Anda di halaman 1dari 27

PERAN MIKROORGANISME: STUDI KASUS PERBANDINGAN FERMENTASI ANTIBIOTIK OLEH. STREPTOMYCES SP.

S-34 DAN DUA REKOMBINASINYA PADA BEBERAPA MEDIUM

DOSEN PEMBIMBING : NOPI STIYATI P., S.Si, M.T

OLEH : M. SADIQUL IMAN H1E108059

PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan petunjuk yang dicurahkan-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan ini. Penulisan Peran Mikroorganisme: Studi Kasus Perbandingan Fermentasi Antibiotik oleh. Streptomyces SP. S-34 dan Dua Rekombinasinya pada Beberapa Medium ini merupakan tugas yang diberikan oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T, yang mana tujuan yang saya ambil dari kegiatan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang peran mikroorganisme dalam kehidupan seharihari serta mengembangkan daya kreativitas remaja khususnya mahasiswa dalam mengembangkan daya cipta untuk melakukan suatu perubahan dalam upaya sumbangan pikiran untuk pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat. Penulisan laporan ini dapat diselesaikan karena berkat bimbingan secara terpadu oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T,dan dukungan dari semua pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini saya mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya. Dan akhirnya diharapkan agar penulisan laporan ini dapat berguna bagi kita semua serta kemajuan ilmu pengetahuan. Penulisan ini tentunya tidak lepas dari kritik dan saran yang besifat membangun.

Banjarbaru,

Maret 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1.1 Latar Belakang................................................................................. 1.2 Tujuan dan Manfaat......................................................................... 1.3 Metode Penulisan............................................................................. BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2.1 Metode Sterilisasi dan Desinfeksi............................................. 2.2 Sterilisasi................................................................................... 2.3 Desinfeksi................................................................................. 2.4 Mikroorganisme Penghasil Antibiotik..................................... BAB III PEMBAHASAN............................................................................ BAB IV PENUTUP..................................................................................... 4.1 Kesimpulan................................................................................ DAFTAR PUSTAKA................................................................................... LAMPIRAN................................................................................................. i ii 1 1 1 2 2 3 6 9 9 13 16 16 17 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sterilisasi adalah cara untuk mendapatkan suatu kondisi bebas mikroba atau setiap proses yang dilakukan baik secara fisika, kimia, dan mekanik untuk membunuh semua bentuk kehidupan terutama mikroorganisme. Dalam bidang mikrobiologi baik dalam pengerjaan penelitian atau praktikum, keadaan steril merupakan syarat utama berhasil atau tidaknya pekerjaan kita dilaboratorium. Pengetahuan tentang prinsip dasar sterilisasi dan desinfeksi sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan di bidang medis yang bertanggung jawab. Cara sterilisasi dan desinfeksi yang baru banyak diperkenalkan, namun masih tetap digunakan cara-cara dan beberapa bahan seperti digunakan berabad lalu. Penggunaan bahan desinfektan maupun antiseptik dalam bidang mikrobiologi lingkungan menjadi suatu kebutuhan, dimana penggunaan bahanbahan kimia sebagai zat desinfektan memudahkan kita dalam menyingkirkan atau membunuh mikroorganisme yang dianggap pathogen. Selain penggunaan bahan kimia pada bahan desinfektan, peran mikroorganisme juga patut dipertimbangkan dalam hal persediaan antibiotik. Yang mana antibiotik sendiri merupakan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, dan zat-zat itu dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat kegiatan mikroorganisme yang lain, sama halnya dengan kerja bahan-bahan kimia desifnektan seperti golongan aldehid, alcohol, pengoksida, halogen, fenol, garam (amonium kuarterner) dan biguanida. 1.2 Tujuan Dalam penulisan karya ilmiah ini, tujuan yang hendak dicapai adalah dapat mengetahui proses sterilisasi dan desinfeksi. Dimana dalam proses desinfeksi penggunaan desinfektan maupun antiseptik berguna dalam menyingkirkan dan membunuh mikroorganisme yang dianggap pathogen atau merugikan. Serta peran mikroorganisme penghasil antibiotik sebagai salah satu bahan desinfektan maupun antiseptik.

1.3 Batasan Masalah Pembatasan masalah dari pembuatan karya ilmiah ini adalah apakah kandungan medium nitrogen dan berbagai kadar glukosa berpengaruh dalam mempercepat pembentukan dan jumlah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces SP. S-34 melalui proses fermentasi?. Serta pebandingan fermentasi antibiotik Streptomyces SP. S-34 dengan dua rekombinannya yang disebut HFSP1 dan HFSP-2. 1.4 Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan adalah studi literatur dari buku-buku maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan peran mikroorganisme dalam menghasilkan zat antibiotik sebagai salah satu bahan desinfektan maupun antiseptik yang informasinya didapat dari internet.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 METODE STERILISASI DAN DESINFEKSI Kajian mikrobiologi membutuhkan metode yang tepat untuk pengamatan mikrobia. Metode mikroskopik dan kemampuan mengkultur mikrobia merupakan metodologi dasar yang dilakukan para ahli mikrobiologi untuk mempelajari struktur, sifat-sifat fisiologisnya (metabolisme dan pertumbuhan) serta mengungkapkan keragaman mikrobia. Penggunaan dan pengembangan alat-alat mikroskopik, kultur murni, metode molekuler dan immunologis memungkinkan peneliti melakukan pengujian yang pada akhirnya berhasil membuat temuantemuan baru dibidang tersebut. Kemajuan dalam bidang metodologi ini telah mengungkap pemahaman sifat-sifat dasar mikrobia serta aspek-aspek yang berkenaan dengan teknik dan metodologi penelitian mikroba. Salah satu bagian yang penting dalam mikrobiologi adalah pengetahuan tentang cara-cara mematikan, menyingkirkan, dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Cara yang digunakan untuk menghancurkan, menghambat pertumbuhan dan menyingkirkan mikroorganisme berbeda-beda tergantung pada spesies yang dihadapi. Selain itu lingkungan dan tempat mikroba ini pun berbedabeda misalnya dalam darah, makanan, air, sampah, riol, dan tanah. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan cara untuk menghancurkan mikroorganisme yang digunakan tergantung pada pengetahuan, keterampilan, dan tujuan dari yang melaksanakannya, sebab tiap situasi yang dihadapi merupakan kenyataan dasar yang dapat menuntun pada cara atau prosedur yang harus dilakukan. Tujuan utama mematikan, menyingkirkan, atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme adalah sebagai berikut: 1. Untuk mencegah infeksi pada manusia, hewan piaraan, dan tumbuhan. 2. Untuk mencegah makanan dan lain-lain komoditi menjadi rusak. 3. Untuk mencegah gangguan kontaminasi terhadap mikroorganisme yang digunakan dalam industri, hasilnya tergantung pada kemurnian penggunaan biakan murni.

