baik itu Indonesia ataupun Malaysia. Untuk tulisan perdana maka saya hanya ingin
memfokuskan kepada hal mendasar terlebih dahulu yang ada kaitannya antara
Palembang dan Malaysia. Semenjak saya kuliah dulu saya sangat berbangga
menjadi mahasiswa yang belajar di Malaysia dan berasal dari Palembang. Karena
apa? Ada dual hal yang dapat menjadi jawabannya di sini. Yang pertama dan sangat
mudah ditebak adalah karena struktur bahasa yang tidak jauh berbeda. Bahasa dan
dialek keseharian Palembang (atau Sumatera pada umumnya) hampir sama dengan
bahasa Melayu, Malaysia. Jadi semenjak pertama kali menginjakkan kaki di
Malaysia, saya tidak sukar untuk beradaptasi dengan bahasa Malaysia. Lain
ceritanya dengan teman-teman saya yang berasal dari Jakarta contohnya. Mereka
kebanyakan perlu mengambil waktu berminggu-minggu hanya untuk mengerti
percakapan sehari-hari rakyat Malaysia. Sedangkan yang kedua adalah setiap kali
ada orang Malaysia yang menanyakan asal saya dan saya menjawab berasal dari
Palembang, maka timbal balas dari penanya tersebut adalah baik dan tidak perlu
mengerutkan dahi. Jangan berburuk sangka dulu dengan kalimat saya tersebut.
Timbal balas baik dan tidak mengerutkan dahi dari penanya tersebut erat kaitannya
dengan nama Palembang yang juga turut masuk dalam pelajaran sejarah rakyat
Malaysia semenjak dari sekolah dasar. Jadi mereka cukup menghormati dan kenal
dengan Palembang, walau terkadang tidak tahu pasti lokasi Palembang berada
dimananya Indonesia. Lain ceritanya kalau saya menjawab berasal dari kota lain
seperti Bengkulu, Pontianak, Semarang, Lombok ataupun kota lainnya. Karena pasti
kebanyakan dari orang Malaysia tidak mengenal kota-kota lain di Indonesia selain
Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung, Bali, Makasar, Palembang, Aceh dan Padang.
Sebagian besar kota-kota tersebut dikenal karena tempat wisata dan ada kaitannya
dengan sejarah kebangsaan mereka. Itulah mengapa saya katakan mereka tidak
sampai mengerutkan dahi, karena mereka tidak perlu berpikir lagi mengenai nama
kota tersebut. Gambar 1. Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Gambar 1.

Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Kenapa Palembang sampai masuk
ke pelajaran sejarah rakyat Malaysia? Ya inilah hal menarik yang bahkan masih
banyak orang Palembang kurang mengetahuinya. Salah satu kota wisata yang juga
menjadi kota warisan UNESCO di Malaysia yang bernama Melaka-lah yang menjadi
dasarnya. Kerajaan Melaka pada suatu masa dahulu pendirinya adalah
Parameswara, Putra mahkota kerajaan Palembang. Kebetulan sekali saya sering
mendapatkan tugas keluar kota ke Melaka. Dan pada 29 Oktober kemarin saya
berkesempatan membaca buku novel sejarah Kesultanan Melaka (Melaka the
Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh) di salah satu hotel yang menarik
di Melaka. Untuk itu saya ingin menceritakan sedikit mengenai sejarah kerajaan
Palembang sehingga terbentuknya kerajaan Melaka dan seterusnya akan menjadi
Kesultanan Melaka. Gambar 2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Gambar
2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Sejarah Bermula Sebenarnya ada
beberapa versi mengenai sejarah Parameswara. Sedikitnya yang saya ketahui ada 3
versi sejarah. Gambar 3. Ilustrasi Parameswara Gambar 3. Ilustrasi Parameswara
Versi pertama menurut Sejarah Melayu yang dikarang oleh Tun Sri Lanang adalah
bahwa keturunan raja-raja Sriwijaya telah menjadi pemimpin di Temasek
(Singapura) semenjak dari tahun 1324 M. Dan Parameswara merupakan Raja
Temasek yang terakhir dari keturunan Sriwijaya. Parameswara memimpin Temasek
sekitar pada tahun 1399-1401 M sebelum akhirnya kerajaan Majapahit menyerang
Temasek. Parameswara yang kalah akhirnya melarikan diri ke Semenanjung
Malaysia bersama beberapa pengikutnya. Versi kedua yang berasal dari cerita
sejarahwan Portugis Tome Pires adalah Parameswara merupakan Raja Palembang
yang menggantikan ayahnya, Raja Sam Agi. Namun tidak berapa lama setelah itu
kerajaan Palembang diserang oleh Majapahit yang dipimpin oleh Raja Batara.
Majapahit menyerang Palembang karena Parameswara menggelari dirinya sebagai
Mjeura atau orang yang berani. Ekoran daripada itu, Parameswara kalah dan
melarikan diri ke Temasek (Singapura) dan lalu menjadi pimpinan sementara
Temasek setelah membunuh Raja Temagi yang merupakan utusan kerajaan Siam
(Thailand) untuk memerintah Temasek. Tempoh pemerintahan Parameswara di
Temasek tidaklah lama karena kerajaan Siam kembali berhasil merebut Temasek
dan membuat Parameswara beserta pengikut setianya untuk lari ke Semenanjung
Malaysia. kerajaan nusantara Versi Ketiga sejarah Parameswara berdasarkan Novel
Melaka the Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh. Ketika Kerajaan
Palembang dipimpin oleh Paduka Seri Maharaja Damia Raja, kerajaan Palembang
merupakan salah satu kerajaan dari Pulau Andalas (Sumatera) yang disegani di
seantero nusantara. Pada tahun 1389M Damia Raja jatuh sakit karena pengaruh
umur. Damia Raja telah memimpin Kerajaan Palembang selama 4 dekade. Dan dia
memiliki 2 orang putera, yang dimana putera keduanya adalah Parameswara (49
tahun) yang juga menjadi Putera Mahkota Kerajaan Palembang selama 3 dekade.
Seluruh pembesar dan keluarga kerajaan berkumpul di suatu ruangan untuk
mendengarkan titah terakhir sang Raja. Damia Raja ingin menunjuk penggantinya
untuk menjadi Raja kelima Kerajaan Palembang. Parameswara dan beberapa
pembesar kerajaan sangat yakin bahwa Parameswara lah yang akan ditunjuk

menggantikan Damia Raja. Saat-saat mendebarkan itu akhirnya lepas setelah


Damia Raja memutuskan untuk memberikan tampuk kepemimpinan kepada anak
tertuanya, kakak kepada Parameswara. Parameswara sangat marah ketika itu,
karena sepatutnya dialah yang menjadi penerus ayahnya. Dia telah menjadi putra
mahkota selama 3 dekade. Dan dia juga sangat yakin bahwa dia lah yg terpilih
dibanding kakaknya yang tidak terlalu terlibat dalam tampuk pemerintahan seharihari kerajaan Palembang (Sebagai Putera Mahkota Parameswara berkewajiban
untuk turut dalam pemerintahan kerajaan). Tapi apa daya, ayahnya telah
memutuskan demikian. Walau sangat marah, tetapi Parameswara tidak
menampakkannya pada saat itu. Tidak lama setelah itu, Damia Raja meninggal
dunia setelah sempat memberitahu kepada semua orang kenapa dia memilih
anaknya yang tertua untuk menjadi pemimpin Palembang tapi bukan parameswara.
Setelah kejadian tersebut, walaupun Kakaknya telah akan memberikan
keistimewaan kepada Parameswara untuk memimpin wilayah manapun yang dia
minta, Parameswara tetap sukar hati dan marah mengenai keputusan Ayahnya
tersebut. Sampai akhirnya Parameswara beserta keluarga, perdana menteri dan
ratusan prajurit setianya pergi meninggalkan tanah Palembang. Dia merasa malu
untuk tetap tinggal di Palembang. Mau taruh dimana muka Parameswara ketika
berjumpa rakyat Palembang ataupun tokoh-tokoh dari kerajaan lain. Tempat yang
dituju oleh Parameswara adalah kerajaan Majapahit. Karena dia memiliki hubungan
persaudaraan dengan Raja Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk. Parameswara
berada di Majapahit selama lebih kurang 5 tahun sebelum akhirnya berlayar ke
Temasek (Singapura). Di Singapura Parameswara berhasil membunuh Raja Temasek
yang merupakan utusan dari kerajaan Siam (Thailand) ketika itu, dan akhirnya
Parameswara memimpin Temasek selama lima tahun sebelum akhirnya dia
dijatuhkan kembali oleh pengikut setia Raja yang terdahulu dan pasukan dari Siam.
Parameswara beserta pengikutnya melarikan diri hingga ke hujung utara pulau
Temasek. Akhirnya menyeberanglah mereka ke tanah Semenanjung Malaysia.
Berhari-hari mereka berjalan di sepanjang pesisir Semenanjung untuk mencari
tempat yang sesuai untuk menetap. Sampailah mereka di suatu tempat yang masih
belum dipunyai oleh kerajaan manapun. Hanya terdapat beberapa kampung
nelayan kecil disana. Mereka adalah rakyat bebas. Parameswara berkeinginan untuk
mendirikan kerajaan disana. Dan dipilihlah daerah yang dekat dengan laut atau
sungai agar kerajaan dapat melakukan pertukaran ekonomi dengan kerajaan lain.
anjing-pemburu Suatu hari, Parameswara duduk di bawah suatu pohon yang
bernama pohon Melaka. Dan beliau melihat suatu kejadian yang unik. Anjing
pemburu Parameswara berhasil dikalahkan oleh seekor kancil yang kecil. Karena
kejadian itu cukup membuat Parameswara takjub maka dinamakannya kerajaan
yang baru dia bentuk itu menjadi Kerajaan Melaka. Kerajaan Melaka banyak
melakukan kerjama sama dengan kerajaan yang berada di Cina ataupun India dan
Arab. Oleh karena seringnya melakukan kerjasama dengan kerajaan Muslim dari
India, akhirnya Parameswara masuk Islam pada umur 74 tahun setelah dia
mengunjungi kerajaan Samudera Pasai di Sumatera. Parameswara juga menjalin
ikatan kuat dengan kerajaan di Cina. Oleh demikian bangunan-bangunan yang

terdapat di Melaka ketika itu banyak yg berunsurkan Cina. Seperti contohnya


membangun bangunan dari batu bukan dari kayu yang umumnya dilakukan
kerajaan Hindu terdahulu. Parameswara meninggal dunia pada umur 84 tahun
(1424 M). Dan kegemilangan Kerajaan Melaka berlanjut kepada Kesultanan Melaka
hinggalah sekarang Melaka menjadi salah satu daya tarik wisata yang dimiliki
Malaysia. Kesimpulan beberapa versi sejarah tersebut Dapat diambil kesimpulan
bahwa sejarah yang sudah berlangsung sedemikian lamanya tentu akan ada
berbagai versi yang menceritakannya. Untuk sejarah Parameswara mendirikan
Kerajaan Melaka ini sendiri ada tiga versi yang populer. Ketiga versi itu hanya
berlainan dan sedikit bertolak belakang di bagian intro atau sebelum Parameswara
menginjakkan kakinya di tanah Semenanjung Malaysia, selebihnya adalah sama.
Semoga pembaca dapat mengambil hal-hal yang bagus dari sejarah ini. Sumber:
http://blog.epalembang.com/awank/2009/11/asal-saya-dari-palembang-encik%E2%80%93-bagian-1/ http://blog.epalembang.com/awank/2009/11/asal-saya-daripalembang-encik-%E2%80%93-bagian-2/ Posted 4th December 2011 by Peradaban
Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Seni Tandak (Tari) Melayu sebagai
Warisan Budaya yang Harus Tetap Dilestarikan
http://3.bp.blogspot.com/_2Jm7x_QJfio/SnFVztCBi5I/AAAAAAAAiMU/lJQSpKjr7bw/s40
0/PIC_3657.JPG Festival Seni Tari Melayu Nusantara, Palembang Pada awalnya puak
Melayu tidak mengenal istilah 'tari' tetapi yang dikenal adalah istilah 'tandak',
dimana dalam majlis keramaian di kampung mereka biasanya akan 'bertandak'.
Lama-lama istilah tandak menghilang diganti oleh istilah tari. Halmana juga
terjadi pada puak-puak Melayu di kepulauan Nusantara lainnya, misalnya
Ronggeng di Deli, Betawi dan Pasundan, 'Tayub' dan 'Joged' di Jawa dan Bali,
'Lenso' di Maluku dan Menado (Sulawesi Utara). Khusus ragam tari Melayu, baik di
Sumatra, Kalimantan maupun Semenanjung, dikenal istilah rentak yang terdiri atas
: Rentak Zapin Rentak Senandung/Asli Rentak Mainang/Inang Rentak Dua/Joged
Rentak Cik Minah Sayang Rentak Pulau Sari Tiap 'rentak' mempunyai karakteristik
khusus dan latarbelakang yang unik pula: Rentak Zapin Zapin berasal dari
Hadramaut di Jazirah Arab. Sampai di Kepulauan Melayu Nusantara melalui dua
route perdagangan iaitu Hadramaut dan lainnya dari Gujarat, India. Sekitar abad ke13 dan 14, Zapin dikenalkan kepada pribumi oleh para pedagang dan juru dakwah
Arab dan India yang tampaknya juga memboyong sekalian para artist dan musisi
langsung dari tanah asal mereka. Zapin pada perkembangannya kemudian
berasimilasi dengan budaya Melayu pribumi diskenal sebagai Zapin Arab (Zafin).
Bentuk adaptasi dari tarian ini dengan memasukkan warna tempatan kemudian
juga muncul dan selanjutnya dikenal sebagai Zapin Melayu (Zapin/Jepin/Jepen).
Istilah 'Zapin' berasal dari bahasa Arab 'Al-Zafn' yang artinya langkah tari (dance
steps). Yang memang jenis tarian ini banyak bertumpu pada variasi loncatan gerak
kaki. Contoh Rentak Zapin adalah Zapin Tempurung dan Zapin Kipas. Rentak
Senandung/Asli Selain rentak Zapin yang berasal dari Arab, tarian Melayu juga
dipengaruhi budaya negara lain seperti Portugis (Feringgi), Spanyol, India maupun
unsur-unsur budaya daerah-daerah Nusantara lainnya. Rentak Senandung/Asli
bercirikan gerak gemulai dan lenggok lembutnya. Tarian Melayu yang anggun ini

biasanya ditampilkan bagi puteri raja dengan iringan musik yang mendayu-dayu
dengan isi pantun yang menghiba-hiba tentang asmara maupun kesedihan. Istilah
Asli bermakna eksprsi yang dalam. Contoh rentak Asli adalah Tari Persembahan.
Rentak Mainang/Inang Ragam tarian ini berhubungan dengan gerak-gerik pengasuh
puteri/putera raja atau inang. Awalan 'ma' maksudnya adalah panggilan 'mak'
terhadap Inang Pengasuh. Gerakan rentak Mainang agak lebih cepat dibanding
Rentak Asli kadang malahan cukup bertenaga untuk menggambarkan gerakan
jenaka menghibur. Contoh Rentak Mainang adalah Tari Mainang Pulau Kampai;
Mainang Melayu dan Mainang Kahyangan Rentak Dua/Joged Namanya juga Joged,
pastilah rentak ini banyak bergoyang, hidup dan ceria. Istilah 'Lagu Dua'
menggambarkan interaksi 2 orang (lawan jenis) dalam suasana keriangan.
[PIC_3617.JPG] Keindahan Seni Tari Melayu Other Dance Styles Rentak Cik Minah
Sayang adalah gabungan antara Inang dan Joged. Sedangkan Rentak Pulau Sari
berasal dari kombinasi beberapa rentak Melayu tetapi unsur-unsur pentingnya saja
yang diambil dan digabungkan untuk menghasilkan suatu jenis tarian baru yang
menarik. Jenis tarian ini memang berhasil menarik banyak perhatian, contohnya
Serampang Duabelas yang menjadi salah satu tarian terkenal seantero Nusantara
karena menarik untuk ditampilkan dalam persembahan di panggung dan majlis.
Rumpun melayu pada dasarnya memiliki banyak sekali persamaan budaya. Namun
di dalam perkembangannya masing-masing mempunyai nuansa tersendiri yang
telah dipengaruhi unsur kedaerahan setempat, perkembangan yang demikian
merupakan hal yang cukup menggembirakan karena dapat memperkaya kasanah
budaya melayu di nusantara ini. Sumber: http://www.adicita.com
http://sriandalas.multiply.com Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa
Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Pertalian Kekerabatan antara Suku Banjar dan
Kedayan (Brunei) dengan Melayu Sumatera (Sriwijaya)
http://www.kalimantanpost.com/images/stories/Nasional/budaya%20banjar2.jpg
Seni dan Budaya Banjar yang Masih Mengakar pada Budaya Melayu Proto Asal usul
Suku Banjar dan Brunei Orang Brunei pun juga menyatakan dirinya sebagai
keturunan suku Sakai dari pulau Andalas (Sumatera). Diperkirakan suku Kedayan
(Brunei), suku Banjar dan beberapa suku yang ada di Kalimantan Barat yang sering
disebut kelompok Melayu Lokal, kemungkinan berasal dari satu kelompok induk
yang sama (Proto Melayu) yang telah terpisah ratusan tahun dan sebelumnya
menyeberang dari pulau Sumatera, kemudian bercampur dengan orang pribumi
(Dayak) di daerah masing-masing. Hal ini dapat diketahui dari persamaan beberapa
kosa kata dari bahasa Kedayan dan bahasa Banjar, seperti kata bepadah
(memberitahu), tatak (potong), tarabah (terjatuh), dan sebagainya. Pengaruh
Melayu juga kita dapatkan pada dialek Bahasa Banjar Amuntai dan Banjarmasin
yang mengucapkan huruf r dengan cadel. Pendapat lain menyatakan bahwa pulau
Borneo (terutama Kalimantan Barat) adalah tanah asal usul bahasa Melayu, karena
banyaknya jenis bahasa Melayu Lokal yang berkembang seperti Sarawak, Iban,
Selako, Ketapang, dan Sambas. Diperkirakan kelompok Melayu (baca: Proto Malayic)
inilah yang datang pada migrasi ke II yang mendesak kelompok Melanesia (nenek
moyang Papua) yang datang pada migrasi I, akhirnya keluar dari Borneo. Tetapi

