Anda di halaman 1dari 24

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Ikterus neonatorum (Ikterus: kuning , Neonatorum: bayi baru lahir) adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (disebut juga hiperbilirubinemia). Warna kekuningan pada bayi baru lahir umumnya merupakan kejadian alamiah (fisologis), namun adakalanya menggambarkan suatu penyakit (patologis). Bayi berwarna kekuningan yang alamiah (fisiologis) atau bukan karena penyakit tertentu dapat terjadi pada 25% hingga 50% bayi baru lahir cukup bulan (masa kehamilan yang cukup), dan persentasenya lebih tinggi pada bayi prematur. Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mempelajari tentang ikterus baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, gejala klinis, patofisiologi, pencegahannya. epidemiologi, etiologi, pengobatan, prognosis, dan

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

BAB II Pembahasan
I. Anamnesis Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut

autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis. Termasuk didalam aloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. Oleh karena bayi dan sebagian besar anak belum dapat memberikan keterangan, maka dalam bidang kesehatan anak aloanamnesis menduduki tempat yang jauh lebih penting dari pada autanamnesis. Yang perlu dilakukan pada anamnesis pada anak adalah sebagai berikut: 1 a. Identitas :   Nama (+ nama keluarga) Umur/ usia

o Neonatus/ bayi o Balita/ prasekolah o Sekolah o Akil balik      Jenis kelamin Nama orang tua Alamat Umur/ pendidikan/ pekerjaan orang tua Agama dan suku bangsa

b. Riwayat penyakit : Keluhan utama   Keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat Tidak harus sejalan dengan diagnosis utama

c. Riwayat perjalanan penyakit :

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

      

Cerita kronologis, rinci, jls ttg keadaan pasien sblm ada keluhan sampai dibawa berobat Pengobatan sebelumnya dan hasilnya (macam obat dll) Tindakan sebelumnya (suntikan, penyinaran) Reaksi alergi Perkembangan penyakit gejala sisa/ cacat Riwayat penyakit pada anggota keluarga, tetangga Riwayat penyakit lain yg pernah diderita sebelumnya

d. Hal hal yang perlu ditanyakan tentang keluhan / gejala :         Lama keluhan Mendadak, terus-menerus, perlahan-lahan, hilang timbul, sesaat Keluhan lokal: lokasi, menetap, pindah-pindah, menyebar Bertambah berat/ berkurang Yang mendahului keluhan Pertama kali dirasakan/ pernah sebelumnya Keluhan yang sama adalah pada anggota keluarga, orang serumah, sekelilingnya Upaya yang dilakukan dan hasilnya

Anamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.

II.

Pemeriksaan Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fisik, sistemik, dan penunjang. II.I Pemeriksaan fisis Pemeriksaan fisis yang baik diawali dengan anamnesis yg sistematis untuk mengetahui riwayat penyakit pasien. Yang dinilai pada pemeriksaan fisis anak adalah
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

penemuan fisis dihubungkan dengan tingkat pertumbuhannya (bayi & anak tumbuh dan berkembang)1 Sebelum pemeriksaan, lakukanlah pendekatan kepada anak. Cara pendekatan ini bertujuan untuk untuk mengurangi ketegangan (hal pertama yang perlu dilakukan) < 4 bulan: pendekatan mudah (belum membedakan orang di sekitarnya) > 4 bulan:   pegang anak yg agak besar:   beri salam, tanya nama, umur, sekolah, dll dipuji Cara pemeriksaan pada bayi dan anak1 1. Sama dengan pada orang dewasa Pada inspeksi (pemeriksaan lihat) palpasi (pemeriksaan raba) perkusi (pemeriksaan ketok) auskultasi (pemeriksaan dengar) abdomen: pemeriksaan auskultasi didahulukan (supaya tidak pendekatan mulai saat dalam gendongan lambat laun ke meja periksa dengan diajak bicara manis dan dipegang-

