Anda di halaman 1dari 7

Tugas Bioetika

Mata Kuliah Filsafat Ilmu (BI7101)


Dosen: Intan Ahmad, Ph.D

ASPEK BIOETIKA TERAPI STEM CELL UNTUK AUTISME

Oleh:
Junardi
NIM 30609005

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati


Institut Teknologi Bandung
2010
ASPEK BIOETIKA TERAPI STEM CELL UNTUK AUTISME1
Bioethics aspect of stem cell therapy for autism

Junardi2
Program Studi Biologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Jl. Ganesha No.10 Bandung

Abstract
In reality increase number of children with autism continued to every year and
becomes to trigger the appropriate treatment method. The success of stem cell
methods for autism has been proven that it becomes a popular addition to gene
therapy. Application of this method for autism disorders associated with aspects
of Bioethics. Stem cells as a therapeutic method for autism will be discussed in
this paper and try to look at the universal aspects.

Keywords: Autism, Bioethics, Stem Cell, Therapy

Pengantar

Respon masyarakat beragam dalam menyikapi penyebab, penerimaan, dan metode


terapi untuk autisme. Variasi respon ini sangat dipengaruhi oleh sedikit-
banyaknya informasi yang didapat seputar autisme, misalnya respon orang tua
anak autistik akan berbeda dengan anggota keluarga lain. Hal ini juga dipengaruhi
oleh pendidikan yang akan terkait dengan tingkat pemahaman penyebab dan
penerimaan metode terapi. Pengetahuan ilmiah tentang autisme yang masih terus
berkembang saat ini juga akan memengaruhi tanggapan masyarakat tentang
masalah autisme. Mitos-mitos juga berkembang di tengah-tengah masyarakat
terutama tentang penyebab dan metode terapi tertentu yang tepat untuk digunakan.

Penyebab autisme yang sesungguhnya belum diketahui, penyebab seperti vaksin


flu dan Measles Mumps Rubella (MMR) mengandung merkuri yang diberikan
pada saat bayi juga dipercaya sebagai penyebab lain autisme, namun sampai saat
bukti ilmiahnya tidak mendukung (Brown, 2009; Embree, 2004; Honey, 2008).
Kelainan pada otak dan produksi neurotransmiter disebabkan oleh kelainan
kromosom pada lakus tertentu yaitu 2q, 7q, 15q dan 16p serta kelainan gen pada
kromosom tersebut (Butler & Telebizadeh, 2006; Muhle et al., 2004; Geschwind,
2008; Buxbaum, et al., 2001, Swanberg, 2009; Maestrini et al., 2009). Mutasi
individual memiliki bukti kuat, hasil penelitian Eichler & Zimmerman (2008)
menunjukkan ada duplikasi dan delesi fragmen kromosom pada autisme. Faktor
lingkungan juga memiliki kontribusi sebagai penyebab autism walaupun masih
banyak kontroversi (Honey, 2008)

Penemuan kelainan genetis tersebut memicu metode terapi baru yaitu stem cell
(sel punca) dan terapi gen. Kedua metode terapi bioteknologi ini pada aplikasinya
akan terkait dengan aspek-aspek bioetika. Tulisan ini akan membahas terapi stem
cell sebagai salah satu metode terapi autisme dan mencoba melihat aspek-aspek
1
Makalah untuk bahasan Bioetika, mata kuliah Filsafat Ilmu (Dosen: Intan Ahmad, PhD)
2
Mahasiswa program Doktor, E-mail:jun_kld@yahoo.com

2
bioetika secara universal bukan berdasarkan sudut pandang agama dan
kepercayaan tertentu.