kemudian kelompok Proto Malayic (Iban) terdesak oleh nenek moyang Dayak
(migrasi III) yang datang dari pulau Formoso dengan membawa adat pemotongan
kepala (ngayau/pengayauan) sehingga sebagian kelompok Proto Malayic migrasi
keluar dari Borneo. Proto Malayic menurunkan Proto Malay yang menggunakan
bahasa Melayu Lokal (Bukit, Banjar, Kutai dan lain-lain). Sedangkan Proto Malay
(Proto Melayu) menurunkan suku Melayu yang ada sekarang ini. Demikian pula ada
sebagian kelompok Dayak (Maanyan) yang migrasi menuju Madagaskar. Menurut
pendapat sebagian ahli sejarah, orang melayu (melayu kuno) telah datang ke
daerah ini pada sekitar abad ke-6. Diperkirakan orang melayu datang melalui selat
Karimata yang memisahkan pulau Belitung dengan wilayah kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat yang penduduknya saat ini dikenal dengan sebutan orang Melayu
Ketapang. Di sungai Amas, Kabupaten Tapin telah ditemukannya patung Buddha
Dipamkara (ketenangan air) yang sering dibawa oleh pelaut dan juga sebuah batu
terpotong bertuliskan aksara Pallawa, Siddha (mungkin selengkapnya Jaya Siddha
Yatra/Perjalanan yang Mencapai Keberhasilan) menunjukkan pengaruh agama
Buddha dan migrasi orang Melayu dari Kerajaan Melayu maupun Sriwijaya abad ke7 atau sebelumnya. Suku bangsa Banjar berintikan penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya, membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari
seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah
bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku
Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah
setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu(Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan
Banjar (Kuala). Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar,
maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud
berasumsi bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan
sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi
secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa
perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti
nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau
sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali
tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud,
kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus
adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang
terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan
bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok
inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi
dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Pendekatan
Primordialisme Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah
penduduk asli sebahagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, iaitu selain
kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama
sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya
dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang
kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya lima subsuku, iaitu: Banjar

Pahuluan Banjar Batang Banyu Banjar Kuala Banjar Alai Banjar Kaluak Orang
Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang
sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu
mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah
sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan
bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika
mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya yang di dalamnya
terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa.
Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun
1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai
dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota
dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut
nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi. Pendekatan Konstruktifis
atau Situasionalis Profil pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi
Muzium Lambung Mangkurat. Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan
pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, etnik Banjar pada waktu itu belum
menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk
pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Idwar Saleh
menyimpulkan suku Banjar terdiri dari tiga subetnik berdasarkan wilayah tempat
tinggal mereka dan unsur pembentukan suku: Banjar Pahuluan; campuran Melayu
dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok). Banjar Batang Banyu; campuran Melayu,
Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok) Banjar Kuala;
campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa
(Ngaju sebagai ciri kelompok). Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar http://ppsantasari.ac.id/ dan sumber lainnya Posted 4th November 2011 by Peradaban
Bangsa Sriwijaya 1 View comments Nov 4 Seni Ukir Khas Palembang Warisan
Budaya yang Indah Sejak Jaman Sriwijaya Lemari Ukiran Khas Palembang Seni ukir
Palembang memiliki motif khusus yang berbeda dengan daerah lain. Pengaruh Cina
atau Budha masih menonjol, namun guratannya lebih didominasi tumbuhan, bunga
melati dan teratai serta tidak ada gambaran tentang manusia atau hewan. Berbagai
macam ukiran khas Palembang itu biasanya disebut dengan laukuer (Lavquer) Ciri
ukiran Palembang sangat khas. Semua motifnya bunga dan perwarnannya pun di
dominasi warna kuning keemasan, warna dominan dalam ukiran Palembang.
Kemilau warna yang dihasilkan dari cat warna emas inilah yang membedakannya
dengan ukiran daerah lain, seperti misalnya dari Jepara. Badan lemari, daun pintu,
tutup Aquarium atau bingkai cermin dan foto, misalnya selalu disaput cat warna
emas. Sementara bagian lainnya dilapisi warna merah tua dan hitam. Gambar
bunga mawar dengan warna hitam makin menonjolkan penampilan ukiran kayu
Palembang. Biasanya jenis kayu yang dipakai untuk mengukir pun harus lah jenis
kayu tembesu yang keras dan kuat. Padahal dulu, ukiran Palembang hanya terbatas
pada lemari yang fungsinya untuk menaruh kain songket. Bahan yang dipergunakan
umumnya kayu berkualitas tinggi, terutama tembesu dan sejenisnya. Penerapan
ukiran kayu Palembang banyak digunakan untuk ornamen bangunan rumah
tradisional Palembang (rumah limas). Ada juga berbagai bentuk kerajinan ukiran

khas Palembang seperti lemari hias berbagai ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto
dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas ruangan, dan sebagainya. Ukiran kayu
Palembang (Sumatera Selatan) memiliki gaya, motif, dan warna yang khas. Kayu
yang digunakan adalah kayu berkualitas, terutama kayu tembesu. Semua ukiran
kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan variasi cat warna emas, hitam,
dan merah tua. Gaya ukiran Palembang adalah dekoratif dengan teknik rendah,
tinggi dan tembus (terawang). Sedangkan motif seni ukiran yang umum digunakan
tersebut dikenal dengan nama pohon kemalo. Singga Sana Khas Palembang Kursi
Singgasana Khas Palembang Lemari Khas Palembang sebagai Tempat Penyimpanan
Songket Meja Ukir Khas Palembang Salah satu motif yang sering digunakan adalah
Motif Bunga Mawar, Bunga Mawar adalah bunga beraroma harum dengan wangi
memikat. Semerbak wanginya disukai siapa saja. Wangi bunga yang batang
pohonnya berduri tersebut juga menjadi simbol dari rasa kasih dan cinta. Mungkin
karena bunga dengan wangi khas ini adalah lambang yang tidak menggambarkan
kekerasan, para pencetus kerajinan ukiran kayu Palembang menjadikannya sebagai
motif utama. Semua ukiran kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan
variasi cat warna emas, hitam, dan merah tua. Berbagai bentuk kerajinan ukiran
khas Palembang pun lahir dari tangan para perajin, seperti lemari hias berbagai
ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas
ruangan, dan sebagainya. Puluhan atau mungkin ratusan pengusaha kini
menggantungkan hidup mereka dari kerajinan ukiran kayu Palembang. Ukiran kayu
yang sejak beratus tahun tumbuh dan hidup di Palembang itu disukai banyak
kalangan. Mengapa bunga mawar yang dipilih sebagai motif ukiran, baik perajin
maupun pedagang, umumnya tidak tahu pasti. Mereka hanya mengerjakan dan
mengetahui ukiran Palembang harus bermotifkan bunga mawar, baik yang tengah
mekar, masih, kuncup, maupun daunnya. Saat ini, ukiran kayu khas Palembang
telah tumbuh menjadi industri yang menjanjikan. Industri rumahan ukiran kayu
Palembang tumbuh di banyak pelosok Kota Pempek itu. SALAH satu pusat
perdagangan ukiran kayu Palembang terdapat di sejumlah jalan di sekitar Masjid
Agung Palembang. Belasan ruang pamer (show room) yang sekaligus tempat
mengecat atau mengerjakan tahap akhir ukiran (finishing touch) hasil karya para
pengukir, terdapat di kawasan pusat kota itu. Pengasan atau Tempat Penyimpanan
(Peti) Sirih Khas Palembang Seni Kerajinan Khas lainnya piring ukiran Piring Ukir
Khas Palembang wadah payung Tempat Payung Ukiran Palembang kursi makan Meja
dan Kursi Makan Khas Palembang aquarium palembang Aquarium Khas Palembang
meja oval palembang Meja Oval Khas Palembang meja hias palembang Meja Rias
Ukiran Palembang guci vas bunga Guci Vas Bunga Ukiran Palembang meja TV oval
Meja TV Ukiran Palembang
http://www.mediaindonesia.com/mediatravelista/spaw/uploads/images/article/image
/2010_08_23_11_30_38_Ukiran.jpg Ukiran Furnitur Kamar Tidur Khas Palembang
http://www.epalembang.com/site/wp-content/uploads/2009/11/ukiran-palembang1.jpg Kursi Rias Ukiran Palembang Sumber: http://www.palembangbay.com
http://karimsh.multiply.com http://amarlubai.wordpress.com Posted 4th November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Mushaf Alquran Ukir

Raksasa Dipamerkan di Masjid Agung Palembang Mushaf Alquran Ukir Raksasa


dipamerkan di Masjid Agung Palembang Tampak pengunjung sedang asik
mengamati Ukiran Mushaf Al Quran Keindahan Seni Ukir Khas Palembang Mushaf
Alquran dengan Ukuran Besar Akhirnya, setelah delapan tahun dikerjakan, ukiran
ayat suci Alquran 30 juz berbahan kayu tembesu ukuran raksasa dipamerkan di
Masjid Agung Palembang, Kamis (14/5) petang. Alquran yang dinamai Al Akbar ini
disebut-sebut sebagai ukiran terbesar dan pertama di dunia. Alquran dibuat dari
ukiran khas Palembang, terdiri dari lembaran kayu setinggi 2 meter dengan lebar
tak kurang 1,5 meter. Warna dasar kayu coklat dengan huruf arab timbul warna
kuning. Tiap lembar ada ukiran motif kembang di bagian tepi. Warnanya juga
kuning. Tiap lembar memuat ayat Alquran bolak balik. Baru satu juz (surah
Albaqarah) yang telah selesai. Satu juz itu berupa kayu yang berdiri tegak
membentuk lingkaran dari sepuluh lembar kayu ukir. Ini bagian Alquran raksasa
pertama yang terlihat ketika naik ke lantai tiga Masjid Agung tempat pameran.
Sedangkan lembaran lainnya masih terpisah-pisah disusun di rak, membentuk
labirin dengan jarak 50 cm antar lembar. Ini memungkinkan bagi pengunjung untuk
ikut melakukan koreksi, bila mana ada kesalahan penulisan huruf atau tajwid.
Pameran dibuka setiap hari pukul 09.00-17.00. H Sofwatillah Mohzaib SSos,
pencetus ide dan desainer Alquran raksasa itu, mengatakan, sebelum diresmikan di
tingkat nasional oleh Presiden SBY Juni nanti, umat muslim diundang untuk
mengoreksinya sampai batas waktu 6 Juni. Panitia menyediakan Alquran, lembaran
koreksi, dan pena. Silakan dikoreksi kesalahan mashab Quran Usmani, mungkin
tajwidnya ada yang salah. Tapi tidak singgung seni tulisan Alquran, katanya. Opat,
panggilan Sofwatillah, menambakan peluncuran Alquran raksasa itu rencana awal
pada 2004 lalu berbarengan dengan PON XVI tapi tidak tercapai. Tim menemui
banyak kendala yang ternyata lebih rumit dari perkiraan, terutama masalah dana.
Ketua panitia, RM HA Rasyidi, mengatakan, peluncuran Al Akbar 30 juz adalah salah
satu penanda perkembangan kaligrafi Islam, dalam hal ini memperkenalkan ukiran
khas Palembang. Dana yang dihabiskan mencapai Rp 1,1 miliar terkumpul dari
bantuan 32 donatur. Sejumlah tokoh Sumsel berperan banyak, di antaranya mantan
gubernur, H Rosihan Arsyad, Taufik Kiemas, Asmawati, dan lainnya. Peluncuran
Alquran raksasa ini mendapatkan sambutan luar biasa dari umat muslim yang
berkesempatan datang. Ada yang sujud syukur, mengabadikannya dengan foto
berlatar Alquran raksasa itu, atau membacanya. Beberapa langsung meminta
formulir koreksi. Acara dihadiri para alim ulama, sesepuh, dan tokoh masyarakat,
seperti Wakil Bupati Banyuasin H Rachman Hasan, Wakil Ketua DPRD Palembang
Djauhari, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Asmawati beserta tak kurang 300
umat muslim dan muslimah. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sumsel,
Drs H Najib Haitani, yang membuka pameran, mengatakan, Alquran raksasa itu
adalah kebanggaan Sumsel karena di dunia ini adalah cetakan pertama.
Keberadaannya bakal menarik minat orang dari negeri Arab. Kita harap ini juga
memotivasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman isi Alquran dan
menjadikannya hiasan hidup sehari-hari. Kami ucapkan terima kasih sekaligus
penghargaan pada tim, para donatur, dan kyai, katanya. H Rachman Hasan,

mengaku kagum pertama kali melihat Alquran itu. Menurutnya, Sumsel khususnya
Palembang, termasuk kota religius. Keberadaan Al Akbar menambah nilai religius itu
dan (mungkin) dapat memotivasi masyarakat untuk lebih giat memperdalam
Alquran. Karena Alquran ini semua sumber hukum dan peraturan apa pun juga,
termasuk budaya, ekonomi, pemerintahan itu ada di Alquran. Kalau kita baca saja
maknanya tidak tahu, kan repot, katanya. Djauhari sependapat dengan Racham.
Menurutnya Alquran itu adalah karya besar bagi bangsa Indonesia, khususnya
Sumsel dan Kota Palembang. Alquran ini nantinya akan ditempatkan pada
bangunan khusus, seperti Islamic Center. Ini bukan milik Kota Palembang dan
Sumsel saja, tapi Indonesia. Dalam artian inilah umat muslim di Indonesia itu bukan
saja memelajari lafaz Alquran, tapi juga ada seni beragama. Luar biasa itu,
katanya. Sumber: www.sripoku.com www.republika.co.id Posted 4th November 2011
by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Kesultanan Malaka Salah
Satu Warisan Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
http://images.karimsh.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Rs0CiwoKCncA
AAt97R41/parameswara.jpg?et=gnVq0uszgnZWfPUKEzIvzQ Sejarah Kesultanan
Malaka, Semenanjung Malaya Kesultanan Melaka (1402 1511) adalah sebuah
Kesultanan Melayu Islam yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu
berketurunan Sriwijaya. Kesultanan Malaka terletak di wilayah penyempitan selat di
Semenanjung Melayu. Sejak zaman Sriwijaya, Semenanjung Melayu merupakan
tempat yang sangat trategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur.
Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama
Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja
Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48
tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja
(1372 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira
Kerma (1386 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri Rana Wira
Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit. Ibu
kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini
berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di
Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya
direbut oleh Portugis pada tahun 1511. Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka
di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil
kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika
Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari
sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri
Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak
manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan
pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan
Siam. Pada masanya setiap harinya kapal-kapal dari negeri asing berdatangan dan
singgah di sana. Tentu saja kedatangan para pelaut-pelaut asing tersebut membuat
Semenanjung Melayu tersebut menjadi wilayah yang tumbuh dengan pesat. Hal itu
terjadi karena para pelaut-pelaut asing tersebut datang dengan membawa berbagai
macam barang-barang yang mereka dagangkan. Maka jadilah Semenanjung Melayu

(diwilayah bagian Malaka) menjadi sebuah pelabuhan sekaligus Bandar Raya.