4. Untuk mencegah kontaminasi bahan-bahan yang dipakai dalam pengerjaan biakan murni di laboratorium (diagnosis, penelitian, industri), sehingga pengamatan tentang pertumbuhan satu organisme pada medium pembiakan khusus atau pada hewan percobaan membingungkan karena adanya organisme lain yang tumbuh. Beberapa istilah serta pengertian yang digunakan dalam pembicaraan masalah mematikan, menghambat pertumbuhan, dan menyingkirkan mikroorganisme adalah sebagai berikut: 1. Sterilisasi Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua kehidupan dalam bentuk apapun. Untuk tujuan mikrobiologi dalam usaha mendapatkan keadaan steril, mikroorganisme dapat dimatikan setempat (in situ) oleh panas (kalor), gas-gas seperti formaldehide, etilenoksida atau betapriolakton oleh bermacam-macam larutan kimia; oleh sinar lembayung ultra atau sinar gamma. Mikroorganisme juga dapat disingkirkan secara mekanik oleh sentrifugasi kecepatan tinggi atau oleh filtrasi. 2. Disinfeksi Disinfeksi berarti mematikan atau menyingkirkan organisme yang dapat menyebabkan infeksi. Meskipun dengan melakukan disinfeksi dapat tercapai keadaan steril, namun tidak seharusnya terkandung anti sterilisasi. Disinfeksi biasanya dilaksanakan dengan menggunakan zat-zat kimia seperti fenol, formaldehide, klor, iodium atau sublimat. Pada susu, disinfeksi (bukan sterilisasi) dilakukan dengan pasteurisasi. Pada umumnya bukan spora-spora yang tahan panas. 3. Desinfektan Disinfektan adalah bahan yang digunakan untuk melaksanakan disinfeksi. Seringkali sebagai sinonim digunakan istilah antiseptik, tetapi pengertian disinfeksi dan disifektan biasanya ditujukan terhadap benda-benda mati, seperti lantai, piring, pakaian. 4. Antiseptika Antiseptika pada umumnya dimaksudkan bahan-bahan yang mematikan atau disinfeksi dimaksudkan untuk mematikan sel-sel vegetatif yang lebih sensitif tetapi

menghambat mikroorganisme, khususnya yang berkontak dengan tubuh tanpa mengakibatkan kerusakan besar pada jaringan. Untuk digunakan sebagai antiseptika, kebanyakan disinfektan terlalu dekstruktif terhadap jaringan. (Burdon, 1969 dalam Yusuf, 2009). 2.2 STERILISASI Sterilisasi merupkan proses menghancurkan semua jenis kehidupan sehingga menjadi steril. Sterilisasi seringkali dilakukan dengan pengaplikasian udara panas. Ada dua metode yang sering digunakan, yaitu : 1. Panas lembab dengan uap jenuh bertekanan. Sangat efektif untuk sterilisasi karena menyediakan suhu jauh di atas titik didih, proses cepat, daya tembus kuat dan kelembaban sangat tinggi sehingga mempermudah koagulasi protein sel-sel mikroba yang menyebabkan sel hancur. Suhu efektifnya adalah 121oC pada tekanan 5 kg/cm2 dengan waktu standar 15 menit. Alat yang digunakan : pressure cooker, autoklaf (autoclave) dan retort. 2. Panas kering, biasanya digunakan untuk mensterilisasi alat-alat laboratorium. Suhu efektifnya adalah 160oC selama 2 jam. Alat yang digunakan pada umumnya adalah oven (Febrialdi, 2008). Menurut Irwanto dalam Yusuf (2009), sterilisasi dilakukan dalam 4 tahap, yaitu: 1. Pembersihan sebelum sterilisasi 2. Pembungkusan 3. Proses sterilisasi 4. Penyimpanan yang aseptik. Menurut Tim Dosen (Yusus, 2009), sterilisasi dapat dilakukan dengan cara: 1. Sterilisasi secara fisik Selama senyawa kimia yang disterilkan tidak berubah atau terurai akibat suhu tinggi dan atau tekanan tinggi, selama itu sterilisasi secara fisik dapat dilakukan. Misalnya dengan pemanasan udara panas, uap air, bertekanan,

pemijaran, penggunaan sinar-sinar bergelombang pendek seperti sinar X, sinar gamma, UV dan sebagainya. Pada pemanasan dengan oven dibutuhkan panas setinggi 150-170 C dengan waktu yang lebih lama dari autoklaf. Sebagai gambaran untuk mematikan spora dibutuhkan waktu dua jam dengan suhu 180 C. Pensterilan dengan uap dalam tekanan dilakukan dalam autoklaf. Dalam otoklaf ini uap berada dalam keadaan jenuh, dan peningkatan tekanan mengakibatkan suhu yang tercapai menjadi lebih tinggi, yaitu di bawah tekanan 15ib (2 atmosfer). Suhu dapat meningkat sampai 121C. Bila uap itu dicampur dengan udara yang sama banyak, pada tekanan yang sama, maka suhu yang tercapai hanya110Citu sebabnya udara dalam autoklaf harus dikeluarkan sampai habis untuk memperoleh suhu yang diinginkan (121C). dalam suhu tersebut semua mikroorganisme, baik vegetatif maupun spora dapat dimusnahkan dalam waktu yang tidak lama, yaitu sekitar 15-20 menit. 2. Sterilisasi secara kimia Senyawa kimia yang paling banyak digunakan sebagai disinfektan (senyawa yang dapat menghancurkan sel antara lain CuSO4, AgNO3, HgCl2, ZnO, alkohol dan campurannya. 3. Sterilisasi secara mekanik Beberapa media atau bahan akan mengalami perubahan karena tidak tahan terhadap pemanasan tinggi ataupun tekanan tinggi. Dengan demikian maka sterilisasi yang efektif yaitu secara mekanik misalnya, penyaringan menggunakan filter khusus. Sistem kerja filter, seperti pada saringan lain adalah melakukan seleksi terhadap partikel-partikel yang lewat (dalam hal ini adalah mikroba) (Suriawiria, 2005 dalam Yusuf, 2009). 2.3 DESINFEKSI Desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan jalan membunuh mikroorganisme patogen (Irwanto, 2009).

