Sekolah Alternatif Yg Membebaskan
Sekolah Alternatif Yg Membebaskan
SUMMERHILL SCHOOL (Sekolah Alternatif
yang Membebaskan Menurut A.S. Neill)
Khrisma Wibisono
PT Evolitera
Jakarta, 2010
SUMMERHILL SCHOOL (Sekolah Alternatif yang
Membebaskan Menurut A.S. Neill)
oleh Khrisma Wibisono
Editor : Evolitera
Cover & Layout : Evolitera
PT Evolitera
EvoHackSpace – Jalan Kayu Putih IV Blok D, No. 1, 3rd floor
East Jakarta 13260, INDONESIA
Published at
www.evolitera.co.id
by
PT Evolitera
Jakarta, 2010
ISBN:
Ketentuan Pidana
Pasal 73:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
Halaman ini sengaja dikosongkan
KATA PENGANTAR
Buku yang saya tulis ini merupakan sebuah analisis terhadap buku
utama karangan A. S. Neill, Summerhill School: A New View of Childhood,
yang dilengkapi dengan dua karyanya yang juga sangat penting, Summerhill
dan Neill! Neill! Orange Peel!. Sesuai dengan tahap‐tahap analisis yang
dilakukan, saya berusaha untuk menemukan pemikiran dan konsep‐konsep
dasar dari buku‐buku tersebut. Kemudian, bertitik tolak dari sana, saya
mencoba membuat interpretasi lebih lanjut. Tahap terakhir, saya
memberikan aproriasi: “Bagaimanakah situasi sistem pendidikan yang di
Indonesia, jika dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di
Sekolah Summerhill? Bagaimanakah Summerhill School membuka dunia
kemungkinan di hadapan saya sehingga saya memahami situasi eksistensi
dengan cara pandang yang berbeda?” Untuk itu semua, pada akhirnya, saya
mencoba untuk mengadakan sebuah refleksi filosofis berdasarkan buku‐
buku karya Neill itu.
Tujuan utama dari buku ini adalah untuk mengungkapkan pembacaan
dan pendalaman saya atas pemikiran A. S. Neill tentang salah satu model
pendidikan alternatif yang membebaskan, yang masih ada sampai sekarang,
Sekolah Summerhill. Saya juga berharap agar buku ini menambah jumlah
literatur yang memberikan sumbangan ide‐ide tentang pendidikan alternatif
di sekolah, dan merangsang refleksi filosofis mengenai pendidikan dewasa
ini oleh para ahli pendidikan, pendidik/guru, mereka yang berkecimpung di
bidang pendidikan, dan mungkin para orangtua yang sedang mendidik anak‐
anak mereka.
DAFTAR ISI
SUMMERHILL SCHOOL 1
A. Alexander Sutherland Neill 4
B. Sekolah Summerhill 9
KONSEP‐KONSEP DASAR PENDIDIKAN 15
A. Sikap Hidup 17
B. Disiplin 19
C. Kebebasan 25
D. Komunitas 27
E. Aplikasi dari Konsep‐konsep Awal Pendidikan 28
1. Imajinasi 31
2. Humor 35
3. Pendidikan Seks 37
Rangkuman 42
KAJIAN FILOSOFIS ATAS PEMIKIRAN NEILL 44
1. Kebaikan Alami Anak 46
2. Permainan 47
3. Swa‐atur 50
4. Ketulusan 51
5. Komunitas 52
Rangkuman 78
TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN NEILL 81
1. Prinsip ‘Swa‐atur’ [Self‐Regulation] 82
2. Tanggapan‐tanggapan OFSTED 105
Rangkuman 116
BEBERAPA CATATAN KRITIS ATAS PEMIKIRAN NEILL 119
Tentang Prinsip Swa‐atur 119
Tentang Prinsip Swakelola 120
Tentang Kebaikan Alami Anak 127
Catatan Akhir: Apakah itu ‘Manusia Summerhillian”? 128
DAFTAR PUSTAKA 131
SUMMERHILL SCHOOL
“Semua kejahatan, semua kebencian, semua perang dapat
direduksikan menjadi ketidakbahagiaan”, demikian ungkapan A. S. Neill,
pendiri Sekolah Summerhill. Dewasa ini, di seluruh dunia, pendidikan
bergerak menuju semakin banyak tes, ujian, dan kualifikasi. Nampaknya, itu
adalah sebuah kecenderungan baru bahwa penilaian dan kualifikasi memberi
definisi sekolah. Bahwa masyarakat diperlakukan seperti anak yang tidak
diberi kebebasan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Namun, bagi kebanyakan anak‐anak di dunia, hal ini adalah harapan yang
normal dari para orangtua, sekolah dan masyarakat kita. Sekarang ini,
mungkin para ahli pendidikan dan keluarga merasa gelisah dengan
lingkungan yang terlalu membatasi kebebasan anak. Mereka mulai mencari
jawaban‐jawaban alternatif atas arus utama pendidikan di sekolah‐sekolah.
Salah satu jawabannya adalah pendidikan yang demokratis atau ‘bebas’.
Terdapat banyak bentuk sekolah demokratis di segala penjuru dunia, dari
Israel sampai Jepang, dari Selandia Baru dan Thailand sampai Amerika
Serikat. Yang paling tua dan paling terkenal dari sekolah jenis ini adalah
Summerhill yang terletak di pantai sebelah timur Inggris.
Sekolah Summerhill didirikan pada 1921 ketika hak‐hak individu
kurang dihargai dibandingkan sekarang. Anak‐anak dipukuli di kebanyakan
rumah dan disiplin dipandang sebagai kunci untuk merawat anak. Dengan
menekankan self‐government dan kebebasan, sekolah ini berjuang selama
lebih dari 80 tahun melawan berbagai tekanan penyesuaian diri, agar
mampu memberikan hak kepada anak‐anak untuk mampu membuat
1
Summerhill School
2
Summerhill School
dalam pendidikan bukan diukur dari berapa nilai yang ia dapatkan, berapa
banyak pengetahuan yang ia peroleh, seberapa tinggi jabatan kerja yang dia
raih, seberapa besar uang yang dihasilkannya ketika bekerja, melainkan dari
kebahagiaan yang diraih dan dirasakan oleh anak‐anak.
Dari sini, muncul pertanyaan‐pertanyaan: bagaimana sistem
pendidikan yang diterapkan dalam Summerhill? Kebebasan seperti apa yang
diterapkan Neill dan para staf Summerhill? Seberapa bebaskah sekolah ini?
Bagaimana peran kebebasan dan self‐government atau self‐discipline
berkaitan satu sama lain? Bagaimana relasi kebebasan dan permainan dapat
dijelaskan sebagai unsur‐unsur penting dari pendidikan? Bagaimana
keduanya itu berkaitan erat dengan kebahagiaan anak? Seberapa jauh
sekolah ini bertentangan dengan kurikulum pendidikan di Inggris atau arus
utama pendidikan sekolah di sana? Apakah pendidikan di Summerhill
sungguh merupakan usaha untuk memanusiakan anak‐anak sebagai
manusia sebagaimana juga andaian dalam arus utama pendidikan?
3
Summerhill School
A. Alexander Sutherland Neill
Alexander Sutherland Neill – biasa disebut A. S. Neill – lahir di Forfar,
Angus, Skotlandia, pada 17 Oktober 1883 sebagai salah satu dari 8 anak dari
seorang guru sekolah. Neill bertugas menjadi guru pada 1899 di sekolah
ayahnya. Setelah gagal diterima di sebuah teachers college, dia akhirnya
masuk dan menjalani studi di Universitas Edinburgh dan memeroleh gelar
master of arts pada tahun 1912. Pada 1914, dia menjadi kepala Sekolah
Gretna Green di Skotlandia.
Dalam tulisan‐tulisannya, dia menggambarkan dirinya sebagai
“seorang Nietzschean yang memprotes pengajaran anak yang menjadi
penurut dan rendahan”, dan dia menulis dalam karya A Dominie’s Log 1
bahwa dia “sedang mencoba membentuk pikiran yang akan
mempertanyakan dan merusak dan membangun kembali”. Dari sini, dia
menjadi seorang pendidik progresif Skotlandia, penggagas dan pendiri
Sekolah Summerhill, yang sampai sekarang tetap terbuka dan terus
berlanjut atas dasar filsafat pendidikan yang Neill ungkapkan. Dia dikenal
sangat baik sebagai seorang pencetus kebebasan pribadi anak‐anak.
1
A Dominie’s Log adalah karya A. S. Neill yang pertama, yang berisikan catatan-catatan harian tak resmi dan
gagasan-gagasannya mengenai pendidikan sekolah yang dibuatnya hanya untuk dirinya sendiri. Catatan-
catatan harian ditulisnya ketika dia menjadi guru muda di Sekolah Gretna Green, Skotlandia, dan saat kode
pendidikan Skotlandia melarang penulisan catatan-catatan atau pendapat-pendapat pribadi dalam buku
harian resmi yang dimiliki guru [lih. Neill, 1972, 367].
4
Summerhill School
5
Summerhill School
6
Summerhill School
Penyokong terbesar dalam bidang pendidikan bagi Neill adalah
pendidik asal Inggris, Homer Lane. Neill juga adalah pengagum dan sahabat
dekat inovator psikoanalisis, Wilhelm Reich, dan ia adalah seorang siswa
psikoanalisis Freudian. Seorang penyumbang utama di bidang pendidikan
libertarian [libertarian education] adalah Bertrand Russell. Russell mendirikan
Beacon Hill School, Inggris, yang merupakan salah satu dari beberapa
sekolah yang sering dibanding‐bandingkan dengan Summerhill. Russell
adalah seorang koresponden Neill dan dia juga memberikan dukungannya
untuk Sekolah Summerhill.
Banyak pihak menuduh bahwa Neill itu naif dan memiliki idealisme
tidak realistis. Neill juga pada gilirannya mendapat kritik bahwa ia membawa
gagasan Freudian mengenai represi ke dalam ranah pendidikan. Banyak
orang telah salah memahami kebebasan seksual di Summerhill, seperti Max
Rafferty, Direktur Pendidikan California. Mengenai hal itu, Rafferty misalnya
menulis, dia “lebih baik segera mengirim anak‐anaknya ke tempat
lokalisasi/pelacuran” 3 daripada ke Summerhill.
Gagasan Neill tentang kebebasan dan pendidikan yang dianggap
kontroversial waktu itu, memengaruhi banyak pendidik progresif yang
muncul setelah dia, khususnya John Holt, yang memelopori pergerakan
tanpa sekolah [unschooling]. Karya‐karya Neill terdiri atas: A Dominie’s Log
(1915), A Dominie Dismissed (1916), Booming of Bunkie (1919), Carroty Broon
(1920), A Dominie in Doubt (1920), A Dominie Abroad (1922), A Dominie’s Five
(1924), The Problem Child (1926), The Problem Parent (1932), Is Scotland
3
Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill.
7
Summerhill School
Educated? (1936), That Dreadful School (1937), The Problem Teacher (1939),
The Last Man Alive (1939), Hearts Not Heads in the School (1945), The Problem
Family (1949), The Free Child (1953), Summerhill: A Radical Approach to Child
Rearing (Preface by Erich Fromm) (1960), Freedom, Not License! (1966),
Talking of Summerhill (1967), Children's Rights: Toward the Liberation of the
Child (with Leila Berg, Paul Adams, Nan Berger, Michael Duane, and Robert
Ollendorff) (1971), dan “Neill! Neill! Orange Peel!”: An Autobiography by A. S.
Neill, the World‐famous Headmaster of Summerhill School4 (1972). 5
4
Buku “Neill! Neill! Orange Peel!”: An Autobiography by A. S. Neill, the World-famous Headmaster of
Summerhill School ini biasanya cukup disebut “Neill! Neill! Orange Peel!”. Maka, agar konsisten, untuk
buku itu, seterusnya saya akan memakai sebutan “Neill! Neill! Orange Peel!”.
5
Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill.
8
Summerhill School
B. Sekolah Summerhill
9
Summerhill School
Pada 1923, Neill telah memindahkannya ke kota Lyme Regis, Dorset,
di sebelah selatan Inggris, di sebuah rumah yang disebut Summerhill,
tempat Neill mulai menjalankan sekolahnya dengan lima orang siswa.
Sekolah berjalan terus di sana sampai 1927, ketika dipindah ke tempat
sekarang di Leiston di wilayah Suffolk. Ia menjadikan Summerhill sebagai
nama sekolah itu.
Neill menjalankan sekolahnya dengan Ny. Lins, begitu dia dikenal,
sampai perang membutuhkan tempat evakuasi di rumah Leiston dan
mereka pindah ke Ffestiniog di Wales. Ny. Lins sakit dan membutuhkan
perawatan intensif sampai akhirnya meninggal. Neill kemudian menikah
dengan seorang staf sekolah, Ena Wood – yang sempat merawat Ny. Lins di
samping memasak dan menjadi ibu asrama di sekolah itu. Setelah perang,
mereka kembali ke Leiston, ke Summerhill yang sudah bobrok yang telah
digunakan oleh tentara dan ditinggalkan dalam keadaan menyedihkan. Neill
memperbaiki dan membersihkan gedung‐gedung sekolahnya. Sekolah itu
berlanjut menjadi kontroversial, digambarkan oleh pers sebagai sekolah “do
as you please”.
Dana untuk siswa yang ia peroleh melonjak selama bertahun‐tahun
sebelum akhirnya menurun tajam di akhir 1950‐an, padahal jumlah siswa
mencapai sekitar 25 orang. Pada saat itu, Neill didatangi Harold Hart,
seorang penerbit dari Amerika Serikat, yang ingin menerbitkan kumpulan
buku‐buku Neill. Mereka menerbitkan Summerhill: A Radical Approach to
Childhood. Buku itu sukses dengan cepat di Amerika Serikat dan menjadi
buku dengan penjualan terbaik non fiksi nomor satu di seluruh negara. Buku
itu lalu diterbitkan di Inggris dan banyak negara lain. Summerhill mengalami
10
Summerhill School
perbaikan. Jumlah siswa meningkat dan banyak dari Amerika Serikat. Minat
pada sekolah itu berkembang sampai berbus‐bus para pengunjung datang.
Lama‐kelamaan, Neill dan komunitasnya merasa lelah akan perhatian itu
dan menarik diri masuk ke dalam suatu masa tenang.
Di akhir tahun 1960‐an, keberhasilan Neill mendirikan Summerhill
akhirnya diakui dan dia diberi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan
dari Universitas Newcastle, Universitas Exeter, dan Universitas Essex. Neill
juga diakui sebagai salah seorang dari 12 orang paling top yang
memengaruhi persekolahan di Inggris selama milenium terakhir versi Times
Educational Supplement (31.12.1999).
Neill menjalani hari‐hari terakhir dengan mengambil bagian yang
kurang aktif di sekolah tetapi tetap terlibat dengan apa yang sedang terjadi.
Pada 1973, kesehatannya menurun dan dia dirawat di Ipswich Hospital.
Kemudian dia dibawa ke rumah sakit kecil setempat, tempat dia meninggal
pada 23 September 1973. Lima hari kemudian mulai masa baru di
Summerhill. Ena Neill meneruskan sekolah itu sampai pensiun pada 1985
ketika anak perempuannya, Zoë Readhead, kepala guru saat itu, mengambil
alih.
Sekarang ini, Summerhill sudah berjalan tanpa selang henti sejak 1921
dan juga belum berubah secara fundamental. Kesuksesannya dalam
memberikan lingkungan yang membahagiakan untuk anak‐anak dan
menciptakan laki‐laki dan perempuan yang seimbang, terletak dalam
gagasan Neill yang berlanjut sampai sekarang: “Fungsi anak adalah
menjalani hidupnya sendiri – bukan hidup yang orangtuanya pikir harus
11
Summerhill School
dijalani, atau hidup yang bergantung pada tujuan dari pendidik yang
merasa dirinya tahu yang terbaik.”
Summerhill adalah sekolah internasional dengan anak‐anak yang
berasal dari Inggris, Jerman, Norwegia, Belanda, Switzerland, Israel,
Amerika Serikat, Korea, Taiwan, Jepang, Perancis, dan lain‐lain. Hal ini
menciptakan lingkungan multikultural yang menakjubkan. Summerhill, yang
luas tanahnya 11 acres [= 5,11 ha], menggelar konferensi tahunan Friends of
Summerhill Trust. Ini adalah yayasan amal untuk membantu mencari dana
bagi Summerhill dan juga menyebarluaskan ide‐ide Summerhill ke seluruh
dunia.
Bagi Neill, Summerhill sangat istimewa dan menyenangkan.
Pelajaran‐pelajarannya boleh dipilih sesuai minat dan kemauan anak. Jika
anak mau belajar, belajarlah ia. Jika tidak mau belajar, silakan saja. Jika
perlu, biarkan dia bertahun‐tahun tidak pernah masuk sekolah, jika memang
itu keinginannya. Ada jadwal dan pengaturan waktu tetapi hanya berlaku
untuk guru, bukan untuk siswa. Sedangkan aturan‐aturan bagi anak‐anak
biasanya ditentukan bersama dalam sebuah kegiatan rapat, Rapat Umum6 .
Biasanya anak‐anak, yang jumlahnya biasanya berkisar 80‐90 orang,
membentuk kelas berdasarkan usia, tetapi kadang‐kadang menurut minat
mereka. Para staf sekolah, yang berjumlah 12 staf purna‐waktu, tak punya
metode mengajar yang baru, karena bagi mereka ‘mengajar’ tidak terlalu
penting. Memiliki metode baru atau tidak, akhirnya ternyata tidak berarti.
6
Rapat atau Pertemuan Umum Sekolah, tempat undang-undang sekolah dibuat dan diubah, diadakan setiap
hari Senin, Rabu dan Jumat pada pukul 13.45-14.30 waktu setempat, tergantung pada apa kepentingannya.
Undang-undang ini adalah peraturan-peraturan sekolah, dibuat dengan pemungutan suara mayoritas untuk
menentukan apakah akan diberlakukan atau tidak. Pertemuan Umum ini dihadiri oleh semua staf dan semua
murid yang memiliki hak satu suara yang setara. Pertemuan ini tidak diwajibkan, tetapi biasanya dihadiri
para staf dan anak-anak. Lih. www.summerhillschool.co.uk/themeeting.htm.
12
Summerhill School
Jika anak ingin memelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan
mempelajarinya, tak peduli bagaimana cara atau metode pengajarannya.
Ada banyak pelajaran di Summerhill. Barangkali sekelompok anak usia
12 di Summerhill kalah bersaing dengan siswa‐siswa seumur mereka di
sekolah biasa, jika yang dipertandingkan adalah menulis halus, mengeja
kata, atau aritmatika. Namun, dalam ujian yang membutuhkan orisinalitas,
anak‐anak Summerhill akan ”melindas habis semua lawan” [Neill, dlm.
Naomi 2004, 264]. Sekolah ini tidak memakai tes kenaikan kelas. Kadang
Neill memberikannya hanya untuk main‐main dan anak‐anak menyukainya.
Bagi Neill, pandangan bahwa belajar dari buku‐buku sama dengan
pendidikan adalah pandangan yang hanya dimiliki orang yang suka
menonjol‐nonjolkan ilmunya. 7 Buku bukanlah hal yang penting di antara
segenap perlengkapan sekolah. Yang dibutuhkan anak hanya ‘3R’: membaca
[reading], menulis [writing], menghitung [reckoning], ditambah alat‐alat
keterampilan, tanah liat, olahraga, teater, cat air, dan kebebasan.
Akan tetapi, para guru Summerhill mengajarkan bidang‐bidang studi
tertentu untuk UMPT karena memang ada siswa yang berminat untuk
kuliah. Biasanya, mereka mulai serius belajar mengarah ke UMPT sejak usia
14, selama + 3 tahun. Tidak semua lolos saat pertama kali mencoba, tetapi
yang penting adalah mereka mencoba lagi. Maka, semua guru Summerhill
dituntut juga memiliki kualifikasi mengajar sesuai aturan standar umum di
luar sekolah ini.
7
Dengan pernyataan ini, Neill secara tak langsung mengkritik Intelektualisme, yaitu aliran atau paham
pendidikan yang cenderung menekankan dimensi intelektual manusia saja.
13
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
(halaman ini sengaja dikosongkan)
14
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
KONSEP‐KONSEP DASAR PENDIDIKAN
MENURUT A.S. NEILL
Dalam catatan hariannya, A Dominie’s Log, A. S. Neill mencoba
merumuskan gagasan‐gagasan tentang pendidikan yang paling asli, yang
menyatakan bahwa tidak ada otoritas pada pendidikan yang sesungguhnya.
Awalnya, muncul dalam benak Neill pertanyaan‐pertanyaan mengenai
seluruh pengajarannya demikian: “malam ini sesudah siswa‐siswiku pergi,
aku duduk di sebuah bangku dan berpikir ‘Apa artinya semua ini? Apa yang
sedang aku coba lakukan? Anak‐anak laki‐laki akan ke ladang untuk
membajak; anak‐anak perempuan akan pergi ke pertanian sebagai pelayan’”
[Neill, 1972, 368]. 8
Pertanyaan‐pertanyaan ini muncul saat Neill menyadari bahwa
pekerjaannya sebagai guru adalah sia‐sia saja, tidak ada manfaatnya, karena
pendidikan pada saat itu diharuskan punya tujuan untuk mendidik generasi
baru yang akan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Menurutnya,
sistem pendidikan itu bertujuan menghasilkan model manusia yang sama
seperti yang ada pada masa itu. Neill mengungkapkan: “aku dapat mengajari
mereka membaca, dan mereka akan membaca serial‐serial dalam
mingguan‐mingguan yang berisi omongan tolol; aku dapat mengajari
mereka menulis, dan mereka akan segera menulis catatan‐catatan
menyedihkan untukku; aku dapat mengajari mereka menghitung, dan
8
Tonight after my bairns had gone away, I sat down on a desk and thought, “What does it all mean? What
am I trying to do? These boys are going out to the field to plough; these girls are going to farms as
servants.”
15
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
mereka tidak akan pernah menghitung lebih daripada gaji mingguan mereka
yang menyedihkan. Tiga M [Three R’s] 9 hanyalah kesia‐siaan” [Neill, 1972,
369]. 10 Tiga M adalah implikasi dari orientasi pendidikan saat itu yang
dicampur‐baurkan dengan perdagangan, ekonomi, dan konvensi
masyarakat. Artinya, pendidikan cenderung menghasilkan orang‐orang yang
menjalani hidupnya hanya untuk mencari nafkah sebagai pekerja, seperti
tukang masak, tukang kayu, juru ketik, dan stenografis.
Bagi Neill, pendidikan memiliki satu tujuan utama, yakni menjalani
hidup itu sendiri. Neill berkeyakinan bahwa tujuan hidup adalah untuk
menemukan kebahagiaan, yang berarti menemukan apa yang diminati.
Pendidikan seharusnya membantu seorang anak agar siap untuk hidup, siap
untuk menjalani hidupnya sendiri [Neill, 1968, 36]. Gagasan Neill mengenai
pendidikan ini memiliki keterkaitan dengan empat hal yang tercantum
berikut, yakni: (1) sikap hidup [attitude], (2) swa‐disiplin [self‐discipline], (3)
kebebasan, dan (4) komunitas.
9
‘Three R’s’ atau ‘Tiga M’ adalah standar umum pendidikan saat itu, yakni membaca [reading], menulis
[writing], dan menghitung [reckoning]. Menurut Neill, Tiga M ini sangat dipentingkan karena pendidikan
pada zamannya bertujuan utama untuk memberantas buta huruf [bdk. Neill, 1972, 442].
10
I can teach them to read, and they will read serials in the drivelling weeklies; I can teach them to write,
and they will write pathetic notes to me by and by; I can teach them to count, and they will never count
more than the miserable sum they receive as a weekly wage. The “Three R’s” spell futility.
16
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
4. Sikap Hidup [Attitude]
Menurut Neill, sesuatu itu disebut pendidikan bila guru menolong para
siswa menemukan sebuah sikap hidup [attitude]11 . Bertitik tolak dari catatan
hariannya ini, mendidik berarti berupaya membuat anak didik sadar akan
apa makna hidup, atau menolong mereka menemukan sikap hidupnya
masing‐masing. Dalam hal ini, Neill menyadari, kebanyakan yang dia ajarkan
kepada mereka akan dilupakan dalam setahun, tetapi sebuah ‘sikap hidup’
akan terus bersama dengan diri seseorang sepanjang hidupnya.