http://4.bp.blogspot.com/_W0zBM89eXjw/S_jeJ_Oe17I/AAAAAAAAACQ/rLlnzy4nOzU/s
320/250px_SultanateMalacca.GIF Wilayah Kesultanan Malaka Banyak negeri-negeri
lain yang menginginkan Semenanjung Melayu masuk dalam wilayah kekuasaannya,
mengingat wilayah Semenanjung Melayu merupakan tempat yang sangat strategis
bagi jalur perdagangan antara barat dan timur. Namun apa daya, angkatan perang
kerajaan Sriwijaya sangat kuat dan susah ditaklukkan kala itu. Apalagi Raden Sri
Pakunalang sebagai Panglima Tertinggi pada masa Ratu Dewayani dan Raja
Cudamaniwarnadewa berkuasa sangat ahli akan stategis perang. Tak hanya negerinegeri lain yang ingin menguasai Semenanjung Melayu, penduduk asli pun sangat
ingin memerdekakan tanah kelahirannya. Akan tetapi setiap daya dan upaya
mereka selalu saja gagal ditangan prajurit-prajurit kerajaan Sriwijaya. Hingga pada
masa Raja Sri Sanggranawijayatunggawarman berkuasa di Sriwijaya. Semenanjung
Melayu lepas dari tangan Sriwijaya. Uniknya Semenanjung Melayu merdeka berkat
kerja keras seorang mantan raja Sriwijaya. Parameswara namanya atau Iskandar
Zulkarnaen Alamsyah, ketika beliau telah memeluk agama Islam. Berhasil merebut
Semenanjung Melayu dari tangan Sriwijaya, dan mendirikan sebuah kerajaan Islam
yang diberinama Kesultanan Malaka. Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen
Alamsyah menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Iskandar Syah. Pada masa
kepemerintahannya, Malaka mengalami masa kejayaan. Negeri Malaka menjadi
negara Islam yang makmur. Dengan Panglima tertinggi, Panglima Tuan Junjungan
serta si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Negeri
Malaka selalu berhasil mengalahkan para penjajah seperti negeri Siam dan
Majapahit. Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana angkatan laut
bernama Hang Tuah. Dikarenakan suatu hal, Sultan Iskandar Syah memutuskan
kembali ke Lembang Melayu (Palembang). Kala itu Sriwijaya masih ada, namun
tidak memiliki kedaulatan. Kemudian kedudukan raja digantikan oleh penerusnya
dengan gelar Sultan Mayat Iskandar Syah (1414-1424 M). Pada tahun 1424 M,
Kesultanan Malaka di perintah oleh Sultan Muhammad Iskandar Syah. Pada masa
kepemerintahannya, Malaka semakin maju sebagai pusat perdagangan rempahrempah dari berbagai negeri. Sultan Muhammad Iskandar Syah digantikan oleh
putera bungsunya yang bernama Paramesara Dewa Syah. Parameswara Dewa Syah
menjadi raja dengan gelar Sultan Abu Syahid. Namun, ia hanya memerintah Malaka
hanya satu tahun saja (1445-1446 M). Parameswara Dewa Syah terbunuh dalam
perebutan kekuasaan oleh sepupunya yang bernama Mudzaffar. Ia memerintah
Malaka dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah (1446-1458 M). Kemudian ia digantikan
puteranya yang ketika naik tahta bergelar Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M).
Kesultanan Malaka kemudian dipimpin oleh Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488
M). Pada tahun 1488 M, Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Sayangnya
Sultan Mahmud Syah sangat mewarisi sifat kakek buyutnya (Sultan Mudzaffar Syah)
yang tamak dan serakah. Tahun 1509 M, Diego Lopez de Sequiera dari kerajaan
Portugis tiba di Malaka dengan rombongan sebanyak 18 kapal. Rombongan dari
Portugis (Portugal) ini merupakan rombongan orang Eropa pertama yang tiba di Asia
Tenggara. Sayangnya, kelakukan orang-orang Eropa ini sangat tidak terpuji. Mereka

sering berbuat onar terutama mengganggu para gadis. Atas usulan penasehat
kerajaan, maka Sultan Mahmud Syah memerintahkan prajuritnya untuk mengusir
orang-orang Eropa tersebut dan berhasil menangkap 20 orang dari mereka. Pada 10
Agustus 1511, armada laut Portugis yang besar dari India menyerang Malaka.
Armada perang yang beasr tersebut di pimpin oleh Alfonso d Albuquerque.
Terjadilah peperangan selama 10 hari hingga akhirnya Malaka jatuh ketangan
Portugis. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke pantai timur Semenanjung Melayu,
tepatnya daerah Pahang. Maka habislah sudah masa Kesultanan Malaka yang
dibangun oleh Parameswara. Politik Negara Dalam menjalankan dan
menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik
hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara
efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan
diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan
internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus
diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan
damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari politik negara
tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah))
tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur
Syah (14591477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan
Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping
itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada
tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas
kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan
lain tidak berani menyerang Malaka. Pada tahun 1411, Raja Malaka balas
berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan
tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta
rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa,
hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke
Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara
lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya,
seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga,
300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas.
Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan
Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan. Di masa Sultan Mansur
Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari dinasti
Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur
Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China
untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka
pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. Demikianlah, Malaka terus berusaha
menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan
politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar.
Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau
Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar

negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.
Hang Tuah
http://3.bp.blogspot.com/_KXmvzVKhpW0/TR7lOOcGB1I/AAAAAAAAAIk/bQsE7ZsUb
Wg/s1600/Hang%2BTuah.gif Laksamana Hang Tuah Hang Tuah lahir di Sungai
Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang
Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan
penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia
dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih
muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat
orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang
Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar
perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan
Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri
kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka.
Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan
Malaka yang tangguh. Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana
Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut. 1. Esa hilang dua terbilang 2. Tak
Melayu hilang di bumi. 3. Tuah sakti hamba negeri. Hingga saat ini, orang Melayu
masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun
demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan
dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep. Malaka Sebagai Pusat
Penyebaran Agama Islam Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung
Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di
sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina.
Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan
perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di
kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak
dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton
merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap
pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat
dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga
telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah
pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak
mengalami kemajuan. Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka
juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai
menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu
Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke
dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan
Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Selanjutnya, Malaka
berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga
mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459
1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam.

Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama
Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan
antarkeluarga. Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari
Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika
mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses
penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa,
Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan). Malaka runtuh
akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de
Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain.
Silsilah Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut: 1.
Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (13801424) 2. Sri Maharaja
(14241444) 3. Sri Prameswara Dewa Syah (14441445) 4. Sultan Muzaffar Syah
(14451459) 5. Sultan Mansur Syah (14591477) 6. Sultan Alauddin Riayat Syah
(14771488) 7. Sultan Mahmud Syah (14881551) Periode Pemerintahan Setelah
Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar
Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan
putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis
menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir
kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh
Alfonso dalbuquerque pada tahun 1511. Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah
Sultan Mahmud Syah. Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah
abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati
Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis.
Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan
pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian
kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa
Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah
persatuan dan kesatuan Melayu. Wilayah Kekuasaan. Dalam masa kejayaannya,
Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut: 1. Semenanjung Tanah
Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya). 2. Daerah Kepulauan
Riau. 3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah. 4. Brunai dan Serawak. 5.
Tanjungpura (Kalimantan Barat). Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit
secara diplomasi adalah sebagai berikut. 1. Indragiri. 2. Palembang. 3. Pulau Jemaja,
Tambelan, Siantan, dan Bunguran. Sumber: http://peutuah.com
http://suryawardana.com http://rismaeffendy.blogspot.com Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Bangsa Sriwijaya
http://2.bp.blogspot.com/_-VwjFK-ofUU/S4-0_0N9y2I/AAAAAAAAAZI/jenOyiSOAY/s320/sriwijaya.jpg Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Pada masa silam, kita
Bangsa Sriwijaya merupakan bangsa yang besar dan telah meraih kegemilangan
diberbagai sektor peradaban hingga keberadaan kita diakui oleh berbagai bangsa
dipenjuru dunia. Dan kini kita harus bangkit dari keterpurukan yang tengah
melanda, membangun kembali peradaban silam yang telah hilang, dan berjuang
demi kejayaan bangsa kita digenerasi masa depan. Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Ekspedisi Sriwijaya: Mencari

Jalur yang Hilang By: http://www.pdii.lipi.go.id altInfo Baru Vol. 7 No. 5 Mei 2011-p
Kegiatan ekspedisi ilmiah yang berupaya menelusuri jejak-jejak peradaban masa
lalu bangsa Indonesia patut diapresiasi. Dunia mengakui kekayaan dan keragaman
budaya bangsa kita yang dihasilkan melalui proses-proses akulturasi yang panjang,
yang terekam dalam bentuk tinggalan arkeologis, catatan sejarah dan memori
kolektif bangsa. Kegiatan Ekspedisi Sriwijaya yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi
Palembang, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata,
didukung oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata pada tahun 2009 merupakan suatu kegiatan ilmiah yang hasilnya
memang perlu disebarluaskan kepada masyarakat, selain untuk kalangan akademis.
Ekspedisi Sriwijaya berupaya menelusuri jalur ekspedisi maritim Raja Sriwijaya dan
bala tentaranya pada abad ke-7 dari Palembang ke Kota Kapur di Pulau Bangka atau
sebaliknya. Kegiatan i1miah itu tidak berhenti pada upaya merekonstruksi sejarah
kebudayaan saja, lebih dari itu bagaimana hasil kajian dapat memberi makna,
inspirasi dan spirit kepada bangsa kita masa kini. Sriwijaya yang menurut para ahli
berarti "kemenangan yang menjanjikan" dapat dijadikan inspirasi dan spirit untuk
meneapai cita-cita menjadi bangsa yang maju dalam berbagai bidang. Dengan
memahami akar budaya bangsa sebagai bangsa bahari dan memupuk etos kerja
yang tinggi demi menggapai cita-cita, "kemenangan yang menjanjikan" itu akan
terwujud: menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Sekaligus menjadi bangsa yang
kembali disegani di bidang kebaharian. Kita menyambut gembira terbitnya buku
yang berjudul: Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Buku ini melengkapi
publikasi-publikasi mengenai tinggalan arkeologis atau warisan budaya yang
diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, agar lebih mengenal
tinggalan budaya bawah air, meningkatkan cinta bangsa dan multikulturalisme, dan
bangga sebagai bangsa. Semoga bemanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa
bahari. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a
comment Nov 3 Potensi Daerah Bumi Sriwijaya http://hitamputihnegeriku.com/wpcontent/uploads/2011/03/sumatera.pngSebagai bekas wilayah pusat Kerajaan
Sriwijaya, sebuah kerajaan penganut agama Budha terbesar di dunia. Sumatera
Selatan banyak memiliki benda-benda dan tempat-tempat bersejarah yang menarik
untuk dijadikan Objek Wisata. Hal tersebut didukung pula oleh paling sedikit
terdapat 139 objek wisata yang tersebar di seluruh Wilayah. Beberapa tempat
paling banyak dikunjungi wisatawan baik lokal maupun asing antara lain adalah
Danau Ranau yang terletak di Kabupaten OKU, Pegunungan Dempo yang terletak di
Kaki Gunung Dempo, Kota Pagar Alam dan Air Terjun Curup Tenang di Kabupaten
Muara Enim. Ratusan lembaga telah memakai nama Sriwijaya. Mulai dari instansi
militer, yayasan sosial, toko, universitas, koran, usaha travel, angkutan umum,
pabrik pupuk, jalan, sampai dengan hotel, semuanya menempelkan nama kerajaan
maritim terbesar di Asia Tenggara itu. Barangkali para pemberi nama memiliki
harapan serupa, mewarisi spirit kebesaran Sriwijaya. Namun, apakah kebesaran
Sriwijaya benar-benar memberikan inspirasi bagi masyarakat zaman sekarang?
Sebagian besar masyarakat di Palembang, Sumatera Selatan, yang diduga pernah
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, justru menyangsikannya. Alasannya, mereka

kesulitan melacak sejarah dan nilai-nilai kebesaran Sriwijaya, akibat keterputusan


sejarah. Tidak banyak lagi yang bisa diwarisi dari kebesaran Sriwijaya sekarang ini,
bahkan sebagian besar generasi muda sudah tidak lagi memahami sejarah kerajaan
besar yang pernah tumbuh di bumi Sumatera itu. Pelabelan nama Sriwijaya
cenderung menjadi kelatahan massal, tanpa pendalaman akan nilai-nilai di
dalamnya. "Saya hanya tahu sedikit tentang Sriwijaya dari buku pelajaran waktu
sekolah dulu. Itu pun sekarang sudah banyak yang lupa. Di kampus juga tidak ada
buku-buku tentang Sriwijaya," tutur Yudhis (23), mahasiswa Universitas Sriwijaya
Palembang. Menurut budayawan dan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan
(DKSS) Djohan Hanifiah, kondisi tersebut terjadi karena sejarah kejayaan Sriwijaya
pada abad ke-7 sampai 13 Masehi terputus dan tidak dilanjutkan oleh sejarah
berikutnya. Ensiklopedi Nasional Indonesia mencatat, Kerajaan Sriwijaya
ditundukkan Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, pada tahun 1377.
Sejak itu hingga sekitar abad ke-16 Masehi, Palembang dan sekitarnya praktis
menjadi daerah tidak bertuan yang dijadikan sarang gerombolan perompak dari
China. Para perompak China yang agresif dan nekat menguasai jalur-jalur
transportasi sungai dan laut, yang saat itu merupakan jalur perdagangan
internasional oleh Sriwijaya. Mereka beranak pinak, membentuk koloni tersendiri,
memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China,
dan sebaliknya menanamkan kehidupan budaya khas perompak yang berangasan.
Peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, mengutarakan, sisa-sia
kekuasaan perompak China sekitar 200 tahun itu dapat diamati pada peninggalan
Kampung Kapiten di Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Tugu prasasti di kampung itu menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra,
sebagai peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang.
Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang
diutus penguasa China datang dan memerangi mereka. Meski kekuasaan perompak
China berakhir, tetapi kebesaran Sriwijaya telanjur terpuruk dan sulit dibangkitkan
lagi. Pusat studi agama Buddha dan bahasa Sanskerta yang masyhur dengan lebih
dari 1.000 pendeta Buddha, tenggelam bersama ajaran-ajarannya. Kedigdayaan
armada maritim dan pergaulan kerajaan besar itu dalam peta perdagangan
internasional ikut pupus. Tradisi seni budaya bernuansa Buddha dan Hindu pun tidak
berlanjut pada zaman berikutnya. KERAJAAN Palembang Darussalam yang tumbuh
sekitar abad ke-16 sampai tahun 1851, juga tidak meneruskan kebesaran Sriwijaya.
Kerajaan ini membangun tradisinya sendiri yang berakar pada spirit Islam yang
dipengaruhi Kerajaan Demak, Jawa Tengah. Kekuasaan Belanda yang merasuki
daerah Palembang sejak awal abad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke-20
Masehi lebih bercorak Kristiani, dan menekankan perdagangan untuk
mengembangkan wilayah jajahan. Kondisi itu semakin menjauhkan kemegahan
Sriwijaya dari kesadaran generasi-generasi berikutnya. "Kebesaran Sriwijaya benarbenar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang Darussalam dan Belanda, yang
membangun budaya jauh berbeda," papar Djohan Hanifiah. "Beberapa candi dan
peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan alasan
teologis. Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa

Sriwijaya tidak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang." Thontowi,
pengurus Dewan Kesenian Palembang yang juga menjadi Staf Humas Pemerintah
Provinsi Sumsel, menengarai adanya keterputusan sejarah, antara kebesaran
Sriwijaya dengan budaya masyarakat Sumsel zaman sekarang. Jeda waktu yang
terjadi setelah Sriwijaya runtuh abad ke-14 sampai dengan abad ke-16 Masehi
merupakan missing link (rantai terputus) yang memutus keterkaitan Sriwijaya
dengan Kerajaan Palembang Darussalam, kolonialisasi Belanda, hingga
pembangunan Kota Palembang modern. Budaya masyarakat Palembang dan daerah
sekitarnya, lanjut Thontowi, justru banyak dipengaruhi karakteristik kelompok
masyarakat yang hidup berkebun di hutan-hutan. Mereka memiliki tradisi yang
keras, karena hidup di tengah belantara dan terbiasa membawa senjata tajam
untuk mengolah kebun dan menjaga diri. Sedikit banyak kebiasaan itu masih
berlanjut hingga sekarang. Djohan Hanafiah menilai, tradisi kekerasan menguat
dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan karena daerah ini dihuni lebih dari
20 suku. Masing-masing suku merasa setara dengan suku lain, dan senantiasa
bersaing ketat untuk menguasai akses sosial, politik, dan ekonomi. Ketika
komunikasi macet, kekerasan menjadi salah satu cara yang diandalkan untuk
mempertahankan eksistensi dan dominasi antarsuku tersebut. Sesungguhnya masih
terdapat satu kebesaran Sriwijaya yang berusaha dihidupkan masyarakat Sumsel,
yaitu kekuatan armada maritim dalam mengarungi samudra dan mengembangkan
perdagangan internasional. Setidaknya semangat tersebut pernah mendorong
Gubernur Sumsel periode 1998-2003, Rosihan Arsyad, pada tahun 2001 lalu untuk
merekonstruksi replika kapal layar Sriwijaya. Asnawi Hasan, staf di Bagian Industri
dan Pariwisata Biro Ekonomi Pemprov Sumsel, mengungkapkan, studi bentuk kapal
yang digunakan Sriwijaya untuk mengarungi Sungai Musi dan menjelajah benua
pernah dilakukan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dalam kajiannya,
kapal yang dibuat dari kayu onglen itu mirip dengan kapal Borobudur yang
memakai layar dan bercadik. Panjangnya sekitar 24 meter dengan lebar kurang
lebih enam meter. Hanya saja, hingga Syahrial Oesman menjadi Gubernur Sumsel
periode 2003-2008, rencana tersebut kandas karena terbentur masalah dana.
Sumber:http://www.bandarasmb2.com
http://img64.imageshack.us/img64/7829/sumselis9.jpg S Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 29 Songket
Palembang Jadi Warisan Budaya Palembang - Kompas.com. Sebanyak 22 motif
tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang,
Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.
Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi
kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan
sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan
HAM. Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait,
limar berantai, dan nampan emas. Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan,
pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun
2004. Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang

sejak ratusan tahun lalu. "Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami
ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di
masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan. Menurut Rosidi,
pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang
dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya
pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain. Saat
ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya
motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui. Selain
di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di
Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda. Industri kecil kerajinan tenun
songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150
pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang. Masing-masing pemilik usaha
mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibuibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket. Budayawan dan pemerhati
Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan
songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan
terhadap kain songket. Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain
songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak.
Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan
digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.
"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki
kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga
songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya. Perajin dan desainer
songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motifmotif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan
pengusaha songket dari klaim dari negara lain. Tanpa ada perlindungan seperti ini,
motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain.
"Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar,"
tuturnya. Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di
Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di
Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah
negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara
Timur Tengah. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a
comment Nov 3 Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos
Batak "Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak",
begitu judul sebuah artikel di salah satu blog. Kita sebagai warga Sumatera Selatan,
khususnya Kota Palembang patut berbangga, karena ternyata Songket Palembang
sangat diminati oleh daerah lain. Berikut kutipan artikelnya. Jarar Siahaan: Batak
News: Menjajah Budaya Sendiri Ia salah satu desainer top Indonesia. Ia berteriak
lantang: justru orang Batak memuja songket Palembang dan melupakan ulos.
Kini ia tengah mengerjakan proyek pengembangan ulos yang didukung negara
asing, Austria. Ironis. Merdi Sihombing Wanita Batak sangat memuja, bangga,
berlomba-lomba untuk memakai kain songket Palembang pada setiap momen yang

