Anda di halaman 1dari 8

Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits

Arbain Pertama (1)

،‫ والص لة والس لم عل ى أش رف النبي اء والمرس لين‬،‫ الحم د ل رب الع المين‬،‫بسم ال الرحمن الرحي م‬
‫ وعلى آله وصحبه أجمعين‬،‫نبينا محمد‬
،/‫ ات‬,‫الن@ي‬/‫ ب‬4‫ ال‬,‫م‬3‫ع‬,‫أ‬3‫ ا ال‬,‫م‬0‫ن‬/‫ إ‬:4‫ل‬3‫ و‬4‫ق‬,‫ ي‬/‫ ال‬,‫ ول‬4‫س‬,‫ ر‬4‫ت‬3‫ع‬/‫ م‬,‫ س‬:,‫ ال‬,‫ ق‬/‫ اب‬0‫ط‬,‫خ‬3‫ ال‬/‫ن‬3‫ ب‬,‫ر‬,‫م‬4‫ ع‬5‫ص‬3‫ف‬,‫ ح‬3‫ي‬/‫ب‬,‫ أ‬,‫ن‬3‫ي‬/‫ن‬/‫م‬3‫ؤ‬4‫م‬3‫ ال‬/‫ر‬3‫ي‬/‫م‬,‫ أ‬3‫ن‬,‫ع‬
3‫ت‬,‫ ان‬,‫ ك‬3‫ ن‬,‫م‬,‫ و‬،/‫ه‬/‫ ول‬3‫س‬,‫ر‬,‫ و‬/‫ ى ال‬,‫ل‬/‫ إ‬4‫ ه‬4‫ت‬,‫ر‬3‫ج‬/‫ه‬,‫ ف‬/‫ه‬/‫ ول‬4‫س‬,‫ر‬,‫ و‬/‫ى ال‬,‫ل‬/‫ إ‬4‫ه‬4‫ ت‬,‫ر‬,‫ر‬3‫ج‬/‫ ه‬3‫ت‬,‫ان‬,‫ ك‬3‫ن‬,‫م‬,‫ ف‬،‫ى‬,‫و‬,‫ا ن‬,‫ م‬5‫ئ‬/‫ر‬3‫ل@ ام‬4‫ك‬/‫ا ل‬,‫م‬0‫ن‬/‫إ‬,‫و‬
/‫يه‬3 ,‫ل‬/‫ إ‬,‫ر‬,‫اج‬,‫ا ه‬,‫ى م‬,‫ل‬/‫ إ‬4‫ه‬4‫ت‬,‫ر‬4‫ج‬5‫ه‬,‫ا ف‬,‫ه‬4‫ح‬/‫ك‬3‫ن‬,‫ ي‬5‫ة‬,‫أ‬,‫ر‬3‫ ام‬/‫و‬,‫ا أ‬,‫ه‬4‫ب‬3‫ي‬/‫ص‬4‫ا ي‬,‫ني‬M‫د‬/‫ ل‬4‫ه‬4‫ت‬,‫ر‬3‫ج‬/‫ ه‬.
"Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai
dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka
hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari
dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia
tuju." (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)
Kedudukan Hadits
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini
dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam Al
Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata,
"Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar‫إنما العمال بالنيات‬, hadits 'Aisyah
‫من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬, dan hadits An Nu'man bin Basyir ‫الحلل بين والحرام‬
‫بين‬." Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar
antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara
halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui
secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan
telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu
perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar.
Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah
benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah 'Azza wa Jalla
harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh
hadits 'Aisyah di atas.
Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah,
meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu,
kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik
dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua
perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa
'Alaa.
Tafsiran Ulama Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada
Niatnya"

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau ‫إنما العمال بالنيات‬


terkadang lafadz dan ‫النية‬ ‫العمل‬
disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki
makna yang sama, karena lafadz ‫العمل‬ dan ‫النية‬ dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis
amalan dan niat.
Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap
orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung
pembatasan. Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang
dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan
niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ‫إنما‬
‫العمال بالنيات‬.
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ‫إنما العم ال بالني ات‬
yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat
yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya‫وإنما لكل امرئ ما نوى‬
maksudnya adalah
seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang
melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ‫إنما العمال بالنيات‬
menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang
dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah
niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang
buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan
suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana.
Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ‫إنم ا العم ال بالني ات‬
adalah amalan
akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan
amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ‫وإنما لكل امرئ ما نوى‬memiliki
kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila
niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan
dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang
akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap
perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara-
perkara yang terjadi.
Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya]
adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan
pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.
Definisi Amal

