Oleh:
Muhammad Zulkarnain Mubhar
NIM: F0.4.6.10.13
Pendahuluan
Kaum mislimin percaya bahwa Allah Swt sejak awal penciptaan telah
berkominikasi aktif dengan dan kepada seluruh ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk dan
cara, diantara cara yang paling banyak digunakan oleh Allah Swt dalam berkomunikasi
dengan makhluk-Nya adalah dengan menciptkan berbagai hal dan memenuhi alam
semesta ini dengan tanda-tanda ketuhanan dan kebesaran-Nya, bentuk komunikasi Allah
Swt yang lebih intim adalah dengan cara memasukkan tanda-tanda ketuhanan-Nya ke
dalam setiap jiwa yang berakal1 agar jiwa tersebut dapat mersakan dan mengetahui
betapa Allah Swt sangat memperhatikan setiap langkah dan tingkah laku mereka. hal ini
sejalan dengan firman-Nya:
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.2
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimasud dengan kalimat “ وﻧﺤﻦ أﻗﺮب
" إﻟﯿﮫ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ اﻟﻮرﯾﺪadalah bahwa Allah Swt mengetahui segala hal bahkan waswasah atau
bisikan-bisikan terselubung dalam jiwa manusia, dimana pengetahuan Allah ini tidak
tertutupi oleh sesuatu apapun melainkan mengalir sebagaimana mengalirnya darah pada
urat nadi yang terdapat dileher manusi itu sendiri, al-Qurt}uby menyatakan bahwa
kalimat tersebut merupakan kalimat tamthi>l yang bermakna bahwa Allah Swt lebih
*
Telah dipresentasekan pada forum seminar kelas beasiswa Pps IAIN Suanan Ampel dengan Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam pada tanggal 13-Januari 2011. Dosen Pengmpu: Prof. Syafiq A. Mughni, MA.
Ph.D.
1
Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam (Jakarta: Insani Press, 2004), 2.
2
QS. Qa>f : 16.
1
2
dekat kepada hambanya yang merupakan bagian dari dirinya, dan kedekatan yang
dimaksud disini bukan kedekatan dalam arti kedekatan jarak3.
Ayat di atas – setidaknya – memberikan pengertian bahwa dalam diri manusia
terdapat dua perkara yang dalam keadaan tertentu terkadang mengalami pertikaian, dan
pada keadaan yang lain mengalami keserasian, kedua wilayah tersebut adalah wilayah
esoteris dan eksoteris. Wilayah esoteris adalah wilayah bersemayamnya pengtahuan
tentang Tuhan yang senantiasa aktif dalam melakukan interaksi dengannya baik secara
ferbal maupun nonferbal, dan wilayah aksoteris adalah wilayah terbentuknya suatu hasil
dari segala bentuk bisikan-bisikan esoteris. Bisikan-bisikan esoterik memiliki dua
bentuk; pertama, bisikan esoterik positif yaitu bisikan Tuhan yang senantiasa
mengarahkan kepada kebaikan untuk dapat menuai kemuliaan diri di dunia dan akhirat;
kedua, bisikan esoteris negatif yatu bisikan setan (Waswasah al-Shaya>t}i>n)4 yang
senantiasa mengarahkan kepada kesesatan sehingga mendapatkan kemuliaan diri di
dunia dan kehinaan diakhirat. Realisasi eksoterik dari bisikan esoterik positif kemudian
disebut dalam istilah al-Qur’an al-‘Amal al-S}a>leh dan realisasi esoterik dari bisikan
esoterik negative kemudian menghasilkan al-Sayyia>t wa al-Ithm wa al-Fawa>h}sh, bahkan
dalam istilah al-Qur’an mengikuti bisikan esoteris negatif sekalipun tidak terealisasi
secara eksoterik sudah tergolong al-Fawa>h}ish al-Ba>t}iniyyah (kekejian abstrak).