Dalam catatan hariannya, Neill berkata: “kebanyakan yang aku
ajarkan kepada mereka akan mereka lupakan dalam satu dua tahun, tetapi
sebuah sikap hidup tinggal dengan seseorang sepanjang hidup. Aku ingin
anak‐anak ini memeroleh kebiasaan untuk melihat hidup mereka dengan
jujur” [Neill, 1972, 370]. 12 Jelaslah, menurut Neill, keterampilan membaca,
menulis, dan menghitung, ditambah dengan keterampilan mengolah kayu,
menggambar, pelajaran geografi, dan pelajaran‐pelajaran lainnya akan
mudah dilupakan, tetapi sebuah sikap hidup tidak akan pernah hilang dalam
diri seseorang.
Sebuah sikap hidup tumbuh dengan sendirinya atau secara alami
dalam diri seseorang dan akan dimiliki sepanjang hidupnya. Dengan sikap
hidup yang ditemukannya sendiri, orang akan mampu dan memiliki
kebiasaan untuk melihat hidupnya dengan jujur. Orang yang memiliki sikap
hidup itu jujur dalam melihat atau memandang kehidupan.
11
Sikap hidup [attitude] adalah sikap menghadapi kehidupan.
12
Most of the stuff I teach them will be forgotten in a year or two, but an attitude remains with one
throughout life. I want these boys and girls to acquire the habit of looking honestly at life. I want these
boys and girls to acquire the habit of looking honestly at life.
17
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
Neill mengatakan, para siswa diajarkan untuk melihat hidupnya
dengan jujur, maka dia sendiri sebagai pendidik harus berusaha untuk
melihat hidupnya dengan jujur. Menjadi jujur membuat seseorang sampai
pada hal yang sebenarnya. Bagaimana seorang siswa sebagai manusia muda
bisa memeroleh sikap hidup dalam dirinya dan memandang hidup dengan
jujur? Menurut Neill, pengetahuan‐diri [self‐knowledge] harus ada sebelum
semua pelajaran dan keterampilan yang perlu diajarkan. Pengetahuan diri
dipandangnya sebagai jalan bagi siswa untuk melihat hidupnya sendiri
dengan jujur. Bagi Neill, seseorang harus memeriksa dirinya, sehingga dia
akan menemukan identitas dirinya. Pemeriksaan diri di sini terkait erat
dengan proses menemukan identitas diri yang tak tergantikan: “Aku
bertanya‐tanya berapa banyak anak‐anak yang duduk sambil berkata: ‘Aku
harus memeriksa diriku, sehingga aku dapat menemukan manusia seperti
apa aku ini’” [Neill, 1972, 370]? 13
Neill menambahkan, dengan sebuah sikap hidup, orang mampu
membongkar semua konvensi, ketakhayulan, dan kemunafikan di
sekitarnya. Orang yang bersikap hidup kuat sering dipandang sebagai orang
yang tidak mudah hanyut dalam arus pandangan umum masyarakat di
sekitarnya. Namun ia justru memiliki kemampuan untuk membongkar dan
melucutinya. 14 Untuk itu, dalam pendidikan, para siswa dituntun untuk
memiliki keraguan 15 terhadap segala hal, sebagaimana Neill mengatakan:
“Aku tekun merobek kain‐kain kemunafikan dari fakta‐fakta kehidupan; aku
13
I wonder how many of them have sat down saying: ‘I must examine myself, so that I may find what manner
of man I am?
14
Bdk. teori “dekonstruksi” dari Jacques Derrida [lih. Bertens, 2006, 371].
15
Bdk. istilah Descartes “keraguan metodis” sebagai jalan untuk menemukan subjektivitas [cogito] sebagai
kebenaran dan kepastian kokoh [lih. Hardiman, 2004, 37-39].
18
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
akan memimpin para siswaku untuk meragukan segala hal” [Neill, 1972,
377]. 16 Dalam hal ini, pendidikan seharusnya membuat para siswa terlatih
untuk berpikir, sebagaimana Neill mengatakan: “Aku tidak ingin anak‐anak
dilatih untuk membuat sup ercis dan kerangka‐kerangka foto, aku ingin
mereka dilatih untuk berpikir” [Neill, 1972, 442]. 17 Maka, dapat dikatakan
bahwa seseorang itu terdidik bila ia sudah menelanjangi semua konvensi,
ketakhayulan, dan kemunafikan.
5. Disiplin
Neill membagi konsep disiplin menjadi dua konsep, yakni (1)
kedisiplinan [discipline], yang ditetapkan oleh para [guru dan staf] penegak
kedisiplinan sekolah untuk para siswa, dan (2) swa‐disiplin [self‐discipline].
Yang diakui sebagai unsur penting dalam pendidikan, terutama yang
mendukung tujuan pendidikan, adalah disiplin yang kedua, swa‐disiplin.
Lalu, mengapa kedisiplinan ditolaknya, sedangkan swa‐disiplin menjadi
unsur penting dalam pendidikan?
Kedisiplinan [discipline] dipahami sebagai aturan‐aturan bagaimana
harus bertingkah laku sebagaimana ditetapkan dengan keras oleh para guru
atau staf sekolah pendisiplin untuk para siswa. Neill mengatakan bahwa
seharusnya kedisiplinan sekolah dihapuskan, karena alasan: (1) dilandasi
kebutuhan guru atau pendidik akan harga diri, (2) terkait erat dengan
16
I am determined to tear all the rags of hypocrisy from the facts of life; I shall lead my bairns to doubt
everything.
17
I don’t want children to be trained to make pea-soup and picture frames, I want them to be trained to think.
19
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
hukuman, (3) sarat dengan praktik militerisme, dan (4) tidak memperlakukan
anak sebagai manusia.
Pertama, kedisiplinan, bagi Neill, muncul sebagai sebuah sikap dari
guru untuk dihargai di hadapan para siswa. Kedisiplinan terkait erat dengan
kebutuhan seorang penegak kedisiplinan akan gengsi atau harga diri.
Kedisiplinan membuat guru menjaga jarak dari para siswa dan memeroleh
harga diri [bdk. Neill, 1972, 415]. 18 Kedisiplinan menciptakan rasa takut bagi
siswa‐siswi untuk melakukan sesuatu yang dianggap salah. Rasa takut itu
pun membuat mereka menghormati atau menghargai gurunya. Dengan
demikian, kedisiplinan menciptakan “jurang pemisah” antara siswa dan guru
yang diciptakan oleh orang dewasa, bukan anak‐anak. Tentulah, dalam
jurang pemisah itu, posisi guru atau orang dewasa ada di atas anak‐anak
atau para siswa. Neill sendiri mengakui: “aku adalah seorang pendisiplin
yang buruk sekali” [Neill, 1972, 371]. 19 Dalam hal ini, Neill bisa dikatakan
sebagai orang yang tidak suka mendisplinkan orang lain; dia adalah pribadi
yang kendor: “Aku menyadari bahwa biasanya aku sangat, sangat kendor;
aku tidak peduli apakah mereka berbicara atau tidak. Sesungguhnya, jika
dengungan dari obrolan berhenti, aku merasa bahwa sesuatu telah terjadi …
” [Neill, 1972, 371]. 20 Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa Neill sebagai
guru ada di pihak siswa‐siswinya. Maka, kedisiplinan menurut Neill sungguh
ada karena guru‐guru ingin menjadi dewa‐dewa kecil yang dibentengi oleh
harga diri [bdk. Neill, 1972, 17].
18
Sikap seperti ini bertentangan dengan sikap Neill yang menekankan pentingnya untuk berada setara dengan
anak-anak atau para siswa, khususnya bagi orangtua, guru, atau pendidik.
19
I am an atrociously bad disciplinarian.
20
I find that normally I am very, very slack; I don’t mind if they talk or not. Indeed, if the hum of conversation
stops, I feel that something has happened ….
20
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
21
Tawse adalah kata yang dipakai orang-orang Skotlandia yang berarti “ikat pinggang” yang biasa digunakan
untuk menghukum anak-anak.
22
Neill secara pribadi memiliki pengalaman sebagai seorang kepala sekolah pendisiplin dan pernah
menghukum seorang anak dengan menggunakan tawse karena menghinanya, sampai Neill tiba-tiba
menyadari perbuatannya itu: “ … until the day when I myself, as a headmaster, belted a boy for insolence.
A new, sudden thought came to me. What am I doing? This boy is small, and I am big. Why am I hitting
someone not my own size? I put my tawse in the fire and never hit a child again” [Neill, 1972, 19].
21
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
kedisiplinan, aku mengutuk kedisiplinan” [Neill, 1972, 426‐427]. 23 Neill yakin
bahwa melalui kedisiplinan atau militerisme ini, guru atau pendidik merasa
dihargai, menjaga jarak dari para siswanya, dan menjadi seorang pendisiplin.
Neill pun menambahkan bahwa “kemalasan mental adalah akar dari
militerisme yang ada di sekolah‐sekolah” [Neill, 1972, 430]. 24 Maka,
kedisiplinan yang diciptakan dan hanya berlaku bagi para siswa itu bagi Neill
tidak lain adalah praktik militerisme.
Keempat, pada akhirnya, kedisiplinan tidak memperlakukan anak atau
siswa sebagai manusia. Kedisiplinan, sebaliknya, justru menciptakan
ketakutan pada anak‐anak untuk melakukan hal‐hal sesuai yang mereka
kehendaki. Perkembangan mereka menjadi terbatas karena kedisiplinan
dalam bentuk aturan‐aturan ini atau itu. Kedisiplinan dipandangnya sebagai
yang menciptakan kemalasan25 mental, bukan kemalasan fisik [bdk. Neill,
1972, 427]. 26 Suasana disiplin atau kedisiplinan yang membuat para siswa
harus diam ketika pelajaran berlangsung itu sarat dengan suasana yang tidak
manusiawi.
23
Ungkapan ini disampaikan Neill ketika berhadapan dan berdebat dengan Mr. Simpson, seorang mantan
Kepala Institut Pendidikan di Skotlandia.
24
It is mental laziness that is at the root of militarism in our school.
25
Dalam sebuah wawancara, Zoë Neill Readhead, putri Neill, Kepala Sekolah Summerhill, mengatakan:
“Laziness is a passing thing – I don’t even use the word. I think we all have times in our lives when we are
unmotivated to certain things – but when we are able to pursue the things that we want – then we become
motivated again.” Dari ungkapan Zoë ini, artinya, kemalasan berarti suatu keadaan di mana kita tidak
terdorong atau tidak ada kehendak [unmotivated] untuk melakukan hal-hal tertentu.
26
Neill membagi kemalasan menjadi dua jenis kemalasan, yakni kemalasan fisik dan kemalasan mental.
Kemalasan fisik adalah ketika orang malas untuk melakukan atau bertindak sesuatu, sedangkan kemalasan
mental adalah ketika orang cenderung menunggu perintah dari atasan, orang yang berkuasa, dan malas
untuk memikirkan apa yang hendak dia lakukan. Bdk. pernyataan Neill berikut: “Yet, though I am lazy
phisically I am not lazy mentally.”
22
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
27
I do not like strict discipline, for I do believe that a child should have as much freedom as possible. I want
a bairn to be human, and I try to be human myself..
28
If a boy whets his pencil while I am describing the events that led to Great Rebellion, I sidetrack him on the
topic of rabbits, and I generally make him sit up. I know that I am teaching badly if the class loafing and I
am honest enough in my saner moments not to blame the bairns.
23
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
Dari sini, Neill menjelaskan bahwa guru atau pendidik tidak patut
menyalahkan setiap siswa yang tidak mau tunduk atau menuruti perintah
kita; swa‐disiplin terkait erat dengan kebebasan.
Dalam sistem pendidikan di sekolah‐sekolah, menurut Neill, swa‐
disiplin sangat perlu untuk diperhatikan. Swa‐disiplin bukanlah disiplin yang
diberikan atau dipaksakan dari luar – yang biasanya diberikan oleh guru atau
orangtua – melainkan disiplin yang muncul dan berkembang dari dalam dan
untuk diri si anak sendiri. Dengan perkataan lain, disiplin satu‐satunya yang
dibutuhkan dalam pendidikan bagi Neill adalah disiplin yang didorong oleh
minat atau keinginan pribadi si anak. Swa‐disiplin yang dimaksudkan Neill ini
terkait dengan keyakinannya bahwa siapa pun tak akan pernah belajar
sesuatu yang dipaksakan. Dengan perkataan lain, siapa pun akan belajar
sesuatu ketika diberi kebebasan [bdk. Sindhunata, 2008, 3], dan hasilnya
adalah swa‐disiplin. Saya melihat, hal ini berkaitan dengan keyakinan utuh
Neill tentang anak‐anak sebagai makhluk yang baik, bukan yang jahat.
Menurutnya, “anak memiliki pembawaan alami bijaksana dan realistis”
[Neill, 1993, 9], 29 sebagaimana Neill juga mengatakan pada bagian akhir
catatan hariannya: “Aku telah mengeluarkan semua kebaikan kodrati siswa‐
siswa ini” [Neill, 1972, 467]. 30 Swa‐disiplin ini terkait dengan pandangan Neill
mengenai swa‐atur [self‐regulation] yang diterapkan dalam Summerhill.
29
... a child is innately wise and realistic.
30
I have brought out all the innate goodness of these bairns.
24
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
6. Kebebasan
Dalam pemikiran Neill tentang pendidikan, kebebasan adalah hal yang
penting. Lalu, apakah kebebasan itu menurut Neill? Neill menjelaskan
konsep kebebasan demikian. Pertama, bagi Neill, kebebasan tidak bisa lepas
dari minat atau keinginan seseorang. Kedua, karena minat atau keinginan
seseorang berimplikasi pada kebahagiaan jika terwujud, maka kebebasan
juga memberikan atau terkait erat dengan kebahagiaan seseorang. 31
Pendeknya, kebebasan berarti keadaan di mana orang dapat melakukan apa
saja sesuai keinginan atau minat pribadinya sehingga ia menemukan
kebahagiaan dalam hidupnya. Neill mengatakan: “Aku berupaya keras untuk
membagikan kebahagiaan kepada para siswa. Sekarang ini, aku bermain
layang‐layang bersama mereka setiap hari, dan aku tidak pernah lelah untuk
melakukannya. Anak‐anak laki‐laki membawakan aku kertas‐kertas komik,
… ” [Neill, 1972, 415‐416]. 32 Dari sini, tampak jelas, Neill menekankan
pentingnya perhatian pada apa yang diminati anak‐anak, apa yang
membuat anak‐anak bahagia. Kebahagiaan itu justru muncul dengan
melakukan hal‐hal sangat manusiawi yang digemari anak‐anak. Neill
menambahkan:
31
Bagi Neill, kebahagiaan adalah tujuan utama dalam pendidikan [lih. Neill, 1968, 36].
32
I try hard to share the bairns’ joys. At present I am out with them every day flying kites, and I never tire of
this. The boys bring me their comic papers…
25
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
33
… in the main I think that my chief desire is to make the bairn happy. […] A boy was dour and unlovable
and rebellious and disobedient. I tried all ways – I regret to say I tried the tawse. I was inexperienced at
the time; yet I hit upon the right way. One day I found he had a decided talent for drawing. I brought down
some of my pen-and-ink sketches and showed him them. I gave him pictures to copy, and his interest in art
grew. I won him over by interesting myself in him. He discovered that I was only human after all.
26
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
7. Komunitas
Di samping menekankan pentingnya kebebasan, Neill juga melihat
pentingnya anak untuk memerhatikan sesamanya dalam komunitas. Apa
yang dapat dikatakan mengenai komunitas? Adanya komunitas itu dapat
disadari sejak seseorang menyadari bahwa orang lain juga memiliki hak‐
haknya, sebagaimana Neill mengatakan “anak harus diberitahu bahwa
orang‐orang lain memiliki hak‐haknya” [Neill, 1972, 374]. 34 Dengan
perkataan lain, orang‐orang pun memiliki kebebasannya, dan perlu
ditanamkan ke dalam diri para siswa ide tentang komunitas [bdk. Neill, 1972,
374]. Neill menambahkan, “jika aku mengganggu komunitas, komunitas
akan menghukum aku dengan pengasingan dan kebencian. Kita semua
memiliki hak untuk menjalani hidup kita sendiri‐sendiri, tetapi dalam
menghayatinya kita harus hidup dalam harmoni dengan komunitas” [Neill
1972, 374]. 35
Implikasi dari penjelasan Neill ini adalah pemahaman tentang
kebebasan. Orang boleh melakukan apa saja yang ingin ia lakukan asalkan ia
tidak mengganggu kebebasan orang lain [bdk. Neill, dlm Naomi, 2004, 282].
Dalam praktik, pandangan Neill tentang kebebasan dan komunitas ini
berkaitan dengan prinsip swakelola [self‐government] yang kemudian
diterapkan dalam Rapat Umum demokratis di Summerhill.
34
... the bairn must be told that others have rights.
35
If I offend against the community, the community will punish me with ostracism or bitterness. We have all
rights to live our own lives, but in living them we must live in harmony with community.
27
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
8. Aplikasi dari Konsep‐konsep Dasar Pendidikan
Pada bagian ini, saya akan membahas penerapan konsep‐konsep
dasar tersebut di atas. Konsep‐konsep dasar pendidikan yang disaring dari A
Dominie’s Log inilah yang diterapkan oleh Neill sewaktu menjabat Kepala
Sekolah Gretna Green, Skotlandia. Bagian penjelasan tentang aplikasi
pendidikan di bawah ini terbagi menjadi dua pokok bahasan, yakni sistem
koedukasi dan bentuk pengajaran.
Sistem pendidikan yang dikehendaki oleh Neill adalah sistem
koedukasi [bdk. Neill, 1993, 86]. 36 Neill sendiri mengagumi sistem koedukasi,
dan ia berpendapat bahwa sistem koedukasi adalah hal terhebat dalam
sistem pendidikan negerinya. Baginya, sekolah‐sekolah seharusnya
menerapkan sistem koedukasi ini karena hidup kita di dunia ini bersifat
koedukasional [bdk. Neill, 1993, 86]. Dengan sistem koedukasi, para siswa
lekas belajar interdependensi antarseks; anak laki‐laki dan perempuan mulai
lekas memahami satu sama lain. Pergaulan antara anak laki‐laki dan
perempuan nampak sangat sehat. Seorang anak laki‐laki atau perempuan
tidak lagi memiliki ilusi dan delusi atau khayalan terhadap lawan jenisnya.
Hal ini dipandang Neill dapat mengatasi perspektif keliru yang dimiliki anak
laki‐laki atau perempuan terhadap lawan jenisnya. Misalnya, ketika
berbicara tentang Gerakan Kaum Perempuan sewaktu mengajar, Neill
mendapati bahwa semua siswa menyetujui bahwa perempuan tidak
seharusnya memiliki hak suara dengan berbagai alasan yang menyudutkan
36
Koedukasi adalah sistem pendidikan bersama untuk anak laki-laki dan perempuan. Koedukasi di sini
bukanlah sistem di mana anak laki-laki dan perempuan duduk dan belajar bersama dalam satu kelas namun
lalu menginap di tempat yang terpisah, melainkan mereka hidup bersama membentuk suatu komunitas
dalam model asrama.
28
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
37
Alasan-alasan yang menyudutkan posisi perempuan itu adalah: “They can’t fight like men,” said a boy.
[...] “Women speak too much,” said Margaret Steel [a lassie]. [...] “Women have not the bairns,” said a
boy [lih. Neill, 1972, 401].
38
All danger of putting women on a pedestal is taken away; the boys find that the girls are ordinary humans
with many failings and many virtues.
29
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
Penerapan dari konsep‐konsep di atas juga berlaku dalam pengajaran‐
pengajaran yang Neill lakukan di Gretna Green. Dalam hal ini, saya
menangkap bahwa Neill membuat sebuah kurikulum sendiri, lepas dari
kurikulum standar nasional negara setempat. Neill memasukkan karangan,
membaca, dan aritmatika ke dalam kurikulum. Latihan dan musik akan
dimasukan ke dalam waktu bermain, dan membuat sketsa akan menjadi
hobi sampingan selama hari‐hari musim panas [Neill, 1972, 442].
Dalam pemahaman saya, mengenai apa saja yang diajarkan dan
bagaimana bentuk pengajarannya, Neill membagi bentuk‐bentuk
pengajaran menjadi dua macam, yakni (1) pengajaran edukasional [yang
mendukung tujuan pendidikan yang Neill kemukakan] dan (2) pengajaran
non edukasional – yang Neill ingin benahi atau buang dari pengajaran
sekolah.
Pertama‐tama, pengajaran harus sesuai dengan makna dan tujuan
pendidikan, yakni demi hidup itu sendiri. Hal ini tentu terkait dengan
pemberian kebebasan dan pengembangan diri anak‐anak sebagai manusia
dengan memiliki sebuah sikap hidup. Pengajaran di sini dikembalikan
kepada ego anak sendiri. Di sini, usia anak‐anak adalah saat di mana ego
perlu dipentingkan dan ditekankan. Itu semua demi tujuan pendidikan
sebagai jalan mempersiapkan diri setiap anak untuk menjalani hidupnya
sendiri. Dua hal penting yang menunjang pengajaran edukasional adalah
imajinasi dan humor. Selain itu, pengetahuan tentang seks sebagai fakta
hidup yang normal pun layak dibuka di hadapan para siswa. Berikut adalah
tiga pokok utama pengajaran edukasional Neill:
30
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
1. Imajinasi
Pada prinsipnya, bentuk pengajaran yang dipilih oleh Neill adalah
yang menyokong dan merangsang kemampuan anak untuk berimajinasi dan
berpikir secara otentik. Maka, imajinasi ditekankan dalam pengajaran dan
merupakan hal penting yang perlu ditanamkan ke dalam diri anak‐anak.
Neill berpendapat: “bangsa ini menderita kekurangan imajinasi; sedikit dari
kita dapat berimajinasi tentang keadaan masyarakat yang lebih baik, sebuah
kehidupan yang lebih utuh” [Neill 1972, 376]. 39 Di sini, nampak jelas bahwa
imajinasi adalah salah satu aspek penting dalam diri anak yang dilupakan
banyak orang tetapi sebenarnya dapat membuat hidup lebih utuh jika
dikembangkan. Neill tidak menginginkan pengajaran yang menuntun orang
cukup hanya mencari nafkah, cukup menjadi seorang pekerja, karena hidup
manusia itu tidak hanya untuk bekerja dan mencari nafkah saja. Guru perlu
memberikan bentuk pengajaran yang mampu menstimulasi imajinasi
seorang anak. Maka, mata‐mata pelajaran yang menurut Neill perlu
diajarkan adalah mata pelajaran yang penuh dengan ide‐ide dan dalam
bentuk cerita.
Bagi Neill, mengajar bahasa Inggris bukanlah mengajarkan gramatika
yang berubah setiap saat sampai dengan mengarang sebuah tulisan. Semua
yang dibutuhkan anak adalah mengetahui bagaimana berbicara dan
bagaimana menulis dengan benar. Maka, Neill ingin menghilangkan istilah
subjek, predikat, objek, keterangan, kata benda, kata kerja, dan sebagainya.
Berbicara dan menulis dengan baik berarti penggunaan idiom yang baik, dan
39
The nation suffers from lack of imagination; few of us can imagine a better state of society, a fuller life.
31
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
40
Now Spelling throws logic to the winds. I tell a child that ‘cough’ is ‘coff’, and logic leads him to suppose
that rough is ‘roff’ and ‘through’ is ‘throff’.
41
Neill menceritakan betapa menariknya cerita itu, demikian: “A West African came to school the other day,
and asked me to allow him to tell [for a consideration] the story of his home life. [...] He talked for half-an-
hour about habits of his home, the native schools, the dress of the children; then he sang the native version
of ‘Mary had a Little Lamb’ [great applause]. The lecture was first rate.”