berkesan buat hidupnya, kata Merdi Sihombing pada imel yang dia kirim ke blog
Batak News beberapa hari lalu. Wanita Batak banyak mengoleksi kain songket
Palembang yang ditawarkan dengan harga yang sangat fantastis sebagai prestise
bahwa hidup mereka sangat berlebihan. Merdi adalah pria Batak yang pernah
kuliah di Institut Kesenian Jakarta [IKJ], tapi belum tamat. Pada tahun 2002 ia
sudah menjadi perancang busana langganan sejumlah selebritis, antara lain Feby
Febiola, tulis harian Kompas yang menyebut rancangan Merdi sebagai
keindahan dalam kesederhanaan. Aku juga pernah melihat namanya tercantum
sebagai desainer model cantik di majalah seksi Popular beberapa tahun silam.
Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket Palembang?
Merdi menjawab, karena orang-orang berpengaruh di kalangan Batak, seperti
seniman, rohaniawan, pengusaha, dan pejabat pemerintah tidak peduli
melestarikan dan mengembangkan ulos. Ia menilai, hanya pedagang dan pengrajin
uloslah yang peduli pada kain dengan tiga warna khas itu hitam, merah, dan
putih. Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi
karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal
yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna,
termasuk promosi. Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah
sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten.
Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah
satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar. Kata Merdi, para
politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan
dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak memikirkan masyarakat bawah
yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata. Kalau
kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua
pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita
Batak bahwa, Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, its not cool. Secara
teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir
seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan
selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih
relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos:
Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang
cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang
lebih bebas. Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan Indonesia. Tahun ini ia
ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari 12 fesyen desainer untuk
pengembangan kain tenun tradisional. Ia pun sering berpameran bersama
perancang busana papan atas sekelas Oscar Lawalata, Ghea Panggabean, dan
Samuel Wattimena. Tahun lalu ia mengangkat kain tradisional suku Badui dalam
sebuah pameran setelah mengamati suku tersebut selama tiga tahun. Ia juga
bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku marpasir-pasir alias berbahasa
Indonesia yang dicampur bahasa Batak. Tanggal 5 besok ia berada di Medan.
Tanggal 8 di Pulau Samosir selama tiga hari untuk pemotretan keperluan buku ulos
Batak, Natural Thing. Tanggal 11 menyeberang ke Muara, kecamatan kecil nan
indah di tepi Danau Toba. Tanggal 13 baru akan kembali ke Jakarta. Selamat

berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu citacitamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com] Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Menelusuri Etalase
Songket di Jantung Sriwijaya
http://data.tribunnews.com/foto/bank/thumbnails2/songket-palembang.jpgIndustri
Kecil Suara keletak-keletik menyusup dari sela-sela lantai kayu sebuah rumah
panggung di bilangan 30 Ilir Palembang. Di kolong rumah panggung berusia lebih
dari 400 tahun itu, jari-jemari para pekerja terampil menjalin benang demi benang
menjadi sebuah tenun kain songket. Itulah suasana di salah satu rumah di pusat
kerajinan tenun songket Palembang. Rumah tua itu terletak di sentra kerajinan
tenun songket di Kecamatan 30-32 Ilir Palembang, Sumatera Selatan. Pemiliknya
adalah desainer songket ternama yang berangkat sebagai perajin, Zainal Arifin.
Dinding rumah kayu itu dihiasi fotonya dengan sejumlah tokoh nasional dan
internasional, seperti mantan Ibu Negara Amerika Serikat Laura Bush, mantan
Presiden Megawati Soekarnoputri, Soeharto, dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Zainal mengatakan, kerajinan songket sudah ada di daerah itu sejak
tahun 1700-an. Zainal sendiri termasuk generasi ketiga dari keluarganya yang
menekuni kerajinan songket. Sebelumnya nenek saya yang masih sangat
tradisional membuat songket, sampai-sampai menyimpannya pun di kasur agar
tidak patah. Lalu ibu saya, Cek Ipah, yang kemudian mengembangkannya menjadi
usaha kerajinan, katanya, Selasa (29/3). Gerai Zainal Songket merupakan salah
satu dari sekitar 15 gerai tenun songket di sentra kerajinan tenun songket ini.
Kawasan ini merupakan hunian tua dengan beberapa rumah panggung yang masih
tersisa. Letaknya pun tak jauh dari lokasi yang diyakini sebagai keraton Kerajaan
Sriwijaya, sekarang bernama Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya. Tenun
songket diyakini merupakan warisan budaya masyarakat sejak zaman kerajaan
bahari itu. http://4.bp.blogspot.com/_4SkcOCUZTaM/Sr64uS1CCI/AAAAAAAAAA4/Q_bSsEPaQw4/s320/kain+jadi.jpg Songket Palembang
Menyusuri kawasan itu ibarat menyusuri etalase tenun songket Sumsel. Beragam
jenis songket terpajang di bagian depan sejumlah rumah, seperti baju, kopiah, dan
selendang. Uniknya, tiga pemilik gerai di kawasan itu adalah saudara sekandung,
yaitu anak-anak dari Cek Ipah. Dari sisi produksi, sentra songket 30-32 Ilir
Palembang itu bukan pusat terbesar perajin songket. Pusat perajin tenun songket
sendiri terletak di desa-desa, salah satunya di Kabupaten Ogan Ilir, yang jaraknya
sekitar 1,5 jam perjalanan dar
alembang. Namun, ibarat etalase, perannya cukup penting untuk menawarkan
songket dan menjadi tujuan yang pertama kali disasar wisatawan dan para pencari
songket. Sentra tenun songket 30-32 Ilir Palembang itu juga berperan sebagai pusat
pengembangan dan inovasi songket. Zainal, misalnya, terus mengembangkan motif
dan desain busana songket sesuai tren mode dunia. Telah puluhan motif songket
modern dia patenkan. Zainal sendiri juga telah memasarkan songket ke kota-kota
besar, seperti Jakarta dan Bandung. Dengan cara ini, songket bisa terus hidup dan
dikenal. Kalau tak ada pengembangan, songket hanya akan dianggap sebagai kain

kuno, katanya. Menghidupi Bagi sebagian warga, songket memberi harapan


kehidupan lebih baik. Sra (21), salah satu pekerja di sentra songket, misalnya, tak
bisa membayangkan hidupnya jika tak mengenal kerajinan itu. Orangtua saya
hanya petani, saya hanya lulusan SD. Tak tahu saya akan jadi apa kalau tak kenal
kerajinan songket, tutur pemuda dari Desa Air Batu, Kabupaten Banyuasin, Sumsel,
ini. Beberapa gerai songket menggunakan sistem perajin upahan. Gerai Ny Hj
Romlah Fauzi, misalnya, memberikan bahan kepada para perajin upahan di
pinggiran Palembang untuk dibuat songket. Dulu kami mempunyai penenun
sendiri, namun karena keterbatasan ruang, sekarang kami pakai sistem upahan,
kata salah seorang pengelola gerai. Menurut Kepala Bidang Pembinaan Industri
Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang Rosidi Ali, industri
kerajinan tenun songket di Palembang masih terus berkembang. Saat ini tercatat
sekitar 150 pemilik usaha tenun songket di daerah itu dengan jumlah perajin
upahan diperkirakan 750 orang hingga lebih dari 1.000 orang. Songket masih
menggerakkan ekonomi masyarakat meskipun tak terlalu besar. Beberapa perajin
upahan dulunya adalah penganggur, katanya. Bertahannya songket tak lepas dari
tingginya minat masyarakat terhadap kain tradisional itu. Selain untuk dikenakan
sendiri, kain ini dikenal sebagai suvenir dan oleh-oleh khas Palembang. Saya mau
beli untuk oleh-oleh tamu dari Jakarta, tutur Yeti, pengunjung sentra songket 30-32
Ilir. Guna melindungi kekhasan tenun songket Palembang, pemerintah daerah
mengajukan 71 motif tradisional sebagai warisan budaya masyarakat (folklore).
Sebanyak 22 motif telah mendapat pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM,
dan 49 motif masih menunggu. Beberapa motif yang telah diakui adalah motif
bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas. Selama
ratusan tahun, tenun songket telah mengalami pengembangan dan pergeseran
budaya. Dari kain kebesaran penanda status sosial keluarga bangsawan, kini kain
tenun songket dipakai masyarakat umum. Hingga sekarang songket bertahan
sebagai salah satu warisan budaya Melayu Indonesia. Sumber: http://kompas.com
by: Irene Sarwindaningrum Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa
Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Hubungan Srivijaya dengan Parsi, Khilafah dan
Kingdom of Prester John Salam,dalam artikel ini kita akan lihat sebesar mana dan
sejauh mana pengaruh Srivijaya dalam lembaran sejarah dunia. Bukanlah tujuan
saya untuk berlebih lebihan dalam memaparkan sejarah Srivijaya. Namun demikian
semua kenyataan saya dalam artikel ini bukanlah didapati dari mimpi, wasiat tok
nenek atau alamat ghaib, tetapi sebaliknya ada sokongan daripada sumber-sumber
dari kajian yang telah dibuat oleh sejarawan tempatan dan luar. Mungkin ada yang
akan mempersoalkan, mengapa mempercayai kajian dari luar? Tujuannya bukanlah
untuk mengagungkan kajian mereka, namun sebenarnya kerana terpaksa.
Mengapa? Kerana adalah agak sukar untuk kita mencari catatan tentang Srivijaya
dalam hikayat atau catatan tempatan, hal ini mungkin kerana kurangnya kesedaran
dikalangan rakyat marhaen Srivijaya untuk menulis . Mungkin juga kerana tulisantulisan mereka telah musnah atau belum dijumpai dan masih tertimbus dimanamana, atau telah dicuri! Namun tak usah kita risau kerana bangsa-bangsa luar
memang banyak menceritakan tentang kerajaan ini. Dari timur hinggalah ke barat,

dari dataran rendah hinggalah ke bumbungan Asia di Tibet. Dari hutan belantara
Indochina hinggalah ke Padang pasir di Baghdad dan Parsi. Mereka semua ada
mencatat mengenai sebuah bangsa dan kerajaan yang sangat besar dan hebat
yakni SRIWIJAYA, SRIBHOJA, SHAMBALA, SAYABIGA, SABAG, ZABAJ, SHAVAKA,
JAVAKA, CHEVAKA, SVIYAGA. Sayabiga Pada tahun 656 masihi dalam catatan Arab di
Baghdad ada menyatakan bahawa khalifah telah mengupah sekumpulan puak yang
bernama Sayabiga untuk menjadi pengawal Baitulmal atau harta kerajaan. Sarjana
hari ini masih tidak dapat memutuskan dari mana asalnya mereka ini. Malahan
catatan Arab juga tidak mengetahui asal usul perkataan Sayabiga kerana ia bukan
bahasa Arab mahupun Parsi . Namun mereka sependapat bahawa puak ini berasal
dari pantai utara al Sind atau al hind. Dalam catatan Arab dan Parsi mereka juga
terkenal sebagai penanam Padi dan penternak Kerbau. Kawasan Basra pada suatu
masa dahulu terutama pada zaman kerajaan Sasanid , Bani Ummayyah serta
Abbasiah pernah menjadi pembekal beras kepada seluruh Jajahan Empayar . Namun
dari mana asalnya padi atau beras ini? Ada sarjana berpendapat bahawa padi dan
Kerbau dibawa masuk ke Iraq atau Basra oleh Puak Sayabiga. Siapa sebenarnya
puak Sayabiga ini? Kajian terbaru menyatakan bahawa mereka ini adalah tentera
upahan daripada tak lain dan tak bukan orang-orang Nusantara dari kerajaan
SRIVIJAYA. Ini dapat menjelaskan unsur persamaan diantara perkataan Srivijaya dan
Sayabiga yang berasal daripada sebutan Arab Sabag atau Zabaj, Zanj, Zanaj. Apa
yang menarik lagi adalah, puak Sayabiga ini dikatakan sebagai Sea Gypsy atau
pelaut yang sangat handal dan penguasa kapal-kapal. Mereka digaji oleh kerajaan
Parsi dan kerajaan Umayyah kemudiannya untuk menjadi warden, pengawal, polis
dan tentera laut. Gabriel Ferrand menyatakan bahawa: The Sayabiga are the
descendant of ancient Sumatran immigrant to India then to Iran and Persian gulf,
where there is evidence if their existence before Islam. This is not surprising
because we know from other sources also that the Sumatran colonized Madagascar
at a very early date. The eastern route is very familiar to them. Sesetengah sarjana
berpendapat mereka berasal dari pesisir pantai selatan Parsi. Namun mereka
bukanlah orang Parsi. Bahasa dan cara hidup serta rupa paras mereka berbeza
dengan Puak-puak parsi yang lain. Apa yang menarik lagi bahawa catatan Al Masudi
ada menyatakan bahawa semasa Saidina Ali diserang dalam perang Siffin yang
terkenal dalam sejarah Islam, orang-orang kufah yang datang membantu Saidina Ali
termasuklah puak Sayabiga. Sejak dari hari itu puak Sayabiga dikatakan telah
menganut fahaman Shiah. Ada sedikit puzzle yang hendak saya tunjukkan disini.
Saya pernah mendengar satu riwayat dari para pengamal tarian kuda kepang
bahawa tarian ini adalah berasal daripada pengalaman seorang Nusantarian yang
melihat kuda tunggangngan Saidina Ali naik berang dalam perang. Adakah
peristiwa ini berdasarkan kisah yang sebenar? Walau apapun jawapannya, tidak
dapat kita nafikan lagi bahawa pengaruh empayar Melayu srivijaya bukan terhad
kepada nusantara sahaja malahan hingga ke Baghdad! Sebelum ini memang ada
bukti bahawa Maharaja Srivijaya pernah menghantar surat kepada Khalifah Umar
abdul Aziz. Ini bermakna sebenarnya sejak awal lagi Srivijaya telah memainkan
peranan yang besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan dunia. hal Ini mengukuhkan

lagi teori yang menyatakan bahawa sebelum kedatangan islam lagi orang
nusantara telah mengadakan hubungan perdagangan dan membuka penempatan di
pelabuhan-pelabuhan utama di seluruh dunia sebelah sana. Saudara sekalian
sebenarnya, sejak turun temurun Parsi adalah salah satu rakan dagangan
Nusantara yang sangat akrab. Ini dibuktikan dengan kolonialisasi penduduk dari
Sayabiga atau Srivijaya di selatan Iran. Kajian daripada Prof Asyaari Muhammad
seorang ahli arkeologi UKM menunjukkan bahawa sememangnya hubungan
diantara Kerajaan Parsi dari dinasti awal lagi telah berlaku dengan Nusantara. Beliau
telah membuat perbandingan diantara tembikar berglaze biru yang dijumpai di
beberapa tapak di negara ini dengan yang terdapat di Parsi dan hasilnya ternyata
sama. Ini dapat menjelaskan puzzle mengapa banyak perkataan Parsi dalam
vocabulari bahasa Melayu selain bahasa Arab, antaranya ialah bandar, dewan,
domba, kahwin, kelasi, kenduri, medan, piala, nobat, pasar, nakhoda, saudagar,
pahlawan, jam, serunai kurma dan gandum . Catatan Arab tentang Kalah atau
Kedah pada era kegemilangannya ada menyatakan tentang barang yang
didagangkan di pasarnya. Menurut pencatat tersebut di pasar Kalah ada menjual
gandum dan kurma dan rakyatnya memakan gandum sebagai makanan ruji.
Darimanakah mereka mendapat gandum ini? Sudah tentu bukan ditanam di Kedah
kerana keadaan cuaca dan tanah di sini tidak sesuai untuk penanaman gandum
begitu juga Kurma. Sudah tentulah barangan ini diimport dari Parsi yang sehingga
sekarang adalah salah satu negara pengimport Kurma terbesar. Sekarang terpulang
kepada anda untuk menilai samaada benar atau tidak pelayar Srivijaya pernah
sampai ke Basra dan menjadi tentera upahan Dinasti Ummayyah. Apa yang saya
buat ialah mengemukakan kajian-kajian yang telah dibuat dan meurmuskannya
secara ringkas. Namun pencarian mengenai kemegahan Srivijaya masih belum
berakhir. Sebelum ini saya ada menyebut bahawa adanya perhubungan yang cuba
dibuat oleh Maharaja Srivijaya dengan pemerintah Khilafah Ummayyah di Banghdad
dan Damsyik. Sebenarnya kajian mengenai ini telah dibuat dan dibukukan oleh S.Q
Fatimi dan boleh dibaca dalam internet. Beliau telah menganalisis dua pucuk surat
yang dihantar dari Mihraj atau Maharaja Srivijaya kepada Khalifah. Satu surat
kepada Muawiyah Bin Abi Sufyan yang bertarikh 661 Masihi dan satu lagi surat
kepada Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar 717 masihi. Menurut Fatimi,
Raja al hind yang disebut dalam catatan-catatan Arab dalam surat ini adalah dari
Kerajaan Zabaj atau Srivijaya. Perlu diingat bahawa Zabaj sebenarnya lebih merujuk
kepada kawasan dalam pengaruh sebuah bangsa iaitu Javaka dan bukan nama
sebenar sebuah Kerajaan. Namun sebahagian ahli sejarah sepakat mengatakan
bahawa Maharaja Zabaj yang disebut-sebut dalam catatan Arab adalah maharaja
Kerajaan Srivijaya , kerana Javaka adalah panggilan orang-orang India dan Sri Lanka
kepada orang Melayu Nusantara dan bukan bererti orang Jawa dari pulau Jawa
sahaja. Surat pertama telah dicatatkan mengenainya oleh Al- Jahiz dalam kitabnya
Al hayawan. Menurut Jahiz, Abdul al Malik bin Umar melihat surat tersebut di
pejabat setiausaha Khalifah Muawiyah yang kemudiannya telah diberikan kepada
Abu yakub al Thaqafi yang kemudian pula memberikan kepada Al Haytham yang
menjadi sumber kepada Ibnu jahiz. Namun malangnya Jahiz hanya mencatat

