Oleh:
Calvin Kurnia Mulyadi
0906639726
Narasumber:
dr.Deddy Ria Saputra, SpA
SMF Kesehatan Anak RS Fatmawati
Jakarta
NPM
: 0906639726
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas
Inisial
: An.AF
Usia
: 2 tahun 2 bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Betawi
Agama
: Islam
Nama Ayah
: Tn.SR
Nama Ibu
: Ny.I (pengasuh)
NRM
: 392-82-xx
Waktu masuk
Waktu pemeriksaan: 11 April 2014 pkl 15.00 Bangsal Rawat Inap Anak
II. Anamnesis
Dilakukan kepada ibu pasien pada waktu pemeriksaan (alloanamnesis)
1. Keluhan utama
Kejang 4 jam sebelum masuk rumah sakit
mimisan, gusi berdarah, ataupun BAB warna hitam. Riwayat nyeri menelan,
BAB cair, menangis waktu buang air kecil (BAK), maupun nyeri telinga atau
keluar cairan dari telinga disangkal. Pasien sudah dibawa ke dokter umum dan
mendapatkan obat antibiotik, obat batuk sirup dan obat penurun panas, namun
tidak ada perbaikan, baik batuk maupun demamnya.
Empat jam sebelum masuk RS, pasien mengalami kejang satu kali di rumah
yang berlangsung kurang lebih 2 menit, disertai dengan mata melotot ke
depan, serta kedua lengan dan tungkai menekuk dan lurus-kaku (kelojotan)
secara serentak berulang kali. Kejang disertai demam dengan suhu tubuh
terukur di ketiak mencapai 38,5C sekitar 2 jam sebelum pasien mengalami
kejang tersebut. Kejang kemudian berhenti sendiri tanpa diberikan obat yang
dimasukkan melalui dubur, lalu pasien dengan segera sadar kembali. Riwayat
kelumpuhan anggota gerak atau kondisi yang cenderung mengantuk setelah
kejang tersebut disangkal. Tidak ada gerakan yang menuju ke satu sisi tubuh
sebelum ataupun saat kejang.
Satu jam sebelum masuk RS, pasien kembali mengalami kejang dengan
durasi dan pola gerakan yang sama dengan kejang pertama. Suhu tubuh saat
kejang terukur di ketiak 37,8C dan kejang kemudian berhenti sendiri yang
diikuti dengan kesadaran pulih sepenuhnya. Pasien kemudian dibawa ke
Instalasi Gawat Darurat RSUPN Cipto Mangunkusumo ( IGD RSCM). Selama
perjalanan ke IGD, tidak ada kejang lagi dan demam sudah mulai turun,
namun batuk dan pilek masih tetap ada.
Pasien lahir spontan cukup bulan (38 minggu) dibantu oleh dokter di RS
dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan lahir 48 cm. Segera
setelah lahir pasien langsung menangis dan tidak ada tanda kebiruan, pucat,
kuning, atau kejang.
7. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi dasar sebagai berikut:
-
Kesadaran
: compos mentis
Nafas
58
kali
permenit,
kedalaman
cukup,
sifat
Berat badan
Saat sakit
: 83 cm
Lingkar kepala
: 47,5 cm
BB/U
: 11,8/11,9 (~100%)
TB/U
: 83/86,4 (96%)
BB/TB
: 11,8/10,9 (108%)
Height-age
: 20 bulan
2. Status Lokalis
-
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
sekret, membran timpani intak di kedua telinga, tidak ada nyeri tekan
tragus ataupun processus mastoideus
-
Hidung
hipertrofi
-
Mulut
mukosa, tampak erupsi gigi, tidak ada karies, papil lidah eutrofi, arkus
faring simetris, uvula terletak di tengah, dinding posterior faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1, tidak tampak detritus.