Tentang perkara esoterik baik yang positif maupun negatif5 dalam dunia
sufustik menjadi perhatian yang sangat besar, dimana orang yang berhasil
membumihanguskan sentra-sentra spiritual keburakan dan berhasil membangun sentra-
sentra kebaikan dalam ranah jiwanya, berpeluang untuk mendapatkan pengetahuan
sukmawi yang merupakan realitas abstrak dan transenden ( al-H{aqi>qah al-Mujjaradah al-
Muta’a>liyah), sebab realitas ini adalah realitas termulia dan hanya dapat ditangkap
secara baik oleh jiwa yang telah terbebas dari belenggu material, dan Tuhan hanya dapat
3
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr al-Qurt}uby, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-
Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-Furqa>n, Vol. 19 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>h,
1427 H / 2006 M), 463.
4
Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an Surah Al-Na>s : 1-6.
5
Atau dalam istilah lain sentra-sentra kebaikan spiritual dan sentra-sentra keburukan spiritual. Lihat.
Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya (Jakarta: Al-Huda,
2010), 9-10.
3
6
Ibid.
7
Ibnu Khaldu>n, Muqaddimah (Kairo: Mat}ba’ah al-Bahiyyah, T.Th), 228.
8
Abu al-Wafa>’ al-Taftaza>ny, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979), 8-9.
9
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawwuf; Kritik Ibnu Taymiyyah atas Rancang Bangun Tasawwuf (
Surabaya: JP Books dan STAIN Kudus Press, 2007), 9.
10
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Diertj. Supardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2009), 303.
4
kelompok sheikh yaitu kelompok tasawwuf yang memiliki organisasi yang jelas dan
kegiatan-kegiatan mereka berpusan di khanaqah yang biasanya terletak di kota-kota;
kedua, kelompok yang disebut oleh Syafiq dengan “Dervish-berkelana” biasanya orang-
orang pencuri, petualang, pesulap, dan bahkan pencuri. Mereka ini sering digambarkan
sebagai kelompok sufi yang menghilangkan aspek pengalaman sufisme yang dianut oleh
para sufi sebelumnya. Kelompok ini memandang bahwa semangat berpetualang
merupakan jalan sufi. Sikap semacam itu telah ada sejak adanya tarekat, dan bahkan
lebih menampakkan diri secara jelas ketika sufisme melembaga secara mapan ditengah
masyarakat.11
Kemunculan berbagai bentuk kontras sufistik sebagaimana yang digambarkan
oleh Syafiq A. Mughni di atas, kemudian memunculkan sikap para tokoh pada masa itu
untuk meluruskan berbagai penyimpangan-penyimpangan tersebut utamanya yang
berhubungan dengan Aqidah. Diantara para tokoh yang sangat memberikan perhatian
dalam upaya memurnikan kembali aqidah Islam yang bermuara pada al-Qur’an, dan al-
Sunnah yang sesuai dengan faham al-Salaf al-S}a>leh adalah Shaikh al-Isla>m Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah ––Rahimahullah – dengan kerangka dasar pemikiran bahwa
Islam dan pembaharuan Islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah ( al-
Wasat}yyah). Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan
dalam Islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok
Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni dan sesuai dengan fahan
Salaf al-Ummah, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.
Pada masa hidupnya Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah– beliau
banyak melakukan kritikan-kritikan terhadap prilaku menyimpangan paham ke-Islam-an
utamanya para pengikut tarekat-tarekat sufi. Jika demikian bagaimana pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –tentang tarekat? Bagaimana kritikan Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –terhadap kewalian dan karomah seorang shaikh dalam Tarekat? Apakah
yang dimaksud dengan khirqah menurut Ibnu Taimiyyah? Seluruh pertanyaan ini akan
diurai dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulisnya.
11
Syafiq A. Mughni, Dinamika Inteletual Islam Pada Abad Kegelapan (Surabaya: Lembaga Pengkajian
Agama dan Masyarakat (LAPAM), 2002), 59.
5
12
‘Abd al-Muta’a>l al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-Ra>bi’ ‘Ashar
(Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th), 262. Bandingkan. Ah}mad Muh}ammad Banna>ny, Mauqif al-Ima>m
Ibnu Taimiyyah min al-Tas}awwuf wa al-S}u>fiyyah (Arab Saudi: Da>r al-‘Ilmi, 1406 H / 1982 M), 24.
13
Mus}t}afa> H{ilmy, Ibnu Taimiyyah wa al-Tas}awwuf (Iskandariyyah: Da>r al-Da’wah, T.Th), 357-358.