32
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
33
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
praktis. Neill mengatakan: “dulu aku biasanya melihat sebuah pengumuman
di Universitas Edinburgh: ‘John Brown, Practical Chimney Sweep’. Aku dulu
seringkali bertanya‐tanya apa itu tukang pembersih cerobong asap dalam
penjelasan teoretisnya, dan aku seringkali berharap aku dapat bertemu”
[Neill, 1972, 382]. 43 Neill berpendapat, “seharusnya guru menjelaskan
gagasan atau teorinya tentang apa itu tukang sapu, pegawai kereta api,
pembajak, pelayan” [Neill, 1972, 382]. 44
Juga, bagi Neill, aritmatika adalah seni bukanlah sains. Ia menegaskan
agar orang kembali prinsip pertama, yakni mengajukan pertanyaan yang
membuat anak berpikir sepanjang waktu. Sementara itu, pelajaran ilmu
alam akan menjadi pelajaran yang menyedihkan jika hanya berupa
pengamatan tanpa dikombinasikan dengan kecerdasan berpikir, misalnya
dalam kasus Darwin. Dalam hal ini, pengamatan seharusnya mengikuti
fantasi, kata Neill. Dari pengalaman hidupnya, Neill menambahkan sesuatu
yang menarik dari pelajaran ilmu alam:
“Aku memeroleh sedikit ilmu alam dari buku murah Grant
Allen tentang tanaman. Buku ini menyenangkan karena penuh
dengan imajinasi yang mendekati gaya Yankee. Buku ini
meneorisasikan semua hal – rumput mengembangkan
selembar tipis daun yang panjang agar bisa mengarah ke
matahari; tembakau liar memiliki daun yang lebar karena ia
tidak perlu memedulikan kompetisi dengan tanaman lainnya,
ia dapat tumbuh di tanah liat lembab di pinggiran jalan kereta
api ...” [Neill, 1972, 407]. 45
43
I used to see a notice in Edinburgh: ‘John Brown, Practical Chimney Sweep’. I often used to wonder what
a theoretical chimney sweep might be, and I often wished I could meet one.
44
… a teacher should turn out theoretical sweeps, railwaymen, ploughmen, servants.
45
I got my scanty Nature Study from Grant Allen’s little shilling book on plants. It was a delightful book full
of an almost Yankee imagination. It theorised all the way – grass developed a long narrow blade so that it
might edge its way to the sun; wild tobacco has a broad blade because it doesn’t need to care tuppence for
the competition of other plants, it can grow on wet clay of railway bankings.
34
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
Maka, dalam pelajaran ilmu alam, anak‐anak pun dituntun membuat sebuah
teori, sehingga imajinasi di sini menjadi penting.
Akhirnya, pendidikan yang merangsang anak menjadi imajinatif
menemukan penerapannya dalam tes atau ujian. Naskah ujian seharusnya
dibuat dengan model yang menekankan kemampuan para siswa untuk
mengembangkan ide‐ide [bdk. Neill, 1972, 409‐410]. Neill mengecam
sebuah sistem ujian yang membatasi waktu, yang tercantum di setiap kertas
ujian. Bertolak dari pengalaman kuliahnya, Neill mengatakan: “Blyth
Webster, pengajar muda sastra Inggris yang bersih dan rapi di Universitas
Edinburgh, dulu menyediakan waktu tak terbatas bagi kami untuk
mengerjakan tugas‐tugas Inggris Kuno” [Neill, 1972, 409]. 46 Alasannya,
setiap siswa menulis dan berpikir dengan kecepatan berbeda‐beda, dan
batas waktu selalu tidak adil. Dalam praktiknya, untuk ujian mata pelajaran
sejarah, Neill sebagai pengawas membolehkan setiap siswa menggunakan
buku pelajaran. Neill yakin bahwa naskah ujian tersebut akan
menyingkapkan tiap anak jenius yang kemampuannya terabaikan.
2. Humor
Neill juga menganggap humor adalah hal yang sangat penting dalam
pengajaran. Baginya, humor membuat seseorang dipandang layak, baik hati,
dan manusiawi. Kejenakaan membuat orang menjadi gembira. Maka dapat
dikatakan, rasa humor adalah rasa kegembiraan. Dalam kaitannya dengan
kegiatan mengajar, Neill mengatakan: “buatlah suara menyerupai seekor
46
Blyth Webster, the racy young lecturer in English in Edinburgh University, used to allow us an indefinite
time for our Old English papers.
35
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
bebek dan mereka akan berteriak, tetapi ceritakan kepada mereka lelucon
terbaik dan mereka akan bosan menangis” [Neill, 1972, 375]. 47 Dalam
praktiknya, aspek imajinasi dan humor dapat digabungkan dalam
pengajaran di kelas, sebagaimana Neill memberi contoh demikian: “dalam
pelajaran mengarang, aku memberi banyak otobiografi – sebuah topi, satu
sen, sebuah sepatu bot tua, sebuah hidung, sebuah gigi. Hari ini aku minta
mereka menggambarkan dari sudut orang pertama tentang perjalanan
seekor siput sampai di ujung jalan” [Neill, 1972, 375]. 48 Dengan demikian,
humor tetaplah perlu dimasukkan dalam pengajaran karena humor pun tak
bisa lepas dari hidup yang utuh.
47
Make a noise like a duck and they will scream, but tell them your best joke and they will be bored to tears.
48
In their composition I give them many autobiographies – a tile hat, a penny, an old boot, a nose, a tooth.
Today I asked them to describe in the first person a snail’s journey to the end of the road.
36
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
3. Pendidikan Seks
Bagi Neill, pemahaman tentang seks harus masuk dalam skema
pendidikan, dan pandangan akan seks perlu diperbaharui menjadi sesuatu
yang dapat dijelaskan secara rasional kepada anak‐anak. Untuk itu, seks
perlu diangkat hingga mencapai kedudukan yang pantas sebagai sebuah
anugerah indah dan menakjubkan, sebagaimana Neill mengungkapkan:
“Cita‐cita sebagian dari kami adalah untuk mengangkat seks ke posisinya
yang pantas sebagai sesuatu yang indah menakjubkan” [Neill, 1972, 397]. 49
Atas dasar pengamatan Neill, pendidikan sekarang ini memiliki sikap
yang mengabaikan seks, dan hasilnya, seks tetaplah sebuah kesunyian yang
disepakati diam‐diam. Di masa hidupnya, para guru diharuskan
menyampaikan dan mengajarkan kepada anak‐anak bahwa kelahiran adalah
suatu aib bagi kemanusiaan. Namun, Neill ingin agar anak‐anak diberi
penjelasan dan pemahaman rasional mengenai seks sebagai fakta
kehidupan normal [bdk. Neill, 1972, 397]. 50 Pada kenyataannya, Neill
menghadapi masalah berkenaan dengan hal ini: “Bagaimana bisa aku
mengajak siswa‐siswiku untuk mendapatkan sebuah pandangan dasar
rasional tentang seks dan bukan sebuah pandangan konvensional yang
munafik? Bagaimana bisa aku menyampaikan kepada mereka realisasi
bahwa keutamaan kita kebanyakan adalah pengecut, bahwa moralitas seks
kita hanya didasarkan atas pertanggungjawaban” [Neill, 1972, 397]? 51 Neill
49
The ideal some of us have is to raise sex to its proper position as a wondrous beautiful thing.
50
Keinginan Neill ini terbentur dengan kenyataan yang dia hadapi di Sekolah Gretna Green bahwa ia tidak
bisa berbuat apa-apa; jika Neill menyebutkan seks di sekolah, ia pasti dipecat suatu ketika. Keinginannya
untuk memasukkan dan memperkenalkan seks dalam skema pendidikannya akan terwujud jika ada seorang
dermawan yang akan datang terus dan menawarkan kepadanya sebuah sekolah privat yang sesuai dengan
harapannya.
51
How can I bring my bairns to take a rational elemental view of sex instead of a conventional hypocritical
one? How can I convey to them the realisation that our virtue is mostly cowardice, that our sex morality is
founded on mere responsibility?
37
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
mengatakan bahwa para siswa sebaiknya mendapat pendidikan seks ketika
mereka berusia sembilan tahun. Kisah tentang kelahiran bayi sangat
menyenangkan. Bagi Neill, menghilangkan atau menutup‐nutupi seks
sebagai kebenaran yang sesungguhnya di hadapan seorang anak adalah
tindakan kejam. Pendidikan tentang seks, yakni memberi penjelasan
rasional tentang seks kepada para siswa, menjadi pendekatan lebih lanjut
dari sistem koedukasi. Pendidikan seks ini menjadi sarana agar para siswa
menjalani hidup yang lebih sehat. Singkatnya, Neill ingin para siswanya
mengenal seks sebagai sesuatu yang sehat dalam kehidupan.
Sementara itu, model pengajaran non edukasional atau yang tidak
sesuai dengan apa itu pendidikan adalah model sebaliknya, yakni yang
menyederhanakan segala hal dan mematikan kemampuan berpikir seorang
anak. Hal ini diungkapkan oleh Neill demikian: “Sangatlah sulit bagi setiap
guru untuk menjauh dari sebuah kebiasaan. Upaya terus‐menerus untuk
menyederhanakan dan memudahkan berbagai hal mematikan intelek”
[Neill, 1972, 410]. 52 Tentu saja, model pengajaran semacam ini akan
membuat anak tidak kritis dengan situasi yang dihadapinya. Model ini
membuat orang tidak mampu membongkar semua konvensi, ketakhayulan,
dan kemunafikan dalam masyarakat. Maka, model pengajaran seperti ini
perlu dibuang dan digantikan dengan yang benar‐benar mendidik anak –
termasuk cara pengajaran setiap mata pelajaran yang diajarkan para guru di
sekolah. Ada beberapa hal yang tergolong non edukasional, misalnya lagu
patriotis yang kerap dikumandangkan di sekolah‐sekolah, mata pelajaran
52
It is extremely difficult for any teacher to keep from getting into a rut. The continual effort to make things
simple and elementary for children is apt to deaden the intellect.
38
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
sejarah, dan agama. Berikut adalah beberapa unsur yang Neill saringkan
sebagai ‘non‐edukasional’:
1. Lagu‐lagu Patriotis
Neill menentang pengajaran yang menuntun anak‐anak untuk
memiliki semangat patriotis. Biasanya, lagu‐lagu patriotis diterbitkan untuk
digunakan di sekolah. Neill sendiri tidak mengerti kekuatan dari
mengajarkan anak‐anak untuk menjadi patriotis. Baginya, orang yang
berpandangan bahwa seorang guru dapat mengajar siswanya untuk
mencintai tetangga atau negaranya adalah orang bodoh. Mengibarkan
bendera adalah sebuah kesia‐siaan terakhir dari sebuah cita‐cita mulia. Neill
merasa aneh bahwa semua orang bergelar ini menyebarkan imperialisme
dan patriotisme, dan lagu “Make the Foreigner Pay” [buatlah orang asing
membayar] adalah musuh bagi kaum buruh. Mereka secara khusus tidak
ingin melihat negara yang tidak lagi memiliki kawasan gembel dan
perbudakan. Mereka sangat sibuk memikirkan sebuah skema untuk
memperluas kekaisaran sampai ke luar negeri, namun mereka tidak punya
waktu untuk berpikir tentang kekaisaran di rumah sendiri.
Neill menolak mengajarkan para siswa untuk menyanyikan ”Britons
never, never, never shall be slaves” [“warga Britania Raya tidak pernah, tidak
pernah, tidak pernah akan menjadi budak”]. Menurut Neill, pandangan
utama dari si pecinta tanah air, si patriot, adalah bahwa seseorang harus siap
mati demi negaranya. Memang mati demi negara adalah hal hebat, tetapi
bagi Neill, lebih hebat lagi, jika orang hidup demi negara. Akan tetapi, orang
yang berusaha hidup demi negaranya biasanya memeroleh julukan sebagai
39
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
40
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
“Setiap anak sekolah Skotlandia berpikir bahwa Edward I dari Inggris adalah
sekaligus seorang pencuri dan pengganggu orang lemah dalam satu paket.
Kehebatan Edward sebagai penjamin hukum diabaikan; setidaknya kita
harus memberinya penghargaan untuk kenegarawanannya dalam upaya
menyatukan Inggris, Skotlandia, Wales.” [Neill, 1972, 381] 54
Karena itu, Neill yakin bahwa dia akan membuang mata pelajaran
sejarah dari kurikulum yang dia buat sendiri di sekolahnya sebelum ada
perubahan dalam penulisan sejarah sesuai dengan yang ia harapkan.
3. Pengajaran Agama
Berkaitan dengan pengajaran agama, Neill merasa bahwa mengajar
agama bukanlah pekerjaannya. Neill sendiri menduga bahwa ia tidak
memiliki pandangan yang pasti tentang pengajaran agama kepada anak‐
anak, meski ia punya dugaan yang sangat samar‐samar tentang apa arti
agama. Sebagai seorang guru, Neill tidak bisa mendorong anak‐anak untuk
memeluk suatu agama, tapi ia dapat mencegah mereka agar tidak dengan
bodoh menjadi berpandangan sempit. Namun, pada pokoknya, sebagai
guru, dia cukuplah menjadi seorang Nietzschean 55 yang memerotes
pengajaran yang membuat anak‐anak menjadi penurut dan rendah diri [bdk.
Hardiman, 2004, 258]. Pengajaran agama, menurut Neill, cenderung
dimaksudkan untuk mengajarkan orang bagaimana cara untuk mati. Ini
bertentangan dengan tujuan pendidikan (yang ingin Neill tuju), yakni
54
Every Scots schoolboy thinks that Edward I of England was a sort of thief and bully rolled into one ... .
Edward’s greatness as a lawgiver is ignored; at least we ought to give him credit for his statesmanship in
making an attempt to unite England, Scotland, and Wales.
55
Menjadi seorang Nietzschean di sini, dalam pembacaan saya, berarti bahwa dia terinspirasi untuk
mengikuti Nietzsche yang “termashyur sebagai orang yang paling sengit mengoyak-koyak segala sesuatu
yang dinilai suci dan luhur dalam agama Kristen dan kebudayaan Barat” [Hardiman, 2004, 258].
41
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
mengajarkan kepada anak‐anak bagaimana caranya untuk hidup. Bagi Neill,
inilah agama yang sesungguhnya.
Rangkuman
Dalam A Dominie’s Log, Alexander Sutherland Neill merumuskan
konsep‐konsep dasar pendidikan dan aplikasinya di Sekolah Gretna Green,
Skotlandia, dan nantinya dikembangkan di Sekolah Summerhill. Neill
menyadari bahwa bagian terpenting dalam pendidikan bukanlah apa saja
yang diajarkan, bagaimana metodenya, dan peraturan‐peraturan apa saja
yang harus ditaati oleh para siswa. Jika ketiga hal itu yang diutamakan, maka
yang terjadi adalah bahwa anak‐anak akan menjadi generasi yang sama saja
dengan generasi sebelumnya. Dengan perkataan lain, setiap anak di
kemudian hari akan memiliki suatu kepribadian artifisial yang diciptakan dari
luar dirinya. Justru di sinilah permasalahan yang ingin diangkat oleh Neill.
Yang paling penting dan utama dalam pendidikan adalah si anak
sendiri yang ingin belajar di sekolah. ‘Diri’ dari si peserta pendidikan – anak‐
anak – menjadi pijakan awal dalam menjalani kehidupan sebagai tujuan
utama dari pendidikan menurut Neill. Diri di sini ditekankan dari konsep‐
konsep Neill tentang sikap hidup, swa‐disiplin, dan kebebasan. Dengan
menemukan dan memiliki sikap hidup, anak akan mampu membongkar
semua konvensi, ketakhayulan, dan kemunafikan di sekitarnya. Maka, ego
ditekankan sebagai hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hidup
seorang anak demi kehidupan itu sendiri.
42
Konsep‐konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill
43
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
KAJIAN FILOSOFIS ATAS PENDIDIKAN
SUMMERHILL
Kebebasan menjadi semboyan pokok dalam model pendidikan
Summerhill. Kebebasan itu tampak dari pelajaran‐pelajaran yang bersifat
fakultatif. Anak‐anak dapat mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran‐
pelajaran, bermain‐main atau melakukan apa saja yang mereka sukai –
bahkan bertahun‐tahun selama mereka menginginkannya. Di Summerhill,
metode pengajaran tidak terlalu dianggap penting. “Kami tidak memiliki
metode pengajaran baru, karena kami tidak menganggap bahwa pengajaran
pada dirinya sendiri sangat bermasalah” [Neill, 1993, 9]. 56
Anak yang ingin belajar akan belajar, tidak peduli bagaimana metode
yang digunakan untuk mengajar. Apakah yang dapat ditafsirkan dari
pernyataan Neill, “Dalam sekolah kami, kebebasan berarti melakukan apa
yang orang inginkan selama tidak mencampuri kebebasan orang lain”
[Keohane, 1970, 408]? 57 Dalam praktik Summerhill, anak‐anak diberi
kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri, dan itu berarti bebas dari
keputusan dan intervensi orang dewasa. “Mereka tidak diawasi dan tidak
ditunggui. Mereka dibiarkan bebas begitu saja. Tidak ada yang menentukan
pakaian apa yang harus mereka kenakan: mereka boleh mengenakan
pakaian apa pun dan kapan pun sesuka mereka” [Neill, 1993, 8]. 58 Untuk itu,
56
We have no new methods of teaching, because we do not consider that teaching in itself matters very much.
57
In our school, freedom means doing what you like so long as you do not interfere with the freedom of
others.
58
The pupils do not have to stand room inspection and no one picks up after them. They are left free. No one
tells them what to wear: they put on any kind of costume they want to at any time.
44
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
59
In order to do this, we had to renounce all discipline, all direction, all suggestion, all moral training, all
religious instruction.
60
The function of the child is to live his own life – not the life that his anxious parents think he should live,
nor a life according to the purpose of the educator who thinks he knows what is best. All this interference
and guidance on the part of adults only produces a generation of robots.
45
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
1. Kebaikan Alami Anak
Gagasan Neill mengenai kebebasan ini tidak lepas dari premis yang
mendasari seluruh filsafat Neill, yakni keyakinannya akan sifat‐sifat dasar
atau alami anak, yang dikenal dengan ide tentang kebaikan alami anak. Ide
tentang kebaikan alami anak ini membuat Neill mendukung apa yang
tampak sebagai kebebasan yang luas cakupannya bagi si anak. Neill
mengatakan,
“Kami mendirikan sekolah yang di dalamnya kita harus
membiarkan anak‐anak bebas menjadi diri mereka sendiri.
Semua yang dibutuhkan untuk mewujudkan itu adalah bahwa
kami memiliki keyakinan utuh tentang anak sebagai makhluk
baik, bukan jahat. Selama lebih dari 50 tahun, kepercayaan ini
tidak pernah luntur; justru makin menjadi keyakinan akhir
kami” [Neill, 1993, 9]. 61
Neill tidak percaya bahwa rata‐rata anak lahir sebagai automaton 62 yang
lumpuh, penakut, dan tanpa jiwa, melainkan dengan kemampuan penuh
untuk mencintai dan kagum akan kehidupan [lih. Berryman, 2000, 51]. 63
Pendapat Berryman tampak jelas dalam pernyataan Neill, “seorang anak itu
secara alami bijaksana dan realistis. Jika seorang anak dibebaskan dari
segala bentuk nasehat orang dewasa, dia akan berkembang sejauh dia
mampu berkembang” [Neill, 1993, 9]. 64 Dengan keyakinan itu, Summerhill
diciptakan sebagai sebuah tempat di mana orang dihargai punya
kemampuan alami. Mereka yang ingin menjadi sarjana akan menjadi
61
Well, we set out to make a school in which we should allow children freedom to be themselves. … All it
required was what we had - a complete belief in the child as a good, not an evil, being. For fifty years this
belief in the goodness of the child has never wavered; it rather has become a final faith.
62
Automaton adalah manusia yang berperilaku seperti mesin [lih. Alwi, 2001, 77].
63
Neill does not believe that the average child is born a cripple, a coward or a soulless automaton, but with
full potentialities to love and be fascinated by life.
64
… a child is innately wise and realistic. If left to himself without adult suggestion of any kind, he will
develop as far as he is capable of developing.
46
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
65
Just a word about Summerhill pupils.
66
... to make the school fit the child – instead of making the child fit the school.
67
It was wrong because it was based on an adult conception of what a child should be and of how a child
should learn.
47
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
hariannya, hampir pasti ia akan memberikan banyak waktu untuk bermain
dan sedikit waktu untuk belajar” [Neill, 1968, 69]. 68
Mengenai permainan, Neill melihat ada kesamaan dalam siklus
kehidupan manusia dengan siklus kehidupan binatang. “Mengapa anak‐anak
manusia dan anak‐anak kucing suka bermain‐main, aku tidak tahu
jawabannya. Aku yakin bahwa hal ini berkaitan dengan masalah energi. […]
Salah satu teori yang diterima secara umum adalah bahwa anak‐anak
bermain untuk mempersiapkan diri bagi kehidupannya kelak. Jadi, ketika
seekor kucing bermain‐main dengan tali, ia mempersiapkan diri untuk
mengejar tikus” [Neill, 1993, 32]. 69
Bagi Neill, masa kanak‐kanak – bukan seperti masa orang dewasa –
adalah masa bermain‐main, dan tidak seorang anak pun pernah merasa
cukup dalam bermain. Orang dewasa cenderung mengabaikan hal ini,
karena cenderung menganggap bahwa bermain bagi kita sama saja dengan
membuang waktu [lih. Neill, 1968, 68]. 70 Neill melihat bahwa kecemasan
orang dewasa adalah akar dari penolakan orang dewasa terhadap anak‐anak
yang terlalu banyak bermain. Orang tua cemas bahwa jika anak bermain
sepanjang hari, dia tidak akan pernah belajar sesuatu dan dia tidak akan
pernah mampu menghadapi ujian‐ujian. Neill mengatakan bahwa sangat
sedikit orang yang akan menerima jawaban, “Jika anakmu bermain apa saja
yang dia suka, dia akan mampu mengerjakan ujian‐ujian masuk perguruan
tinggi setelah dua tahun belajar dengan intensif, dibandingkan belajar
68
If a free child were asked to make a timetable, he would almost certainly give to play many periods and to
lessons only a few.
69
Why children and kittens play I do not know. I believe it is a matter of energy. … the one [of many theories
about play] generally accepted being bahwa the young play in order to practise activity for later life, so
that when a kitten chases a string it is getting ready for the subsequent mouse.
70
We forget all about it – because play, to us, is a waste of time.
48
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
selama lima, enam, atau tujuh tahun seperti biasa di sekolah yang
mengabaikan permainan sebagai suatu faktor dalam hidup” [Neill, 1993,
39]. 71
Teori yang dianut dalam Summerhill, demikian pendapat Neill, adalah
bahwa seorang anak yang cukup bermain akan siap bekerja dan menghadapi
berbagai kesulitan. Neill membuktikan bahwa teorinya benar karena para
siswa senior mampu melakukan pekerjaan dengan baik bahkan ketika
melakukan banyak pekerjaan yang tidak menyenangkan [lih. Neill, 1993,
32]. 72
Permainan yang dimaksud Neill di sini bukanlah dalam pengertian
olahraga dan permainan yang terorganisir, melainkan dalam pengertian
fantasi. Dikatakan, “permainan‐permainan terorganisasi melibatkan
kecakapan, persaingan, kerjasama tim. Namun anak‐anak biasanya tidak
membutuhkan kecakapan apa pun, banyak persaingan, mampu kerjasama
tim” [Neill, 1993, 32]. Jika dibebaskan, anak‐anak cenderung menghindari
pertandingan‐pertandingan tim dan lebih menyukai permainan fantasi [lih.
Neill, 1993, 34]. 73
Kebijakan Summerhill dengan tegas menyatakan bahwa permainan
kreatif dan imajinatif adalah bagian hakiki dari masa kanak‐kanak dan
71
Hundreds of times I have heard the anxious query, ‘But if my boy plays all day, how will he ever learn
anything; how will he ever pass exams?’ Very few will accept my answer, ‘If your child plays all he wants
to play, he will be able to pass college entrance exams after two years’ intensive study, instead of the usual
five, six, or seven years of learning in a school that discounts play as a factor in life.’
72
The Summerhill theory is that when a child has played enough he will start to work and face difficulties,
and I claim that this theory has been vindicated in our old pupils’ ability to do a good job even when it
involves a lot of unpleasant work.
73
When children are free they tend to bypass team games in favour of, for want of a better name, fantasy
play.