-
Leher
Toraks
o Paru
Inspeksi
retraksi suprasternal
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
basah kasar di daerah basal paru sisi kanan, tidak ada wheezing
o Jantung
Inspeksi
midklavikularis sinistra
Palpasi
batas
jantung
kiri
di
sela
iga
linea
maupun gallop
-
Abdomen
o Inspeksi
ada
-
Genitalia
introitus vagina, tidak ada edema pada labium mayus dan minus
-
Ekstremitas
2 detik
-
Neurologis
IV.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
-
Darah perifer lengkap (diperiksa pada tanggal 10 April 2014 di IGD RSCM)
Hemoglobin
12,2 g/dl
Hematokrit
38%
Hitung leukosit
7.750/ul
Trombosit
302.000/ul
Eritrosit
4,51 juta/ul
MCV
84 fL
MCH
27,1 pg
MCHC
32,3%
RDW
12,77%
Hitung jenis
1/0/53/38/8
Kesan: normal
2. Pencitraan
-
V. Resume
Pasien anak perempuan berusia 2 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang 4
jam sebelum masuk RS. Kejang terjadi sebanyak dua kali dengan pola yang
sama, di mana kedua lengan dan tungkai kelojotan serentak, durasi 2 menit,
berhenti sendiri, diikuti pemulihan kesadaran dan tidak ada kelumpuhan. Dua hari
sebelum masuk RS, pasien demam terus menerus disertai batuk pilek dan dahak
putih kental. Terdapat riwayat perawatan di RS pada usia 1 tahun 7 bulan karena
kejang disertai demam. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan nafas cepat
(58x/menit) dengan nafas cuping hidung, retraksi suprasternal dan epigastrium
pada pemberian oksigen via nasal kanul 1 liter per menit dan ronki basah kasar di
9
area basal paru sisi kanan. Pemeriksaan fisis lainnya tidak ditemukan kelainan
yang bermakna. Pada pemeriksaan penunjang, laboratorium darah perifer
lengkap terkesan normal dan foto thorax AP terkesan bronkopneumonia dan
suspek limfadenopati hilar kanan.
VI.Diagnosis
-
Diagnosis banding: -
VIII. Prognosis
-
Ad vitam
: Bonam
Ad fungsionam
: Bonam
10
BAB II
Tinjauan Pustaka
I.
Kejang Demam
1. Definisi
Secara umum, kejang merupakan manifestasi klinis akibat pelepasan muatan
listrik (dikenal dengan bangkitan) oleh neuron di otak yang dapat disertai
dengan gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik,
ataupun otonom.1 Kejang demam (febrile seizure) didefinisikan sebagai
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (pengukuran suhu
secara rektal) di atas 38C yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. 2
Dengan demikian, berbagai etiologi yang berasal dari abnormalitas sistem
saraf pusat (SSP) ataupun kelainan metabolik perlu disingkirkan terlebih
dahulu.3
Insidens kejang demam berkisar antara 2-4% pada anak berusia 6
bulan sampai dengan 5 tahun. Manakala kejang didahului demam terjadi
pada anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun, perlu
dipertimbangkan diagnosis banding lain,seperti infeksi SSP atau epileps
yang terprovokasi oleh demam, sebelum memikirkan kejang demam sebagai
etiologi utama kejang tersebut. Seorang anak yang sebelumnya pernah
mengalami kejang tanpa demam ataupun riwayat epilepsi lalu mengalami
kejang yang disertai dengan demam tidak dapat didiagnosis sebagai kejang
demam.2
11
3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya kejang demam berbeda dengan kejang yang timbul
akibat epilepsi atau kejang tidak terprovokasi lainnya. Sampai saat ini
mekanisme terjadinya kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Diduga
terdapat peranan genetik yang menyebabkan riwayat kejang demam bersifat
familial, khususnya pewarisan secara autosomal dominan. Dari sebagian
besar kasus, tampak bahwa kelainan tersebut bersifat poligenik yang masih
dalam penelusuran lebih lanjut. Beberapa subtipe gen FEB pada kromosom
2, 5, 6, 8, 18, dan 19 berperan dalam terjadinya kejang demam dan hanya
gen FEB 2 yang diketahui memiliki fungsi pengaturan kanal natrium SCN1A. 3
Model pada hewan tikus menyebutkan
12
4. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Alloanamnesis difokuskan untuk mencari:
-
Demam, yaitu etiologi (di luar dari infeksi SSP) dan gejala klinis yang
timbul
menyebabkan
hipoksemia,
asupan
yang
menyebabkan
hipoglikemia.
Untuk pemeriksaan fisis, dapat dinilai beberapa komponen, antara lain:
13
Suhu tubuh
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi demam dan
kejang yang mencakup darah perifer lengkap, elektrolit, urinalisis, hingga
kultur darah, urin, atau feses.1
Pungsi lumbal (lumbal puncture atau LP) untuk memeriksa cairan
serebrospinal ditujukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
meningitis yang mana pada bayi seringkali sulit disingkirkan karena
manifestasi klinis tidak jelas. Pada bayi berusia kurang dari 12 bulan
dengan serangan kejang pertama, pemeriksaan LP sangat dianjurkan.