mukaddimah surat tersebut sahaja dan tidak keseluruhannya. Catatan itu berbunyi:
ini surat dari Raja Al Hind, yang didalam kandangnya ada beribu-ribu gajah dan
istananya dibina dari emas dan perak yang berkilauan, yang dilayan oleh beribu
anak perempuan Raja-raja, yang menguasasi dua Sungai yang mengairi tanahtanah subur, kepada Muawwiyah Surat kedua ditemui dalam Al-Iqd al Farid oleh
Ibnu Rabbih sekitar 860-940 Masihi yang menyatakan bahawa sumbernya diperolehi
daripada Nuaim Bin Hammad. Nuaim menyatakan bahawa Raja Al Hind telah
menghantar sepucuk surat kepada Khlifah Umar Bin Abdul aziz seperti berikut: Dari
raja kepada Raja yang berketurunan dari seribu raja, yang kandangnya dipenuhi
dengan beribu gajah dan kawasan taklukannya adalah dua sungai yang mengairi
tanam-tanaman, wangi-wangian, pohon pala dan kapur wangi, yang wangiannya
semerbak sehingga 12 batu jauhnyakepada raja Arab, yang tidak menyekutukan
tuhan dari tuhan yang satu. Beta telah menghantar hadiah, yang tidak seberapa
sebagai tanda persahabatan dan beta harap agar anda menghantar seseorang yang
dapat mengajarkan ajaran Islam serta menunjukkan undang-undangnya. (ini
terjemahan saya sendiri berdasarkan terjemahan Inggeris). Ada beberapa persoalan
yang perlu dirungkaikan mengenai surat ini. Yang pertama ialah siapa sebenarnya
maharaja yang bersedia memeluk agama Islam tersebut., yang kedua adakah benar
bahawa ada salah seorang maharaja Srivijaya telah diislamkan, dan persoalan
ketiga mengapa ada banyak persamaan diantara surat Maharaja atau Mihraj ini
dengan surat-surat yang dihantar oleh Prester John? Persoalan pertama dan kedua
sebenarnya telah cuba dijawab oleh S.Q Fatimi, jadi saya tidak mahu menyentuhnya
disini kerana tidak mahu memanjangkan artikel. Yang ingin saya sentuh adalah
persoalan ketiga, yakni adanya persamaan diantara diskripsi atau gambaran
tentang kerajaan Prester John dengan kerajaan Mihraj Al Hind atau Srivijaya/ Zabaj.
Prester John dan Maharaja Srivjaya Beberapa abad setelah seorang maharaja
menghantar surat kepada Khalifah di Baghdad, perkara yang sama juga telah
berlaku kepada kerajaan Byzantine di Barat dan juga kepada Pop. Seperti dalam
surat Mihraj, surat Prester John turut menyebut mengenai hadiah kepada
pemerintah yang menerima surat tersebut. Namun ini adalah perkara biasa dalam
perhubungan diantara satu pemerintah dengan pemerintah yang lain. Surat Prester
John juga sebenarnya mempunyai mukaddimah yang berbunga-bunga sepertimana
surat yang pernah dihantar oleh Maharaja kepada Khalifah. Apa yang menariknya
kedua-dua pemerintah misteri dari timur ini menggelar diri mereka sebagai raja
segala raja atau King of kings/ Malik al amlak. Kedua-dua raja ini juga menyatakan
dalam suratnya bahawa mereka mempunyai gajah-gajah yang banyak dalam
kekuasaan mereka. Tambahan lagi kedua-dua pemerintah tersebut dengan bangga
menyatakan bahawa mereka mempunyai Istana dari logam-logam berharga seperti
emas dan perak. Jika dalam surat Maharaja, baginda telah meminta agar
dihantarkan orang utuuk mengajarkan mengenai ajaran dan hukum Islam,
manakala dalam surat Prester John pula baginda meminta agar diajarkan tentang
ajaran Kristian Katholik. Dalam satu versi lain oleh Ibnu Tighribi mengenai surat
kepada Umar abdul aziz, dibahagian akhir suratnya berbunyi: "I have sent you a
present of musk, amber, incense and camphor, Please accept it, for I am your

brother in Islam." This would imply that the Mihraj had accepted Islam. Menurut
S.Q fatimi, berkemungkinan besar memang Maharaja tersebut telah memeluk Islam.
Namun demikian setelah kematian baginda agama Islam tidak diamalkan oleh
penggantinya dan ditolak oleh pembesar-pembesar. Beliau menambah bahawa ada
campurtangan kerajaan Tang yang tidak ingin melihat orang Islam memonopoli
perdagangan di Selat Melaka.Tang dikatakan telah menghantar dutanya untuk
membuat kekacauan di Istana Srivijaya dan menghasut pembesarnya
memberontak. Seperti juga Maharaja Srivijaya atau Zabag, Maharaja misteri ini
turut mengamalkan polisi pintu terbuka demi kesejahteraan kerajaannya. Sifat
keterbukaan dan diplomatik ini memang bersesuaian dengan polisi yang sentiasa
diamalkan oleh kerajaan-kerajaan melayu di Nusantara terutama Srivijaya dan
Melaka. Polisi sebeginilah yang telah menyebabkan kerajaan Melayu terkenal di
seluruh dunia. Dalam surat tersebut juga ada menyatakan bahawa baginda adalah
penguasa dua sungai. Menurut S.Q, dua sungai yang dimaksudkan dalam surat
tersebut adalah sungai Batanghari di Jambi dan sungai Musi di Palembang.
Sebenarnya masih banyak misteri yang menyelubungi surat-surat dari Prester John
tersebut. Ada pendapat menyatakan bahawa surat-surat tersebut adalah saduran
daripada surat yang bertulisan Arab yang didapati dari negeri Arab yang
kemudiannya diterjemahkan kepada bahasa Latin. Pada pendapat saya dakwaan ini
berkemungkinan besar adalah benar. Hal ini ada kaitan dengan jarak masa diantara
surat Maharaja kepada Khalifah dengan surat Prester John kepada Pop dan Maharaja
Byzantine. Surat Prester John dikatakan dihantar semasa dunia Islam dan Kristian
sedang berkecamuk dalam peperangan salib. Ada kemungkinan bahawa surat-surat
yang asal sememangnya adalah surat kepada Khalifah yang disimpan salinannya di
perpustakaan di Syria atau Baitul Maqdis. Setelah Baitulmaqdis ditawan, maka ahli
Sejarah Kristian yang menjumpai surat ini bertindak mengubah isi kandungannya
untuk kepentingan politik dan propaganda Kristian. Jika tealahan saya ini benar
bermakna Prester John yang disebut-sebut oleh orang Kristian barat selama ini
adalah Maharaja Srivijaya itu sendiri. Berbanding dengan catatan dari pencatat
Arab yang hanya mengandungi mukaddimah surat berkenaan sahaja, catatan
Kristian mengenai Prestor John adalah lebih lengkap ( kononnya). Dalam salah satu
surat yang dihantar kepada maharaja Byzantine, Prester John telah dikatakan
mengutuk tindakan Byzantine membantu armada Salib menyerang Jeruselem.
Namun apa yang pasti dalam surat yang sama juga Prester John ada menyatakan
bahawa pada suatu masa nanti ketururunan beginda akan menyerang dan
menawan kembali Jeruselem dan Rome di akhir zaman. Bukankah ini bertepatan
dengan Hadis tentang Bani Tamim dari timur? NAMUN DEMIKIAN JANGAN KITA CEPAT
TERPEDAYA DENGAN SURAT-SURAT VERSI BARAT YANG BEGITU BANYAK DI PASARAN.
Malahan sejak dari abad ke 13 lagi kisah-kisah lagenda mengenai Kerajaan Prester
John telah menjadi rebutan para bangsawan dan keluarga diraja serta orang-orang
yang mampu membeli buku. Ia seolah-olah menjadi sebuah novel terlaris di pasaran
pada ketika itu dan dikatakan telah wujud pelbagai versi yang berlainan dari satu
negeri ke negeri yang lain diseluruh Eropah. Oleh kerana itu kesahihan surat
tersebut tidak dapat dibuktikan lagi. TELAH BANYAK TOKOK TAMBAH DIBUAT.

Malahan menurut sebahagian besar sejarawan tidak pernah ada sebarang


hubungan diantara Kerajaan Kristian di barat dengan mana-mana Kerajaan Prester
John. Ia hanyalah satu Propa pihak Gereja untuk menaikkan prestij Gereja Katolik
yang sedang dalam ancaman pengaruh Islam ketika itu. Malahan sebenarnya
Prester John tidak pernah menyatakan bahawa dia seorang Kristian dalam suratsurat tersebut tetapi dia menyatakan bahawa dia adalah pemyembah tuhan yang
satu sama seperti mereka dan mereka adalah saudara. Ini adalah benar kerana
dalam Islam orang Kristian dianggap sebagai saudara ahli kitab dan juga
penyembah Allah. Yang mengatakan bahawa Prester John adalah Kristian adalah
sejarawan katolik barat yang cuba mengubah surat tersebut dan mengaburi mata
orang Islam dan kita bangsa MALA. Salah seorang daripada periwayat mengenai
Prester John dan kerajaannya yang terkenal di dunia barat adalah Nicolo De Conti.
Nicolo de Conti adalah seorang pengembara dari Itali yang telah menjelajah dunia
timur. Sebelum menjelajah dia dikatakan menghabiskan masa beberapa tahun di
Syria untuk mempelajari bahasa Arab dan budaya Islam. Catatan barat menyatakan
bahawa beliau tidak menganut agama Islam sebaliknya hanya menyamar sebagai
orang Islam untuk memudahkan pengembaraannya. Dia juga berkahwin dengan
seorang wanita India dan mendapat empat orang anak. Saya sebenarnya kurang
percaya dengan dakwaan sejarawan barat ini. Saya yakin bahawa Nicolo de Conti
memang benar-benar menganut ajaran Islam namun ditutup oleh Penguasa Gereja
Katolik di Venice apabila beliau pulang ke sana. Daripada kisah-kisah yang dibawa
pulang oleh beliau inilah munculnya pelbagai lagenda mengenai Kingdom of Prester
John selain daripada surat-surat sebelumnya. Entah bagaimana setelah beliau
pulang, kepulangannya sebagai seorang Muslim telah menimbulkan kemarahan Pop
dan beliau telah dipanggil untuk menjelaskan kedudukannya. Namun saya rasa
dalam keadaan ini untuk menyelamatkan nyawanya dan keluarga beliau terpaksa
berbohong dan mengatakan beliau hanya berpura-pura memeluk Islam. Malahan
untuk memperlihatkan kehebatan ajaran Kristian dan menutup pengaruh Islam,
Prester John telah digambarkan sebagai seorang Kristian dalam buku yang ditulis
kemudiannya atas arahan Pop. Namun ini hanya pendapat saya. Terpulang kepada
anda untuk menilai. Sumber: Melayu Nusantara Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Kebesaran Sriwijaya yang
Nyaris Tak Tersisa palembang Ilustrasi Kota Palembang pada Masa Kesultanan
Palembang Darussalam Kenapa mayoritas orang Palembang di Sumatra Selatan
mirip China, walau ia beragama Islam? Itulah sebagian sisa hidup peninggalan
Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di kawasan Asia. Kerajinan tenun songket
khas Palembang, pakaian adat Palembang yang mirip China, dan tari-tarian
tradisional, termasuk peninggalan Sriwijaya yang hingga kini masih dapat kita
nikmati. Apakah empek-empek juga termasuk jenis udapan yang sudah dikenal
pada masa Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu. Pada abad ke 7 hingga 13 M,
Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim, namanya dikenal
hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan kemudi
kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi
yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak

heran kalau armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan
membawa komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempahrempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin,
kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya, banyak pendatang dari
mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga. Beragam
jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan
yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan.
Beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari
China. Tak heran kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning
langsat dan bermata sipit. Apabila para bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis
pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah keturunannya. Nasib ribuan
pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi pasukan
Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka
harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang
jelas, sebagian dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para
bajak laut asal China yang menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun
lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu Majapahit. Keganasan para perompak
itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang
dan memerangi mereka. Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho,
lalu alih usaha di daratan, beranak pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka
memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China,
dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas perompak yang berangasan. Sebuah
tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I,
Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan
adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka
dan Preman Palembang yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian
yang lebih mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka
adalah keturunan pasukan Majapahit yang menetap disana. Secuil peninggalan
berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum Bala
Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang,
yaitu Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan
Badaruddin II, namun semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya
pemerintah untuk menyatukan ketiganya, dan menamai museum itu Museum
Sriwijaya. Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa
barang antik telah pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung
adalah padang perburuan bagi kolektor dan pedagang barang antik. Kini tak lagi
tersisa. Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya? Itulah pertanyaan yang hingga kini
masih menggantung, karena belum juga ditemukan peninggalan istana atau kraton.
Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit, istana tersebut
dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya
juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak
lengkapan temuan arkeologis tersebut menyebabkan para peneliti kesulitan
menyusun sejarah kemunculan dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap
dan runtut. Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari

pengelana asing, seperti dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari
masa Sriwijaya di Palembang. Empat situs diantaranya memiliki penanggalan
sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi Angsoka, prasasti Kedukan Bukit,
situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa prasasti juga telah
ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para
pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung,
Riau, dan Thailand. Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan
Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan,
Raja Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti
Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa
Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa
pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah,
seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya
juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat
dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra
semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman. Kenapa? Karena
lokasinya jauh dari gunung. Kabar terakhir datang dari Malaysia. Raimy Che-Ross,
peneliti Malaysia, pada tahun lalu menemukan sebuah kota yang hilang di
pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari sebuah naskah kuno milik
Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi
yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra
Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612,
Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang
hilang sebagai Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan,
pasukan Cola bergabung dengan Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya
pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi kota mati, dan tak lama kemudian
dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu digempur pasukan China
pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja Aditiawarman dari
Kerajaan Melayu. Sriwijaya telah hilang ditelan zaman Menurut budayawan dan
ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanifah kepada Kompas,
kebesaran Sriwijaya benar-benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang
Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda. Beberapa candi
dan peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan
alasan teologis. Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa
Sriwijaya tak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang, ujarnya.
Kebesaran Sriwijaya memang benar-benar telah hilang dimakan nafsu para
penjarah, perselingkuhan politik kekuasaan, penyebaran agama baru, dan lalu
musnah ditelan zaman. Kota Palembang yang kini kian metropolis dan hingar bingar
membuat peninggalan masa lalu jadi bertambah kesepian. Pertanyaan penting:
Masih adakah spirit untuk membangkitkan kembali kebesaran masa lalu di hati
sanubari masyarakat Sumatra Selatan, khususnya penduduk Palembang?
Walahualam. Sumber: http://www.akemapa.com Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sriwijaya : pusat agama,
perdagangan, militer Asia Tenggara. Seberapa dekat kita dengan bahari ? Armada