‫العمال‬ adalah bentuk jamak dari ‫العمل‬


, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf
dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits
tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz ‫العمال‬
dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan,
ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang
berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan
maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh
perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz ‫العمال‬


dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam
hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat
diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak
dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan
hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.
Permasalahan Niat
Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan
karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam
hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan
yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai
pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan
lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz ‫ الرادة‬dan terkadang dengan lafadz ‫البتغاء‬
atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah,

,‫ون‬4‫ح‬/‫ل‬3‫ف‬4‫م‬3‫ ال‬4‫م‬4‫ ه‬,‫ك‬/‫ئ‬,‫ول‬4‫أ‬,‫ و‬/‫ه‬0‫ الل‬,‫ه‬3‫ج‬,‫ و‬,‫ون‬4‫يد‬/‫ر‬4‫ ي‬,‫ين‬/‫ذ‬0‫ل‬/‫ل‬


"Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-
orang beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)

3 /‫ ا م‬,‫م‬,‫ و‬5‫ء‬3‫ ي‬,‫ ش‬3‫ ن‬/‫ م‬3‫م‬/‫ه‬/‫ اب‬,‫س‬/‫ ح‬3‫ ن‬/‫ م‬,‫ ك‬3‫ي‬,‫ل‬,‫ ا ع‬,‫ م‬4‫ ه‬,‫ه‬3‫ج‬,‫ و‬,‫ون‬4‫ي د‬/‫ر‬4‫] ي‬/‫ ي‬/‫ش‬,‫ع‬3‫ال‬,‫ و‬/‫اة‬,‫د‬,‫غ‬3‫ال‬/‫ ب‬3‫م‬4‫ه‬0‫ب‬,‫ ر‬,‫ون‬4‫ع‬3‫د‬,‫ ي‬,‫ين‬/‫ذ‬0‫د ال‬/ 4‫ر‬3‫ط‬,‫ل ت‬,‫و‬
‫ن‬
,‫ين‬/‫م‬/‫ال‬0‫ الظ‬,‫ن‬/‫ م‬,‫ون‬4‫ك‬,‫ت‬,‫ ف‬3‫م‬4‫ه‬,‫د‬4‫ر‬3‫ط‬,‫ت‬,‫ ف‬5‫ء‬3‫ي‬,‫ ش‬3‫ن‬/‫ م‬3‫هم‬/ 3‫ي‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ك‬/‫اب‬,‫س‬/‫ح‬
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari,
sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)

4‫ه‬,‫ه‬3‫ج‬,‫ و‬,‫ون‬4‫يد‬/‫ر‬4‫] ي‬/‫ي‬/‫ش‬,‫ع‬3‫ال‬,‫ و‬/‫اة‬,‫د‬,‫غ‬3‫ال‬/‫ ب‬3‫م‬4‫ه‬0‫ب‬,‫ ر‬,‫ون‬4‫ع‬3‫د‬,‫ ي‬,‫ين‬/‫ذ‬0‫ ال‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ك‬,‫س‬3‫ف‬,‫ ن‬3‫ر‬/‫ب‬3‫اص‬,‫و‬
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)
Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

‫ة‬/ ,‫ ر‬/‫ ي الخ‬/‫ ف‬4‫ ه‬,‫ ا ل‬,‫م‬,‫ ا و‬,‫ه‬3‫ن‬/‫ م‬/‫ه‬/‫ت‬3‫ ؤ‬4‫ا ن‬,‫ي‬3‫ن‬M‫ ال د‬,‫ث‬3‫ر‬,‫ ح‬4‫يد‬/‫ر‬4‫ ي‬,‫ان‬,‫ ك‬3‫ن‬,‫م‬,‫ و‬/‫ه‬/‫ث‬3‫ر‬,‫ي ح‬/‫ ف‬4‫ه‬,‫ ل‬3‫د‬/‫ز‬,‫ ن‬/‫ة‬,‫ر‬/‫ الخ‬,‫ث‬3‫ر‬,‫ ح‬4‫يد‬/‫ر‬4‫ ي‬,‫ان‬,‫ ك‬3‫ن‬,‫م‬
5‫يب‬/‫ص‬,‫ ن‬3‫ن‬/‫م‬
"Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu
baginya." (QS. Asy Syuura: 20)
Atau dengan lafadz ‫ البتغاء‬seperti firman Allah,