6
“Taimiyyah” disebabkan karena riwayat yang kedua, ketika sang putri dewasa menjadi
seorang penasehat yang terkenal, sehingga nama keturunannya disandarkan kepadanya. 14
Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –hidup pada masa dinasti Mama>li>k dalam
lingkungan yang penuh dengan ilmu, dimana keluarga beliau adalah keluarga yang
sangat mencintai ilmu dan dikenal sebagai keluarga penuntut ilmu –sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya- selain itu beliau juga tumbuh di kota yang memiliki
karakteristik keilmuan dan penuh dengan ulama. Para sejarawan yang merekam
perjalanan hidup keluarga Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya pada saat
melarikan diri dari serangan tentara Tatar terhdap kota mereka –H{arra>n- menuju
Damaskus pada tahun 667 H / 1268 M15, mengungkapkan bahwa keluarga ini membawa
tumpukan buku di atas dokar mereka dan tidak tampak disana selain buku. Ini
menunjukkan perhatian besar dan penghargaan keluarga ini terhadap buku yang
memberikan penekanan bahwa keluarga ini adalah keluarga pecinta ilmu.16
Kecerdasan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –telah tampak sejak kecil, beliau
sangat terkenal dari sebayanya akan kecerdasan, ketekunan, ketelitian dan kekuatan
hafalannya, bahkan telah tersebar dikalangan para ulama masa itu bahwa di tanah
Damaskus terdapat seorang anak yang memiliki keitimewaan hafalan. Hal ini
mengundang salah seorang ulama dari tanah H}alb ke Damaskus untuk membuktikan
kebenaran berita tentang kejeniusan seorang anak yang bernama Ah}mad bin Taimiyyah,
setelah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –ulama tersebut memintanya
untuk menulis di atas lauh} sebelas hadis beserta sanadnya, kemudian ulama tersebut
memintanya untuk menghapus tulisan tersebut dan menyuruhnya untuk membaca
kembali melalui hafalan apa yang telah dia tulis sebelumnya, setelah Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –mebacakan kembali kesebelas hadis tersebut secara utuh melalui
kekuatan hafalan, dengan penuh ttakjub ulama tersebut pun berkata: “Jika anak ini
14
Banna>ny, Mauqif…., 24. Bandingkan. Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahaby
(w. 748 H), Siyar A’la>m al-Nubala>’. Vol. 22 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M), 289.
15
Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l Mu>sa>, al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n (Jeddah: Da>r al-
Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th), 38
16
Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ari>fy, Mauqif Ibnu Taimiyyah min al-S}u>fiyyah. Vol. I (Riya>d}:
Maktabah Da>r al-Minha>j, 1430), 29.
7
tumbuh dewasa, maka dia adalah seorang ulama besar, karena saya belum menemukan
seorang anak yang sama dengannya”.17
Pendidikan paling pertama yang didapatkan oleh Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –adalah pendidikan dari ayah dan ibunya, dimana keduanya senantiasa
mengajarkan beliau dari masa kecil tentang pentingnya buku dan ilmu. Ayahnya banyak
memberikan kepadanya hafalan terhadap hadis, dan mengajarkannya bahasa Arab dan
sastranya, hingga beliau telah menghafal banyak syair pada masa dini. Beliau juga
belajar pada banyak guru selain dari ayanya, diantara guru-guru beliau adalah Zainab
binti Makky dimana beliau mendengarkan hadis darinya, selain hadis dan ilmunya beliau
juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain, beliau memiliki kekutan hafalan dimana tidaklah
sesuatu yang beliau dengarkan kecuali beliau hafal, beliau senantiasa belajar hingga
beliau menjadi ulama dalam bidang tafsir dan ilmunya, ahli dibidang fiqhi dan
diskursusnya –utamanya fiqhi madhhab H{anbaly-, bahakan dikatakan beliau sangat ahli
dalam fiqhi-fiqhi mazhab dari para penganut mazhab tersebut, beliau sangat menguasai
us}u>l al-Fiqh, Nah}wu, sastara, kala>m, filsafat, Tas}awwuf dan ilmu-ilmu lain baik ilmu
naqly maupun ‘aqly, beliau telah menguasai seluruh ilmu dan cabang-cabangnya selama
30 tahun.18
Pada saat beliau berumur 20 tahun ayahnya mengajarinya cara berfatwa,
sehingga beliau berfatwa dihadapn ayahnya, dan ayahnya senantiasa memotivasinya,
seluruh fatwanya didiskusikan terus menerus hingga ayahnya merasa tenang dan
melepaskan berftwa secara mandiri. Para ulama teman-teman ayahnya terkagum dengan
kedalaman ilmu, ketelitian dan ketepatan dalil yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –muda dalam berfatwa.19
Sikap ortodoksi Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya dalam hal debat
(al-muna>z}arah wa al-Muja>dalah) telah tampak sejak beliau berusia 20 tahun dimana
beliau pernah mendebat seorang ulama yang bersebarangan dengan madhhabnya,
seorang ulama yang berumur 50 tahun dan bermadhhab sha>fi’y serta menguasai
pendapat-pendapat al-Ash’ary. Ulama tersebut melakukan kesalahan, yang karena sikap
17
‘Abd al-Rah}ma>n al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h al-Mu’adhdhab (Kairi: Da>r al-Shuru>q, 1420 H /