49
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
perkembangan diri anak. Permainan yang secara spontan dan alami muncul
tidak seharusnya dirusak atau dialihkan oleh orang dewasa menjadi
pengalaman‐pengalaman belajar. Permainan adalah milik anak. 74 Bagi Neill,
permainan imajinatif, spontan dan alami yang muncul dari si anak sendiri
adalah permainan sejati anak‐anak.
3. Swa‐atur [Self‐regulation]
Pemikiran mengenai kebebasan dalam pendidikan Summerhill itu juga
terkait dengan pemikiran Neill mengenai swa‐atur [self‐regulation]. Swa‐atur
sendiri merupakan implikasi dari keyakinan akan sifat dasar manusia, sebuah
keyakinan bahwa tidak ada dan tak pernah ada dosa asal [lih. Neill, 1993, 36].
Swa‐atur bagi Neill mengimplikasikan hak seorang bayi untuk hidup dengan
bebas tanpa otoritas dari luar dalam hal‐hal jasmani dan rohani. Misalnya
bahwa bayi akan minum ASI ketika lapar; bahwa bayi akan memiliki
kebiasaan‐kebiasaan bersih hanya ketika ia menginginkannya; bahwa bayi
tidak akan pernah diserang atau ditampar; bahwa bayi akan selalu dicintai
dan dilindungi. 75 Dengan perkataan lain, swa‐atur berarti perilaku yang
berasal dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Gagasan tentang
swa‐atur ini merupakan perkembangan dari gagasan Neill tentang swa‐
disiplin [self‐discipline]. 76
74
Creative and imaginative play is an essential part of childhood and development. Spontaneous, natural
play should not be undermined or redirected by adults into learning experiences. Play belongs to the child
[Summerhill Policy Statement].
75
Self-regulation implies a belief in human nature, a belief that there is not, and never was, original sin. Self-
regulation means the right of the baby to live freely, without outside authority. It means that the baby feeds
when it is hungry; that it becomes clean in habits only when it wants to; that it is never stormed at nor
spanked; that it shall always be loved and protected.
76
Gagasan tentang swa-disiplin ini oleh Neill dituliskan dalam buku catatan hariannya sebagai Kepala
Sekolah Gretna Green, Skotlandia, yakni A Dominie’s Log.
50
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
4. Ketulusan
Ketulusan adalah salah satu karakteristik yang utama dalam model
pendidikan Summerhill. Neill melihat bahwa satu hal yang sangat mencolok
dalam Summerhill adalah ketulusan sepenuhnya di antara para siswa.
Urusan memiliki ketulusan dalam dan bagi kehidupan sangatlah vital. Ini
adalah hal yang paling vital di dunia. Jika anak memiliki ketulusan, semua
kebaikan lain akan bertambah dengan sendirinya pada dirinya. Penemuan
terhebat yang Neill lakukan di Summerhill adalah bahwa seorang anak lahir
sebagai makhluk yang tulus [lih. Neill, 1993, 46]. 77
Ketulusan ini tidak bisa dilepaskan dari kebebasan karena kebebasan
ini menjadi jalan bagi anak melakukan apa saja dengan tulus, tampil apa
adanya dan tidak dibuat‐buat. Neill sendiri mengatakan, “Kebebasan itu
perlu bagi anak karena hanya dalam kebebasan dia dapat bertumbuh
dengan caranya yang alami – cara yang baik. Aku melihat hasil
ketidakleluasaan dalam diri para siswa baru yang datang dari sekolah‐
sekolah lain. Mereka itu penuh dengan ketidaktulusan, menunjukkan
kesopanan yang tidak sungguh‐sungguh dan kelakuan yang palsu” [Neill,
1993, 46]. 78
77
The most striking thing about Summerhill is this absolute sincerity among the pupils. This business of being
sincere in life and to life is a vital one. It is really the most vital one in the world. If you have sincerity, all
other things will be added to you. ... Possibly the greatest discovery we have made in Summerhill is that a
child is born a sincere creature.
78
Freedom is necessary for the child because only under freedom can he grow in his natural way – the good
way. I see the results of constraint in new pupils coming from other schools. They are bundles of
insincerity, with an unreal politeness and phoney manners.
51
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
5. Komunitas
Gagasan Neill tentang kebebasan sebenarnya sudah menjelaskan
bahwa kebebasan tetap memiliki batas‐batasnya. Ini berarti bahwa
keinginan anak tidak perlu dituruti semuanya: “setiap orang harus tahu
bahwa ada batas‐batas untuk seberapa jauh seseorang dapat melakukan apa
yang ia inginkan. Bagi Neill, tidak ada yang disebut sebagai kebebasan
penuh” [Darling, 1992, 46]. 79 Pemikirannya ini sebenarnya sudah
dikembangkan Neill sejak sebelum mendirikan Summerhill ketika ia
mengatakan bahwa ia harus menanamkan ide tentang komunitas karena
para siswa harus diberitahukan bahwa orang lain memiliki hak‐haknya [lih.
Neill, 1972, 374]. 80
Di sini, tampak jelas bahwa di satu pihak Neill tidak ingin anak‐anak
ditekan oleh kedisiplinan dari orang dewasa, tetapi di pihak lain Neill juga
tidak ingin anak‐anak menjadi manja, bebas melakukan apa saja seraya
mengabaikan kebebasan orang lain. Neill melihat bahwa kemanjaan anak‐
anak adalah akibat kebijakan yang terlalu berhati‐hati yang bertumpu di atas
dasar kegagalan untuk memahami perbedaan antara kebebasan dan izin.
Neill membedakan kebebasan menjadi dua macam, yakni kebebasan
individual dan kebebasan sosial. Kebebasan individual adalah melakukan
sesuka hati apa saja yang hanya berpengaruh pada pribadi orang tersebut
dan hanya berkaitan dengan dirinya saja, seperti yang Neill katakan: “dia
boleh main‐main sepanjang hari dan tak masuk sekolah, karena mau belajar
atau tidak adalah urusannya sendiri” [Neill, dlm. Naomi, 2004, 288]. Bagi
79
The child’s every wish need not be granted: everyone has to recognise that there are limits to how far one
can do what one wants. There is, says Neill, no such things as complete freedom.
80
I must inculcate the idea of a community; the bairns must be told that others have rights.
52
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Neill, kebebasan inilah yang harus ada untuk anak. Namun, Neill menolak
kebebasan sosial yang berlebih, sebagaimana tampak dari pernyataan
berikut: “tapi kalau dia ingin bermain terompet di ruang kelas meski tak mau
belajar, ia akan dilarang, karena mengganggu anak‐anak lain yang ingin
belajar” [Neill, dlm. Naomi, 2004, 288].
Kebebasan, bukan Licence [Boleh]
Komunitas sekolah Summerhill menentukan garis batas antara
‘kebebasan’ dan ‘licence [boleh]’, antara apa yang dianjurkan dan apa yang
tidak.
‘Boleh’ berarti bahwa seseorang boleh melanggar hak‐hak dan
kebebasan orang lain. ‘Boleh’ berarti meninggalkan hak‐hak orang lain;
dengan anak‐anak normal, ‘boleh’ secara otomatis disingkirkan oleh daya
perasaan komunitas – suatu daya paling potensial dalam setiap kumpulan
anak‐anak atau orang dewasa. Maka, cara untuk mengatasi ‘boleh’ adalah
self‐government (prinsip swakelola) [lih. Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 344].
Pemilahan antara ‘kebebasan’ dan ‘boleh’ dikembangkan Neill dalam
istilah distribusi hak yang diterapkan dalam lingkungan rumah. Dasar
pemilahan antara ‘kebebasan’ dan ‘boleh’ ini tidak lepas dari definisi tentang
kebebasan menurut Neill yang disebutkan sebelumnya. Penjelasannya
diuraikan secara skematis sebagai berikut:
1. Rumah dengan kedisiplinan: orangtua memiliki semua haknya; anak‐
anak tidak berhak atas apa pun.
2. Rumah anak manja: anak‐anak memiliki semua haknya; orangtua
tidak berhak sama sekali.
53
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
81
If a baby of three wants to walk over the dinning table, you simply tell him must not. He must obey, that’s
true. But, on the other hand, you must obey him when necessary. I get out of small children’s rooms if they
tell me to get out.
54
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
sendiri lepas dari paksaan [lih. Magnis‐Suseno, 1987, 117]. Inti universal ini
yang lalu, dalam Summerhill, diwujudkan dalam praktik swakelola.
Rapat Umum: Swakelola dan Demokrasi
Summerhill adalah sekolah dengan prinsip swakelola [self‐
government], sekolah demokratis, dan prinsip ini tertuang dalam bentuk
dalam Pertemuan Umum. “Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan sosial, atau kelompok, termasuk hukuman untuk pelanggaran
sosial, ditentukan melalui pemungutan suara dalam Pertemuan Umum
setiap Sabtu malam” [Neill, 1993, 16]. 82 Dalam Pertemuan Umum, semua
pembicaraan akademis dihindari [Neill, 1993, 19]. 83 Pertemuan Umum ini
dihadiri oleh semua staf dan semua siswa, dan semuanya memiliki hak satu
suara yang setara. “Hak suaraku memiliki bobot yang sama dengan hak
suara anak berusia tujuh tahun” [Neill, 1993, 16]. 84 Setiap kali memulai
pertemuan, dipilih seorang pemimpin pertemuan yang bertugas untuk sekali
pertemuan saja. Anak‐anak akan melakukan pemungutan suara untuk
mengundang‐undangkan suatu peraturan berdasarkan manfaat‐manfaat
yang mereka pikirkan sendiri. Dalam Pertemuan Umum tidak ada terdakwa
di Summerhill yang pernah memperlihatkan tanda‐tanda sikap
membangkang atau benci kepada pemegang otoritas komunitas. Sering kali
anak yang baru saja dijatuhi hukuman dipilih sebagai pemimpin dalam
Pertemuan Umum selanjutnya.
82
Everything connected with social, or group, life, including punishment for social offences, is settled by vote
at the Saturday night General Meeting.
83
In a General Meeting, all academic discussions are avoided. Children are eminently practical and theory
bores them.
84
My vote carries the same weight as that of a seven-year-child.
55
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Pertemuan Umum menjadi praktik swakelola, praktik demokrasi yang
berlaku bagi semua peserta, anak‐anak dan orang dewasa. “Praktik
demokrasi tidak harus menunggu sampai usia pemungutan suara, dua puluh
satu tahun – dan demokrasi semacam ini sama sekali bukanlah demokrasi;
menjadi salah satu dari ribuan orang yang mendaftarkan diri untuk
mendapatkan satu hak suara bagi seorang kandidat bukanlah demokrasi.
Dalam Summerhill, kami semuanya dapat bertemu dalam satu aula, semua
berbicara, semua menyampaikan suara dalam acara semacam rapat kota”
[Neill, 1993, 23]. 85
Demokrasi ini tidak menyisakan ketakutan dan kebencian. Namun,
pada kenyataannya, kesetaraan dalam pertemuan ini tetap diragukan dan
dipertanyakan banyak orang. Neill sendiri mengakui itu,
“Seperti perkataan orang‐orang bijak, dalam praktiknya
pendapat‐pendapat orang dewasa diperhitungkan. Bukankah
anak usia enam tahun menunggu dulu bagaimana pendapat
Anda sebelum ia mengangkat tangan untuk berpendapat? Aku
[Neill] kadang berharap demikian, karena terlalu banyak
usulanku ditolak. Anak‐anak yang bebas tidak mudah
dipengaruhi; ketiadaan rasa takut ini adalah hal terbaik yang
dapat terjadi pada diri seorang anak” [Neill, 1993, 14]. 86
Tampak bahwa prinsip swakelola ini mau menekankan juga perbedaan
antara pembatasan kebebasan dan peraturan yang disepakati bersama,
yang dalam hal ini memenuhi pengertian tatanan normatif bukan atas dasar
85
Democracy should not wait until the age of voting, twenty-one – and then it is not democracy at all; to be
one of thousands registering a vote for a candidate is not democracy. In Summerhill we can all meet in one
hall, all speak, all vote in a sort of town meeting.
86
Says the knowing one, in practice of course the voices of the grown-ups count. Doesn’t the child of six wait
to see how you vote before he raises his hand? I wish he sometimes would, for too many of my proposals
are beaten. Free children are not easily influenced; the absence of fear is the finest thing that can happen
to a child.
56
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
87
... but I can see no alternative barring dictatorship. ... In general the minority does not feel strongly about
a majority vote, and when it does it has simply to lump it.
88
I have suggested abolition twice but would not dare ever to do so again.
57
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
oleh tindakan anti‐sosial. Maka, bagi Neill, sistem demokratis ini juga
bertujuan untuk menjamin kebebasan individual anak [bdk. Neill, 1993, 27].
Kebebasan: Jalan menuju Kebahagiaan
Pemahaman Neill tentang kebebasan dalam model pendidikan
Summerhill terkait erat dengan pandangannya tentang kebahagiaan. Dalam
pandangan Neill yang dianalisis oleh Berryman, tujuan pendidikan itu sama
dengan tujuan kehidupan: tujuan pendidikan, sebagaimana tujuan
kehidupan, adalah bekerja dengan gembira dan menemukan kebahagiaan.
Neill memperluas keyakinannya ini sampai tingkat tertentu, yaitu pada
pernyataan lebih lanjut bahwa hal ini hanya dapat dicapai ketika seseorang
menjalani hidupnya sendiri [lih. Berryman, 2000, 52‐53].89
Oleh karena itu, keberhasilan dalam pendidikan Summerhill tidak
ditentukan dari pencapaian prestasi akademis, melainkan dari seberapa
mampu seorang anak menjalani hidupnya sendiri, seberapa bahagia dia
dengan dirinya dan hidupnya. Dengan mengatakan ini, Neill tidak anti‐
intelektual sebagaimana yang diklaim banyak orang, tetapi ia tidak percaya
bahwa anak harus dipaksa mengikuti jalan akademis ketika hal ini bukanlah
untuk mereka. Bagi Neill ini adalah tindakan yang menghancurkan kehendak
anak, sekaligus menghancurkan kebahagiaan masa depan mereka [lih.
Berryman, 2000, 53]. 90
89
… the aim of education is synonymous with the aim of life: the aim of education, as is the aim of life, is
to work joyfully and find happiness. Neill does to a certain degree enlarge on this belief, to further claim
that this can only be achieved when one lives one’s own life.
90
Neill is not antiintellectual as many have claimed, but does not believe the child should be forced down
an academic path when it is not for them, an action that in destroying the will of the child, destroys
their future happiness.
58
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Pendapat Neill yang terkenal adalah: “Aku lebih baik melihat sebuah
sekolah yang menghasilkan seorang tukang sapu jalanan yang bahagia
daripada seorang cendekiawan neurotis” [Neill, 1993, 5]. 91 Dalam
kesempatan lain, Neill memberi pendapatnya tentang bagaimana
kebahagiaan dapat diciptakan dalam sekolah: “bagaimana kebahagiaan
dapat dilimpahkan? Jawabanku pribadi adalah: Buang otoritas. Biarkan anak
menjadi dirinya sendiri. Jangan tekan dia. Jangan ajari dia. Jangan kuliahi
dia. Jangan beri penilaian padanya. Jangan paksa dia melakukan apa pun”
[Neill, 1968, 260]. 92 Sesuai keyakinan Neill bahwa pendidikan adalah sebuah
persiapan bagi kehidupan [Neill, 1968, 36], 93 maka, dapat dikatakan bahwa
kebebasan dari setiap bentuk intervensi orang dewasa adalah jalan paling
awal bagi anak untuk memeroleh kebahagiaan.
Kebebasan dan Kebahagiaan dalam Proses Pendidikan
Pada bagian ini, saya akan membahas secara lebih mendalam analisis
filosofis tentang konsep kebebasan dan kebahagiaan dalam proses
pendidikan. Maka, dalam bagian ini, saya akan membahas dua pokok
bahasan: (1) pemahaman tentang kebebasan dan (2) pemahaman tentang
kebahagiaan dalam proses pendidikan.
91
I would rather see a school produce a happy street cleaner than a neurotic scholar.
92
How can happiness be bestowed? My own answer is: Abolish authority. Let the child be himself. Don’t
push him around. Don’t teach him. Don’t lecture him. Don’t evaluate him. Don’t force him to do
anything.
93
Education should be a preparation for life.
59
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
1. Kebebasan dalam Proses Pendidikan
Dalam pembahasan tentang kebebasan dalam proses pendidikan,
saya akan merujuk pada pemikiran dua filsuf dengan dua aliran berbeda,
yakni Jean‐Jacques Rousseau (naturalisme atau pendidikan naturalistik) dan
John Dewey (pendidikan liberal yang terkenal dengan ‘kebebasan radikal’).
Istilah ‘naturalisme’ atau ‘pendidikan naturalistik’ sebenarnya merupakan
sebuah aliran pemikiran dari ‘pendidikan berdasarkan alam’.
‘Pendidikan berdasarkan Alam’ ini sebenarnya pertama kali bukan
dicetuskan oleh Rousseau, melainkan oleh Comenius yang lahir seratus dua
puluh tahun sebelum Rousseau [bdk. Schofield, 1972, 59]. Namun hanya
Rousseau yang melancarkan kritik dengan berapi‐api terhadap pendidikan
Renaissance yang menjadi ‘formal’ dan ‘verbal’ dan tidak menghargai
perbedaan‐perbedaaan individual [Schofield, 1972, 56‐57]. Maka,
Rousseaulah yang dikenal sebagai salah seorang pembaharu radikal dan
progresif [bdk. Gill, dlm D’Cruz, 1979, 337]. Sedangkan, istilah ‘kebebasan
radikal’ yang diaplikasikan dalam teori pendidikan merujuk pada analisis
kritis non‐Marxian atas proses pendidikan dan institusi‐institusi yang
membatasi proses tersebut. Meskipun terdapat sekumpulan karya cukup
besar tentang pendidikan non‐Marxian yang dapat digolongkan sebagai
‘radikal’, pandangan Ivan Illich, Paulo Freire, dan John Dewey sepatutnya
mewakili maksud karya tersebut [bdk. Lichtenstein, 1985, 39]. Di antara tiga
pemikir pendidikan itu, hanya Dewey yang saya pilih untuk membantu
analisis pada bagian ini dalam konteks pemikiran Neill karena seperti
Rousseau, Dewey ternyata memiliki gagasan tentang kodrat manusia yang
senada dengan ‘kebaikan alami anak’ Neill.
60
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Kebebasan dalam ‘Naturalisme’ Rousseau
Rousseau menjelaskan tentang pendidikan dalam karyanya Émile, ou
de l’education [1762] yang tersusun sebagai ‘pendidikan negatif’ – juga
disebut ‘pendidikan naturalistik’. Baginya, pendidikan akan mencegah
seorang anak agar tidak dirusak oleh masyarakat dan menjauhkannya dari
semua pengaruh yang tidak diinginkan, termasuk orang‐orang lain secara
keseluruhan [bdk. O’Hear, 1981, 7]. Memberi penjelasan demikian, Rousseau
bermaksud untuk menghindari kejahatan‐kejahatan dari masyarakat
artifisial agar kebaikan alami anak dapat bebas membuka dirinya secara
spontan. Dia menganjurkan untuk memberi kesempatan bebas bagi
perkembangan anugerah alami anak, pengolahan sifat‐sifat alami
pribadinya, kemampuan‐kemampuan alaminya, kecenderungan‐
kecenderungan alaminya. Sejak seorang anak dilahirkan dengan kebaikan
alami, insting‐insting, kecenderungan‐kecenderungan, dan perasaannya itu
harus diberi ekspresi penuh dan bebas [lih. Wilds, 1942, 384]. 94
Namun Rousseau menyadari bahwa kembali ke keadaan alamiah itu
tidak mungkin terjadi ketika manusia sudah menjadi beradab. Rousseau juga
berpendapat bahwa keadaan alamiah tidak berarti bahwa manusia lalu
mencari cara untuk menjadi orang‐orang liar yang santun dalam arti harafiah
tanpa bahasa, tanpa ikatan sosial, dan dengan kemampuan akal budi yang
belum berkembang. Melainkan, Rousseau berpendapat bahwa seseorang
yang telah terdidik dengan pantas akan terlibat dalam masyarakat, tetapi
berhubungan dengan para sesama warganegara melalui cara baru yang
94
Rousseau aims at warding off the evils of artificial society so that the natural goodness of the child may be
free to unfold itself in all its spontaneity. He proposes to give free play to the development of the natural
endowments of the child, the cultivation of its own individual nature, its own natural capacities, its own
natural inclinations. Since the child at birth is by nature good, its instincts, inclinations, and feelings are to
be given full and free expression.
61
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
62
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
bahkan ketika ia hidup di dalam masyarakat yang tidak alami dan tidak
sempurna. 97
Dari paparan singkat tentang Rousseau ini, dapat kita lihat bahwa
pertama‐tama Neill memiliki dasar pemikiran yang senada dengan
Rousseau, yakni tentang ‘kebaikan alami anak’. Dengan berpedoman pada
‘kebaikan alami anak’, seperti Rousseau, Neill juga berpendapat bahwa
secara hakiki, masyarakat, khususnya orangtua dan guru, telah
membelokkan dan merusak, merintangi dan mengondisikan, diri anak‐anak
yang menurut kodratnya baik ini. Gill [dlm. D’Cruz, 1979, 340] melihat bahwa
dengan cara yang sama dengan Rousseau Neill melihat bahwa anak‐anak
telah dibuat tidak bebas, dan tidak mampu menjadi diri mereka lagi.
Rousseau melihat bahwa pelaku kejahatannya adalah masyarakat, yang
diwakili oleh mereka yang terlibat paling dekat dengan anak‐anak. Dengan
keyakinan tentang kebaikan alami manusia, Gill mengatakan bahwa solusi
Rousseau untuk menjawab pertanyaan tentang asal‐usul kejahatan adalah
sosialisasi dosa serta pengalihan tanggung jawab dan rasa bersalah individu
ke masyarakat secara kolektif. Dengan cara yang sama, rupanya, “Neill
dengan jujur juga menyalahkan sesama” [Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 340]. 98
Jika Rousseau memandang perlunya ‘cinta‐diri’ yang tak tergantung
pada orang lain [amour de soi], Neill melihat anak‐anak harus memiliki
prinsip swa‐atur, yakni suatu kebebasan untuk menentukan hal‐hal yang ia
97
Lih. http://www.iep.utm.edu/r/rousseau.htm#SH5b. Pengajaran moral ini dapat mulai dipelajari ketika
Émile memasuki masa remaja [usia 15-20 tahun], yang juga disebut sebagai masa pendidikan intelektual
sejati dan masa pendidikan moral. Di usia lima belas tahun, akal budinya akan berkembang dengan baik,
dia akan mampu berurusan dengan emosi-emosi keremajaannya yang berbahaya, dan dengan isu-isu moral
dan agama [bdk. Rousseau, 1977, xiv].
98
Neill, in similar fashion, puts the blame squarely on others.
63
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
butuhkan atau ia inginkan. Prinsip swa‐atur ini dibutuhkan dalam pendidikan
agar anak memiliki ‘sikap hidup’ yang diperlukan dalam hidupnya. Telah
dikatakan dalam bab sebelumnya, ‘sikap hidup’ membuat anak kelak
menjadi orang yang jujur dalam melihat kehidupannya karena ia memiliki
‘pengetahuan‐diri’ sebagai bekal untuk memeroleh identitas dirinya. Oleh
karena itu, anak berkembang menjadi sadar akan apa makna hidupnya.
Akan tetapi, ada perbedaan antara Neill dan Rousseau. Perbedaannya
itu dapat dijelaskan demikian: jika Rousseau tidak melihat signifikansi pada
teknik‐teknik khusus yang paling menjamin siswa untuk menyerap informasi
dan konsep‐konsep, Neill justru masih melihat pentingnya pelajaran‐
pelajaran dengan metode‐metode yang digunakan di sekolah‐sekolah
umum meskipun Neill tidak menekankan metode secara berlebihan. Lebih
dari itu, Neill bersama staf‐staf lain pun memberikan kesempatan bagi para
siswa yang ingin masuk universitas untuk mengikuti pelajaran‐pelajaran
yang menjadi bahan ujian masuk universitas [bdk. Neill, 1993, 11]. Semua ini
menunjukkan bahwa meskipun anak dibebaskan untuk tidak mengikuti
pelajaran, Neill tetap memberikan kebebasan bagi anak‐anak yang ingin
mengikuti pelajaran, termasuk pelajaran sebagai persiapan ujian masuk
universitas bagi anak‐anak yang menginginkannya.