Pemeriksaan ini dapat diulang dalam 48-72 jam setelah pemeriksaan LP
pertama.1,5
Menurut pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), pemeriksaan EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada kasus kejang demam,2 kecuali pada kejang
demam yang tidak khas seperti pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau
kejang demam fokal.1 Sementara itu, pencitraan berupa computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
dilakukan bilamana terdapat indikasi, antara lain:
-
Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti ubunubun besar menonjol, penurunan kesadaran, muntah menyemprot,
paresis nervus VI, dan edema papil (perlu dilakukan funduskopi).5
14
Onset
Tiba-tiba
Serangan
Menyerupai Kejang
Gradual
Durasi
Detik-menit
Beberapa menit
Sering terganggu
Jarang terganggu
Sianosis
Sering
Jarang
Gerakan ekstremitas
Sinkron
Tidak sinkron
Stereotipik serangan
Selalu
Jarang
Sering
Sangat jarang
Selalu
Jarang
Gerakan menghilang
Dapat diprovokasi
Jarang
Hampir selalu
Jarang
Selalu
Hampir selalu
Tidak pernah
Selalu
Selalu
Jarang
Karakteristik
Kesadaran
Kejang
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang demam mengikuti algoritma tatalaksana kejang,
seperti yang ditampilkan pada gambar 2.1. Penatalaksanaan dibagi menjadi
nonmedikamentosa dan medikamentosa.
a. Nonmedikamentosa
Pada umumnya, kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang ke rumah sakit, kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam kondisi masih kejang, perlu dilakukan stabilisasi terhadap jalan
napas, usaha napas, dan sirkulasi sebagaimana resusitasi emergensi
pada umumnya.
15
Airway
bebaskan
jalan
napas,
posisi,
dan
Circulation
Dextrose
Orang tua harus tetap tenang dan tetap bersama pasien selama
kejang
Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan pola gerakan kejang
b. Medikamentosa
-
Antipiretik
Dapat diberikan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali
sebanyak 4 kali perhari dan tidak lebih dari 5 kali perhari atau
16
Antikonvulsif
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau per rektal
dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB setiap 8 jam jika suhu tubuh melebihi
38,5C. Apabila pasien datang saat kejang, diberikan diazepam
intravena. Untuk kejang di rumah, orang tua/pengasuh dapat
memberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau
secara mudah, diazepam 5 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan < 10 kg, sedangkan > 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian
diazepam rektal dapat diulang sekali lagi jika kejang belum berhenti
dengan cara dan dosis yang sama dan interval waktu 5 menit. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam rektal anak masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit untuk pemberian intravena.2,5
Diazepam intravena diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB
secara perlahan-lahan (kecepatan 1-2 mg/menit) dalam waktu 3-5
menit (dosis maksimal 20 mg) jika pasien datang dengan kejang. Jika
kejang belum berhenti, diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12
jam kemudian dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari. Jika dengan fenitoin
kejang belum juga berhenti, pasien diindikasikan untuk rawat ruang
intensif.2
Pengobatan rumatan
Indikasi pengobatan rumatan jika terdapat salah satu ciri berikut:
Kejang fokal.
17
Pilihan obat yang dapat diberikan untuk jangka panjang antara lain
fenobarbital dengan dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 1-2 dosis
atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi menjadi
2-3 dosis. Pengobatan jangka panjang diberikan selama 1 tahun
bebas kejang dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.2,5
18
6. Prognosis
Belum pernah ada kematian yang dilaporkan akibat kejang demam. 2 Kejang
demam berisiko untuk berulang bila terdapat faktor sebagai berikut:
-
Bila seluruh faktor tersebut ada, terdapat kemungkinan sebesar 80% kejang
demam akan berulang, sedangkan bila tidak ada salah satupun dari faktor
tersebut, kemungkinan hanya sebesar 10-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang paling besar pada tahun pertama kehidupan. Adapun faktor risiko
terjadinya epilepsi di kemudian hari antara lain:
-
II. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang melibatkan alveolus dan
jaringan interstitial paru. Menurut World Health Organization (WHO),
pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
perjalanan penyakitnya. Sampai saat ini, pneumonia masih menjadi
penyebab utama kematian anak bawah lima tahun (balita). Beberapa faktor
risiko yang berkaitan dengan tingginya angka mortalitas akibat pneumonia,
khususnya di negara berkembang, antara lain pneumonia pada masa bayi,
berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapatkan imunisasi, tidak
mendapatkan ASI adekuat, defisiensi vitamin A, kolonisasi bakteri di daerah
nasofaring, dan pajanan terhadap polusi udara.7
19
20
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada derajat
keparahan infeksi dan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala sistemik
infeksi pada umumnya, seperti demam, sakit kepala, malaise, hingga
keluhan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare), dan gejala terkait
21
4. Diagnosis
Perlu diketahui bahwa prediktor terkuat ada tidaknya pneumonia adalah
ditemukannya gejala demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori
berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara nafas
melemah.7
a. Anamnesis
Diarahkan untuk mencari gejala berupa: batuk yang awalnya kering,
kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen bahkan berdarah,
sesak, demam, kesulitan makan/minum, tampak lemah, serta perlu
ditanyakan apakah sakit kali ini merupakan serangan pertama atau
berulang.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, dapat dinilai keadaan umum (kesadaran dan
kemampuan makan/minum), frekuensi nafas, frekuensi nadi, gejala
distres pernafasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi,
dan suara nafas melemah pada auskultasi paru. Perlu juga dilakukan
pengukuran suhu badan dan menilai ada tidaknya sianosis.