Sedangkan desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian. Pada dasarnya ada persamaan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan. Tapi tidak semua bahan desinfektan adalah bahan antiseptik karena adanya batasan dalam penggunaan antiseptik. Antiseptik tersebut harus memiliki sifat tidak merusak jaringan tubuh atau tidak bersifat keras. Terkadang penambahan bahan desinfektan juga dijadikan sebagai salah satu cara dalam proses sterilisasi, yaitu proses pembebasan kuman. Tetapi pada kenyataannya tidak semua bahan desinfektan dapat berfungsi sebagai bahan dalam proses sterilisasi. Walaupun kita sering menggunakan produk desinfektan, sebagian besar konsumen tentunya belum mengenal jenis bahan kimia apa yang ada dalam produk tersebut. Padahal bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan efektivitas dan fungsi serta target mikroorganime yang akan dimatikan. Dalam proses desinfeksi sebenarnya dikenal dua cara, cara fisik (pemanasan) dan cara kimia (penambahan bahan kimia). Dalam tulisan ini hanya difokuskan kepada cara kimia, khususnya jenis-jenis bahan kimia yang digunakan serta aplikasinya (Rismana, 2008). 2.3.1 SIFAT-SIFAT PENTING DESINFEKTAN DAN ANTISEPTIKA Beberapa sifat-sifat penting antiseptika dan desinfektan, antara lain : Harus memiliki sifat antibakterial yang luas. Tidak mengiritasi jaringan hewan atau manusia. Memiliki sifat racun yang rendah, tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak.

Memiliki daya tembus yang tinggi. Tetap aktif meskipun terdapat cairan tubuh, darah, nanah dan jaringan yang mati. Tidak mengganggu proses kesembuhan. Tidak merusak alat-alat operasi, lantai kandang dan dinding. Tidak menimbulkan warna yang mengganggu pada jaringan yang dioperasi. Harga murah, karena biasanya diperlukan dalam jumlah yang besar. Desinfektan, selain memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka harus memiliki juga sifat-sifat berikut :

Mampu menembus rongga-rongga, liang-liang, maupun lapisan jaringan organik, sehingga memiliki efek mematikan mikroorganisme yang lebih tinggi.

Harus bisa dicampur dengan air, karena air merupakan pelarut yang universal dan dengan senyawa-senyawa lain yang digunakan untuk desinfeksi. Harus memiliki stabilitas dalam jangka waktu yang panjang. Efektif pada berbagai temperatur. Walaupun desinfektan daya kerjanya akan lebih baik pada temperatur tinggi, namun desinfektan yang bagus adalah desinfektan yang daya kerjanya tidak menurun jika temperaturnya menurun. Pada umumnya desinfektan bekerja baik pada temperatur di atas 650F. Klorin dan Iodifor sebagai desinfektan bekerja baik tidak lebih dari 1100F (Imbang, 2010).

2.3.2 BAHAN-BAHAN KIMIA SEBAGAI DESINFEKTAN Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai desinfektan, tetapi umumnya dikelompokkan ke dalam golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH; golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus -X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan biguanida. Beberapa jenis bahan yang berfungsi sebagai desinfektan dijelaskan di bawah ini :

1. Golongan Aldehid Bahan kimia golongan aldehid yang umum digunakan antara lain formaldehid, glutaraldehid dan glioksal. Golongan aldehid ini bekerja dengan cara denaturasi dan umum digunakan dalam campuran air dengan konsentrasi 0,5%. Daya aksi berada dalam kisaran jam, tetapi untuk kasus formaldehid daya aksi akan semakin jelas dan kuat bila pelarut air diganti dengan alkohol. Formaldehid pada konsentrasi di bawah 1,5% tidak dapat membunuh ragi dan jamur, dan memiliki ambang batas konsentrasi kerja pada 0,5 mL/m3 atau 0,5 mg/L serta bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Larutan formaldehid dengan konsentrasi 37% umum disebut formalin dan biasa digunakan utuk pengawetan mayat. Glutaraldehid memiliki daya aksi yang lebih efektif dibanding formaldehid, sehingga lebih banyak dipilih dalam bidang virologi dan tidak berpotensi karsinogenik. Ambang batas konsentrasi kerja glutaraldehid adalah 0,1 mL/m3 atau 0,1 mg/L. Pada prinsipnya golongan aldehid ini dapat digunakan dengan spektrum aplikasi yang luas, misalkan formaldehid untuk membunuh mikroorganisme dalam ruangan, peralatan dan lantai, sedangkan glutaraldehid untuk membunuh virus. Keunggulan golongan aldehid adalah sifatnya yang stabil, persisten, dapat dibiodegradasi, dan cocok dengan beberapa material peralatan. Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain dapat mengakibatkan resistensi dari mikroorganisme, untuk formaldehid diduga berpotensi bersifat karsinogen, berbahaya bagi kesehatan, mengakibatkan iritasi pada sistem mukosa, aktivitas menurun dengan adanya protein serta berisiko menimbulkan api dan ledakan. 2. Golongan Alkohol Golongan alkohol merupakan bahan yang banyak digunakan selain golongan aldehid. Beberapa bahan di antaranya adalah etanol, propanol dan isopropanol. Golongan alkohol bekerja dengan mekanisme denaturasi serta berdaya aksi dalam rentang detik hingga menit dan untuk virus diperlukan waktu di atas 30 menit. Umum dibuat dalam campuran air pada konsentrasi 70-90 %.