‫ء‬, ‫ا‬,‫غ‬/‫ت‬3‫ اب‬,‫ك‬/‫ل‬,‫ ذ‬3‫ل‬,‫ع‬3‫ف‬,‫ ي‬3‫ن‬,‫م‬,‫ و‬/‫اس‬0‫ الن‬,‫ن‬3‫ي‬,‫ ب‬5‫لح‬3‫ص‬/‫ إ‬3‫و‬,‫ أ‬5‫وف‬4‫ر‬3‫ع‬,‫ م‬3‫و‬,‫ أ‬5‫ة‬,‫ق‬,‫د‬,‫ص‬/‫ ب‬,‫ر‬,‫م‬,‫ أ‬3‫ن‬,‫ل م‬/‫ إ‬3‫م‬4‫اه‬,‫و‬3‫ج‬,‫ ن‬3‫ن‬/‫ م‬5‫ير‬/‫ث‬,‫ي ك‬/‫ ف‬,‫ر‬3‫ي‬,‫ل خ‬
١١٤) ‫ا‬j‫يم‬/‫ظ‬,‫ا ع‬j‫ر‬3‫ج‬,‫ أ‬/‫يه‬/‫ت‬3‫ؤ‬4‫ ن‬,‫ف‬3‫و‬,‫س‬,‫ ف‬/‫ه‬0‫ الل‬/‫اة‬,‫ض‬3‫ر‬,‫)م‬
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)

‫ى‬,‫ل‬3‫ الع‬/‫]ه‬/‫ب‬,‫ ر‬/‫ه‬3‫ج‬,‫ و‬,‫اء‬,‫غ‬/‫ت‬3‫ل اب‬/‫إ‬


"Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha
tinggi." (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz
‫الرادة‬, lafadz ‫البتغاء‬ atau lafadz ‫الس لم‬ yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada
Allah.
Makna Niat
Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat
mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua
bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat
itu ada dua jenis:
Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini
sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka
menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah
ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang
pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan
dengan ibadah yang lain.
Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan dengan ‫الخلص‬, yaitu memurnikan hati, niat dan amal
hanya kepada Allah 'azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam ‫إنما العمال بالنيات‬
adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat,
yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna
mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan
bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau
pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas
permasalahan niat.
-bersambung insya Allah-
***
Tingkat pembahasan: Dasar
Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh
Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni
Ma'had Ilmi)
Murojaah: Ust. Aris Munandar
Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits
Arbain Pertama (2)
Sabda Nabi shallallahu 'Alaihi wa sallam "Setiap Orang Akan Mendapatkan Ganjaran
Sesuai Dengan Apa Yang Diniatkannya"
Di dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [setiap orang akan mendapatkan ganjaran
sesuai dengan apa yang diniatkannya] mengandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan
mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya. Jika niatnya
ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang salih,
dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan
adalah amalan yang rusak dan buruk. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

,‫اء‬,‫ف‬,‫ن‬4‫ ح‬,‫]ين‬/‫ الد‬4‫ه‬,‫ ل‬,‫ين‬/‫ص‬/‫ل‬3‫خ‬4‫ م‬,‫ه‬0‫وا الل‬4‫د‬4‫ب‬3‫ع‬,‫ي‬/‫ل ل‬/‫وا إ‬4‫ر‬/‫م‬4‫ا أ‬,‫م‬,‫و‬


"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)
Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-
Nya,

4‫ص‬/‫ال‬,‫خ‬3‫ ال‬4‫]ين‬/‫ الد‬/‫ه‬0‫ل‬/‫ل ل‬,‫أ‬


"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az Zumar: 3)
Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti
sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

‫ا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه‬j‫ من عمل عمل‬،‫أنا أغنى الشركاء عن الشرك‬
"Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-
Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim nomor 5300)
Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan
tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang
mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka
amalannya batal dan rusak. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya
jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau
terletak di rukun yang satu namun tidak di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.
Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya' atau sum'ah kepada makhluk.
Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam
hadits,

‫ ومن تصدق يرائي فقد أشرك‬،‫ ومن صام يرائي فقد أشرك‬،‫من صلى يرائي فقد أشرك‬
"Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya' maka dia telah berbuat
syirik." (HR. Ahmad nomor 16517)
Yang patut diperhatikan adalah riya' dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi,
namun riya' hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah
atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya' model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir
dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

‫يل‬/‫ل‬,‫ل ق‬/‫ إ‬,‫ه‬0‫ الل‬,‫ون‬4‫ر‬4‫ك‬3‫ذ‬,‫ل ي‬,‫ و‬,‫اس‬0‫ الن‬,‫ون‬4‫اء‬,‫ر‬4‫ي‬


"Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An NIsaa': 142)
Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