Akibat tingginya angka mortalitas akibat pneumonia, WHO kemudian
menetapkkan pedoman diagnosis untuk memperluas cakupan diagnosis
pneumonia hingga dapat memperoleh tatalaksana dini yang tepat.
a. Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
22
Dikatakan pneumonia berat bila terdapat sesak nafas (retraksi berat) dan
hal tersebut menjadi indikasi rawat inap di RS, sedangkan pneumonia
ringan bila tidak ada sesak, namun ditemukan nafas cepat (> 50 kali
permenit untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dan > 40 kali permenit untuk
usia lebih dari 1 tahun). Pasien dengan pneumonia ringan tidak perlu
rawat inap RS dan hanya membutuhkan terapi antibiotik oral. Pasien
dikatakan mengalami pneumonia sangat berat jika sudah tidak dapat
minum/makan, mengalami kejang, letargis, dan malnutrisi.7,10
b. Bayi kurang dari 2 bulan
Diklasifikasikan sebagai pneumonia berat jika terdapat nafas cepat (> 60
kali permenit) atau tampak sesak (retraksi berat), sedangkan pneumonia
sangat berat bilamana bayi tidak mau menetek, mengalami kejang,
letargis, demam atau hipotermia, bradipnea, atau pernapasan ireguler. 10
Infiltrat
interstitial,
yang
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
5. Tatalaksana
Pada dasarnya, pneumonia ringan hanya memerlukan terapi antibiotik per
oral dan dapat dilakukan terapi rawat jalan. Secara teoritis, antibiotik yang
menjadi pilihan adalah Amoksisilin atau Kotrimoksasol. Dosis Amoksisilin
23
umum,
pasien
harus
mendapatkan
terapi
oksigen
untuk
kloramfenikol,
koamoksiklav,
seftriakson,
sefuroksim,
dan
24
BAB III
PEMBAHASAN
I.
Penegakan Diagnosis
Melalui tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditinjau
beberapa aspek diagnostik pada kasus yang diilustrasikan. Keluhan utama yang
membawa pasien berobat ke dokter adalah kejang yang terjadi sebanyak dua
kali dengan interval kurang lebih 3 jam yang terjadi dalam waktu 24 jam. Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, diagnosis kejang ditegakkan semata-mata
berdasarkan anamnesis (alloanamnesis), terkecuali kejang sedang terjadi di
hadapan pemeriksa. Gejala yang dialami pasien dipertimbangkan sebagai
kejang karena onsetnya yang tiba-tiba, lama serangan berkisar antara hitungan
detik hingga menit, terjadi penurunan kesadaran, gerakan yang bersifat sinkron
dan terdapat stereotipikal dari serangan (pola gerak yang sama pada kedua
episode kejang), terdapat gerakan abnormal dari bola mata (dikatakan ibu
pasien sebagai mata melotot ke depan), dan serangan yang tidak diprovokasi
sebelumnya. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat membantu menyingkirkan
serangan yang menyerupai kejang.