Golongan alkohol ini tidak efektif untuk bakteri berspora serta kurang efektif bagi virus non-lipoid. Penggunaan pada proses desinfeksi adalah untuk permukaan yang kecil, tangan dan kulit. Adapun keunggulan golongan alkohol ini adalah sifatnya yangn stabil, tidak merusak material, dapat dibiodegradasi, kadang cocok untuk kulit dan hanya sedikit menurun aktivasinya bila berinteraksi dengan protein . Sedangkan beberapa kerugiannya adalah berisiko tinggi terhadap api/ledakan dan sangat cepat menguap. 3. Golongan Pengoksidasi Bahan kimia yang termasuk golongan pengoksidasi kuat dibagi ke dalam dua golongan yakni peroksida dan peroksigen di antaranya adalah hidrogen peroksida, asam perasetik, kalium peroksomono sulfat, natrium perborat, benzoil peroksida, kalium permanganat. Golongan ini membunuh mikroorganisme dengan cara mengoksidasi dan umum dibuat dalam larutan air berkonsentrasi 0,02 %. Daya aksi berada dalam rentang detik hingga menit, tetapi perlu 0,5 2 jam untuk membunuh virus. Pada prinsipnya golongan pengoksidasi dapat digunakan pada spektrum yang luas, misalkan untuk proses desinfeksi permukaan dan sebagai sediaan cair. Kekurangan golongan ini terutama oleh sifatnya yang tidak stabil, korosif, berisiko tinggi menimbulkan ledakan pada konsentrasi di atas 15 %, serta perlu penanganan khusus dalam hal pengemasan dan sistem distribusi/transpor. 4. Golongan Halogen Golongan halogen yang umum digunakan adalah berbasis iodium seperti larutan iodium, iodofor, povidon iodium, sedangkan senyawa terhalogenasi adalah senyawa anorganik dan organik yang mengandung gugus halogen terutama gugus klor, misalnya natrium hipoklorit, klor dioksida, natrium klorit dan kloramin. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 1-5%. Aplikasi proses desinfeksi dilakukan untuk mereduksi virus, tetapi tidak efektif untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi.

Umum digunakan sebagai desinfektan pada pakaian, kolam renang, lumpur air selokan. Adapun kekurangan dari golongan halogen dan senyawa terhalogenasi adalah sifatnya yang tidak stabil, sulit terbiodegradasi, dan mengiritasi mukosa. 5. Golongan Fenol Senyawa golongan fenol dan fenol terhalogenasi yang telah banyak dipakai antara lain fenol (asam karbolik), kresol, para kloro kresol dan para kloro xylenol. Golongan ini berdaya aksi dengan cara denaturasi dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 0,1-5%. Aplikasi proses desinfeksi dilakukan untuk virus, spora tetapi tidak baik digunakan untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi. Umum digunakan sebagai dalam proses desinfeksi di bak mandi, permukaan dan lantai, serta dinding atau peralatan yang terbuat dari papan/kayu. Adapun keunggulan dari golongan golongan fenol dan fenol terhalogenasi adalah sifatnya yang stabil, persisten, dan ramah terhadap beberapa jenis material, sedangkan kerugiannya antara lain susah terbiodegradasi, bersifat racun, dan korosif. 6. Golongan Garam (amonium kuarterner) Beberapa bahan kimia yang terkenal dari golongan ini antara lain benzalkonium klorida, bensatonium klorida, dan setilpiridinium klorida. Golongan ini berdaya aksi dengan cara aktif-permukaan dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 0,1%-5%. Aplikasi untuk proses desinfeksi hanya untuk bakteri vegetatif, dan lipovirus. terutama untuk desinfeksi peralatannya. Keunggulan dari golongan garam amonium kuarterner adalah ramah terhadap material, tidak merusak kulit, tidak beracun, tidak berbau dan bersifat sebagai pengemulsi, tetapi ada kekurangannya yakni hanya dapat terbiodegradasi sebagian. Kekurangan yang lain yang menonjol adalah menjadi kurang efektif bila digunakan pada pakaian, spon, dan kain pel karena akan terabsorpsi bahan tersebut serta menjadi tidak aktif bila bercampur dengan sabun, protein, asam lemak dan senyawa fosfat.

Salah satu produk yang sudah dipasarkan dari golongan ini diklaim efektif untuk membunuh parvovirus, di mana virus ini merupakan jenis virus hidrofilik yang sangat susah untuk dimatikan dibandingkan virus lipofilik. 7. Golongan Biguanida Bahan kimia yang sudah digunakan dari golongan ini antara lain klorheksidin. Klorheksidin terkenal karena sangat ampuh untuk antimikroba terutama jenis bakteri gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif. Klorheksidin sangat efektif dalam proses desinfeksi Staphylococcus aureaus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa, tetapi kurang baik untuk membunuh beberapa organisme gram negatif, spora, jamur terlebih virus serta sama sekali tidak bisa membunuh Mycoplasma pulmonis. Dari semua bahan desinfektan tersebut di atas tidak semua dapat efektif dalam semua kondisi dan aplikasi. Perbedaan jenis mikroorganisme serta kondisi lingkungan akan menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam sensitivitas atau resistensinya. Supaya fungsi desinfektan menjadi efektif, maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan produk desinfektan, yakni harus dapat digunakan dalam spektrum dan aktivitas penggunaan yang luas, menunjukkan daya reduksi/bunuh terhadap mikroorganisme hidup pada saat berkontak, dapat bekerja pada rentang pH dan suhu yang luas, dapat bekerja dengan adanya senyawa organik, waktu paparan/kerja yang cukup singkat, batas konsentrasi yang kecil, dan stabilitas senyawa. Selain itu, untuk aplikasi di lapangan terdapat kecenderungan konsumen untuk memilih desinfektan yang aman bagi lingkungan, mudah untuk digunakan, daya aksi yang cepat serta murah. Tetapi faktor harga terkadang menjadi batasan tersendiri. Sebagai contoh banyak konsumen menggunakan desinfektan gas klor (klorin) untuk proses desinfeksi air. Bahan tersebut bekerja dengan baik untuk membunuh bakteri, fungi dan virus, tetapi bahan ini mempunyai efek merusak/korosif pada kulit dan peralatan. Selain itu gas klorin juga berpotensi merusak sistem pernapasan bagi manusia dan binatang.