mengganggu pemeriksaan akibat palpasi 2. Bayi/ anak dibaringkan pada meja pemeriksaan dengan posisi kepala sebelah kiri dokter (pemeriksa di kanan pasien) 3. Posisi pasien yang nyaman 4. Dokter cuci tangan sebelum pemeriksaan (sesudah selesai cuci tangan lagi) utk membuktikan bahwa dokter bersih 5. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan: tidak berulang pada bagian tubuh yang sama tidak didahului dengan alat-alat spt tenggorok, mulut, telinga, tekanan darah, suhu 6. Bila pasien tidak mau berbaring, periksa dalam gendongan/ pangkuan dulu, atau dalam posisi duduk/ berdiri kemudian dibaringkan.

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Inspeksi 1. Inspeksi umum: dilihat anak secara umum apa ada perubahan 2. Inspeksi lokal: pemeriksaan setempat. Dilihat perubahan sampai sekecilkecilnya1

Palpasi 1. Meraba dengan telapak tangan dan jari-jari tangan 2. Ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan dan konsistensi organ: a. Besar dinyatakan dengan satuan tertentu, misalnya bola pingpong, telur ayam, biji rambutan, dan sebagainya b. Permukaan: licin/ benjol-benjol c. Konsistensi: lunak, keras, kenyal, kistik, fluktuasi d. Tepi: tajam, tumpul e. Bebas/ melekat 3. Palpasi abdomen dilakukan dengan: a. Fleksi sendi pinggul dan lutut b. Abdomen diraba dengan telapak tangan mendatar dan jari-jari II III IV rapat c. Bila ada bagian yang sakit, dimulai dari bagian yang tidak sakit d. Dengan 2 tangan untuk mengetahui adanya cairan atau ballotement 1

Perkusi: dada abdomen kepala 1. Untuk mengetahui perbedaan suara ketuk ditentukan batas suatu organ:

paru, jantung, hati atau mengetahui batas-batas massa abnormal dalam rongga abdomen 2. Cara langsung: dengan jari II/ III (jarang) 3. Cara tidak langsung: Jari II atau III diletakkan lurus di bagian tubuh sebagai landasan ketuk 4. Diketuk pada phalange bagian distal proximal kuku dengan jari II/ III tangan kanan yang membengkok 5. Suara perkusi: a. Sonor (suara paru normal) b. Pekak (pada perkusi otot)
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

c. Timpani (perkusi abdomen bagian lambung) 1 d. Redup (di antara sonor dan pekak) e. Hiper sonor (antara sonor dan timpani) 6. Ketukan tidak terlalu keras (fibrasi dan resonansi) 1

Auskultasi 1. Alat stetoskop a. Pediatrik b. Diameter membran c. Diameter mangkok 2. Nada rendah pada a. Bising presistolik Mid diastolik b. Bising jantung I, II, III, IV 3. Nada tinggi pada a. Bising sistolik b. Friksi pericard y Pemeriksaan sistemik 1. 2. a. b. Dari ujung rambut ujung kaki

Pada bayi & anak kecil : Inspirasi Auskultasi

c. Palpasi dan perkusi (perkusi tidak dilakukan pd anak-anak kecuali pada ascites) d. kulit Warna: a. Vitiligo (depigmentasi) dt tak ada arti/awal tuberosklerosis/ penyakit neuroektoderm b. Depigmentasi umum/ albinisme c. Coklat gelap: Penyakit addison Thalassemia Pemeriksaan dengan alat (periksa tonsil) 1

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Pasien dengan transfusi darah sering