Autisme dan Penyebabnya

Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf pada anak yang ditandai


keterlambatan dalam bicara, kognitif, perilaku, dan interaksi sosial. Gejala ini
dapat diamati pada anak usia 2-3 tahun. Tipe-tipe gangguan autisme bervariasi
pada setiap individu, oleh sebab itu disebut spektrum autisme atau Autistic
Spectrum Disorder (ASD) (Freitag, 2007). Kategori yang termasuk dalam
spektrum autisme yaitu Autisme, Rett syndrome, Asperger, Childhood
Disintegrative Disorder (CDD), dan Pervasive Development Disorder Not
Otherwise Specified (PDD-NOS) (NEA, 2006). Autisme sendiri dikelompokkan
menjadi Low Functioning Autism (LFA), Middle Functioning Autism (MFA) dan
High Functioning Autism (HFA) (Pusponegoro & Solek, 2007) berdasarkan tes
kecerdasan (IQ), masing-masing kelompok berturut-turut memiliki nilai IQ:<50,
50-70, dan >70.

Istilah autisme diambil dari bahasa Yunani Auto yang berarti sendiri dan
digunakan pada penyandang mulai tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang dokter
dari Johns Hopkins University (Manzi et al., 2005). Data tahun 2009
menunjukkan jumlah penderita autisme di dunia meningkat, misalnya ditemukan
satu di antara 150 anak-anak penyandang autisme di Amerika (ScienceDaily,
2009). Di Inggris di antara 1000 anak ditemukan sebanyak 90 anak penyandang
autisme (Campbell, 2009). Di Indonesia walaupun belum ada data pasti jumlah
penyandang autisme, namun di beberapa tempat terapi di kota-kota besar
jumlahnya semakin bertambah (Yayasan Autisme Indonesia, 2008). Tingginya
angka penyandang autisme ini disebabkan oleh majunya metode diagnosisnya
sehingga memiliki presisi yang tinggi; tingginya kesadaran sosial; perubahan
kategori diagnosis seperti retardasi mental dan schizoprenia saat ini dikategorikan
sebagai autisme; dan kesalahan dalam diagnosis (Brown, 2009).

Gangguan perkembangan syaraf dapat dijumpai pada bagian-bagian otak anak


autistik, perkembangan yang berbeda dapat dijumpai di amygdala (respon emosi
dan perilaku agresif), korpus collosum (komunikasi), dan cerebellum
(kemampuan bicara, motorik, koordinasi dan pergerakan), korteks prefrontal
(reaksi perilaku, pergerakan, dan fungsi mental) (Possey, 2008). Selain itu,
ditemukan juga tingginya produksi neurotransmiter serotonin (Devlin, 2005) dan
dopamin (Dawson, 2005) pada sel saraf di otak anak autistik dibandingkan dengan
anak normal. Banyaknya bagian-bagian otak yang terganggu akan berpengaruh
terhadap kompleksitas autisme yang juga akan menentukan tingkat kecerdasan.

Terapi autisme dapat dibagi menjadi terapi perilaku, sensori integrasi, terapi
bicara, terapi nutrisi dan pendekatan medis. Penggunaan metode terapi satu
dipadukan dengan metode lainnya, sehingga umumnya digunakan lebih dari satu
metode untuk penanganan. Misalnya metode terapi perilaku juga mencakup terapi
sensori integrasi dan medis. Terapi lain yang relatif baru dan telah berhasil
dilakukan yaitu metode stem cell dari tali pusar bayi dengan nama CD34+ (Icim et

3
al., 2007). Terapi gen juga akhir-akhir ini mulai diaplikasikan untuk autisme
tetapi belum ada publikasi yang menyatakan keberhasilan terapi ini.

Teknik Stem Cell dan Bioetika

Penemuan kelainan pada sel-sel otak penyandang autisme membuka peluang bagi
stem cell sebagai salah satu metode terapi. Keunggulan stem cell terletak pada
sifat pluripoten sel yang mampu berdiferensiasi, memperbaharui diri, dan
mereproduksi diri secara kontiyu. Sifat pluripoten sel dimanfaatkan untuk
melakukan diferensiasi sesuai dengan sel target.