Dengan mengetahui dan mengenal jenis bahan kimia yang digunakan dalam produk desinfektan diharapkan konsumen dapat memilih produk yang tepat sasaran, yakni kesesuaian antara bahan kimia yang dikandungnya dengan jenis dan target mikroorganismenya. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan menjadi tepat sasaran, berhasil guna dan berdaya guna. Manfaat lain adalah dengan mengetahui risiko dan efek negatif yang mungkin ditimbulkan oleh bahan kimia dalam desinfektan, seperti risiko keracunan pada anak, polusi terhadap lingkungan, risiko terhadap kesehatan serta efek karsinogen, maka diharapkan konsumen lebih berhati-hati dalam penggunaan dan penanganan produk-produk tersebut (Rismana, 2008). 2.3.3 KEAMPUHAN DESINFEKTAN DAN ANTISEPTIK Antiseptika dan desinfektansia sebagai bahan antimikrobial memiliki kekuatan keampuhan membunuh bakteri tertentu. Guna mengetahui keampuhan bahan antimikrobial seringkali digunakan istilah koefisien fenol, yaitu keampuhan antimikrobial tertentu yang dibandingkan dengan keampuhan yang dimiliki fenol. Koefisien fenol kurang dari satu, berarti antimikrobial tersebut kurang efektif dibandingkan fenol. Sebaliknya koefisien lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa antimikrobial tersebut lebih ampuh daripada fenol (Imbang, 2010). Dijelaskan diatas bahwa bahan anti mikrobial meupakan salah satu zat antiseptik maupun desinfektan. Untuk itu penggunaan antimikrobial menjadi kebutuhan penting dalam memenuhi kebutuhan akan zat antiseptik maupun desinfektan. Antimikrobial sendiri dapat kita temukan dalam berbagai macam jenis kehidupan di dunia ini, salah satunya peran mikroorganisme itu sendiri. Tentunya tidak semua mikroorganisme dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba. Selain penggunaan bahan-bahan kimia sebagai antiseptik dan desinfektan, penggunaan antibiotik juga merupakan salah satu zat yang dapat membunuh atau menghambat Dwidjoseputro pertumbuhan (1990), bakteri patogen. adalah Menurut yang Waksman dihasilkan dalam oleh antibiotik zat-zat

mikroorganisme, dan zat-zat itu dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat kegiatan mikroorganisme yang lain.

Antibiotik atau antimicrobial adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Bila dimaksudkan untuk kelompok organisme yang khusus maka sering digunakan istilah-istilah seperti antibakteri, antifungi, dan sebagainya (Frazier dan Westhoff, 1988 dalam Setyaningsih, 2004). Metting and Pyne (1986) dalam Setyaningsih (2004), menyatakan bahwa antibiotik adalah komponen antimikroba yang dihasilkan secara alami oleh organisme dan bersifat toksik bagi mikroalga, bakteri, fungi, virus atau protozoa. Istilah antibiotik berasal dari kata antibios yang berarti substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dalam jumlah kecil dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan mikroorganisme lain. Penemuan antibiotik diawali oleh Alexander Fleming pada tahun 1928. Antimikroba dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami. Antimikroba sintetik dapat dihasilkan dengan membuat suatu senyawa yang sifatnya mirip dengan aslinya yang dibuat secara besar-besaran, sedangkan yang alami didapatkan langsung dari organisme yang menghasilkan senyawa tersebut dengan melakukan proses pengekstrakan. Bahan kimia yang dapat membunuh organisme disebut cidal, seperti bactericidal, fungicidal, algicidal. Sedangkan bahan kimia yang menghambat organisme disebut static, seperti bahan bacteristatic, fungstatic dan algastatic Senyawa antibakteri sebagai salah satu bahan antimikrova memiliki 3 macam bentuk kerja, yaitu bakteriostatik, bakterisidal dan bakterilitik. Mekanisme kerja bakteriostatik adalah menghambat sintesis protein dengan mengikat ribosom, sedangkan bakterisidal mencegah pertumbuhan dan menyebabkan kematian, namun tidak menyebabkan sel bakteri menjadi lisis. Berbeda dengan bakterisidal, bakterilitik bekerja dengan cara membuat lisis sel-sel bakteri. Proses lisisnya sel bakteri terlihat dari penurunan jumlah sel ataupun kekeruhan setelah bahan tersebut ditambahkan (Brock and Madigan, 1994 dalam Setyaningsih, 2004). Kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan, jumlah dan spesies bakteri, suhu, keberadaan bahan organik lain, dan pH (Pelczar and Chan, 1988 dalam