laut andalan Sriwijaya untuk melindungi wilayah kedaulatan dan kekuasaannya


selama lebih 400 tahun. Juga, mengawasi kapal-kapal dagang mancanegara yang
singgah di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya yang bertebaran di Asia Tenggara.
Kemudinya dari kayu onglen hitam sepanjang 8 meter. Armada ini membawa
komoditas perkebunan, rempah-rempah, emas dan perak sampai ke China untuk
ditukar dengan porselen, kain katun dan sutra. Kejayaan gilang gemilang. Siapa
mau ? Indonesia ternyata pernah mengalami. Sriwijaya, nama bercahaya itu.
Kemaharajaan maritim yang menguasai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Filipina, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, Sri Lanka,
bahkan sampai Madagaskar ( 3.300 mil dari ibukota Sriwijaya ). Negeri bahari yang
hebat hingga abad ke-13. Sebuah imperium. Bagaimana bisa ? Pada tahun saka 605
hari kesebelas bulan waiseka, Dapunta Hyang naik di perahu, mengadaan
perajalanan pada hari ke tujuh bulan terang. Bulan jyestha, Dapunta Hyang
berangkat dari Minanga. Tambahan, beliau membawa tentara dua laksa ( 20.000 ),
dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas
banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati. Pada ghari ke lima bulan
terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua perajalanan
jaya sriwijy memberikan kepuasan. Demikian, isi prasasti Kedukan Bukit, yang
menyebut maharaja Sriwijaya ( Dapunta Hyang ) dan ibukota Sriwijaya kala itu
( Minanga ). Sriwijaya, di mana situsmu ? Budha atau Islam. Sriwijaya, kerajaan
Melayu Kuno di Sumatera, berpengaruh di nusantara ( 683-1100 M ). Sri berarti
gemilang. Wijaya berarti kejayaan. Sekitar tahun 500 M, Sriwijaya mulai
berkembang di sekitar Palembang. Tiga zona utama : ibukota muara berpusat di
Palembang ( diperintah raja ), daerah pendukung di lembah Sungai Musi ( diperintah
datu setempat ), dan daerah pesaing yang menjadi pusat kekuasaan saingan.
Tentang ibukota Sriwijaya, ada yang mengatakan di tepi Sungai Musi ( antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking, Sumatera Selatan ). Lainnya ( Soekmono )
mengatakan di kawasan sehiliran Batang Hari ( antara Muara Sabak sampai Muara
Tembesi, Jambi ). Yang jelas, hulu S.Musi kaya komoditas berharga bagi pedagang
Tiongkok. George Coedes, sejarawan Perancis, mengetahui keberadaan situs
Sriwijaya, tahun 1918. Pierre Yves Manguin membuktikan letak ibukota Sriwijaya,
tahun 1992. Masyarakat kosmopolitan nan kompleks dengan pikiran Budha
Wajrayana menghuni ibukota Sriwijaya. Negara kesatuan dalam dimensi struktur
otoritas politik Sriwijaya mengenal istilah kadatuan, vanua, samaryyada, mandala
dan bhumi. Kadatuan : kawasan datu ( tanah rumah ), tempat tinggal bini haji,
tempat disimpan emas, hasil cukai yang mesti dijaga. Vanua : mengelilingi
kadatuan, merupakan kawasan kota Sriwijaya dengan vihara untuk tempat ibadah
masyarakatnya. Samaryyada : kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang
terhubung jalan khusus dengan kawasan pedalaman. Mandala : kawasan otonomi
dari bhumi yang dipengaruhi kadatuan Sriwijaya. Penguasa Sriwijaya disebut
Dapunta Hyang ( maharaja ). Dalam lingkaran raja, ada putra mahkota, putra
mahkota kedua dan pewaris berikutnya. Dalam catatan Arab, Sriwijaya dikenal
sebagai kerajaan Zabag, karena bandar utamanya berada di Muara Sabak, di
Sungai Batanghari. 1000 biksu, maharaja muslim. Chengho vs perompak. Sriwijaya

setelah dipengaruhi budaya India ( Hindu ), kemudian Budha ( 425 M ). Pusat


terpenting Budha Mahayana. Melalui perdagangan dan penaklukan ( abad 7-9 M )
oleh raja2 Sriwijaya, bahasa dan budaya Melayu di nusantara turut berkembang.
Semula, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana2 Asia yang ingin belajar
ajaran Budha Vajrayana, Hinayana dan Mahayana. Lebih 1000 biksu Budha hilir
mudik dalam benteng kota Sriwijaya. Kemahsyuran Sriwijaya sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara, kemudian menarik minat para pedagang dan ulama
muslim Timur Tengah. Bahkan, Sri Indrawarman ( raja Sriwijaya, tahun 718, diduga
masuk Islam ) tertarik mempelajari Islam dan kebudayaan Arab. Surat pun dikirim
ke khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 717-720, dari Bani Umayyah ) di Damaskus,
Suriah, agar khalifah sudi mengirim daI ke istana Sriwijaya. Tahun 724, utusan
Sriwijaya berikutnya dikirim ke khalifah Muawiyah I. ( saya sempat heran, mengapa
saya gandrung nonton film silat mandarin ? padahal kulit sawo dan mata bulat
( bukan tikus, si mata bulat, ya ). Sampai di kepala, ada pria khayalan, sosok ksatria
tanpa tanding. Berkaca pada masa lalu,meski ada ribuan biksu dalam benteng
Sriwijaya, toh maharaja Sri memeluk Islam. Bahkan, Laksamana Chengho ( asli
China, diutus kaisar untuk membasmi perompak di Sriwijaya ) juga seorang muslim.
Mengapa saya merasa familiar dengan para biksu, sedikitnya, sudah terjelaskan kini
). I Tsing, biksu China, mengunjungi Sriwijaya ( 671 M ) untuk belajar tata bahasa
sansekerta selama 6 bulan. Lalu, belajar Budha Mahayana di Universitas Nalanda
( tertua ke-3 di dunia, setelah Academia ( didirikan Plato, abad 3 SM ) dan Leichon
( didirikan Aristoteles, abad 3 SM ), selama 13 tahun. Tahun 685, I Tsing kembali ke
Sriwijaya menterjemahkan teks Budha ke bahasa China dan 4 tahun menyusun
buku memoarnya. Tahun 695, ia kembali ke China. Tahun 902, Sriwijaya mengirim
upeti ke China. Tahun 904, raja dinasti Tang menganugerahi gelar pada utusan
Sriwijaya yang bernama Arab. Tahun 1011-1023, Atisa, reformis Budha di Tibet,
belajar pada mahaguru Dharmakirti ( kepala kuil Budha, sarjana terbesar masa itu )
di Sriwijaya. Kulothunga Chola I ( ketika Sriwijaya dianggap bagian dari dinasti Chola
) membantu perbaikan candi Tien Ching Kuan ( Yuan Miau Kwan ). Kekuatan
ekonomi Sriwijaya. Malaysia, Singapura dari mana ? Pagoda Borom That bergaya
Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Chaiya, di provinsi Surat Thani, adalah ibukota
kerajaan Khmer awal ( daerah Sriwijaya ). Setelah itu, Chaiya terbagi menjadi 3 kota
: Chaiya, Thatong dan Khirirat Nikhom. Ternyata kemiripan kita ( warga Asia
Tenggara ), karena leluhur kita. Sriwijaya penghasil kapur barus, wangi-wangian,
kayu gaharu, buah-buahan, kapas, gading gajah, cula badak, emas, timah, cengkeh,
pala, kapulaga, dan rempah2 lain, membuat raja2-nya sekaya raja India.
Memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal2-nya di seluruh Asia
Tenggara. Menjalin hubungan dagang dengan India, China dan Arab. Mendapat
keuntungan dari jatuhnya dinasti Tang, naiknya dinasti Sung ( Fujian ), Ming dan
Han (Guangdong) di China. Utusan Sriwijaya datang ke Tiongkok ( China ) tahun
702-716, 728-742, 960 & 983, 988-992-1003, 1008, 1017, 1079. Begitu intens. Why
? Mengapa kebanyakan orang Palembang mirip China ? Kuning langsat, bermata
sipit. Ternyata perintis Sriwijaya, Atung Bungsu, adalah putra mahkota Kerajaan
Kushans (Rau), India, yang raja2-nya keturunan kaisar Liu Pang (dinasti Han), China.

Selama 200 tahun kejatuhannya, Sriwijaya sempat dikuasai para perompak China,
sampai Chengho dan pasukannya datang, menghentikan kebringasan mereka. So,
darah biru, darah ksatria (dan darah bandit) beranak pinak di sana. Sriwijaya
menjadi pengendali rute perdagangan rempah yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Pelabuhan dan gudang perdagangan dibangun untuk melayani
pasar Tiongkok dan India. Tahun 903, penulis muslim, Ibnu Batutah, sangat terkesan
dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah. Faktor2 yang mendorong Sriwijaya menjadi
kerajaan besar : letaknya yang strategis di jalur perdagangan, kemajuan pelayaran
dan perdagangan antara China dan India melalui Asia Tenggara, runtuhnya kerajaan
Funan di Indochina sehingga Sriwijaya bisa menggantikan perannya, Sriwijaya
mampu melindungi pelayaran, perdagangan di perairan Asia Tenggara dan
memaksa singgah di pelabuhan2-nya. Sejarah Malaysia terkait dengan sejarah
Indonesia. Malaka, kerajaan tertua di negeri jiran ini, pendirinya seorang pangeran
Palembang dari trah Sriwijaya (sesuai Hikayat Melayu). Pada abad 15, keagungan,
gengsi dan prestise Sriwijaya menjadi sumber legitimasi politik penguasa di
kawasan Asia Tenggara. Kesultanan Malaka mengontrol wilayah Semenanjung
Malaysia, Pattani (Thailand selatan) dan pantai timur Sumatera. Malaka menjadi
pelabuhan penting di tengah rute perdagangan China dan India. Pada abad 10,
tumbuh kota2 pelabuhan (Hindu Budha) seperti : Langkasuka & Lembah Bujang di
Kedah, Beruas dan Gangga Negara di Perak, Pan Pan di Kelantan. Islam baru tiba
abad 14 di Terengganu. Kekuatan militer Sriwijaya : di laut kita jaya. Negara adidaya
dengan kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya bukan milik AS dan
sekutunya ( PD I & II). Tahun 682, Sriwijaya (masa Sri Jayanasa) pernah mengirim
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti.
Kerajaan Tarumanagara ( Jawa Barat ) dan Kalingga pun runtuh (dikuasai Sriwijaya .
Setelah ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Malaya, Sriwijaya mengendalikan 2
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Pelabuhan Cham, timur Indochina
(abad 7) yang mulai mengalihkan banyak pedagang di Sriwijaya diserang
Dharmasetu ( maharaja Sriwijaya ). Kota Indrapura ( tepi Sungai Mekong ) jatuh ke
tangan Sriwijaya. Langkasuka di Semenanjung Melayu, Pan Pan dan Trambralinga
pun di bawah pengaruh Sriwijaya. Putri raja Kien-pi ( Jambi ), bawahan Sriwijaya,
menulis surat dan menyerahkan ( melalui duta besarnya ) 227 tahil perhiasan,
rumbia dan 13 potong pakaian pada kaisar Yuan Fong ( China ) pada tahun 1082.
Menurut sumber Tiongkok ( buku Chu-fan-chi ), tahun 1178, di kepulauan Asia
Tenggara, ada 2 kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni : San-fo-tsi ( Sriwijaya )
yang memeluk Budha, dan Cho-po ( Jawa ) yang memeluk Hindu dan Budha.
Sriwijaya ( masa Dharmasraya ) membawahi 15 daerah : Kamboja, Tambralingga
( Thailand ), Chaiya, Langkasuka, Kelantan, Pahang, Terengganu, ( muara sungai )
Dungun, Cherating, Semawe, ( sungai ) Paha, Lamuri ( Aceh ), Palembang, Jambi
dan Sunda ( Sin-to ) Sriwijaya mengandalkan hegemoni kekuatan armada laut
untuk menguasai jalur pelayaran, perdagangan dan membangun pangkalan
armadanya yang strategis untuk melindungi kapal2 dagang, memungut cukai dan
menjaga wilayah kedaulatan ( dan kekuasaannya ). Apa kata prasasti dan

manuskrip ? Prasasti Talang Tuwo ( abad 7 ) menggambarkan ritual Budha untuk


memberkati peresmian Taman Sriksetra, hadiah raja Sriwijaya untuk rakyatnya.
Prasasti Telaga Batu menggambarkan hirarki pejabat kerajaan dan kerumitannya.
Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa.
Semuanya menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit ( 682 M )
menyebutkan : raja Jayanasa ( Sriwijaya ) menaklukkan kerajaan Minanga ( Melayu )
yang kaya emas ( memiliki pertambangan emas ) sehingga meningkatkan prestise
kerajaan. Swarnnadwipa ( pulau emas ). Koin emas digunakan sebagai alat tukar di
pesisir kerajaan sejak abad 7. Prasasti yang ditemukan di Sungai Tatang ini juga
menyebut ibukota Sriwijaya kala itu di Minanga. Menurut prasasti Nalanda ( 860 M ),
raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara pada Universitas Nalanda.
Prasasti Leiden menyebutkan raja Sri Mara-Vijayottunggawarman membangun
Vihara Culamanivarmma di Negapatam ( 1005 M ) untuk dinasti Chola, India, dan
meminta kawasan sekitar vihara tersebut dibebaskan dari cukai. Keterkaitan
Sriwijaya dan dinasti Syailendra tersebut di prasasti Kalasan ( Jawa ), prasasti Ligor (
Thailand selatan ), prasasti Nalanda ( India ) dan prasasti Sojomerto. Kedatangan
Dapunta Hyang ke Palembang menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini
( Syailendra ) pindah ke Jawa Tengah atau Yogyakarta, menggantikan wangsa
Sanjaya. ( sebelumnya, tahun 672 M, Jawa ditaklukkan Sriwijaya ). Tahun 856,
Balaputradewa kehilangan kekuasaannya di Jawa dan kembali ke Suwarnadwipa
( Sriwijaya ). Tahun 990, Jawa menyerang Sriwijaya. Tahun 1183, menurut prasasti
Grahi ( Thailand ), Sriwijaya diinvasi Dharmasraya ( dinasti Mauli kerajaan Melayu ).
Prasasti Pucangan menyebut peristiwa Mahapralaya : Haji ( gelar bawahan Sriwijaya
) Wurawari dari Lwaram, menyerang kerajaan Medang di Jawa Timur hingga
menewaskan Teguh Dharmawangsa. Prasasti Tanjore ( bertarikh 1030 M )
menyebutkan : tahun 1017 dan 1025, raja Rajendra Chola I mengirim ekspedisi laut
untuk menyerang Sriwijaya dan menawan raja Sangrama-Vijayottunggawarman.
Rajendra membiarkan raja2 taklukkannya tetap berkuasa selama tunduk
kepadanya. Prasasti Tanjore juga menyatakan ibukota Sriwijaya kala itu di Kadaram
( Kedah ). Kemudian, Dharmasraya muncul sebagai kekuatan baru dan menguasai
kembali Sriwijaya dan wilayah kekuasaannya. Dalam Pararaton, untuk menaklukkan
Bhumi Malayu, Kertanagara ( raja Singosari, penerus Kediri ), mengirim ekspedisi
Pamalayu ( 1275 M ) dan menghadiahkan arca Amoghapasa pada Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa ( raja Melayu ) di Dharmasraya. Tertulis di
prasasti Padang Roco ( di Siguntur, 1286 M ) dan prasasti Grahi ( di Thailand, 1183
M ). Manuskrip Nagarakretagama menguraikan daerah jajahan Majapahit, namun
tak menyebut lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya dikuasai
Sriwijaya. Dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan, disebut Arya Damar
( Adityawarman ) sebagai bupati Palembang, membantu Gajah Mada menaklukkan
Bali ( 1343 M ). Tahun 1347, Adityawarman memproklamirkan diri sebagai raja di
Malayapura ( sesuai manuskrip di belakang arca Amoghapasa. Sebelum 1377,
dalam Kitab Undang2 Tanjung Tanah terdapat kata Bumi Palimbang ( Sriwijaya ).
Hati-hati erosi, bisa meluluhlantakkan imperium. Candi Bungsu, di Muara Takus
( Riau ) dibangun raja Sri Cudamaniwarmadewa ( Sriwijaya, tahun 1003 ) untuk

kaisar China. ( foto : wisatamelayu ) Kemunduran Sriwijaya dimulai sejak serangan


raja Teguh Dharmawangsa ( Jawa, 990 M ), lalu serangan raja Rajendra Chola I
( Koromandel, India, 1025 M ), menyusul serangan kerajaan Dharmasraya ( 1183
M ), lalu diserang Singosari ( 1290 ) dan terakhir ditaklukkan kerajaan Majapahit
( Jawa Timur, 1377 M ) dalam upaya menyatukan nusantara ( Sumpah Palapa, Gajah
Mada ). Antara tahun 1377-1512 M, Sriwijaya sempat dikuasai perompak China,
sampai Chengho datang memerangi mereka. Tahun 1293, muncul Majapahit,
pengganti Singosari. Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta dan menugasi
Adityawarman ( peranakan Melayu dan Jawa ) untuk menaklukkan Swarnnabhumi
( 1339 M ). Nama Sriwijaya tak disebut lagi, diganti nama Palembang. Tahun 1347,
menjadi Malayapura, di bawah dinasti Mauli. Tahun 1409, ditaklukkan kembali oleh
Majapahit. Sebagian bangsawan Sriwijaya pindah ke Malaka ( Tumasik ). Faktor
kemunduran Sriwijaya : perubahan alam sekitar Palembang, sungai menjadi dangkal
karena endapan lumpur sehingga kapal sulit merapat ke pelabuhan, terbukanya
Selat Berhala menjadikan posisi Jambi lebih strategis dari Palembang, Sriwijaya
hanya memiliki angkatan laut yang bisa diandalkan, sehingga terpaksa berbagi
hegemoni dengan Airlangga, Jawa Timur yang memiliki pasukan tangguh di darat,
serangan beruntun dari kerajaan2 pesaing akhirnya menumbangkannya.
Peninggalan2 Sriwijaya banyak dijarah dan dibenamkan dengan alasan ekonomi dan
teologi sehingga sulit menemukan jejak kejayaan Sriwijaya pada masa kita. Malaka
menjadi koloni Portugis ( 1511 M ) dengan kekuatan militer. Sultan terakhir lari ke
Kampar ( Sumatera ) dan wafat di sana. Putranya pergi ke utara Semenanjung
Malaysia dan mendirikan Kesultanan Perak. Putra lainnya ke selatan, melanjutkan
Kesultanan Malaka Tua ( kini dikenal Kesultanan Johor ). Setelah Malaka jatuh,
kontrol atas Selat Malaka diperebutkan antara Portugis, Kesultanan Johor dan
Kesultanan Aceh. Peperangan berakhir tahun 1641, ketika Belanda ( bersekutu
dengan Kesultanan Johor ) mengambil alih Malaka. Tahun 1824, Inggris mengambil
alih Malaka, melalui perjanjian dengan Belanda. Pemukiman Selat yang kemudian
dibentuk, memiliki 3 pelabuhan : Singapura, Penang dan Malaka. Warisan Sriwijaya :
bahasa & bangsa yang besar. Warisan terpenting Sriwijaya adalah bahasa yang
digunakan di berbagai bandar dan pasar. Hubungan dagang menjadi wahana
penyebaran bahasa Melayu Kuno ( leluhur bahasa Melayu ( bahasa nasional
Malaysia ) dan bahasa Indonesia ( bahasa nasional kita )). Sebagai alat komunikasi
kaum pedagang dari berbagai suku bangsa di nusantara, bahasa Melayu kemudian
menjadi lingua franca ( penghubung ), yang digunakan secara luas oleh banyak
penutur. Samaratungga ( 792-835 M ), berbeda dengan pendahulunya yang
ekspansionis, memilih memperkuat penguasaan Sriwijaya atas Jawa. Raja dari
wangsa Syailendra ini membangun Candi Borobudur ( 825 M ), Candi Kalasan, Candi
Sewu, dari batu andesit. ( candi Budha yang dibangun di Sumatera dari bata
merah : Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, Biaro Bahal ). Arca Budha dan
Bodhisatwa Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang, Jambi, Bidor, Perak dan
Chaiya, menampilkan keanggunan khas seni Sriwijaya, yang diilhami langgam
Amarawati, India dan Syailendra, Jawa. Keluhuran Sriwijaya menjadi inspirasi seni
budaya, seperti lagu dan tari tradisi Gending Sriwijaya. Tari Sevichai ( Sriwijaya )