d. cafe auldit (coklat)/ coklat muda; masih normal sampai gejala bercak dengan diameter 1 1.5 cm pada anak < 5 tahun (bila lebih: penyakit VON RECKLINGHAUSEN) 1 e. Nevus pigmentosus (hiperpigmentasi menetap) 1 f. Melanoma malignum sangat jarang pada anak (abu-abu) 1 g. Pasca ruam campak (hiperpigmentasi sementara) 1 3. Ikterus1 a. Penilaian dengan sinar alamiah1 b. Hampir semua BBL icterus fisiologis (= keadaan bilirubin darah < 15 mg/dL) c. Terlihat kuning bila bilirubin > 5 mg/dl (pd neonatus) belum bisa dikeluarkan normal karena hati belum sempurna. > 2mg/dl pada bayi dan anak (sudah jelas pada sclera, kulit, muka) 1 d. Harus dibedakan dengan: Karotenemia (kebanyakan makan vit A: wortel, pepaya) kuning pada telapak tangan/ kaki, tidak pada sclera1 e. Karena penyakit infeksi/ akibat obat (Rova.INH) Hemolisis (bila hepar masih bagus maka ikterus tak tlalu tampak) [dewasa] Infeksi hepatitis virus Mononukleus infeksiosa Leptospitosis, syfking (sifilis) Obstruksi empedu (kebanyakan congenital pada bayi) Sepsis1

Bayi: bila darah pecah terlalu banyak dapat menjadi icterus oleh krn penimbunan bilirubin dalam darah krn fungsi hepar belum sempurna. Contoh: kelainan darah ibu dan anak therapy: lakukan transfusi tukar. 1

II.II Pemeriksaan penunjang 1. COOMBS DIREK Pemeriksaan antiglobulin Nilai-nilai rujukan Dewasa : Negatif

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Anak

: Negatif

Pemeriksaan Coombs direk (antiglobulin) mendeteksi antibodi-anyibodi yang lain dari grup ABO, yang bersatu dengan sel darah merah. Sel darah merah dapat diperiksa dan jika sensitive terjadi reaksi aglutinasi. Pemeriksaan Coombs positif menunjukan adanya antibodi pada sel-sel darah merah, tetapi pemeriksaan ini tidak mendeteksi antibodi yang ada. 1 Masalah-masalah klinis Positif (+1 sampai +4) : Eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik (autoimun atau obat-obatan), reaksi hemolitik transfusi (darah inkompatibel), leukemia< SLE. 1 Obat-obat yang dapat meningkatkan Coombs direk Antibiotic (sefalosporin, penicillin, tetrasiklin, streptomisin), aminopirin (Pyradone), fenitoin (Dilantin), klorpromazin (Thorazyne), sulfonamide, L dopa1 Prosedur Ambil 7ml darah vena dan masukan dalam tabung tertutup jingga muda. Tabung tertutup merah dapat digunakan. Hindari hemolisis. Darah dari tali pusat bayi baru lahir bias digunakan Tidak perlu pembatasan makan atau cairan. 1

2. COOMBS INDIREK Pemeriksaan skrining antibodi Nilai-nilai rujukan Dewasa Anak : Negatif :Negatif

Pemeriksaan coombs indirek mendeteksi antibodi bebas dalam sirkulasi serum. Pemeriksaan skrining akan memeriksa antibodi di dalam serum resipien dan donor sebelum transfusi untuk mecegah reaksi transfusi. Ini tidak secara langsung mengidentifikasi antibodi yang spesifik.

Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan pencocokan silang (croos-match). Masalah-masalah klinis

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Positif (+1 sampai +4) : darah pencocokan silang inkompatibel, antibody yang spesifik (transfuse sebelumnya), antibody anti-Rh, anemia hemolitik didapat. Obat-obat yang dapat meningkatkan Coombs indirek Sama seperti Coombs direk. Prosedur Ambil 7ml darah vena dan masukan dalam tabung tertutup merah Tidak perlu pembatasan makan atau cairan. 1

3. Pemeriksaan bilirubin Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri atau spektrofotometri yang mengukur intensitas warna azobilirubin. Hati bayi yang baru lahir belum berkembang sempurna sehingga jika kadar bilirubin yang ditemukan sangat tinggi, bayi akan mengalami kerusakan neurologis permanen yang lazim disebut kenikterus. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 12 mg/dl; kadar yang menimbulkan kepanikan adalah > 15 mg/dl. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai > 3 mg/dl. Kenikterus timbul karena bilirubin yang berkelebihan larut dalam lipid ganglia basalis.