1990 M), 7-8.
18
al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262.
19
al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h…, 10
8
20
Ibid., 11.
21
Syafiq A. Mughni, Dinamika….., 99.
22
al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262.
9
berbagai goresan emas hasil dari buah tangannya pun masih terus teraniaya utamnya
dari kalangan pemikir yang berhaluan filsafat atau kalam dan tasawwuf semua
disebabkan karena kejumudan para pengiut ideologinya.
Imam Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –dikenal sebagai seorang ulama yang
sangat produktif, beliau tidak pernah meninggalkan kertas dan pena, bahkan seluruh
bentuk perdebatan beliau dengan kelompok-kelompok Islam lainnya senantiasa beliau
dokumentasikan. Beliau wafat pada malam senin 20 Dhulqa’dah 728 H / 1328 M23
dengan meninggalkan banyak karya yang tidak terhitung jumlahnya. Diantara karya-
karya yang telah beliau wariskan adalah; Kita>b al-I<ma>n, Dar-u Ta’a>rud} al-‘Aqli wa al-
Naqli, al-‘Aqi>dah al-Wa>sit}iyyah, Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Naqd Kala>m al-
Shi>’ah wa al-Qadariyyah, Iqtid}au al-Shira>t al-Mustaqi>m Mukha>lafat As}h}a>b al-Jah}i>m, al-
Siya>sah al-Shar’iyyah fi> Is}la>h} al-Ra>’y wa al-Ra’iyyah, al-Jawa>b al-S}ah}i>h li man Baddala
di>n al-Masi>h}, ‘Aqi>dah al-Tadmu>riyyah, al-Fata>wa> al-Hamawiyyah, al-Furqa>n baina
Auliya>’ al-Rah}ma>n wa Auliya>’ al-Shait}a>n, Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r, Majmu>’ al-
Fata>wa>, Majmu>’ al-Rasa>il wa al-Masa>il, Ma’a>rij al-Wus}u>l, al-Tibya>n fi> Nuzu>l al-Qur’a>n,
al-Tafsi>r al-Kabi>r, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>mat, al-Istiqa>mah, dan banyak lagi
lainnya.
23
Banna>ny, Mauqif…., 45.
24
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
849.
25
Muhammad Tha>bit al-Fandy, Da>irat al-Ma’a>rif al-Isla>miyah, vol.15 (Teheran: Intishira>t Jahannam, t.th),
172.
10
tarekat dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan
metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju
Tuhan (Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan
tersebut dalam lingkup tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas.
Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah
berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua,
sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai suatu
gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada
segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.26
Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori27 yang digunakan
untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkatan
pendidikan tertentu –berupa maqa>ma>t dan ah}wa>l. Dengan kata lain tarekat merupakan
usaha pribadi seseorang melewati jalan yang mengantarkannya menuju Allah SWT,
jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Muhammad Nawawi al Banta>ny al Ja>wy- adalah
melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunah, meninggalkan sesuatu yang bersifat
larangan, menghindarkan diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta
berusaha untuk bersikap hati-hati melalui upaya muja>hadah dan riya>d}ah.28 Sedangkan
Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah jalan spiritual
oleh seorang pejalan (sa>lik) menuju hakikat. Untuk makna ini, ia identik dengan
tasawuf.29
26
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002), 99-100.