64
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Kebebasan Radikal menurut Dewey
Penjelasan Dewey tentang kebebasan radikal mencakup enam sub
pokok bahasan: (1) pluralitas, (2) perkembangan individu, (3) solidaritas, (4)
prinsip egaliter, (5) partisipasi, dan (6) revolusi sosial. Pertama, Dewey
menekankan pentingnya pluralitas yang mencakup berbagai ras, agama,
dan adat‐istiadat dalam lingkungan sekolah sebagai salah satu aspek
penting dalam pendidikan. Lichtenstein menganalisis [1985, 42] bahwa
Dewey melihat proses pendidikan telah “dikooptasi oleh sebuah filsafat
industrial tentang efisiensi sosial,’ dan bahwa proses pendidikan telah
didominasi oleh kepentingan‐kepentingan sempit dari sedikit orang.”
Bagi Dewey, pemusatan kekuasaan “untuk mendidik di tangan‐tangan
suatu kelas profesional yang beroperasi dalam kepentingan‐kepentingan
sebuah sistem industri telah mengakibatkan sebuah kekosongan pluralisme
yang hampir seluruhnya dalam lingkungan pendidikan” [Lichtenstein, 1985,
ibid.]. Dewey membayangkan situasi alternatif yang pluralistik lewat
pemaparan berikut: “percampurbauran kaum muda dari ras‐ras berbeda,
agama‐agama berbeda, dan adat‐istiadat yang tidak sama di sekolah
menciptakan sebuah lingkungan yang baru dan lebih luas bagi semua orang”
[Lichtenstein, 1985, 42]. 99
Kedua, Dewey memandang bahwa pendidikan tidak seharusnya
melakukan penindasan atas inteligensi siswa. Sebaliknya, pendidikan adalah
pembebasan bagi setiap perkembangan individu yang terarah pada
99
Dewey saw that the education process had been “co-opted by an industrial philosophy of social
efficiency,” and that it had come to be dominated by the narrow interests of the few. The centralization of
the power to educate in the hands of a professional class operating in the interests of an industrial system
has resulted in an almost total absence of pluralism in the sphere of education. The pluralistic alternative
to this situation is best described by Dewey: […] The intermingling in the school of youth of different
races, differing religions, and unlike customs for all a new and broader environment.
65
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
kemajuan sosial [bdk. Keohane, 1970, 404]. Dewey mengamati dan melihat
suatu bentuk penurunan‐diri yang menghambat perkembangan manusia.
Dalam pendapat Lichtenstein [1985, 43], meskipun kritik‐kritik Dewey
ditujukan pada situasi kelas pada akhir abad ke‐19 dan awal abad ke‐20,
namun kritik‐kritik itu berlaku juga pada situasi kelas dewasa ini,
“Sentralisme birokrasi menempatkan guru dalam hubungan kepatuhan
dengan administrasi dan kontrol terhadap proses pendidikan berada di luar
guru. Dewey juga melihat bahwa penindasan tidak demokratis atas
individualitas para guru terkait dengan penindasan terhadap inteligensi para
siswa” [Lichtenstein, 1985, 43]. 100
Dalam pendapat Lichtenstein, Dewey “secara konsisten
memertimbangkan pendidikan, secara ideal, sebagai ‘sebuah pembebasan
kemampuan individu dalam suatu pertumbuhan progresif yang tertuju pada
tujuan‐tujuan sosial,’ yang adalah cita‐cita kooperatif manusia beserta hasil‐
hasilnya” [lih. Lichtenstein, 1985, 43]. 101
Sedangkan, terkait dengan perkembangan individu manusia, Keohane
[1970, 402] berpendapat bahwa ide Dewey tentang kodrat manusia jauh
lebih cocok dengan pandangan Rousseau dan Neill dibandingkan dengan
teologi Calvinis, tempat ketiga orang itu pernah dididik. Mengapa? Karena,
sekolah yang berpusat‐pada‐anak yang didasarkan atas kebutuhan‐
kebutuhan dan minat‐minat anak sendiri dan yang dicurahkan pada
pertumbuhan anak sepenuhnya sebagai individu yang lengkap, ekspresif,
100
Bureaucratic centralism puts the teacher in a subservient relationship with the administration and
externalizes the control of the educational processes outside of the teacher. Moreover, the “undemocratic
suppression of the individuality of teachers,” Dewey said, “is linked to a suppression of the intelligence of
students.”
101
Dewey consequently regarded education, ideally, as “a freeing of individual capacity in a progressive
growth directed to social aims,” where these aims were “cooperative human pursuits and results.”
66
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
dan unik tidak pernah dapat dipahami oleh orang yang menerima apa yang
wajib ribuan anak hafalkan dari Katekismus Heidelberg [Keohane, ibid.].
Dengan itu, Keohane maksudkan: “Aku secara alami diarahkan untuk
membenci Allah dan sesamaku, mudah jatuh pada semua kejahatan dan
tidak mampu berbuat kebaikan apa pun” [Ibid.].102 Meskipun demikian, bagi
Dewey, perkembangan manusia tidaklah seperti keyakinan Neill, yaitu
bahwa seorang anak yang tumbuh dengan caranya sendiri itu tidak mampu
berbuat kejahatan [lih. Keohane, 1970, 402]. Perkembangan manusia juga
ditentukan oleh kebiasaan‐kebiasaan yang terbentuk secara sosial.
Sementara itu, akal budi berkembang atas dasar kebiasaan, dan bahasa
yang memungkinkan terjadinya komunikasi, adalah contoh yang paling jelas
dari sangat pentingnya peran sosial [bdk. Keohane, 1970, 402].
Ketiga, Dewey menekankan pentingnya solidaritas antarsiswa yang
berasal dari kelas‐kelas sosial berbeda yang tergabung dalam sebuah
komunitas. Ini karena bagi Dewey, sebagaimana dicatat oleh Lichtenstein
[1985, 43‐44], sistem pendidikan dipelihara oleh sebuah masyarakat berkelas
yang di dalamnya “pengaruh‐pengaruh mendidik sebagian menjadi majikan,
sebagian lain menjadi budak. Dan pengalaman masing‐masing golongan
kehilangan makna, ketika interaksi bebas dari macam‐macam pengalaman
hidup itu dihalangi.” Dalam analisis Lichtenstein [Ibid.], Dewey mengimpikan
sebuah komunitas di mana kelompok‐kelompok yang terpisah, dengan
berbagai pandangan dunia yang bertentangan, dapat berbagi pengetahuan
mereka dalam sebuah proses “rekonstruksi pengalaman” yang
102
Dewey’s idea of human nature is surely far more congenial to Rousseau and to Neill than to the Calvinist
theology in which all three were reared. Dewey’s child-centered school – based on the child’s own needs
and interests and devoted to his full growth as a complete, expressive, unique individual – could never
have been conceived by one who accepted what thousands of children have been obliged to recite from the
Heidelberg Catechism: “I am by nature inclined to hate God and my neighbor, prone to all evil and
incapable of any good.”
67
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
103
... “influences which educate some into masters, educate some into slaves. And the experience of each
party loses in meaning, when the free interchange of varying modes of life-experience is arrested.” Dewey
envisions a community in which separate groups, with conflicting views of the world, can share their
knowledge in a continual process of “reconstructing experience.”
104
“School facilities must be secured of such amplitude and efficiency as will in fact and not simply in name
discount the effects of economic inequalities, and secure to all the wards of the nation equality of
equipment for their future careers.” Even more poignantly, Dewey asserted that it is a “flat hostility to the
ethics of modern life to suppose that there are two ends of life located on different planes; that the few
who are educated are to live on a plane of exclusive and isolated culture, while the many toil below on the
level of practical endeavor directed at material commodity.
68
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
105
Dewey’s participatory ideal was a social and educational alternative that would do away with the class
divisions which defined contemporary educational institutions. He envisioned a society in which the
division of mental and physical labor, reflected in the division between liberal and vocational education,
would be eliminated. What was required was a Freireian praxis education: “The problem of education in
a democratic society is to do away with [this] dualism and to construct a course of studies which makes
thought a guide of free practice for all. …”
106
Science has been captured by industry and made to serve dehumanizing purposes. However, to Dewey,
science can be progressive and humane. It can liberate people’s minds and create new knowledge and
extend the boundaries of our creative capacities. “Science marks the emancipation of mind from devotion
69
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Dari pembahasan tentang “kebebasan radikal” pendidikan dalam
enam butir pemikiran Dewey, kita akan melihat “kebebasan radikal” dalam
proses pendidikan menurut Neill yang akan saya jabarkan juga dalam enam
butir. Pertama, Neill secara tidak langsung juga menekankan pentingnya
pluralitas dalam proses pendidikan, sebagaimana Neill mengatakan: “Anak‐
anak tidak perlu diajarkan tentang toleransi ras ketika mereka hidup dalam
semacam keluarga besar antar‐ras” [Neill, 1993, xxii]. 107 Dalam catatannya,
Neill juga menambahkan: “Selama tiga puluh tahun, kami pernah memiliki
siswa‐siswa dari Norwegia, Swedia, dan Denmark – kadang‐kadang dua
puluh orang sekali waktu. Kami juga pernah memiliki siswa‐siswa dari
Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Kanada [Neill, 1968, 91]. 108
Bahkan, pernah sepertiga dari semua anak Summerhill berasal dari Jepang
[Neill, 1993, xxiii], dan banyak anak berkebangsaan Amerika [Neill, 1993,
143]; pernah juga ada yang dari Indonesia [Appleton, 1992, 4]. Selain itu,
Neill menekankan pentingnya kebebasan beragama, karena baginya,
persoalannya bukanlah agama yang dianut, mampu beriman atau tidak,
melainkan bagaimana mendukung kebebasan manusia dan menghapus
penindasan kebebasan manusia [lih. Neill, 1993, 121]. Meskipun demikian
beragam asal negara, kebangsaan, ras, dan agama mereka, mereka semua
adalah warga Summerhill.
Kedua, tentang perkembangan individu, sejak awal, Neill menekankan
pentingnya perhatian utama pada anak dalam proses pendidikan. Dalam hal
to customary purposes and makes possible the systematic pursuit of new ends. It is the agency of progress
in action.”
107
Children do not need to be taught about racial tolerance when they are in a sort of extended family that is
an inter-racial group.
108
For thirty years, we have had pupils from Norway, Sweden, and Denmark - sometimes twenty at a time.
We have also had pupils from Australia, New Zealand, South Africa, and Canada.
70
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
ini, telah dikatakan, Neill memiliki pandangan tentang kodrat alami manusia
yang senada dengan Dewey. Seperti halnya Dewey, Neill juga memiliki
keprihatinan akan kooptasi proses pendidikan, namun berbeda dengan
Dewey, Neill cenderung menyoroti kooptasi tersebut dilakukan oleh
masyarakat Inggris dengan nilai‐nilai sebagai represi, pendidikan moral, dan
pengajaran agama yang ketinggalan zaman [lih. Keohane, 1970, 404].
Namun, bagi Dewey, perkembangan manusia bukanlah seperti yang diyakini
Neill bahwa anak dibebaskan untuk berkembang secara alami sesuai dengan
kemampuannya, melainkan bahwa pertumbuhan intelegensi anak terarah
pada tujuan‐tujuan sosial. Memang Neill secara khusus lebih memerhatikan
perkembangan individual anak untuk siap menjalani kehidupannya sendiri di
masa depan. Meskipun demikian, Neill sesungguhnya tetap memerhatikan
signifikansi pendidikan anak yang mengarahkannya untuk memerhatikan
kepentingan sosial yang tampak dalam prinsip swakelola dengan pertemuan
umumnya. Dalam prinsip ini, dimensi sosial sangat ditekankan melalui
mekanisme demokratis yang memungkinkan anak‐staf mampu memiliki hak
suara yang setara. Kelakuan anti‐sosial juga dibahas dan diatasi bersama‐
sama dalam pertemuan ini. Maka, tidak ada yang disebut dengan
‘kebebasan sosial’ atau ‘izin’ untuk melakukan segalanya sewenang‐wenang
tanpa memerhatikan kepentingan orang lain di Summerhill.
Ketiga, berbeda dengan Dewey yang menyadari pentingnya
solidaritas antarkelas sosial dalam diri para siswa, Neill tidak secara khusus
menyoroti signifikansi solidaritas semacam itu. Neill lebih menyoroti anak‐
anak ‘bermasalah’ akibat pendidikan umum yang cenderung mendikte dan
menekan. Neill tampaknya hanya ingin berupaya mencari cara untuk
‘menyembuhkan’ mereka, yakni melalui kebebasan sebagai faktor aktif
71
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
‘penyembuhan’ ini [lih. Neill, 1993, 6]. Maka, solidaritas yang ditekankan
adalah solidaritas terhadap anak‐anak yang bermasalah akibat tekanan dan
belenggu orang dewasa.
Keempat, seperti Dewey, Neill juga menekankan pentingnya
egalitarianisme, namun sasaran dari sistem egaliter yang dimaksud oleh
kedua tokoh pendidikan ini berbeda. Jika Dewey mencita‐citakan proses
pendidikan dengan sebuah sistem sosial egaliter yang memungkinkan setiap
orang memiliki akses sama terhadap sumber‐sumber pendidikan, Neill
menekankan pentingnya sistem sosial egaliter antara guru dan siswa dalam
proses pendidikan. Bagi Neill, signifikansi egalitarianisme terletak dalam
pembentukan komunitas dengan prinsip swakelola.
Kelima, bagi Neill, partisipasi individual anak sudah diperhitungkan
sejak awal masuk Summerhill, yakni bagaimana anak dibebaskan untuk
mengikuti pelajaran apa pun, atau tidak mengikuti pelajaran apa pun, dan
untuk melakukan kegiatan apa pun, sesuai dengan kebutuhan mereka
masing‐masing tanpa anjuran orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk
merancang pendidikannya sendiri [prinsip swa‐atur].
Keenam, berbeda dengan Dewey, Neill tidak memandang pendidikan
sebagai pendukung sebuah transformasi sosial demi masa depan yang
humanistis. Akan tetapi, bagi Neill, pendidikan itu bertujuan agar anak
memeroleh kebahagiaan dalam hidupnya di masa depan. Neill melihat
bahwa proses humanisasi melalui pendidikan itu pertama‐tama terjadi pada
diri anak itu sendiri. Maka, menurut Neill, ukuran dari keberhasilan proses
pendidikan yang humanistis adalah kebahagiaan anak.
72
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Dari seluruh penjabaran di atas, dapat dikatakan, di samping memiliki
kesamaan dengan Rousseau dan Dewey, Neill memiliki perbedaan mendasar
dalam proses pendidikan dengan kedua filsuf tersebut. Seperti Rousseau,
Neill menekankan keberpusatan‐pada‐anak [child‐centeredness] dalam
proses pendidikan dengan mengangkat ‘kebaikan alami anak’, sehingga
diperlukan pembebasan anak dari pengaruh masyarakat dalam pendidikan
yang memberi paksaan dan tekanan dari luar. Kebebasan itu diberikan agar
anak mampu menentukan sendiri apa yang ingin dia lakukan. Akan tetapi,
Neill tetap menyediakan pelajaran‐pelajaran seperti sekolah‐sekolah umum,
karena memang sebagian anak ingin belajar. Kemudian, dengan Dewey,
Neill juga memiliki kesamaan, khususnya dalam pemahaman tentang kodrat
manusia, namun Neill tidak mengarahkan perkembangan manusia itu
semata‐mata demi tujuan‐tujuan sosial. Bagi Neill, sikap dan kelakuan sosial
akan muncul dengan sendirinya ketika anak‐anak disembuhkan dari tekanan
orang dewasa dan bahagia dengan dirinya dan hidupnya.
Kebahagiaan dalam Proses Pendidikan
Kebahagiaan merupakan bagian yang penting dalam proses
pendidikan dan perkembangan hidup manusia. Apa itu kebahagiaan dalam
kaitannya dengan proses pendidikan? Atau, bagaimana korelasi antara
kebahagiaan dan proses pendidikan manusia? Pada pokok pembahasan ini,
untuk menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan dalam konteks
pendidikan Neill, saya akan merujuk sedikit ke pemikiran Aristoteles dan
Rousseau.
73
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
109
“For we choose happiness for itself, and never with a view to anything further; whereas we choose honor,
pleasure, intellect … because we believe that through them we shall be made happy.” But, he realizes that
to call happiness the supreme good is a mere truism; what is wanted is some clearer account of the nature
of happiness, and the way to it.
110
The chief condition of happiness, then barring certain physical pre-requisites, is the life of reason – the
specific glory and power of man. Virtue, or rather excellence, will depend on clear judgment, self-control,
symmetry of desire, artistry of means; it is not the possession of the simple man, nor the gift of innocent
intent, but the achievement of experience in the fully developed man.
74
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
111
… ‘decreasing the difference between our desires and our powers, in establishing a perfect equilibrium
between the power and the will’.
112
The happiness and well-being of children depend on the degree of love and approval we give them.
75
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
113
Neill believes the aim of education is synonymous with the aim of life: the aim of education, as is the aim
of life, is to work joyfully and find happiness. Neill does to a certain degree enlarge on this belief, to
further claim that this can only be achieved when one lives one’s own life.
76
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
kebencian, rasa sakit pada badan dan jiwa. [bdk. Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 339].
Neill menambahkan, cinta dan restu akan menyembuhkan kebanyakan anak
muda yang anti‐sosial [Neill 1968, 260]. “Aku telah membuktikan dengan
tindakan bahwa kebebasan dan tidak adanya kedisiplinan moral telah
menyembuhkan banyak anak yang masa depannya sebelumnya tampak
sebagai sebuah kehidupan dalam penjara” [Neill, 1968, 260]. 114 Maka,
kebahagiaan anak dalam proses pendidikan itu sangat penting karena
kebahagiaan adalah sebuah keadaan di mana anak tidak lagi berkelakuan
anti‐sosial tetapi memiliki sikap dan tindak‐tanduk yang juga memerhatikan
kepentingan‐kepentingan sosial.
Lalu muncul pertanyaan: ketika menyadari bahwa ia berbeda dengan
anak‐anak dari sekolah lain, apakah anak ‘bermasalah’ tetap bahagia?
Menjawab pertanyaan ini, Neill menyampaikan sebuah contoh tentang
kasus Mervyn, yang antara usia tujuh dan tujuh belas tahun hampir tidak
mengetahui bagaimana membaca karena tidak pernah mengikuti satu kelas
pun. Ketika meninggalkan Summerhill dan memutuskan menjadi pembuat
alat perkakas, dia dengan cepat belajar bagaimana membaca dan dalam
waktu singkat menyerap semua pengetahuan teknis yang dia butuhkan
melalui pembelajaran diri. Selanjutnya, Mervyn dewasa pantas dikagumi dan
menjadi orang sukses. Dari contoh ini, pertama‐tama jelas bahwa Mervyn
sebagai seorang anak yang tidak bisa membaca sampai usia tujuh belas
tahun berbeda dengan anak‐anak lain dari sekolah lain yang bisa membaca.
Namun Mervyn yang sukses sebagai ahli perkakas ketika dewasa
menandakan bahwa anak ‘bermasalah’ di Summerhill tetap bahagia
meskipun berbeda dengan anak‐anak lain sebayanya dari sekolah lain.
114
I have proved in action that freedom and the absence of moral discipline have cured many children whose
future had appeared to be a life in prison.
77
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Rangkuman
Peradaban, kebudayaan, dan struktur masyarakat, yang diperankan
oleh orang‐orang dewasa, telah merusak, menekan, menindas, dan
mengasingkan individu‐individu manusia di dalamnya, khususnya anak‐
anak. Mereka telah dibuat terbelenggu dan tidak bebas; mereka telah
diintervensi oleh orang‐orang dewasa sehingga menjadi generasi robot yang
tidak tahu arah. Melihat hal ini, dengan hasrat untuk melepaskan belenggu
orang dewasa pada anak‐anak, Neill membangun Sekolah Summerhill yang
menekankan pentingnya kebebasan dari pengaruh masyarakat.
Kebebasan yang menjadi semboyan bagi model pendidikan
Summerhill artinya bermakna melakukan apa yang orang inginkan selama
tidak mengganggu kebebasan orang lain. Implikasinya adalah bahwa anak
bebas dari segala bentuk intervensi orang dewasa – semua kedisiplinan,
petunjuk, anjuran, pendidikan moral, dan pengajaran agama. Dasar dari
kebebasan ini adalah gagasan mengenai kebaikan alami manusia [anak]:
anak pada dasarnya baik, tidak jahat; dia akan berkembang secara alami jika
dilepaskan dari pengaruh orang dewasa. Cara alami perkembangannya
adalah melalui permainan yang lebih menekankan fantasi. Fase bermain ini
penting karena merupakan persiapan anak untuk mampu menjalani hidup
dengan berbagai kesulitan di masa depan. Kebebasan membawa swa‐
disiplin dan swa‐atur. Karakteristik paling utama dari kebebasan model ini
adalah ketulusan yang dipandang Neill sebagai hal paling vital dalam
kehidupan di dunia. Akan tetapi kebebasan dalam model pendidikan
Summerhill ini bersifat terbatas; batasannya terletak pada komunitas
sehingga orang tidak bisa seenaknya mengganggu kebebasan orang lain.
78
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Maka, kebebasan bukanlah sebuah izin untuk melakukan apa saja sesuka
hati tanpa memerhatikan eksistensi orang lain. Implikasi dari pernyataan ini
adalah prinsip swakelola melalui kegiatan Rapat Umum, di mana ditekankan
kesamaan hak untuk berpendapat dan mengambil keputusan berdasarkan
suara mayoritas terhadap berbagai persoalan komunal. Maka dari itu,
dengan menjalankan kebebasan model pendidikan Summerhill, anak akan
memeroleh kebahagiaan setelah mendapatkan ruang untuk memutuskan
apa yang ingin dilakukan dan untuk mampu memerhatikan kebutuhan
teman‐temannya dalam komunitas. Kebahagiaan adalah dasar pendidikan
sekaligus tujuan dari pendidikan yang sama dengan tujuan dari kehidupan.
Dengan melihat pemikiran Rousseau tentang kebahagiaan dan Dewey
tentang kebebasan radikal dalam proses pendidikan, dengan jelas dapat
dikatakan bahwa Neill menginginkan proses pendidikan yang berpusat‐
pada‐anak [child‐centered]. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan
‘kebaikan kodrati’ dari dalam diri anak dengan memberi kebebasan anak
untuk mengikuti pelajaran atau tidak sesuai dengan minatnya. Karena itu,
secara khusus, proses pendidikan yang Neill kembangkan tidak
mengarahkan perkembangan anak demi tujuan‐tujuan sosial. Pendidikan
sekaligus proses penyembuhan bagi ‘anak bermasalah’ agar memeroleh
kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagai sesuatu yang dicari demi dirinya
karena merupakan nilai tertinggi, bagi Neill, kebahagiaan muncul akibat
perasaan dicintai dan direstui, dan kebahagiaan merupakan suatu keadaan
bahwa anak juga memerhatikan kebutuhan‐kebutuhan sesamanya dan tidak
lagi bertingkah laku anti‐sosial. Dengan demikian, kebahagiaan berarti
kesiapan anak untuk menjalani hidupnya di masa depan, sekalipun berbagai
kesulitan berdatangan.
79
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN A. S. NEILL
Dalam bab ini, saya akan membahas tanggapan‐tanggapan atas
pemikiran A. S. Neill yang terwujud dalam model pendidikan Sekolah
Summerhill. Tanggapan‐tanggapan ini saya sajikan berdasarkan butir‐butir
pemikiran Neill yang menjadi landasan pendekatan pendidikan Summerhill,
yakni: pemikiran tentang (1) self‐regulation (swa‐atur) dan (2) self‐
government (swakelola). Dalam menguji seberapa memadai dua butir
pemikiran tersebut, saya menyertakan tiga pemikir pendidikan, seperti
Robin Barrow dan Ronald Woods 115 dalam kajian tentang “swa‐atur”, serta
John Darling 116 dalam kajian tentang “swakelola”. Mereka bertiga
memberikan kajian filosofis secara khusus atas pemikiran Neill dalam
pendidikan Summerhill. Kemudian, saya juga akan menyertakan tanggapan
praktis dan kritik dari pihak inspektorat pendidikan Inggris OFSTED
terhadap model pendidikan Summerhill.