Nilai Rujukan Dewasa : total : 0.1 1.2 mg/dl, direk : 0.1 0.3 mg/dl, indirek : 0.1 1.0 mg/dl Anak : total : 0.2 0.8 mg/dl, indirek : sama dengan dewasa. Bayi baru lahir: total : 1 12 mg/dl, indirek : sama dengan dewasa. Masalah Klinis Bilirubin Total, Direk
-

Peningkatan kadar

Ikterik obstruktif karena batu atau neoplasma, hepatitis, sirosis hati, mononucleosis infeksiosa, metastasis (kanker) hati, penyakit Wilson. Pengaruh obat : antibiotic (amfoterisin B, klindamisin, eritromisin,
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

gentamisin,

linkomisin,

oksasilin,

tetrasiklin),

sulfonamide,

obat

antituberkulosis ( asam para-aminosalisilat, isoniazid), alopurinol, diuretic (asetazolamid, asam etakrinat), mitramisin, dekstran, diazepam (valium), barbiturate, narkotik (kodein, morfin, meperidin), flurazepam,

indometasin, metotreksat, metildopa, papaverin, prokainamid, steroid, kontrasepsi oral, tolbutamid, vitamin A, C, K.
-

Penurunan kadar

Anemia defisiensi besi. Pengaruh obat : barbiturate, salisilat (aspirin), penisilin, kafein dalam dosis tinggi. Bilirubin Total, indirek
-

Peningkatan kadar

Eritroblastosis fetalis, anemia sel sabit, reaksi transfuse, malaria, anemia pernisiosa, septicemia, anemia hemolitik, talasemia, CHF, sirosis terdekompensasi, hepatitis. Pengaruh obat : aspirin, rifampin, fenotiazin (lihat biliribin total, direk).
-

Penurunan kadar

Pengaruh obat (lihat bilirubin total, direk). 1 III. Diagnosis III.I Working diagnosis (WD) Ikterus neonatorum (Neonatal jaundice) merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. 2 Sebagian kecil bayi yang tampak ikterik saat lahir, menderita suatu infeksi kongenital yang dapat melewati plasenta dan mungkin dapat menyebabkan kerusakan serius pada janin. Infeksi kongenital tersebut adalah

toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, virus herpes dan sifilis. Ikterus akibat infeksi kongental ini biasanya merupakan gabungan bilirubin tak terkonyugasi dan bilirubin terkonyugasi. Bayi memperlihatkan tanda-tanda

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

infeksi lainnya yang abnormal. Namun demikian, sebagian besar ikterus yang tampak dalam 24 jam peertama adalah karena hemolisis yang berlebihan. . Jenis bilirubin dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Bilirubin tidak terkonjugasi/bilirubin indirek/bilirubin bebas yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak. 2. Bilirubin terkonjugasi/bilirubin direk/bilirubin terikat yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak. Pencarian untuk menentukan penyebab ikterus harus dijalankan jika : 1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan 2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam 3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm 4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan 5. Bilurubin direk lebih besar dari 1 mg/dl. 6. Ikterus yang disertai keadaan berat lahir kurang dari 2 kg, masa kehamilan kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, trauma lahir pada kepala, hipoglikemi (kadar gula terlalu rendah), hipercarbia (kelebihan carbondioksida. Faktor genetik dan etnik mungkin mempengaruhi keparahan ikterus fisiologis, sehingga mengakibatkan hiperbilirubinemia patologik (karakteristik pada gejala klinis). Ikterus Fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut: Timbul pada hari kedua ketiga
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg % Ikterus hilang pada 10 hari pertama Tidak mempunyai dasar patologis3 III.II Diferential diagnosis (DD) Hemolisis akibat defisiensi suatu enzim sel darah merah. Banyak bayi bangsa Negro dan Asia yang realtif kekurangan glukosa-6-fosfat