Setyaningsih, 2004). Beberapa contoh senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri adalah penicillin, cephalosporin, glycopeptide, tetracycline, chloramphenicol, aminoglycoside, sulfonamide, sedangkan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antifungal adalah amphotericin, flucytocin, griseofulin, imidazole dan nystatin (Greenwood et al., 1992 dalam Setyaningsih, 2004). Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan antimicrobial spectrum, mekanisme aktifitasnya, pembentukan strain, sifat biosintesanya dan struktur kimianya. Klasifikasi antibiotic berdasarkan struktur kimia (Crueger, 1984 dalam Setyaningsih, 2004) adalah sebagai berikut : 1. Antibiotik dengan gugus karbohidrat 2. Antibiotik dengan gugus makrosiklik laktons 3. Antibiotik dengan gugus quinon 4. Antibiotik dengan gugus asam amino dan peptide 5. Antibiotik heterosiklik dengan kandungan nitrogen 6. Antibiotik heterosiklik yang mengandung oksigen 7. Derivat A siklik 8. Antibiotik aromatic 9. Antibiotik alifatik Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi menjadi beberapa kelompok (Effionora, 1990 dalam Setyaningsih, 2004), yaitu : 1. Menghambat metabolisme sel mikroba. Dengan mekanisme kerja seperti ini diperoleh efek bakteriostatik 2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka 3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari dalam sel mikroba 4. Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba 5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis terhadap sel tubuh manusia 2.4 MIKROORGANISME PENGHASIL ANTIBIOTIK Mikroorganisme penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri, aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kira-kira 70% antibiotik dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% fungi dan 10% oleh bakteri. Streptomyces merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jumlahnya. Bakteri juga banyak yang menghasilkan antibiotik terutama Bacillus. Namun kebanyakan antibiotik yang dihasilkan bakteri adalah polipeptid yang terbukti kurang stabil, toksik dan sukar dimurnikan. Antibiotik yang dihasilkan fungi pada umumnya juga toksik, kecuali grup penisilin. Pada siklus hidupnya yang normal, organisme akan tumbuh dalam medium yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum, setelah itu berhenti pertumbuhannya, dan memasuki fase stasioner, akhirnya diikuti oleh kematian sel vegetatip atau pembentukan spora. Pada stadium ini, setelah sel-sel berhenti membelah, metabolit sekunder mulai diproduksi. Metabolit sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke dalam medium biakan. Kebanyakan antibotik merupakan metabolit sekunder, tetapi ada artibiotik sebagai hasil metabolit primer, sehingga antibiotik terbentuk selama pertumbuhan organisme, misalnya antibiotik polipeptid Nisin. Antibiotik terutama dihasilkan oleh mikroba yang mempunyai kemampuan sporulasi. Pada Bacilli, produksi antibiotik terjadi pada awal pembentukan spora. Sumber mikroorganisme penghasil antibiotik antara lain berasal dari tanah, air laut, lumpur, kompos, isi rumen, limbah domestik, bahan makanan busuk dan lain-lain. Namun kebanyakan mikroba penghasil antibiotik diperoleh dari mikroba tanah terutama streptomises dan jamur. Tanah merupakan tempat interaksi biologis yang paling dinamis dan mempunyai lima komponen utama yaitu mineral, air, udara, zat organik dan organisme hidup dalam tanah antara lain : bakteri, aktinomisetes, fungi, algae, dan protozoa.

Untuk memperoleh antibiotik baru, banyak dilakukan pencarian strain penghasil antibiotik terutama streptomyces dari habitat tanah. Selain sumber alam juga banyak dilakukan variabilitas genetik intra-strain sebagai sumber penghasil antibiotik baru (Setyaningsih, 2004). 2.4.1 Bakteri Di lingkungan tanah yang mendapat aerasi cukup, bakteri dan fungi akan dominan. Sedangkan lingkungan yang mengandung sedikit atau tanpa oksigen, bakteri berperanan terhadap hampir semua perubahan biologis dan kimia lingkungan tanah. Bakteri menonjol karena kemampuannya tumbuh dengan cepat dan mendekomposisi berbagai substrat alam. Ada berbagai macam pengelompokan bakteri, salah satu penggolongan dilakukan oleh Winogradsky, membagi bakteri menjadi 2 kelompok . 1. Autochthonous atau indigenous. Populasi bakteri ini tidak berfluktiiasi. Nutrien didapat dari zat-zat organik tanah dan tidak memerlukan sumber nutrien eksternal. 2. Zymogenous atau organisme yang melakukan fermentasi; Populasi golongan ini paling aktif melakukan transformasi kimia. Populasinya biasanya jarang, tetapi akan tumbuh subur bila ditambah nutrien organik. Organisme ini melakukan fermentasi dengan cepat dan persediaan makanan cepat habis. Populasi organisme ini tetap besar bila persediaan nutrien masih ada dan cepat turun bila sumber makanan berkurang. Kepadatan dan komposisi bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, antar lain kelembaban, aerasi, temperatur, zat organik, keasaman dan anorganik. Kebanyakan bakteri bacilli dapat bertahan dalam kondisi yang tidak baik dengan cara membentuk endospora. Endospora dapat bertahan karena resistensinya terhadap desikasi yang lama dan temperatur tinggi (Setyaningsih, 2004). Bakteri yang aktif secara biokimia dapat diperiksa dan diisolasi dengan metode selective culture. Bakteri penghasil antibiotik terutama dari spesies Bacillus (basitrasin, polimiksin, sirkulin), selain itu juga dari spesies

Pseudornonas (Pyocyanine), chromobacterium (Iodinin) dan sebagainya. Isolasi bakteri diarahkan pada jenis yang lebih potensiil misalnya Bacillus. Isolasi Bacillus dapat dilakukan dengan pasteurisasi suspensi tanah 80C selama 10 20 menit sehingga sel-sel vegetatif akan mati Sedangkan endospora akan bertahan. Keinudian inkubasi aerob akan mengeliminasi jenis organisme pembentuk spora lainnya (klostridia) (Setyaningsih, 2004). 2.4.2 Actinomicetes Actinomicetes merupakan mikroorganisme uniseluler, menghasilkan miselium bercabang dan biasanya mengalami fragmentasi atau pembelahan untuk membentuk spora. Mikroorganisme ini tersebar luas tidak hanya di tanah tetapi juga di kompos, lumpur, dasar danau dan sungai. Pada mulanya organisme ini diabaikan karena pertumbuhannya pada plate agar sangat lambat. Sekarang banyak diteliti dalam hubungannya dengan antibiotik. Jenis organisme ini merupakan penghasil antibiotik yang paling besar di antara kelompok penghasil antibiotik, terutama dari jenis streptomyces (Bleomisin, Eritromisin, Josamisin, Kanamisin, Neomisin,Tetrasiklin dan masih banyak lagi). Di samping itu, anibiotik juga dihasilkan dari aktinomisetes jenis Mikromonospora (Gentamisin, Fortimisin, Sisomisin); Nocardia (Rifamisin, Mikomisin) dan lain-lain. Di alam, aktinomisetes dapat ditemui sebagai konidia atau bentuk vegetatif. Populasi di alam dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan organik, pH, kelembaban, temperatur, musim, kedalaman dan sebagainya. Di daerah iklim panas populasinya lebih besar dari pada daerah dingin. Mikroorganisme ini tidak toleran terhadap pH rendah. Kebanyakan streptomises gagal berproliferasi dan aktivitasnya sangat rendah pada pH 5,0. Pada lingkungan pH tinggi, aktinomisetes mendominasi pertumbuhan mikroorganisme. Di daerah yang diolah dan masih belum dibuka, 70 90% populasi aktinomisetes adalah streptomises dan 3/4 isolat streptomises merupakan penghasil antibiotik. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan substrat organik. Beterapa strain mampu mendegradasi pati, inulin dan chitin. Hidrolisis chitin merupakan karakter aktinomisetes. Bahkan Nocardia Sp mampu memetabolisir molekul organik yang tak lazim seperti parafin, fenol, steroid & pirimidin. Strain