Pengertian stem cell dapat dibedakan menjadi stem cell embrionik dan non
embrionik. Stem cell embrionik umumnya diambil dari tahap blastosis sedangkan
stem cell non embrionik didapatkan dari jaringan dewasa. Asal stem cell yang
berbeda masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Sel yang berasal
dari jarigan mesenkim (Icim et al., 2007) embrio lebih diprioritaskan karena
memiliki daya plastisitas, namun ada reaksi penolakan dari sistem imun tubuh.
Kelebihan stem cell dewasa yang tidak memiliki resiko resistensi terhadap sistem
imun tubuh sebab dari sel-sel yang sama dengan sel yang akan digantikan, namun
hanya mampu menghasilkan satu tipe sel (totipoten). Stem cell dewasa dari darah
tali pusar bayi yang baru lahir berpotensi hampir sama dengan stem cell embrionik
(Fischbach & Fischbach, 2004).

Teknik mendapatkan stem cell embrionik dapat dilakukan dengan cara, pertama
membuat embrio dari sperma dan oosit dalam proses fertilisasi in vitro (FIV) dan
yang kedua terapi kloning. Teknik lain yaitu menggabungkan sebuah sel dewasa
sel target dengan sel oosit. Nukleus dari oosit dihilangkan dan diganti dengan
nukleus dari stem cell dewasa. Oosit kemudian dirangsang untuk membelah
dengan menggunakan zat kimia atau kejutan listrik. Embrio yang dihasilkan akan
membawa materi genetis dari sel target. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
resistensi dari sistem imun.

Metode stem cell masih banyak mengundang perdebatan terutama terkait dengan
etika. Proses pengambilan pada stem cell embrionik dari dalam tubuh yang akan
lebih mudah dilakukan melalui vagina. Hal ini menjadi perdebatan ketika siapa
yang berhak mengambil dan apakah ada perlindungan terhadap hak-hak wanita
yang embrionya diambil. Pada stem cell embrionik dari FIV, diferensiasi sel
belum dapat secara pasti diarahkan dan bagaimana mengendalikannya setelah
diinjeksikan. Proses membuat dan mematikan embrio dianggap menyalahi etika
karena kehidupan telah dimulai sesaat setelah fertilisasi terjadi dan embrio juga
sudah memiliki status sebagai manusia (Saniei & de Vries, 2008). Embrio pada
tahap awal sampai tahap blastosis boleh digunakan untuk alasan kesehatan dan
kontribusi pada ilmu pengetahuan.

Pendapat lain menyatakan bahwa embrio tidak memerlukan perhatian khusus dari
sisi moral (Fischbach & Fischbach, 2004). Aborsi yang dilakukan pada tingkat sel
sangat diperlukan ketika faktor keselamatan organ dan individu sangat urgensi.
Selanjutnya, Fischbach & Fischbach (2004) menyatakan embrio dari tahap

4
blastosis belum memiliki sel-sel saraf jadi belum ada kemampuan untuk
mendeteksi dan legal digunakan untuk tujuan kesehatan. Perdebatan tentang etika
juga terjadi pada stem cell yang diambil dari tali pusar orang lain Sel-sel yang
akan ditransfer juga membawa gen yang memiliki kelainan genetis walaupun
terekspresi pada generasi berikutnya.

Aspek Bioetika Terapi Stem Cell untuk Autisme

Terapi stem cell untuk anak autisme yang telah berhasil dilakukan untuk
memperbaiki ketidaknormalan dalam sirkulasi sistem saraf pusat yaitu kerusakan
hypoferpusi basal (Icim et al., 2007) yang berkontribusi pada akumulasi
neurotransmiter dan hypoksia atau sel-sel yang mati pada sel-sel saraf pusat. Pada
autisme juga ditemukan abnormalitas imun yang dapat dideteksi pada saraf pusat
dan tepi. Terapi stem cell dewasa yang berasal dari tali pusar untuk anak autistik
telah dilakukan (Icim et al., 2007). Keberhasilan ini sangat ditentukan asal dari
stem cell yang sama dengan sel target, jadi meminimalisir penolakan reaksi
imunitas.

Perbedaan pandangan terhadap terapi autisme terjadi karena perbedaan dalam area
penelitian, misalnya ahli psikologi melihat sampai ke tingkah laku. Ahli psikologi
percaya selama masih dapat dilakukan terapi berdasarkan faktor-faktor kejiwaan,
terapi stem cell tidak perlu diaplikasikan untuk anak autistik. Anak autistik yang
termasuk dalam HFA memiliki harapan untuk hidup mandiri dan sukses dalam
bekerja, jadi terapinya dapat berupa terapi perilaku dan sensori integrasi saja.
Terapi stem cell untuk anak autistik dilakukan terhadap anak yang masuk dalam
kategori LFA dan MFA yang memerlukan bantuan untuk hidup mandiri dan
kemungkinan tidak dapat memasuki dunia kerja.

Upaya screening prenatal akan dilakukan orang tua yang telah memiliki anak
autistik kategori LFA dan MFA untuk anak berikutnya. Hal ini akan sama dengan
melakukan aborsi sebab deteksi dini individu autistik baru dapat dilihat ketika
kehamilan tiga minggu (Purboyo Solek, komunikasi pribadi). Embrio pada usia
kehamilan tersebut, embrio telah memasuki tahap implantasi ke dalam dinding
rahim yang akan sama dengan melakukan aborsi dan terminasi embrio.

Aspek etika yang dapat muncul pada terapi stem cell untuk anak autistik juga
mencakup asal stem cell. Jika stem cell yang didapatkan melalui terapi kloning
maka akan ada proses mematikan oosit. Jika sel yang ditransfer membawa gen
yang memiliki kelainan genetis, hal ini akan sama dengan mentranfer kelainan
genetis baru. Jika pengambilan stem cell dewasa dari tubuhnya sendiri, harus
melihat kode etik penelitian manusia dan hukum perlindungan anak.

Stem cell merupakan sumber kreativitas manusia dan memiliki kontribusi terhadap
ilmu pengetahuan, kita tetap patut mempertimbangkannya aplikasinya untuk
tujuan mulia. Jika kita setuju dengan adanya hak hidup embrio yang sama dengan
manusia, maka stem cell tidak perlu dilakukan untuk terapi autisme. Kehadiran
individu autistik ditengah-tengah kita memberi ”warna” pada keragaman populasi

5
manusia. Kearifan dan kesabaran kita saat ini sedang dituntut sambil menunggu
kepastian apa penyebab sesungguhnya autisme.

Simpulan

Stem cell dapat diaplikasikan pada individu autistik bergantung pada kategori
autisme atau kompleksitas penyandang. Perdebatan tentang aspek bioetika dimulai
ketika mendefinisikan kapan kehidupan dimulai. Urgensi dan tujuan terapi stem
cell untuk autisme menjadi prioritas utama untuk mengurangi pertentangan
bioetika.

Daftar Pustaka

Brown, A. 2009. Clear answer and smart advice about your baby’s shots.
www.immunize.org/catg.d/p2068.pdf (30 Nopember 2009).
Butler, M.G., Z. Talebizadeh. 2006. Genetics of autism with emphasis on
affected female. In Horry M.A. Progress in Medical Genetics Chapter VII.
149-182.
Buxbaum, J.D., J.M. Silverman, C.J. Smith, M. Kilifarski, J. Reichert, E.
Hollander, B.A. Lawlor, M. Fitzgerald, D.A. Greenberg, K.L. Davis. 2001.
Evidence for a susceptibility gene for autism on chromosome 2 and for
genetic heterogeneity. American Journal of Human Genetics. 68:1514-1520.
Campbell, D. 2009. Scientists find genetics clues to how autism can develop.
The Guardian. 29 April 2009.
Dawson, G., S. J.Webb, E.Wijsman, G. Schellenberg, A. Estes, J. Munson, et al.
(2005). Neurocognitive and electrophysiological evidence of altered face
processing in parents of children with autism: Implications for a model of
abnormal development of social brain circuity in autism. Development and
Psychopathology 17: 679–697.
Devlin, B., E. H.Cook Jr, H.Coon, G.Dawson, E. L Grigorenko, W. McMahon, et
al. (2005). Autism and the serotonin transporter: The long and the short of it.
Molecular Psychiatry 10:1110–1116.
Eichler, E.E, A.W. Zimmerman. 2008. A hot spot of genetic instability in autism.
The New England Journal of Medicine 358 (7):737-739.
Embree, J. 2004. Immunization and autism links: Ethics in research. Canadian
Journal of Infection Diseases 15 (2):73-74.
Fischbach, G.D., R.L. Fischbach. 2004. Stem cells: Science, policy, and ethics.
The Journal of Clinical Investigation 114 (10):13641370.
Freitag, C.M. 2007. The genetics of autistic disorder and its clinical relevance: a
review of the literature. Molecular Psychiatry 12: 2-22.
Geschwind, D.H. 2008. Autism: Many genes, common pathways? Cell 135:391-
395.
Honey, J. 2008. Attention focuses on autism. The Journal of Clinical
Investigation 118 (5): 1586-1587.
Icim, T.E., F. Solano, E. Glenn, F. Morales, L. Smith, G. Zabrecky, N.H. Riordan.
2007. Stem cell therapy for autism. Journal Translational Medicine 5:30.
Maestrini, E., A.T. Pagnamenta, J.A Lamb, E. Bacchelli, N.H Sykes, I. Sausa, et
al. 2009. High density SNP association study and copy number variation

6
analysis of the AUTS1 and AUTS5 loci implicate the IMMP2L-DOCK4
gene region in autism susceptibility. Molecular Psyciatry:1-15.
Manzi, B., M.C. Porfirio, S. Pennacchia, C. Galasso, P. Curatolo. 2005. Molecular
genetics of autism. International Journal of Child Neuropsychiatry 2 (2):
103-109.
Muhle, R., V. Stephanie, Trentacoste, I.Rapin. 2004. The Genetics of autism.
Pediatrics 113 (5): 472-486.
National Education Association. 2006. The Puzzle of Autism. Washington: NEA.
44 hlm.
National Health and Medical Research Council. 1999. Guidelines for Ethical
Review of Research Proposals for Human Somatic Cell Gene Therapy and
Related Therapies. Australia: NHMRC. hlm 7-20.
Possey, D.J, K.A Stigler, C.A. Erickson, C.J McDougle. 2008. Antipsychotics in
the treatment of autism. The Journal of Clinical Investigation 118 (1): 6-14.
Pusponegoro, H.D., P. Solek.. 2007. Apakah Anak Kita Autisme? Bandung: Tri
Karsa Multi Media. hlm 3-7.
Saniei, M., R. de Vries. 2008. Monotheistic religion perspectives on embrionic
stem cell research. Eubios Journal of Asian and International Bioethics 18:
46-52.
ScienceDaily. 2009. New theory of autism suggests symptoms or disorder may be
reversible. 2 April 2009.
Swanberg, S.E, R.P.Nagarajan, S.Peddada, D.H.Yasui, J.M. LaSalle. 2009.
Reciprocal co-regulation of EGR2 and MECP2 is disrupted in Rett
syndrome and autism. Human Molecular Genetics 18(3):525-534.
Yayasan Autisme Indonesia. 2008. Apa yang perlu kita ketahui tentang autisme.
Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia. 4 hlm.

Anda mungkin juga menyukai