diciptakan kembali oleh masyarakat Thailand selatan, berdasarkan keanggunan seni


Sriwijaya. Sriwijaya adalah sumber kebanggaan nasional dan segenap bangsa
Melayu. Bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Identitas daerah bagi penduduk
kota Palembang, Sumatera Selatan. Diabadikan sebagai nama jalan di berbagai
kota, universitas ( Universitas Sriwijaya, sejak 1960 ), unit komando militer ( Kodam
II Sriwijaya ), perusahaan pupuk ( PT. Pupuk Sriwijaya ), harian umum ( Sriwijaya
Post ), televisi ( Sriwijaya TV ), maskapai penerbangan ( Sriwijaya Air ), stadion
( Gelora Sriwijaya ), klub sepakbola ( Sriwijaya Football Club ), dll. Negara kesatuan,
kebanggaan bangsa. Bercerminlah. Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi kaum
nasionalis abad 20 untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara kesatuan sejak
dahulu kala. Persatuan politik raya, berupa kemaharajaan ; persekutuan kerajaan2
bahari yang bangkit, tumbuh dan berjaya di masa lalu. Menengok sejarah nenek
moyang kita, anda percaya kita bangsa yang besar ? Raja muda Khmer ( Kamboja )
pernah membual ingin menyantap kepala maharaja Sriwijaya di piringnya. Tak lama,
Sriwijaya menyerang Khmer, memenggal kepala si pembual, membalsemnya,
mengirimnya dalam kuali, sebagai peringatan bagi pengganti raja naas itu.
Jayawarman II dibawa ke istana Syailendra ( di Jawa ) untuk dididik menjadi raja
Khmer yang benar. Kisah mendebarkan ini terjadi tahun 851 M, ketika Borobudur
dibangun ( masa keemasan Sriwijaya ). Ditulis seorang Arab bernama Abu Zaid
Hasan dari cerita pelayaran seorang pedagang bernama Sulaiman. ( tahun 2011,
Indonesia menjadi penengah konflik perbatasan Kamboja Thailand ) Hari ini, ketika
aparat negara tetangga memprovokasi perbatasan ( kedaulatan ) NKRI, apakah kita
masih besar ? Negara2 asing menguras kekayaan alam dan laut Indonesia ( sampai
anak cucu kita yang belum lahir pun terjerat hutang ), apa kita masih besar ?
Leluhur kita, sangat dipandang oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara, China, India dan
Arab. Dua populasi manusia terbesar di dunia melalui halaman rumah kita ( Selat
Malaka : Singapura, Penang, Malaka, Selat Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut
China Selatan ). Sumber: http://anisavitri.wordpress.com/ Posted 3rd November
2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sejarah Kerajaan
Sriwijaya By: baripalembang.blogspot.com Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
maritim yang terkuat di pulau Sumatera dan termasuk salah satu kerajaan yang
berpengaruh di Nusantara karna luas nya daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
mulai dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa juga
Pesisir Kalimantan. Nama Sriwijaya sendiri di ambil dari Bahasa sangsekerta Sri
berarti Gemilang dan Wijaya Berarti Kejayaan, maka makna dari nama Sriwijaya
adalah Kejayaan yang Gemilang. tidak ada yang tahu dengan pasti kapan awal
berkembangnya dan kapan pula berakhirnya kerajaan Sriwijaya namun diperkirakan
pada abad ke-7 M Kerajaan Sriwijaya telah berdiri. Urutan Sejarah Kerajaan
Sriwijaya Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya tahun 671 adalah tahun awal
yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu
Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju
india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui
Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di
terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching

singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya
kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan
jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya "....
banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama
satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". Tahun
683 M - Prasasti Kedukan Bukit Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M.
Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai
Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang.
Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 80 cm ini ditulis dalam aksara
Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang
memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan
Kejadian yang terjadi pada saat itu. Isi prasasti kedukan bukit yang telah di
terjemahkan: Tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan
penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang
berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti
di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683
Dapunta Hyang datang membuat wanua Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo Prasasti
ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis
Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm
ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam
prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan
taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon
yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra. Tahun 686 M Prasasti kota kapur Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan
ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian
puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur
karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat
Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der
Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang
yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang
Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik
untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di
ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang
Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja
Sriwijaya masuk islam Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman
yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul
Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang
memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus,
dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan

pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk
Khalifah Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya Surat
kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam
karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi : Dari Raja di raja... yang
adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhantuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda
persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukumhukumnya. Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina Sama hal nya
dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun
717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina
berupa ts'engchi Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya Hal ini di
dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor
saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti
Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya
disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya,
sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya
Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya di kisaran Tahun ini lah di
perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan
mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada
tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara
Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya Tahun 860 M Balaputradewa Naik Tahta Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di
Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di
Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja
di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari
sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan
sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan
Dewi Tara, anak Dharmasetu" Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa
Teguh dari Jawa Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari
dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan
dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling
mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di
kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan
Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan
di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk
menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan
Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil
menaklukkan Sriwijaya. Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh dalam
Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa
hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan
sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan.
Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut. Tahun 1003 M - Sri

Cudamaniwarmadewa keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada


abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama
budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik
Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama
maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa. Tahun 1008 M
- Sri Mara-Vijayottunggawarman Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada
lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan
berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat di temukan nya yaitu di KITLV Leiden,
Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden. Nama Sri MaraVihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri
Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari
Tamil, selatan India Terjemahan Prasasti Leiden : Raja Sriwijaya, Sri MaraVijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun
sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma Tahun 1025 M Kehancuran Kerajaan Sriwijaya Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari
Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan
pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang
dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di
nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3
Warisan Sejarah Kemaharajaan Sriwijaya Berdasarkan Hikayat Melayu pendiri
Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang keturunan keluarga
bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad
ke-15 keagungan gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan
sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Nama Sriwijaya
telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota dan nama ini
telah melekat dgn kota Palembang dan Sumatera Selatan.Universitas Sriwijaya yg
didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya.
Demikian pulaKodam Sriwijaya (unit komando militer) PT Pupuk Sriwijaya
(Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan)Sriwijaya Post (Surat kabar harian di
Palembang) Sriwijaya TV Sriwijaya Air (maskapai penerbangan) Stadion Gelora
Sriwijaya dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang) semua
dinamakan demikian utk menghormati memuliakan dan merayakan kegemilangan
kemaharajaan Sriwijaya. Di samping Majapahit kaum nasionalis Indonesia juga
mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa
lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan
nasional dan identitas daerah khusus bagi penduduk kota Palembang provinsi
Sumatera Selatan dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang
keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yg sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand
Selatan yg menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yg berdasarkan pada
keanggunan seni budaya Sriwijaya. Sumber : http://blog.re.or.id/sejarah-kerajaansriwijaya.htm Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a
comment Nov 3 Sejarah Kerajaan Sriwijaya Dalam bahasa Sansekertasri berarti

bercahaya dan wijaya berarti kemenangan. Bukti awal mengenai keberadaan


kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing menulis
bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan
Bukit di Palembang bertarikh 682. Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat
di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya
meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan
Sulawesi. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai
menyusut dikarenakan beberapa peperangand iantara serangan dari raja
Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa
dari Koromandel India, selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan
Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah Kerajaan Majapahit.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara
selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi
referensi olehkaum nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu
kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda. Sriwijaya disebut dgn berbagai
macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi atau San Fo
Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara
dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg
berkaitan dgn Sriwijaya. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh
sejarawan Perancis George Cds dari cole franaise dExtrme-Orient. Sekitar
tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di
provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang
Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi. Pembentukan dan Pertumbuhan
Kerajaaan Sriwijaya Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan
negara maritim. Negara ini tak memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan
Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh
3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah
sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah
ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai
daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat
kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg
berharga utk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa
sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat. Ekspansi
kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol
dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan
reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan
Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan
beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan

dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer
memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan
Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya
emas telah meningkatkan prestise kerajaan. BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg
berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan
Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada
Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata. Abad ke-7
orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu
dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa
Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad
ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa
berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga
berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya
meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku
Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi
kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga
menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi
lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada
tahun 825. Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya Sebagaipusat pengajaran Budha
Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di
Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan
695 serta di abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan
dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa
Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke pulau ini menyebutkan
bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Relasi
Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional Dari catatan sejarah danbukti arkeologi
dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung
Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya

mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg


melayani pasar Tiongkok dan India. Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi
daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di propinsi
Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya Sriwijaya. Setelah
kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya
Thatong (Kanchanadit)
n Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala
dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan
seorang biara kepada Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India
selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik
tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11. Minanga merupakan kekuatan
pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7.
Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan
kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian
Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan. Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti
Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan
negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim
Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan
meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902
Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti
Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok
utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masamasa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah
masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya Rajendra
Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan
Kedah dan merampas dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan
penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut
keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa.
Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja
yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi
tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya dan kemudian
beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri dan kemudian muncul
Kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan
semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri. Istilah San-fo-tsi
terutama pada tahun 1225 tak lagi identik dgn Sriwijaya melainkan telah identik
dgn Dharmasraya dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah jadi
dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
kerajaan Dharmasraya yg sebelum merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan
berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya. Antara tahun 1079 1088 kronik Tionghoa masih mencatat bahwaSan-fo-tsi masih mengirimkan utusan

dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao disebutkan
bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu
Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan
surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg
diserahi urusan negara San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan
rumbia dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dgn pengiriman utusan
selanjut di tahun 1088. Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg
ditulis pada tahun 1178 Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia
Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya yakni San-fo-tsi dan Chopo (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama Budha dan Hindu
sedangkan rakyat San-fo-tsi memeluk Budha dan memiliki 15 daerah bawahan yg
meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-si-kia
(Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah
Terengganu sekarang) Ji-lo-ting (Cherating pantai timur semenanjung malaya)
Tsien-mai (Semawe pantai timur semenanjung malaya) Pa-ta (Sungai Paka pantai
timur semenanjung malaya) Tan-ma-ling (Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kialo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-lin-fong (Palembang) Kien-pi
(Jambi) Sin-to (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan (Kamboja).
DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut Arya Damar
sebagai bupati Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan
Bali pada tahun 1343 Prof. C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan
kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura sesuai dgn manuskrip yg terdapat pada bagian belakang Arca
Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yg kemungkinan
ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang. Pada
tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi
dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg
dikenal dgn nama Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
raja Melayu di Dharmasraya seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan
selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari dan
setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta memberikan tanggung jawab
kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk kembali
menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya
sudah tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn
Nagarakretagama yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit. Perdagangan
Kerjaaan Sriwijaya Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan Tiongkok yakni dgn penguasaan atas selat Malaka
dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi
seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan timah yg
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia
Tenggara. Pengaruh Budaya dan Agama Islam Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula

oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425
Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja
Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara. Sangat
dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan
di Asia Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai
dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan
ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yg semula merupakan bagian dari
Sriwijaya kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya. Pengaruh orang muslim Arab
yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri Indrawarman
masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial
Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim
sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di
Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin
Abdul Aziz (717-720M) dgn permintaan agar khalifah sudi mengirimkan dai ke
istana Sriwijaya. Raja-raja Sriwijaya : Para Maharaja Sriwijaya Tahun Nama Raja
Ibukota Catatan Sejarah 671 Dapunta Hyang Sri Jayanasa Srivijaya Catatan
perjalanan I-tsing di tahun 671-685Prasasti Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684)
dan Kota Kapur Penaklukan Malayu penaklukan Jawa 702 Sri IndravarmanChe-li-tole-pa-mo SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 702-716 724Utusan ke Khalifah
Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz 728 Rudra VikramanLieou-teng-weikong SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 728-742 743-760 Tidak ada berita
pada periode ini Pindah ke Jawa Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
760 Maharaja WisnuDharmmatunggadewa Jawa Prasasti Ligor A menaklukkan
Kamboja. 775 Dharanindra Sanggramadhananjaya Jawa Prasasti Candi Kalasan 778
782 Samaragrawira Jawa Prasasti Nalanda 792 Samaratungga Jawa Prasasti Karang
Tengah tahun 824.825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur Kebangkitan
Wangsa Sanjaya Rakai Pikatan 835 Balaputradewa SrivijayaSuwarnabhumi
Kehilangan kekuasaan di Jawa dan kembali ke SrivijayaPrasasti Nalanda (860) 860960 Tidak ada berita pada periode ini 960 Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-litan SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 960 & 962 980 Hie-tche (Haji)
SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 980 & 983 988 Sri CudamanivarmadevaSe-lichu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 988-9921003990 Jawa menyerang Srivijaya pembangunan kuil utk Kaisar China Prasasti
Tanjore atau Prasasti Leiden (1044) pemberian anugrah desa oleh raja-raja I 1008
Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 1008
1017 Sumatrabhumi SrivijayaSan-fo-tsi Utusan ke Tiongkok 1017 1025
Sangramavijayottungga SrivijayaSan-fo-tsi Diserang oleh Rajendra
ColadewaPrasasti Chola pada candi Rajaraja Tanjore 1028 Dibawah Dinasti Rajendra
Coladewa dari Koromandel 1079 Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
PalembangPa-lin-fong Utusan ke Tionkok 1079Memperbaiki candi Tien Ching di
Kuang Cho (dekat Kanton) 1100 Rajendra II PalembangPa-lin-fong 1156 Rajendra III

PalembangPa-lin-fong Piagam Larger Leyden Plates 1183 Dibawah Dinasti Mauli


Kerajaan Melayu 1183-1286 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand 1286-1293 Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di
Siguntur 1293-1339 Tidak ada berita pada periode ini 1339 Palembang Dibawah
Dinasti Majapahit 1347 Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra
Maulimali Warmadewa Malayapura Kembali dibawah Dinasti Mauli 1409 Penaklukan
kembali oleh Majapahit sebagian dari bangsawan pindah ke Tumasik atau Malaka
Sumber: dari berbagai sumber Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa
Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sekilas Sejarah Tentang "Venitie Van Oost"
Written by: Apriansyach Taufik Jembatan Ampera dan Sungai Musi Rabu, 29 Juni
2011 bertepatan dengan Hari Libur Peringatan Isra' Mi'raj, menjelang sore diantara
dua rak buku di salah satu toko buku ternama yang ada di jalan Margonda Raya
Depok, rencananya sih mau cari buku tentang Maintenance of Medical Equipment.
Bosen karena buku yang dicari ga ketemu, iseng - iseng cari buku di rak kumpulan
buku sejarah dan sosial, eh ga sengaja nemuin sebuah buku (maaf judunya lupa)
yang membahas tentang kearifan lokal dari sebuah kota pada masa Kolonial
Belanda yang dijuluki sebagai "Venetie van Oost" atau dalam bahasa Inggrisnya
"Venice of The East" alias Venesia dari Timur. Kota ini juga dijuluki sebagai Negeri
Seribu Sungai, Negeri Batanghari Sembilan dan Bumi Sriwijaya, Palembang. Saking
asyiknya membaca, sampai-sampai lupa dengan tujuan awal ke toko buku. Alhasil
hari sudah hampir menjelang Shalat Ashar tiba. Tapi Alhamdulillah waktu tak
terbuang dengan percuma, meskipun ga ada buku yang jadi dibeli, setidaknya saya
bisa mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai kota dimana tempat nenek
moyangku berasal secara gratis. Hehe... Lembar demi lembar saya baca dengan
sekilas, sambil melihat-lihat gambar yang memuat foto-foto tentang situasi kota
dan masyarakat Palembang pada masa Kolonial Belanda. Sentak mataku tertuju
pada dua buah puisi. Mungkin bagi sebagian orang bait dari setiap kalimat yang
ditulis pada puisi-puisi tersebut akan terlihat cukup sederhana, namun tidak bagiku,
karena kedua puisi itu berisikan tentang nilai dan pesan yang mengkiaskan suasana
batin dari sang penulis mengenai fenomena dan situasi yang terjadi pada masa itu.
Berbekal sebuah "handphone butut" , saya tulis bait-bait dari puisi tersebut. Berikut
kutipannya: (Djawatan Penerangan, Sumatera Selatan 1965) Berajoen berombak
deras di bawah Tenang, bersatu alam djaja sempoerna Dempo rujukan Batanghari
Sembilan Riak gelombang Musi menawan Tu lah dia Sumatera Selatan Puisi tersebut
mengkiaskan tentang indahnya suasana dari Sungai Musi yang telah menjadi simbol
peradaban yang menemani sepanjang sejarah kota tua ini, dan menjadi saksi atas
derasnya arus kehidupan Provinsi Sumatera Selatan dari masa ke masa. Beranjak
dari puisi yang pertama diatas, berikut kutipan puisi yang kedua yang saya dapati:
"Delapan Cerobong Asap" Karya: Alifiah Sahib Obor Rakyat, Palembang, 16 Juli 1961
Asap terus mengepul Angin tetap berdendang Perusahaan asing terus mengeruk
kekayaan Di muara aliran Komering Menghiasi dua perusahaan di pematang Tangan
Musi menyapa Mari kita nak ke laut Ke samudera intip penyelundup Komering dan
Lematang dengan riak-riak litjah Tertawa bersatu guna melindungi gadis Palembang