Mikromonospora mampu mendekomposisi chitin, selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin (Setyaningsih, 2004). 2.4.3 Fungi Kebanyakan spesies fungi dapat tumbuh dalam rentang pH yang lebih lebar, dari sangat asam sampai sangat alkali. Populasi fungi biasanya mendominasi daerah asam, karena mikroba lain seperti bakteri dan aktinomisetes tidak lazim dalam habitat asam. Dalam biakan, bahkan fungi dapat tumbuh pada pH 2 3 dan beberapa strain masih aktif pada pH 9 atau lebih. Sebagai salah satu organisme penghasil antibiotik yang terkenaf yaitu : Penicilium (penisilin, griseofulvin), Cephalosporium (sefalosporin) serta beberapa fungi lain seperti Aspergillus (fumigasin); Chaetomium (chetomin); Fusarium (javanisin), Trichoderma (gliotoxin) dan lain-lain. Isolasi fungi sering menggunakan plate count. Pada prinsipnya, suspensi contoh tanah dalam air steril, diinokulasikan pada medium agar spesifik. Untuk menekan pertumbuhan bakteri dan aktinomisetes yaitu dapat dengan mengasamkan media sampai pH 4,0. Ini bukan berarti fungi mempunyai pertumbuhan optimum pada kondisi asam, tetapi untuk mengurangi kompetitor. Selain itu juga dapat menggunakan bakteriostatik seperti penisilin, novobiosin dan sebagainya. Sedangkan pada isolasi yeast, untuk menekan pertumbuhan bakteri dan jamur dapat digunakan sodium propionat. Populasi fungi dipengaruhi banyak faktor antara lain oleh zat organik, anorganik, pH, kelembaban, aerasi, temperatur, musim dan komposisi vegetasi. Komposisi vegetasi sangat mempengaruhi populasi misalnya di daerah yang ditanami gandum (oat) fungi yang menonjol adalah aspergillus, sedangkan penisilium paling banyak di daerah yang ditanami jagung (corn)(Setyaningsih, 2004) 2.4.4 Mikroorganisme lain Mikroorganisme penghasil antibiotik yang utama ialah aktinomisetes, fungi dan bakteri. Berdy (1974) dalam Setyaningsih (2004), melaporkan bahwa di antara ketiganya, aktinomisetes merupakan produser yang paling banyak, yaitu 2100 antibiotik; 400 antibiotik dihasilkan oleh bakteri, serta 800 antibiotik oleh

fungi. Organisme ini lebih mudah ditangani di laboratorium, sehingga lebih mudah untuk memproduksi antibiotik yang berguna dalam skala besar. Selain aktinomisetes, bakteri dan fungi, juga ada beberapa mikroorganisme yang dapat menghasilkan antibiotik antara lain : protozoa, algae dan lichenes. Berdy (1974) dalam Setyaningsih (2004), melaporkan ada 23 antibiotik yang dihasilkan oleh algae; 56 oleh lichenes dan 8 oleh protozoa. Lichenes mempunyai laju pertumbuhan lambat dan tidak mudah ditanam dalam medium. Antibiotik yang dihasilkan lichenes hanya dapat diekstrak dari biakan yang tumbuh di alam. Algae juga diketahui menghasilkan antibiotik. Mereka dapat dibiakkan dalam laboratorium namun sangat lambat (Setyaningsih, 2004).

BAB III PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan fermentasi antibiotik pada 4 jenis medium dengan kandungan unsur pokok yang berbeda. Keempat jenis tersebut adalah ; (1) kentang glukosa, suatu medium kompleks yang penuh dengan karbohidrat; (2) medium Mc Daniels yang merupakan medium kompleks yang sangat baik untuk fermentasi streptomisin oleh Streptomyces griseus. Medium ini padat dengan kandungan protein nabati; (3) Medium Lumb yaitu suatu medium sintetik untuk fermentasi streptomisin; dan (4) Nutrient Vroth, suatu medium kompleks dengan kandungan protein hewani yang besar, tetapi tanpa kandungan gula. Medium ini baik untuk pertumbuhan Pseodeomonas Fluorescens, induk yang lain dari hasil fusi protoplas. Dari data pengamatan terhadap petensi antibiotik selama proses fermentasi 10 hari, seperti tercantum pada Tabel 1, ternyata antibiotik hanya terbentuk pada medium yang mengandung gula saja dan potensi yang terbesar diperoleh dari fermentasi pada medium dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, yakni kentang glukosa. Hal ini wajar terjadi, karena hampir seluruh antibiotik yang dihasilkan oleh genus streptomyces bahkan oleh kelas Actinomycetes disintesis dari senyawa gula. Terlihat pula bahwa kandungan nitrogen akan mempengaruhi terbentuknya antibiotik. Dari sini dapat diketahui bahwa mikrooeganisme hasil fusi tidak dapat memproduksi antibiotik pada medium yang banyak mengandung nitrogen. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh pada saat regenerasi protoplas, sehingga menjadi sel yang utuh kembali untuk HFSP-1 dan HFSP-2 ini digunakan medium PDA. Oleh karena itu kemungkinan faktor-faktor genetik yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat regenerasi tidak dapat terus tumbuh dan berkembang. Tidak hanya itu, kandungan nitrogen ternyata juga berpengaruh terhadap kecepatan tumbuh dan pada pH medium. Kecepatan tumbuh berhubungan dengan kecepatan terbentuknya antibiotik, karena seperti kita ketahui bahwa antibiotik biasanya terbentuk pada masa indiofasa (fasa produksi) yaitu pada saat