‫م‬/ 3‫ و‬,‫ي‬3‫ال‬,‫ و‬/‫ه‬0‫ الل‬/‫ ب‬4‫ن‬/‫م‬3‫ؤ‬4‫ل ي‬,‫ و‬/‫اس‬0‫ الن‬,‫اء‬,‫ئ‬/‫ ر‬4‫ه‬,‫ال‬,‫ م‬4‫ق‬/‫ف‬3‫ن‬4‫ي ي‬/‫ذ‬0‫ال‬,‫ى ك‬,‫الذ‬,‫] و‬/‫ن‬,‫م‬3‫ال‬/‫ ب‬3‫م‬4‫ك‬/‫ات‬,‫ق‬,‫د‬,‫وا ص‬4‫ل‬/‫ط‬3‫ب‬4‫وا ل ت‬4‫ن‬,‫ آم‬,‫ين‬/‫ذ‬0‫ا ال‬,‫ه‬M‫ي‬,‫ا أ‬,‫ي‬
/‫ر‬/‫الخ‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(QS. Al Baqarah: 264)
Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah
adalah kepada selain Allah (seperti riya' atau sum'ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan
batal.
Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua
kondisi untuk permasalahan ini:
Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan
niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia
telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian menujukan ibadah tersebut kepada
makhluk.
Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian membaguskan ibadahnya
seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya
di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya
yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak
adalah amalan yang tercampur dengan riya' dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan
Syirik Ashghar-wal 'iyadzu billah.
Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah
kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa
ikhlas kepada Allah Ta'ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal
tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia
melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika
sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan
amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

‫تلك عاجل بشرى المؤمن‬


"Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia
mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak
menginginkannya." (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR.
Baihaqi dalam Syu'abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)
Pembagian Amal
Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang
hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk
memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.
Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan
ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,

4‫مه‬, /‫ح‬,‫ ر‬3‫ل‬/‫ص‬,‫ي‬3‫ل‬,‫ ف‬/‫ه‬/‫ر‬,‫ث‬,‫ي أ‬/‫ ف‬4‫ه‬,‫ ل‬,‫أ‬,‫س‬3‫ن‬4‫ ي‬3‫ن‬,‫أ‬,‫ و‬/‫ه‬/‫ق‬3‫ز‬/‫ي ر‬/‫ ف‬4‫ه‬,‫ ل‬,‫ط‬,‫س‬3‫ب‬4‫ ي‬3‫ن‬,‫ أ‬4‫ه‬0‫ر‬,‫ س‬3‫ن‬,‫م‬
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia
menyambung kekerabatan." (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
‫من قتل قتيل فله سلبه‬
"Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi
miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu
Hibban 14/119, 20/199)
Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia.
Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping
mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya
kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung
kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan
ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad
untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan
niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal
tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.
Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia
oleh Allah 'Azza wa Jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza
wa Jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah 'Azza wa Jalla,

,‫ون‬4‫س‬,‫خ‬3‫ب‬4‫ا ل ي‬,‫يه‬/‫ ف‬3‫م‬4‫ه‬,‫ا و‬,‫يه‬/‫ ف‬3‫م‬4‫ه‬,‫ال‬,‫م‬3‫ع‬,‫ أ‬3‫م‬/‫ه‬3‫ي‬,‫ل‬/‫] إ‬/‫ف‬,‫و‬4‫ا ن‬,‫ه‬,‫ت‬,‫ين‬/‫ز‬,‫ا و‬,‫ي‬3‫ن‬M‫ الد‬,‫ اة‬,‫ي‬,‫ي‬,‫ح‬3‫ ال‬4‫يد‬/‫ر‬4‫ ي‬,‫ان‬,‫ ك‬3‫ن‬,‫م‬
"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan." (QS. Huud: 15)
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan
niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang
menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh
karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini,
maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia
ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya
terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin
besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa' (‫)الفاء‬


dalam sabda beliau ‫فمن كانت هجرته‬
berfungsi untuk merinci jenis amalan yang
terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (‫)الهج رة‬


bermakna meninggalkan (‫)ال ترك‬
. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah
berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-
Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan
tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.
Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

‫ ومن كانت هجرته ل دنيا يص يبها أو ام رأة‬،‫فمن كانت هجرته إلى ال ورسوله فهجرته إلى ال ورسوله‬
‫ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه‬
Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga
mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrahnya tersebut. Salah satu contoh dalam masalah ini
adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang
yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid'ahan dan kemungkaran menuju daerah yang
menegakkan sunah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih
secara terperinci.
Kedua, golongan yang berhijrah karena motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam, [Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin
menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju]. Golongan ini
seperti seorang pedagang yang berhijrah karena ingin mendapatkan harta atau perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrah yang dia lakukan tidak mendatangkan pahala baginya dan
terkadang dia memperoleh dosa.

‫و صلى ال على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين‬


Pogung Baru 8 Safar 1428 H
***
Tingkat pembahasan: Dasar
Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh
Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni
Ma'had Ilmi)
Murojaah: Ust. Aris Munandar

Anda mungkin juga menyukai