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien dengan
keluhan kejang disertai demam antara lain kejang demam, infeksi SSP, dan
epilepsi dengan infeksi ekstrakranial. Kejang yang terjadi dipikirkan sebagai
kejang demam karena terdapat riwayat demam yang dialami sejak 2 hari
sebelum masuk RS (1 hari sebelum kejang terjadi). Tidak semata-mata hanya
dengan riwayat demam saja, pasien juga menyangkal adanya riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya. Melalui anamnesis, diketahui bahwa bentuk kejang
tergolong sebagai kejang umum klonik tanpa disertai dengan gejala fokal
(parsial). Dengan demikian, diagnosis banding kejang akibat epilepsi dapat
disingkirkan. Pada pasien juga tidak ditemukan tanda defisit neurologis ataupun
riwayat penurunan kesadaran selama peiode demam, tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, ataupun tanda rangsang meningeal sehingga
diagnosis banding infeksi SSP dapat disingkirkan. Kejang yang terjadi
berlangsung singkat (< 15 menit), namun berulang dua kali dalam waktu 24 jam
sehingga dapat digolongkan menjadi kejang demam kompleks.
25
Demam yang menjadi etiologi kejang pada pasien disebabkan oleh infeksi
paru (pneumonia) yang ditandai oleh riwayat batuk dan didukung oleh temuan
frekuensi nafas yang meningkat (58 kali permenit) disertai nafas cuping hidung,
retraksi suprasternal, dan ronki basah kasar pada basal paru kanan. Diagnosis
banding demam akibat infeksi dengue dapat disingkirkan karena tidak ditemukan
riwayat munculnya tanda-tanda perdarahan, tidak ada hepatomegali, serta pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan leukopenia, hemokonsentrasi,
maupun trombositopenia. Hasil foto toraks AP memberikan kesan gambaran
bronkopneumonia dan limfadenopati hilar kanan yang dapat bersifat reaktif
terhadap proses infeksi ataupun akibat tuberkulosis paru. Pemeriksaan fisis
lokalis pada tiap organ lain, seperti telinga, tidak menunjukkan fokus infeksi lain
yang dapat berkontribusi pada proses kejang demam ini.
Meskipun dicurigai adanya proses infeksi paru yang aktif, hasil pemeriksaan
laboratorium darah perifer lengkap tidak memberikan kesan leukositosis seperti
infeksi bakterial pada umumnya. Menurut teori, pada pneumonia, khususnya
bakterial, akan didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 hingga
40.000/ul. Namun, hitung leukosit yang normal pada pasien ini dapat terjadi
karena respon imun yang inadekuat pada anak tersebut, dapat pula karena
pneumonia telah memasuki fase resolusi (perbaikan), atau akibat manifestasi
klinis atipikal. Berdasarkan pemeriksaan, tidak ada tanda-tanda malnutrisi,
penyakit kronis seperti keganasan maupun infeksi tuberkulosis dan human
immunodeficiency virus (HIV), sehingga
Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai
derajat keparahan serta menentukan penatalaksanaan dari distres pernafasan,
seperti ada tidaknya hipoksemia atau asidosis yang perlu dikoreksi. Sementara
itu, karena pasien berada dalam terapi oksigen, dianjurkan untuk secara rutin
memeriksa saturasi oksigen (target >92%) dengan pulse oxymetry setiap 4 jam
dan tanda-tanda distres pernafasan.
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum tidak direncanakan pada
kasus ini mengingat sulitnya untuk mendapatkan spesimen, khususnya pada
usia anak. Penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan secara empiris
menurut pola kuman di RS terkait untuk community acquired pneumonia (CAP),
yaitu dengan Ampisilin dan Kloramfenikol.
26
Tidak ada indikasi untuk melakukan pungsi lumbal pada kasus kejang demam
kompleks, kecuali pasien menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran atau
defisit neurologis yang mengarahkan kecurigaan pada diagnosis banding infeksi
SSP. Risiko terjadinya meningitis bakterialis disebutkan berkisar antara 0,60,7%. Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti EEG dan pencitraan CT-scan
ataupun MRI tidak diindikasikan pada kasus kejang demam.
II. Penatalaksanaan
Saat tiba di IGD RSCM, pasien sudah tidak dalam kondisi kejang tapi masih
tetap demam dan terdapat tanda distres pernafasan yang disebabkan oleh
pneumonia.
Pasien dalam kasus ini masih menunjukkan gejala-gejala sesak meskipun
pasien telah mendapatkan terapi oksigen melalui nasal kanul dengan kecepatan
aliran 1 liter permenit. Hal tersebut menunjukkan suplai yang inadekuat dan
memerlukan penambahan suplai namun tetap dipertahankan aliran rendah, yaitu
kurang dari 2 liter permenit.
Meskipun pasien telah mengalami kejang demam berulang dan saat ini
tergolong ke dalam kejang demam kompleks, pasien dipertimbangkan untuk
tidak diberikan pengobatan rumat mengingat besarnya efek samping obat dan
perlunya pemantauan ketat akan pengobatan yang telah dimulai. Pengobatan
rumat diperuntukkan bilamana kejang berlangsung lama, terdapat defisit
neurologis nyata atau gejala fokal. Seandainya pasien diberikan pengobatan
rumat dengan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk menurunkan risiko
berulangnya kejang di kemudian hari, perlu diperhatikan secara ketat efek
samping berupa hipotensi, depresi pernafasan, dan gangguan fungsi hati.
Berulangnya kejang demam terutama diantisipasi dengan pemberian antipiretik
bilamana suhu tubuh lebih dari 38,5C.
Pada pasien diberikan cairan intravena (parenteral) rumatan oleh karena
asupan cairan peroral yang belum adekuat akibat kondisi sesak. Pemberian
cairan dosis rumatan dilakukan menurut perhitungan berat badan anak (11,8
kg), sehingga diperoleh kebutuhan cairan per 24 jam adalah 1090 ml (~ 1100 ml)
dengan jenis cairan KaEN 1B yang setara dengan Dekstosa 10% dan NaCl
0,9% 3:1 ditambahkan KCl 10 mEq/500 ml cairan, sesuai dengan panduan
pelayanan medis RSCM.11 Pemilihan jenis cairan ini karena terdapat kandungan
27
glukosa yang cukup tinggi (dekstrosa 37,5 g/L dengan jumlah kalori sebesar 150
kkal/L) dan tidak mengandung ion Kalium sehingga aman diberikan sebagai
rumatan. Tidak diperlukan adanya tambahan volume cairan karena tidak
terdapat tanda-tanda dehidrasi pada pasien.
Penggunaan antibiotik sudah dinilai rasional dan sesuai dengan anjuran
terapi pedoman medis untuk anak berusia > 2 bulan, yaitu Ampisilin dan
Kloramfenikol. Dosis Ampisilin yang digunakan adalah 100 mg/kgBB/hari yang
terbagi menjadi 4 dosis, sedangkan dosis Kloramfenikol yang digunakan adalah
sebesar 75 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3-4 kali perhari, sesuai dengan
panduan pelayanan medis.11 Antibiotik diberikan 48 sampai 72 jam sampai
demam turun, kemudian dilanjutkan dengan pemberian peroral selama 7-10 hari
atau dengan patokan 4-5 hari bebas demam.
Selain dari antibiotik, diperlukan pula obat-obatan simptomatis untuk
meredakan gejala dan memberi kenyamanan pada pasien. Pada ilustrasi kasus,
dikatakan bahwa pasien mengalami batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan,
terapi inhalasi dengan inhalasi agonis beta-2 adrenergik (Salbutamol) yang
dikombinasikan dengan NaCl direkomendasikan oleh pedoman pelayanan
medis untuk membantu klirens mukosilier. Ambroksol diberikan sebagai agen
mukolitik
ekspektoran
melalui
pemecahan
benang
mukoprotein
dan
28
III. Prognosis
Pada umumnya, prognosis ad vitam dan ad fungsionam adalah baik mengingat
dengan tatalaksana adekuat secara medikamentosa dan nonmedikamentosa,
kejang demam tidak dilaporkan berhubungan dengan mortalitas maupun
penurunan fungsi neurologis, termasuk tumbuh-kembang anak. Namun,
berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya, pasien memiliki kecenderungan
untuk mengalami kejang demam berulang sehingga prognosis ad sanactionam
dapat dianggap dubia ad bonam walaupun pada pasien tidak ditemukan riwayat
kejang demam dalam keluarga, usia > 12 bulan, dan temperatur yang cenderung
tinggi saat kejang. Interval antara demam dan onset kejang pada pasien sulit
untuk digali karena orang tua tidak bisa ingat dengan tepat.
Berkaitan dengan bronkopneumonia, pasien dapat dipulangkan bilamana
gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan per oral adekuat, dan
keluarga dapat melakukan perawatan di rumah. Mengingat perlunya pemberian
obat parenteral, pada pasien sebaiknya dilakukan perawatan selama 2-3 hari
sebelum beralih ke rawat jalan.
29
Daftar Pustaka
30