27
Sebenarnya kurang tepat bila dikatakan bahwa tarekat –sekalipun pada masa-masa awal- dipahami
sebagai metode yang digunakan untuk memperdalam pengamalan syariat. Namun sekalipun demikian,
pemaknaan tersebut ingin mengingatkan bahwa antara syariat dan tarekat tidak dapat dipisahkan karena
tarekat merupakan suatu cara yang harus ditempuh, maka tidak dibenarkan meninggalkan syariah. Bahkan
melaksanakan tarekat berarti melaksanakan syariah.
28
Muhammad Nawawi al-Ja>wy, Sharh} Mara>qi al ‘Ubu>diyah ‘ala> Matn Bida>yat al Hida>yah (Semarang;
Toha Putra, t.th), 4.
29
Sekalipun dalam kajian tasawuf, tarekat termasuk salah satu aspek di dalamnya di samping istilah
syariat hakikat dan makrifat. Namun dalam pengertian ini Tasawuf dapat diartikan sebagai usaha dalam
menguatkan rohani dan mengesampinkan jasmaniah untuk mengenal Tuhan dengan segala
kesempurnaannya. Dengan kata lain tasawuf adalah penyucian hati untuk menanamkan karakter dan
akhlak mulia, sehingga dipahami bahwa tasawuf pada dasarnya adalah tatanan moralitas. Lihat Haidar
Bagir, Buku Saku Tasawuf (Bandung; Mizan Pustaka, 2006), 14
11
30
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi (Yogyakarta; Teras, 2008), 230.
31
Said Aqil Siroj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan
Aspirasi (Jakarta: Yayasan Khas, 2009), 97.
12
32
Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t (Urdun: Maktabah al-
Mana>r, 1989), 37-38.
33
Ibid.
34
Ibnu Taimiyyah memandang bahwa hanya terdapat dua macam pengetahuan bagi manusia, yaitu;
pengetahua yang beliau disebut dengan ilmu, dan pengetahuan yang beliau disebut dengan z}ann. Lihat.
Ibid.
35
Ibid.
13
36
Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-
Umawy (Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987), 111.
14
kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut yang dengannya mereka merasa mulia dan
memusuhi mereka yang tidak mengikuti tarekat sheikh mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat dalam pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –dapat dibagi kedalam dua pengertian; Pertama, Tarekat
dalam pengertian umum adalah metode yang dilalui seseorang dalam usahanya untuk
mendapatkan ilmu agama. Kedua, Tarekat dalam pengertian khusus adalah tarekat yang
dinisbatkan kepada sheikh pendiri tarekat tersebut, dan yang kedua ini adalah bentuk
kebatilan.
Dari gambaran Schimmel tentang sosok seorang sheikh dalam sebuah kelompok
tarekat di atas dapat disimpulkan beberapa hal; 1) Bahwa seorang sheikh dalam sebuah
tarekat memiliki rahasia pengajaran yang hanya diajarkan kepada muri>d; 2) Seorang
sheikh memiliki nilai magic dalam kelompok tarekat yang dipimpinnya; 3) Seorang
Shaikh memiliki tingkat spiritual tinggi; 4) Kedudukannya dimata Tuhan melebihi
kedudukan para ulama dan sama dengan Nabi; 5) Dalam dirinya tercermin prilaku Nabi;
6) Cerminan Tuhan ada dalam dirinya.
Merujuk kepada enam poin di atas, maka wajar jika dalam sebuah tarekat sufi
seorang sheikh adalah seorang guru spiritual dan uswah (contoh) yang harus diikuti,
sehingga para pengikutnya (muri>d) sering kali igin dekat dengannya apakah sekedar
untuk mendapat berkah dari ketinggian spiritual (kara>mah) sang shaikh, memperoleh
manfaat dari ajarannya, dan atau manfaat dari saran dan nasehatnya.41
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa sebuah kelompok yang dinisbatkan
kepada nama seorang guru adalah bentuk kebatilan dimana tidak ada keterangan tentang
hal tersebut baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan athar dari para ulama shaleh terdahulu
(al-Salaf al-S}a>lih). Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa penisbatan
semacam ini merupakan bentuk sikap yang berlebihan ( al-Ghuluw) terhadap sheikh.