dehidrogenase. Hal ini dapat diketahui dengan skrining. Mereka yang terkena harus menghindari sejumlah obat yang dapat mempresipitasi terjadinya hemolisis. Akhirnya, kelainan bentuk sel darah merah seperti sferositosis dapat mengakibatkan peningkatan fragilitas osmotic dan hemolisis.3 Ikterus neonatal persisten. Ikterus yang menetap melebihi minggu kedua merupakan hal yang tidak normal. Dalam mempertimbangkan kemungkinan penyebab ikterus tersebut harus dibedakan antara hiperbilirubinemia terkonjugasi dan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.3 Hiperbilirubinemia congenital (rubella, terkonjugasi: Sindrom hepatitis neonatal, Infeksi
1-

sitomegalovirus,

toksoplasmosis),

Defisiensi

antitripsin, Galaktosemia, Tirosinosis, Fibrosis kistik, Gangguan penimbunan. Obstruksi duktus, Atresia bilier ekstrahepatik, Hipoplasia bilier intrahepatik, Kista koledokus Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi: Infeksi saluran kemih, Hipotiroidisme, Anemia hemolitik, Obstruksi gastrointestinal letak tinggi, Ikterus air susu ibu, Hiperbilirubinemia familial sementara. Hepatitis B. (masa inkubasi 50 sampai 180 hari). Hepatitis B jarang terjadi pada anak-anak Eropa, tetapi infeksi hepatitis B dan status karier kronik sering ditemukan di Negara berkembang. Tranmisi vertikal dari ibu karier kepada bayi baru lahir merupakan jalur penyebaran utama, dan menyebabkan adanya generasi karier kronik yang baru. Bayi yang terinfeksi jarang menunjukan
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

gejala, tetapi rentan terhadap sirosis dan karsinoma hepatoselular. Untuk member proteksi pada bayi, saat ini telah disusun jadwal pemberian imunisasi pasif dan aktif gabungan.3 Kernikterus adalah suatu sindroma neurologic yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak-terkonyugasi (lebih dari 380 mol/l) dalam sel-sel otak. Bahaya yang timbul pada bayi yang menderita penyakit eritroblastosis foetalis berhubungan langsung dengan kadar bilirubin serum. Mungkin hal ini sama untuk bayi yang mengalami hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin indirek atau bilirubin bebas darah yang tepat, yang bila dilewati bersifat toksis terhadap bayi, tidak dapat diramalkan, tetapi kernikterus jarang ditemukan pada bayi aterm, yang mempunyai kadar bilirubin serum lebih rendah dari 1820 mg/dl. Lama pemaparan yang diperlukan agar timbul pengaruh toksis juga tidak diketahui. Terdapat sejumlah bukti bahwa gangguan motorik yang timbul pada masa anak-anak lanjut, lebih lazim ditemukan di antara bayi neonates, yang kadar total bilirubin serum meningkat sampai di atas 15 mg/dl. Makin kurang matang bayi, semakin besar kepekaan mereka mengalami kernikterus. Tanda dan gejala kernikterus biasanya timbul 2-5 hari setelah kelahiran bayi aterm dan sampai hari ke 7 pada bayi prematur.3

IV.

Etiologi Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan

menurunmendekati nilai normal dalam beberapa minggu. 1. Ikterus fisiologi Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. 4Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. 4

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice) Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
4