115
Robin Barrow adalah seorang Profesor Pendidikan di Universitas Simon Fraser, British Columbia. Dia
adalah penulis buku-buku seperti The Philosophy of Schooling, Radical Education, Common Sense and
the Curriculum, Giving Teaching back to Teachers, dan sebagai penulis rekanan dengan Geoffrey Milburn
dalam buku A Critical Dictionary of Educational Concepts. Sedangkan, Ronald Woods pernah menjadi
Dosen Senior Filsafat Pendidikan di Universitas Leicester hingga akhir-akhir ini. Dia sekarang menjadi
editor dari buku Education and its Disciplines. Mereka berdua menjadi penulis rekanan untuk buku An
Introduction to Philosophy of Education.
116
John Darling adalah Dosen Pendidikan di Universitas Aberdeen, Inggris. Dia pernah mengajar filsafat dan
pendidikan di berbagai universitas dan perguruan tinggi, dan juga pernah mengajar di sekolah-sekolah
dasar. Dia telah menerbitkan banyak artikel tentang filsafat pendidikan dasar dan tentang teori-teori
pengajaran dan pembelajaran yang berpusat pada anak.
81
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
1. Prinsip Swa‐atur (Self‐Regulation)
Pada bagian ini, saya akan melihat tanggapan kritis dari Barrow dan
Woods 117 mengenai prinsip ‘swa‐atur’ yang dikembangkan Neill dalam
model pendidikan Summerhill.
a. Prinsip Swa‐atur
Telah dikatakan sebelumnya, bagi Neill, ‘swa‐atur’ adalah hak anak
untuk hidup dengan bebas tanpa otoritas dari luar dalam hal‐hal baik psikis
maupun jasmani. Artinya, anak makan ketika ia lapar; ia bersih dalam
kebiasaan‐kebiasaannya hanya ketika ia menginginkannya; ia tidak pernah
diserang atau ditampar. Dengan mengambil contoh dari Neill, hal ini berarti,
misalnya, ketika anak perempuannya masuk ke dalam masa berminat besar
terhadap kacamatanya, lalu mengambil kacamata itu dari hidungnya untuk
melihat seperti apa bentuknya, Neill ‘tidak memerotes’, dan anak itu
dibolehkan bermain dengan benda yang mudah pecah. Jika anak‐anak
memasuki suatu masa mencuri, mereka seharusnya bebas menjalaninya,
dan mereka seharusnya bebas untuk memilih tidak mengikuti pelajaran‐
pelajaran sekolah jika mereka memilihnya. Implikasinya, ‘swa‐atur’ berarti
kebebasan utuh seseorang untuk menentukan hidupnya sendiri, dan Neill
menganggap konsep ini juga berlaku bahkan untuk anak‐anak. Bagi Barrow
dan Woods, ada dua kekeliruan di sini: pertama, selain kutipan di atas, Neill
tidak mengartikan ‘swa‐atur’ seperti itu. Artinya, Neill hanya melakukannya
sebagai alternatif, tetapi dia sebetulnya tidak percaya bahwa anak‐anak
melakukan ‘swa‐atur’ atau ‘mengatur‐diri’. Kedua, jika hal ini berarti ‘swa‐
117
Untuk selanjutnya, agar tidak terlalu panjang, saya hanya akan menggunakan satu nama ‘Barrow’ untuk
mewakili Barrow dan Woods.
82
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
atur’, maka pernyataan bahwa bayi atau anak‐anak dapat ‘swa‐atur’ itu
absurd [Barrow, 1988, 101‐102].
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seorang bayi yang ‘swa‐atur’?
Barrow menjelaskan, “orang dewasa yang ‘mengatur‐diri’ atau
‘menentukan‐diri’ adalah orang yang menentukan keputusan‐keputusannya
sendiri, dan tidak tunduk pada setiap pembatasan kebebasan untuk
melakukannya. Namun memutuskan sesuatu dalam setiap pengertian,
bahkan keputusan yang buruk dan bodoh sekalipun, menurut definisinya
menyangkut suatu tingkat kemampuan kognitif” [Barrow, 1988, 102]. 118
Dari sini, bagi Barrow, menentukan sebuah cara bertindak bagi setiap
orang berarti merefleksikan pilihan‐pilihan yang ada, menimbang‐nimbang
dan memilih salah satu. Orang yang cenderung hanyut atau mengikuti reaksi
yang langsung muncul terhadap berbagai stimulus tidaklah sedang
mengatur dirinya, atau tidak sedang melakukan ‘swa‐atur’. Bagi Barrow,
‘swa‐atur’ atau mengatur hidup itu mencakup: (1) memunyai pegangan
gagasan tentang sarana untuk mencapai tujuan‐tujuan, (2) memunyai
sebuah pengetahuan tentang apa yang akan terjadi bila ia cenderung
melakukan hal ini daripada hal itu, (3) dengan sadar membuat keputusan‐
keputusan dalam terang pengetahuan itu, dan (4) memunyai pemahaman
tentang gagasan bahwa orang dapat mengatur hidupnya sendiri [bdk.
Barrow, 1988, 102]. “Bayi yang tidak diberi makan hingga ia menangis demi
makanan tidak sedang ‘mengatur’ hidupnya. Ia sedang bereaksi langsung
118
A self-regulating or self-determining adult, as we have seen, is one who makes his own choices and is not
subject to any restrictions on his freedom to do so. But to make a choice in any meaningful sense, even to
make a bad or foolish choice, involves by definition a degree of cognitive ability.
83
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
terhadap stimulus rasa lapar” [Barrow, 1988, 102]. 119 Maka, bagi Barrow,
pernyataan bahwa seorang bayi atau anak itu mampu melakukan ‘swa‐atur’
itu tidaklah mungkin.
Kemudian, bagi Barrow, muncul pertanyaan bagi Neill: apa itu diri?
“Konsep diri orang dewasa mungkin cenderung tidak jelas,
tetapi apa itu diri bayi yang baru saja dilahirkan? Tidakkah
gagasan diri individual terkait dengan konsep‐konsep seperti
kepribadian dan karakter, dan tidakkah dua hal ini yang
berkembang, menjadi ada atau dibutuhkan ketika seseorang
tumbuh semakin tua? Masuk akalkah membicarakan ‘diri’,
‘karakter’, atau ‘kepribadian’ bayi yang baru saja lahir, atau
bahkan ‘diri’ atau ‘kepribadian’ yang potensial? Tidakkah
seluruh pokoknya adalah bahwa entah orang suka atau tidak,
bayi lahir tanpa diri yang teridentifikasikan, dan bahwa kodrat
diri dan kepribadian yang akan mereka kembangkan terikat
dengan lingkungan tempat mereka tumbuh berkembang”
[Barrow, 1988, 102]?120
Bagi Barrow, biasanya orang mengatur hidup anaknya, dengan memberi
makan, meletakkannya di tempat tidur, dan sebagainya. Di sini, orang tanpa
sadar sedang memengaruhi perkembangan sebuah jenis tertentu dari ‘diri’.
Fakta bahwa ibu cenderung menyusui daripada memberikan botol susu, bagi
Barrow, secara jasmani, dapat memengaruhi kodrat diri yang akan
berkembang dalam diri anak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, faktor‐
119
The baby that is not fed until it cries out for food is not ‘regulating’ its life, it is responding automatically
to the stimulus of hunger.
120
The concept of the adult self may be somewhat obscure, but what constitutes the self of the newborn baby?
Is not the notion of the individual’s self inextricably linked with such concepts as personality and
character, and are not these things that develop, come into being or are acquired as one grows older?
Does it make sense to talk of the ‘self’, ‘character’, or ‘personality’ of the newborn baby, or even of its
potential ‘self’ or ‘personality’? Isn’t the whole point that whether one likes it or not, babies are born
without identifiable selves and that the nature of the self and personality they will develop is inescapably
bound up with the environment in which they grow up? Sebagai catatan, bagi Barrow, mengatakan hal ini
bukanlah berarti perlu menyangkal sangat pentingnya susunan genetis individu manusia.
84
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
85
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tiga tahun tidak seharusnya dibolehkan melukis pintu depan dengan tinta
merah, atau seorang anak tidak seharusnya bebas berjalan di atas meja
makan, berdiri di atas piano, bermain di jalan keluar api, memukul‐mukul
tuts piano dengan martil kayu, atau melompat ke atas sofa dengan memakai
sepatu. Seorang anak juga tidak dapat dibiarkan mengatur pakaian untuk
dirinya yang ia pilih untuk dipakai, karena sebagaimana Neill mengakui
dengan merujuk pada anak perempuannya sendiri, jika ia membiarkannya,
anak itu akan berlari‐lari dengan badan telanjang sepanjang hari di semua
cuaca dan mereka merasa bahwa mereka harus ‘menggertaknya hingga
berpakaian sesuai dengan apa yang harus dia pakai [lih. Barrow, 1988,
103]. 121
Barrow menyatakan bahwa mungkin kebanyakan dari kita berpikir
bahwa contoh‐contoh yang Neill berikan – orang dewasa seharusnya turut
campur tangan – sungguh bijaksana. Barrow menegaskan lagi, pendapat
sederhana bahwa anak‐anak seharusnya ‘mengatur‐diri’ jelas tidak
memadai, ketika orang mengungkapkan contoh‐contoh mengenai
kebutuhan orang dewasa untuk intervensi dalam perkembangan anak. Lalu,
mengatakan bahwa membebani segala hal dengan otoritas itu keliru
menjadi sangat kontradiktif [Barrow, 1988, 103‐104]. Bagi Barrow, “istilah
‘swa‐atur’ menjadi sebuah semboyan yang rapuh untuk mengumpulkan
dukungan bagi sudut pandang tertentu dan mengaburkan apa yang
sebenarnya menjadi persoalannya. Karena apa yang sebenarnya
121
The seven-year-old child, for instance, who has decided to kick Neill’s office door, will not find such
behaviour tolerated. A three-year-old should not be allowed to paint the front door with red ink. A child
should not be free to walk over the dining table, stand on piano, play on the fire escape, take a wooden
mallet to the keys of a piano, or leap onto a sofa with its shoes on. A child cannot be left to regulate for
itself the clothes that it chooses to wear, for as Neill admits with reference to his own daughter, if they
‘had allowed it, she would have run about naked all day in all weathers’ and so they felt that the had to
‘bully her into wearing what we think she ought to wear’.
86
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dipersoalkan, menurut Barrow, bukanlah apakah anak seharusnya membuat
keputusan‐keputusannya sendiri atau keputusan‐keputusan dibuat
untuknya. Akan tetapi, sejauh apa dan wilayah mana dia seharusnya
dibiarkan melakukan apa yang dia rasa dia ingin lakukan dan bukan tunduk
pada pengekangan‐pengekangan sengaja yang berasal dari anak‐anak lain
atau orang dewasa [Barrow, 1988, 103‐104]. 122
Bagi Barrow, pertama‐tama, penting untuk membedakan dua
pertanyaan berbeda yang tidak selalu Neill lakukan: (1) Hal‐hal macam apa
yang harus diputuskan anak‐anak dengan bebas bagi mereka sendiri, atau
yang harus dilakukan sesuai pilihan mereka? (2) Sebagai persoalan fakta, apa
cara terbaik untuk membawa anak‐anak ke dalam pengertian bahwa mereka
akan berkelakuan lebih dengan cara‐cara tertentu daripada cara‐cara lain
[lih. Barrow, 1988, 104]? Pertanyaan terakhir itu bersifat empiris. Pertanyaan
terakhir ini menjadi pertanyaan besar ketika Neill membuat pernyataan
empiris bahwa jika Anda membiarkan anak‐anak bebas untuk melakukan
apa yang mereka ingin lakukan – atau apa yang bebas mereka lakukan
dengan tunduk pada tekanan dari anak‐anak lain – pada kenyataannya,
dalam jangka panjang, mereka akan membuat pilihan‐pilihan yang baik dan
berakal sehat. “Jelasnya, pernyataannya bahwa anak‐anak seharusnya tidak
pernah ‘diserang atau dipukul’ hanyalah sebuah pernyataan empiris, yang
meliputi keyakinan bahwa mengintimidasi anak dengan menyerang atau
memukul dalam jangka panjang bersifat tidak produktif” [Barrow, 1988,
122
The term ‘self-regulation’, pregnant with desirable overtones and emotive force, is serving as a loose
slogan to rally support for a particular point of view and obscuring what is really at issue. For what is
really at issue is not whether the child should make his own decisions or have them made for him, but the
degree to which and the areas in which he should be left to do what he feels like doing rather than being
subject to the deliberate restraints of either other children or adults.
87
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
104]. 123 Bagi Barrow, seberapa benar hal ini tidak akan diuji melalui
penyelidikan filosofis. Secara intuitif, dan berdasarkan keterangan para
psikolog, seseorang mungkin berpikir bahwa Neill memang benar
setidaknya dengan berpendapat bahwa pada umumnya ‘menyerang dan
memukul’ bukanlah sarana efektif.
Namun, bagi Barrow, sikap orang atas pernyataan yang lebih luas
bahwa tanpa pengawasan dan petunjuk orang dewasa, anak‐anak akan
membuat keputusan‐keputusan yang baik, sangat tergantung pada tingkat
mana orang punya pandangan tentang sebuah keputusan yang baik.
“Contohnya, kita diberitahu tentang kasus Mervyn, yang antara usia tujuh
dan tujuh belas ... tidak pernah mengikuti satu kelas pun. Di usia tujuh belas
tahun, dia hampir tidak mengenali bagaimana membaca” [Barrow, 1988,
104]. 124 Bagi sebagian orang, ini adalah contoh tentang sebuah keputusan
yang kurang masuk akal. Namun demikian, Barrow mengatakan, butir
pemikiran yang ingin disampaikan Neill adalah bahwa ketika Mervyn
meninggalkan sekolah dan memutuskan menjadi seorang pembuat alat
perkakas, dia dengan cepat mengajari dirinya sendiri bagaimana membaca
dan dalam waktu singkat menyerap semua pengetahuan teknis yang dia
butuhkan melalui pembelajaran‐diri [Barrow, 1988, 104]. Bagi Neill, Mervyn
yang telah dewasa ini pantas dikagumi dan menjadi orang sukses. Lalu,
Barrow membayangkan apakah Mervyn dapat melakukan sesuatu yang
lebih baik, dengan pertimbangan dan jalan yang dia pilih, jika di usia lebih
awal dia sudah memiliki lebih banyak kemungkinan yang terbuka baginya.
123
Clearly his claim that children should never be ‘stormed at or spanked’ is just such an empirical claim,
involving the belief that to intimidate the child by storming at him or spanking him is in the long run
counter-productive.
124
For instance we are told of the case Mervyn, who ‘between the ages of seven to seventeen … never
attended a single class. At the age of seventeen he hardly knew how to read.’
88
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Barrow menambahkan: “Dan jika hal ini tampak sebagai sebuah anjuran
tanpa dasar dalam kaitannya khusus dengan individu tertentu itu, tidakkah
orang sah untuk bertanya‐tanya, tidakkah bagi setiap Mervyn ada seorang
anak lain yang kehidupan dewasanya sama sekali dibatasi oleh pilihan yang
dia buat sebagai seorang anak yang tidak mengikuti pelajaran apa pun”
[Barrow, 1988, 104‐105]? 125
Bagi Barrow, ini semua adalah pertanyaan empiris. Dari sudut filosofis,
pertanyaan pentingnya adalah bagaimana seseorang memutuskan di
wilayah mana kebebasan anak harus dibatasi, dengan asumsi bahwa
setidaknya kadang‐kadang anak‐anak tidak membuat keputusan yang
sehat. “Kriteria apa yang digunakan orang untuk membedakan antara
apakah orang harus bebas melakukan jika mereka memilih dan apakah
mereka tidak seharusnya bebas melakukan apa yang mereka pilih maupun
yang tidak? Kriteria apa yang Neill punya dalam pikirannya untuk
membedakan antara anak yang mengganggu pekerjaannya dengan
bermain‐main dengan kacamatanya dan anak yang melakukan hal yang
sama dengan cara menendang‐nendang pintu kamarnya” [Barrow, 1988,
105]? 126 Barrow melihat, pertanyaan‐pertanyaan ini mungkin dijawab Neill
dengan sebuah perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’, yang menurut
Barrow adalah jawaban yang tidak memadai. Maka, pembahasan
tanggapan kritis dari Barrow mengenai ‘swa‐atur’ ini berkaitan dengan
bagian selanjutnya, yakni tanggapan kritis tentang ‘kebebasan’ dan ‘izin’.
125
And if that seems a groundless suggestion in relation to this particular individual, may one not
legitimately wonder whether for every Mervyn there is not another child whose adult life is severely
restricted by the choice he made as a child not to attend any lessons?
126
What criteria does one use to distinguish between what people should be free to do whether they choose to
and what they should not be free to do whether they choose or not? What criteria does Neill have in mind
for distinguishing between the child who interferes with his work by playing with his glasses and the child
who does the same thing by kicking his door?
89
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
b. ‘Kebebasan dan Izin’
Pada bagian ini, saya akan memaparkan tanggapan Barrow atas
perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’, dan bagian ini merupakan lanjutan
dari bagian sebelumnya tentang ‘swa‐atur’. Pertanyaan ‘di wilayah mana
kebebasan anak harus dibatasi’ dijawab Neill dengan pemikirannya tentang
perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’. Neill pernah mengatakan: “Seluruh
gerakan kebebasan itu rusak dan rendah karena sangat banyak pendukung
kebebasan tidak meletakkan kakinya di atas tanah ... Inilah perbedaan
antara kebebasan dan izin yang tidak dapat dimengerti oleh banyak orang
tua” [dlm. Barrow, 1988, 105]. 127 Menurut Barrow, muncul pertanyaan:
apakah maksud dari perbedaan ini? Bagi Barrow, hal itu tidak dikatakan oleh
Neill. Yang diberikan hanyalah sedikit contoh tentang ‘kebebasan’ dan ‘izin’.
Dari contoh‐contoh yang Neill berikan, Barrow melihat, ‘kebebasan’
biasanya merujuk pada kebebasan yang dapat diterima dan diinginkan,
sedangkan ‘izin’ biasanya merujuk pada kebebasan yang tidak dapat
diterima dan tidak diinginkan. “Kita tidak sedikitpun semakin mengetahui
apakah yang membuat beberapa kebebasan diinginkan [kebebasan bona
fide] dan kebebasan yang tidak diinginkan [izin]. Apa perbedaan antara
pelatihan toilet, yang mestinya tidak kita lakukan, dan mengatur kebiasaan
tidur anak, yang mungkin kita lakukan? Mengapa anak seharusnya bebas
bermain‐main dengan perhiasan ibunya yang mudah pecah tetapi tidak
boleh berloncat‐loncat di sofa ibunya” [Barrow, 1988, 105]? 128
127
‘The whole freedom movement is marred and despised because so many advocates of freedom have not
got their feet on the ground … It is this distinction between freedom and licence that many parents cannot
grasp.’
128
We are no nearer knowing what it is that makes some freedoms desirable [i.e. bona fide freedoms] and
others undesirable [i.e. licence]. What is the distinction between toilet training, which we should not
indulge in, and regulating the child’s sleeping habits, which we may? Why should the child be free to play
with his mother’s breakable ornaments and not to jump on her sofa?
90
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Menurut pemahaman Barrow, Neill pada prinsipnya memberikan dua
jawaban lain untuk menjelaskan perbedaan antara kebebasan dan izin yakni:
(1) anak‐anak seharusnya bebas melakukan apa pun yang tidak mengganggu
kebebasan orang lain dan (2) mereka seharusnya bebas melakukan apa pun
yang tidak membahayakan diri mereka [Barrow, 1988, 105]. Menurut
Barrow, secara hakiki jawaban ini dapat diterima karena menjelaskan
kebanyakan contoh Neill. Misalnya, “anak tidak seharusnya bermain di pintu
darurat, tidak memakai pakaian atau memiliki jendela‐jendela yang tidak
dipalangi, karena pertimbangan menjauhkan bahaya dari dirinya. Anak tidak
seharusnya menendang‐nendang pintu kamar kerja karena mencampuri
kebebasan orang lain” [Barrow, 1988, 105‐106]. 129
Namun Barrow memberikan dua catatan tentang topik ini. Pertama,
sebagai catatan sederhana, dalam keterangan kriteria untuk membatasi
kebebasan itu, beberapa contoh Neill masih tampak kontradiktif. Bagi
Barrow, pertanyaannya adalah: bukankah anak yang bermain benda‐benda
milikku yang mudah pecah sehingga merusakkan beberapa darinya, atau
anak yang bermain‐main dengan kacamataku sementara aku sedang
bekerja, tetap mengganggu kebebasanku. Dan ini tidak kurang mengganggu
dibandingkan dengan anak yang menendang‐nendang pintu kamarku
[Barrow, 1988, 106]? Kedua, sebagai catatan yang terkait dan penting,
meskipun dapat dipahami, kriteria itu pada kenyataannya tidaklah mudah
digunakan dalam praktik. Sebabnya, pertanyaan sesungguhnya adalah:
apakah itu berbahaya bagi anak di mata orang, dan apakah itu mengganggu
kebebasan orang lain di mata orang. Bagi Barrow, tidaklah masuk akal untuk
129
… the child should not play on the fire escape, wear no clothes or have unbarred windows, because of the
consideration of avoiding harm to himself. The child should not kick down the study door because that
interferes with somebody else’s freedom … .
91
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
130
Di sini, Barrow tidak berpendapat bahwa anak-anak memang seharusnya demikian, namun ia hanya
sekadar menguraikan kompleksitas dalam rumusan ‘bebas melakukan apa yang tidak mencampuri
kebebasan orang lain’ [Barrow, 1988, 106].
131
If we conceive of education as initiating people into worthwhile activities then, almost by definition, the
child who opts out of education in this sense is harming himself.
92
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tidak mengikuti proses pendidikan ini” [Barrow, 1988, 106]. 132 Dari sini,
Barrow menyatakan bahwa jika orang percaya bahwa pendidikan berguna
bagi anak untuk mengembangkan daya‐daya rasional, maka orang akan
menyimpulkan bahwa anak tidak seharusnya kehilangan kesempatan untuk
menanamkan daya‐daya itu. “Sebaliknya, mengadopsi pandangan bahwa
anak‐anak seharusnya bebas untuk memilih tidak mengikuti pelajaran‐
pelajaran secara implisit berarti mendaku bahwa hal ini tidak akan
membahayakan mereka dalam pengertian apa pun, yang jelas merupakan
sebuah dakuan besar” [Barrow, 1988, 106].133
c. Prinsip Swakelola [Self‐Government]
Mengenai prinsip swakelola yang identik dengan demokrasi, sudah
dikatakan sebelumnya, Neill menegaskan bahwa setiap anak dan setiap guru
– termasuk Neill sendiri – sebagai orang dewasa memiliki hak sama dengan
punya satu suara masing‐masing dalam menentukan peraturan‐peraturan.
Namun, seberapa memuaskan dan memadai konsepsi Neill tentang sebuah
demokrasi dengan prinsip swakelola? Bagi John Darling, pertama‐tama yang
patut dipertanyakan adalah asumsi Neill yang jelas kelihatan, yaitu bahwa
Summerhill sebagai komunitas seharusnya dilihat sebagai yang terdiri atas
dua kelompok yang eksklusif satu sama lain [Darling, 1992, 50]. Darling
mengamati berdasarkan butir‐butir berikut ini.
132
If, simply by way of example, one believed that education was about filling children with information [and
hence believed that it was valuable for the child to acquire such information], one would naturally
conclude that it would be to the detriment of the child to opt out of this process.
133
Conversely, to adopt the view that children should be free to opt out of lessons is implicitly to claim that
this cannot harm them in any sense, which is evidently a large claim.
93
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Tentang Kesetaraan
Mengenai kesetaraan dalam komunitas Summerhill, patut
dipertanyakan: apakah pada kenyataannya kesetaraan itu berjalan dengan
baik? Ataukah sebenarnya kesetaraan itu tidak sepenuhnya berlaku? Di
wilayah mana saja kesetaraan itu berlaku bagi semua pihak, staf dan anak‐
anak, sehingga tercipta demokrasi? Darling mencoba mempertimbangkan
kembali kesetaraan dalam prinsip swakelola.