Beliau berkata:
Barang siapa yang bersikan ghuluw terhadap orang yang masih hidup, atau
bersikap ghuluw terhadap orang-orang shaleh seperti ‘Ali bin Abi Thalib atau
‘Ady -bin Musa>fir-, atau yang diyakini memiliki tingkatan spiritual tinggi
seperi al-H{alla>j dan al-H{a>kim yang ada di Mesir atau Yunus al-Qaniyyi dan
selain mereka, ……… kemudian menyanjung mereka …….. dalam bentuk
perkataan atau perbuatan yang didalamnya mengandung rubu>biyyah yang
40
Schimmel, Dimensi…., 300.
41
Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path…., 141.
16
hanya milik Allah Swt, maka ini merupakan bentuk kesyirikan dan kesesatan42,
dan orang yang melakukannya wajib bertaubat, jika tidak, maka halal darahnya.
Karena Allah Swt mengutus para Rasul-Nya dengan tujuan agar segala
penyembahan hanya kepada-Nya semata dan kita tidak diperbolehkan
menjadikan sesembahan selain diri-Nya.43
Problematika al-Ghuluw fi> al-S{a>lih}in ini berpengarus sangat besar pada sikap
patuh terhadap sheikh sampai pada hal-hal yang diharaman dalam Islam sebagaimana
pekerjaan para pengikut tarekat Rifa>’iyyah yang dengan sengaja menggantungkan
kalung besi di leher mereka, karena merupakan bagian dari aturan sheikh mereka,44
dengan demikian mereka tidak berbeda dengan orang-orang Nasrani yang musyrik
dengan menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (dalm makna Rubu>biyyah) selain
Allah Swt.45 Untuk menguatkan argument ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyetir
firman Allah Swt:
Terjemahannya:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.46
Terjemahannya:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku
mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang
buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"47
47
Qs. Al-An’a>m (06) : 50
48
Zuhair Shafi>q al-Kibby, Fiqh al-Tas}awwuf….., 273.
18
Terjemahannya:
“Tedakalah sekolompok manusia berkumpul kecuali diantara mereka terdapat
wali Allah”
49
Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1992), 49.
50
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 50.
51
Ibid., 52-53.
19
Dalam tarekat sufi terdapat hirarki otoritas spiritual para wali dimana
kekuasaan spiritual tertinggi dipegang oleh para qut}b (kutub, poros) atau ghauth
(pertolongan), di kitari oleh tiga nuqaba>’ (pengganti), empat uta>d (tiang-tiang), tujuh
abra>r (yang berlaku baik), empat puluh abda>l (pengganti-pengganti), tiga ratus akhya>r
(manusia pilihan) dan empat ribu wali tersembunyai.52
Tentang pandangan ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –mengurai istilah-
istilah tersebut dengan kesimpulan bahwa seluruh istilah dalam hirarki spiritual yang
diungkapkan oleh kaum sufi dan pengikut tarekatnya tidak terdapat dalam keterangan
baik al-Qur’an maupun hadis-hadis s}ah}i>h tentang istilah-istilah ini dan tidak pula
ditemukan penjelasannya dari salah seorang ulama saleh terdahulu ( al-Salaf al-S}a>lih}).
Jika pun terdapat hadis yang berhubungan dengan hal tersebut, hadis tersebut pun
bersifat Munqat}i’ dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan agama.53
Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang sheikh yang layak
untuk ditauladani dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah mereka
yang meniti jalan para Nabi dan Rasul dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai ikutannya serta menyeru manusi kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
dan tidak kepada dirinya atau mereka yang dianggap wali Allah. Adapun wali Allah
adalah mereka yang beriman kepada Allah Swt secara jujur dan benar serta mengikuti
apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi laranga-Nya sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Para wali Allah yang sesungguhnya adalah mereka
yang secara Nas} Shar’y (teks syari’at) telah dijelaskan karakteristiknya baik didalam al-
Qur’an dan al-Sunnah al-S}ah}i>h}ah dan mereka tidak memiliki hirarki kekuasaan
sebagaimana yang diklaim oleh para sufi dan para pengikut tarekat mereka.