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin. 4 V. Epidemiologi Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85%
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual. VI. Gejala klinik Ikterus dapat ditemukan pada saat lahir atau dapat timbul setiap saat selama periode neonatal, tergantung pada keadaan yang bertanggung jawab. Intesitas ikterus tidak mempunyai hubungan klinis, dengan derajat hiperbilirubinemia, terutama pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi. Oleh karena itu penentuan bilirubin harus dilakukan pada semua bayi yang ikterus. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin tidak langsung dalam kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga; sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin langsung) memperlihatkan warna kuning kehijauhijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Ciri-ciri bayi kuning yang patut diwaspadai: - Terlihat kuning pada bagian putih bola mata si bayi. - Bila kulitnya ditekan beberapa detik akan terlihat warna kekuningkuningan. - Tidak aktif, cenderung lebih banyak tidur, suhu tubuh tidak stabil (naik-turun), dan malas menyusu. - Urin berwarna gelap (coklat tua seperti air teh) - Bila kuning timbul dan terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah bayi lahir. - Tubuh menguning berkepanjangan lebih dari satu minggu. - Fesesnya tidak kuning, melainkan pucat (putih kecoklatan seperti dempul).2 VII. Patofisiologi Ikterus pada penderita, terjadi akibat penyumbatan aliran empedu dan kerusakan sel-sel parenkim. Peningkatan kadar bilirubin direk dan bilirubin indirek di dalam serum ditemukan pada penderita. Penyumbatan aliran empedu di dalam hati akan mengakibatkan tinja akholis. Pemulihan kembali aliran empedu dapat mengakibatkan pengeluaran kadar bilirubin normal atau bertambah ke duodenum. Urobilinogen, suatu hasil metabolisme bilirubin di dalam usus; secara normal akan diserap kembali. Sel-sel parenkim hati yang mengalami kerusakan mungkin tidak mampu mengeluarkan kemblai bahan ini yang kemudian akan muncul di dalam air kemih penderita. Bukti lain dari penyumbatan empedu adalah peningkatan alkali fosfatase dalam serum, seperti juga 5-nukleotidase atau -glutamil tranpeptidase.

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang

memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan


Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.2 Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.5 Inkompabilitas sistem Rh Apabila seorang wanita Rh D-negatif (Rh d/d atau rr) hamil dengan janin Rh D-positif, eritosit janin Rh D positif melintas ke dalam sirkulasi ibu (biasanya pada saat persalinan) dan mensentisasi ibu untuk membentuk anti D. Sentisasi lebih mungkin terjadi bila ibu dan janin memiliki golongan darah ABO yang sesuai.Ibu juga dapat tersentisasi oleh keguguran sebelumnya, amniosentesis atau trauma lain pada plasenta , atau oleh transfuse darah. Anti D melewati plasenta ke janin selama kehamilan berikutnya dengan janin Rh D-positif, melapisi eritrosit janin dengan antibody dan menyebabkan destruksi sel-sel tersebut oleh system retikuloendotel, menyebabkan anemia dan ikterus. Bila sang ayah heterozigot untuk antigen D (D/d), terdapat kemungkinan bahwa 50% fetus akan D positif.6 Inkompabilitas sistem ABO lebih sering terjadi dan menimbulkan gambaran klinis yang serupa namun biasanya lebih ringan. Ibu biasanya mempunyai golongan darah O dan bayi bergolongan darah A atau B. Kadar hemolisin antiA dan anti-B alamiah akan meningkat tajam, tetapi akan kembali normal setelah kehamilan. Risiko kehamilan berikutnya tidak meningkat, berbeda dengan penyakit rhesus.3
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Pada 20% kelahiran, seorang ibu tidak memiliki golongan darah ABO yang sesuai dengan janinnya. Ibu golongan darah A dan B biasanya hanya mempunyai antibody ABO IgM. Mayoritas kasus HDN (hemolytic disease of the newborn) ABO disebabkan oleh antibody IgG imun pada ibu golongan O. Walaupun 15% kehamilan pada orang kulit putih merupakan ibu bergolongan O dengan janin golongan A atau B, sebagian ibu tidak menghasilkan IgG anti-A atau anti-B dan sangat sedikit bayi dengan penyakit hemotolik yang cukup berat hingga memerlukan pengobatan. Tranfusi tukar diperlukan pada hanya satu dari 3000 bayi. Ringannya HDN ABO dapat dijelaskan sebagian oleh antigen A dan B yang belum sepenuhnya berkembang pada saat lahir dan karena netralisasi sebagian antibody IgG ibu oleh antigen A dan B pada sel-sel lain, yang terjadi dalam plasma dan cairan jaringan.6 Berlawanan dengan HDN Rh, penyakit ABO dapat ditemukan pada kehamilan pertama dan dapat/tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya.