Bila pesta di air Musi Selesai di tahun djanji Gadis berkerudung bukakan tirai
Budjang Palembang meminang ke Uluan Pada puisi yang kedua ini tak hanya
mengkiaskan tentang besarnya fungsi Sungai Musi sebagai bagian dari sejarah
masyarakat setempat, namun juga berkisah tentang hiruk pikuk perkembangan dan
permasalahan Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan peradaban dari
Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian memuat tentang keragaman budaya serta
persatuan masyarakat Sumatera Selatan dalam menghalau dan melindungi Kota
Palembang dari ancaman penjajah dan penyelundup dari luar. Memang takkan
pernah habis kata untuk mengulas perjalanan sejarah dari kota tua yang satu ini,
dimana tempat bertemunya berbagai unsur budaya sejak zaman kejayaan
imperium maritim nusantara Kerajaan Sriwijaya, mungkin sebagian dari kita tak
banyak yang tahu dan mengenal eksistensi dari kerajaan ini, karena dari beberapa
buku pelajaran sejarah yang disajikan untuk SD, SMP hingga bangku SMA terkadang
bahasan mengenai kerajaan yang satu ini tidaklah diulas dengan lebih rinci, hal ini
dikarenakan memang sulitnya para pelaku dan peneliti sejarah untuk mencari buktibukti fisik peninggalan kejayaannya, dan juga sebagai imbas dari politik masa lalu
negara ini yang cenderung untuk tidak mengangkat kearifan lokal yang berasal dari
luar (maaf) Pulau Jawa. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dimana
peradaban Melayu bermula, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M)
yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang
menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang
merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5
bulan Ashada tahun 605 Syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir
Kota Palembang. Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg
di tepi Sungai Kedukan Bukit (Pada masa silam di sebut Sungai Melayu), yakni
diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan
menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Palembang dari masa ke
masa menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk di Asia Tenggara, sebagai
persinggahan bagi kapal-kapal yang melintasi rute perairan Selat Malaka, hal
tersebut menjadi daya tarik bagi para pendatang baik dari China, India maupun dari
dataran Timur Tengah hingga dari "Benua Biru" Erofa, baik untuk berdagang
maupun untuk menjajah. Sehingga pada saat ini, di Kota Palembang khususnya kita
bisa menemukan percampuran budaya yang dibawa oleh berbagai etnis pendatang
tersebut. Sebagai salah satu bukti, berikut saya kutip dari beberapa artikel sejarah
mengenai dua pucuk mukadimah surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah
Ummayyah di Baghdad dan Damsyik. Surat pertama ditujukan kepada Khalifah
Muawiyah Bin Abi Sufyan tahun 661 Maseh. Surat tersebut ditemui dalam sebuah
diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui
Abu Yayub Ats Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al Haytsam bin Adi. Al
Jahizh yang mendengar surat itu dari Al Haytsam menceritakan pendahuluan surat
itu sebagai berikut: Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu
gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri rajaraja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada
Muawiyah Dan surat yang kedua dari Maharaja Sri Indrawarman ditujukan

kepada Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar Abad ke 8 masehi ,
yang didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al
Iqd Al Farid. Berikut kutipan terjemahannya: Dari Raja di Raja yang adalah
keturunan seribu raja kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada
Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi
sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya
seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada
saya hukum-hukumnya. Bukanlah tujuan saya untuk berlebih-lebihan dalam
memaparkan tentang ulasan singkat dari Sejarah Sriwijaya, namun demikian
sejarah telah mencatatkan. Dari beberapa keterangan dan sumber kajian yang
pernah saya baca, baik itu dari artikel, buku ataupun ulasan-ulasan singkat para
bloger yang masih peduli akan sejarah, telah disebutkan bahwa pada masanya
Kerajaan Sriwijaya adalah satu-satunya kerajaan nusantara yang berhasil
menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara dan Asia Tenggara, seperti yang
kita ketahui bahkan pengaruhnya sampai ke India, Indochina, China, Srilanka,
Maladewa, Persia (Iran), Iraq, Semenanjung Arab (Timur Tengah) hingga ke
Madagaskar dan Benua Afrika. Sejarawan juga bersepakat bahwa penaklukan dan
pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas sebagian besar Wilayah Nusantara inilah yang
menjadi cikal bakal penyebaran dari budaya dan bahasa Melayu di Nusantara,
hingga menjadi budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara pada masa itu
hingga saat ini. Dari abad ke abad, seiring pergantian pangku kekuasaan baik dari
penguasa pribumi/putrajaya ataupun penguasa dari bangsa-bangsa penjajah,
eksistensi dari Budaya dan Bahasa Melayu sebagai budaya dan bahasa "bilingual"
pemersatu Nusantara semakin meluas dan berasimilasi/bercampur dengan budaya
dan bahasa setempat di Wilayah Nusantara. Kemudian menjelang masa
kemerdekaan, Bahasa Melayu yang berakar dari Bahasa Melayu Sumatera dijadikan
sebagai sumber utama bagi lahirnya Bahasa Resmi Negara Indonesia, dan juga
sebagai rujukan utama bagi Bahasa Resmi negara-negara tetangga kita seperti
Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, bahkan negara termuda nomor dua di
dunia pecahan dari NKRI yaitu Timor Leste hingga saat ini mayoritas masyarakatnya
masih mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Tidak hanya
sampai disitu, kejayaan Palembang sebagai pusat dari peradaban sebuah bangsa
terus berlanjut, setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat serangan dari tiga
kerajaan yang berselisih kekuasaan, diantaranya Kerajaan Cola dari India, Kerajaan
Siam dari dataran Thailand, dan Kerajaan Majapahit dari Tanah Jawa. Meskipun tidak
secara bersamaan, serangan dari ketiga kerajaan tersebut sangat berpengaruh bagi
kemunduran Kerajaan Sriwijaya, dan menyebabkan daerah-daerah kekuasaan dari
Kerajaan Sriwijaya mulai terpecah dan memisahkan diri dari pengaruhnya pada
abad ke 14. Pakaian Adat Sumatera Selatan Keadaan ini sehingga memaksa
seorang pewaris tahta dari Kerajaan Sriwijaya yaitu Pangeran Parameswara dengan
para pengikutnya hijrah ke Semenanjung, dimana ia singgah lebih dahulu ke Pulau
Temasik dan mendirikan Kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah
Pangeran Parameswara mendapatkan serangan dari orang-orang Siam. Dari

Singapura Pangeran Parameswara kemudian hijrah ke Semenanjung dan mendirikan


Kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan tradisi kemaritiman yang
diwarisi dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemudian Kerajaan Melaka menjelma menjadi
salah satu kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Kerajaan Sriwijaya.
Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi negeri yang tak
bertuan dan dipenuhi oleh pendatang-pendatang dari dataran China Selatan.
Menurut catatan para sejarawan, Kerajaan Majapahit pernah berniat untuk
menempatkan seorang Adipati di Palembang, namun ditolak oleh orang-orang
Tionghoa yang lambat laun telah menguasai Palembang. Mereka menyebut
Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok
masyarakat Tionghoa yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Kanton, Nanhai, Chang-chou dan Changuan-chou. Meskipun setiap kelompok ini mempunyai
pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari Majapahit dan
mengangkat Liang Tau-Ming sebagai pemimpin mereka. Pada masa ini Palembang
dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina
tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari China, yaitu Laksamana
Chen-ho terpaksa beberapa kali melabuhkan iringan armada dari kapal-kapalnya di
Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada abad ke-17 kota Palembang
menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh
Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul
Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan
pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7
Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota
Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak
terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat
Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan
Gameente/Haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906
hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin
Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Jembatan
Ampera Tahun 60an Jembatan Ampera Diwaktu Malam Berdasarkan keputusan
Gubernur Tingkat I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota
Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota
Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan
Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya
Daerah Tingkat II Palembang. Itu semua mungkin hanya tinggal sejarah, namun
setidaknya hal tersebut mampu membangkitkan lagi semangat bagi generasi muda
bangsa ini, untuk dapat meniti dan mengukir kembali kejayaan yang pernah diraih
dimasa silam. Sejarah telah membuktikan, bahwasanya bangsa ini tidaklah
diciptakan oleh Allah sebagai bangsa yang lemah, namun kita sendirilah yang
membuat bangsa ini menjadi terpuruk. Sumber kutipan dan data sejarah: http://infokito.wordpress.com - http://lokalgenius.blogspot.com http://palembangdailyphoto,blogspot.com - http://bisnispolitik.wordpress.com - Buku
dan artikel bacaan lainnya (Lupa aku judulnya, hehe...) Benteng Kuto Besak Posted

3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3


Sriwijaya dan Harga Sumatra Sriwijaya dan Harga Sumatra Harga Sumatera
bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan
tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan
mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan langsung dengan kesadaran politik,
kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera.
Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari
berbagai keperluan dan kepentingan. Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai
masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa besar, kesan keindahan dan
kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing, seorang
penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada,
yang meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton.
Itulah sebabnya mengapa Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan
Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas (Suvarnadvipa). Itulah sebabnya
mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai Pulau Emas
(Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau
kisah novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam film Star Track di
layar TV anda, akan tetapi merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para
penjelajah ternama di dunia ke Sumatera. Sebagaimana diakui oleh Marcopolo
bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292, sudah berdiri
suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem
pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan pedagang dari India, Cina Arab
dan Eropa terus terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya
dan berkemampuan secara profesional mengatur negara. Lebih dari pada itu telah
menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani di Asia Tenggara suatu
masa dahulu. Contohnya: KERAJAAN SRIWIJAYA Munculnya kerajaan Melayu tua di
Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan yang memiliki
kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perdagangan hasil bumi Sumatera
dan kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan,
pertahanan darat dan laut yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi
suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem
pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan
dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan
selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang
mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para sejarawan telah
menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model pemerintahan
yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya
kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam
ucapan Wang Gungwu: Pada tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur
sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara
semua raja di permukaan bumi1). Wang Gungwu, The Nanhai trade: A study of
early history of Chinese trade in South China Sea, 1958, hlm 135. Kerajaan
Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang
semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: pada awal sejarah

Sriwijaya yang panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan


penghubung di antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang
menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda
kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman
Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya
untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti
disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina. Demikian dituturkan oleh Chou ChFei, malahan Jambi dan Palembang sebagai pusat perdagangan yang sangat maju
2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, hhn 134-l 38. Ketika itu berbagai
hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chn
Tsng-chi: dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari SriwijayaSumatera yang mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari
pada itu kapur barus yang dipandang sebagai barang perniagaan yang
mendatangkan hasil memuaskan. Sebab pada kurun masa itu, kapur Barus
merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara
selain Sriwijaya telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah
mengirim Batu Kapur sebagai upeti kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana
di Barat Laut India, kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara melakukan perkara yang
sama. 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964, hlm 114. Di
kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur
Barus), hingga kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi
devisa negara di bawah kerajaan Sriwijaya. Sekitar 500 orang Cina selatan
menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya mendapat tempat dalam
perobatan karangan Tao Hung Ching. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et testes
Geographyques, hlm 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902.
Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan
bahwa: Pada zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang
sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar dipercayai bahwa terdapat latar belakang
ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama
berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya
telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang
memberikan kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perdagangan laut ini
adalah perkara yang belum pemah ada sebelumnya dalam catatan yang telah kita
selidiki. 5) O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu Kajian Asal Usul
Kerajaan Sriwijaya, hlm 312. Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas
daripada kemampuan mengadakan hubungan perdagangan dan diplomatik dengan
negara lain, seperti dilukiskan di sini: Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya
sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap
tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton. 6) Prof. Wealtly, Golden
Khersonese, hlm 58. Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan dagang seperti:
Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara Jambi-Palembang), Ka-to-li, dan Cina telah
mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. Ini harus dipandang sebagai tanda
bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu
mengingatkan orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan

sering mengirim utusan 6). O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, suatu
Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, h l m 323. Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya
terbatas dalam bidang perdagangan, akan tetapi juga dalam bidang militer untuk
menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. Sriwijaya di Sumatera
Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting
dalam perdagangan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya
dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang
Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer
tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka. 7) Idem, hlm 1. Seterusnya dikatakan:
raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan
kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militemya bergantung kepada kapalkapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhodanakhoda kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.
8) Sung Shih, Suma Oriental, hlm. 235-236. Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur,
malah mengatakan bahwa: untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha
mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan
khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain,
mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua
menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan
9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, hlm 106. Sejarah telah mencatat
bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai ke
Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan
Arab merupakan mitra dagangnya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya
belum menetapkan peraturan tertulis (perjanjian dagang) mengenai cukai dagang,
perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan
dagangnya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan
yang tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan
dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan
monopoli perdagangan telah dijadikan alasan yang sengaja dibuat oleh pihak asing
untuk melakukan serangan terhadap post-post dagang Sriwijaya, mitra dagang
yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi selama
dua abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit
menentang monopoli pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagarsaudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri. 10). O. W.
Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, hlm
336. Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang
tidak dapat lagi dielakkan. Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya
dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting
dalam sejarahnya, yaitu: 1. Prasasti (batu bersurat) di Muara Takus; 2. Prasasti (batu
bersurat) di Telaga Batu, Palembang; 3. Prasasti (batu bersurat) di Kota Kapur, Pulau
Bangka. Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah
mempengaruhi mentalitas bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan
kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan melelahkan itu telah
banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban

yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini
telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran
ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga
mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya
sendiri. Sumber: http://achmadyani.wordpress.com Posted 3rd November 2011 by
Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Pengaruh Kerajaan Sriwijaya
Membawa Budaya Melayu Ke Nusantara dan Asia Tenggara Oleh Zaki Setiawan
Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenal sebagai Palembang di
Sumatra. Pengaruhnya amat besar meliputi Indonesia, Semenanjung Malaysia dan
Filipina. Kerajaan yang menjadi cikal bakal Melayu tua ini menjadi sponsor utama
penyebaran budaya dan bahasa melayu. Walaupun tidak mengklim sebagai sumber
dari budaya melayu seperti di Semenanjung Melayu, tetapi kemelayuan kerajaan
Sriwijaya tidak dapat dtolak. Bahkan peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas
budaya melayu jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim
sebagai kerajaan melayu di seperti Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan
Kerajaan Kedah. Kekuasaan Sriwijaya merosot pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya
mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari
(Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia
Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan
laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung
dan lukisan, dan hikayat. Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India,
pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha.
Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya
merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun
abad ke-7 hingga abad ke-9. Pada masa yang sama, agama Islam memasuki
Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang
Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara,
memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan
Kesultanan Melaka. Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana
disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat
pembeljaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah
diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan
hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri
Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya
kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya
melemah dan takluk di bawah Majapahit. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671
sesuai dengan catatan I-tsing. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan
merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar
wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk

populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya
mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas
tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah
Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara
saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi
kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota
diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap
diperintah oleh datu setempat. Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah
pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah
meningkatkan prestise kerajaan. Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang
berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan aksi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat
dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim
di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di
abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera
yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara
dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini
pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa
disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Ekspansi kerajaan ini
ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan
reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan
Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan
beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan
dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium
Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama. Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak
melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan
Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur
di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825. Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan
Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi,
Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13. Dari catatan sejarah dan

bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas
pengaruh politik, sosial, budaya dan ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan
Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan
Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal
yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi
kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India. Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing
Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini,
memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa
(pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan
menjadi daerah bawahan. Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah
jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat
Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan
dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860
mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas
Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian
menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan
di abad ke-11. Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun
kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan
Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini
memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan
dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam
kerajaan. Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan
lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903,
penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya.
Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara
Jambi dan Kedah. Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan
arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya,
penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coeds pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu. Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri
Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga
bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad
ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan
sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Di samping
Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai
sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan

Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah,


khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap
bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi
inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal
yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan dan Malaysia yang
menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada
keanggunan seni budaya melayu Sriwijaya, walaupun pada akhirnya Malaysia
merasa lebih malayu dari pada Indonesia yang sebenannya tempat lahirnya budaya
melayu itu sendiri. Ini bukanlah keserakahan bangsa Malaysia karena memang
mereka adalah bangsa yang menghargai jati dirinya, cuma kitanya saja yang
memang tidak menghargai budaya dan jati diri kita sendiri. Tengok saja perbedaan
sinentron atau film Indonesia dengan sinentron dan film Malaysia yang lebih akrab
dengan budaya melayu. Apalagi jika kita menonton film anak-anak Upin Ipin yang
sangat melayu, sedangkan sinetron Indonesia lebih kebarat-baratan. Sumber
Pustaka: - www.sumselprov.go.id - id.wikipedia.org www.indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=56
Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment
Loading Send feedback

Anda mungkin juga menyukai