52
Schimmel, Dimensi…., 253.
53
Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Furqa>n Baina Auliya> al-Rahma>n wa Auliya’ al-Shait}a>n
(Beiru>t: Maktabah ‘Aly S}a>bih} wa Aula>dih, 1958), 31-32. Bandingkan: Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-
Rasa>il…., 57-64. H{ilmy, Ibnu Taimiyyah….., 397.
20
untuk membedakan semua tarekat yang ada karena ada beberapa tarekat yang memiliki
khirqah yang sama, misalnya Qa>diriyah, Sa’diyah, dan Baha>miyah yang sama-sama
menggunakan khirqah yang berwarna hijau. Perbedaan kedua adalah bahwa setiap
tarekat memiliki wirid dan h}izb yang berbeda yang diciptakan oleh masing-masing
sheikh dari tarekat-tarekat tersebut.54
Khirqah atau disebut juga dengan khirqah al-Futuwwah adalah bagian dari
shi’a>r kaum sufi yang menunjukkan bahwa seorang muri>d hanya bertarekat sesuai denga
tarekat sheikh yang memakaikan kepadanya khirqah tersebut. Jadi seorang sheikh ketika
menerima seorang muri>d dan hendak memasaukkannya menjadi bagian dari tarekatnya,
maka sheikh tersebut memakaikan kepadanya khirqah tersebut yang menjadi simbol
peenyerahan diri sepenuhnya dalam ketaatan kepada sheikh dan tarekatnya.55
Khirqah ini selain sebagai symbol ketaatan seorang muri>d kepada shaikhnya
juga menjadi symbol silsilah dalam tarekat yang harus dimiliki oleh seorang muri>d agar
senantiasa mendapat keberkahan sheikh dalam menjalankan tarekatnya. Dalam
pandangan mereka bahwa seorang muri>d yang tidak memiliki khirqah ini, maka dia tidak
akan pernah mencapai derajat apapun dalam tasawwuf, bahkan dianggap belum memulai
satu derajatpun utamanya derajat yang teah ditetapkan dalam tarekat sang sheikh.56
Dalam masalah ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa
penggunakan khirqah sebagai syarat agar seseorang dapat mencapai derajat tertentu
dalam tarekat dan mendapat berkah darinya adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan
kebathilan, sebab –menurutnya- syarat tersebut dapt berimplikasi pada pengharaman apa
yang dihalalkan oleh Allah Swt dan penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah Swt,
dan syarat semacam ini tidak terdapat dalam al-Qur’an.57 Untuk menguatkan pernyataan
ini beliau menyebutkan Hadi>th S}ah}i>h yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ry:
Terjemahannya:
54
Suryadilaga, Miftah……, 233-234.
55
‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h al-Suhrawardy, ‘Awa>rif al-Ma’a>rif (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Araby, 1966), 59.
56
‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-Tas}awwuf wa Dira>sa>t
‘an al-Ghaza>ly (Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394 H), 359.
57
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159.
21
Ada apa dengan manusia yang mensyaratkan beberapa syarat yang tidak terdapat
didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), barang siapa yang mempersyaratkan satu syarat
yang tidak terdapat didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), maka syarat itu adalah batil
sekalipun mereka menysun seratus syarat, syarat Allah lebih berhak (untuk ditunaikan)
dan lebih kuat (dalam mengikat seorang hamba).58
Adapun tentang masalah pemakain khirqah dari seorang shaikkh kepada muri>d
menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebatilan yang tidak
berdasar, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw, dan tidak pula oleh para
sahabat beliau termasuk ‘Aly bin Abi T}a>lib, dan tidak pula selain mereka dari kalangan
ta>bi’i>n.59
Sementara itu dalil yang dipergunakan oleh mereka perihal sunnahnya khirqah
adalah dalil dengan sanad melalui jalur al-Khali>fah al-Na>s}ir kepada ‘Abd al-Jabba>r,
kepada Thuma>mah yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw pernah memakaikan
kepada ‘Aly bin Abi T}a>lib pakaian Futuwwah , kemudian diperintahkan kepadanya
untuk mmemakaikannya kepada siapapun yang dikehendakinya’ adalah dalil dimana
otentitas sanadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan didalam sanadnya terdapat
seseorang yang tidak diketahui (majhu>l) dan tidak layak seorang muslim menyandarkan
sesuatu apapun kepada Nabi Saw dari orang yang majhu>l (asal-usul dan
latarbelakangnya).60
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa khirqah dalam pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan kebatilan, sebab
didalamnya terdapat syarat yang tidak dipersyaratkan didalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
kemudian penyandaran hadis bahwa Rasulullah Saw pernah memakaikan hirqah kepada
Aly bin Abi T}a>lib adalah sebuah bentuk kedustaan kepada Rasulullah Saw dan kepada
Sahabat yang Mulia.
Penutup
Kritik Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –seputar tarekat sangatlah luas dan
permasalahan-permasalahannya tersebar dalam berbagai risalah dan fatwanya, namun
58
Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2 (Kairo: al-Mat}ba’ah al-
Salafiyyah, 1400 H), 103.
59
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159.
60
Ibid, 157.
22
demikian dapat temukan beberapa perkara diantaranya adalah keritik beliau tentang
penamaan satu tarekat dengan penisbatan kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut
dimana menurut beliau adalah sebuah bentuk pengkultusan terhadap sheikh (al-
Ghuluww fi> al-S}a>lihi>n) dan berimplikasi pada aqidah seseorang, dan merupakan bentuk
pemecahan umat Islam, perkara ini merupakan bentuk kebid’ahan yang memiliki
kesesatan yang nyata.
Selain itu Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyatakan bahwa kedudukan
sheikh yang sesungguhnya adalah untuk menyeru manusia kepada Allah, dan ketaatan
kepada Allah Swt dan Rasul-Nya serta berpegang tegus terhadap al-Qur’an dan al-
Sunnah, sehingga sheikh yang layak untuk diteladani adalah mereka yang secara
istiqa>mah mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun penggunaan khirqah dalam suatu kelompok sebagai persyaratan
seorang muri>d yang menjadi symbol ketatan kepada sheikh dan symbol derajat dalam
tarekat sufi menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah bentuk kebid’ahan dan
kebatilan sebab mempersyaratkan sesuatu yang tidak memiliki landasan baik dari al-
Qur’an maupun al-Sunnah.
Akhirnya, bahwa seluruh bentuk kritikan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –
terhadap perkara-perkara yang terdapat dalam tarekat tasawwuf adalah sebuah bentuk
al-Was}iyyat bi al-Haqq (bernasehat dalam kebenaran) karena agama ini sejatinya adalah
nasehat (al-Di>n al-Nas}i>h}ah) agar tetap berada dijalan Allah Swt sebagaimana yang
dilalui oleh para Nabi dan Rasul, para Sahabat dan para Ta>bi’i>n dan salaf al-Ummah al-
S}alih}ah.
23
Daftar Pustaka
Al-Qur’a>n al-Kari>m
al-Bukha>ry, Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m. al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2. Kairo: al-
Mat}ba’ah al-Salafiyyah, 1400 H.
al-Dhahaby, Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n. Siyar A’la>m al-
Nubala>’. Vol. 22. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M.
Esposito , Jhon L. Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Diterj.
Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2010.
Ibnu Taimiyyah, Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m. Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il. Beiru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
--------------------------. al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-
Umawy. Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987.
al-Kibby, Zuhair Shafi>q. Fiqh al-Tas}awwuf li Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah. Beiru>t:
Da>r al-Fikr, 1993.
Mah}mu>d, ‘Abd al-H{ali>m. al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-
Tas}awwuf wa Dira>sa>t ‘an al-Ghaza>ly. Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394
H.
Mu>sa>,Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l. al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n.
Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th.
Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya.
Jakarta: Al-Huda, 2010.
al-Qurt}uby, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-
Qur’a>n wa al-Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-
Furqa>n, Vol. 19. Beiru>t: Muassasah al-Risa>h, 1427 H / 2006 M.
Renard, Jhon. Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam. Jakarta: Insani Press,
2004.
Siroj, Said Aqil. Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi. Jakarta: Yayasan Khas, 2009.
al-S}a’i>dy, ‘Abd al-Muta’a>l. Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-
Ra>bi’ ‘Ashar. Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th.
al-Suhrawardy, ‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h. ‘Awa>rif al-Ma’a>rif. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-
‘Araby, 1966.