VIII. y

Penatalaksanaan Terapi Sinar (fototerapi). Fototerapi dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang hanya

mengenakan popok (untuk menutupi daerah genital) dan matanya ditutup di bawah lampu yang memancarkan spektrum cahaya hijau-biru dengan panjang gelombang 450-460 nm. Selama fototerapi bayi harus disusui dan posisi tidurnya diganti setiap 2 jam. Pada terapi cahaya ini bilirubin dikonversi menjadi senyawa yang larut air untuk kemudian diekskresi, oleh karena itu harus senantiasa. Keuntungan dari fototerapi ini adalah . 7 Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif. Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu-lampu tersebut. 7 Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang. Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil. 7 y Terapi Transfusi. Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Di khawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain. 7 Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang rendah, maka terapi transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses tranfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi.

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi. 7 y Terapi Obat-obatan. Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk.. Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Disamping itu manfaat atau efek dari pemberian obat biasanya terjadi setelah 3 hari pemberian obat. Sehingga, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani. 7

Menyusui Bayi dengan ASI. Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI terdapat hormon pregnandiol yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Meski demikian dalam keadaan bilirubin yang tidak terlalu tinggi penghentian ASI tidak direkomendasikan. 7

Terapi Sinar Matahari Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Lakukan antara jam

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. 7 Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit. Bila pagi hari dalam keadaan mendung sinar matahari sore atau akhir matahari mungkin masih dianggap aman, sekitar jam 16.00 s/d 17.00. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.7

IX.

Komplikasi o SSP ( encephalopathy / Kern Ikterus ) Derajat I :


y y y

Lethargi Malas minum Hipotoni Derajat II :

y y y y y

Respon meningkat ( iritable ) Tonus meningkat Kejang Hipertermia Bayi bisa meninggal Derajat III :

Bila tertolong bayi tampak normal/ asymptomatik Derajat IV :

y y

Opistotonus Jangka lama terjadi gejala berupa gangguan motorik, pendengaran ( cerebral palsy ).

o Saluran cerna :
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Diare akibat hiperosmolar dalam usus. 8

X.

Prognosis Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi, dalam kehamilan berikutnya, dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif. 8 Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik. A. Mortalitas Angka mortalitas dapat diturunkan jika : 1. ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini 2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG 3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal didalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi

intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif pemberian Ig D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D. 8,9

B. Perkembangan anak selanjutnya. Menurut Bowman (1978) kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi janin, akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal, dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang. 8,9
Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembelajaran yang dikaji, dapat disimpulkan bahwa hasil hipotesis yang disepakati, yaitu perbedaan Rh dan golongan darah antara ibu dan anak menyebabkan gangguan pada anak dapat diterima. Penanganan ikterus neonatorum sangat tergantung pada saat terjadinya ikterus, intensitas ikterus (kadar bilirubin serum), jenis bilirubin, dan sebab terjadinya ikterus. Untuk mendapat pegangan yang baik, pengobatan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu dilakukan didasarkan pada hari timbulnya ikterus dan naiknya kadar bilirubin serum.

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Daftar Pustaka
1. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24. 2. Lilleyman J.S. Paediatric haematology. Clin.Haematol. 2003; 13th Ed.: p.327-483. 3. Hull D., Johnston D.I. Dasar-dasar pediatri. EGC. 2008; Jakarta: Edisi ke3: hal 61-4;168-70. 4. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222. 5. Robbins. Dasar patologi penyakit. EGC. Jakarta: Edisi ke-5: hal. 276-7. 6. Luban N.L.C. Hemolytic disease of the newborn. Engl. J. Med. 2002. p.830. 7. Hoffbrand A.V., Pettit J.E., Moss P.A.H. Kapita selekta hematologi. EGC. 2005;
Jakarta: Edisi ke-4: hal.303-6.

8. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 18th edition . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005: 706-721. 9. Fanaroff AA, Martin RJ Eds. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 5 ed. St. Louis; Mosby-Year Book, 2000: 235-237
th

Fernia stevani 10 2009 127 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Anda mungkin juga menyukai