Posisi Pegawai Kebersihan Perempuan
Dalam konteks pembuatan keputusan demokratis, menurut Darling,
tidak disebutkan keberadaan para petugas kebersihan perempuan muda di
sekolah itu. “Neill tampaknya malu dan menyesali peran mereka sebagai
pegawai kebersihan, tetapi Neill melihat mereka [dan meluas, sekolah itu]
teruntungkan berkat pengalaman kebebasan Summerhill. Dalam suatu
lingkungan bebas di mana mereka tidak diperintah, mereka bekerja lebih
giat dan lebih baik daripada para pembantu perempuan yang ada di bawah
otoritas” [Darling, 1992, 50]. 134 Di sini, kita tidak akan menjelajahi koherensi
pernyataan bahwa para perempuan ini tidak berada di bawah otoritas. Perlu
dicatat, pekerjaan mereka mendapat pengaruh langsung, baik yang baik
maupun yang buruk, dari tingkah laku orang lain. Misalnya, para siswa yang
rapi memudahkan pekerjaan mereka untuk membersihkan. Dengan patokan
ini, para pegawai kebersihan tampak akan mendapatkan pernyataan yang
baik dari pemerintahan sekolah [lih. Darling, 1992, 50].
134
Neill is somewhat embarrassed and apologetic about their role as employees, but sees them [by extension,
the school] as benefiting from the experience of Summerhill freedom. In a free atmosphere where they are
not bossed, they work harder and better than maids do who are under authority.
94
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Ketidaksetaraan Kekuasaan
Darling mencurigai, ada sebuah kasus prima facie bahwa kekuasaan
tidak terbagi rata bahkan di antara mereka yang melakukan pemungutan
suara. “Para guru tidak hanya lebih tua dan lebih berpengalaman daripada
anak‐anak, tetapi mereka juga sangat terpelajar. Masuk akal untuk
mengandaikan bahwa dalam pembicaraan, mereka lebih pandai bicara, dan
bahwa mereka bisa lebih persuasif tanpa kelihatan daripada kebanyakan
siswa” [Darling, 1992, 50]. 135 Berkaitan ini, Darling menyoroti, Neill
kemudian membantah pernyataan ini bahwa bahaya ini dapat diatasi
dengan sikap para siswa yang tidak terpesona pada pengaruh‐pengaruh para
guru tersebut. Memang bagi Neill, ketidaktakutan mereka dapat menolong
untuk melawan tekanan lahiriah, tetapi ketidaktakutan tidak memberikan
pembelaan terhadap bentuk‐bentuk bujukan yang kurang kelihatan. Juga,
bagi Darling, orang dewasa sering mudah tidak sadar bahwa di tingkat
tertentu, mereka menggunakan beragam manipulasi [Darling, 1992, 50].
Lebih khusus, Darling melihat, kadang‐kadang Neill sendiri
menggunakan pengaruhnya. Para siswa menyadari bahwa Neill terkenal.
Selain itu, para siswa juga akan sadar bahwa mereka tidak akan masuk ke
sekolah itu jika tidak ada fakta bahwa para orangtua sangat menghargai
Neill dan pandangan‐pandangannya. Lagipula, filsafat sekolah ini berasal
dari Neill sendiri, maka etosnya pun ditentukan oleh Neill. Dia membuat
kerangka dasar yang meliputi jadwal pelajaran‐pelajaran [yang fakultatif] di
pagi hari. Bahkan susunan pemerintahan demokratis dalam komunitas
135
Teachers, after all, are not just older and more experienced than children; they are highly educated. It is
reasonable to suppose that in discussion the will be more articulate and that they could be more subtly
persuasive than most pupils.
95
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dibentuk oleh Neill sendiri. Maka dari itu, Neill dengan jelas menggunakan
pengaruhnya yang besar terhadap sekolah ini [Darling, 1992, 50].
Di samping itu, Neill juga tampak mengekang diri dalam rapat‐rapat
sekolah. Banyak hasil pembicaraan mungkin muncul dari perhatiannya
sendiri, sekecil apa pun. Dia cenderung menilai prosesnya. Setiap kali
pembicaraan cenderung memengaruhi kepentingan‐kepentingannya
sendiri, kadang‐kadang dia ditolak, sebagaimana dia dengan hati‐hati
mengatakannya sendiri. “Contohnya, Neill gagal mengusulkan sebuah
larangan bagi sumpah serapah dalam pertemuan dengan calon‐calon
orangtua ketika mereka mengunjungi sekolah itu! Dia juga kalah ketika
mengusulkan bahwa para siswa di bawah usia enam belas tahun dilarang
merokok” [Darling, 1992, 50]. 136
Lalu, Darling juga melihat dari tulisan Neill sendiri bahwa Neill dapat
membuat keputusan‐keputusan yang cukup otokratik. Misalnya, Neill
melarang minuman keras di Summerhill. Selain itu, karena selalu gelisah
ketika anak‐anak suka bermain perang‐perangan dengan pedang kayu, Neill
mendesak agar ujung‐ujungnya ditutupi dengan karet dan kain. Dalam
tulisannya, Neill membuat larangan‐larangan itu dengan alasan common
sense. Dengan cara yang sama, Neill tidak malu untuk melarang anak‐anak
memanjat atap sekolah atau bersepeda di luar halaman sekolah dengan
alasan demi keselamatan. Dia melihat bentuk veto ini lebih sebagai
ungkapan perhatian manusia yang alami daripada sekadar sebuah
manifestasi otoritas atau kekuasaan. Neill cukup terbuka atas beberapa
136
Neill failed, for example, to have a ban imposed on swearing in the hearing of prospective parents when
they were visiting the school! He was also defeated when proposing that pupils under 16 be forbidden to
smoke.
96
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
137
Although Neill objected to society’s taboo on youthful sex, when a girl pupil and a boy pupil asked for a
bedroom for themselves, this was refused by Neill on the grounds that any resultant scandal might mean
that the school would be closed down. On these grounds, he declared the issue to be an economic one
rather than a moral one.
97
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Namun, dari pengamatan Darling, ‘kepentingan‐kepentingan sekolah
itu’ tampaknya menjadi sebuah pertimbangan yang anehnya tradisional bagi
sebuah institusi radikal semenjak setiap perbuatan radikal apa pun dapat
dengan mudah dilarang. Menghadapi hal ini, Neill mengatakan bahwa
kesejahteraan sekolah punya bobot yang pantas yang perlu
dipertimbangkan oleh orang‐orang tertentu yang meminta sebuah kamar
tidur bersama [Darling, 1992, 51]. Dari sini, Darling melihat, pandangan Neill
– orang‐orang muda yang dididik dalam lingkungan Summerhill yang tidak
ditekan tidak akan menjalin relasi seks – menjadi sebuah pandangan yang
sekilas aneh, seolah‐olah membuat orang tenang tetapi tampaknya keliru.
Akan tetapi, dalam setiap kasus, dugaan akan kurangnya komitmen yang
diduga dari sepasang kekasih itu terhadap kepentingan‐kepentingan
Summerhill tampak sebagian besar tidak relevan. “Jika para anggota
komunitas lainnya sungguh berkomitmen [dan itulah anjuran‐anjuran yang
Neill berikan] maka mereka seharusnya dibolehkan untuk mengatur hal‐hal
yang memengaruhi kepentingan‐kepentingan sekolah termasuk hidup
bersama sebagai suami‐istri. Hak untuk mengontrol pembagian kamar tidur
yang dipegang Neill hanya menunjukkan kepercayaan‐diri yang terbatas
dalam proses demokratis” [Darling, 1992, 51]. 138
Pengangkatan Guru
Bagi Darling, hal kedua yang juga patut dipertimbangkan adalah
mengenai pengangkatan para guru. Darling mengamati, suatu ketika Neill
berada di bawah tekanan dari para guru Summerhill untuk mengubah
138
If the rest of the community did have the commitment [and that is what Neill’s comments suggest] then
they should have been allowed to regulate matters affecting the school’s interests including pupil
cohabitation. Neill’s retention of the right to control bedroom allocation shows only limited confidence in
the democratic process.
98
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
susunan waktu tradisional. Sesuai saran Neill sendiri, hal ini dibicarakan
dalam pertemuan mingguan. Namun jika daftar waktu pelajaran juga sah
menjadi perhatian para siswa, demikian juga bisa terjadi dengan
pengangkatan orang‐orang yang akan mengajar mereka. Sementara, juga
diberlakukan anjuran bahwa, jika para siswa membuat kesalahan, mereka
hanya tinggal meralatnya. Dalam sekolah‐sekolah mainstream, hal seperti ini
tidak akan mudah diselesaikan, bahkan ketika melibatkan guru yang paling
buruk sekalipun. Darling menyoroti bahwa Summerhill memelihara dan
menjalankan hak untuk memecat para guru [Darling, 1992, 51], “Mereka
diangkat oleh Neill dengan prinsip ‘coba‐coba dan gagal’ [trial and error]:
‘Mari kita lihat bagaimana Anda bekerja bersama anak‐anak’,” kata Neill
kepada salah satu calon anggota staf. Kenyataannya, cara pengangkatan
Neill tampak berjalan sambil lalu. Dia mengalami kesulitan besar untuk
menyingkirkan guru yang terbukti tidak sesuai. Maka, bahkan pada tingkat
ad hominem, seseorang dapat mengatakan bahwa melibatkan para siswa
dalam pengangkatan staf sama‐sama memuaskan dengan menyerahkan
lagi tugas itu kepada Neill” [Darling, 1992, 51‐52]. 139
Dari uraian di atas, Darling menyoroti bahwa hak memberikan suara
yang sama tidak membutuhkan kekuasaan yang sama. Keterbatasan paling
signifikan dalam demokrasi Summerhill terletak dalam kekuasaan Neill
untuk menentukan tingkat kompetensi pertemuan sekolah. Benarlah bahwa
kekuasaan‐kekuasaan yang diperoleh komunitas Summerhill jauh melebihi
pembuatan keputusan sederhana yang dipercayakan sekolah‐sekolah
139
They were appointed by Neill on a trial and error basis: “Let see how you get on with children”, Neill
said to one prospective member of staff. In fact, Neill’s appointment procedures seem to have been casual,
if not positively whimsical; and he had great difficulty in bringing himself to get rid of teachers who
proved unsuitable. So, even at the ad hominem level one could argue that involving pupils in making staff
appointments would have been at least as satisfactory as leaving the job to Neill.
99
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
140
If there had been real democratic power, the community would have demanded the right to make such
appointments.
100
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
141
This issue is never identified or discussed by Neill, and the observations that follow are interferences
based on relevant episodes in Neill’s accounts of life at Summerhill.
101
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
142
Neill is aware of this conflict, yet he is usually prepared to see a certain amount of unpleasantness being
created for the inhabitants of Summerhill rather than stop antisocial behaviour by heavy-handed
intervention.
143
When recalling how Summerhill children continued to make a lot of noise despite the fact that they knew a
female member of staff was ill, Neill confines himself to reflecting that we adults are much too ready to
force on children patters of behaviour that are convenient to us – so it seems that the poor lady just had to
suffer!
102
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
144
The nearest equivalent appears to be the ‘bedtime officers’ whose job [taken in rotation by pupils] was to
chase children to bed – but this practice was, characteristically, defended by Neill on the grounds that
exhaustion is a health hazard rather than because late nights are associated with antisocial behaviour.
103
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
145
Paternalisme adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin, seperti hubungan antara ayah dan anak [Alwi, 2001, 836].
104
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
2. Tanggapan‐tanggapan OFSTED 146
Selanjutnya, pada bagian ini, saya ingin membahas tanggapan‐
tanggapan dari para inspektur sekolah dalam OFSTED 147 terhadap model
pendidikan Summerhill. Dalam kunjungan dan inspeksi yang mereka lakukan
pada Maret 1999, OFSTED menjelaskan bahwa ada enam keluhan. Enam
keluhan itu dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) yang diterima dan (2) yang
tidak diterima oleh pihak sekolah Summerhill.
Keluhan‐keluhan yang diterima Summerhill mencakup tiga macam
keluhan dari hasil pengamatan OFSTED, yakni: (1) masalah kesehatan dan
keselamatan, (2) masalah keselamatan berkenaan dengan kunci‐kunci
jendela dan bahan untuk lantai, dan (3) masalah pengajaran dan
perencanaan kurikulum. Pertama, mengenai masalah kesehatan dan
keselamatan, OFSTED melihat kemajuan‐kemajuan yang lebih baik di
Summerhill. Selain itu, OFSTED juga mendapat informasi dari beberapa
anak Summerhill bahwa telah dibentuk sebuah komisi kesehatan dan
keselamatan yang terdiri atas para staf dan anak‐anak. Kedua, mengenai
keselamatan berkenaan dengan kunci‐kunci jendela dan bahan lantai, dalam
pengawasannya, OFSTED melaporkan bahwa hal‐hal ini telah diurusi dan
jendela‐jendela telah diberi kunci‐kunci. Ketiga, berdasarkan pengamatan
OFSTED, masalah pengajaran dan perencanaan kurikulum masih menuntut
perhatian, namun OFSTED melihat bahwa pihak sekolah ini sedang
mengambil tindakan dengan masalah ini.
146
Lih. Report of an Inquiry into Summerhill School– Leiston, Suffolk, Januari 2000,
http://www.selfmanagedlearning.org/Summerhill/RepMain.htm. Office for Standards in Education,
Children's Services and Skills (OFSTED) adalah sebuah departemen pemerintah non-kementerian Inggris
di bawah kekuasaan Her Majesty's Chief Inspector of Schools In England (HMCI).
147
Agar lebih ringkas, saya akan menggunakan kata “OFSTED” yang merujuk pada “para inspektur
pendidikan Inggris dalam OFSTED”.
105
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Keluhan‐keluhan yang tidak diterima oleh pihak Summerhill terdiri
atas tiga macam keluhan, yakni: (1) masalah persediaan toilet, (2) masalah
penilaian siswa, dan (3) masalah keberatan terhadap filsafat sekolah
Summerhill.
a. Masalah Persediaan Toilet
Keluhan pertama yang tidak diterima oleh pihak Summerhill adalah
masalah persediaan toilet. Berdasarkan inspeksi OFSTED, sekolah ini
memiliki tiga puluh toilet dan itu adalah jumlah yang memadai.
Permasalahannya, bagi OFSTED, adalah sekolah tidak memisahkan toilet‐
toilet itu; laki‐laki dan perempuan, staf dan anak‐anak, semuanya
menggunakan toilet‐toilet yang sama. Alasannya, dapat terjadi
kemungkinan‐kemungkinan tindakan penganiayaan anak. Permasalahan ini
termasuk permasalahan perlindungan anak. OFSTED berpendapat bahwa
pelaku penganiayaan dapat menakut‐nakuti anak sehingga hal ini tidak
dilaporkan secara publik. Para pelakunya biasanya beroperasi dengan diam‐
diam, dan gagasan bahwa toilet‐toilet di Summerhill membuka peluang bagi
penganiayaan seksual.
Akan tetapi, terhadap keluhan ini, pihak Summerhill mengajukan
alasan mengapa sekolah ini tidak mau berkompromi dengan apa yang
dianjurkan OFSTED, yaitu keinginan untuk melihat Summerhill sebagai
sebuah keluarga besar, dengan hubungan timbal‐balik yang setara dan
terbuka. Ini adalah pusat dari seluruh filsafat Summerhill. Gagasan sekolah
yang menjadi sebuah bentuk keluarga dengan jelas sangat kuat, dan warga
komunitas sekolah, juga para orangtua, percaya bahwa sebagaimana dalam
106
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
148
Lih. http://www.selfmanagedlearning.org/Summerhill/RepMain.htm, hlm. 10.
107
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
108
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Hal lain yang disoroti adalah UMPT. 149 Jelas, anak‐anak mampu
mengerjakan ujian‐ujian semacam itu dan mendapat hasil yang baik.
Kesimpulan yang disampaikan OFSTED bahwa kemajuan siswa dihalangi di
Summerhill tidak didukung oleh fakta‐fakta yang benar tentang nilai‐nilai
UMPT, meskipun sekolah ini tidak menekankan pentingnya nilai‐nilai tinggi
dalam UMPT sebagai tujuan utamanya. Summerhilll menunjukkan, melalui
fakta‐fakta substansial yang dilihat, beberapa siswa berhasil dalam ujian‐
ujian akademis di Summerhill, padahal mereka jelas gagal secara akademis
di lingkungan pendidikan sekolah negeri. Maka, kasus yang diungkapkan
oleh OFSTED tidak didukung fakta‐fakta.
c. Masalah Keberatan terhadap Filsafat Summerhill
Dikatakan, Summerhill memiliki dasar filsafat pendidikan yang
mendukung adanya demokrasi dan pelajaran‐pelajaran fakultatif, dan ini
membuat Summerhill digolongkan sebagai ‘sekolah alternatif’ dan ‘sekolah
bebas’. Dari sini, muncul keluhan dari OFSTED yang menjadi inti tantangan
bagi filsafat Summerhill. Keluhan ini mencakup sejumlah kunci
permasalahan yang perlu dianalisis secara terpisah, yakni: (1) dugaan
penyimpangan, (2) pelajaran‐pelajaran fakultatif, (3) pencarian kemalasan,
(4) kurikulm formal, dan (5) harapan‐harapan nasional.
1.
149
Ujian Masuk Perguruan Tinggi [UMPT] di Inggris dikenal dengan sebutan General Certificate of
Secondary Education [GCSE], yakni nama untuk sebuah kualifikasi akademis yang diberikan dalam mata
pelajaran yang ditentukan, pada umumnya dilakukan dengan sejumlah mata pelajaran oleh siswa-siswi
berusia 13-16 tahun dalam pendidikan sekunder di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara sebagai persiapan
untuk masuk universitas atau perguruan tinggi. Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/GCSE.
109
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Dugaan ‘penyimpangan’
Sekolah Summerhill diduga oleh OFSTED melakukan ‘penyimpangan’
dengan membuat kebingungan kebebasan pendidikan dengan adanya
kehendak negatif untuk tidak diajar. Hasilnya, banyak siswa telah dibiarkan
untuk salah memahami latihan kebebasan pribadi sebagai alasan bagi
kemalasan. Akan tetapi, tuntutan ini tidak dapat dibenarkan. Telah dikutip
fakta‐fakta kuantitatif dari hasil‐hasil UMPT untuk menunjukkan bahwa
fakta‐fakta yang dianggap mengancam dugaan dari ‘penyimpangan’
tersebut tidak dapat dibenarkan. Juga tidak ditemukan fakta terpercaya
lainnya yang menunjukkan bahwa Summerhill telah ‘menyimpang’ dari
filsafat asalinya. Dalam hal ini, para inspektur telah gagal untuk berpedoman
pada kriteria OFSTED sendiri untuk praktik inspeksi yang efektif, yakni
fakta‐fakta empiris. Dari sini, tidak tampak ada ‘penyimpangan’ yang
ditandai dengan ‘pencarian kemalasan’. Diduga bahwa perhatian OFSTED
lebih tertuju pada pelajaran‐pelajaran fakultatif.
2. Pelajaran‐pelajaran yang fakultatif
OFSTED menuntut, sebagai sebuah perbaikan, bahwa semua siswa
harus ‘terlibat dalam proses pembelajaran secara teratur’. Perbaikan ini
mengindikasikan bahwa satu‐satunya ‘pembelajaran’ yang dapat diterima
adalah yang ada ‘dalam pelajaran‐pelajaran terjadwalkan atau program‐
program studi yang mendukung diri yang ditentukan’. Asumsinya adalah
bahwa apa yang anak‐anak lakukan di luar dua model ini bukan merupakan
pembelajaran.
Tuntutan ini dipertimbangkan Summerhill dalam dua bagian.
Pertama, tidak ada bukti untuk membenarkan pernyataan bahwa filsafat
110
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
sekolah ini, dalam kaitannya dengan masalah ini, telah berubah sejak
lahirnya pada 1921. Kedua, tampak bahwa prinsip pendirian Summerhill
dipahami oleh semua orang yang berhubungan dengan sekolah ini. Juga
jelas dari bukti alasan mengapa Summerhill sangat dihargai oleh sangat
banyak orangtua dan anak‐anak di Summerhill, dan sebuah alasan utama
bagi mereka yang memiliki sekolah ini.
Bukti nyata yang dimiliki mengenai permasalahan ini berasal dari
berbagai sumber. Pertama, yang dilakukan adalah menganalisis hasil survei
berdasarkan daftar pertanyaan bagi para mantan siswa Summerhill.
Contohnya terdiri atas 40 mantan penghuni Summerhill yang telah
mengikuti sekolah dari 1930‐an hingga awal 1990‐an. Memang mereka tidak
bisa mewakili semua mantan warga Summerhill, namun kehadiran mereka
benar‐benar menentukan fakta‐fakta baru‐baru mantan warga Summerhill.
Mereka menjalani semua pelajaran‐pelajaran fakultatif. Ketika ditanya
apakah ini menguntungkan atau tidak, sebanyak 92,3% dari mereka
menyatakan bahwa hal itu adalah sebuah keuntungan.
Kedua, penelitian dilakukan dengan menganalisis 19 orang yang baru
saja meninggalkan Summerhill. Hasilnya sama dengan penelitian pertama.
15 orang responden melihat pelajaran‐pelajaran sebagai sebuah
keuntungan, sedangkan sisanya memiliki pandangan macam‐macam. Tak
ada yang menganggapnya sebagai sebuah kerugian. Ketiga, bukti‐bukti
selanjutnya berasal dari para siswa Summerhill sekarang ini. Semua anak
yang diwawancarai, baik secara formal maupun informal, memberikan
tanggapan sangat positif terhadap pelajaran‐pelajaran fakultatif. Kemudian,
keempat, fakta‐fakta didapat dari kalangan guru Summerhill. Semuanya
berkomitmen dengan kebijakan sekolah meskipun terdeteksi bahwa ada
111
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
112
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dipandang OFSTED sebagai pembelajaran karena itu semua tidaklah diatur
dan diawasi oleh guru secara formal.
4. Kurikulum formal
Yang menjadi inti dari perhatian OFSTED adalah gagasan tentang
kurikulum yang tepat. Di Summerhill, anak‐anak menciptakan kurikulum
mereka sendiri, meskipun ada jadwal dan susunan formal pelajaran‐
pelajaran. Gagasan tentang kurikulum seperti apa yang seharusnya ada itu
penting bagi OFSTED, tetapi tentu saja sebuah sekolah bebas tidak harus
memenuhi Kurikulum Nasional. Namun setiap gagasan bahwa ada
kurikulum yang secara objektif tepat bagi anak‐anak tampak salah
dimengerti oleh OFSTED. Perubahan‐perubahaan yang baru dilakukan dan
ditampilkan dalam Kurikulum Nasional justru mengindikasikan bahwa tidak
ada keseimbangan yang secara objektif tepat dari berbagai mata pelajaran
yang harus dipelajari anak.
Faktor pertimbangan lainnya dalam mengevaluasi pendekatan
Summerhill terhadap kurikulum adalah bahwa mayoritas anak tidak tinggal
di Inggris. Menanggapi hal ini, pihak Summerhill mengatakan, sekolah ini
bukanlah sebuah sekolah di mana anak‐anak berasal dari latar belakang
etnis berbeda di Inggris, melainkan sebuah sekolah internasional di mana
kebanyakan anak akan kembali ke negara mereka masing‐masing untuk
melanjutkan pendidikan mereka. Namun pernyataan keberatan ini tidak
cukup menjawab dan masih berhadapan dengan perhatian bahwa OFSTED
sedang mempraktikkan kriteria yang tidak memadai bagi sebuah sekolah
internasional. Keluhan itu merujuk pada ‘harapan‐harapan nasional’, dan hal
113
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
ini tampaknya menandakan adanya etnosentrisme dalam inspeksi OFSTED.
Pihak Summerhill tidak dapat menerima bahwa anak‐anak Jepang, Taiwan,
Korea, Jerman, atau Amerika harus tunduk pada keperluan pemerintahan
Inggris berkenaan dengan apa yang pantas bagi mereka untuk belajar demi
mempersiapkan hidup mereka di negara mereka masing‐masing.