pertumbuhan menjadi relatif lebih lambat. Jadi semakin cepat mencapai idiofasa, maka semakin cepat pula antibiotik terbentuk. Tabel 1. Potensi Antibiotik Hasil Fermentasi pada berbagai Jenis Medium Kentang S-34 HFSP-1 HFSP-2 Keterangan : + Glukosa + + + = ada antibiotik antibiotik Mc Daniels r(3) Lumb r(4.5) r(4.8) Nutrient Broth -

= tidak ada antibiotik renik pada hati x sampai hari ke-y

r(x,y)=

(Purwakusumah) Kadar glukosa dalam medium jelas berpengaruh untuk pembentukan antibiotik terutama untuk mikroorganisme yang peka terhadap kekurangan dan kelebihan kandungan glukosa. Untuk Streptomyces sp. S-34 yang relatif lebih mampu menghidrolisis polisakarida, kadar glukosa yang kecil sampai optimum hanya berpengaruh pada jumlah atau potensi antibiotik yang dihasilkan. Sedangkan pada HFSP-1, amtibiotik tidak terbentuk pada medium tanpa glukosa dan hanya sedikit terbentuk pada medium dengan glukosa yang minimum. Hal ini besar kemungkinan karena HFSP-1 kurang mampu menghidolisis polisakarida yang ada dalam medium, sehingga medium kekurangan senyawa antara atau prekursor untuk biosistesis antibiotik. Demikian pula halnya yang terjadi pada HFSP-2 pada medium tanpa glukosa dan kadara glukosa minimum. Pada medium dengan kadar glukosa tinggi, Streptomyces sp. S-34 dan HFSP-1 sama sekali tidak menghasilkan antibiotik, namun HSP-2 menghasilkan antibiotik walaupun sedikit (Purwakusumah).

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari penjelasan yang ada didapat kesimpulan bahwa : 1. Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua kehidupan dalam bentuk apapun. Untuk tujuan mikrobiologi dalam usaha mendapatkan keadaan steril, mikroorganisme dapat dimatikan setempat (in situ) oleh panas (kalor), gas-gas seperti formaldehide, etilenoksida atau betapriolakton oleh bermacam-macam larutan kimia; oleh sinar lembayung ultra atau sinar gamma. 2. Disinfeksi berarti mematikan atau menyingkirkan organisme yang dapat menyebabkan infeksi. Meskipun dengan melakukan disinfeksi dapat tercapai keadaan steril, namun tidak seharusnya terkandung anti sterilisasi. 3. Desinfektan maupun antiseptik dapat berupa bahan-bahan dari kimia seperti golongan aldehid, alcohol, pengoksida, halogen, fenol, garam (amonium kuarterner) dan biguanida. 4. Selain bahan kimia, zat antibiotik juga merupakan bahan desinfektan maupun antiseptik. Dimana zat-zat antibiotik dapat ditemukan pada mikroorganisme, salah satunya Streptomyces sp. S-34 dari kelas Actinomycetes. 5. Pada studi kasus perbandingan fermentasi antibiotik oleh streptomycetes sp. S34 dan dua rekombinasinya pada beberapa medium didapat bahwa kadar gula berpengaruh terhadap jumlah antibiotik yang dihasilkan selain itu kandungan karbohidrat yang besar juga memiliki pengaruh yang besar pada jumlah antibiotik yang dihasilkan. 6. Streptomycetes sp. S-34 mampu menghasilkan antibiotik dengan potensi yang lebih besar dari kedua rekombinasinya.

DAFTAR PUSTAKA Dwisjoseputro, D. 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan. Febrialdi. 2008. Pengendalian Mikroorganisme. http://febrialdi.wordpress.com/2008/07/13/pengendalian-mikroorganisme/ Diakses tanggal 27 Maret 2010 Imbang. 2010. Tindakan-Tindakan Pencegahan Penyakit. http://antersengkang.blogspot.com/2010_02_01_archive.html Diakses tanggal 28 Maret 2010 Irwanto. 2009. Sterilisasi dan Desinfeksi. http://irwanto-fk04usk.blogspot.com/2009/08/sterilisasi-dandesinfeksi.html Diakses tanggal 27 Maret 2010 Purwakusumah, Edy Djauhari. Perbandingan Fermentasi Antibiotik oleh. Streptomyces SP. S-34 dan Dua Rekombinasinya pada Beberapa Medium. http://www.nesmd.com/down.asp? q=aHR0cDovL3d3dy51bnNqb3VybmFscy5jb20vRC9EMDcwMi9EMDc wMjA0LnBkZg== Diakses tanggal 27 Maret 2010 Rismana, Eriawan. 2008. Mengenal Bahan Kimia Desinfeksi. http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/05/mengenal-bahan-kimiadesinfeksi/ Diakses tanggal 28 Maret 2010 Setyaningsih, Iriani. 2004. Resistensi Bakteri dan Antibiotik Alami dari Laut. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/iriani_setyaningsih.pdf Diakses tanggal 29 Maret 2010 Suwandi, Usman. 1989. Mikroorganisme Penghasil Antibiotik http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_058_tanaman_obat_(i).pdf Diakses tanggal 29 Maret 2010 Yusuf, Andi Rezki Ferawati. 2009. Laporan Praktikum Sterilisasi. http://fheeyraredzqiiy.wordpress.com/ Diakses tanggal 28 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai