Anda di halaman 1dari 24

KRITIK IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TAREKAT

(Kedudukan Shaikh dan Fungsi Khirqah dalam Tarekat)*

Oleh:
Muhammad Zulkarnain Mubhar
NIM: F0.4.6.10.13

Pendahuluan
Kaum mislimin percaya bahwa Allah Swt sejak awal penciptaan telah
berkominikasi aktif dengan dan kepada seluruh ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk dan
cara, diantara cara yang paling banyak digunakan oleh Allah Swt dalam berkomunikasi
dengan makhluk-Nya adalah dengan menciptkan berbagai hal dan memenuhi alam
semesta ini dengan tanda-tanda ketuhanan dan kebesaran-Nya, bentuk komunikasi Allah
Swt yang lebih intim adalah dengan cara memasukkan tanda-tanda ketuhanan-Nya ke
dalam setiap jiwa yang berakal1 agar jiwa tersebut dapat mersakan dan mengetahui
betapa Allah Swt sangat memperhatikan setiap langkah dan tingkah laku mereka. hal ini
sejalan dengan firman-Nya:

               
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.2

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimasud dengan kalimat “ ‫وﻧﺤﻦ أﻗﺮب‬
"‫ إﻟﯿﮫ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ اﻟﻮرﯾﺪ‬adalah bahwa Allah Swt mengetahui segala hal bahkan waswasah atau
bisikan-bisikan terselubung dalam jiwa manusia, dimana pengetahuan Allah ini tidak
tertutupi oleh sesuatu apapun melainkan mengalir sebagaimana mengalirnya darah pada
urat nadi yang terdapat dileher manusi itu sendiri, al-Qurt}uby menyatakan bahwa
kalimat tersebut merupakan kalimat tamthi>l yang bermakna bahwa Allah Swt lebih

*
Telah dipresentasekan pada forum seminar kelas beasiswa Pps IAIN Suanan Ampel dengan Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam pada tanggal 13-Januari 2011. Dosen Pengmpu: Prof. Syafiq A. Mughni, MA.
Ph.D.
1
Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam (Jakarta: Insani Press, 2004), 2.
2
QS. Qa>f : 16.

1
2

dekat kepada hambanya yang merupakan bagian dari dirinya, dan kedekatan yang
dimaksud disini bukan kedekatan dalam arti kedekatan jarak3.
Ayat di atas – setidaknya – memberikan pengertian bahwa dalam diri manusia
terdapat dua perkara yang dalam keadaan tertentu terkadang mengalami pertikaian, dan
pada keadaan yang lain mengalami keserasian, kedua wilayah tersebut adalah wilayah
esoteris dan eksoteris. Wilayah esoteris adalah wilayah bersemayamnya pengtahuan
tentang Tuhan yang senantiasa aktif dalam melakukan interaksi dengannya baik secara
ferbal maupun nonferbal, dan wilayah aksoteris adalah wilayah terbentuknya suatu hasil
dari segala bentuk bisikan-bisikan esoteris. Bisikan-bisikan esoterik memiliki dua
bentuk; pertama, bisikan esoterik positif yaitu bisikan Tuhan yang senantiasa
mengarahkan kepada kebaikan untuk dapat menuai kemuliaan diri di dunia dan akhirat;
kedua, bisikan esoteris negatif yatu bisikan setan (Waswasah al-Shaya>t}i>n)4 yang
senantiasa mengarahkan kepada kesesatan sehingga mendapatkan kemuliaan diri di
dunia dan kehinaan diakhirat. Realisasi eksoterik dari bisikan esoterik positif kemudian
disebut dalam istilah al-Qur’an al-‘Amal al-S}a>leh dan realisasi esoterik dari bisikan
esoterik negative kemudian menghasilkan al-Sayyia>t wa al-Ithm wa al-Fawa>h}sh, bahkan
dalam istilah al-Qur’an mengikuti bisikan esoteris negatif sekalipun tidak terealisasi
secara eksoterik sudah tergolong al-Fawa>h}ish al-Ba>t}iniyyah (kekejian abstrak).
Tentang perkara esoterik baik yang positif maupun negatif5 dalam dunia
sufustik menjadi perhatian yang sangat besar, dimana orang yang berhasil
membumihanguskan sentra-sentra spiritual keburakan dan berhasil membangun sentra-
sentra kebaikan dalam ranah jiwanya, berpeluang untuk mendapatkan pengetahuan
sukmawi yang merupakan realitas abstrak dan transenden ( al-H{aqi>qah al-Mujjaradah al-
Muta’a>liyah), sebab realitas ini adalah realitas termulia dan hanya dapat ditangkap
secara baik oleh jiwa yang telah terbebas dari belenggu material, dan Tuhan hanya dapat

3
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr al-Qurt}uby, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-
Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-Furqa>n, Vol. 19 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>h,
1427 H / 2006 M), 463.
4
Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an Surah Al-Na>s : 1-6.
5
Atau dalam istilah lain sentra-sentra kebaikan spiritual dan sentra-sentra keburukan spiritual. Lihat.
Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya (Jakarta: Al-Huda,
2010), 9-10.
3

dirasakan kehadiran-Nya oleh orang yang memiliki pengetahuan sukmawi6 dengan


membelenggu dan menghanguskan segala bentuk bisikan esoterik negatif dan
mengaktifkan secara simultan dan berkelanjutan segala bentuk bisikan-bisikan esoterik
positif.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa tasawwuf lebih memberi aksentuasi
kepada aspek batin (esoterik) yang merupakan bentuk produk ijtihad tentang ajaran
Islam. Ibnu Khaldun (w. 1406) menginformasikan bahwa keberadaan tasawwuf secara
historis bermula dari generasi salaf dengan cara memusatkan diri dengan konsentrasi
sepenuhnya dalam beribadah hanya kepada Allah Swt semata, menjauhi dunia dan
segala pesona kelezatannya, berpaling dai harta dan jabatan, melakukan ‘uzlah untuk
dapat lebih konsentrasi dalam ibdaha ( khalwat), dan senantiasa hidup dalam ibadah.
Fenomena ini merupakan fenomena umum dalam kehidupan generasi salaf, kemudian
pada abad ke-2 dan sesudahnya para ‘a>bid dan mereka yang menjauhi sikap tamak dari
kehidupan duniawai (za>hid) kemudian disebut dengan s}u>fy atau mutas}awwifi>n.7 Konteks
ini menunjukkan bahwa sejak saat itu (abad ke-2 dan sesudahnya) tasawuf memasuki
periode intusi, kashf, dan dhauq yang berkembang antara abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.8
Perkembangan tasawwuf di atas kemudian membawa alam tasawwuf pada
perkembangan ke arah munculnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab, berikut
kecenderungan dan karakteristik masing-masing9 yang kemudian disebut dengan
Tarekat. Tarekat-tarekat yang berkembang tersebut secara simultan dan berkelanjutan
telah berperan dalam melakukan perubahan tasawwuf yang pada awalnya merupakan
kegiatan yang bersifat individu menjadi gerakan massa yang melemahkan cita-cita
tertinggi golongan sufi klasik.10
Dalam catatan Syafiq A. Mughni, menginformasikan bahwa pada abad
kegelapan muncul suatu kontras yang tampaknya menunjukkan berbagai penyimpangan
dari tradisi sufistik sebelumnya. Kontras ini tampak pada dua kelompok; pertama,

6
Ibid.
7
Ibnu Khaldu>n, Muqaddimah (Kairo: Mat}ba’ah al-Bahiyyah, T.Th), 228.
8
Abu al-Wafa>’ al-Taftaza>ny, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979), 8-9.
9
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawwuf; Kritik Ibnu Taymiyyah atas Rancang Bangun Tasawwuf (
Surabaya: JP Books dan STAIN Kudus Press, 2007), 9.
10
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Diertj. Supardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2009), 303.
4

kelompok sheikh yaitu kelompok tasawwuf yang memiliki organisasi yang jelas dan
kegiatan-kegiatan mereka berpusan di khanaqah yang biasanya terletak di kota-kota;
kedua, kelompok yang disebut oleh Syafiq dengan “Dervish-berkelana” biasanya orang-
orang pencuri, petualang, pesulap, dan bahkan pencuri. Mereka ini sering digambarkan
sebagai kelompok sufi yang menghilangkan aspek pengalaman sufisme yang dianut oleh
para sufi sebelumnya. Kelompok ini memandang bahwa semangat berpetualang
merupakan jalan sufi. Sikap semacam itu telah ada sejak adanya tarekat, dan bahkan
lebih menampakkan diri secara jelas ketika sufisme melembaga secara mapan ditengah
masyarakat.11
Kemunculan berbagai bentuk kontras sufistik sebagaimana yang digambarkan
oleh Syafiq A. Mughni di atas, kemudian memunculkan sikap para tokoh pada masa itu
untuk meluruskan berbagai penyimpangan-penyimpangan tersebut utamanya yang
berhubungan dengan Aqidah. Diantara para tokoh yang sangat memberikan perhatian
dalam upaya memurnikan kembali aqidah Islam yang bermuara pada al-Qur’an, dan al-
Sunnah yang sesuai dengan faham al-Salaf al-S}a>leh adalah Shaikh al-Isla>m Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah ––Rahimahullah – dengan kerangka dasar pemikiran bahwa
Islam dan pembaharuan Islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah ( al-
Wasat}yyah). Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan
dalam Islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok
Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni dan sesuai dengan fahan
Salaf al-Ummah, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.
Pada masa hidupnya Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah– beliau
banyak melakukan kritikan-kritikan terhadap prilaku menyimpangan paham ke-Islam-an
utamanya para pengikut tarekat-tarekat sufi. Jika demikian bagaimana pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –tentang tarekat? Bagaimana kritikan Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –terhadap kewalian dan karomah seorang shaikh dalam Tarekat? Apakah
yang dimaksud dengan khirqah menurut Ibnu Taimiyyah? Seluruh pertanyaan ini akan
diurai dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulisnya.

11
Syafiq A. Mughni, Dinamika Inteletual Islam Pada Abad Kegelapan (Surabaya: Lembaga Pengkajian
Agama dan Masyarakat (LAPAM), 2002), 59.
5

Riwayat Singkat Hidup Ibnu Taimiyyah


Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bernama asli Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin
‘Abd al-Sala>m bin Taimiyyah al-H{arra>ny al-Dimasyqy al-H{anbaly bergelar Shaikh al-
Isla>m Taqiyuddi>n dan berlaqab Abu al-‘Abba>s. beliau lahir di kota H{arra>n pada hari
Senin 10 Rabi’ al-Awwal Tahun 661 H bertepatan dengan 25 Januari 1262 M, kemudian
seluruh keluarganya pindah Damaskus pada saat beliau masih kecil.12 Kakek beliau
adalah seorang ahli H{adi>th yang terkenal, Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –pernah
berkata tentang kekek beliau : “Kakek kami meliki hafalan h{adi>th yang sangat
mengangumkan dan beliau juga menghafal seluruh kelompok-kelompok manusia dan
pendapat-pendapat mereka secara baik”. Sementara ayah beliau adalah seseorang yang
memiliki kedalam ilmu, seorang mufti, dan penulis produktif, beliau menjadi seorang
imam menggantikan ayahnya (kakek Ibnu Taimiyyah), beliau adalah seorang imam,
peneliti dan menguasai berbagai cabang ilmu” demikian yang disebutkan oleh Al-
Dhahaby dalam Siyara A’la>m al-Nubala>’ sebagaimana yang dinukil oleh Mus}t}afa>
H{ilmy.13 Dan Ibnu Taymiyyah adalah panggilan untuk salah seorang dari kakek beliau
yang bernama Muh}ammad bin al-Khad}r, terdapat dua riwayat yang berbeda tentang
permasalahan ini –sebagaimana yang diinformasikan oleh al-Dhahaby dan nukil oleh
Banna>ny – Pertama, bahwa ibu dari Muh}ammad bin al-Khad}r bernama Taymiyyah dan
merupakan seorang penasehat sehingga Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –disandarkan
kepada beliau dan dikenal menjadi nama keluarga (fam). Kedua, bahwa nama Taimiyyah
adalah putri dari Muh}ammad bin al-Khad}r dan bukanlah nama dari ibunya Muh}ammmad
al-Khad}r menamai putrinya dengan Taimiyyah disebabkan karena ketika beliau
menunaikan haji beliau melewati suatu daerah yang bernama Taima>’ sebuah kota yang
berdekatan dengan Tabuk Jazirah ‘Arabiyyah, dikota tersebut Muh}ammad bertemu
dengan seorang putrid bernama “Taimiyyah” seembalinya dari haji beliau menemukan
istrinya melahirkan anak perempuan lalu beliau menaminya dengan ‘Taimiyyah”. Dari
kedua riwayat ini –Bana>ny- menyimpulkan bahwa penyebab munculnya nama

12
‘Abd al-Muta’a>l al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-Ra>bi’ ‘Ashar
(Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th), 262. Bandingkan. Ah}mad Muh}ammad Banna>ny, Mauqif al-Ima>m
Ibnu Taimiyyah min al-Tas}awwuf wa al-S}u>fiyyah (Arab Saudi: Da>r al-‘Ilmi, 1406 H / 1982 M), 24.
13
Mus}t}afa> H{ilmy, Ibnu Taimiyyah wa al-Tas}awwuf (Iskandariyyah: Da>r al-Da’wah, T.Th), 357-358.
6

“Taimiyyah” disebabkan karena riwayat yang kedua, ketika sang putri dewasa menjadi
seorang penasehat yang terkenal, sehingga nama keturunannya disandarkan kepadanya. 14
Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –hidup pada masa dinasti Mama>li>k dalam
lingkungan yang penuh dengan ilmu, dimana keluarga beliau adalah keluarga yang
sangat mencintai ilmu dan dikenal sebagai keluarga penuntut ilmu –sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya- selain itu beliau juga tumbuh di kota yang memiliki
karakteristik keilmuan dan penuh dengan ulama. Para sejarawan yang merekam
perjalanan hidup keluarga Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya pada saat
melarikan diri dari serangan tentara Tatar terhdap kota mereka –H{arra>n- menuju
Damaskus pada tahun 667 H / 1268 M15, mengungkapkan bahwa keluarga ini membawa
tumpukan buku di atas dokar mereka dan tidak tampak disana selain buku. Ini
menunjukkan perhatian besar dan penghargaan keluarga ini terhadap buku yang
memberikan penekanan bahwa keluarga ini adalah keluarga pecinta ilmu.16
Kecerdasan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –telah tampak sejak kecil, beliau
sangat terkenal dari sebayanya akan kecerdasan, ketekunan, ketelitian dan kekuatan
hafalannya, bahkan telah tersebar dikalangan para ulama masa itu bahwa di tanah
Damaskus terdapat seorang anak yang memiliki keitimewaan hafalan. Hal ini
mengundang salah seorang ulama dari tanah H}alb ke Damaskus untuk membuktikan
kebenaran berita tentang kejeniusan seorang anak yang bernama Ah}mad bin Taimiyyah,
setelah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –ulama tersebut memintanya
untuk menulis di atas lauh} sebelas hadis beserta sanadnya, kemudian ulama tersebut
memintanya untuk menghapus tulisan tersebut dan menyuruhnya untuk membaca
kembali melalui hafalan apa yang telah dia tulis sebelumnya, setelah Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –mebacakan kembali kesebelas hadis tersebut secara utuh melalui
kekuatan hafalan, dengan penuh ttakjub ulama tersebut pun berkata: “Jika anak ini

14
Banna>ny, Mauqif…., 24. Bandingkan. Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahaby
(w. 748 H), Siyar A’la>m al-Nubala>’. Vol. 22 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M), 289.
15
Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l Mu>sa>, al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n (Jeddah: Da>r al-
Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th), 38
16
Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ari>fy, Mauqif Ibnu Taimiyyah min al-S}u>fiyyah. Vol. I (Riya>d}:
Maktabah Da>r al-Minha>j, 1430), 29.
7

tumbuh dewasa, maka dia adalah seorang ulama besar, karena saya belum menemukan
seorang anak yang sama dengannya”.17
Pendidikan paling pertama yang didapatkan oleh Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –adalah pendidikan dari ayah dan ibunya, dimana keduanya senantiasa
mengajarkan beliau dari masa kecil tentang pentingnya buku dan ilmu. Ayahnya banyak
memberikan kepadanya hafalan terhadap hadis, dan mengajarkannya bahasa Arab dan
sastranya, hingga beliau telah menghafal banyak syair pada masa dini. Beliau juga
belajar pada banyak guru selain dari ayanya, diantara guru-guru beliau adalah Zainab
binti Makky dimana beliau mendengarkan hadis darinya, selain hadis dan ilmunya beliau
juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain, beliau memiliki kekutan hafalan dimana tidaklah
sesuatu yang beliau dengarkan kecuali beliau hafal, beliau senantiasa belajar hingga
beliau menjadi ulama dalam bidang tafsir dan ilmunya, ahli dibidang fiqhi dan
diskursusnya –utamanya fiqhi madhhab H{anbaly-, bahakan dikatakan beliau sangat ahli
dalam fiqhi-fiqhi mazhab dari para penganut mazhab tersebut, beliau sangat menguasai
us}u>l al-Fiqh, Nah}wu, sastara, kala>m, filsafat, Tas}awwuf dan ilmu-ilmu lain baik ilmu
naqly maupun ‘aqly, beliau telah menguasai seluruh ilmu dan cabang-cabangnya selama
30 tahun.18
Pada saat beliau berumur 20 tahun ayahnya mengajarinya cara berfatwa,
sehingga beliau berfatwa dihadapn ayahnya, dan ayahnya senantiasa memotivasinya,
seluruh fatwanya didiskusikan terus menerus hingga ayahnya merasa tenang dan
melepaskan berftwa secara mandiri. Para ulama teman-teman ayahnya terkagum dengan
kedalaman ilmu, ketelitian dan ketepatan dalil yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –muda dalam berfatwa.19
Sikap ortodoksi Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya dalam hal debat
(al-muna>z}arah wa al-Muja>dalah) telah tampak sejak beliau berusia 20 tahun dimana
beliau pernah mendebat seorang ulama yang bersebarangan dengan madhhabnya,
seorang ulama yang berumur 50 tahun dan bermadhhab sha>fi’y serta menguasai
pendapat-pendapat al-Ash’ary. Ulama tersebut melakukan kesalahan, yang karena sikap

17
‘Abd al-Rah}ma>n al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h al-Mu’adhdhab (Kairi: Da>r al-Shuru>q, 1420 H /
1990 M), 7-8.
18
al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262.
19
al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h…, 10
8

ortodiksinya Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –pun mengatakan kepada ulama tersebut :


“Yang kamu katakana itu adalah bentuk permusuhan atau karena kebodohan terhadap
Sunnah!” pernyataan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –ini diketahui oleh ayahnya dan
diluruskan bahwa hal itu tidak beradab, sehingga beliau harus minta maaf kepada
ayahnya dan juga kepada ulama yang didebtanya dan berjanji kepada kedua orangtuanya
untuk menjadi anak sebagaimana yang mereka inginkan, senantiasa berpegang teguh
pada sunnah, dan berdiskusi secara baik.20 Sepeninggal ayahnya pada tahun 681 H atau
1282 M, Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
guru besar Madhhab H{anbaly.21 Beliau memiliki banyak murid diantaranya adalah Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibnu Kathir dan banyak lagi selainnya.
Diantara bentuk perjuangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah ketika
pasukan Tatar hendak menuju menyerang Sha>m pada tahun 700 H / 1300 M dan menuju
ke Mesir, para penduduk Damaskus merasa takut, kemudian Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –menenangkan mereka. Kemudian beliau mengutus beberapa orang ke
Mesir untuk menemui al-Na>s}ir Muh}ammad Qalla>wu>n penguasa Mesir dan Sha>m pada
waktu untuk mengirim pasukan ke wilayah Sha>m, disamping itu Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –pun mengirim pasukannya untuk membantu pasukan pemerintah.
Mengetahui hal ini kaum Tatar pun mengurungkan niatnya untuk menyerang Sha>m dan
menduduki Mesir, karena melihat kekuatan besar kaum muslimin telah menanti mereka
di Sha>m.22
Perjuangan terbesar Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah perjuangan dalam
memurnikan Aqidah Isla>miyyah dalam menghadapi para kaum jumud dari kalangan al-
Mutas}awwifah, al-Ash’ariyyah, bahkan Fuqaha>’. Sehingga tidak jarang Ibnu Taimiyyah
–Rahimahullah –harus mendekam didalam penjara akibat perseteruan ideology dengan
para rivalnya baik dari kalangan s}u>fy, ahlu al-kala>m, dan bahkan fuqaha>’. Oleh
karenanya al-Syarqa>wy menyebutnya dengan al-Faqi>h al-Mu’adhdhab (seorang ahli fiqhi
yang teraniaya), sebab penganiayaan terhadap beliau tidak hanya terjadi semasa beliau
hidup bahkan sampai hari ini ketika beliau telah berkalang tanah dan meninggalkan

20
Ibid., 11.
21
Syafiq A. Mughni, Dinamika….., 99.
22
al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262.
9

berbagai goresan emas hasil dari buah tangannya pun masih terus teraniaya utamnya
dari kalangan pemikir yang berhaluan filsafat atau kalam dan tasawwuf semua
disebabkan karena kejumudan para pengiut ideologinya.
Imam Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –dikenal sebagai seorang ulama yang
sangat produktif, beliau tidak pernah meninggalkan kertas dan pena, bahkan seluruh
bentuk perdebatan beliau dengan kelompok-kelompok Islam lainnya senantiasa beliau
dokumentasikan. Beliau wafat pada malam senin 20 Dhulqa’dah 728 H / 1328 M23
dengan meninggalkan banyak karya yang tidak terhitung jumlahnya. Diantara karya-
karya yang telah beliau wariskan adalah; Kita>b al-I<ma>n, Dar-u Ta’a>rud} al-‘Aqli wa al-
Naqli, al-‘Aqi>dah al-Wa>sit}iyyah, Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Naqd Kala>m al-
Shi>’ah wa al-Qadariyyah, Iqtid}au al-Shira>t al-Mustaqi>m Mukha>lafat As}h}a>b al-Jah}i>m, al-
Siya>sah al-Shar’iyyah fi> Is}la>h} al-Ra>’y wa al-Ra’iyyah, al-Jawa>b al-S}ah}i>h li man Baddala
di>n al-Masi>h}, ‘Aqi>dah al-Tadmu>riyyah, al-Fata>wa> al-Hamawiyyah, al-Furqa>n baina
Auliya>’ al-Rah}ma>n wa Auliya>’ al-Shait}a>n, Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r, Majmu>’ al-
Fata>wa>, Majmu>’ al-Rasa>il wa al-Masa>il, Ma’a>rij al-Wus}u>l, al-Tibya>n fi> Nuzu>l al-Qur’a>n,
al-Tafsi>r al-Kabi>r, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>mat, al-Istiqa>mah, dan banyak lagi
lainnya.

Tarekat Dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah


Untuk mendapatkan pengertian yang utuh tentang term tarekat, secara etimologi
term tersebut berasal dari bahasa Arab ‫ ﻃﺮﯾﻘﺔ‬yang merupakan bentuk mashdar (kata
benda) dari kata ‫ ﻃﺮﯾﻘﺔ‬-‫ ﯾﻄﺮق‬-‫ ﻃﺮق‬dimana secara morfologis berakar dari huruf ،‫ ر‬،‫ ط‬dan
‫ ق‬yang bermakna dasar ‫( اﻟﻜﯿﻔﯿﺔ‬jalan, cara), ‫( اﻷﺳﻠﻮب‬metode, sistem), ‫( اﻟﻤﺬھﺐ‬madzhab,
aliran, haluan), dan ‫( اﻟﺤﺎﻟﺔ‬keadaan).24
Pengertian ini membentuk dua makna terminologis yaitu metode bagi ilmu jiwa
akhlak yang mengatur suluk individu dan kumpulan sistem pelatihan ruh yang berjalan
sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam.25 Hanya saja

23
Banna>ny, Mauqif…., 45.
24
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
849.
25
Muhammad Tha>bit al-Fandy, Da>irat al-Ma’a>rif al-Isla>miyah, vol.15 (Teheran: Intishira>t Jahannam, t.th),
172.
10

tarekat dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan
metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju
Tuhan (Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan
tersebut dalam lingkup tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas.
Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah
berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua,
sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai suatu
gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada
segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.26
Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori27 yang digunakan
untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkatan
pendidikan tertentu –berupa maqa>ma>t dan ah}wa>l. Dengan kata lain tarekat merupakan
usaha pribadi seseorang melewati jalan yang mengantarkannya menuju Allah SWT,
jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Muhammad Nawawi al Banta>ny al Ja>wy- adalah
melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunah, meninggalkan sesuatu yang bersifat
larangan, menghindarkan diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta
berusaha untuk bersikap hati-hati melalui upaya muja>hadah dan riya>d}ah.28 Sedangkan
Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah jalan spiritual
oleh seorang pejalan (sa>lik) menuju hakikat. Untuk makna ini, ia identik dengan
tasawuf.29

26
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002), 99-100.
27
Sebenarnya kurang tepat bila dikatakan bahwa tarekat –sekalipun pada masa-masa awal- dipahami
sebagai metode yang digunakan untuk memperdalam pengamalan syariat. Namun sekalipun demikian,
pemaknaan tersebut ingin mengingatkan bahwa antara syariat dan tarekat tidak dapat dipisahkan karena
tarekat merupakan suatu cara yang harus ditempuh, maka tidak dibenarkan meninggalkan syariah. Bahkan
melaksanakan tarekat berarti melaksanakan syariah.
28
Muhammad Nawawi al-Ja>wy, Sharh} Mara>qi al ‘Ubu>diyah ‘ala> Matn Bida>yat al Hida>yah (Semarang;
Toha Putra, t.th), 4.
29
Sekalipun dalam kajian tasawuf, tarekat termasuk salah satu aspek di dalamnya di samping istilah
syariat hakikat dan makrifat. Namun dalam pengertian ini Tasawuf dapat diartikan sebagai usaha dalam
menguatkan rohani dan mengesampinkan jasmaniah untuk mengenal Tuhan dengan segala
kesempurnaannya. Dengan kata lain tasawuf adalah penyucian hati untuk menanamkan karakter dan
akhlak mulia, sehingga dipahami bahwa tasawuf pada dasarnya adalah tatanan moralitas. Lihat Haidar
Bagir, Buku Saku Tasawuf (Bandung; Mizan Pustaka, 2006), 14
11

Dalam pengertian yang kedua, tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut


ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang
diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi.
Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi
yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riya>d}ah,
doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi- telah berhasil mendekatkan
diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan atau
tata cara yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat.30
Berdasarkan pengertian yang kedua ini, maka dapat dikatakan bahwa fungsi
tarekat adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan denga nafsu serta sifat-sifatnya
untuk kemudian menjauhi yang tercela dan mengamalkan yang terpuji.31
Dari pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa tarekat dalam pandangan sufi
adalah jalan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan, sehingga
dengan amalan-amalan tertentu seorang sufi dapat mengetahui jalan kebenaran menuju
Allah Swt. yang dengannya dapat sampai kepada suatu ilmu yang disebut dengan ‘ilm
al-Muka>shafa>t (ilmu pembuka tabir dan peleburan jiwa dengan Allah Swt). Dengan
demikan Tarekat dalam pengertiannya yang umum adalah metode untuk mendapat
pengetahuan yang mendalam tentang ilmu agama.
Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –membagi ilmu agama kedalam dua bagian:
Pertama, adalah ilmu yang berhubungan dengan berita yang wajib di yakini seperti; Ilmu
tentang Allah, Malaikat baik tentang keadaan, sifat dan pekerjaan mereka, ilmu tentang
kitab-kitab Allah, ilmu tentang Rasul-rasul Allah, para Nabi Allah, kaum mereka, dan
kedudukan mereka dan yang mencakup tentang berita para wali, sahabat serta
kedudukan mereka, ilmu tetang akhirat yang mencakup Surga, Neraka, dan pahala serata
‘azab dari setiap pekerjaan manusia. Bagian pertama ini disebut pula dengan Us}u>l al-
Di>n, Akidah utama, Ilmu kala>m, Ilmu Akidah, Masalah Ilmiah, Masalah Khabariyah,
atau ilmu al-Muka>shafa>t. Kedua, adalah ilmu yang menuntut amal lahir dan batin

30
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi (Yogyakarta; Teras, 2008), 230.
31
Said Aqil Siroj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan
Aspirasi (Jakarta: Yayasan Khas, 2009), 97.
12

seperti; perkara-perkara yang diwajibkan, diharamkan, dibolehkan (al-Muba>h}at),


dimakruhkan (al-Makru>ha>t). sementara itu perkara perintah dan larangan terkadang
masuk dalam kategori ‘Itiqada>t (perkara yang harus diyakini) jika ditinjau dari segi
ilmu, adapun jika ditinjau dari segi perkara-perkara yang diperintahkan untuk diamalkan
dan larangan untuk ditinggalkan, maka masuk dalam kategori yang kedua.32
Untuk dapat sampai kepada kedua bentuk ilmu tersebut, maka diperlukan
metode (tarekat), dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bahwa diantara
kaum muslimin ada yang sepakat tentang metode (tarekat) tertentu dan adapula yang
tidak, metode-metode yang diperdebatkan adalah tentang apakah pengetahuan tentang
kebaikan, keburukan, kewajiban, keharaman dapat diketahui melalui ‘akal sebagaimana
dapat diketahui melalui khabar atau hanya dapat diketahui melalui khabar? Dan apakah
khabar itu sebagai landasah hukum atau dia menampakkan hukum sebagaimana apa
yang ditampakkan oleh hakikat dari sesuatu?33 Dari pertanyaan ini kemudian
memunculkan istilah al-‘ilm al-Yaqi>ny (ilmu yang diyakini kebenaarannya) dan al-‘Ilm
al-Z{anny (Ilmu yang masih samar akan kebenarannya).34
Untuk mencapai ilmu al-Yaqi>ny dan al-Z}anny menurut Ibnu Taimiyyah –
Rahimahullah –dapat dilakukan melalui petunjuk (al-Dala>il) atau pengalaman, melalui
batin atau lahir, secara umum atau khusus. Semua perkara ini menjadi perdepatan
manusia, dimana kebanyakan para ahli hadis dan al-sunnah menafikan ilmu yang teelah
dicapai oleh seseorang kecuali ilmu tersebut dicapai melalui satu tarekat (metode) yang
telah mereka ketahui sebelumnya, bahkan menafikan seluruh bentuk perunjuk-petunjuk
akal tanpa hujjah yang benar. Sementara itu perkara al-Kashfiyyah (pengetahuan
khusus) yang dimiliki oleh para wali yang diinkari oleh sebagian ahli kala>m, dan
difahami secara berlebihan oleh para ulama dari kalangan kami, dan sebaik-baik perkara
adalah yang moderat.35

32
Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t (Urdun: Maktabah al-
Mana>r, 1989), 37-38.
33
Ibid.
34
Ibnu Taimiyyah memandang bahwa hanya terdapat dua macam pengetahuan bagi manusia, yaitu;
pengetahua yang beliau disebut dengan ilmu, dan pengetahuan yang beliau disebut dengan z}ann. Lihat.
Ibid.
35
Ibid.
13

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –


memandang bahwa yang dimaksud dengan tarekat dalam pengertian yang umum adalah
sebuah metode untuk mencapai hakikat ilmu dengan menggabungkan antara al-Dala>il al-
Khabariyyah (petunjuk-petunjuk al-Qur’an, Al-Sunnah dan al-Athar) dengan al-Dala>il
al-‘Aqliyyah (petunjuk-petunjuk akal), atau dengan kata lian bahwa dalam masalah al-
T{ari>qah ila> al-‘Ilmi (jalan menuju ilmu) dengan menggunakan sikap al-Wasat}iyyah
(meoderat).
Adapun tarekat dalam pengertiannya yang khusus yaitu penisbatan nama
tarekat kepada salah seorang sheikh sepertai; Qa>diriyyah, ‘Adawiyyah, Sha>dhiliyyah dan
semacamnya, maka dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bahwa ini adalah
bentuk pemecahan dan pengujian umat dengan apa yang tidak diperintahkan oleh Allah
Swt dan Rasul-Nya Saw. Sebab penamaan semacam ini adalah bentuk kebathilan
dimana Allah swt tidak memberikan wewenang kepada siapapun termasuk Rasulullah
Saw, sebab perkara tersebut tidak terdapat baik di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan athar
dari kaum salaf. Namun yang wajib bagi seorang muslim jika ditanya tentang latar
belakang keilmuannya, maka tidak perlu menjawab bahwa saya adalah pengikut tarekat
ini dan itu, tetapi cukup menjawab; ‘saya adalah muslim pengikut al-Qur’an dan al-
Sunnah’, oleh karenanya janganlah seseorang atau sekelompok diantara kita bersikap
loyal (wala>’) dengan nama-nama semacam ini, dan memusuhi yang lain dengannya,
karena hamba yang paling mulia disisi Allah Swt adalah yang paling bertakwa dari
kelompok manapun ia berasal.36
Pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –di atas menunjukkan bahwa beliau
membagi tarekat ke dalam dua bagian:
Pertama, Terekat Mah}mudah (terpuji) atau dalam istilah lain T{ari>qah al-
Haqqah yaitu tarekat yang dilalui oleh orang-orang shaleh terdahulu (salaf al-sha>lih})
yang hanya menisbaikan diri sebagai muslim yang mengikuti al-Qur’an, dan Sunnah
Rasulullah Saw dan bangga dengannya.
Kedua, Terekat Madhmu>mah (tercela) dalam istilah ekstrimnya T{ari>qah al-
Ba>t}lah yaitu tarekat yang dilalui oleh sebagian kaum muslimin dengan menisbatkan diri

36
Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-
Umawy (Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987), 111.
14

kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut yang dengannya mereka merasa mulia dan
memusuhi mereka yang tidak mengikuti tarekat sheikh mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat dalam pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –dapat dibagi kedalam dua pengertian; Pertama, Tarekat
dalam pengertian umum adalah metode yang dilalui seseorang dalam usahanya untuk
mendapatkan ilmu agama. Kedua, Tarekat dalam pengertian khusus adalah tarekat yang
dinisbatkan kepada sheikh pendiri tarekat tersebut, dan yang kedua ini adalah bentuk
kebatilan.

Sheikh dalam Tarekat dan Kritik Ibnu Taimiyyah


Secara organisasi tarekat-tarekat sufi ini dibangun di atas dasar hubungan intim
yang sebelumnya telah memiliki kemapanan antara sheikh dan muri>d. Para sheikh ini
memiliki hubungan otoritatif dengan sheikh-sheikh sebelumnya sebagaimana isna>d
dalam h}adi>th, dimana silsilah al-masha>yikh (mata rantai guru) dibangun dengan merujuk
seluruh jalan mereka hingga sampai ke Rasulullah Saw. Dalam pandangan para pengikut
tarekat bahwa silsilah ini adalah sisilah spiritual yang menjadi sumber agama, ajaran,
dan praktik sang sheikh, dengan landasan kesalehan, kara>mah, atau kekuatan ajaib yang
dimiliki oleh sheikh tersebut. Dengan landasan ini kemudian seorang sheikh sering
dianggap sebagai waly Allah (kekasih Tuhan)37 bahkan tidak jarang diantara tarekat ada
mengaggap bahwa para sheikh bagaikan Nabi dalam Tarekatnya dimana tingkatan yang
paling tinggi –dalam pandangan mereka- adalah melakukan pendakian melalui
lingkungan para Nabi dalam Islam, dari Adam hingga ‘Isa –‘Alaihim al-Sala>m-.38
Peran seorang sheikh dalam tarekat sangatlah besar diamana terjadi proses
transformasi ilmu di antara keduanya. Murid yang telah sampai pada tingkatan tertinggi
diberi ijazah untuk mengadakan dan mengajarkan tarekat tersebut.39 Untuk masalah
proses tranformasi keilmuan ini dapat difahami secara baik sebagaimana yang
digambarkan oleh Annemarie Shimmel :
Syeh adalah guru alkimia spiritual…. Dengan demikian ia dapat mengubah jiwa
seorang pemula dari bahan dasar menjadi murni. Ia adalah laut kebajikan. Debu
37
Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Diterj. Arif Maftuhin
(Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2010), 141.
38
Schimmel, Dimensi…., 300.
39
Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path…., 141.
15

dikakinya mampu member penglihatan kepada pemula yang buta, sebagaimana


obat mata yang dapat mempertinggi kekuatan penglihatan. Dia adalah tangga
menuju sorga, demikian sucinya sehingga segala kebajikan yang ada pada diri
nabi seakan tercermin penuh pada dirinya. Disamping itu pun dia menjadi
cermin yang didahulukan Tuhan daripada para ulama, dan Tuhan mengajarkan
kepadanya perilaku yang benar…40

Dari gambaran Schimmel tentang sosok seorang sheikh dalam sebuah kelompok
tarekat di atas dapat disimpulkan beberapa hal; 1) Bahwa seorang sheikh dalam sebuah
tarekat memiliki rahasia pengajaran yang hanya diajarkan kepada muri>d; 2) Seorang
sheikh memiliki nilai magic dalam kelompok tarekat yang dipimpinnya; 3) Seorang
Shaikh memiliki tingkat spiritual tinggi; 4) Kedudukannya dimata Tuhan melebihi
kedudukan para ulama dan sama dengan Nabi; 5) Dalam dirinya tercermin prilaku Nabi;
6) Cerminan Tuhan ada dalam dirinya.
Merujuk kepada enam poin di atas, maka wajar jika dalam sebuah tarekat sufi
seorang sheikh adalah seorang guru spiritual dan uswah (contoh) yang harus diikuti,
sehingga para pengikutnya (muri>d) sering kali igin dekat dengannya apakah sekedar
untuk mendapat berkah dari ketinggian spiritual (kara>mah) sang shaikh, memperoleh
manfaat dari ajarannya, dan atau manfaat dari saran dan nasehatnya.41
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa sebuah kelompok yang dinisbatkan
kepada nama seorang guru adalah bentuk kebatilan dimana tidak ada keterangan tentang
hal tersebut baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan athar dari para ulama shaleh terdahulu
(al-Salaf al-S}a>lih). Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa penisbatan
semacam ini merupakan bentuk sikap yang berlebihan ( al-Ghuluw) terhadap sheikh.
Beliau berkata:
Barang siapa yang bersikan ghuluw terhadap orang yang masih hidup, atau
bersikap ghuluw terhadap orang-orang shaleh seperti ‘Ali bin Abi Thalib atau
‘Ady -bin Musa>fir-, atau yang diyakini memiliki tingkatan spiritual tinggi
seperi al-H{alla>j dan al-H{a>kim yang ada di Mesir atau Yunus al-Qaniyyi dan
selain mereka, ……… kemudian menyanjung mereka …….. dalam bentuk
perkataan atau perbuatan yang didalamnya mengandung rubu>biyyah yang

40
Schimmel, Dimensi…., 300.
41
Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path…., 141.
16

hanya milik Allah Swt, maka ini merupakan bentuk kesyirikan dan kesesatan42,
dan orang yang melakukannya wajib bertaubat, jika tidak, maka halal darahnya.
Karena Allah Swt mengutus para Rasul-Nya dengan tujuan agar segala
penyembahan hanya kepada-Nya semata dan kita tidak diperbolehkan
menjadikan sesembahan selain diri-Nya.43

Problematika al-Ghuluw fi> al-S{a>lih}in ini berpengarus sangat besar pada sikap
patuh terhadap sheikh sampai pada hal-hal yang diharaman dalam Islam sebagaimana
pekerjaan para pengikut tarekat Rifa>’iyyah yang dengan sengaja menggantungkan
kalung besi di leher mereka, karena merupakan bagian dari aturan sheikh mereka,44
dengan demikian mereka tidak berbeda dengan orang-orang Nasrani yang musyrik
dengan menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (dalm makna Rubu>biyyah) selain
Allah Swt.45 Untuk menguatkan argument ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyetir
firman Allah Swt:

            

            
Terjemahannya:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.46

Maksud dari ayat di atas bahwa mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang


alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, meskipun orang-orang alim dan
rahib-rahib itu menyuruh mereka berbuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Sementara para Nabi dan Rasul terdahulu termasuk Rasulullah Saw diperintahkan oleh
Allah Swt untuk berkata:
42
Maksudnya adalah bahwa mereka menjadikan para shaikh mereka sebagai perantara untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt dengan zikir-zikir tertentu dimana didalmnya menyebut nama mereka sebagai
wasilah.
43
Ibin Taimiyyah, al-Was}iyyah…., 85.
44
‘Abd al-Rah}ma>n Dimashqiyyah, Muna>z}arah Ibnu Taimiyyah li T{a>ifah al-Rifa>’iyyah (Kairo: Maktabah
Ibnu Taimiyyah, 1989), 14.
45
Zuhair Shafi>q al-Kibby, Fiqh al-Tas}awwuf li Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr,
1993), 274.
46
Qs. Al-Taubah (10) : 31.
17

                 

             
Terjemahannya:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku
mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang
buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"47

Ketika mengomentari tentang sheikh yang layak untuk diteladani, Ibnu


Taimiyyah –Rahimahullah –menegaskan bahwa sesungguhnya sheikh saleh yang lebih
layak untuk diteladani dalam masalah keagamaan adalah mereka yang mengikuti jalan
(tarekat) para nabi dan rasul seperti para al-Sa>biqu>n al-Awwalu>n (sahabat) dari kalangan
Muhajiri>n dan Ans}a>r dan yang mengikuti mereka secara baik dan benar, serta mereka
yang memiliki kejujuran lisan, dan tarekat mereka adalah menyeru manusia kepada
Allah, dan menyeru mereka untuk senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
menyeru merka untuk mengikuti Al-Qur’an dan al-Sunnah.48
Dari uraian menunjukkan bahwa sheikh yang layak dan pantas untuk diteladani
adalah mereka yang senantiasa mengikuti jalan para Nabi dan Rasul serta perpegang
teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan jujur dan ikhlas, dengan dimikian, maka
karakteristik seorang sheikh adalah kejujuran mereka dalam menjalankan perintah Allah
dan Rasul-Nya, dan senantiasa menyeru manusia kepada ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Pada bagian sebelumnya dinyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –
memandang kesesatan para pengikut tarekat yang bersifat ghuluw terhadap sheikh (guru
spiritual)nya disebabkan karena para muri>d memandang bahwa sheikh mereka adalah
wali Allah yang merupakan cerminan para Nabi dan didahulukan oleh Allah dari para
ulama, dan menurut mereka bahwa sebuah tarekat tanpa wali Allah, maka bukanlah
tarekat. Untuk memperkuat argument para sufi tentang pentingnya wali dalam sebuah
tarekat, mereka menyetir sebuah perkataan yang menurut mereka adalah hadis yaitu:

47
Qs. Al-An’a>m (06) : 50
48
Zuhair Shafi>q al-Kibby, Fiqh al-Tas}awwuf….., 273.
18

Terjemahannya:
“Tedakalah sekolompok manusia berkumpul kecuali diantara mereka terdapat
wali Allah”

Perkataan ini – yang mereka anggap sebagai hadis untuk membenarkan


pernyataan mereka tentang pentingnya wali Allah dalam sebuah perkumpulan tarekat
sufi – menurt Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kedustaan sebab
kalimat tersebut tidak terdapat dalam karya-karya ulama Islam.49
Ibnu Timiyyah memandang bahwa problem kewalian (al-Wila>yah) sheikh
dalam dunia tasawwuf sangatlah serius, sebab memiliki pengaruh yang sangat besar
secara langsung terhadap aqidah. Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –
menyusun karya yang diberi judul al-Furqa>n baina Auliya>’ al-Rah}ma>n wa Auliya>’ al-
Shat}a>n (Perbedaan antara wali Allah dengan Wali setan).
Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah – dalam pendefinisiannya terhadap kata “Wali”
baik yang terdapat dalam al-Qur’an, maupun al-Sunnah beliau menggunakan metode
pendefenesian etimologi dan terminology, dimana kata “al-waly” secara etimologi
dalam pandangannya merupakan lawan dari kata “al-‘Ada>wah” dimana kata “al-Waly”
berkonotasi makna al-Qurbu (kedekatan). sedang al-‘Ada>wah berarti al-Bu’du (jauh).
Sehingga dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Waly Alla>h secara terminology
adalah mereka yang mendapatkan taufiq dari Allah Swt dalam cinta-Nya, Kerid}aan-Nya,
dan ia senantias taat atas segala yang diperintahkan oleh Allah Swt kepadanya.50
Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah – menyimpulkan bahwa para wali Allah yang
sesungguhnya adalah mereka yang telah ditetapkan oleh Allah Swt secara Nas} bahwa
mereka adalah ahli surga, seperti al-‘asharah al-Mubashshiri>na bi al-Jannah (10 orang
yang telah mendapat berita gembira bahwa mereka masuk surga) dan selain mereka,
adapun mereka yang memiliki kejujuran dalam perkataan dan iman, maka secara umum
dinyatakan bahwa mereka adalah wali dengan syarat kejujuran dalam iman, dan ikhlas
dalam amal sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.51

49
Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1992), 49.
50
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 50.
51
Ibid., 52-53.
19

Dalam tarekat sufi terdapat hirarki otoritas spiritual para wali dimana
kekuasaan spiritual tertinggi dipegang oleh para qut}b (kutub, poros) atau ghauth
(pertolongan), di kitari oleh tiga nuqaba>’ (pengganti), empat uta>d (tiang-tiang), tujuh
abra>r (yang berlaku baik), empat puluh abda>l (pengganti-pengganti), tiga ratus akhya>r
(manusia pilihan) dan empat ribu wali tersembunyai.52
Tentang pandangan ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –mengurai istilah-
istilah tersebut dengan kesimpulan bahwa seluruh istilah dalam hirarki spiritual yang
diungkapkan oleh kaum sufi dan pengikut tarekatnya tidak terdapat dalam keterangan
baik al-Qur’an maupun hadis-hadis s}ah}i>h tentang istilah-istilah ini dan tidak pula
ditemukan penjelasannya dari salah seorang ulama saleh terdahulu ( al-Salaf al-S}a>lih}).
Jika pun terdapat hadis yang berhubungan dengan hal tersebut, hadis tersebut pun
bersifat Munqat}i’ dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan agama.53
Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang sheikh yang layak
untuk ditauladani dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah mereka
yang meniti jalan para Nabi dan Rasul dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai ikutannya serta menyeru manusi kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
dan tidak kepada dirinya atau mereka yang dianggap wali Allah. Adapun wali Allah
adalah mereka yang beriman kepada Allah Swt secara jujur dan benar serta mengikuti
apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi laranga-Nya sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Para wali Allah yang sesungguhnya adalah mereka
yang secara Nas} Shar’y (teks syari’at) telah dijelaskan karakteristiknya baik didalam al-
Qur’an dan al-Sunnah al-S}ah}i>h}ah dan mereka tidak memiliki hirarki kekuasaan
sebagaimana yang diklaim oleh para sufi dan para pengikut tarekat mereka.

Khirqah dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah


Terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dalam satu tarekat tertentu.
Pertama, al-Khirqah yaitu semacam jubah berwarna yang dipakai oleh seorang sheikh
tarekat dan menjadi cirri khas dari tarekat tertentu. Hanya saja khirqah ini tidak cukup

52
Schimmel, Dimensi…., 253.
53
Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Furqa>n Baina Auliya> al-Rahma>n wa Auliya’ al-Shait}a>n
(Beiru>t: Maktabah ‘Aly S}a>bih} wa Aula>dih, 1958), 31-32. Bandingkan: Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-
Rasa>il…., 57-64. H{ilmy, Ibnu Taimiyyah….., 397.
20

untuk membedakan semua tarekat yang ada karena ada beberapa tarekat yang memiliki
khirqah yang sama, misalnya Qa>diriyah, Sa’diyah, dan Baha>miyah yang sama-sama
menggunakan khirqah yang berwarna hijau. Perbedaan kedua adalah bahwa setiap
tarekat memiliki wirid dan h}izb yang berbeda yang diciptakan oleh masing-masing
sheikh dari tarekat-tarekat tersebut.54
Khirqah atau disebut juga dengan khirqah al-Futuwwah adalah bagian dari
shi’a>r kaum sufi yang menunjukkan bahwa seorang muri>d hanya bertarekat sesuai denga
tarekat sheikh yang memakaikan kepadanya khirqah tersebut. Jadi seorang sheikh ketika
menerima seorang muri>d dan hendak memasaukkannya menjadi bagian dari tarekatnya,
maka sheikh tersebut memakaikan kepadanya khirqah tersebut yang menjadi simbol
peenyerahan diri sepenuhnya dalam ketaatan kepada sheikh dan tarekatnya.55
Khirqah ini selain sebagai symbol ketaatan seorang muri>d kepada shaikhnya
juga menjadi symbol silsilah dalam tarekat yang harus dimiliki oleh seorang muri>d agar
senantiasa mendapat keberkahan sheikh dalam menjalankan tarekatnya. Dalam
pandangan mereka bahwa seorang muri>d yang tidak memiliki khirqah ini, maka dia tidak
akan pernah mencapai derajat apapun dalam tasawwuf, bahkan dianggap belum memulai
satu derajatpun utamanya derajat yang teah ditetapkan dalam tarekat sang sheikh.56
Dalam masalah ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa
penggunakan khirqah sebagai syarat agar seseorang dapat mencapai derajat tertentu
dalam tarekat dan mendapat berkah darinya adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan
kebathilan, sebab –menurutnya- syarat tersebut dapt berimplikasi pada pengharaman apa
yang dihalalkan oleh Allah Swt dan penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah Swt,
dan syarat semacam ini tidak terdapat dalam al-Qur’an.57 Untuk menguatkan pernyataan
ini beliau menyebutkan Hadi>th S}ah}i>h yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ry:

Terjemahannya:

54
Suryadilaga, Miftah……, 233-234.
55
‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h al-Suhrawardy, ‘Awa>rif al-Ma’a>rif (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Araby, 1966), 59.
56
‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-Tas}awwuf wa Dira>sa>t
‘an al-Ghaza>ly (Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394 H), 359.
57
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159.
21

Ada apa dengan manusia yang mensyaratkan beberapa syarat yang tidak terdapat
didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), barang siapa yang mempersyaratkan satu syarat
yang tidak terdapat didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), maka syarat itu adalah batil
sekalipun mereka menysun seratus syarat, syarat Allah lebih berhak (untuk ditunaikan)
dan lebih kuat (dalam mengikat seorang hamba).58

Adapun tentang masalah pemakain khirqah dari seorang shaikkh kepada muri>d
menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebatilan yang tidak
berdasar, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw, dan tidak pula oleh para
sahabat beliau termasuk ‘Aly bin Abi T}a>lib, dan tidak pula selain mereka dari kalangan
ta>bi’i>n.59