5. Harapan‐harapan nasional
Ulasan keluhan juga membuat referensi tentang pentingnya
pembelajaran anak‐anak diarahkan sejajar dengan harapan‐harapan
nasional, meski Sekretaris Negara Inggris tidak menyebutkan apa definisi
lengkapnya. Gagasan ‘harapan‐harapan nasional’ tentang setiap sekolah itu
ternyata tidak bisa diterima di dalam masyarakat pluralistis dan demokratis.
‘Harapan‐harapan nasional’ itu tampaknya merujuk ke Kemampuan‐
kemampuan Kunci [Key Skills] yang dianjurkan oleh DfEE [The Department
for Education and Employment], yakni: (1) komunikasi, (2) aplikasi angka, (3)
teknologi informasi, (4) kerjasama dengan orang lain, (5) pengembangan
pembelajaran dan penampilan sendiri, dan (6) penyelesaian masalah. Dari
bukti‐bukti, Summerhill memiliki perhatian besar pada nomor (1), (4), (5),
dan (6), tidak lebih buruk dari sekolah‐sekolah lain dengan penekanan pada
nomor (2) dan (3). Pihak Summerhill kembali menghadapi dilemma bahwa
anak‐anak Summerhill belajar bagaimana ‘bekerjasama dengan orang lain’,
tetapi hal ini tidak diajarkan dan bukan bagian dari kurikulum. Selain itu,
dokumen lain dari DfEE memberikan petunjuk bahwa harapan lainnya
adalah ‘pembelajaran untuk sukses’. Dengan ini, tampaknya, Sekretaris
Negara ingin menghentikan Summerhill sebagai penyedia lingkungan di
mana ‘pembelajaran di kelas ditiadakan’.
114
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Namun ada sebuah inisiatif baru dari Pemerintah, yakni ‘learndirect’ –
tadinya di Universitas untuk Industri. Dalam rencana perkembangan mereka
‘A new way of learning’ [1999], mereka menyatakan keinginan untuk
memeromosikan sebuah masyarakat pembelajaran dan sebuah
pembelajaran abadi. Hal ini tampaknya sudah dilakukan anak‐anak
Summerhill. Maka, Summerhill tidak membutuhkan sebuah organisasi
seperti ‘learndirect’ yang tampaknya dirancang untuk menjalankan aksi
perbaikan pembelajaran. Selain itu, wilayah aksi perbaikan lainnya
mencakup ‘inteligensi emosional’. Yang terkait dengan kualitas kesadaran‐
diri, kepekaan terhadap sesama, kemampuan untuk berurusan dengan
persoalan dan integritas emosional. Neill sendiri sudah mengetahui lebih
dahulu pentingnya ‘inteligensi emosional’ dan kebahagiaan anak.
115
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Rangkuman
Dari tanggapan‐tanggapan atas pemikiran Neill yang diuraikan di atas,
dapat dirangkumkan beberapa hal. Pertama, penilaian atas prinsip ‘swa‐atur’
dalam pemikiran Neill yang menekankan pentingnya kebebasan anak tanpa
campur tangan orang dewasa ternyata juga tergantung pada bagaimana kita
memahami definisi dan tujuan pendidikan. Kebebasan seperti yang
ditekankan dalam prinsip swa‐atur ini hanya berlaku dalam sebuah institusi
pendidikan yang memiliki pandangan bahwa anak seharusnya memiliki
kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran. Namun, perlu juga
diperhatikan bahwa prinsip swa‐atur – atau yang lebih dikenal sebagai
determinasi‐diri – justru sulit terlaksana pada anak‐anak, karena dibutuhkan
tingkat kemampuan kognitif tertentu untuk mengatur diri. Maka, mau tidak
mau, di samping diberi kebebasan memilih untuk mengikuti pelajaran atau
tidak, anak‐anak tetap membutuhkan tuntunan orang dewasa sampai
tingkat tertentu agar anak mampu menjalani prinsip swa‐atur dalam proses
pendidikan.
Kedua, prinsip swakelola yang diterapkan ini penting bagi
pertumbuhan aspek sosial anak‐anak. Namun seberapa demokratis
pemerintahan sekolah Summerhill, atau apakah demokrasi dalam
pemerintahan sekolah itu berjalan sepenuhnya, perlu ditinjau kembali
dengan teliti melalui pelaksanaan prinsip swakelola. Jika Neill menekankan
prinsip swakelola dengan sistem pemungutan suara – baik siswa maupun
staf memiliki kesempatan yang sama – untuk menentukan aturan‐aturan
sekolah ternyata suara yang sama itu tidak berarti kekuasaan yang sama.
Ada kekuasaan eksklusif di luar prinsip swakelola dari pihak Neill (dan
istrinya) Ketidakikutsertaan seluruh anggota komunitas dalam proses‐proses
116
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tertentu menyangkut kepentingan bersama, memudarkan proses demokrasi
dan memperlihatkan keterbatasan kepercayaan‐diri dalam proses tersebut.
Ketiga, model pendidikan Summerhill juga mendapat kritik dari
dewan pendidikan pemerintah Inggris. Upaya menghadapi dan menanggapi
keluhan‐keluhan itu merupakan perjuangan Summerhill untuk
mempertahankan filsafat pendidikannya. Tidak dapat disangkal bahwa
filsafat pendidikan Summerhill dan praktik‐praktiknya mendapat dukungan
penuh dari para orangtua, anak‐anak dan staf Summerhill sendiri. Karena
prinsip‐prinsip dasarnya dalam mendukung suatu bentuk demokrasi dan
dalam menyediakan pelajaran‐pelajaran fakultatif, Summerhill telah
dikategorisasikan sebagai ‘sekolah alternatif’ dan ‘sekolah bebas’. Inspeksi‐
inspeksi memang dibutuhkan demi kebutuhan melindungi hak‐hak anak‐
anak meskipun perlindungan itu sendiri berlangsung melalui proses dan
struktur sekolah sendiri. Jelaslah bahwa Summerhill menyediakan sebuah
lingkungan pendidikan sejati bagi anak‐anak di sana.
117
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
(halaman ini sengaja dikosongkan)
118
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
BEBERAPA CATATAN KRITIS ATAS PEMIKIRAN
NEILL
Teori pendidikan Neill ini cukup dominan dan berpengaruh bagi
berbagai bentuk sekolah alternatif lainnya. Namun pemikiran Neill tentang
pendidikan ini masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.
Tentang Prinsip Swa‐atur
Telah dikatakan sebelumnya, Neill menegaskan bahwa ’swa‐atur’
adalah hak anak untuk hidup bebas dari otoritas luar dalam hal‐hal baik
psikis maupun jasmani. Robin Barrow melihat ada dua kekeliruan dalam
pengertian ’swa‐atur’. Pertama, Neill sebenarnya tidak memberikan arti apa
itu ’swa‐atur’ seperti yang tertulis sebelumnya; dia hanya melakukannya
sebagai jalan alternatif, tetapi tidak yakin bahwa anak‐anak melakukan
prinsip ’swa‐atur’. Kedua, jika hal ini adalah ’swa‐atur’, maka pernyataan
bahwa anak‐anak dapat melakukan ’swa‐atur’ itu absurd.
Pada pokoknya, prinsip swa‐atur membutuhkan suatu kemampuan
kognitif tertentu – dalam hal ini setaraf dengan orang dewasa. Seorang anak
juga lahir tanpa diri yang teridentifikasi. Kodrat diri dan kepribadian yang
dikembangkannya terikat dengan lingkungan di mana ia tumbuh
berkembang. Neill tampaknya juga tidak yakin bahwa anak seharusnya
sepenuhnya melakukan ’swa‐atur’. Tanggung jawabnya untuk menyediakan
dan memelihara sebuah bentuk lingkungan yang relatif bebas bagi anak
yang tumbuh berkembang adalah fakta bahwa dia sudah turut campur
tangan dalam perkembangan anak. Selain itu, Neill juga berharap bahwa
119
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
120
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Kedua, permasalahan yang pantas dipertimbangkan menurut Darling
adalah tidak adanya peran ’polisi’ dalam komunitas Summerhill yang
berfungsi untuk mencegah perbuatan anti‐sosial dari anak‐anak
’bermasalah’. Berjalannya demokrasi dalam rapat umum sekolah tidak
diikuti peran ’polisi’, sehingga dikuatirkan bahwa anak‐anak yang dirugikan
akibat tindakan anti‐sosial kurang diperhatikan, dan mereka terpaksa
’membela diri’. Demi kemajuan prinsip swakelola ini, perlu dibentuk sebuah
komisi khusus sebagai ’polisi’ yang bertindak langsung mencegah tindakan
bullying atau anti‐sosial sebelum dibicarakan dan diputuskan bersama dalam
pertemuan umum sekolah. Maka dari itu, dua catatan kritis Darling
sekiranya menjadi masukan bagi prinsip swakelola Summerhill agar secara
radikal semakin demokratis.
2. Masalah Minoritas dalam Swakelola?
Dikatakan sebelumnya, menurut Neill, dalam prinsip swakelola yang
diterapkan dalam pertemuan umum sekolah, keputusan setiap perkara
ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Neill juga menegaskan bahwa
keputusan berdasarkan suara mayoritas itu identik dengan kepentingan
sosial, dan suara minoritas tidak menentukan suatu keputusan karena tidak
identik kepentingan sosial. Di sini, ada kesenjangan sosial antara mayoritas
dan minoritas, dan mayoritas diuntungkan karena dinyatakan sebagai
kepentingan atau kehendak sosial, lawan dari kepentingan invidual yang
secara tidak langsung diidentikkan dengan minoritas. Di sini, terdapat
masalah minoritas yang posisinya cenderung diabaikan karena dianggap
tidak sosial, atau anti‐sosial. Apakah dengan demokrasi berdasarkan prinsip
mayoritas, maka mempertahankan prinsip mayoritas, maka mengorbankan
121
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
hak individu itu diperbolehkan? Sebelum kita mengevaluasi gagasan Neill ini,
saya mengajak pembaca menilik sejenak pandangan Rousseau tentang
’kehendak umum’ [volonté générale] yang secara umum memiliki penekanan
dan problematika senada dengan Neill.
Bagi Rousseau, untuk melestarikan keadaan aslinya, manusia harus
membentuk persekutuan yang menciptakan sebuah lembaga moral kolektif,
yakni: ’negara’ atau ’kedaulatan rakyat’. Agar spontanitas alami manusia
tidak disingkirkan, negara harus mencerminkan kedaulatan rakyat;
kehendak negara identik dengan kehendak rakyat. Kedaulatan rakyat tidak
lain adalah pelaksanaan ’kehendak umum’ [bdk. Hardiman, 2004, 119].
’Kehendak umum’ adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah
pada kepentingan bersama atau umum [Magnis‐Suseno, 1987, 240].
Kehendak umum itu muncul melalui penyaringan dari kehendak semua
orang melalui pemungutan suara, dan kehendak mayoritaslah yang
menentukan kehendak umum. Kehendak negara harus identik dengan
kehendak umum itu, sehingga negara betul‐betul menjadi republik [res
publica] atau ’urusan umum’ [bdk. Magnis‐Suseno, 1987, 240]. Di sini, ada
identitas antara rakyat dan negara bahwa manusia memasukkan diri
seluruhnya ke dalam negara. Rousseau juga menolak adanya lembaga
perwakilan rakyat karena baginya kedaulatan rakyat tidak dapat diwakilkan.
Maka, Rousseau adalah pendukung demokrasi langsung.
Dari penjelasan di atas, tampak ada masalah besar tentang posisi
minoritas. Implikasi dari negara ideal Rousseau di atas adalah bahwa semua
warga negara tanpa perkecualian harus menyetujui kehendak negara, yang
ditentukan oleh suara mayoritas. Padahal masih ada minoritas sebagai pihak
122
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
123
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
penerangan atau penyuluhan agar kelompok minoritas sadar, dan jika tidak
mau, disingkirkan jika perlu. Kelompok minoritas yang tidak mau
menunjukkan kesadaran yang benar terhadap kepentingan umum tidak
mendapat tempat di negara Rousseau. Paham kehendak umum
mengizinkan untuk menghancurkan mereka yang tidak mau sekehendak.
Dalam pemikiran Rousseau, kita melihat bahwa suatu demokrasi pun dapat
menjadi totaliter jika tidak memberikan jaminan‐jaminan kepada minoritas,
misalnya dengan pengakuan terhadap hak‐hak asasi manusia. Maka, jika
kehendak umum selalu mencerminkan kepentingan umum dan dengan
demikian selalu benar, ajaran Rousseau ini membenarkan ’tirani mayoritas’,
’penindasan atas minoritas’, dan ’absolutisme negara demi kedaulatan
rakyat’.
Kemudian, jika kita kembali meneliti prinsip swakelola Neill,
tampaknya terdapat problematika yang sama. Bagi Neill, dalam swakelola,
setiap orang memiliki kesamaan hak suara, namun dalam pemungutan
suara, suara terbanyak menjadi penentu akhir dari sebuah keputusan
sebagai hasil rapat umum mingguan ini. Swakelola ini dipandang Neill
sebagai penjamin kebebasan individual, sehingga setiap individu berhak
menyatakan pendapatnya. Namun, Neill menekankan bahwa suara
mayoritaslah yang benar, maka mayoritas menentukan adanya keputusan.
Dalam hal ini, minoritas kalah, dan senantiasa menunggu waktu untuk
kembali menyatakan pendapatnya. Pandangan Neill tentang demokrasi
yang terdapat dalam prinsip swakelola ini senada dengan pandangan
Rousseau tentang kehendak umum. Dengan mengutamakan kepentingan
mayoritas sebagai kepentingan umum, Neill menyetujui pengabaian atas
kehendak minoritas. Mereka yang tidak setuju dengan kehendak mayoritas
124
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
dianggap mementingkan kepentingan individual. Neill juga mengidentikkan
kepentingan individual dengan sikap anti‐sosial. Implikasinya, Neill
menyetujui bahwa kepentingan individual harus mengalah terhadap
kepentingan sosial. Prinsip swakelola yang tadinya bercita‐cita untuk
menjamin kebebasan individual setiap orang justru ingin menyingkirkan
minoritas, kehendak yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan
umum. Dari sini, dapat dicurigai bahwa prinsip swakelola Summerhill yang
menjadi asas demokrasi ini dapat jatuh menjadi asas totalitarianisme karena
mengidentifikasikan kebebasan individual manusia dengan kepentingan
umum.
Kemudian muncul pertanyaan berikut yang lebih bersifat empiris:
benarkah swakelola mengabaikan kepentingan minoritas, hak‐hak
individual? Apakah dapat dibenarkan bahwa Neill menyetujui penindasan
terhadap hak‐hak individual dalam minoritas dalam prinsip swakelola?
Menghadapi persoalan dan tuduhan ini, Neill menyatakan keberatannya
bahwa minoritas tetap mendapat ruang kebebasan individual. Bagi Neill,
demokrasi Summerhill dalam praktik swakelola memberikan kesempatan
bagi setiap anak untuk menjadi pemimpin dan sekretaris dalam Rapat
Umum, termasuk mereka yang dicap berperilaku anti‐sosial atau yang tidak
setuju dengan kepentingan umum. Kata Neill: “Kerap kali, anak yang baru
saja mendapat hukuman dipilih menjadi pemimpin untuk Rapat Umum
selanjutnya” [Neill, 1993, 23].150 Kemudian, selain itu, peran pemimpin di sini
sangat penting dalam proses Rapat Umum ini. Keberhasilan rapat sangat
bergantung pada lemah‐kuatnya pemimpin. Pemimpin rapat ini
menentukan suatu permasalahan atau kasus layak atau tidak untuk
150
Often, the boy who has just been sentenced is elected chairman for the next General Meeting.
125
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
126
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Tentang ‘Kebaikan Alami Anak’
Telah dikatakan bahwa paham ‘kebaikan alami anak’ Neill menjadi
landasan kelayakan demokrasi sekolah, dan bahwa demokrasi dalam prinsip
swakelola menjamin hak semua pihak, termasuk minoritas. Seperti paham
‘manusia’ Rousseau, paham ‘kebaikan alami anak’ mengimplikasikan bahwa
anak akan berkembang jika bebas dari pengaruh orang dewasa dan
mengikuti dorongan‐dorongan alami. Jika demikian, anak tidak
merencanakan kehidupannya dan tidak bermasyarakat. Dengan paham
‘kebaikan alami anak’, agaknya Neill memahami anak bukanlah makhluk
sosial dan rasional [bdk. Magnis‐Suseno, 1987, 257]. Padahal, upaya untuk
membangun struktur sosial dengan mekanisme demokrasi yang secara
optimal mendukung otonomi manusia membutuhkan paham ‘otonomi
manusia’ sebagai makhluk sosial dan rasional [lih. Magnis‐Suseno, 1987,
258]. Dengan paham ‘anak’ Neill ini, upaya untuk memasukkan anak ke
dalam hidup komunitas sekaligus mempertahankan kebebasannya akan
gagal. Maka, cita‐cita ideal Neill akan prinsip swakelola yang menjamin hak‐
hak semua individu dalam komunitas bertentangan dengan ‘kebaikan alami
anak’ sebagai keyakinan dasar Summerhill. Dengan demikian, paham
‘kebaikan alami anak’ tidak dapat dijadikan sebagai landasan upaya
membangun komunitas yang menjamin otonomi dan hak‐hak setiap
individu.
127
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Catatan Akhir: Apakah itu ’Manusia Summerhillian’?
Untuk mengawali catatan akhir berkaitan dengan teori pendidikan
Neill, saya ingin melihat kembali definisi etimologis ’pendidikan’. Secara
etimologis, dengan merujuk pada Ducasse, ’mendidik’ itu berasal dari kata
Latin ”educere”. Educere berasal dari dua kata Latin, yakni ”ex” [’keluar dari’
atau ’dari dalam’] dan ”ducere” [’menarik’ atau ’membentangkan’]. Maka,
educere berarti ’menarik keluar/dari dalam’ atau ‘mengeluarkan’. Sayangnya
teori ini memudar ketika sekolah gagasan lainnya menyangkal bahwa
mendidik tidak berasal dari kata educere tetapi dari ”educare”.
Educare sendiri berasal dari kata Latin “dux” yang berarti ‘pemimpin’,
‘penganjur’, atau ‘penuntun’. Educare di sini berarti ‘membentuk’, ‘melatih’,
atau ‘menuntun’. Dari sini, perlu disadari bahwa ada dua aliran paling besar
dalam pemikiran pendidikan yang saling berlawanan, yakni (1) aliran
formalis dan (2) aliran naturalis. Aliran formalis berpandangan bahwa
pendidikan adalah sebuah kedisiplinan dan bahwa anak‐anak belajar apa
yang baik bagi mereka itu dilihat tetapi tidak didengarkan, dan dengan
pendidikan mereka dibuat menjadi orang‐orang dengan kemampuan
spesifik. Sebaliknya, kaum naturalis berpendapat bahwa pendidikan
seharusnya sekedar ’membiarkan anak berkembang’. Kemudian, Ducasse
memperluas definisi ini dengan mengatakan bahwa pendidikan mengambil
tempat melalui ’instruksi’, ’pelatihan’, dan ’indoktrinasi’ [lih. Schofield, 1972,
32]. Di sini, tampak bahwa pendidikan terkait dengan ’instruksi’, ’pelatihan’,
dan ’indoktrinasi’. Segera dengan merujuk pada Peters, Schofield mengantar
kita pada penjelasan bahwa ”’pendidikan’ dan ’pelatihan’ saling
berhubungan dengan sejumlah alasan: mungkin karena kita merasa bahwa
pendidikan harus mencakup pelatihan, atau karena kita berpikir bahwa baik
128
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
151
… ‘education’ and ‘training’ are connected, for a number of reasons: perhaps because we feel that
education must involve training, or because we think that education and training both include teaching
and instruction. … We can say that ‘teaching’, ‘training’, and ‘instruction’ are ‘educational’, but not that
they are ‘education’.
129
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
130
DAFTAR PUSTAKA
1. Pustaka Utama
Neill, A. S. 1993, Summerhill School: A New View of Childhood, New York: St.
Martin Press.
________ 1972, “Neill! Neill! Orange Peel!”: An Autobiography by A. S. Neill,
the World‐famous Headmaster of Summerhill School, New York: Hart
Publishing Co., Inc.
________ 1968, Summerhill, Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
2. Pustaka Pendukung
Alwi, Hasan dkk. 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka.
Appleton, Mattew 1992, “School as Community: The Ecology of Childhood –
A View from Summerhill School”, Journal of Alternative Education,
Summer, hlm. 1‐7.
Barrow, Robin & Ronald Woods 1988, An Introduction to Philosophy of
Education, London & New York: Routledge.
Berryman, Timothy 2000, Education for Peace Requires the Growth of the
Whole Child. University of New England, hlm. 50‐72.
Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.
Darling, John 1992, “A. S. Neill on Democratic Authority: A Lesson from
Summerhill?”, Oxford Review of Education, Vol. 18, No. 1, hlm. 45‐57.
Durant, Will 1933, The Story of Philosophy, New York: Garden City Publishing
Co., Inc.
131
Fromm, Erich 1981, A Foreword, dlm: Neill, A. S. 1960, Summerhill – A Radical
Approach to Child Rearing, New York: Hart Publishing Co., hlm. IX‐XVI.
Gill, Peter 1979, A. S. Neill: The Education of The Free Child, dlm: D’Cruz, J. V.
and Wilma Hannah [ed.], Perceptions of Excellence: Studies in
Educational Theory, Melbourne: The Polding Press, hlm. 335‐348.
Hardiman, F. Budi 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Keohane, Mary 1970, “A. S. Neill: Latter‐Day Dewey?”, The Elementary
School Journal, Vol. 70, No. 8, hlm. 401‐410.
Lichtenstein, Peter M. 1985, “Radical Liberalism and Radical Education: A
Synthesis and Critical Evaluation of Illich, Freire, and Dewey”,
American Journal of Economics and Sociology, Vol. 44, No.1, hlm. 39‐53.
Magee, Bryan 2008, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Magnis‐Suseno, Franz 1987, Etika Politik: Prinsip‐prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia.
Neill, A. S. 2004, Summerhill: Sekolah Radikal, dlm: Naomi, Omi Intan
(penterj & ed.), Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif,
Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 261‐289.
O’Hear, Anthony 1981, Education, Society & Human Nature: An Introduction
of the Philosophy of Education, London: Routledge & Kegan Paul.
Prent, K. dkk. 1969, Kamus Latin – Indonesia, Semarang: Penerbitan Yayasan
Kanisius.
Rousseau, Jean‐Jacques 1977, Émile, London: Everyman’s Library.
Schofield, Harry 1972, The Philosophy of Education: An Introduction, London:
George Allen & Unwin Ltd.
Sindhunata 2008, Tanda‐tanda Zaman: Angsa yang Kesepian, dlm: BASIS,
Melawan Pendidikan Turbo, No. 07‐08, Tahun ke‐57.
132
Wilds, Elmer Harrison 1942, The Foundations of Modern Education, New York:
Rinehart & Company, Inc.
3. Sumber dari Internet
“A. S. Neill”, http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill, diakses pada Rabu, 21
Mei 2008, pukul 22.24.
“General Certificate of Secondary Education [GCSE]”,
http://en.wikipedia.org/wiki/GCSE, diakses pada Senin, 16 Maret 2009,
pukul 15.04.
“Jean‐Jacques Rousseau (1712‐1778)”, The Internet Encyclopedia of
Philosophy, http://www.iep.utm.edu/r/rousseau.htm#SH5b, diakses
pada Selasa, 10 Februari 2009, pukul 23.19.
“Office for Standards in Education, Children's Services and Skills [OFSTED]”,
www.wikipedia.org/wiki/OFSTED, diakses pada Jumat, 5 September
2008, pukul 10.15
“Report of an Inquiry into Summerhill School – Leiston, Suffolk, Januari
2000”,
http://www.selfmanagedlearning.org/Summerhill/RepMain.htm,
diakses pada Senin, 16 Maret 2009, pukul 12.29.
”Summerhill Meeting”,
http://www.summerhillschool.co.uk/themeeting.htm, diakses pada
Jumat, 5 September 2008, pukul 10.15.
“Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan”,
http://victoralexanderliem.blogspot.com/2008/09/summerhill‐school‐
pendidikan‐alternatif.html, diakses pada Minggu, 8 April 2009, pukul
12.28.
133