Sementara itu dalil yang dipergunakan oleh mereka perihal sunnahnya khirqah
adalah dalil dengan sanad melalui jalur al-Khali>fah al-Na>s}ir kepada ‘Abd al-Jabba>r,
kepada Thuma>mah yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw pernah memakaikan
kepada ‘Aly bin Abi T}a>lib pakaian Futuwwah , kemudian diperintahkan kepadanya
untuk mmemakaikannya kepada siapapun yang dikehendakinya’ adalah dalil dimana
otentitas sanadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan didalam sanadnya terdapat
seseorang yang tidak diketahui (majhu>l) dan tidak layak seorang muslim menyandarkan
sesuatu apapun kepada Nabi Saw dari orang yang majhu>l (asal-usul dan
latarbelakangnya).60
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa khirqah dalam pandangan Ibnu
Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan kebatilan, sebab
didalamnya terdapat syarat yang tidak dipersyaratkan didalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
kemudian penyandaran hadis bahwa Rasulullah Saw pernah memakaikan hirqah kepada
Aly bin Abi T}a>lib adalah sebuah bentuk kedustaan kepada Rasulullah Saw dan kepada
Sahabat yang Mulia.

Penutup
Kritik Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –seputar tarekat sangatlah luas dan
permasalahan-permasalahannya tersebar dalam berbagai risalah dan fatwanya, namun

58
Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2 (Kairo: al-Mat}ba’ah al-
Salafiyyah, 1400 H), 103.
59
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159.
60
Ibid, 157.
22

demikian dapat temukan beberapa perkara diantaranya adalah keritik beliau tentang
penamaan satu tarekat dengan penisbatan kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut
dimana menurut beliau adalah sebuah bentuk pengkultusan terhadap sheikh (al-
Ghuluww fi> al-S}a>lihi>n) dan berimplikasi pada aqidah seseorang, dan merupakan bentuk
pemecahan umat Islam, perkara ini merupakan bentuk kebid’ahan yang memiliki
kesesatan yang nyata.
Selain itu Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyatakan bahwa kedudukan
sheikh yang sesungguhnya adalah untuk menyeru manusia kepada Allah, dan ketaatan
kepada Allah Swt dan Rasul-Nya serta berpegang tegus terhadap al-Qur’an dan al-
Sunnah, sehingga sheikh yang layak untuk diteladani adalah mereka yang secara
istiqa>mah mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun penggunaan khirqah dalam suatu kelompok sebagai persyaratan
seorang muri>d yang menjadi symbol ketatan kepada sheikh dan symbol derajat dalam
tarekat sufi menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah bentuk kebid’ahan dan
kebatilan sebab mempersyaratkan sesuatu yang tidak memiliki landasan baik dari al-
Qur’an maupun al-Sunnah.
Akhirnya, bahwa seluruh bentuk kritikan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –
terhadap perkara-perkara yang terdapat dalam tarekat tasawwuf adalah sebuah bentuk
al-Was}iyyat bi al-Haqq (bernasehat dalam kebenaran) karena agama ini sejatinya adalah
nasehat (al-Di>n al-Nas}i>h}ah) agar tetap berada dijalan Allah Swt sebagaimana yang
dilalui oleh para Nabi dan Rasul, para Sahabat dan para Ta>bi’i>n dan salaf al-Ummah al-
S}alih}ah.
23

Daftar Pustaka

Al-Qur’a>n al-Kari>m

A. Mughni,Syafiq. Dinamika Inteletual Islam Pada Abad Kegelapan. Surabaya:


Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LAPAM), 2002.

al-‘Ari>fy,Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n. Mauqif Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –


min al-S}u>fiyyah. Vol. I. Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, 1430.

Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002.

Bagir,Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung; Mizan Pustaka, 2006.

Banna>ny,Ah}mad Muh}ammad. Mauqif al-Ima>m Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –min al-


Tas}awwuf wa al-S}u>fiyyah. Arab Saudi: Da>r al-‘Ilmi, 1406 H / 1982 M.

al-Bukha>ry, Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m. al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2. Kairo: al-
Mat}ba’ah al-Salafiyyah, 1400 H.

Dimashqiyyah, ‘Abd al-Rah}ma>n. Muna>z}arah Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –li T{a>ifah


al-Rifa>’iyyah Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1989.

al-Dhahaby, Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n. Siyar A’la>m al-
Nubala>’. Vol. 22. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M.

Esposito , Jhon L. Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Diterj.
Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2010.

al-Fandy, Muhammad Tha>bit. Da>irat al-Ma’a>rif al-Isla>miyah, vol.15. Teheran: Intishira>t


Jahannam, T.Th.

H{ilmy,Mus}t}afa.> Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –wa al-Tas}awwuf. Iskandariyyah: Da>r


al-Da’wah, T.Th.

Ibnu Khaldu>n. Muqaddimah. Kairo: Mat}ba’ah al-Bahiyyah, T.Th.

Ibnu Taimiyyah, Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m. Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il. Beiru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.

--------------------------. al-Furqa>n Baina Auliya> al-Rahma>n wa Auliya’ al-Shait}a>n


(Beiru>t: Maktabah ‘Aly S}a>bih} wa Aula>dih, 1958

--------------------------. al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-
Umawy. Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987.

--------------------------. Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t. Urdun: Maktabah al-


Mana>r, 1989.
24

al-Ja>wy,Muhammad Nawawi. Sharh} Mara>qi al ‘Ubu>diyah ‘ala> Matn Bida>yat al Hida>yah


Semarang; Toha Putra, T.Th.

al-Kibby, Zuhair Shafi>q. Fiqh al-Tas}awwuf li Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah. Beiru>t:
Da>r al-Fikr, 1993.

Mah}mu>d, ‘Abd al-H{ali>m. al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-
Tas}awwuf wa Dira>sa>t ‘an al-Ghaza>ly. Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394
H.

Masyharuddin. Pemberontakan Tasawwuf; Kritik Ibnu Taymiyyah atas Rancang


Bangun Tasawwuf. Surabaya: JP Books dan STAIN Kudus Press, 2007.

Mu>sa>,Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l. al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n.
Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th.

Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya.
Jakarta: Al-Huda, 2010.

Munawwir,Ahmad Warson. Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997.

al-Qurt}uby, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-
Qur’a>n wa al-Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-
Furqa>n, Vol. 19. Beiru>t: Muassasah al-Risa>h, 1427 H / 2006 M.

Renard, Jhon. Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam. Jakarta: Insani Press,
2004.

Schimmel,Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Diertj. Supardi Djoko Damono.


Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Siroj, Said Aqil. Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi. Jakarta: Yayasan Khas, 2009.

Suryadilaga, M. Alfatih. dkk. Miftahus Sufi. Yogyakarta; Teras, 2008.

al-S}a’i>dy, ‘Abd al-Muta’a>l. Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-
Ra>bi’ ‘Ashar. Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th.

al-Sharqa>wy, ‘Abd al-Rah}ma>n. Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –al-Faqi>h al-


Mu’adhdhab. Kairi: Da>r al-Shuru>q, 1420 H / 1990 M.

al-Suhrawardy, ‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h. ‘Awa>rif al-Ma’a>rif. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-
‘Araby, 1966.

al-Taftaza>ny,Abu al-Wafa>’. Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my. Kairo: Da>r al-


Thaqa>fah, 1979.

Anda mungkin juga menyukai